BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori atau Konseptual
1.
Pembuktian a.
Pengertian Pembuktian Pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Pembuktian dalam arti luas berarti memperkuat kesimpulan Hakim dengan syaratsyarat bukti yang sah. Membuktikan dalam arti yang terbatas hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh Penggugat itu dibantah oleh Tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan, maka kebenaran dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan (Ali Afandi, 1983:188). Sudikno Mertokusumo (2002:140) dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengatakan bahwa: Membuktikan mengandung beberapa pengertian yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan dalam arti konvensional, membuktikan berarti juga memberi kepastian hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya. Membuktikan dalam arti yuridis berarti memberikan dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Subekti
(1997:95)
dalam
bukunya
Hukum
Pembuktian
mengatakan bahwa “Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”.
Teguh
Samudra
(2004:12)
mendefiniskan
“Membuktikan berarti menjelaskan kedudukan hukum yang sebenarnya berdasarkan keyakinan Hakim kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa”. Definisi lain menurut Ismet Baswedan (2004:26) “Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses
11
12
suatu perkara karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan”. Melihat dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh pihak berperkara untuk memberikan dasar kepada Hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang telah didalilkan. b.
Yang Harus Dibuktikan Pihak Penggugat dalam menyusun gugatan, tidak dapat langsung mengemukakan apa yang menjadi tututannya tetapi Penggugat terlebih dahulu harus menuliskan posita yang berisi kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami pihak penggugat. Antara posita dengan petitum harus ada hubungannya, sebab posita dipergunakan sebagai dasar alasan tuntutan untuk menuntut pemulihan hak Penggugat yang telah dilanggar oleh Tergugat. Bahwa yang dimaksud ialah apabila peristiwa-peristiwanya diterangkan demikian, maka tuntutannnya harus demikian. Peristiwa yang diuraikan dalam gugatan karena menjadi dasar dari tuntutan, perlu dibuktikan di persidangan dengan menggunakan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal ini sehubungan dengan ketentuan Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg menyebutkan sebagai berikut: “Barang siapa mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang itu, harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu”. Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa yang harus dibuktikan adalah adanya hak atau adanya kejadian dari apa yang telah didalilkan pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya dalam gugatan perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus, di sini yang harus dibuktikan adalah peristiwa perkawinan antara penggugat dan tergugat, kemudian pembuktian tentang adanya pertengkaran suami istri yang terus menerus sehingga mereka sulit hidup rukun.
13
c.
Yang tidak perlu dibuktikan Pasal 163 HIR dan Pasal 283 RBg menghendaki peristiwa yang didalilkan seseorang untuk dibuktikan di persidangan, akan tetapi seorang Hakim dalam menangani perkara perdata wajib menyeleksi terlebih dahulu peristiwa mana yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara, sebab tidak semua peristiwa harus dibuktikan di persidangan. Adapun hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah sebagai berikut (Gatot Supramono, 1993:54): 1) Dalam putusan verstek Acara putusan verstek yang dijatuhkan diluar hadirnya pihak tergugat menurut pasal 125 ayat (1) HIR setelah tergugat dipanggil secara patut selama tiga kali berturut-turut tetapi tidak datang menghadap ke persidangan dan tidak juga menyuruh orang lain untuk mewakilinya, maka Hakim menjatuhkan putusan verstek. Hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut, tidak diperlukan pembuktian. Hakim hanya diperintahkan untuk melihat apakah gugatan penggugat melawan hak atau tidak beralasan. 2) Gugatan diakui pihak lawan Jawaban yang disampaikan tergugat dipersidangan akan tampak apakah jawaban tersebut isinya menyangkal atau mengakui gugatan penggugat. Hukum Acara Perdata sikap tidak menyangkal dipersamakan dengan mengakui (Subekti, 1997:96). Gugatan yang sudah diakui pihak lawan tidak perlu dibuktikan, karena pengakuan sudah berarti membenarkan dalil gugatan dan pengakuan sudah merupakan salah satu alat bukti menurut undang-undang (Chidir Ali, 1981:44). Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 8 K/Sip/1964 tanggal 9 Juni 1964 gugatan yang tidak di bantah dinilai penggugat telah berhasil membuktikan dalilnya dengan tidak dibantah oleh tergugat.
14
3) Diketahui Hakim sendiri di muka sidang Tugas Hakim di persidangan adalah memimpin jalannya persidangan. Hakim dalam waktu memimpin jalannya persidangan akan melihat segala sesuatu yang terjadi di persidangan. Apa yang telah dilihat Hakim di persidangan tidak perlu dibuktikan lagi, hal ini sejalan dengan arti pembuktian dimana pihak yang berperkara memberikan dasar kepada Hakim untuk memperoleh kepastian akan kebenaran suatu peristiwa, karena ada sesuatu yang sudah diketahui Hakim sewaktu memimpin jalannya persidangan maka hal tersebut tidak perlu dibuktikan. 4) Hal yang telah diketahui oleh umum Hal-hal yang diketahui oleh umum pada dasarnya tidak perlu dibuktikan di persidangan. Misalnya siang hari lebih terang daripada malam hari, alat pembayaran di negara kita berupa uang rupiah.
2.
Alasan Perceraian Putusnya perkawinan diatur dalam: a.
Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
b.
Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
c.
Pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
d.
Pasal 133 sampai dengan Pasal 128 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Putusnya perkawinan yang diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 karena: a.
Kematian
15
b.
Perceraian
c.
Atas Keputusan Pengadilan. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa alasan-alasan yang dibenarkan untuk melakukan perceraian adalah: a.
Zina yakni salah satu pihak berbuat zina.
b.
Ditinggalkan dengan sengaja yakni salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut.
c.
Penghukuman melebihi 5 (lima) tahun yakni salah satu pihak mendapat hukuman penjara melebihi 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan setelah perkawinan berlangsung.
d.
Penganiyaan berat yakni salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan.
e.
Salah satu mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran yang tidak ada harapan dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangganya. Alasan-alasan perceraian yang tertuang dalam Pasal 116 Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut: a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
16
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri.
f.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan (syiqaq).
g.
Suami melanggar taklik talak.
h.
Peralihan
agama
atau
murtad
yang
menyebabkan
terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
3. Alat bukti a.
Alat bukti di Pengadilan Agama Ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua oleh Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyatakan “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undangundang ini”. Pengadilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan
perubahan kedua oleh Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama merupakan undang-undang khusus, sedangkan Hukum Acara Perdata dalam HIR dan RBg merupakan undang-undang umum. Pembuktian yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua oleh Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyangkut sengketa perkawinan terdiri dari: 1) Pembuktian dalam permohonan cerai talak (Pasal 70). 2) Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara (Pasal 74).
17
3) Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri (Pasal 75). 4) Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq (Pasal 76). 5) Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan zina (Pasal 87) (Gatot Supramono, 1993:54). Gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq adalah gugatan yang didasarkan dengan adanya perselisiahan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri (Bambang Waluyo, 1996:85). Syiqaq diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, disyaratkan bahwa antara suami dan istri harus terus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka sebagai alat bukti harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang yang dekat dengan suami atau istri. Keterangan saksi di sini berbeda dengan keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) HIR dan Pasal 146 HIR yang melarang keluarga sedarah dan semenda untuk didengar sebagai saksi. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua oleh UndangUndang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama dinyatakan setelah mendengar keterangan saksi tentang persengketaan suami dan istri, Pengadilan dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masingmasing pihak atau orang lain menjadi hakam. Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. (Bambang Waluyo, 1996:86). Jadi peran hakam dapat dikatakan sebagai pendamai.
18
b.
Alat bukti di Pengadilan Negeri Menurut sistem Hukum Acara Perdata Indonesia, Majelis Hakim terikat dengan alat bukti yang diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti bahwa Majelis Hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasar pada alat bukti yang telah diatur oleh undang-undang. Macam-macam alat bukti telah ditentukan dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW yaitu: 1) Alat bukti tertulis (surat) Dasar hukum alat bukti tertulis adalah Pasal 138, 165, 167 HIR, 164,285,305 Rbg dan Pasal 1867-1894 KUHPerdata. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Sudikno mertokusumo, 2002:151). Unsur-unsur tersebut bersifat kumulatif, sehingga apabila ada salah satu unsur yang tidak ada, maka bukanlah merupakan surat. Unsur memuat tanda bacaan misalnya, ketika sesuatu tidak memuat tanda baca contohnya foto, gambar, dan lain-lain. Sesuatu tersebut bukanlah sebuah surat. Begitu pula dengan unsur yang mengandung buah pikiran dan unsur yang dipergunakan sebagai pembuktian. Alat bukti tertulis atau surat dapat dibagi menjadi akta dan surat-surat lain yang bukan akta. “Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”. Sedangkan suratsurat lain yang bukan akta adalah “semua alat bukti tertulis yang memenuhi unsur untuk adanya alat bukti tertulis, tetapi tidak memenuhi unsur-unsur untuk diakuinya sebagai akta”. Akta kemudian dapat dibagi lagi menjadi akta autentik dan akta di bawah tangan. Akta autentik adalah akta yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja
19
di buat tidak di hadapan pejabat yang berwenang untuk keperluan pembuktian (Sudikno Mertokusumo, 2002:152). 2) Alat bukti saksi Keterangan saksi atau suatu kesaksian (Sudikno Mertokusumo, 2002:159) adalah “kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan”. Menurut Gemala Dewi (2006:135) “saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu”. Alat bukti saksi dalam Hukum Acara Perdata diatur dalam Pasal 139-157 HIR, Pasal 168-172 HIR Jo.Pasal 165-179 RBg, Pasal 305-309
RBg Jo.Pasal
1895
KUHPerdata,
Pasal
1902-1908
KUHPerdata dan Pasal 1912 KUHPerdata. Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka persidangan tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan alami sendiri (Abdulkadir Muhammad, 2008: 130). Kesaksian bukanlah suatu alat bukti yang sempurna dan mengikat Hakim, tetapi menjadi pertimbangan Hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, Hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi. Saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak agar dapat didengar sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat formil dan materiil. Adapun syarat formil dan materiil sebagai berikut: Syarat formil alat bukti saksi (Damang, 2011:3): a)
Memberikan keterangan didepan sidang Pengadilan. Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi.
b) Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri, menyatakan kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi. c)
Mengangkat sumpah menurut Agama yang dipeluknya.
20
Syarat materiil alat bukti saksi: a)
Keterangan yang diberikan mengenai peristiwa yang dialami, didengar, dan dilihat sendiri oleh saksi.
b) Keterangan
yang
diberikan
harus
mempunyai
sumber
pengetahuan yang jelas. c)
Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu dengan yang lain. Setiap kesaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi
(Pasal 171 ayat (1) HIR/Pasal 308 ayat (1) RBg/Pasal 1907 KUHPerdata). Berdasarkan Pasal 171 HIR/Pasal 1907 KUHPerdata keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di persidangan haruslah berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas dan sumber pengetahuan yang dibenarkan oleh hukum. Kesaksian tersebut berdasarkan penglihatan, atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak, tidak cukup jika saksi hanya menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya. Ia harus dapat menerangkan bagaimana ia sampai dapat mengetahuinya. Sebab musabab ia dapat mengetahui peristiwanya harus disebutkan. Pendapat atau dugaan khusus yang timbul karena akal tidak dianggap sebagai kesaksian (Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 RBg/Pasal 1907 KUHPerdata). Keterangan saksi bahwa penggugat dan tergugat sedang sedih, mabuk, mempunyai itikad baik dan sebagainya tidak boleh diterima sebagai kesaksian, karena hal tersebut hanya merupakan kesimpulan atau dugaan saja. Kesaksian hanya diperbolehkan dalam pemberitahuan dari orang yang mengetahui dengan mata kepala sendiri (ratio sciendi). Keterangan saksi yang bukan merupakan pengetahuan dan pegalaman sendiri tidak dapat membuktikan kebenaran persaksiannya. Tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh dinilai dan dimasukkan sebagai alat bukti saksi yaitu pendapat pribadi saksi,
21
dugaan saksi, kesimpulan pendapat saksi, perasaan pribadi saksi dan kesan pribadi saksi. 3) Alat bukti persangkaan Dasar hukum persangkaan yaitu Pasal 173 HIR, Pasal 310 Rbg, dan Pasal 1915 KUHPerdata. Sudikno Mertokusumo (2002:180) berpendapat bahwa “Persangkaan itu sesungguhnya bukanlah merupakan alat bukti karena yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu sendiri, melainkan alat-alat bukti lainnya”.
Persangkaan
dapat
dibedakan
menjadi
dua
yaitu
persangkaan hakim dan persangkaan berdasarkan undang-undang. Persangkaan hakim adalah kesimpulan yang dibuat oleh Hakim berdasarkan alat bukti yang ada untuk membuat suatu putusan. Persangkaan berdasarkan undang-undang adalah persangkaan yang ditetapkan oleh aturan perundang-undangan. Perbedaannya adalah persangkaan hakim ada setelah pemeriksaan perkara, sedangkan persangkaan
berdasarkan
undang-undang
telah
ada
sebelum
pemeriksaan perkara (Sudikno Mertokusumo, 2002:181). 4) Alat bukti pengakuan Dasar hukumnya Pasal 174-176 HIR, Pasal 311-313 Rbg dan Pasal 1923-1928 KUHPerdata. Pengakuan merupakan keterangan sepihak yang tidak memerlukan persetujuan lawan. Sudikno Mertokusumo (2002:183) mengemukakan : Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechttelijke bekentenis) merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh Hakim tidak perlu lagi. Pengakuan yang telah dibuat oleh pihak lawan menyebabkan berakhirnya suatu perkara, sehingga tidak diperlukan lagi melanjutkan pemeriksaan dan lawan tidak perlu lagi membuktikan dalilnya. Hakim dapat membuat putusan berdasarkan pengakuan tersebut, hal ini sesuai
22
dengan tujuan hukum acara perdata yaitu untuk mencari kebenaran formal. Pengakuan sebagai alat bukti dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi, dan pengakuan dengan klausula. Pengakuan murni adalah pengakuan tergugat yang membenarkan seluruh isi gugatan tergugat. Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan tergugat yang disertai sangkalan terhadap sebagian gugatan penggugat tetapi membenarkan sebagian dari isi gugatan tersebut. Kemudian pengakuan dengan klausul yaitu pengakuan tergugat yang membenarkan sebagian dalil penggugat tetapi bersifat membebaskan tergugat dari gugatan penggugat (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:95). 5) Alat bukti sumpah Dasar hukumnya Pasal 155-158, Pasal 177 HIR, Pasal 182185, Pasal 314 RBg dan Pasal 1929-1945 KUHPerdata. Berdasarkan fungsinya sumpah ada dua macam yaitu sumpah promissoir dan sumpah assertoir atau comfirmatoir. Sumpah promissoir adalah sumpah dengan berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sumpah assertoir atau sumpah comfirmatoir adalah sumpah untuk memberikan keterangan untuk meneguhkan benar atau tidaknya sesuatu (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:96). Sumpah sebagai alat bukti dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu sumpah decisoir, sumpah supletoir dan sumpah aesmatoir. Sumpah decisoir yaitu sumpah yang dibebankan kepada salah satu pihak atas permintaan pihak lainnya, dimana sumpah ini memiliki daya kekuatan memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan. Sumpah supletoir adalah sumpah pelengkap yang bersifat melengkapi alat bukti yang sudah ada tetapi belum cukup. Sumpah aestimatoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya. (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:97-98).
23
4.
Asas testimonium de auditu a. Pengertian asas testimonium de auditu Asas testimonium de auditu merupakan kesaksian yang diperoleh dengan tidak melihat, mendengar dan mengalami sendiri secara langsung melainkan melalui orang lain. Penyaksian tersebut diperbolehkan, misalnya pada Hukum Acara Perdata yang dapat menimbulkan suatu dugaan (Mukti Arto, 2010:164). Asas estimonium de auditu yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami sendiri (Yahya Harahap, 2012: 661). b. Aturan hukum mengenai asas testimonium de auditu Secara umum kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak ada kaitannya dengan peristiwa yang dialami sendiri dan nilainya kosong, tetapi masih mempunyai arti sebagai alasan untuk memperkuat suatu keterangan lain. Tidak benar jika kesaksian atas dasar keterangan orang lain tidak mempunyai arti sama sekali, karena walaupun tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti langsung tetapi dapat mempunyai nilai sebagai persangkaan (Subekti, 1997:105). Dasar hukum kesaksian de auditu sebagai alat bukti persangkaan terdapat dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 1915 KUHPerdata. Pasal 173 HIR berbunyi “Persangkaan saja yang tidak berdasarkan suatu peraturan undang-undang yang tertentu, hanya harus diperhatikan oleh Hakim waktu menjatuhkan keputusan jika persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan satu sama lain bersetujuan”. Ketentuan Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) RBg mengatakan kesaksian berupa pendengaran dari orang lain (asas testimonium de auditu) tidak diperbolehkan. Sebenarnya asas testimonium de auditu bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir, karena itu tidak dilarang. Hanya saja perlu diingat bahwa yang dikemukakan oleh saksi adalah kenyataan, bahwa orang ketiga di luar sidang pengadilan pernah mengatakan sesuatu tidak ada larangan
24
untuk mempergunakan perkataan orang tersebut guna menyusun suatu alat bukti berupa persangkaan (Wirjono Prodjodikiro, 1997:155). Menurut Munir Fuady (2012: 54), saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat buktinamun hal tersebut sangat bergantung pada kasus per kasus. Apabila ada alasan yang kuat untuk mempercayai kebenaran dari saksi de auditu, misalnya keterangan tersebut dapat dimasukkan ke dalam kelompok yang dikecualikan maka saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959 dinyatakan kegunaan tentang asas testimonium de auditu yakni tidak dapat digunakan sebagai alat bukti secara langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu tidaklah dilarang.
5.
Penerapan asas testimonium de auditu di Pengadilan Agama Ketentuan yang berlaku dalam Pengadilan Agama adalah ketentuan dalam HIR dan RBg atau ketentuan yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Agama yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua oleh Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Beberapa alat bukti lain diakui dalam pembuktian di Pengadilan Agama yaitu alat bukti tersebut berdasarkan Hukum Islam yang berlaku secara parsial di Indonesia. Alat bukti tersebut antara lain adalah ikrar, syahadah, yamin, riddah, maktubah, dan tabayyun (Sulaikin Lubis, 2008:138-143). a.
Pengakuan (Ikrar) Pengakuan atau ikrar adalah suatu pernyataan dari penggugat atau tergugat atau pihak-pihak lainnya mengenai ada atau tidaknya sesuatu. Ikrar juga merupakan pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Ikrar dapat diberikan di muka Hakim baik di depan maupun diluar
25
persidangan. Saksi (Syahadah) ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu. b.
Sumpah (Yamin) Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.
c.
Murtad (Riddah) Riddah adalah pernyataan seseorang bahwa ia telah keluar dari Agama Islam yang dilakukan di depan pemuka Agama Islam. Riddah hanya dipakai apabila seorang istri ingin bercerai dan alasan-alasan hukum sebagai alat bukti tidak terbukti. Sehingga agar perkawinannya putus istri berikrar keluar dari Agama Islam atau murtad.
d.
Bukti tertulis (Maktubah) Bukti tertulis yaitu akta dan surat keterangan. Akta adalah alat bukti untuk menentukan kompetensi absolut Pengadilan Agama. Contoh akta nikah dan akta kelahiran. Sedangkan surat keterangan adalah untuk menentukan kompetensi relatif Pengadilan Agama. Contoh surat keterangan domisili para puhak.
e.
Pemeriksaan koneksitas (Tabbayyun) Upaya untuk memeroleh kejelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan majelis pengadilan yang lain dari pada majelis pengadilan yang sedang memeriksa perkara. Penerapan asas testimonium de auditu di Pengadilan Agama dapat
dijumpai dalam perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus (syiqaq) karena dalam pemeriksaan gugatan perceraian dengan alasan pertengakaran terus menerus sulit untuk mengungkapkan perselisihan yang terjadi antara suami dan istri. Perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga, orang lain sangat sedikit atau sama sekali tidak mengetahui kejadian,
26
bentuk kejadian dan permasalahan apa yang terjadi. Orang lain yang mengetahui adanya pisah tempat tinggal antara suami istri, hanya sebatas mengetahui pisah tempat tinggal tetapi tidak mengetahui kepastian mengapa bisa terjadi pisah tempat tinggal. Penerapan frasa “antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dengan peraturan pelaksanaanya Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Jo.Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, dapat dijelaskan sebagai berikut (Sudono, 2011: 12): a.
Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus sehingga tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun dalam rumah tangga, dapat dijadikan alasan perceraian.
b.
Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan masih ada harapan bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak dapat dijadikan alasan perceraian.
c.
Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak terus menerus baik masih ada harapan atau tidak ada harapan lagi bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak dapat dijadikan alasan perceraian. Peraturan tentang pembuktian dalam gugatan perceraian dengan
alasan syiqaq terdapat dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua oleh Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang menentukan sebagai berikut: a.
Apabila gugatan perceraian didasarkan alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri.
b.
Pengadilan
setelah
mendengar
keterangan
saksi
tentang
sifat
persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih
27
dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam. Putusan Pengadilan Agama Nunukan Nomor 26/Pdt.G/2013/PA.Nnk Majelis Hakim juga menerima keterangan saksi de auditu, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pertimbangan tersebut di atas, maka asas testimonium de auditu tersebut dapat diterima sebagai alat bukti dan mendukung dalil pokok gugatan Penggugat. Putusan Pengadilan Agama Nunukan Nomor 3/Pdt.G/ 2014/PA.Nnk Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menerima keterangan saksi de auditu tersebut, dalam pertimbangan hukumnya Hakim menyatakan bahwa asas testimonium de auditu tersebut saling bersesuaian antara satu dengan lainnya, oleh karena itu kesaksian tersebut dapat dipertimbangkan sebagai sebuah persangkaan bahwa kondisi rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak rukun dan harmonis lagi. 6.
Penerapan Asas testimonium de auditu di Pengadilan Negeri Asas testimonium de auditu berada diluar kategori keterangan saksi yang ditentukan dalam Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUHPerdata, karena sumber kesaksian asas asas testimonium de auditu diperoleh secara tidak langsung atau berasal dari orang lain. Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) RBg menyebutkan “kesaksian berupa pendengaran dari orang lain tidak di perbolehkan”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959 menyatakan tentang kegunaan tentang asas testimonium de auditu, yakni tidak dapat digunakan sebagai alat bukti secara langsung tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan, yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu tidaklah dilarang (Hari Sasangka, 2005:85). Artinya keterangan saksi de auditu dapat digunakan sebagai persangkaan. Sebagai suatu kesaksian, keterangan saksi de auditu memang tidak ada nilainya tetapi bukan berarti Hakim lantas dilarang untuk menerimanya. Hal yang dilarang adalah jika saksi menarik kesimpulan dan memberikan pendapat atau perkiraan.
28
Contoh penggunaan keterangan saksi de auditu dapat ditemukan dalam perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus. Pekara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus yang dibuktikan bukanlah peristiwa yang terjadi sekali saja dan terjadi di satu tempat, melainkan pertengkaran yang terjadi secara berkesinambungan/secara terus menerus dan terjadi tanpa proses perencanaan. Secara logika sangat sulit terjadi ada seseorang yang dapat melihat langsung seluruh rangkaian peristiwa pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangga orang lain, sehingga sangat sulit untuk mendatangkan saksi untuk membuktikannya, lain halnya dengan peristiwa perdata lainnya misalnya “peristiwa jual beli”. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa sangat kecil kemungkinan terjadi sepasang suami istri mau bertengkar didepan orang lain. Pertengkaran antara suami istri apabila disaksikan oleh orang lain akan mengakibatkan malu (aib) bagi suami istri yang bertengkar itu sehingga pada umumnya
suami
menampakkan/tidak
istri
yang
bertengkar
mempertontonkan
tersebut
pertengkarannya
sengaja dan
tidak
berusaha
menutup-nutupi pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangganya agar tidak diketahui oleh orang lain. Peristiwa pertengkaran dalam rumah tangga sangat sulit diketahui secara langsung oleh orang lain selain kedua belah pihak yang bersangkutan, sehingga untuk membuktikannya dengan saksi sangat sulit, lain halnya dengan peristiwa perdata lainnya misalnya “utang piutang” dimana kedua belah pihak sengaja memanggil atau mengundang orang lain untuk menyaksikan perbuatan hukum yang dilakukannya (Ramdani Wahyu Sururie, 2014:152). Penggunaan keterangan saksi de auditu dapat ditemukan dalam perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus di Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.SKA, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menolak keterangan saksi de auditu. Dalam pertimbangan hukumnya Hakim menyatakan bahwa keterangan yang dikemukakan oleh saksi de auditu tidak sesuai dengan dalil-dalil gugatan.
29
B. Kerangka Pemikiran
Perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus
Pengadilan Agama
Pengadilan Negeri
Saksi de auditu
Saksi de auditu
Menerima Saksi de auditu
Menolak Saksi de auditu
Putusan Pengadilan
Putusan
Pengadilan
Agama Nunukan Nomor
Negeri Surakarta Nomor
26/Pdt.G/2013/PA.Nnk
25/Pdt.G/2013/PN.SKA
dan Nomor 3/Pdt.G/2014/PA.Nnk
Perbedaan asas testimonium de auditu dalam perkara perceraian dengan alasan pertengkan terus menerus di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dan1.akibat hukumnya. Gambar Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
30
Keterangan: Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Pasal 116 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, salah satu alasan perceraian yaitu antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran yang tidak ada harapan dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangganya. Gugatan Perkara perceraian dapat diajukan di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama karena Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama sama-sama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaiakan perkara perceraian. Perbedaanya adalah untuk Pengadilan Agama berkaitan dengan perkara perceraian dimana para pihak beragama Islam, sedangkan Pengadilan Negeri untuk mereka yang non-muslim. Proses beracara di Pengadilan tentu saja tidak lepas dari masalah pembuktian, karena dengan pembuktian Hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap perkara yang di permasalahkan dan memberikan kepastian kepada Majelis Hakim mengenai terjadinya suatu peristiwa dengan menyajikan fakta– fakta yang cukup menurut hukum, salah satu alat bukti yang digunakan dalam Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama adalah alat buksi saksi. Alat bukti saksi merupakan Alat bukti yang memberikan kesaksian secara lisan dan pribadi dalam persidangan. Saksi dalam memberikan kesaksiannya harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri serta memberikan alasan atau dasar yang melatarbelakangi pengetahuan tersebut. Saksi yang tidak melihat, mendengar atau mengalami secara langsung suatu peristiwa hukum yang menjadi pokok perkara dilarang untuk memberikan kesaksian didepan persidangan Pengadilan (testimoium de auditu) namun dalam praktik di persidangan penerapan asas testimonium de auditu dimungkinkan untuk diterapkan. Penerapan saksi testimonium de auditu dalam gugatan perceraian dapat ditemukan dalam kasus perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus yang terjadi di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Putusan Pengadilan Agama Nunukan nomor: 26/Pdt.G/2013/PA.Nnk Majelis Hakim juga menerima keterangan saksi de auditu. Putusan Pengadilan Agama Nunukan
31
Nomor 3/Pdt.G/2014/PA.Nnk, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menerima keterangan saksi de auditu tersebut. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.SKA, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menolak keterangan saksi de auditu. Berdasarkan hal tersebut ditemukan adanya perbedaan penerapan asas testimoniumde auditu mengenai perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus menerus di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri serta akibat hukumnya yang akan diteliti oleh penulis.