BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori a. Tinjauan Tanah 1) Pengertian Tanah Tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang Tanah jika dilihat berdasar Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 dapat diartikan Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu ”Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Tanah adalah suatu benda alam yang terdapat di permukaan kulit bumi, yang tersusun dari bahan-bahan mineral sebagai hasil dari pelapukan batuan, dan bahan-bahan organik sebagai hasil pelapukan sisa-sisa tumbuhan dan hewan, yang merupakan medium atau tempat tumbuhnya tanaman dengan sifat-sifat tertentu, yang terjadi akibat dari pengaruh kombinasi faktor-faktor iklim, bahan induk, jasad hidup, bentuk wilayah dan lamanya waktu pembentukan (Yuliprianto, 2010:11). Bahwa hukum tanah merupakan keseluruhan ketentuan baik tertulis maupun tidak tertulis yang semuanya memiliki objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. Pengertian Agraria sendiri juga sering dikaitkan dengan corak kehidupan suatu masyarakat atau bangsa, misalnya Indonesia sebagai Negara agraris, yaitu suatu bangsa yang sebagaian besar masyarakatnya hidup dari bercocok tanam (bertani) atau kehidupan masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian (Santoso, 2006:12). Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum,baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agrarian (Soedikno, 1998). Hukum agraria (Agrarisch Recht), adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik Hukum
Perdata, maupun Hukum Tata Negara (Staatsrecht) maupun pula Hukum Tata Usaha Negara (Administratifrecht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber
pada hubungan–hubungan
tersebut (Soebekti, 2005). 2) Objek Hukum Tanah Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dimiliki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang, untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah. Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang kongkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. 3) Asas-asas Hukum Tanah Asas-asas yang mengenai Hukum tanah antara lain sebagai berikut : a) Asas nasionalisme Asas nasionalisme tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria pada pasal 1 ayat 1-3, yang menyatakan : (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. b) Asas dikuasai oleh Negara Asas ini ditemukan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan : “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”
c) Asas Hukum Agraria Nasional berdasar hukum adat Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. d) Asas Sosial Hak-hak Atas Tanah Asas ini tertuang pada pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” asas ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat e) Asas Kesatuan Hukum Asas ini tidaklah tertuang dalam tubuh Undang-Undang Pokok Agraria namun asas ini terdapat pada penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria. Keberadaan asas kesatuan hukum tidaklah terlepas karena disebabkan oleh adanya dualisme hukum sebagiamana yang terdapat pada penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria yakni : “karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa”. f) Asas Kepentingan Umum Terdapat di dalam pasal 18, untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. g) Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Asas ini tertuang pada pasal 19 (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”, asas ini juga ditemukan pada
pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”. h) Asas Pemisahan Horisontal Asas ini terdapat pada pasal 44 ayat 1 yang menyatakan “Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa”. Implementasi asas ini ialah hak sewa untuk bangunan, yaitu seseorang atau badan hukum yang menyewa tanah kosong atau tidak ada bangunanya berdasarkan harga, dan jangka waktu yang disepakati kepada pemilik tanah, guna mendirikan bangunan di atas tanah tersebut dalam waktu sebagaimana yang disepakati oleh para pihak. Dalam Hak Sewa Bangunan ada pemisahan secara horisontal antara pemilikan tanah dan pemilikan bangunan yang ada di atasnya, yaitu tanahnya milik pemilik tanah, sedangkan bangunanya milik penyewa tanah. 4) Landasan Hukum Tanah / Agraria Landasan Hukum Agraria terdapat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional. Hubungan Pasal 33 (3) UUD 45 dengan Undang-Undang Pokok Agraria: a) Dimuat dalam Konsideran Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya. “Bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong” b) Dalam penjelasan UUPA angka 1 “Hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya
harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara….” Pengaturan keagrariaan atau pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN. Bahwa UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan Negara. 5) Sifat dan Ruang Lingkup Pengaturan Hukum Tanah Politik hukum pertanahan pada jaman Hindia Belanda dengan asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kaula Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan. Menurut Agrarische Wet pemerintah HB bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa. Hukum agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3). Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 mengatur: a) Hubungan antara bangsa Indonesia dengan BARA+K (bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) yang terkandung di dalamnya. b) Hubungan hukum antara negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia dengan BARA+K yang terkandung di dalamnya. Tujuan diberikannya hak menguasai kepada negara ialah: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak negara untuk menguasai pada hakekatnya memberi wewenang kepada negara untuk: mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan BARA+K. Hubungan antara orang baik sendiri-sendiri dan badan hukum dengan BARA+K yang terkandung di dalamnya.Yang dimaksud dengan hak atas tanah ialah: “Hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu, dalam batas-batas menurut UU ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. b. Tinjauan Badan Pertanahan Nasional 1) Pengertian Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya disebut BPN adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. BPN dipimpin oleh seorang Kepala. BPN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala (Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015). Badan
Pertanahan
Nasional
mempunyai
tugas
melaksanakan
tugas
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) Fungsi Badan Pertanahan Nasional Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi: a) Penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan; b) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan pemetaan; c) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat; d) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan pengendalian kebijakan pertanahan; e) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah; f) Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan; g) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN; h) Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN; i) Pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan; j) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; dan k) Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.
c. Tinjauan Program Layanan Anggota Masyarakat 1) Pengertian Program Secara umum pengertian program adalah penjabaran dari suatu rencana. Dalam hal ini program merupakan bagian dari perencanaan. Sering pula diartikan bahwa program adalah kerangka dasar dari pelaksanaan suatu kegiatan. Untuk lebih memahami mengenai pengertian program, berikut ini akan dikemukakan defenisi oleh beberapa ahli: Westra (1989:236) mengatakan bahwa “Program adalah rumusan yang membuat gambaran pekerjaan yang akan dilaksanakan beserta petunjuk cara-cara pelaksanaannya”. Manullang (1987:1) mengatakan bahwa “Sebagai unsur dari suatu perencanaan, program dapat pula dikatakan sebagai gabungan dari poltik, prosedur dan anggaran, yang dimaksudkan untuk menetapkan suatu tindakan untuk waktu yang akan datang”. Siagian, (2006:117) mengemukakan bahwa: “Perumusan program kerja merupakan perincian daripada suatu rencana. Dalam hubungannya dengan pembangunan nasional program kerja itu berwujud berbagai macam bentuk dan kegiatan” 2) Layanan Anggota Masyarakat Layangmas atau Layanan Anggota Masyarakat, merupakan aplikasi layanan mandiri bagi masyarakat berbasis Geo Spatial dengan menggunakan teknologi komputer touchscreen, sebagai wujud pemanfaatan lebih lanjut dari aplikasi pelayanan pertanahan berbasis komputer (Komputerisasi Kantor Pertanahan / KKP). Layangmas atau Layanan Anggota Masyarakat bertujuan untuk memberikan informasi potensi-potensi industri, pertanian, dan pariwisata, serta informasi-informasi bidang pertanahan yang jelas dan transparan yang dapat dengan mudah diakses masyarakat. Berbagai informasi yang tersaji dalam Layangmas, antara lain : a) Informasi Lokasi Industri Distribusi spasial industri yang ada di Kabupaten Karanganyar disajikan dalam bentuk titik dengan simbol lingkaran berwarna merah dengan toponimi berupa nama perusahaan/industri tersebut. Deskripsi industri dapat dilihat pada link masing-masing obyek industri di peta. b) Informasi Lokasi Pertanian Unggulan Lokasi pertanian yang menghasilkan produk unggulan seperti durian, kunyit biofarma kadan padi organik di Kabupaten Karanganyar disajikan dalam bentuk titik dengan simbol lingkaran berwarna hijau dengan toponimi berupa nama produk unggulannya. Apabila disentuh pada simbol tersebut, foto dari produk unggulan pertanian tersebut akan muncul. Informasi produk unggulan pertanian ini sangat
bermanfaat bagi para wisatawan yang menginginkan buah tangan yang khas di Kabupaten Karanganyar. c) Informasi Rencana Tata Ruang (RTRW) Informasi Rencana Tata Ruang dipadu dengan penggunaan tanah dan citra satelit dapat digunakan untuk monitoring dan evaluasi kesesuaian penggunaan tanah dan Rencana Tata Ruang Wilayah. Dengan informasi Rencana Tata Ruang Wilayah yang dapat dilihat oleh masyarakat ini diharapkan masyarakat dapat mematuhi apa yang ada pada Rencana Tata Ruang tersebut dan meminimalisir konversi penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian. d) Informasi Zona Nilai Tanah Informasi Zona Nilai Tanah bermanfaat antara lain bagi masyarakat dan pengembang properti atau investor di Kabupaten Karanganyar. Berapa harga tanah yang wajar pada wilayah itu dapat dilihat pada informasi Zona Nilai Tanah karena Zona Nilai Tanah dibuat berdasarkan survei lapangan yang akurat. e) Informasi Pariwisata Informasi Pariwisata di Kabupaten Karanganyar disajikan dalam simbol point berwarna kuning yang menyajikan informasi lokasi wisata dan deskripsi singkat mengenai lokasi wisata tersebut.Wisatawan yang mendarat di Bandara Adisumarmo dapat memanfaatkan fasilitas Layangmas di Bandara untuk mengetahui informasi Pariwisata di Kabupaten Karanganyar. f) Informasi Wilayah Bencana Informasi wilayah bencana bermanfaat untuk mengetahui bidang tanah yang bisa terdampak jenis bencana tersebut.Selain itu informasi jumlah kepala keluarga dan jumlah jiwa yang ada di wilayah rawan bencana itu dapat dilihat untuk kepentingan pengambilan kebijakan kebencanaan seperti evakuasi, mitigasi bencana, pengungsi, bantuan dan lain-lain. g) Informasi Pertanahan Informasi Pertanahan yang ditampilkan bersumber dari basis data Geo KKP Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar yaitu informasi bidang tanah meliputi distribusi, luas bidang tanah, nomor Hak, nomor Surat Ukur yang dapat dicari dengan menu pencarian per kecamatan/desa. Bidang tanah yang sudah terdaftar dan belum terdaftar dibedakan di dalam aplikasi Layangmas ini.
d. Tinjauan Tentang Sengketa Pertanahan 1) Pengertian Sengketa Pertanahan Sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompokkelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat. (Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan). Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompokkelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain (Winardi,2001). Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya (Ali Achmad, 2004:14). Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan suatu objek tertentu, hal ini terjadi dikarenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara phak-pihak yang bersengketa dan secara potensial dua pihak tersebut mempunyai pendirian atau pendapat yang berbeda dapat beranjak ke situasi sengketa (Margono, 2004: 34). Sebab-sebab terjadinya suatu sengketa : a) Wanprestasi Wanprestasi dapat berupa tidak memenuhi kewajiban sama sekali, atasu terlambat memenuhi kewajiban, atau memenuhi kewajibanya tetapi tidak seperti apa yang telah di perjanjikan.
b) Perbuatan melawan hukum Melawan hukum bukan hanya untuk pelanggaran perundang-undangan tertulis semata-mata, melaikan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat. c) Kerugian salah satu pihak Apabila salah satu pihak mengalami kerugian yaitu kerugian dalam Hukum Perdata dapat bersumber dari Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum. Untuk menangani sengketa pertanahan, maka dibentuk suatu unit kerja prosedural baik dari unit kerja struktural di lingkungan Kantor Menteri Negara Agraria sampai dengan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan. Kemudian untuk melaksanakan penanganan sengketa tanah, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan meliputi : 1) Pelayanan Pengaduan dan Informasi Kasus Pertanahan; 2) Pengkajian Kasus Pertanahan; 3) Penangan Kasus Pertanahan; 4) Penyelesaian Kasus Pertanahan; 5) Bantuan Hukum dan Perlindungan Hukum. Pembentukan kedeputian tersebut menyiratkan dua hal. Pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk menanganinya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua konflik pertanahan harus diselesaikan melalui pengadilan. Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik pertanahan. Dalam melaksanakan tugasnya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa 2) Penyelesaian Sengketa Pertanahan Terhadap suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan tahapan sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan sebagai berikut : 1) Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus a) Pengaduan disampaikan melalui Loket pengaduan. b) Dilakukan Register terhadap pengaduan yang diterima. c) Penyampaian informasi, digolongkan menjadi : o
Informasi rahasia : Perlu ijin Kepala BPN RI atau Pejabat yang ditunjuk.
o
Informasi Terbatas : Diberikan pada pihak yang memenuhi syarat.
o
Informasi Terbuka untuk umum : Diberikan pada pihak yang membutuhkan.
2) Pengkajian Kasus a) Untuk mengetahui faktor penyebab. b) Menganalisis data yang ada. c) Menyusun suatu rekomendasi penyelesaian kasus. 3) Penanganan Kasus Penanganan suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional RI dilakukan dengan tahapan : a) Pengolahan data pengaduan, penelitian lapangan/koordinasi/investigasi. b) Penyelenggaraan gelar kasus/penyiapan berita acara. c) Analisis/Penyusunan Risalah Pengolahan Data/surat keputusan. d) Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan kasus. Untuk suatu kasus pertanahan tertentu yang dianggap strategis, dilaksanakan pembentukan tim penanganan kasus potensi konflik strategis. 4) Penyelesaian Kasus Dalam penyelesaian sengketa pertanahan, dapat ditempuh dengan dua jalur yaitu penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan atau penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan : a) Penyelesaian Sengketa Pertanahan di luar Pengadilan Indonesia merupakan salah satu Negara yang sering terjadi sengketa pertanahan,
yang
penyelesaiannya
banyak
dilakukan
melalui
lembaga
pengadilan. Namun dengan lamanya proses pengadilan serta mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak, mendorong masyarakat untuk mencari jalan lain yang lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di luar pengadilan. Dalam proses penyelesaian sengketa, para pihak berhak memilih proses penyelesaian yang mana akan dijalani. Ketika yang yang dihadapi
dan dijalani oleh para pihak tanpa dibantu oleh pihak-pihak lain yang tidak mempunyai kepentingan akan berlanjut pada sengketa yang ada. Sehingga diperlukan adanya kontrol hubungan sosial dari masyarakat itu sendiri yang artinya bahwa pada dasarnya masyarakat itu sendiri aktif menemukan, memilih, dan menentukan hukum sendiri (Ade Saptomo, 2001: 5). Namun adakalanya diselesaikan oleh pihak lain diluar sengketa secara damai, jika tidak teratasi melalui proses diluar pengadilan maka baru dapat dilakukan melalui proses litigasi di dalam pengadilan atau sengketa tersebut dibawa ke “meja hijau” (Riska Fitriani, 2012: 214). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan pada dasarnya dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk yang dipilih untuk dijadikan forum penyelesaian, dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu dengan tujuan untuk menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif dari sengketa pertanahan tersebut. Sehingga dengan dipilihnya penyelesaian sengketa diluar Pengadilan diharapkan tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi para pihak sebagaimana yang dikutip oleh penulis dalam jurnal internasional yang ditulis oleh John H. Langbein didalamnya dijelaskan bahwa: So-called “court-connected” mediation program, in which litigants are required to attempt settlement with the assistance of a neutral mediator, have become widespread. Alternative Dispute Resolution programs of various sorts, natably arbitration and mediation, also operate apart from the civil courts. Settlement of the civil dispute has material advantages over adjudication. Settlement is usually cheaper and faster, the court is spared the lapbor of adjudications, each party is spared the risk of a less favorable outcome, and neither party is stigmatized as the loser. Thus, so long as adjudications is preserved as a viable alternative, the litigants choice to settle a caseis volountary, and facilitating settlement is sound public policy” (John H. Langbein, 2012: 561). Program mediasi yang terhubung dengan Pengadilan, yang mana dalam berperkara diminta untu mencoba menyelesaikan dengan bantuan pihak penengah yang bersifat netral yang berpengalaman. Alternatif penyelesaian sengketa terdapat berebagai macam program diantaranya arbitrase dan mediasi dengan terpisah dari pengadilan sipil. Penyelesaian sengketa perdata memiliki banyak kelebihan. Diantaranya yaitu penyelesaian yang lebih murah dan lebih cepat, terhindar dari tenaga kerja Pengadilan, masing-masing pihak terhindak dari risiko yang kurang menguntungkan, dan keduanya saling mengiklaskan satu sama lain. Dengan demikian, selama berperkara pihak yang terlibat didalamnya memilih alternatif untuk menyelesaikan kasus ini secara sukarela, dan fasilitas penyelesaian adalah dukungan dari pengadilan.
Seperti yang telah disebutkan diatas terlihat jelas bahwa dalam usaha penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak instansi pemerintah khususnya BPN, Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan menyelesaikan suatu masalah, sengketa dan konflik pertanahan dengan mengupayakan penyelesaian diluar pengadilan salah satunya dengan mediasi. Mediasi ini merupakan proses yang dengan bantuan mediator untuk mendekatkan para pihak yang bersengketa. Dalam proses melakukan pendekatan dengan para pihak yang bersengketa, diperlukan sikap BPN sebagai mediator yang tidak memihak diantara salah pihak serta tidak melakukan tekanan dalam bentuk apapun. Namun tidak berarti bahwa BPN harus bersikap pasif. Pihak BPN dalam hal ini berusaha membantu para pihak dalam mencari jalan keluar mengenai masalah yang dihadapi. Apabila mediasi ini dilakukan, maka harus memperhatikan tata cara formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga. Hal semacam ini biasanya ditemukan dalam akta perdamaian baik yang dilakukan di muka hakim maupun di luar Pengadilan atau Notaris (Rusmadi Murad, 1991: 2627). Pelaksanaan mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga diatur didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa dan Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa : Alternatif penyelesaian sengketa diartikan sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yakni penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi ataupun penilaian para ahli. Pasal 61 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan yang menyebutkan bahwa Penyelesaian kasus pertanahan di luar pengadilan dapat berupa perbuatan hukum administrasi pertanahan meliputi : 1) pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi;
2) pencatatan dalam Sertifikat dan/atau Buku Tanah serta Daftar Umum lainnya; dan 3) penerbitan surat atau keputusan administrasi pertanahan lainnya karena terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya. Sementara itu didalam Pasal 62 ayat (1) menyebutkan bahwa “Sertifikat hak atas tanah yang mengandung cacat hukum administrasi dilakukan pembatalan atau perintah pencatatan perubahan pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut peraturan perundang-undangan”. Cacat hukum administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain sebagai berikut: a) kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah; b) kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran peralihan hak dan/atau sertifikat pengganti; c) kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat; d) kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas; e) tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah; f) kesalahan subyek dan/atau obyek hak; dan g) kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan. b) Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Pengadilan Apabila telah dilakukan usaha untuk mencapai mufakat bagi para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa, namun tidak ditemukan suatu kesepakatan diantara kedua belah pihak maka para pihak yang bersangkutan dapat mengajukan masalahnya ke Pengadilan dengan mengajukan gugatan kepada pihak lawan. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan merupakan bentuk penyelesaian sengketa dalam ruang lingkup hukum perdata, dimana pada intinya berisi tentang perbuatan melanggar hukum, dan ganti rugi. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) perbuatan melanggar hukum dan ganti rugi diatur dalam Pasal 1365 yang bebunyi bahwa, “ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dalam hubungannya dengan penyelesaian ganti kerugian sebagai konsekuensi tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum, maka ketentuan Pasal 1365 ini erat terkait dengan Pasal 1243 yang menyatakan bahwa, “Penggantian biaya ganti rugi dan bunga karena terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai dalam memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Sedangkan kaitannya dalam pembuktian perlu di kemukakan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang, menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Dalam pengertian ketiga Pasal tersebut dapat disimpulkan seorang penggugat baru akan memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Kesalahan disini merupakan unsur yang menentukan pertanggungjawaban yang berarti bila tidak terbukti adanya kesalahan, tidak ada kewajiban ganti kerugian. Karakteristik penyelesaian sengketa pertanahan melalui jalur pengadilan adalah sebagai berikut : a) Prosesnya sangat formal (terikat pada hukum acara); b) Para pihak berhadapan untuk saling melawan, adu argumentasi dan pengajuan alat bukti; c) Pihak ketiga netralnya (hakim) tidak ditentukan para pihak dan keahliannya bersifat umum; d) Prosesnya bersifat terbuka / transparan; e) Hasil akhir berupa putusan yang didukung pertimbangan / pandangan hakim (Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006: 36). Dalam melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan, BPN RI menetapkan beberapa kriteria terhadap kasus pertanahan yang dinyatakan selesai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 72 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011, yaitu : (1) Kriteria Satu (K 1) berupa penerbitan Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa; (2) Kriteria Dua (K 2) berupa Penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertifikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah, atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan; (3) Kriteria Tiga (K 3) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain yang disetujui oleh para pihak; (4) Kriteria Empat (K 4) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan, karena tidak adanya kesepakatan untuk berdamai; (5) Kriteria Lima (K 5) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.
B. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan
Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar
Layanan Anggota Masyarakat
Pendaftaran Tanah
Tanah Inventaris Desa
Kepala Desa
Masyarakat Desa
Sengketa
Penyelesaian Sengketa Litigasi
Non Litigasi
Gambar I : Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran mengenai alur berpikir, menggambarkan, menelaah, menjabarkan dan menemukan jawaban atas Kewenangan Badan Pertanahan Kabupaten Karanganyar di dalam Program Layanan Anggota Masyarakat terkait penyelesaian sengketa tanah inventaris desa. Berdasarkan Hukum agraria, Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Pasal 33 ayat 3). Sesuai UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa di dalamnya UUPA mengatur Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang terkandung di dalamnya dan hubungan hukum antara negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia dengan dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kewenangan yang berkaitan dengang bidang pertanahan yang di dalam perundangundangan kemudian diberikan kepada Badan Pertanahan Nasional. Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk kewenangan yang dimiliki Badan Pertanahan Nasional (Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar) berbentuk berbagai program masyarakat, salah satu contohnya Layanan Anggota Masyarakat di Kabupaten Karanganyar yang bertujuan untuk memberikan informasi potensi-potensi industri, pertanian, dan pariwisata, serta informasiinformasi bidang pertanahan yang jelas dan transparan yang dapat dengan mudah diakses masyarakat. Badan Pertanahan Nasional memiliki kewenangan di dalam tugas pemerintahan di bidang pertanahan. Selama prosesnya tugas tersebut akan terlihat bagaimana pelaksanaan dan hambatan yang terjadi, bila terjadi suatu sengketa berkaitan dengan pertanahan maka menjadi tugas dari Badan Pertanahan Nasional untuk menyelesaikannya. Hambatan yang terjadi di dalam pelaksanaan program pemerintah berkaitan dengan bidang pertanahan merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional di dalam penyelesaiannya, berdasarkan hal tersebut maka penulis mencoba meneliti tentang kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di program Layanan Anggota Masyarakat apakah sudah sesuaikah dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan