BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. Tinjauan tentang Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan a. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan 1) Hierarki Norma Hukum Negara Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S. (2007: 41) mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie), yang artinya bahwa norma hukum itu berjenjangjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky, yang merupakan salah seorang murid Hans Kelsen. Hans Nawiasky mengemukakan teori jenjang norma dalam suatu negara (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen). Hans Nawiasky sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S. (2007: 41) berpendapat bahwa selain norma yang berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompokkelompok sebagaimana dipisahkan dalam 4 (empat) kelompok besar berikut ini: a) Kelompok I (Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara), merupakan norma dasar bagi pembentukan konstitusi dan undang-undang dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.
22
23
b) Kelompok II (Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara), merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal. c) Kelompok III (Formell Gesetz atau Undang-Undang ‘Formal’), merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci, serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma hukum primernya. Di dalam UndangUndang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana atau sanksi pemaksa. d) Kelompok IV (Verordnung dan Autonome Satzung atau Aturan Pelaksana dan Aturan Otonom), merupakan peraturan-peraturan yang terletak di
bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan Pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari kewenangan atribusi. Atribusi kewenangan merupakan pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Sementara delegasi kewenangan merupakan pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak.
24
Pengelompokan norma hukum menurut Hans Nawiasky dapat digambarkan dalam sebuah piramida sebagaimana penulis sajikan berikut ini: Staatsfundamentalnorm m Staatsgrundgesetz Formell Gesetz Verordnung dan Autonome Satzung Gambar 1. Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen). b. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Secara normatif, hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hierarki peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Propinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
25
Rumusan ketentuan tersebut mencerminkan teori jenjang norma hukum negara yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky sebagaimana dapat disajikan dalam gambar berikut ini: Pancasila UUD NRI Tahun 1945 Ketetapan MPR
Staatsfundamentalnorm m Staatsgrundgesetz Formell Gesetz
UU/Perpu PP
Verordnung dan Autonome Satzung
Perpres Perda (Propinsi dan Kabupaten)
Gambar 2. Jenis dan Hierarki Peraturan PerundangUndangan di Indonesia Teori mengenai hierarki atau tata urutan peraturan perundangundangan tersebut jika dikaji lebih mendalam mengandung beberapa prinsip, di antaranya: 1) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundangundangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya. 2) Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi. 3) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya. 4) Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat. 5) Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur mengenai materi yang sama, peraturan terbaru harus diberlakukan
26
walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama dicabut. Peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum (Bega Ragawino, 2005: 15-17). c. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Roni Hanitijo Soemitro sebagaimana dikutip oleh Yudho Taruno Muryanto dan Djuwityastuti mengemukakan bahwa dalam sinkronisasi peraturan perundang-undangan terdapat konsepsi pokok yang harus diperhatikan, yaitu: Apabila sinkronisasi peraturan perundang-undangan itu ditelaah secara vertikal, berarti akan dapat dilihat bagaimana hierarkinya. Apabila ditelaah secara horizontal, akan terlihat sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten. Dengan sinkronisasi hukum, akan diperoleh jawaban menyeluruh terkait dengan permasalahan mengenai peraturan perundang-undangan tertentu, juga dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang ada pada peraturan perundang-undangan yang mengatur bidangbidang tertentu (Yudho Taruno Muryanto dan Djuwityastuti, 2014: 129). Sinkronisasi atau penyelarasan peraturan perundang-undangan (syncronization of law) lebih mementingkan bahwa peraturan perundangundangan tidak boleh bertentangan dengan satu sama lain peraturan perundang-undangan yang sederajat (sinkronisasi sederajat atau horizontal) dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (sinkronisasi vertikal) (Yohanes Suhardin, 2008: 85). Terkait sinkronisasi peraturan perundang-undangan, Novianto M. Hantoro menyatakan sebagai berikut: Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu, dengan maksud agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tersebut tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka akan semakin detail dan operasional materi muatannya. Adanya kegiatan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan akan menciptakan sebuah
27
keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya, untuk mewujudkan landasan terhadap pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efektif dan efisien (Novianto M. Hantoro, http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-20.pdf diakses pada tanggal 25 November 2015 pukul 20.00 WIB). Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa dalam menguji taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan, selain memahami jenis, hierarki, dan asas-asas peraturan perundang-undangan, juga perlu untuk menelaah materi muatannya, dengan mempelajari dasar ontologis lahirnya suatu undang-undang, landasan filosofis undang-undang, dan ratio legis dari ketentuan undang-undang, dikarenakan undang-undang dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang diandaikan dibuat oleh rakyat, sedangkan regulasi tidak lain daripada pendelegasian apa yang dikehendaki rakyat (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 142). Sinkronisasi peraturan perundangundangan dapat ditelaah baik secara vertikal maupun secara horizontal sebagaimana akan diuraikan berikut ini: 1) Sinkronisasi Vertikal Sinkronisasi vertikal dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada (Bambang Sunggono, 2011: 94). Terlebih dahulu perlu diadakan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan berdasarkan hierarkinya dan dilakukan secara kronologis yakni menurut saat dikeluarkannya peraturan perundangundangan tersebut (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 85). 2) Sinkronisasi Horizontal Peninjauan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat dan yang mengatur bidang yang sama (Bambang Sunggono, 2011: 96). Untuk menguji taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara horizontal, akan diteliti sejauh
28
mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010: 129). Penelitian untuk taraf sinkronisasi horizontal dapat dilakukan secara lebih terperinci dengan membuat inventarisasi yang sejajar, yaitu menempatkan perundang-undangan yang sederajat pada posisi yang sejajar untuk kemudian diidentifikasi terhadap taraf sinkronisasinya yang rendah, sedang, atau tinggi (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 91). Sinkronisasi hukum merupakan kegiatan yang tersistematisasi, sehingga dalam pelaksanaannya memuat beberapa prosedur. Sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan pada umumnya dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan prosedur sebagaimana diuraikan berikut ini: 1) Inventarisasi Inventarisasi merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi mengenai peraturan perundangundangan terkait dengan bidang tertentu. Peraturan perundangundangan yang telah diinventarisasi kemudian dievaluasi untuk mendapatkan peraturan yang paling relevan atau mempunyai keterkaitan secara teknis atau substansial terhadap bidang tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Proses inventarisasi sesungguhnya dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis serta melalui proses klasifikasi yang logis dan tersistematis. 2) Analisa Substansi Tahap ini diawali dengan memastikan kedudukan peraturan perundang-undangan yang akan disinkronisasi berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, untuk selanjutnya dilakukan pengkajian terhadapnya. Pengkajian tersebut dilakukan terhadap substansi yang mencakup peristilahan, definisi, dan substansi.
29
3) Hasil Analisa Berdasarkan pengkajian pada tahap analisa substansi, selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mendapatkan hasil yang valid dan benar, yang akan dipergunakan sebagai bahan untuk melakukan sinkronisasi. Hasil yang diharapkan dalam tahap ini meliputi: a) Pasal-pasal yang terkait dengan identifikasi permasalahan. b) Keterkaitan antar pasal-pasal yang telah diidentifikasi dengan peraturan perundang-undangan di bidang tertentu. c) Identifikasi masalah-masalah yang terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang tertentu. 4) Pelaksanaan Sinkronisasi Tahap ini dilakukan dengan merumuskan dan mensinkronkan substansi peraturan perundang-undangan, serta merinci substansi teknis peraturan perundang-undangan yang disusun (Ricky Aprian, 2010: 7-10). d. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Asas merupakan suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum (Charlie Rudyat, 2013: 59). Asas hukum bukanlah peraturan hukum, akan tetapi tidak ada hukum yang dapat dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya, sehingga hukum suatu bangsa tidak dapat hanya dipahami melalui
peraturan perundang-undangannya saja, melainkan harus
menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya, karena asas hukum memberikan makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta tata hukum (Satjipto Rahardjo, 2006: 47). Lon. L. Fuller sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo (2006: 51) berpendapat bahwa suatu sistem hukum harus mengandung suatu moralitas tertentu, sehingga diletakkanlah 8 (delapan) asas (principles of legality) sebagai parameter terhadap sistem hukum yang baik, di antaranya: 1) Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Ia tidak boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
30
2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. 3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak dapat dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan peraturan berlaku secara surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang. 4) Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti. 5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi. 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Secara teoritis, A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S., menjelaskan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut adalah sebagai berikut: 1) Asas-asas formal, dengan perincian: a) asas tujuan yang jelas; b) asas perlunya pengaturan; c) asas organ atau lembaga yang tepat; d) asas materi muatan yang tepat; e) asas dapatnya dilaksanakan; dan f) asas dapatnya dikenali. 2) Asas-asas material, dengan perincian: a) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara; b) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
31
c) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar Atas Hukum; dan d) asas sesuai dengan prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi (Maria Farida Indrati S., 2007: 230). Ketika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal yang sama, namun terdapat ketidaksesuaian pengaturan materi muatannya, maka dapat dilakukan dengan menerapkan asas hukum atau doktrin hukum sebagai berikut: 1) Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori Asas ini menghendaki bahwa apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus disisihkan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 139). Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh A.A. Oka Mahendra menyatakan bahwa apabila substansi peraturan perundang-undangan oleh
undang-undang
peraturan merupakan Mahendra,
yang
lebih
telah
tinggi
mengatur
hal
ditetapkan
menjadi
wewenang
perundang-undangan pengecualian
yang
terhadap
lebih
rendah,
asas
ini
hal
(A.A.
yang
ini Oka
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-
harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html
diakses
pada
tanggal 3 Desember 2015 pukul 19.30 WIB). 2) Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarki mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan perundangundangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 139). Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh A.A. Oka Mahendra, terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generali, di antaranya:
32
a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generali (Undang-Undang dengan Undang-Undang). c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generali (A.A. Oka Mahendra, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada tanggal 3 Desember 2015 pukul 19.30 WIB). Berdasarkan pada beberapa prinsip tersebut, peneliti dituntut untuk dapat mengidentifikasi ruang lingkup materi muatan kedua peraturan perundang-undangan, yang mana antara lex specialis dan lex generali harus mempunyai kedudukan yang sama dalam hierarki peraturan perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 140). 3) Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori Terkait dengan asas ini, Peter Mahmud Marzuki berpendapat sebagai berikut: Asas lex posterior derogat legi priori menghendaki bahwa peraturan perundang-undangan yang terkemudian menyisihkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu. Penggunaan asas ini mensyaratkan bahwa yang dihadapkan adalah dua peraturan perundang-undangan dalam hierarki yang sama. Adanya asas ini dapat dipahami mengingat peraturan perundang-undangan yang baru lebih mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang berlangsung. Akan tetapi, dapat pula dibayangkan sebaliknya, yaitu peraturan perundang-undangan yang baru tidak memuat ketentuan yang dibutuhkan untuk situasi yang dihadapi. Apabila ketentuan yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan yang lama tidak bertentangan dengan landasan filosofis peraturan perundang-undangan yang baru, ketentuan tersebut tetap berlaku melalui aturan peralihan peraturan perundang-undangan yang baru (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 141-142).
33
Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh A.A. Oka Mahendra menyatakan bahwa asas lex posterior derogat legi priori memuat prinsip-prinsip di antaranya: a) Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama. b) Aturan hukum yang baru dan aturan hukum yang lama mengatur aspek yang sama. Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan dalam perspektif asas lex posterior derogat legi priori sebenarnya tidak begitu penting. Secara prinsip, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku (A.A. Oka Mahendra, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada tanggal 3 Desember 2015 pukul 19.30 WIB). Dalam konteks peraturan perundang-undangan di Indonesia, juga telah diatur asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan yang baik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berikut ini: Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Pasal 6 (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman;
34
b. c. d. e. f. g. h. i. j.
kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
2. Tinjauan tentang Badan Hukum a. Pengertian Badan Hukum Penulis menyajikan beberapa batasan pengertian pokok badan hukum yang dikemukakan oleh beberapa sarjana sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali (2005: 18-21) sebagai berikut: 1) Logemann
berpendapat
bahwa
badan
hukum
adalah
suatu
personifikatie (personifikasi), yaitu suatu bestendigheid (perwujudan, penjelmaan) hak dan kewajiban, yang mana hukum organisasi (organisatierecht) menentukan innerlijkstruktuur (struktur intern) dari personifikatie itu. Badan hukum menjamin kontinuitas, karena sebagai pendukung hak dan kewajiban akan tetap ada dan diteruskan meskipun pengurusnya yang menjadi wakil kontinuitas tersebut berganti-ganti. 2) E. Utrecht berpendapat bahwa badan hukum (rechtpersoon) adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya. 3) Menurut R. Subekti, badan hukum pada prinsipnya merupakan suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dan dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
35
4) Sri Soedewi Maschun Sofwan mengutarakan bahwa manusia adalah badan pribadi, hal tersebut adalah manusia tunggal. Selain daripada manusia tunggal, dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan pribadi kepada wujud lain yang disebut sebagai badan hukum. Badan hukum merupakan suatu kumpulan dari orang-orang bersamasama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu. Berangkat pada pendapat para sarjana sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dapat diketahui bahwa di samping manusia sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subjek hukum yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia, badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim, singkatnya diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia, sehingga dinamakan rechtpersoon, yang berarti orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum (C.S.T. Kansil dan Christiae S.T. Kansil, 1994: 17). Hal tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Salim H.S bahwasanya badan hukum terdiri dari kumpulan-kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban (Salim H.S., 2008: 26). Badan hukum ada karena hukum, dan memang diperlukan keberadaannya sehingga disebut sebagai legal entity, dan dapat pula disebut artificial persoon atau manusia buatan, atau persoon in law, atau legal persoon, atau rechtpersoon (I.G. Rai Widjaya, 2003: 127). Pengertian badan hukum sebagai salah satu subjek hukum mencakup unsur-unsur sebagai berikut: 1) perkumpulan orang (organisasi); 2) dapat
melakukan
perbuatan
hukum
(rechtshandeling)
hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking); 3) mempunyai harta kekayaan tersendiri;
dalam
36
4) mempunyai pengurus; 5) mempunyai hak dan kewajiban; dan 6) dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan (Chidir Ali, 2005: 18-21). b. Teori Badan Hukum Terdapat beberapa teori tentang badan hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum sebagai berikut: 1) Teori Fiksi Teori ini menjelaskan bahwa hanya manusialah yang mempunyai kehendak. Badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit. Oleh karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara. Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. Dengan kata lain, hanya manusia yang dianggap sebagai subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya, badan hukum selaku subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, melainkan yang melakukan adalah manusia sebagai wakil-wakilnya. 2) Teori Orgaan Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu seperti manusia sebagai penjelmaan yang nyata dalam pergaulan hukum (‘eine leiblichgeistige
Lebensein
heit’).
Badan
hukum
membentuk
kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan seperti para pengurus sebagaimana manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan
37
tangannya, apabila kehendak itu ditulis di atas kertas, sehingga setiap keputusan pengurus atau organ merupakan kehendak daripada badan hukum. 3) Teori Harta karena Jabatan (Leer van het ambtelijk vermogen) Ajaran tentang harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam jabatannya (ambtelijk vermogen), yakni suatu hak yang melekat pada suatu kualitas. Tanpa daya berkehendak (wilsvermogen) tidak ada kedudukan sebagai subjek hukum. Untuk badan hukum, yang berkehendak adalah para pengurus, maka pada badan hukum semua hak itu diliputi oleh pengurus. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka adalah berhak, sehingga disebut ambtelijk vermogen. Konsekuensi daripada ajaran ini adalah bahwa orang yang belum dewasa (minderjarige) dimana wali (voegd) melakukan segala perbuatan, eigendom ada pada curatele, pihak eigenaar adalah kurator. 4) Teori Kekayaan Bersama (Propriete Collective Theory) Teori ini menjelaskan bahwa pada hakikatnya hak dan kewajiban daripada badan hukum merupakan hak dan kewajiban para anggota bersama sehingga kekayaan badan hukum merupakan milik bersama seluruh anggota. Badan hukum hanya merupakan suatu konstruksi yuridis yang abstrak. Pihak yang dapat menjadi subjek badan hukum di antaranya: a) Setiap orang yang secara nyata ada di belakang badan hukum. b) Setiap anggota badan hukum. c) Setiap pihak yang mendapatkan keuntungan dari suatu badan hukum. 5) Teori Kekayaan Bertujuan Teori ini menjelaskan bahwa hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum, badan hukum bukanlah subjek hukum dan hakhak yang diberi kepada suatu badan hukum pada hakikatnya hak-hak dengan tiada subjek hukum. Kekayaan badan hukum tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak
38
tersebut, manusia). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya (onpersoonlijk atau subjetloos). Maka, yang terpenting ialah bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu. Menurut teori ini tidak peduli apakah manusia atau bukan, tidak peduli kekayaan itu adalah hak-hak yang normal atau bukan, yang terpenting adalah tujuan daripada kekayaan tersebut. 6) Teori Kenyataan Yuridis Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum dipersamakan dengan manusia yang merupakan suatu realita yuridis sebagai suatu fakta yang diciptakan oleh hukum sehingga badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkret, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Teori ini menghendaki bahwa dalam mempersamakan manusia dengan badan hukum terbatas hanya pada bidang hukum (Chidir Ali, 2005: 31-38). Teori-teori badan hukum sebagaimana telah dikemukakan tersebut, menurut Mulhadi pada pokoknya berpusat pada dua pandangan, yaitu: 1) Pandangan yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, artinya nyata dengan pancaindera manusia sendiri. Akibatnya, badan hukum itu disamakan atau identik dengan manusia. Badan hukum dianggap identik dengan organ-organ yang mengurus, karena itulah para pengurusnya oleh hukum dianggap sebagai persoon. 2) Pandangan yang menganggap bahwa badan hukum bukan sebagai wujud yang nyata, tetapi badan hukum itu hanya merupakan manusia yang berdiri di belakang badan hukum tersebut. Akibatnya, menurut anggapan yang kedua ini jika badan hukum tersebut melakukan kesalahan, maka itu adalah kesalahan manusia-manusia yang berdiri di belakang badan hukum tersebut secara bersama-sama (Mulhadi, 2010: 79-80).
39
c. Penggolongan Badan Hukum Badan hukum di Indonesia dapat digolongkan menurut macamnya, jenisnya, dan sifatnya. Secara sistematis penggolongan badan hukum tersebut akan diuraikan sebagai berikut: 1) Penggolongan Badan Hukum Menurut Macamnya Menurut landasan atau dasar hukum di Indonesia, dikenal 2 (dua) macam badan hukum, di antaranya (Chidir Ali, 2005: 55-57): a) badan hukum orisinil (murni, asli), yaitu negara. Contohnya: Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945; dan b) badan hukum yang tidak orisinil (tidak murni, tidak asli), yaitu badan-badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan ketentuan Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai zadelijk lichaam atau badan susila. Terdapat 4 (empat) macam badan hukum yang tergolong zadelijk lichaam, yaitu: (1) badan hukum yang diadakan atau didirikan oleh kekuasaan umum (zadelijk lichaam op openbaar gezag ingesteld), seperti: propinsi, kotapraja, dan bank-bank yang didirikan oleh negara; (2) badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum (zadelijk lichaam op openbaar gezag erkend) seperti: perseroan (venootschap), gereja-gereja, waterschapen seperti subak di Bali; (3) badan hukum yang diperkenankan (diperbolehkan) karena diizinkan (zadelijk lichaam als geoorloofd toegelsten); dan (4) badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud atau tujuan tertentu (zadelijk lichaam op een bepald oogmerk ingelsted).
40
2) Penggolongan Badan Hukum Menurut Jenisnya Menurut jenisnya, badan hukum dapat digolongkan ke dalam jenis badan hukum publik dan badan hukum privat (perdata) yang akan dijelaskan sebagai berikut: a) Badan Hukum Publik Badan hukum publik (publiek rechtpersoon) didirikan berdasarkan hukum publik, mempunyai kekuasaan wilayah, dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan oleh eksekutif atau pemerintah atau badan dan pengurus, untuk menyelenggarakan kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya (C.S.T. Kansil dan Christiae S.T. Kansil, 1994: 25). Dalam arti badan hukum yang didirikan dan dimiliki oleh pihak pemerintah seperti: negara, lembaga pemerintahan, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan bank negara (Salim H.S, 2008: 26). Dalam stelsel hukum Indonesia, kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah badan hukum tergolong dalam jenis badan hukum publik atau bukan antara lain: (1) dilihat dari cara pendirian atau terjadinya, artinya badan hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa (negara) dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; (2) lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau umum melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, artinya bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik atau umum atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum itu merupakan badan hukum publik; dan (3) mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang didirikan oleh penguasa (negara) itu diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat
41
umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah badan hukum publik (Chidir Ali, 2005: 61-62). b) Badan Hukum Privat (Perdata) Dalam arti badan hukum yang didirikan dan dimiliki oleh pihak swasta seperti perkumpulan, persekutuan, perseroan terbatas, koperasi, dan yayasan (Salim H.S, 2008: 26). Dalam badan hukum privat (perdata), yang terpenting adalah badanbadan hukum yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang-perorangan (Chidir Ali, 2005: 63). 3) Penggolongan Badan Hukum Menurut Sifatnya Berdasarkan sifatnya, badan hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, sebagaimana dijelaskan berikut ini: a) Korporasi (corporatie) E. Utrecht/Moh. Soleh Jindang sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali menjelaskan bahwa korporasi ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum tersendiri, suatu personifikasi (Chidir Ali, 2005: 63-64). Korporasi adalah badan hukum yang memiliki anggota, tetapi memiliki sejumlah hak dan kewajiban yang terpisah dengan sejumlah hak dan kewajiban yang dimiliki anggota badan hukum (Riduan Syahrani, 1985: 55). b) Yayasan (stichting) E. Utrecht/Moh. Soleh Jindang sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali menjelaskan bahwa yayasan adalah tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan dan yang diberi tujuan tertentu (Chidir Ali, 2005: 64). Harta kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan tertentu sehingga yayasan hanya memiliki pengurus dan bukan anggota (Riduan Syahrani, 1985: 56).
42
d. Syarat-syarat Badan Hukum Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa syarat-syarat suatu badan dapat dianggap sebagai badan hukum antara lain: 1) Adanya Kekayaan yang Terpisah Sesuai dengan Teori Kekayaan Bertujuan, setiap badan hukum memiliki kekayaan yang bertujuan untuk digunakan bagi kepentingan tertentu, kekayaan itu diurus dan digunakan untuk tujuan tertentu, dan tujuan badan hukum adalah objek yang dilindungi oleh hukum. Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggota maupun dari perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang atau partikelir atau pemerintah untuk suatu tertentu. Adanya harta kekayaan itu dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan badan hukum yang bersangkutan. Harta kekayaan itu meskipun berasal dari pemasukan anggota-anggotanya, tetapi terpisah dari harta kekayaan pribadi anggota-anggotanya itu. Perbuatan pribadi anggota-anggotanya tidak mengikat harta kekayaan tersebut,
sebaliknya perbuatan badan hukum
yang diwakili
pengurusnya tidak mengikat harta kekayaan anggota-anggotanya. 2) Mempunyai Tujuan Tertentu Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang idiil maupun tujuan komersil yang merupakan tujuan tersendiri daripada badan hukum. Tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa orang anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. Akta pendirian yang memuat anggaran dasar setiap badan hukum harus dibuat di muka notaris, dan mendapat pengesahan secara resmi dari pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Status badan hukum diperoleh sejak tanggal keputusan pengesahan Menteri. Pengesahan status badan hukum oleh pemerintah adalah pembenaran bahwa anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan tidak dilarang
43
undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. 3) Mempunyai Kepentingan Sendiri Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum. kepentingankepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa hukum. Badan hukum mempunyai kepentingan sendiri dan dapat menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak lain dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada suatu waktu yang pendek tetapi untuk jangka waktu yang panjang. 4) Terdapat Organisasi yang Teratur Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantara organnya. Bagaimana tata cara organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak mewakili badan hukum, bagaimana organ itu dipilih, diganti, dan sebagainya diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat anggota. Berdasarkan Teori Fiksi dan Teori Organ, badan hukum harus mempunyai alat (organ) seperti: rapat anggota, pengurus, dan pengawas yang bertindak untuk kepentingan dan atas nama badan hukum. Badan hukum harus mempunyai struktur organisasi yang teratur (Abdulkadir Muhammad, 2010: 101-128). e. Kedudukan Hukum Badan Hukum 1) Perbuatan Hukum Badan Hukum Badan hukum adalah subjek hukum yang tidak berjiwa seperti manusia, sehingga badan hukum tidak dapat melakukan perbuatanperbuatan hukum sendiri, melainkan diwakili oleh orang-orang manusia biasa, namun orang-orang ini bertindak bukan untuk namanya sendiri, tetapi untuk dan atas nama badan hukum (Neni Sri Imaniyati, 2013: 128). Hal senada juga dikemukakan oleh Chidir Ali bahwa badan hukum berbuat dengan perantaraan orang, sebab badan hukum
44
hanya suatu pengertian (begrip), yang bertindak selalu orang-orang (Chidir Ali, 2005: 185). Pasal 1655 KUHPerdata menentukan: Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain dalam akta pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam reglemen berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama badan hukum itu, untuk mengikatkan badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya, dan untuk bertindak dalam sidang Pengadilan baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Pengurus daripada badan hukum (de bestuurders) yang disebut sebagai organ, mempunyai wewenang untuk bertindak atas nama (in naam) badan itu, sehingga merupakan unsur terpenting dari organisasi badan hukum itu (Chidir Ali, 2005: 185). Badan hukum memiliki hak dan
kewajiban
untuk
dapat
melakukan
hubungan
hukum
(rechtsbetrekking atau rechtsverhouding, baik antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lain, maupun antara badan hukum dengan orang, sehingga badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum di lapangan harta kekayaan seperti: mengadakan perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian sewa-menyewa, dan menjalankan berbagai kegiatan usaha lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Riduan Syahrani, 1985: 54). 2) Kemampuan Hukum Badan Hukum R. Ali Rido mengemukakan kemampuan hukum dari badan hukum sebagai berikut: a) Kemampuan hukum atau kekuasaan hukum dari badan hukum dalam
lapangan
hukum
harta
kekayaan
pada
dasarnya
menunjukkan persamaan penuh dengan manusia selain secara tegas dikecualikan oleh undang-undang, badan hukum dapat membuat perjanjian, mempunyai hak pakai, hak cipta, hak merek, hak paten, dan dapat melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Badan hukum juga dapat memakai nama. Pembatasan kemampuan hukum badan hukum pada lapangan hukum kekayaan ialah hak pakai badan hukum tidak lebih dari 30 (tiga puluh) tahun.
45
b) Dalam hukum keluarga dalam arti sempit badan hukum sama sekali tidak dapat bergerak. Di luar hukum kekayaan, badan hukum dapat menjadi wali sebagaimana diatur dalam Pasal 365 KUHPerdata. Badan hukum bukan manusia, sehingga tidak mempunyai ahli waris sebagaimana manusia (Pasal 830 KUHPerdata) dan tidak dapat membuat surat wasiat (Pasal 895 KUHPerdata). c) Mengenai penghinaan terhadap badan hukum, Paul Scholten berpendapat bahwa dalam hukum keperdataan mungkin saja sejauh mengenai kehormatan dan nama baik dari badan hukum yang dilancarkan dengan sengaja. Karena pada akhirnya berlaku pula bagi manusia yang dilukai dan dihina kehormatan dan nama baiknya, yaitu pengurus dan korporasi juga anggota-anggotanya, dapat melakukan penuntutan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata (R. Ali Rido, 2004:18-19). 3) Pertanggungjawaban Hukum Badan Hukum Dalam hal perbuatan melawan hukum, badan hukum memiliki tanggung jawab hukum (aansprakelijkheid), artinya dapat digugat untuk perbuatan-perbuatannya yang melawan hukum yang dilakukan oleh organnya sebagai orgaan (als zodenig door de orgaan), karena jika seorang direksi dari suatu orgaan melakukan suatu perbuatan, maka dia dapat berbuat sebagai orgaan yang terikat badan hukum (Chidir Ali, 2005: 218-219). Mengenai hal tersebut, menurut Jurische Realiteit dasarnya adalah sebagai berikut: a) Segala
perbuatan
wakil
atau
orgaan
itu
dapat
dipertanggungjawabkan kepada badan hukum. Termasuk juga onrechtmatige daad itu dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum. b) Setiap mempertahankan hak dari pelaksanaan suatu hak oleh pengurus sebagai orgaan dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, sebab dalam berbuat sampai mengakibatkan
46
onrehtmatige daad tidak untuk haknya sendiri, melainkan untuk badan hukum itu (Chidir Ali, 2005: 219). 3. Tinjauan tentang Badan Usaha Milik Daerah a. Pengertian Badan Usaha Milik Daerah Istilah Badan Usaha Milik Daerah, yang selanjutnya disingkat BUMD, tidak terlepas dari adanya UU Perusahaan Daerah, kendati di dalam UU Perusahaan Daerah tidak terdapat satupun istilah mengenai BUMD. Pasal 2 UU Perusahaan Daerah menjelaskan, “Perusahaan Daerah ialah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang ini yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-undang”. Pasal tersebut tidak secara eksplisit menunjukkan bahwa Perusahaan Daerah merupakan BUMD. Menilik ketentuan tersebut, istilah BUMD senantiasa dibaurkan dengan istilah Perusahaan Daerah (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 128). Secara teoritis, Perusahaan Daerah merupakan perusahaan sumber penghasilan daerah, milik pemerintah daerah, yang mana pengelolaan dan pengawasannya dilakukan oleh pemerintah daerah (Buchari Alma, 2012: 84). Perusahaan Daerah didirikan dengan suatu peraturan daerah, modal seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan merupakan suatu badan hukum yang disahkan oleh Presiden (bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta), Menteri Dalam Negeri (bagi Daerah Tingkat I), dan Gubernur (bagi Daerah Tingkat II) (Jamal Wiwoho, 2007: 61). Salah satu sumber penerimaan daerah yang amat potensial dan menjanjikan bagi daerah dalam usaha meningkatkan sumber PAD-nya adalah berasal dari sektor hasil perusahaan milik daerah (Adrian Sutedi, 2009: 216). Keberadaan BUMD sesungguhnya terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang ketika itu pengaturannya terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Munawar Kholil, 2009: 26). BUMD hanya disebutkan secara eksplisit
47
pada satu pasal saja, yaitu Pasal 177 yang menyatakan, “Pemerintah Daerah dapat memiliki Badan Usaha Milik Daerah yang pembentukan, penggabungan,
pelepasan,
kepemilikan,
dan/atau
pembubarannya
ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan”. Undang-undang tersebut tidak memberikan definisi dan pengaturan secara lebih terperinci mengenai BUMD. Definisi BUMD secara eksplisit dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 huruf c Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 tentang Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah yang menyatakan, “Badan Usaha Milik Daerah selanjutnya disingkat BUMD adalah Perusahaan Daerah dan bentuk hukum lainnya dari usaha milik daerah selain Perusahaan Daerah Air Minum, Bank Pembangunan Daerah, dan Bank Perkreditan Rakyat”. Ketentuan tersebut masih membaurkan istilah BUMD dengan Perusahaan Daerah. Definisi BUMD juga dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 40 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan, “Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah”. Mencermati rumusan pasal tersebut, istilah BUMD mulai dipisahkan dengan istilah Perusahaan Daerah. Terkait dengan modal, pada prinsipnya hampir serupa dengan definisi Perusahaan Daerah sebagaimana termuat dalam Pasal 2 UU Perusahaan Daerah, hanya saja dalam ketentuan Pasal 2 UU Perusahaan Daerah terdapat penjelasan lebih lanjut bahwa modal untuk sebagian dari Perusahaan Daerah berasal berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Terkait dengan BUMD, Adrian Sutedi mengutarakan pendapatnya sebagai berikut: BUMD merupakan badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk mengembangkan perekonomian daerah dan untuk menambah penghasilan daerah. Terdapat dua hal pokok, yaitu: 1) sebagai dinamisator perekonomian daerah yang berarti harus mampu memberikan rangsangan atau stimulus bagi berkembangnya perekonomian daerah; dan 2) sebagai penghasil pendapatan daerah, yaitu BUMD harus mampu memberikan manfaat ekonomis
48
sehingga ada keuntungan yang dapat disetorkan ke kas daerah (Adrian Sutedi, 2009: 218). b. Landasan Pendirian Badan Usaha Milik Daerah 1) Landasan Filosofis Adanya perusahaan negara merupakan pengejawantahan atas hak menguasai negara sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara menurut Bagir Manan adalah sebagai berikut: a. Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. b. Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan. c. Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu (Bagir Manan, 1995: 12). W. Friedman sebagaimana dikutip oleh Made Gde Subha Karma Resen (2015: 97) berpendapat bahwa hak penguasaan negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat, artinya jika melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi dan swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus agar kewajiban negara untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara. Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public service, atas dasar pertimbangan filosofis (semangat dasar perekonomian adalah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara, ekonomi (efisiensi dan efektivitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terhadap sumber
49
daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public service), harus dikuasai negara dan dijalankan pemerintah sebab sumber daya alam tersebut harus dapat dinimkati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata (J. Ronald Mawuntu, 2012: 18). Manifesto negara sebagai penguasa dan agent of economic and social development, negara membentuk perusahaan negara baik BUMN maupun BUMD untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memajukan sektor ekonomi yang bersifat vital demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. 2) Landasan Sosiologis Pendirian BUMD bukanlah suatu keharusan, akan tetapi menjadi pertimbangan bagi daerah sebagai sarana dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 134). Keberadaan BUMD pada dasarnya merupakan kebutuhan daerah dalam hal kegiatan atau usaha daerah untuk meningkatkan sumber pendapatannya, di samping dari hasil pajak dan retribusi daerah yang dinilai kurang memadai dan berkontribusi dalam memberikan masukan bagi kas daerah (Adrian Sutedi, 2009: 216). Pemerintah daerah suatu negara sangat antusias melibatkan diri dalam kegiatan usaha dengan mendirikan BUMD, dikarenakan beberapa pertimbangan sebagai berikut ini: a) Berdasarkan pertimbangan ideologis, dalam rangka melindungi buruh dan orang banyak dari kemungkinan pemerasan oleh penguasa swasta atau kapitalis, sebagaimana negara-negara sosialis yang meyakini bahwa alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara atau daerah. b) Di negara-negara berkembang, kegiatan pemerintah dalam bidang usaha dimaksudkan untuk mengisi kekosongan usahawan karena swasta tidak atau belum mampu berperan.
50
c) Untuk melindungi kepentingan umum atau orang banyak, dengan maksud pemerintah dapat menjalankan usaha untuk melaksanakan pelayanan yang bersifat monopoli atau untuk memberikan saingan kepada kegiatan swasta agar tidak terjadi monopoli. Sekurangkurangnya pemerintah dapat menjadi price leader. d) Untuk mencari keuntungan, dalam rangka mencari biaya untuk membiayai kegiatan pemerintah baik untuk kegiatan rutin maupun untuk peningkatan pelayanan jasa publik (Adrian Sutedi, 2009: 216-217). 3) Landasan Yuridis Landasan konstitusional pendirian BUMD dapat dicermati dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang menyatakan sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dibentuknya BUMD merupakan instrumen untuk menggali potensi asset atau sumber daya yang dimiliki daerah agar dapat dimanfaatkan secara optimal dengan orientasi keuntungan yang dijadikan sebagai sumber PAD dan mampu menciptakan lapangan kerja yang banyak serta menjadi penopang pelaku ekonomi daerah (Adrian Sutedi, 2009: 218). Otonomi daerah mendasarkan pada salah satu prinsip yaitu hubungan pusat dan daerah (mencakup hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
51
alam, dan sumber daya lainnya) harus dilaksanakan secara adil dan selaras (Ni’matul Huda, 2009: 18-23). Eksistensi BUMD merupakan pengejawantahan atas prinsip tersebut, sebagai kesatuan produksi yang memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memenuhi kebutuhan masyarakat bersifat regional (tidak termasuk bidang usaha yang diselenggarakan pemerintah pusat) dalam upaya mewujudkan pemerataan pembangunan (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 130). Secara historis, satu-satunya undang-undang yang mengatur BUMD adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, yang selanjutnya disingkat UU Perusahaan Daerah. Keberadaan UU Perusahaan Daerah dalam sejarah semula telah dihapus dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, termasuk menghapuskan UU Perusahaan Daerah dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (Munawar Kholil, 2009: 26). UU Perusahaan Daerah tersebut masih diberlakukan dan masih menghiasi peraturan daerah di beberapa daerah yang mengatur tentang BUMD karena belum adanya kebijakan untuk mengganti UU Perusahaan Daerah dengan peraturan perundangundangan yang baru (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 127). Istilah BUMD muncul sejak dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perubahan Badan Usaha Milik Daerah Kedalam Dua Bentuk Perusahaan Umum Daerah Dan Perseroan Daerah, yang konsiderannya membaurkan istilah BUMD dengan istilah Perusahaan Daerah. Pembauran istilah BUMD dengan istilah Perusahaan Daerah juga dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah yang menjelaskan, “Bentuk
52
Hukum Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa Perusahaan Daerah (PD) atau Perseroan Terbatas (PT)”. Selama ini, istilah BUMD memang senantiasa dibaurkan dengan istilah Perusahaan Daerah (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 128). Landasan yuridis yang terbaru mengenai BUMD ialah UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya disingkat UU Pemerintahan Daerah. Ketentuan daripada UU Pemerintahan Daerah yang mengatur mengenai BUMD dapat dicermati pada BAB XII yang terdiri dari 12 pasal. Pengaturan tersebut dimulai dari Pasal 331 sampai dengan Pasal 343, serta tersebar di beberapa pasal, seperti: Pasal 1 angka 40, Pasal 134 ayat (1) huruf c, Pasal 188 ayat (1) huruf c, Pasal 298 ayat (5) huruf c, Pasal 304 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 320 ayat (2) huruf g, Pasal 402 ayat (2), Pasal 405, dan Pasal 409. Pasal 409 UU Pemerintahan Daerah menyatakan dengan tegas berikut ini: Pada saat undang-undang ini mulai berlaku: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387); b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Berpijak pada ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa UU Perusahaan Daerah telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU Pemerintahan Daerah. Pasca berlakunya UU Pemerintahan Daerah, memberikan implikasi yuridis bahwa seluruh BUMD yang ada di
53
Indonesia wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Pemerintahan Daerah dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU Pemerintahan Daerah tersebut diundangkan (Pasal 402 ayat (2)) (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 133). UU Pemerintahan Daerah berkedudukan sebagai lex posterior yang belum dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 405 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UndangUndang ini. Berangkat dari rumusan pasal tersebut mengandung arti bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan pelaksanaan UU Perusahaan Daerah masih dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah. Peraturan
perundang-undangan
terkait
dengan
pendirian
dan
pengelolaan BUMD yang sampai saat ini berlaku menjadi sumber hukumnya antara lain (Yudho Taruno Muryanto dan Djuwityastuti, 2014: 128-129): a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; c) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; e) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 1999 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Bank Pembangunan Daerah;
54
f) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah; g) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah; h) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah; i) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 tentang Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah; dan c. Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah Secara teoritis, dalam bahasa Inggris bentuk usaha atau bentuk hukum perusahaan disebut company atau enterprise atau corporation yang berarti organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak setiap jenis kegiatan usaha, yang disebut bentuk hukum perusahaan (Abdulkadir Muhammad, 1999: 1). Chidir Ali berpendapat bahwa bila ditinjau dari perspektif status yuridisnya, badan usaha dapat dibedakan atas: 1) badan usaha yang termasuk badan hukum; dan 2) badan usaha yang bukan badan hukum. Masing-masing bentuk badan usaha tersebut memiliki konsekuensi bentuk hukum yang berbeda sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini (Chidir Ali, 2005: 108-109): Tabel 1. Perbedaan Bentuk Hukum Badan Usaha yang Badan Hukum dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum Kriteria
Badan Usaha yang
Badan Usaha Bukan
Badan Hukum
Badan Hukum
Bentuk
hukum
badan Bentuk-bentuk
badan
usaha berbadan hukum usaha yang bukan badan Bentuk Hukum
antara lain:
hukum antara lain:
(1) Perseroan Terbatas;
(1) Persekutuan Perdata;
(2) Perusahaan Negara;
(2) Firma; dan
(3) Perusahaan Daerah;
(3) Comansitaire
(4) Koperasi; (5) Perusahaan Umum;
Venootschap
(CV)
55
(6) Perusahaan Jawatan;
atau
(7) Perusahaan Sero, yaitu
Komanditer.
PT
yang
dimiliki
Persekutuan
modalnya pemerintah;
dan (8) Yayasan. BUMD merupakan badan hukum. Pengaturan bentuk hukum BUMD terdapat dalam Pasal 331 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan, “BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Perusahaan umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah”. Pasal 334 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah menjelaskan, “Perusahaan umum Daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh suatu daerah dan tidak terbagi atas saham”. Sementara Pasal 339 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah menjelaskan, “Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu daerah”. UU Pemerintahan Daerah mengatur secara limitatif bahwa alternatif bentuk hukum daripada BUMD hanya terbatas pada 2 (dua) bentuk hukum, yaitu Perusahaan umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah, yang mana masing-masing bentuk hukum tersebut mempunyai bentuk pengelolaan yang berbeda satu sama lain (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 134). Melalui instrumen hukum di tingkat daerah, bentuk hukum BUMD berusaha untuk disejajarkan dengan bentuk hukum Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BUMN. Pijakan yuridis daripada BUMN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat UU BUMN. UU BUMN mengatur secara limitatif bentuk hukum BUMN, yaitu Perusahaan Umum (Perum) dan Persero (Perseroan Terbatas) (Munawar Kholil, 2009: 26-27). Pasal 1 angka 2 UU BUMN menjelaskan, “Perusahaan Perseroan, yang
56
selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan”. Sementara dalam Pasal 1 angka 4 UU BUMN dijelaskan, “Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan”. Namun, BUMD memiliki peran yang berbeda dengan BUMN, yang mana BUMD hanya sebatas pada lingkup daerah yang tidak memiliki akses langsung ke perekonomian nasional atau langsung menjalankan peranan negara dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik sebagaimana yang dapat dijalankan oleh BUMN (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 130). d. Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Daerah Pendirian BUMD mengemban misi sebagai agent of development yang multifungsi: perintis, pelayanan publik, carry over tugas pemerintah, membuka lapangan pekerjaan, serta mencari laba untuk mengisi kas daerah (Munawar Kholil, 2009: 33). BUMD harus memiliki orientasi dalam menjalankan kegiatan usahanya, karena sebagai badan usaha yang berbadan hukum harus memiliki tujuan tertentu, dan tujuan badan hukum merupakan objek yang dilindungi oleh hukum (Abdulkadir Muhammad, 2010: 101). Seyogianya, BUMD memiliki tujuan bisnis, selain memiliki tujuan sosial sebagai tujuan pemerintah daerah kepada rakyatnya di daerah (Dijan Widijowati, 2012: 88). Secara teoritis, Prabawa Utama sebagaimana dikutip oleh Arifiati Dian Mayangsari mengemukakan bahwa untuk menetapkan tujuan daripada
Perusahaan
Daerah
penggolongannya sebagai berikut:
dapat
dicermati
berdasarkan
57
1) Perusahaan Daerah yang bersifat menyelenggarakan kepentingan umum, yakni perusahaan yang dibentuk oleh pemerintah daerah dengan prinsp pokok mencari keuntungan untuk mengisi kas daerah akan tetapi perlu juga diperhatikan kesejahteraan dan ketentraman penduduk dengan menjaga jangan sampai penduduk dengan adanya perusahaan itu kian menjadi tidak tentram. 2) Perusahaan Daerah bersifat ekonomi, artinya bahwa perusahaan ini tidak melayani
kepentingan penduduk secara
langsung dan
berorientasi untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya (Arifiati Dian Mayangsari, 2010: 22). Secara normatif, tujuan pendirian BUMD dapat dicermati dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan pertama yang mengatur ialah Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Perusahaan Daerah yang berbunyi sebagai berikut: (1) Perusahaan Daerah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat: a. memberi jasa; b. menyelenggarakan kemanfaatan umum; dan c. memupuk pendapatan. (2) Tujuan Perusahaan Daerah ialah untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya dalam rangka ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengutamakan industrialisasi dan ketenteraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat adil dan makmur. Tujuan pendirian BUMD selanjutnya dapat diketahui dengan menilik Lampiran Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perubahan Badan Usaha Milik Daerah Kedalam Dua Bentuk Perusahaan Umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana disajikan berikut ini: A. Perusahaan Umum Daerah (Public Corporation/Service) Disingkat Perumda. 1. Maksud tujuan dan sifat usaha adalah mengutamakan penyelenggaraan kemanfaatan umum (public service) di
58
samping mencari keuntungan sebagai sumber pendapatan asli daerah, dengan tetap berpegang teguh pada: a. syarat-syarat efisiensi dan efektivitas; b. pinsip-prinsip ekonomi perusahaan; dan c. pelayanan yang baik kepada masyarakat. B. Perusahaan Perseroan Daerah Disingkat Perseroda. 1. Maksud dan tujuan usahanya adalah untuk memupuk keuntungan dalam arti baik pelayanan dan pembinaan organisasinya harus secara efektif dan efisien dengan orientasi bisnis. Regulasi terbaru yang materi muatannya juga mengatur mengenai BUMD ialah UU Pemerintahan Daerah. Tujuan pendirian BUMD menurut Pasal 331 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut: Pendirian BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian Daerah pada umumnya; b. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik, dan potensi Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; dan c. memperoleh laba dan/atau keuntungan. Dua bentuk hukum BUMD (Perusahaan umum Daerah dan Perusahaan
Perseroan
Daerah)
sebagaimana
diatur
dalam
UU
Pemerintahan Daerah memiliki semangat pendirian yang berbeda. Perusahaan
umum
Daerah
lebih
ditekankan
tujuannya
untuk
memaksimalkan pelayanan publik di samping memperoleh keuntungan, sementara Perusahaan Perseroan Daerah lebih ditujukan untuk memupuk keuntungan (Munawar Kholil, 2009: 33). Hal yang demikian juga dikemukakan oleh Adrian Sutedi, bahwasanya Perusahaan Perseroan Daerah orientasi sepenuhnya ialah profit motive dan harus memberikan kontribusi kepada pemilik dalam hal ini pemerintah daerah dalam bentuk deviden sebagai sumber PAD, sementara Perusahaan umum Daerah sifatnya adalah public service yang ukuran kinerjanya ditunjukkan oleh peningkatan kualitas layanan dan pendapatan yang diperoleh harus full recovery cost, dengan sedikit mungkin subsidi yang diberikan pemerintah,
59
namun profit bukanlah satu-satunya tujuan dalam badan hukum ini, melainkan benefit merupakan bagian dari sasaran yang diberikan dalam ukuran tertentu (Adrian Sutedi, 2009: 219). 4. Tinjauan tentang Bank Perkreditan Rakyat a. Pengaturan Bank Perkreditan Rakyat Pengaturan perbankan di Indonesia mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal tersebut diawali dengan diberlakukannya UndangUndang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, yang kemudian diadakan pembaruan melalui berbagai kebijakan seperti Paket Juni (Pakjun) 1983, Paket Oktober (Pakto) 1988, Pakjun 1990, Paket Februari 1991, puncaknya pada tahun 1992 dikeluarkannya UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012: 8). Penyempurnaan terhadap landasan operasional perbankan yang terakhir ialah melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya disingkat UU Perbankan. Secara
normatif,
substansi
daripada
UU
Perbankan
menyempurnakan dan merestrukturisasi tata perbankan nasional terkait dengan: penyederhanaan jenis bank dan ruang lingkup kegiatan usahanya, persyaratan perizinan dan kepemilikan bank, pengawasan pemerintah atas bank melalui kebijakan, serta meningkatkan profesionalisme atas pengelolaan bank (Michael S. Bannett, 2014: 450). Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perbankan membagi jenis bank menjadi Bank Umum dan BPR. Pembagian jenis bank tersebut hanya mendasarkan pada segi fungsi bank, dimaksudkan untuk memperjelas ruang lingkup dan batasan kegiatan yang dapat diselenggarakan (Muhammad Djumhana, 2000: 87). Sementara dalam tataran praktis, terdapat 2 (dua) jenis BPR yang berkembang, yaitu BPR Konvensional dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disingkat BPRS. Kegiatan usaha, pendirian, kepemilikan, bentuk hukum, penggabungan usaha, dan kepengurusan BPR Konvensional diatur dalam UU Perbankan dan beberapa peraturan
60
pelaksanaannya seperti: Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/SEOJK.03/2015 tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah. Sementara Kegiatan usaha, pendirian, kepemilikan, bentuk hukum, penggabungan usaha, dan kepengurusan BPRS diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.03/2016 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. b. Pengertian Bank Perkreditan Rakyat Pasal 1 angka 4 UU Perbankan menjelaskan, “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Perbedaan antara Bank Umum dengan BPR ialah pada BPR memiliki usaha yang lebih sempit dibandingkan Bank Umum, yang mana kegiatan usaha BPR telah diatur secara limitatif oleh UU Perbankan (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012: 164). Mecermati pengertian BPR sebagaimana diatur dalam UU Perbankan, berdasarkan jenis kegiatannya BPR dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: 1) Bank
Perkreditan
melaksanakan
Rakyat
kegiatan
Konvensional,
usahanya
secara
yaitu
bank
konvensional,
yang dan
kegiatannya tidak tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
61
2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Jamal Wiwoho, 2011: 55). Ditinjau dari kepemilikan modalnya, dikenal adanya BPR Daerah. Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah menjelaskan, “Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disebut BPR Daerah adalah Bank Perkreditan Rakyat yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan”. Pada prinsipnya, kegiatan usaha daripada BPR Daerah sama seperti BPR sebagaimana diatur dalam UU Perbankan, hanya saja yang membedakan ialah modal daripada BPR Daerah sebagian besar dimiliki oleh pemerintah daerah yang berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan, sementara modal BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Perbankan dapat berasal dari Warga Negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya Warga Negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya. c. Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat Bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, dengan aktivitasnya yaitu menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan (funding), kemudian diputarkan kembali atau dijualkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit (lending) (Kasmir, 2004: 23-24). Sebagai lembaga keuangan bank, BPR melaksanakan kegiatan usaha yang dirinci secara limitatif dalam UU Perbankan. Hal tersebut dapat dicermati dalam Pasal 13 UU Perbankan yang menyatakan sebagai berikut: Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi: a. menghimpun dana dalam masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. memberikan kredit;
62
c. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah; dan d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. Kegiatan usaha daripada BPR Daerah diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah yang dinyatakan sebagai berikut: Kegiatan Usaha BPR Daerah meliputi: a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan; b. memberikan kredit dan sekaligus melaksanakan pembinaan terhadap pengusaha mikro kecil; c. melakukan kerjasama antar BPR Daerah dengan lembaga keuangan atau lembaga lainnya; d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, dan/atau tabungan di bank lainnya; e. membantu Pemerintah Daerah melaksanakan sebagian fungsi pemegang kas daerah sesuai peraturan perundang-undangan; f. menjalankan usaha perbankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah dengan memperhatikan Fatwa Dewan Syariah Nasional; dan g. menjalankan usaha perbankan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa kegiatan usaha yang dilarang untuk dijalankan oleh BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Perbankan yang menyatakan sebagai berikut: Bank Perkreditan Rakyat dilarang: a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; c. melakukan penyertaan modal; d. melakukan usaha perasuransian; dan e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
63
d. Bentuk Hukum Bank Perkreditan Rakyat Secara normatif, UU Perbankan mewajibkan setiap badan usaha yang bergerak di bidang perbankan untuk memiliki bentuk hukum. Bentuk badan hukum perlu untuk ditentukan agar dalam menjalankan kegiatan usahanya memiliki landasan gerak yang kokoh, aman, dan pasti terutama dalam menghadapi adanya aksi dari luar (Sunyoto, 2002: 147). Bentuk hukum menunjukkan legalitas perusahaan itu sebagai badan usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi, yang termuat dalam akta pendirian atau surat izin usaha (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2001: 4). Bentuk hukum Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan adalah sebagai berikut: Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari: a. Perusahaan Daerah; b. Koperasi; c. Perseroan Terbatas; atau d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Bidang usaha jasa perbankan mengenal dua sistem, yaitu sistem perbankan satuan (unit banking) dan sistem perbankan cabang (branch banking system) (Muhammad Djumhana, 2000: 85). Adapun yang dianut di Indonesia adalah sistem perbankan cabang, yaitu satu bank dimungkinkan mempunyai beberapa cabang tetapi masih dalam satu bentuk badan hukum tidak merupakan sebagai badan hukum tersendiri, dengan kata lain organisasi, kepemilikan, dan kepengurusannya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kantor pusatnya (Muhammad Djumhana, 2000: 85). Hal tersebut termuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 19 UU Perbankan yang menyatakan, “Kantor Cabang adalah kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana kantor cabang tersebut melakukan usahanya”.
64
e. Pengukuhan Badan Kredit Kecamatan menjadi Bank Perkreditan Rakyat Ketika industri perbankan memiliki pijakan yuridis UndangUndang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, dikenal adanya bank-bank sekunder (rural bank) seperti: Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan sejenisnya (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2010: 256). Lembagalembaga perbankan yang lebih kecil dari BPR tersebut notabene belum berbentuk badan hukum, namun telah banyak membantu dan masih diperlukan masyarakat, juga karena letaknya yang tersebar di seluruh penjuru tanah air dan persyaratan yang mudah dipenuhi oleh masyarakat yang membutuhkan, sehingga perlu untuk diakui keberadaannya (Muhammad Djumhana, 2000: 218). Pasca diberlakukannya UU Perbankan memberikan landasan hukum yang jelas bagi bank-bank desa sebagai salah satu jenis bank selain Bank Umum. Ketentuan Pasal 58 UU Perbankan mengatur bahwa lembaga perkreditan desa tersebut diberikan status sebagai BPR, yang mana persyaratan dan tata cara pemberian status tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Jamal Wiwoho, 2011: 61). Bank-bank desa sebagaimana dimaksud diberi keleluasaan untuk melakukan merger dengan Bank Umum dan Bank Pembangunan, atau merger antar bank desa untuk ditingkatkan statusnya menjadi BPR atau Bank Umum agar dapat meningkatkan kemampuannya (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012: 52). Seiring perkembangannya, terdapat 2 (dua) peraturan derivat yang memberikan kejelasan status dan keseragaman dalam hal pengaturan, pengawasan, pembinaan, dan pengembangan lembaga keuangan mikro. Pertama, Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri,
65
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 351.1/KMK.010/2009; Nomor 900-639A Tahun 2009; Nomor
01/SKB/M.KUKM/IX/2009;
Nomor
11/43A/KEP.GBI/2009
tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro, yang memutuskan sebagai berikut: Beralihnya lembaga keuangan mikro seperti: Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), BKD, Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), LPN, BKK, Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Kelompok Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) PNPM Mandiri Perkotaan, Kelompok Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM Mandiri Pedesaan, Kelompok Unit Program Pelayanan Keluarga Sejahtera (UPPKS), Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD), Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan/atau lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu, menjadi BPR atau Koperasi, atau Badan Usaha Milik Desa, atau lembaga-lembaga keuangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat Dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Berdasarkan konsiderannya dijelaskan bahwa fungsi dan peran Badan Kredit Desa masih diperlukan keberadaannya oleh masyarakat desa dalam rangka menciptakan sistem keuangan yang inklusif. Diperlukan upaya penguatan kelembagaan dan pengawasan terhadap Badan Kredit Desa. Pada awalnya Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK, KURK, LPK, BKPD, dan/atau lembaga lain yang dipersamakan dengan itu yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dinyatakan sebagai BPR. Dengan karakteristik operasional BKD yang unik dan tidak sama dengan BPR pada umumnya, BKD yang diberikan status sebagai BPR dikecualikan dari setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi BPR. Setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, BKD yang diberikan status sebagai BPR tidak akan dikecualikan dari setiap
66
ketentuan yang berlaku bagi BPR pada umumnya. Peraturan ini berimplikasi bahwa BKD yang tidak memenuhi ketentuan sebagai BPR akan dicabut atau diubah kegiatan usaha atau badan usahanya menjadi kegiatan usaha atau badan usaha lain selain BPR, yaitu dengan bertransformasi menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) atau unit usaha dari BUMDesa yang sudah ada di desa
dimana
BKD
berkedudukan
dan
menjalankan
kegiatan
operasionalnya. Adapun pemenuhan ketentuan BKD untuk menjadi BPR diatur pada Pasal 2 yang menyatakan, “BKD wajib memenuhi ketentuan BPR mencakup antara lain kelembagaan, prinsip kehati-hatian, pelaporan dan transparansi keuangan, serta penerapan standar akuntansi bagi BPR paling lambat tanggal 31 Desember 2019”. Ruang lingkup peraturan ini terbatas pada BKD yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan sehingga diberikan status sebagai BPR oleh UU Perbankan. Lembaga kredit desa atau lembaga keuangan mikro berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana dengan sasaran utama yaitu golongan ekonomi lemah yang belum terjangkau oleh bank umum seperti: pengusaha kecil, petani, nelayan, peternak, dan lain sebagainya, untuk dapat
mewujudkan
pemerataan
layanan
perbankan,
pemerataan
kesempatan berusaha, dan pemerataan pendapatan (Jamal Wiwoho, 2011: 60). BKK sebagai salah satu lembaga perbankan mikro di desa mengemban tugas untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat kecil yang membutuhkan bantuan dana di pasar-pasar dan di desa-desa, dan dalam perkembangannya telah menghimpun dana dari masyarakat berupa simpanan wajib dan simpanan sukarela (Tamades) (I Gde Kajeng Baskara, 2013: 120). Adapun tujuan daripada BKK antara lain: 1) menunjang
kelancaran
penyediaan
sarana
produksi
terutama
permodalan dalam rangka pembangunan daerah pada umumnya, dan pembangunan desa pada khususnya; dan
67
2) menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi pengusaha golongan ekonomi lemah di pedesaan (Arky Dhewi Wulandari, 2010: 42-43). Sementara itu, mengenai fungsi daripada BKK antara lain sebagai berikut: 1) meningkatkan permodalan dengan sistem perkreditan yang mudah, murah, dan mengarah pada masyarakat terutama pedesaan; 2) membentuk modal masyarakat yang diarahkan pada usaha peningkatan produksi; 3) melindungi masyarakat pedesaan dari pengaruh pelepas uang (money leaders); dan 4) membimbing masyarakat pedesaan untuk lebih mengenal dan memahami asas-asas ekonomi dan permodalan (Arky Dhewi Wulandari, 2010: 42-43). Pengukuhan terhadap BKK menjadi BPR berimplikasi pada modal minimum yang harus dimiliki BKK sesuai dengan ketentuan mengenai modal minimum BPR (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012: 52). Sebagai lembaga intermediasi kini BKK dapat menjalankan usaha yang dijalankan oleh BPR sesuai dengan klasifikasi modalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha Dan Wilayah Jaringan Kantor Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Modal Inti sebagai berikut: Tabel 2. Kegiatan Usaha BKK pasca Pengukuhan menjadi BPR BPR Berdasarkan Kegiatan
Jenis Kegiatan Usaha
Usaha (BPRKU) BPRKU 1 (Modal Inti kurang 1. penghimpunan dana dalam bentuk: dari Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)).
a. simpanan
berupa
deposito
berjangka, tabungan, dan/atau bentuk
lainnya
yang
dipersamakan dengan itu; dan b. pinjaman yang diterima;
68
2. penyaluran dana; 3. penempatan dana dalam bentuk: a. giro,
deposito
sertifikat
berjangka,
deposito,
dan/atau
tabungan pada bank umum dan bank umum syariah; b. deposito berjangka, dan/atau tabungan pada BPR dan BPRS; c. Sertifikat Bank Indonesia; 4. kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan usaha BPR dalam bentuk: a. kegiatan
agen
layanan
keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai); b. layanan pembayaran gaji bagi nasabah BPR; c. kegiatan
kerjasama
dalam
rangka transfer dana
yang
terbatas pada penerimaan atas pengiriman
uang dari
luar
negeri; d. kegiatan
pemasaran
Uang
Elektronik dari penerbit lain; e. pemindahan dana baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah melalui rekening BPR di bank umum; f. kegiatan perusahaan
kerjasama asuransi
mereferensikan
dengan untuk produk
69
asuransi kepada nasabah yang terkait dengan produk BPR; g. menerima titipan dana dalam rangka
pelayanan
pembayaran tagihan
jasa
tagihan
seperti
pembayaran
listrik,
telepon, air, dan pajak; dan h. kegiatan sebagai penerbit kartu ATM bagi BPRKU 1 yang memiliki modal inti sebesar Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). BPRKU 2 (Modal Inti paling 1. kegiatan sedikit Rp 15.000.000.000,00
usaha
yang
dapat
dilakukan oleh BPRKU 1;
(lima belas miliar rupiah) 2. kegiatan usaha penukaran valuta sampai dengan kurang dari Rp 50.000.000.000,00
asing; dan
(lima 3. kegiatan lainnya untuk mendukung
puluh miliar rupiah)).
kegiatan usaha BPR dalam bentuk: a. kegiatan sebagai penerbit Kartu Debet; b. kegiatan sebagai penerbit Uang Elektronik.
BPRKU 3 (Modal Inti paling 1. kegiatan sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)).
usaha
yang
dapat
dilakukan oleh BPRKU 2; dan 2. kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan usaha BPR dalam bentuk: a. penyediaan layanan Electronic Banking; dan b. kegiatan sebagai penyelenggara layanan keuangan tanpa kantor
70
dalam
rangka
keuangan
inklusif (Laku Pandai). Fungsi yang terpenting dari BKK adalah sebagai salah satu kelengkapan otonomi daerah di bidang keuangan atau perbankan, dengan tugas menjalankan usaha sebagai BPR, guna meningkatkan sumber PAD (Moch. Husnan, 1999: 63-64). Otonomi daerah menghendaki agar daerah mempunyai kemandirian dalam mengurus urusan rumah tangga daerah dengan tetap berada dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kairul Muluk M.R., 2007: 3). Salah satu upaya untuk meningkatkan kemandirian daerah di bidang keuangan adalah mendirikan lembaga keuangan milik daerah berbentuk Perusahaan Daerah dengan tujuan untuk membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah di segala bidang serta sebagai salah satu sumber PAD dalam rangka peningkatan taraf hidup rakyat (Arifiati Dian Mayangsari, 2010: 31-32).
71
B. Kerangka Pemikiran 1. Bagan Kerangka Pemikiran PD. BPR-BKK
BUMD
Bentuk Badan Hukum
Pasal 21 UU Perbankan ayat (1) Bentuk hukum Bank Umum: a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; atau c. Perusahaan Daerah. ayat (2) Bentuk hukum BPR: a. Perusahaan Daerah; b. Koperasi; c. Perseroan Terbatas; atau d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan PP
Pasal 331 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah Bentuk hukum BUMD terdiri atas Perusahaan umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah.
Perbedaan Pengaturan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori
Prinsiples of Legality
Sinkronisasi Horizontal
Bentuk Badan Hukum Ideal bagi PD BPRBKK Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran
72
2. Penjelasan Kerangka Pemikiran: Bagan kerangka pemikiran sebagaimana telah disajikan sebelumnya merupakan penjelasan mengenai alur logika hukum penulis untuk menjawab permasalahan penelitian dalam penulisan hukum (skripsi) ini. Penulisan hukum (skripsi) ini mengkaji mengenai sinkronisasi pengaturan bentuk badan hukum yang pengaturannya terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah). Sinkronisasi atas pengaturan mengenai bentuk badan hukum tersebut akan memberikan preskripsi berupa alternatif bentuk badan hukum yang ideal bagi PD. BPR-BKK agar dapat lebih optimal dalam menjalankan fungsi, pengembangan, dan pengelolaannya. Pasca diberlakukannya UU Perbankan, beberapa lembaga keuangan desa yang tergolong ke dalam jenis rural bank seperti: Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan lembaga-lembaga lain yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan persyaratan dan tata cara yang ditentukan dalam peraturan pemerintah. Pengukuhan BKK menjadi BPR harus dilakukan agar dalam menjalankan kegiatan usahanya memperoleh izin atau legalitas sebagai BPR. BKK harus melakukan peleburan atau penggabungan diri (merger, akuisisi, atau konsolidasi) dengan BKK atau BPR lain, atau bahkan ditingkatkan statusnya menjadi Bank Umum, dengan maksud untuk menjamin kesatuan dan keseragaman dalam pembinaan, pengawasan, penguatan kelembagaan, serta struktur permodalannya. Kehadiran UU Perbankan memberikan kejelasan status dan memperkuat struktur kelembagaan bagi berbagai lembaga perbankan mikro di desa yang notabene memiliki permasalahan dalam aspek permodalan.
73
Sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan, BKK dapat memilih salah satu alternatif bentuk hukum yaitu: a. Perusahaan Daerah; b. Koperasi; atau c. Perseroan Terbatas. Jika BKK tidak memiliki bentuk badan hukum, maka BKK tidak dapat menjalankan kegiatan usaha sebagaimana yang dijalankan BPR. Menyikapi hal tersebut, tidak sedikit BKK yang melakukan penggabungan atau peleburan dengan BKK atau BPR lain, dan memilih alternatif bentuk hukum Perusahaan Daerah, sehingga melahirkan suatu badan usaha baru yaitu Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (PD. BPR-BKK). Pemilihan bentuk hukum Perusahaan Daerah merupakan usaha pemerintah daerah sebagai personifikasi negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PD. BPR-BKK membentuk modal masyarakat dengan mengandalkan simpanan wajib, juga simpanan dari masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito untuk mengestimasikan pembentukan koperasi-koperasi kredit desa. PD. BPR-BKK juga memberikan kredit dengan sistem perkreditan yang mudah dan murah untuk masyarakat pedesaan dan pasar-pasar yang diarahkan untuk peningkatan kegiatan usaha yang produktif seperti: produksi pertanian, industri atau kerajinan rakyat, produksi perikanan, perdagangan, dan lain sebagainya. PD. BPR-BKK merupakan BUMD di bidang perbankan yang memang erat kaitannya dengan usaha pemerintah daerah dalam membangun desa melalui peningkatan perekonomian masyarakatnya. Otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangga daerahnya sendiri secara mandiri. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pembangunan daerah yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Tidak dapat dimungkiri bahwa BUMD merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan hal tersebut. Pemerintah sebagai regulator membuat kebijakan yang mengakomodir kelangsungan kegiatan usaha daripada BUMD, yaitu melalui UU Pemerintahan Daerah. Pasal 331 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah mengatur bahwa BUMD dapat memilih bentuk badan hukum antara lain: a. Perusahaan Umum Daerah; atau b. Perusahaan Perseroan Daerah. Mencermati
74
rumusan ketentuan tersebut, tentunya sangat kontradiktif dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan. Artinya terdapat hubungan yang tidak fungsional dan inkonsistensi dalam hal pengaturan bentuk badan hukum antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Pasal UU Perbankan mengatur bahwa pemerintah daerah dapat mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum atau BPR. Oleh karena badan usaha yang modalnya untuk sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh daerah merupakan BUMD, maka BUMD di bidang perbankan juga terikat pada regulasi yang mengatur mengenai BUMD, yang dalam hal ini adalah UU Pemerintahan Daerah. Perlu dilakukannya sinkronisasi atau penyesuaian pengaturan mengenai bentuk hukum BUMD antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Sistem hukum suatu negara dapat dikatakan ideal jika memenuhi asas (principles of legality), yang salah satunya yaitu suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain serta harus adanya kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Ketidaksesuaian pengaturan bentuk badan hukum antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah mencerminkan kegagalan negara dalam mewujudkan suatu sistem hukum yang ideal. Ketika terdapat dua atau lebih aturan hukum yang dalam hierarki peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan yang sama, mengatur mengenai hal yang sama, tetapi terdapat perbedaan pengaturan, maka harus dilakukan sinkronisasi secara horizontal. Sudah semestinya materi muatan mengenai bentuk badan hukum dalam UU Perbankan disesuaikan dengan pengaturan dalam UU Pemerintahan Daerah. Konsekuensi yuridisnya adalah setiap BUMD di bidang perbankan, termasuk PD. BPR-BKK harus menyesuaikan bentuk badan hukumnya sebagaimana diatur oleh UU Pemerintahan Daerah, yaitu apakah berbentuk hukum Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. Setiap BUMD termasuk PD. BPR-BKK saat ini telah banyak menghadapi tantangan dengan kompleksitas dinamika perkembangannya. Bentuk hukum berupa Perusahaan Daerah sebagaimana diatur dalam UU Perusahaan Daerah dan UU Perbankan beserta segala peraturan pelaksanaannya dirasa sudah tidak relevan
75
untuk diaplikasikan kepada BUMD karena telah menimbulkan distorsi dalam pengelolaan dan pengembangannya, sehingga perlu dilakukan penyesuaian dengan UU Pemerintahan Daerah sebagai regulasi terbaru. Hal tersebut tentunya sesuai dengan asas dalam ilmu perundang-undangan yaitu asas lex posterior derogat legi priori. Asas tersebut menghendaki bahwa aturan hukum yang lebih baru dapat mengesampingkan aturan hukum yang lama. UU Pemerintahan Daerah sebagai aturan hukum yang lebih baru dapat mengesampingkan UU Perbankan sebagai undang-undang yang terdahulu. Setelah proses sinkronisasi secara horizontal mengenai pengaturan bentuk badan hukum dalam UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah dilakukan, akan dianalisis formulasi bentuk badan hukum ideal bagi PD. BPRBKK. PD. BPR-BKK sebagai salah satu BUMD di bidang perbankan yang memikili fungsi untuk menggali potensi-potensi ekonomi daerah guna menunjang penerimaan bagi daerah dan menyejahterakan rakyat banyak, dalam melangsungkan kegiatan usahanya sudah barang tentu memerlukan landasan gerak yang kokoh. Setiap jenis bentuk badan hukum tentunya memiliki mekanisme pengelolaan yang berbeda, sehingga menjadi sangat penting untuk menentukan bentuk badan hukum yang tepat untuk diaplikasikan kepada PD. BPR-BKK agar dapat mengoptimalkan pengembangan dan pengelolaannya serta dapat memenuhi fungsinya dengan sebagaimana mestinya.