BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Bab ini, sesuai dengan judulnya memuat gambaran hasil tinjauan kepustakaan yang dilakukan oleh Penulis, sepanjang yang berkaitan dengan usaha Penulis untuk mendeskripsikan suatu jawaban terhadap rumusan masalah Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Kesarjanaan ini. Perlu Penulis kemukakan sekali lagi bahwa rumusan permasalahan dimaksud adalah bagaimana kaedah/asas conversion sebagai perbuatan melawan hukum dalam perdagangan internasional? Gambaran hasil tinjauan kepustakaan dimaksud dimulai dengan Sejarah tentang Konsep Perbuatan Melawan Hukum. Kemudian, menyusul adalah Hakikat Perbuatan Melawan Hukum, Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum, Syarat Materil Tuntutan Ganti Rugi,Sejarah Conversion, Hakikat Conversion dalam Perdagangan Internasional, Unsur-Unsur dalam Conversion, Matrix Perbandingan Perbuatan Melawan Hukum dan Conversion, Kualifikasi Lex Causae (Lex fori diperluas), Lex Mercatoria, dan Tinjauan Umum Transaksi Perdagangan Internasional.Adapun tujuan dari pemaparan berupa uraian deskripsi kepustakaan dalam Bab ini adalah, seperti yang telah di kemukakan di atas, untuk mengetahui bagaimana asas/kaedahconversion dalam transaksi perdagangan internasional.
19
2.1.
Sejarah tentang Konsep Perbuatan Melawan Hukum Sistem
hukum
positif
Romawi
yang
tidak
dapat
disangkal
berkharakteristik global pada saat itu, dikenal pembagian hukum publik dan hukum privat dan sejalan dengan itu dalam hukum Romawi dibedakan antara crimina publica, yaitu kejahatan yang merugikan kepentingan-kepentigan masyarakat dengan ancaman hukuman pidana dan delicta privata mengenai diri atau kekayaan pribadi seseorang. Delictum privatum menimbulkan suatu obligatio ex delictu dan memberikan kepada yang dirugikan suatu tuntutan yang bersifat perdata1. Hukum Romawi tidak mengenal suatu ketentuan umum yang mengatur akibat-akibat hukum dari perbuatan melawan hukum. Suatu tuntutan hanya memungkinkan pada delik-delik yang dirumuskan secara khusus, yang terpenting di antaranya ialah2:actio fusti terhadap pencurian;actio legis aguiliae terhadap pengrusakan hak milik; actio iniuriarum pelanggaran terhadap kehormatan atau diri seseorang. Dari keseluruhan ketentuan-ketentuan yang menurut hukum memberikan hak gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum yang terpenting ialah lex
1
Setiawan Rachmat SH, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hlm., 1.
2
Ibid.
20
aquililae yang penerapannya kemudian diperluas untuk mengatasi kekosongan karena tidak terdapatnya ketentuan umum tentang perbuatan melawan hukum3. Hukum Romawi mulai berkembang pada abad kesebelas di kota-kota besar sebelah utara Itali, di mana didirikan sekolah-sekolah hukum yang merupakan cikal bakal universitas. Disana dikuliahkan hukum Romawi kepada pemuda-pemuda dari seluruh Eropa yang pada waktu itu datang untuk belajar di sana, memperlajari stelsel hukum yang di mata pemuda-pemuda itu dan para pemimpin negaranya pada waktu itu lebih sempurna dari pada hukumnya sendiri.Setelah selesai belajar mereka membawa pulang Hukum Romawi kembali ke negerinya sebagai souveneer. Pemuda-pemuda inilah yang menjadi pejabatpejabat pemerintah dan hakim pada waktu itu. Pengaruh merekalah yang memperkuat hukumdalam sistem hukum adat dan menonjolkan hukum Romawi yang lebih terang melihat hukum dalam hukum adat yang berlaku di negaranegara pemuda itu masing-masing. Dari Itali hukum Romawi menyebar luas ke Eropa yang kemudian meresepsi hukum Romawi tersebut4. Kelanjutan perkembangan hukum Eropa, kemudian pada tahun 1809 di Negeri Belanda dinyatakan berlaku Code Napoleon yang kemudian diganti oleh Code Civil pada tahun 1811, yang di Perancis sendiri sudah berlaku sejak tahun 1803 dan bersumber pada hukum Roma dan Kanonik5. Setelah Negeri Belanda
3
Ibid, hlm., 2.
4
Ibid.
5
Menurut Jeferson Kameo, SH, LLM, Ph.D, hukum kanonik adalah kaedah-kaedah dalam sistem hukum gereja Katolik Roma yang mengikuti saja dikte hukum dalam kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum.
21
merdeka disusunlah Burgerlijk Wetboek mengikuti Code Civil dengan beberapa pengecualian. Jadi sebenarnya Belanda tidak membuat kitab Undang-undang baru, akan tetapi memperbarui kitab undang-undang yang berasal dari Perancis. Burgerlijk Wetboekyang berisi konsep perbuatan melawan hukum sebagaimana dikte hukum (the dictate of the law) ini dinyatakan berlaku pada tahun 18386. Dalam hukum Romawi dikenal delik dan quasi delik. Kedua istilah ini dikenal pula dalam hukum Perancis akan tetapi mempunyai arti yang berlainan. Baik delit’smaupun quasidelit’s adalah perbuatan melawan hukum. Yang pertama menunjuk pada perbuatan melawan yang dilakukan dengan sengaja sedangkan yang kedua dilakukan karena kelalaian7. Bab II dari Code Civil yan berjudul, Des delits et des quasi delits yang terdiri dari Pasal 1382-1386 adalah sama dengan Pasal 1401 (1365) – 1405 (1369) BW Belanda. Pasal-pasal 1406-1416 BW Belanda atau Pasal-pasal 1370-1380 KUHPerdata bukan berasal dari Code Civil8.Code Civil Belanda kemudian menjadi KUHPerdata. Di Indonesia KHUPerdata yang mengandung konsep perbuatan melawan hukum itu masih dirujuk sebagai buku hukum hingga saat ini.
6
Rachmat Setiawan,Op.Cit., hal., 3.
7
Ibid.
8
Ibid.
22
2.2.
Hakikat Perbuatan Melawan Hukum Hakikat perbuatan melawan hukum dapat dilihat dari pengertian perbuatan
melawan hukum yang Penulis kaji dari sejumlah kepustakaan sebagaimana gambarannya dikemukakan di bawah ini: Perbuatan melawan hukum (orenchtmatige daad) diatur dakam Buku III titel 3 Pasal 1365 – 1380 KUHPerdata adalah suatu kontrak (a contract yang, termasuk ke dalam perikatan (obligation) yang timbul dari undang-undang. Berikut di bawah ini, Penulis marasa perlu mengemukakan pengertian kontrak sebagai nama ilmu hukum, sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai hakikat perbuatan melawan hukum yang pada hakikatnya adalah suatu kontrak (a contract) tersebut9. Perbuatan melawan hukum adalah istilah “technis juridis” yang arti sebenarnya secara tepat hanya mungkin didapatkan dari peninjaun tujuan Pasal 1365 KUHPerdata10, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut di bawah ini. Merujuk Pasal 1365 KUHPerdata tersebut, ada yang berpendapat bahwa belum terdapat kesepakatan tentang penggunaan istilah “perbuatan melawan hukum”. Ini dapat diketahui dengan melihat beberapa literatur yang menggunakan
9
“Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji dan bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya”. Definsi kontrak tersebut terdapat dalam Jeferson Kameo Ph.D., Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UKSW, Salatiga 2010, hlm., 2. 10
Dr. R. Wirjono Prodjodikoro SH.,Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Ke-lima, Penerbit Sumur Bandung 1966, hlm., 45.
23
istilah yang beragam mulai dari; “perbuatan melanggar hukum”11; “perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum”12 serta ada juga yang menggunakan istilah “tindakan melawan hukum”13. Ada pendapat14 yang menjelaskan bahwa; “perbuatan melawan hukum” terdiri dari “melawan” yang di dalamnya melekat dua sifat aktif dan sifat melawan yang pasif. Kalau seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, misalnya sengaja melakukan gerakan yang merugikan orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan” dalam konsep perbuatan melawan hak tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja diam saja, sedangkan orang itu sudah mengetahui ia harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain.Atau dengan kata lain, bilamana orang yang bersangkutan itu dengan sikap pasif saja tidak melakukan suatu keharusan, maka sejatinya orang itu sudah melanggar suatu keharusan yang menimbulkan kerugian pada orang lain. Maka orang itu telah “melawan”, tanpa harus menggerakan badannya terhadap orang lain. Inilah sifat pasif daripada istilah “melawan” hukum. Perumusan konsep perbuatan melawan hukum oleh banyak sarjana di Indonesia dianggap terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Namun seperti telah 11
Ibid, hlm.,7.
12
E. Utrecht SH,Pengatar dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke-empat, PT Penerbit dan Balai Buku Ikhtiar Jakarta 1957, hlm., 255. 13
Sudiman Kartohadiprodjo SH, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Cetakan ke-lima, Penerbit PT. Pembangunan, Jakarta 1967, hlm., 100. 14
Moegni Djojodirdjo SH, Perbuatan Melawan Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta 1978, hlm., 13.
24
Penulis kemukakan di atas dalam catatan sejumlah literatur, Pasal 1365 KUHPerdata tidaklah memberikan perumusan mengenai arti perbuatan melawan hukum. Melainkan Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya maka orang atau pihak yang dirugikan tersebut dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan. Berkaitan dengan uraian kepustakaan sebagaimana dikemukakan di atas, rumusan pengertian perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata tersebut di atas sudah mencakup perumusan onrechmatige daad. Ada dua macam pengertian perbuatan melawan hukum. Meliputi, perbuatan melawan hukum dalam perumusan sempit dan perbuatan melawan hukum dalam perumusan luas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti yang sempit yakni15; “tiap perbuatan yang timbul karena undang-undang, jadi bertentangan dengan wettelijkrecht atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang jadi bertentangan dengan wettelijke plicht” Dengan demikian dalam pengertian yang sempit maka perbuatan melawan hukum adalah` sama dengan onwetmatig (bertentangan dengan UndangUndang16). Terhadap ajaran sempit yang mengartikan perbuatan melawan hukum yang demikian itu, terdapat banyak tantangan-tantangan.
15
Ibid. hlm., 21.
16
Pitlo Mr. A. : Het Verbintenissenrecht naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek – H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V. Haarlem 1952, hlm., 21. Lihat M. A. Moegni Djojodirdjo SH, Perbuatan Melawan Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta 1982, hlm., 21.
25
Para penulis Hukum Perdata hampir unaniem mengusulkan perumusan yang luas. Kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat sejak akhir Abad 19 sudah menghendaki adanya pengertian luas terhadap perbuatan melawan hukum. Belanda, pada tahun 1911 mengajukan suatu rancangan undang-undang pada Tweede Kamer. Setelah rancangan undang-undang tersebut, pada tahun 1913 terjadi perubahan penting tentang konsep perbuatan melawan hukum. Meskipun racangan undang-undang tersebut seperti lazimnya terjadi dengan kebanyakan rancangan undang-undang lainnya di banyak negara, kemudian dilupakan17 namun dalam rancangan undang-undang Belanda yang telah mengalami perubahan tersebut diketengahkan rumusan tentang perbuatan melawan hukum, yakni18: “suatu perbuatan atau suatu kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (orang yang melakukan perbuatan) atau melanggar, baik kesusilaan baik, ataupun bertentangan dengan keharusan, yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang”. Enam tahun setalah RUU kepada Tweede Kamer Belanda itu, pada tahun 1919 Hoge Raaddalam hal ini lembaga yudikatif yang menjadi tempat berhimpun para hakim dan bukan para legislator memberikan keputusan yang penting dalam bidang hukum perdata, yakni pada tanggal 31 Januari 1919, dalam perkara
17
Veegens & Oppenheim Schets van het Nederlands Burgerlijk Recht,hlm., 132. Lihat catatan kaki nomor 24, MA Mugni Djojodirdjo SH, Perbuatan Melawan Hukum, Penerbit Pradnya Pramita, Jakarta 1982, hlm., 24.
18
Pitlo, Op. Cit. hlm., 218.
26
Lindebaum vs Cohen19 yurisprudensi memberikan pengertian perbuatan melawan hukum secara luas yaitu: “bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrecgtmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang bertentangan dengan hak orang lain20, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan baik, pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Sedangkan barang siapa karena salahnya sebagai akibat perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian”. Penafsiran luas tentang perbuatan melawan hukum yang dikembangkan oleh para hakim Hoge Raad Belanda tersebut sudah diikuti oleh pengadilan di Indonesia. Ini ternyata dari putusan Pengadilan Tinggi Surabaya21 tanggal 31 Desember 1951 No. 92/1950 Pdt, yang dalam pertimbangan hukumnya telah menyitir tafsiran luas dari Hooge Raadtentang perbuatan melawan hukum dalam putusan Hoge Raad31 Januari 1919 tersebut. Dari uraian mengenai hakikat perbuatan melawan hukum di atas, terlihat dengan jelas bahwa ada keinginan yang cukup besar dari para ahli hukum, maupun pihak yang memiliki otoritas dalam bidang pembangunan kaedah hukum khususnya tentang konsep perbuatan melawan, baik di Belanda maupun di Indonesia untuk mengikuti dikte hukum mengenai pengertian perbuatan melawan hukum yang ideal. Dalam konteks penulisan skripsi ini, yang dimaksudkan 19
Loc.Cit. hlm., 25-26.
20
Menurut pendapat Penulis, pada rumusan arti perbuatan melawan hukum di atas, terdapat konsep perbuatan melawan yang bertentangan dengan hak orang lain yang berkonvergensi atau koheren dengan makna konversi (conversion). 21
Chidir Ali SH, Yurisprudensi Indonesia Tentang Perbuatan Melanggar Hukum, Penerbit Bina Cipta, hlm., 3.
27
Penulis dengan pengertian perbuatan melawan hukum yang ideal tersebut adalah, termasuk dalam pengertian perbuatan melawan hukum itu, ada konsep perbuatan melawan hak orang lain, atau yang dalam konsep hukum perdagangan internasional yang dibicarakan dalam skripsi ini yaitu konversi (conversion).
2.3.
Unsur-Unsur dalam Perbuatan Melawan Hukum Sejak Arrest 1919, suatu perbuatan merupakan melawan hukum kemudian
dipahami sebagai mengandung unsur-unsur sebagai berikut, apabila22: melanggar hak orang lain23,atau bertentangan dengan kewajiban hukum sipembuat, atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terdapat diri atau barang hak orang lain. Dimaksud melanggar hak orang lain sebagai unsur perbuatan melawan hukum24ialah melanggar hak subyektif orang lain. Hak subyektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingan25 orang lain. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kekayaan26. Dalam konteks topik Penulisan
22
Rachmat Setiawan SH, Op.,Cit. hlm., 17-21.
23
Lihat catatan kaki no. 20, Supra.
24
Ibid. hlm., 17.
25
Meyers, Algemene Begrippen, hal., 70-98 dan 266-286. Lihat buku Rachmat Setiawan SH, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum¸Penerbit Alumni, Bandung 1982, hlm., 17. 26
Rachmat Setiawan SH, Loc.Cit.
28
karya tulis ini, yang dimaksud dengan hak atas kekayaan tersebut yaitu hak atas barang yang jumlah, jenis dan wujudnya tertera dalam B/L. Adakalanya pelanggaran hak subyektif selain terjadi karena perbuatan melawan hukum, dapat juga disebabkan oleh peristiwa-peristiwa lainnya. Misalnya, karena perbuatan pihak ketiga. Pelanggaran tersebut dimasukkan sebagai kriteria perbuatan melawan hukum, karena pelanggaran tersebut pada umumnya sudah dengan sendirinya merupakan perbuatan melawan hukum. Seseorang yang merusak barang orang lain memindahtangankan penguasaan barang milik orang lain kepada pihak yang tidak berhak dengan melawan hukum27 atau melukai orang lain dianggap npso facto telah melakukan perbuatan melawan hukum28. Dalam hal-hal dimana kerugian disebabkan oleh sesuatu yang tidak langsung, maka perbuatan tersebut tidak dianggap melawan hukum karena melanggar hak subyektif orang lain, akan tetapi perbuatan tersebut dapat dikatakan melawan hukum karena perbuatan itu bertentangan dengam norma kepatutan29. Dus dapat dipergunakan sebagai pedoman bahwa suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif merupakan perbuatan melawan hukum, apabila
27
Wujud konkret Perbuatan seperti ini terlihat ketika PT. Gespamindo memindahtangankan pupuk kepada ketiga pemesan tanpa terlebih dahulu meminta B/L dikuasai oleh PT. Sajahtera Bank Umum. 28
29
Rachmat Setiawan, Op.Cit., hlm.,18. Ibid.
29
perbuatan tersebut secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hak subyektif. Dengan demikian dapat dipertahankan pendapat, bahwa “gangguan”, di mana kenikmatan atas hak milik seseorang terganggu, tidak menimbulkan pelanggaran terhadap hak subyektif akan tetapi melawan karena bertentangan dengan norma kepatutan30. Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban menurut hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis31. Tetapi Hooge Raad menafsirkan kewajiban hukum sebagai kewajiban menurut undang-undang. Jadi perbuatan melawan hukum diartikan antara lain, berbuat atau tidak berbuat yang melanggar suatu kewajiban yang telah diatur oleh Undang-undang32. Penafsiran yang demikian itu, dikarenakan rumusan Hooge Raad tentang pengertian perbuatan melawan hukum pada tahun 1919 menjiplak secara hurufiah dari rancangan undang-undang tahun 191333. Melanggar kewajiban menurut undang-undang tidak hanya undangundang arti formal. Akan tetapi juga peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Termasuk dalam katagori perbuatan yang melanggar kewajiban menurut hukum (undang-undang) adalah perbuatan pidana, misalnya pencurian, penggelapan, penipuan dan pengrusakan. Selain dapat dituntut secara pidana, pun 30
Ibid.
31
Baik secara tertulis, dalam hal ini ditulis dalam B/L bahwa consignee adalah importir maupun secara tidak tertulis bahwa penguasaan atas B/L berada di tangan PT. Bank Sajahtera Umum, sebetulnya telah terpenuhi dalam kasus Putusan 1887. 32
Ibid.
33
Ibid. hlm., 19.
30
dapat dituntut gantirugi berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata34.Pada titik ini, menurut hemat Penulis, ada terlihat jelas bahwa suatu perbuatan melawan hukum tidak hanya berdimensi hukum privat (KUHPerdata) saja, namun juga memiliki dimensi publik (KUHP), termasuk melanggar berbagai peraturan perundangundangan yang mengatur ketentuan perizinan, perpajakan kepabeanan, cukai. Tentang “kesusilaan yang baik” tidak dapat diberikan rumusan yang tepat. Dapat dinyatakan sebagai norma-norma moral yang dalam pergaulan masyarakat telah diterima sebagai norma-norma hukum35. Hingga sekarang belum ada yang dapat secara tepat mengemukakan apa yang dimaksudkan dengan “kesusilaan baik”. Namun pada umumnya para ahli mengakui danmenerima pengertian dan asas tentang “kesusilaan baik” tersebut. Akan tetapi ada kesulitan apabila harus menentukan lebih lanjut tentang pengertiannya36. Perlu diperhatikan, bahwa pendapat tentang apa yang termasuk ke dalam “kesusilaan yangbaik” selalu berubah menurut waktu dan tempat. Mengenai perkawinan, pelaksanaan wewenang orang tua, hak-hak kebebasan manusia, hubungan antara majikan dengan buruh, dan kedudukan sosial pada umumnya terdapat perbedaan pendapat antara masyarakat yang satu dari masyarakat yang lain. Meskipun, harus diakui bahwa hukum itu universal sifat keabadiannya, tidak
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
31
terikat oleh pandangan suatu masyarakat di tempat dan waktu tertentu37. Sementara itu apa yang dulu dianggap tidak susila, mungkin sekarang tidak adalah sesuatu yang terikat oleh waktu. Untuk mengatasi kesulitan tersebut pada akhirnya hakimlah yang memutuskan menurut pendapat dan nalurinya. Sebagai mana dikte hukum kepada hakim tersebut. Memang terdapat kemungkinan bahwa pendapat hakim tersebut tidak sesuai dengan pandangan umum, akan tetapi hal tersebut jarang sekali terjadi38 sebab dalam banyak hal pandangan umumpun hanya mengikuti saja dikte hukum (the dictate of the law). Diperlukan kiriterium berikut ini untuk melengkapi kreteria-kreteria terdahulu. Dalam rancangan undang-undang tahun 1911 telah dipergunakan perkataan “bertentangan dengan kewajiban memelihara sebagai bapak rumah tanggayang baik”. Rumusan ini pada tahun 1913 diubah menjadi suatu perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat terhadap diri atau barangbarang orang lain39. Setiap manusia sebagaimana tuntutan hukum harus menyadari bahwa ia adalah bagian dari anggota masyarakat dan karenanya dalam perbuatan dan tingkah
lakunya
harus
memperhatikan
kepentingan-kepentingan
37
Ibid. Hal ini sesuai dengan Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, yang juga jelas merupakan sesuatu yang bernilai universal, tidak terikat oleh waktu, tempat dan penguasa atau masyarakat tertentu. 38
Ibid. hlm.,20.
39
Ibid. Pandagan seperti ini lazim dikenal dalam hubungan hukum sewa-menyewa; dimana adalah merupakan kewajiban hukum (kontraktual) bagi si penyewa untuk selalu menjaga barang milik orang yang menyewakan yang sebagai “seorang bapak rumah yang baik”.
32
sesamanya40.Pada hemat Penulis, dimensi “angggota masyarakat” tersebut tidak terbatas sebatas masyarakat pedagang yang bertransaksi dalam satu negara nasional saja, tetapi justru meluas meliputi semua transaksi termasuk transaksitransaksi bisnis internasional yang menjadi konsen penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah di bidang hukum ini. Pada garis besarnya dapat dinyatakan, bahwa suatu perbuatan adalah bertentangan dengan kepatutan, jika perbuatan tersebut sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak; perbuatan yang tidak berfaedah yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, yang menurut manusia yang normal hal tersebut harus diperhatikan dan tidak diperbuat41. Beberapa penulis berpendapat bahwa dengan adanya kriterium “norma kepatutan”, ketiga kreterium terdahulu dapat ditiadakan. Dengan mengemukakan alasan bahwa perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan “kepatutan”.Pendapat
ini
adalah tidak tepat,
karena kriterium
terakhir
dipergunakan sesuai dengan tuntutan hukum justru untuk menambal kelemahankelemahan ketiga unsur perbuatan melawan hukum yang telah terdahulu diuraikan di atas42.
40
Ibid.
41
Ibid.
42
Ibid. hlm., 21.
33
2.4.
Syarat Materil Tuntutan Ganti Rugi Setelah menguraikan kepustakaan yang membahas hakikat Perbuatan
Melawan Hukum (PMH), maka berikut di bawah ini aspek hukum yang ada kaitan dengan hal itu yaitu tinjauan kepustakaan tentang syarat-syarat materil tuntutan gantirugi. Uraian tersebut akan dimulai dari unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat. Dengan menentukan syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata pembentuk undang-undang menyatakan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum hanya bertanggungjawab untuk kerugian yang ditimbulkannya, apabila perbuatan dan kerugian tersebut dapat diperhitungkan kepadanya. “Kesalahan” dipakai untuk menyatakan, bahwa seseorang dinyatakan bertanggungjawab untuk akibat yang merugikan yang terjadi oleh perbuatannya yang salah43. Dalam arti yang demikian perkataan “karena kesalahannya mengakibatkan kerugian” tersebut dalam Pasal 1365 KUHPerdata harus ditafsirkan. Apabila seseorang karena perbuatan melawan hukum yang ia lakukan dan kerugian yang ditimbulkan dapat dipertanggungkan kepadanya44. Karena dalam Pasal 1365 BW kedua unsur perbuatan dan akibat ditentukan sebagai syarat yang berdiri sendiri, maka ada yang memberi pengertian atas istilah kesalahan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat 43
Ibid. hlm., 24.
44
Ibid. hlm., 25.
34
dipertanggungkan kepada si pelaku45. Pendapat tersebut tidak diterima oleh semua pihak, meskipun tafsiran tersebut dianggap sesuai dengan teks undang-undang dan yurisprudensi46. Dalam hukum pidana telah diterima asas tidak dipidana tanpa kesalahan. Sedangkan dalam hukum perdata asas tersebut dapat diuraikan tidak ada pertanggungjawaban untuk akibat-akibat dari perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan47. Walaupun dalam Pasal 1365 KUHPerdata ditentukan kewajiban pelaku untuk membayar gantirugi, akan tetapi undang-undang tidak mengatur lebih lanjut tentang gantirugi yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum48. Gantirugi karena wanprestasi dan gantirugi berdasarkan perbuatan melawan hukum terdapat kesamaan. Bagi yang terakhir dapat diterapkan sebagian dari ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk ganti rugi yang disebabkan oleh wanprestasi49. Dimaksud dengan “schade” dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum. Kerugian ini dapat bersifat harta kekayaan dapat pula bersifat idiil.Pengrusakan atau penghancuran
45
Asser’s. et alOp. Cit. hlm., 510.
46
Rachmat Setiawan SH, Op.Cit., hlm., 25.
47
Ibid.
48
Ibid. hlm., 28.
49
Ibid.
35
barang-barang yang harus diganti atau diperbaiki adalah tujuan dari kerugian yang bersifat harta kekayaan50. Kerugian harta kekayaan umumnya meliputi kerugian yang diderita oleh si penderita dan keuntungan yang seharusnya ia peroleh. Hooge Raadberkali-kali telah memutuskan bahwa Pasal-Pasal 1246 – 1248 KUHPerdata tidak langsung dapat diterapkan untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum. Namun demikian tidak keberatan untuk menerapkan secara analogis. Dalam Arrestnya 2 Pebruari 1912, Hooge Raad dengan tegas menyatakan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum harus mengganti baik kerugian yang diderita maupun keuntungan yang akan diperoleh51. Kerusakan
sebuah
truk
disebabkan
perbuatan
melawan
hukum
mewajibkan pelakunya tidak hanya harus membayar biaya-biaya perbaikan, tetapi wajib pula mengganti pemiliknya selama truk tersebut diperbaiki. Pelaku yang menyebabkan seseorang luka-luka, tidak hanya terus mengganti biaya perawatan dokter, tetapi juga penghasilan yang hilang sebagai akibat si penderita tidak dapat lagi bekerja52. Setiap perbutan melawan hukum dapat menimbulkan kerugian idiil, dengan demikian kerugian yang bersifat idiil adalah hal-hal seperti ketakutan,
50
Ibid.
51
Ibid.
52
Ibid.
36
sakit atau kehilangan kesenangan hidup. Menurut Pasal 1370 KUH Perdata, dalam hal pembunuhan tidak terdapat kemungkinan untuk menuntut kerugian idiil53. Penentuan besarnya kerugian yang harus diganti seringkali terjadi dengan penilaian. Sebagai asas dapat dikemukakan, bahwa orang yang dirugikan sebanyak mungkin ditempatkan pada kedudukan sekiranya perbuatan melawan hukum itu tidak terjadi54. Pada umumnya penderita yang menuntut ganti rugi harus dapat membuktikan besarnya kerugian. Akan tetapi karena kesulitan pembuktian tersebut, hakim dapat menentukan besarnya kerugian menurut rasa keadilan. Putusan MA55) tanggal 23 Mei 1970 No. 610 K/SIP/1968 menentukan “meskipun tuntutan ganti rugi jumlahnya dianggap tidak pantas, sendangkan penggugat tetap pada tuntutannya, hakim berwenang untuk menetapkan berapa pantasnya harus dibayar. Hal ini tidak melanggar Pasal 178 (3) HIR56. Jika memungkinkan dan dapat diharapkan si penderita wajib membatasi kerugian. Biaya-biaya yang diperlukan untuk membatasi kerugian tersebut diperhitungkan ke dalam kerugian yang harus diganti oleh si pelaku. Kerugian
53
Ibid. hlm., 30.
54
Ibid.
55
Chidir Ali, Op.Cit., hlm., 84.
56
Rachmat Setiawan, SH, Op.Cit.,hlm., 32. Pasal 178 (3) tersebut berbunyi bahwa “Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih dari pada yang di tuntut”.
37
yang terjadi karena tidak ada pencegahan dari si penderita tidak memperoleh pengantian57. Sebagai dasar ganti kerugian perbuatan melawan hukum dan kerugian, menurut Hoge Raad dalam beberapa Arrestnya, sejak tahun 1927, bahwa persoalan causalitet harus dipecahkan menurut ajaran adeguate verorzaking. Menurut prinsip tersebut terdapat hubungan (ceausalitet), apabila kerugian menurut pengalaman layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum58. Dalam kenyataannya suatu peristiwa tidak pernah disebabkan oleh suatu fakta, akan tetapi oleh fakta-fakta yang berturutan. Dan pada gilirannya faktafakta tersebut disebabkan oleh fakta-fakta lainnya, sehingga merupakan suatu rantai causalitet fakta-fakta yang menimbulkan suatu akibat tertentu59. Atas dasar ini ada pendapat, bahwa sampai pada kesimpulan bahwa sebab dari suatu perubahan adalah keseluruhan syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya suatu akibat. Hilangnya salah satu syarat, tidak akan menimbulkan akibat. Tiap syarat adalah sebab, oleh karenaconditio sine qua non untuk timbulnya
akibat.
57
Ibid. hlm., 32.
58
Ibid.
59
Ibid.
Pandangan
ini
tidak
dapat
dipergunakan,
karena
38
pertangungjawaban pelaku menjadii terlalu luas60. Sebagaimana telah banyak diketengahkan oleh sementara kepustakaan yang membicarakan mengenai hal ini.
2.5.
Sejarah Conversion Perdagangan internasionalmengenal konversi (conversion) sebagai suatu
institusi hukum61, yang dapat disejajarkan dengan perkembangan sejarah perbuatan melawan hukum sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas. Hanya saja, aspek historis yang tidak dapat diabaikan begitu saja, seperti telah Penulis kemukakan di atas adalah bahwa tumbuh dan berkembangnya konsep konversi ini tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum Inggris (English common law).Namun pada hakikatnya “akar” konversi tersebut bertumbuh pada awalnya dari tanah sistem hukum sipil yang dikenal di Skotlandia (Scots Common Law)62.
2.6.
Hakikat Conversion dalam Perdagangan Internasional Seperti telah disinggung di atas, konversi merupakan prinsip atau kaedah-
kaedah hukum perdagangan internasional yang dalam bahasa Inggris Hukum dikenal dengan terminologi conversion63.
60
61
62
Ibid.Lihat pendapat Voni buri. Jeferson Kameo., SH., LL.M., Ph.D. Op Cit. hlm., 11. Uraian mengenai hal ini memerhatikan buku kontrak sebagai nama Ilmu hukum.
63
Oxford Dictionary of Law, Op.Cit., p., 107 Definisi leksikal ini sebelumnya telah Penulis kemukakan dalam Bab I. Lihat hal.,11 Skripsi ini.
39
”atort of wrongful with person good’s in a way that constitutes a denial of the owner’s right or an assertion of right inconsistent with the owner’s. Wrongfully taking possession of good, disposing of them, destroying them, or refusing to give them back are acts of conversion”. Mere negligence in allowing goods to be lost or destroyed was not conversion. The plaintiff in conversion must prove that he had ownership, possession, or the right to immediate possession of the goods at the time of the defendant’s wrongful act. Subject to some exceptions, it64 is no defence that the defendant acted innocently”. Aplikasi pengertian konversi sebagaimana dikemukakan di atas dilihat dalam perdagangan internasional melalui uraian berikut dibawah ini: Apabila si Pembeli dalam hal ini adalah importir gagal membeli suatu cek berdokumen (fails to honours) maka si Pembeli (importir) harus mengembalikan konosemen (the bill of lading) satu jenis surat berharga yang ada dalam paket cek berdokumen (documentary credit) yang dia terima tersebut65. Sedangkan, apabila ternyata si Pembeli (importir) menahan B/L dalam paket cek berdokumen (docementary credit) yang ada sebelum membayar, maka barang yang rencananya akan dibeli tidak bisa menjadi milik si Pembeli (importir), atau si Pembeli (importir) belum menjadi Pembeli (importir)66.
64
Uaraian ini adalah upaya Penulis untuk menjawab rumusan permasalahan penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan sebagai tertera dalam Bab I skripsi ini lihat hal., 17. 65
Di Inggris, sebagai ilustrasi saja perlu dikemukakan di sini, bahwa berdasarkan hasil temuan dalam Penelitian Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D, ditemukan bahwa hal seperti itu diatur dalam undang-undang negara setempat, tepatnya undang-undang tentang Jual-Beli Barang (Sale of Goods Act), dapat dilihat rumusan dalam Pasal 19 Ayat (3). Undang-Undang tersebut. 66
Ibid.
40
Akibat dari ditahanya B/L dan tidak mau membayar maka si “Pembeli”67 itu melakukan perbuatan melawan hukum atau konversi (conversion). Itulah suatu gambaran tentang konversi (conversion) yang dalam skripsi ini dipandang sama dalam hakikatnya dengan konsep perbuatan melawan hukum yaitu sebagai suatu kontrak (a contract)68. Dalam Pasal 574 KUHPerdata pembuat undang-undang mengemukakan bahwa “tiap-tiap pemilik sesuatu kebendaan, berhak menuntut kepada siapa pun juga yang menguasai barang miliknya tersebut, untuk pengembalian kebendaan itu dalam keadaan beradanya. Menurut Penulis dari rumusan ketentuan/kaedah dalam Pasal tersebut berdimensi konversi sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan bunyi Pasal 574 KUHPerdata itu bisa menjadi pintu masuk dengan demikian untuk menempatkan kaedah konversi dalam hukum positif Indonesia. Dan dengan demikian, seperti telah penulis kemukakan dalam Bab I skripsi ini; “Usaha seperti itu, juga apabila dilakukan oleh para hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili serta memutus Putusan seperti Putusan 1887 maka akan memperkuat hukum positif Indonesia yaitu KUHPerdata yang tidak mengabaikan karakteristik internasional”69.
67
Lihat catatan kaki nomor 12 dalam Bab I, supra untuk maksud penempatan “.....” pada kata pembeli/importir. 68
Dapat diperiksa kembali pengertian kontrak menurut kontrak sebagai nama ilmu hukum yang telah, Penulis kemukakan terdahulu. Lihat sub – bab 2.2, catatan kaki nomor9 Bab ini. 69
Lihat Bab I, hal., 2.
41
2.7.
Unsur - Unsur dalam Konversi Setelah memerhatikan uraian tentang hakikat konversi sebagaimana
Penulis kemukakan di atas, berikut dibawah ini perlu dielaborasi atau dianalisis lebih jauh dari kepustakaan yang ada unsur-unsur dari suatu konversi dalam perdagangan internasional yang dalam skripsi ini, Penulis pandang, secara hakiki dapat disebut sebagai suatu PMH. Pada prinsipnya unsur-unsur konversi dalam perdagangan internasional adalah adanya penguasaan oleh satu pihak kepemilikan barang orang lain secara melawan hukum (hak);adanya kelalaian di pihak yang menguasai itu, dan terdapat kerugian. Tentang unsur penguasaan atas barang milik barang orang lain sebagai syarat
konversi
rasionalisasinya
adalah
sebagai
berikut.
Kadangkala,
penjual/eksportir itu sebenarnya bukanlah penjual/eksportir dari barang. Ia hanya sebagai perantara (pihak bank), akan tetapi karena bonafiditasnya dan reputasinya baik maka relasi luar negeri itu hanya mengenal dia dan mengingingkan dia sebagai penyelenggara dari transaksinya. Disamping hal tersebut di atas, juga dapat disebabkan karena peraturan suatu negara mengakibatkan dalam transaksi perdagangan internasional penjual/eksportir tidak dapat berhubungan langsung70, dengan pembeli/importir yang sebenarnya. Menurut hemat Penulis rumusan kepustakaan tersebut memerlihatkan bahwa jual-beli terjadi antara bank dengan
70
Prof. Pangaribuan Emmy SH, Pembukaan Kredit Berdokumen (Documentery Credit Opening) Cetakan Kedua, Yogyakarta, Seksi Hukum Perdata Dagang, Fakultas Hukum UGM, 1977. hal., 32.
42
bank. Berikut di bawah ini, meskipun tidak Penulis tempatkan dalam sub-bab Analisi dalam Bab III, namun dalam rangka memberi penekanan pada kejelasan, perlu aplikasi ke dalam kasus pada Putusan 1887. Dalam Putusan 1887, PT. Gespamindo dapat mengalihkan penguasaan atas barang-barang yang dibeli oleh PT. Sajahtera Bank Umumdari Banknya Phosphate Mining,Co di Australia yang diambil dari pihak pengangkut dan diserahkan kepada tiga pemesan tanpa mengunjukkan konosemen B/L. Maka hal ini sejalan dengan praktek yang berkembang akhir-akhir ini, bahwa banyak sekali pengangkut yang melepas barang-barang tanpa adanya pengunjukkan konosemen. Padahal penguasaan konosemen adalah berfungsi sebagaibukti kepemilikan atas barang dan adanya jaminan dan warranties. Pada Putusan 1887 PT. Samudara Indonesia menyerahkan barang berupa pupuk kepada PT. Gespamindo tanpa
PT. Gespamindo menunjukan
konosemen71. Seharusnya, dokumen-dokumen72 itu diambil terlebih dahulu dari pihak bank (PT. Sajahtera Bank) sebagaimana dikehendaki di dalam kaedah hukumperdagangan internasional yang mengatur tentang L/C. Dengan tidak ditunjukannya dokumen yang diperolehdari pihak bank, PT. Gespamindo sebagai pembeli tidak mempunyai hak untuk mengambil barang-barang itu dari pihak pengangkut. Apabila sebaliknya yang terjadi maka hal itu merupakan tindak 71
Rumusan yang Penulis kutip dari Putusan 1887 seharusnya tidak demikian adanya. Ada kemungkinan, menurut Penulis, PT. Samudera Indonesia ikut “bermain”, mengingat B/L adalah dokumen yang diterbitkan oleh perusahan pengangkutan. 72
Satu diantaranya adalah B/L yang dipegang PT. Sajahtera Bank, konosemen berjumlah 3 (tiga) buah, semuanya asli.
43
konversi sebab perpindahan penguasaan barang, dilakukan oleh si PT. Samudra Indonesia kepada si PT. Gespamindo yang telah menyerahkan barang-barang itu secara melawan hakdari PT. Sajahtera Bank Umum sehingga menimbulkan kerugian kepada PT. Sajahtera Bank Umum. Mengingat PT. Gespamindo pada prinsipnya tidak “membeli” cek berdokumen
(fails to honour) maka si “pembeli” harus mengembalikan
konosemen (the bill of lading) atau satu jenis surat yang ada dalam paket cek berdokumen yang dia terima tersebut. Apabila ternyata “Pembeli” menahan konosemen dalam paket cek berdokumen dan menjual barang yang sudah diambilnya dari perusahan pengangkutan, maka si “Pembeli”, atas perbuatannya tersebut mengalihkan hak kepemilikan atas barang milik penjual di luar negeri yang sudah berpindah kepada PT. Bank Sajahtera Umum, telah menimbulkan suatu kerugian kepada PT. Bank Sejahtera Umum dan tindakan Pembeli tersebut merupakan tindakan konversi73, yang dalam skripsi ini telah Penulis setarakan dengan perbuatan melawan hukum yang menurut Penulis, apabila hal ini dilakukan oleh para pengadil yang menerima, memeriksa dan mengadili dan memutus Putusan 1887 maka akan memperkuat hukum posetif Indonesia yaitu KUHPerdata yang tidak mengabaikan karakteristik transaksi internasional74 Kedua, syarat kesalahan/kelalaian dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang juga merupakan unsur yang sama dengan dalam unsurconversion. Dipakai untuk
73
Jeferson Kameo., SH., LL.M., Ph.D. Op Cit. hlm., 11.
74
Lihat hal yang sama dalam Bab I, hal., 2 dan hal., 41.
44
menyatakan bahwa seseorang bertanggungjawab untuk akibat yang merugikan yang terjadi oleh perbuatannya yang salah. Ketiga, adanya unsur kerugiandalam Pasal 1365 BW adalah kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum pada harta kekayaan, berupa pengrusakan atau penghancuran barang-barang yang karenanya harus diganti atau diperbaiki sebagaimana telah dikemukakan di atas. Artinya unsur kerugian dalam Pasal 1365 BW adalah tidak lain sama dengan unsur kerugian dalam conversion. Kedua institusi hukum tersebut mengsyaratkanadanya kerugian yang ditimbulkan karena pengingkaran terhadap hak pemilik barang. Dalam hal ini kepemilikan orang lain dilanggar dengan cara mengambil, membuang atau menolak memberi kembali. Sedangkan conversion dalam perdagangan internasional merupakan suatu sanksi hukum atas perbuatan melawan hak milik orang lain dalam hal ini barang milik penjual (eksportir). Perbuatan melawan hak itu dilakukan dengan cara si importir yang belum melunasi pembayaran barang ekspor mengambil barang milik orang lain tanpa hak, merusak, atau menjual dengan maksud memiliki atau mengalihkan hak kepemilikan atas barang milik Penjual yang berada di luar negeri yang sudah dialihkan karena dibeli oleh issuing bank yang menerbitkan L/C merupakan tindakan konversi75.
75
Ibid. hlm., 89.
45
2.8.
Matrix Perbandingan PMH dan Conversion Berdasarkan deskripsi kepustakaan mengenai unsur-unsur Perbuatan
malawan hukum 1365 KUHPerdata dan deskripsi kepustakaan mengenai conversion di atas maka berikut ini akan dikemukakan suatu matrix hasil studi perbandingan antara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan konversi dalam perdagangan internasional. Kesamaan dapat ditemukan dalam pengaturan perbuatan melawan hukum misalnya dalam Arrest 1919.Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum pertama, apabila perbuatan tersebutmelawan hak subyektif yang dari orang lain. Berkenaan dengan perbuatan melawan hukum beberapa perbuatan melawan hak yang diakui oleh yurisprudensi ialah melawan hak-hak pribadi seperti hak atas kekayaan. Adakalanya pelanggaran hak subyektif selain terjadi karena perbuatan melawan hukum, dapat juga disebabkan oleh peristiwa-peristiwa lainnya, misalnya karena perbuatan pihak ketiga yang melawan hukum. Unsur perbuatan melawan hukum tersebut di atas, ketika diteliti, lebih jauh, sebenarnya akan jatuh sama dengan unsur conversiondalam perdagangan internasional yang juga dikenal dalam sistem hukum perdata di Inggris.Dimana conversion yang disebut dengan tort itu, yang juga mengandung unsur suatu tindakan melawan hak dari orang yang mempunyai kepemilikan suatu barang. Perbuatan melawan hak sebagai perbuatan melawan hukum dalam conversion
46
tersebut dilakukan dengan maksud merusak, membuang atau memiliki hak orang lain76.
2.9.
Kualifikasi Lex Causae (Lex Fori yang Diperluas) Sebagaimana sudah dikemukakan di atas bahwa Putusan 1887
mengandung unsur asing, sehingga putusan perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur asing tersebut mempunyai hubungan hukum dalam bidang Hukum Perdata Internasional77 (Private International Law). Unsur asing ini ditentukan oleh subjek, tempat atau formasinya. Yang menjadi persoalan dalam HPI adalah menentukan hukum manakah yang harus berlaku atau dikenal dengan prinsip lex causae78. Prinsip lex causae merupakan pendekatan yang berkembang di dalam ilmu hukum perdata internasional, bekerja dalam menyelesaikan persolan-persolan hukum yang mengadung unsur asing, khususnya dalam menetapkan hukum apa yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan perkara yang mengandung unsur asing tersebut79. Dengan prinsip lex causae membuka kemungkinan bagi pengadilan dan hakim untuk dapat memakai hukum perdagangan internasional, dalam hal ini 76
Lihat penerapan hal ini pada halaman 42-43 di atas, Supra
77
Selanjutnya Penulis singkat menjadi HPI.
78
Rachmat Setiawan, SH.,Op.Cit.,hlm., 125.
79
Dr. Bayu Seto Hardjowahono, SH.,LL.M. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Buku kesatu Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.,81.
47
konversi dalam proses pengambilan keputusan hukum untuk “merekayasa” dan “mengarahkan” penarikan kesimpulan-kesimpulan hukum secara diskresioner dan lebih berkeadilan atau apa yang telah Penulis kemukakan di atas80 lebih ideal81. Tidak jarang bahwa pada suatu saat pengadilan dalam putusannya menganut suatu prinsip, namun dalam perkembangnnya berubah sikap dan mengganti pola pendekatan yang digunakannya untuk menyelesaikan perkara-perkara HPI82. Yang terpenting dalam kaitan ini tentunya adalah nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi dalam penengakan hukumlah yaitu nilai-nilai keadilan (justice), kewajaran (reasonablenees), kepastian hukum (legal certainty), serta tanggung jawab profesional (professional responsibility) harus selalu menjadi dasar pemanfaatan HPI dalam aktivitas pengambilan keputusan hukum sehari-hari83. Pada tahap ini,
sebagai akibat dari adanya unsur-unsur asing maka
hakim84, harus menentukan
fakta-fakta di dalam perkara yang menunjukan
adanya keterkaitan (connection) antara perkara dan tempat-tempat asing (tempattempat diluar wilayah negara forum). Fakta-fakta ini dalam HPI disebut sebagai
80
81
Lihat Bab I hal., 8. Ibid. hlm., 13.
82
Di dalam sistem Conflict of Laws Amerika Serikat, misalnya, telah berkembang pelbagai metode berpikir dan atau pendekatan yang secara teoritik berbeda-berbeda. Namun, dalam praktik, pengadilan-pengadilan di negara bagian di AS ternyata tampak bebas untuk memiilih metode berpikir atau pendekatan apa yang hendak digunakannya dalam penyelesaian perkara-perkara conflict of Laws. Lihat Symeonides, Symeon C., Choice of Law in the American Courts in 2003 Seventeenth Annual Survey. American Journal of Comparative Law, 52 Am. J. Comp. L. 9, 2004. 83
Dr. Bayu Seto Hardjowahono,Op.Cit., hlm. Penulis lebih suka memanfaatkan kaedah hukum yang mengatur transaksi bisnis atau perdagangan internasional. 84
Istilah “hakim” di sini hendaknya diartikan secara luas dan mencakup juga siapa saja yang harus mengalami proses berpikir yuridis semacam ini.
48
titik-titik taut primer85 adanya titik-titik taut primer di dalam sekumpulan fakta menunjukan bahwa orang sedang menghadapi sebuah perkara HPI86. Menghadapi suatu perkara HPI (atau “perkara yang menunjukan pertautan dengan lebih dari satu sistem hukum nasional dari negara-negara yang berbeda”), maka hakim dapat mengabaikan konsekuensi bahwa: Lex fori87 bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan dalam penyelesain perkara yang bersangkutan. Artinya, ada kebutuhan untuk menentukan sistem hukum manakah di antara sistem-sistem hukum yang relevan, yang harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara yang sedang dihadapi88. Dalam kaitan dengan persoalan di atas setiap proses pengambilan keputusan hukum oleh hakim maka, tindakan “kualifikasi” adalah bagian dari proses yang hampir pasti dilalui karena dengan kualifikasi, orang dalam hal ini hakim mencoba untuk menata sekumpulan fakta yang dihadapinya (sebagai
85
Titik-titik taut adalah fakta-fakta dalam sebuah perkara yang mempertautkan perkara dengan suatu tempat/wilayah negara tertentu. Sedangkan titik-titik taut primer adalah fakta-fakta dalam sebuah perkara HPI yang, ditinjau dari kedudukan forum, mempertautkan perkara dengan tempat atau wilayah suatu negara asing tertentu. Lihat lebih lanjut pada Bab V buku DR. Bayu Seto Kardjowahono, SH., LLM. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Buku Kesatu Penerbit PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2006, hlm., 121-139. 86
Dr. Bayu Seto Hardjowahono, Op.Cit., hlm., 17.
87
Lex fori adalah sistem hukum dari tempat dimana persoalan hukum diajukan sebagai perkara. Dengan kata lain, lex fori adalah hukum dari forum tempat perkara diselesaikan. 88
Sistem hukum yang harus digunakan untuk menyelesaikan sebuah perkara HPI dalam pembahasan ini disebut dengan istilah lex causae.
49
persoalan hukum), mendefinisikannya, dan kemudian menempatkannya ke dalam kategori yuridik tertentu89. Kualifiksi masalah hukum (classification of the cause of action) secara lebih khusus dalam perkara perdata internasional dimana orang selalu berurusan dengan kemungkinan berlakunya lebih dari satu sistem atau aturan hukum kaedah dan asas dari dua negara yang berbeda. Sehingga kualifikasi dalam Hukum Perdata Internasional dilakukan berdasarkan sistem hukum mana/apa, di antara pelbagai sistem hukum yang relevan dalam suatu perkara90.Dalam HPI Lex Causae yang bisa dipakai untuk menjawab masalah di atas. Menurut Martin Wolf91 prinsip lex causae di definisikan sebagai: proses kualifikasi dalam perkara Hukum Perdata Internasional dijalankan sesuai dengan sistem hukum serta ukuran-ukuran dari keseluruhan sistem hukum yang berkaitan dengan perkara. Tindakan kualifikasi tersebut menunjukan adanya lex causae dengan lex fori yang diperluas. Hal itu jugadimaksudkan untuk menentukan kaidah hukum perdata Internasional mana dari lex fori yang paling erat kaitanya dengan kaidah hukum asing yang mungkin diberlakukan. Penentuan ini harus dilakukan dengan memperhatikan sistem hukum asing92 bersangkutan. Setelah kategori yuridik dari
89
Dr. Bayu Seto Hardjowahono, Op.Cit., hlm., 68. Harus Penulis akui bahwa demikian itu pulah dilakukan dalam penelitian dan penulisan karya tulis ini.
90
Ibid.
91
Private Internasional Law. 2nd Edition, Oxford, 1950, hal., 146 dan seterusnya.
92
Sebetulnya lebih tepat apabila istilah yang digunakan adalah sistem hukum perdagangan internasional/ lex mercatoria. Inilah perbedaan titik kajian antara skripsi ini dengan skripsi tentang HPI atau Private International Law.
50
suatu peristiwa hukum ditetapkan dengan cara itu, barulah dapat ditetapkan kaidah hukum perdata Internasional mana dari lex fori yang akan digunakan untuk menunjuk ke arah lex causae93. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara hukum perdata Internasional dan salah saatu fungsi utama hukum perdata Internasional adalah menetapkan aturan-aturan yang dapat diterapkan pada perkara-perkara yang merasuk ke dalam suatu sistem hukum asing. Dengan demikian, jelaslah bahwa hakim dalam perkara hukum perdata internasional harus juga mempertimbangkan aturan-aturan dan lembaga-lembaga hukum asing. Karena hal itu pula, hakim tidak dapat terikat secara kaku (rigid) pada konsep-konsep hukum lex fori yang paling dikenal oleh hakim saja. Sikap yang demikian dapat mengakibatkan dikesampingkan suatu lembaga atau konsep hukum asing yang seharusnya digunakan, hanya karena alasan tidak dikenalnya lembaga atau konsep hukum asing itu di dalam lex fori94. Padahal hakim itu sendiri adalah lex fori, setidak-tidaknya menurut hemat Penulis. Ada pendapat yang megemukakan bahwa: konsep - konsep seperti “kontrak”, “perbuatan melawan hukum”, dan sebagainya dalam hukum perdata
93
Perlu disadari di sini bahwa Kaidah HPI(choice of law rule) umumnya merupakan kaidah penunjuk yang di dalamnya memuat titik taut apa yang harus digunakan sebagai tititk taut penentu dalam rangka menetapkan hukum yang akan diberlakukan. 94
Dr. Bayu Seto Hardjowahano, SH., LL.M.Op.Cit., hlm., 81.
51
internasional diberi pengertian yang lebih luas sehingga dapat mencakup peristiwa/hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem asing95”. Jika diteliti lebih jauh Putusan 1887 tersebut di atas mengandung elemenelemen asing, maka dalam penerapan hukum mana yang lebih berlaku di dalam transaksi adalah adil bila para hakim dalam mengadili dan memutus perkara Putusan 1887 menetapkan lex causae berdasarkan prinsip hukum perdagangan internasional yaitu; lex mercatoria.
2.10. Prinsip Lex Mercatoria Secara historis, lex mercatoriamerupakan sekumpulan hukum kebiasaan diantara para pedagang Eropa yang diadministrasikan oleh pengadilan pedagang (merchant court) dimana ada dari unsur pengadil adalah pedagang itu sendiri yang menjadi hakimnya. Gagasan dasar inilah yang ada di balik penelitian banyak lembaga-lembaga arbitrase internasional saat ini. Sebagai suatu tradisi hukum, lex mercatoria yang merupakan hukum kebiasaan pedagang Eropa pada abad pertengahan tidak terekam atau tercatat dalam bentuk homogen. Lex Mercatoria terekam dalam berbagai literatur, nasehat berkala kepada pedagang, dekrit raja, hukum munisipal (municipal law), custom of fair,glossary dan komentar hukum Romawi dan Kanonik96.
95
Cheshire, G.C. & North P.M., Private International Law. Butterworths, 12th , 1992, hlm., 46-47.
52
Pada saat itu, hukum ini hanya berlaku bagi orang tertentu, yakni pedagang, dan tempat tertentu, seperti pasar dan pelabuhan laut. Ia juga mengatur hubungan perdagangan di suatu kota97. Belakangan dalam konteks yang lebih modern, mendefinisikan lex mercatoria sebagai: the customs or usages of international trade, or the rules of law that are common to all or most of the states engaged international trade ot to those that connected with the contract98. Stocker mengutip Goldman memberikan batasan. lex mercatoria sebagai a set of genaral principles, and customary rules spontaneously referred to or elaborated in the framework of international trade without reference to a particular national system or laws.99 Selain itu ada pula yang mendefinisikanlex mercatoria sebagai: rules of laws which are common to all or most of the states engaged in international trade or to those state connected which the disputes, and if not ascertainable, the rules which appear to be appropriate and equitable.100 Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat dikatakan, bahwa prinsipprinsip dan kebiasaan yang diterima secara umum dalam praktek perdagangan 96
Roy Gooede “The Concept of Good Faith in English Law” , www.cn.itcrdcsframe2.htm diakses pada 20 Juli 2002.
97
Harold J, Berman, Law and Revolution, The Formation of the western Legal Tradition (Cambridge: Harvard University Press, 1999), hlm., 341. 98
J.G. Castel, et.al, The Canadian Law and Practice of International Trade with Particular Emphasis on Export and Import of Goods and Services, (Toronto: Emmons Montgomery Publication Limited, 1991), hlm., 105.
99
C.W.O. Stoecker, “The Lex Mercatoria: to What Extent Does it Exist?”, dalam journal of international Arbitration, Vol 7, 1990, hlm., 105.
100
O. Lando, ”The Lex Mercatoria in International Commercial Arbitration”, dalam International and Comparative Law Quarterly, Vol 34, 1985, hlm., 747.
53
internasional tanpa merujuk pada suatu sistem hukum internasional tertentu lex mercatoria merupakan suatu norma yang bersifat otonom, suatu norma yang berlaku di kalangan masyarakat dagang atau belakangan agak sedikit dirancukan dengan istilah bisnis101. Adapun elemen-elemen lex mercatoria di alam perdagangan internasional dihimpun dan ditegaskan keberadaannya lewat102: (Kompilasi-kompilasi tertulis asas-asas dan aturan-aturan dalam bidang atau sektor perdagangan tertentu103 yang dilakukan oleh badan-badan internasional publik atau swasta). Contohnya: kompilasi Incoterms 2000 atau Uniform Customs and Practice for Documentary Credit104; (Konvensi-konvensi hukum inteternasional atau regional yang mengatur sektor-sektor perdagangan internasional tertentu secara subtansial, yang dipelopori oleh The UNCITRAL Convention on Contracts for International Sale of Goods105dan diikuti oleh perbagai konvensi lain (misalnya, Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods106; UNIDROIT Convention
101
Khairandy Ridwan, Pengantar Hukum Perdata Internasional, FH UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm., 126.
102
Lihat websites resmi UNCITRAL pada http://www.uncitral.org/uncitral atau International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) pada http://www.unidroit.org/ atau Internasional Chamber of Commerce pada http://www.iccwbo.org/. 103
Perkembangandi atas menunjukan bahwa dewasa ini, sekurang-kurangya di bidang perdagangan internasional, sedang tumbuh seperangkat asas dan aturan hukum yang memiliki ciri dan sifat seperti layaknya sebuah sistem hukum nasional yang otonom dan idependen. Bidang hukum baru inilah yang dikenal dengan sebutan the New Lex Mercatoria. Lihat Dr. Bayu Seto Hardjowahono, SH., LL.M. Op.Cit., hlm. 318. 104
UCPDC, 1993.
105
Vienna, 1980.
106
Amended, 1980.
54
on Internasional Financial Leasing107; Convention on International Interests in Mobile Equipment108; The United National Convention on the Assignment of Receivables in International Trade109; UNIDROIT Convention on International Factoring110; Pembentukan model laws dan legal guides atau model/pedoman pembuatan peraturan perundang-undangan yang sebenarnya di maksudkan untuk dijadikan model dalam pembuatan peraturan perundang-undangan nasional, tetapi secara subtantif mengandung asas-asas dan aturan-aturan yang dianggap sesuai dengan
tuntutan
kebutuhan
perdagangan
internasional).
Misalnya,
The
UNCITRAL Legal Guide on Drawing up International Contracts for the Contruction of Industrial Work (1988), UNIDROIT Model Franchise Disclosure Law (2002), dan UNCITRAL Model Legislative Provisions on Privately Financed Infrastucture Projects (2004); Pembuatan law restatements atau kondifikasi tidak resmi dari asas-asas dan aturan-aturan yang hidup dan berkembang dalam praktik perdagangan internasional, yang didesain sedemikian rupa sehingga dapat mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada di antara sistem-sistem atau tradisitaradisi hukum yang ada di dunia. Contoh yang paling baik untuk menggambarkan pranata ini adalah Principles of International Commercial Contracts (2004) yang berisi sekumpulan asas dan aturan dalam kontrak bisnis internasional, baik yang dikenal dalam praktik maupun yang dianggap terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan 107
Ottawa, 1988.
108
Cape Town, 2001.
109
New York, 2001.
110
Ottawa, 1988.
55
perdagangan sehari-hari. Di terimanya prinsip-prinsip UNIDROIT ini di perlbagai forum internasional dan nasional, arbitrase, atau pengadilan biasa, menunjukan adanya kesadaran baru bahwa kaidah-kaidah hukum perdagangan internasional itu sebenarnya ada dan memiliki sifat yang otonom dan independen. Di lingkungan masyarakat Eropa (ME) juga tengah dikembangkan Principles of European Contract Law yang direncanakan akan menjadi hukum kontrak Eropa sebagai European ius commune walaupun masih banyak pro-kontra mengenai hal ini. Perkembagan terakhir bahkan menunjukan bahwa pendekatan melalui law restatements ini juga merasuk ke bidang hukum HPI, dengan diintrodusirnya ALI/UNIDROIT Principles of Transnational Civil Procedure111. Pendekatan lain yang digunakan untuk membentuk sumber hukum tertulis dalam wujud penetapan kembali asas-asas yang dianggap hidup dan berlaku dalam praktik perdagangan internasional adalah melalui penyusunan daftar asasasas seperti yang dilakukan oleh CENTRAL112 dengan menerbitkan daftar yang disebut The List of Lex Mercatoria Principles, yang tidak saja mencakup asas-asas yang berlaku di bidang kontrak internasional, tetapi juga di semua bidang hukum perdagangan, bahkan termasuk asas-asas HPI. Perkembagan di atas menunjukan bahwa dewasa ini.melihat praktek transaksi perdagangan internasional yang tumbuh dengan seperangkat asas dan aturan hukum yang memiliki ciri dan sifat sepertil layaknya sebuah sistem hukum 111
American Law Institute/UNIDROIT, ALI/UNIDROIT Principles of Transnational Civil Procedure, Cambridge Univesity Press, Weshington D.C., Rome, 2004.
112
Lihat CENTRAL-Transnational Data Base, http://www/tldb.de/.
56
nasional yang otonom dan independen113, maka eksestensi lex mercatoria sebenarnya tidak perlu diragukan lagi. Sebagai bukti bahwa ia memang benarbenar eksis dapat dilihat dalam kontrak-kontrak dagang internasional yang baik secara eksplisit maupun implisit mengadung klausula mengenai yang menunjukan penggunaan lex mercatoria. Hal yang sama juga terlihat dalam arbritrase perdagangan internasional114.
2.11. Tinjauan Umum Transaksi Perdagangan Internasional Mengingat skripsi ini membicarakan konversi dalam konteks perdagangan internasional, maka dalam sub judul ini, juga akan mengemukakan suatu tinjauan kepustakaan
secara
singkat
(umum)
mengenai
transaksi
perdagangan
internasional115. Jual beli dalam arti khusus ialah jual beli perusahaan, dalam halini transaksi ekspor-impor, dimana dalam jual beli ini terdapat ciri-ciri khusus pula. Kekhususan itu dapat diperhatikan melalui unsur-unsur dalam jual beli berikut ini, dan Penulis memulainya dengan gambaran tentang latar belakang perdagangan Internasional.
113
Dr. Bayu Seto Harjowahono, SH.,LL.M.,Op.Cit., hlm., 318.
114
Lihat M. Conant, ”The Commerce the Supremacy Clause and the Law Merchant: Swift v Tyson and The Unity of Commercial Law”, Journal of maritime Law and Commerce, vol 5 No. 2, 184. 115
Drs. Kansil C. S. T, SH., Hukum Perusahan Indonesia (Aspek hukum dan Ekonomi) Bagian Dua, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm., 7.
57
Pertama, unsur subjek terdiri dari penjual dan pembeli. Dua pihak dalam transaksi ini atau salah satunya adalah pengusaha, yaitu perseorangan atau badan hukum yang menjalankan perusahan116. Kedua, unsur obyek terdiri dari benda dan harga. Benda adalah barang dagangan, yaitu barang yang dibeli atau dijual lagi atau disewakan. Harga adalah nilai benda sebagai imbalan yang dapat menghasilkan nilai lebih yang disebut keuntungan atau laba117. Sedangkan ketiga, adalah unsur perbuatan, terdiri dari menjual dengan penyerahan dan membeli dengan pembayaran harga. Peyerahan barang dengan menggunakan alat angkut khusus dan dengan syarat khusus pula. Pembayaran biasanya dilakukan melalui bank dengan menggunakan dokumen-dokumen atau surat-surat berharga. Untuk unsur tujuan, yaitu keuntungan atau laba yang diperhitungkan118. Setiap negara yang ada di dunia ini antara satu dengan yang lainnya selain mempunyai persamaan, juga mempunyai perbedaan-perbedaan baik ditinjau dari sudut letak geografinya, ekologinya, demografinya, ekonomi dan sosial-budaya, hukumanya, hasil produksinya dan sebagainya. Hal seperti ini mengakibatkan antara satu negara dengan negara lain saling membutuhkan baik dalam bidang ekonomi, tenaga kerja (termasuk di dalamnya tenaga ahli), dan lain-lain. Semua itu dimungkinkan karena ada kepentingan 116
Ibid.
117
Ibid.
. 118
Ibid.
58
mengingat ada barang yang hanya dapat diproduksi dan dihasilkan disalah satu negara-negara tidak dapat dihasilkan oleh negara lainnya. Adakalanya produksi yang dihasilkan negara itu belum dapat dikonsumir seluruhnya di dalam negeri dan ada pula yang masih memerlukan bantuan negara lain untuk mengolahnya. Kemungkinan lain karena konsumsi di dalam negeri sudah melebihi dari yang dibutuhkan, maka kelebihannya itu dapat diekspor ke nagara lain. Hal-hal yang demikian itu telah menjadi latar belakang menimbulkan perdagangan antara negara satu dengan negara lainnya119. Apabila uraian mengenai latar belakang adanya perdagangan internasional di atas berdimensi utilitas maka apabila perdagangan internasional dilihat dari sudut legalitas maka latar belakang legalitas perdagangan Internasional tersebut dapat dijelaskan bahwa perdagangan ekspor impor termasuk kegiatan termasuk kegiatan yang mengandung risiko tinggi, kerena eksportir dan importir berjauhan secara geografis, berbeda bahasa, kebiasaan dan hukum dalam transaksi ekspor impor, satu risiko yang dihadapi oleh ekportir adalah apabila terjadi penyimpangan maupun pembatalan kontrak. Risiko tersebut dapat dihindari, apabila setiap transaksi ekspor yang dilakukan, dituangkan dalam bentuk tertulis atau ke dalam bentuk kontrak dagang (sales contract).
119
Hadisoeprapto Hartono SH.,Kredit Berdokumen (Letter Of Credit) Cara Pembayaran Dalam Jual Beli Perniagaan, Yogyakarta: Leberty Yogyakarta, 1984, hlm., 1.
59
Adapun tahapan kontratual yaitupada pelaksanaan perjanjian ekspor impor adalah sebagai berikut:120 pertama, tahap awal perjanjian. Dalam tahap ini terjadi penawaran produk yang diajukan oleh penjual (eksportir). Biasanya dalam tahap ini penawaran disertai dengan harga barang, mutu barang, jumlah, serta syaratsyarat lain yang biasanya disebut an inquiry for a quatation. Apabila penawaran tersebut disetujui oleh pembeli (importir), maka kedua belah pihak mengikatkan diri untuk melakukan “perjanjian jual beli”, dengan syarat-syarat yang telah disepakati. Unsur berikut adalah soal isu terjadinya perjanjian, merupakan realisasi dari tahap awal perjanjian, yang kemudian dituangkan secara rinci dan tertulis tentang segala sesuatu yang dianggap penting dalam transaksi ekspor impor. Sedangkan yang sama dengan itu adalah realisasi dari perjanjian, yaitu pelaksanaan kontrak suatu perdagangan internasional, berarti melibatkan kepentingan lebih dari satu hukum nasional. Masing-masing pihak yang terkait dalam transaksi perdagangan internasional menginginkan agar kontrak yang mereka buat tunduk pada hukum di negara mereka. Pada transaksi perdagangan internasional, masing-masing negara tunduk pada konvensi-konvensi serta perjanjian dagang internasional, yaitu ketentuan yang berlaku secara internasional yang disusun oleh badan internasional dan dalam pertemuan resmi antar negara121.
120
Etty Susilowati Suhardo., Cara Pembayaran dengan Letter Of Credit dalam Perdagangan Luar Negeri, Semarang: FH UNDIP, 2001, hlm., 49. 121
Etty Susilowati, Op.Cit.,hlm., 12.
60
Jual beli perdagangan antar negara, yang menjadi pedoman adalah peraturan Internasional mengenai cara pembayaran yang harus dilakukan oleh pembeli melalui bank122. Dalam setiap transaksi perdagangan selalu menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yaitu, pihak penjual diwajibkan melakukan penyerahan barang yang telah diperjanjikan dan berhak pula sesuai dengan prestasinya untuk menerima pembayaran atas harga barang yang telah dijualnya123. Begitu pula sebaliknya pembeli berkewajiban membayar atau melunasi harga dari barang yang diserahkan dan berhak menuntut penyerahan barang yang dibelinya. Dalam kaitan denga uraian mengenai gambaran umum perdagangan internasional, seperti telah Penulis kemukakan di atas skripsi ini hanya akan membicarakan satu aspek dari banyak aspek dalam perdagangan internasional, aspek tersebut yaitu konversi124.
2.12. Kredit Berdokumen (Documentary Credit) Kaitan dengan gambaran umum perdagangan internasional dalam dunia perdagangan khususnya ketika melibatkan dunia perbankan dikenal dengan apa yang disebut dengan letter of credit.Ada keanekaragaman penyebutan letter of 122
Di Indonesia sudah ada Undang-Undang No. 32 tahun 1964, Lembaran Negara No. 131 tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa, dan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1976, Lembaran Negara No. 17 Tahun 1976 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Ekspor Impor dan Lalu Lintas Devisa. 123
H. M. N., Purwosutjipto SH., Pengaturan Pokok Hukum Dagang Indonesia-Jilid 4: Hukum Jual Beli Perusahan, Penerbit Djambatan, Jakarta 2003, hlm., 21. 124
Lihat pengertian konversi seperti terdapat dalam Bab. II skripsi ini.
61
credit. Biasanya juga di dalam percakapan sehari-hari Lembaga ini disingkat orang denga sebutan L/C yaitu singkatan dari letter of credit dan ada juga yang mengatakan credit opening (acreditief opening) dimana dalam bahasa Belanda disebut credetbrief dan dalam bahasa Prancis lettre de credet.Di Negara Jerman dikenal dengan nama Accreditief dan di negara Belgia dan Amerika Serikat lebih dikenal dengan istilah crediet tetapi bukan dalam arti yang sebenarnya bagi kredit125. Di samping istilah-istilah yang disebut di atas masih ada lagi dikenal istilah lain untuk lembaga ini yaitu kredit berdokumen (dokumentary credit). Dikatakan demikian karena pembukaan kredit tersebut dengan dasar penyerahan dokumen-dokumen tertentu sehingga apabila penjual (beneficiary) yang berhak atas harga barang yang telah dijualnya kepada pembeli (applicant) maka ia hanya dapat meminta pembayaran sejumlah uang dari bank yang bersangkutan dan bank tersebut meminta beberapa dokumen-dokumen tertentu. Adakalanya suatu bank tidak mensyaratkan untuk menyerahkan dokumen-dokumen tertentu sewaktu penjual (beneficiary) meminta pembayaran. Cara yang demikian di dalam dunia perbankan disebut dengan istilah kredit blanko (blanco credit).126. Pembayaran dalam perdagangan internasional sebagai suatu kewajiban kontraktual ini dilakukan dengan cara membuka letter of credit. Terjadi dengan
125
Ibid. hlm., 23. Kredit memang tidak harus dikonotasikan sebagai orang berhutang.
126
Ibid.
62
pembayaran yang dilakukan oleh bank dan umumnya dipahami atas perintah pembeli untuk kepentingan penjual. Mengenai definisi dari letter of credit ini banyak penulis telah berusaha mendefinisikannya antara lain akan dikemukakan sebagai berikut: Leter Of Credit (L/C) adalah adalah suatu persetujuan atau surat perintah untuk membayarkan uang dari seseorang kepada orang lain dengan syarat. Biasanya surat perintah membayar ini datangnya dari pembeli untuk penjual127. Disamping definisi leter of credit sebagaimana telah dikemukakan di atas ada juga pengertian bahwa: L/C adalah suatu alat atau surat, yang dikeluarkan oleh suatu bank, atas permintaan dan atas beban si pembeli. Dengan L/C itu bank tersebut menyetujui, bahwa wesel-wesel si penjual dapat menarik atas bank itu atau bank lainnya, yang ditunjuk dalam L/C, dan bahwa wesel-wesel tersebut, jika memenuhi syarat-sayat yang tercantum dalam L/C-nya akan dibayar sebagaimana mestinya dengan akseptasi dan/atau pembayaran yang terakhir ini bergantung kepada jenis-jenis wesel yang ditentukan dalam L/C yaitu apakah wesel-wesel itu adalah “time bills of exchange payable on demand”128. Sementara itu, ada pula yang mendefinisikan Letter Of Credit atau biasa disingkat dengan L/C sebagai: suatu surat yang dikeluarkan oleh suatu Bank atas permintaan importir langganan Bank tersebut yang ditujukan kepada eksportir di luar negeri yang menjadi relasi importir itu, letter of credit itu memberi hakkepada eksportir itu untuk menarik wesel-wesel atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebutkan dalam surat itu. Seterusnya Bank bersangkutan menjamin untuk 127
JT Sianipar SE., Asuransi Pengangkutan Laut (Marine Insurance), Bagian Pertama, Penerbit PT. Asuransi Jasa Indonesia, Jakarta 1990, hlm., 40. 128
Kartono., SH, Komentar Tentang: Surat Kredit (L/C, Letter Of Credit), Konosemen (B/L, Bill of Lading), Wesel (B/E, Bill of Exchange), Dokumen-dokumen lainnya, Cetakan I, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta 1980, hlm., 9.
63
mengakseptir atau menghonorir wesel yang tertarik itu asal saja sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum dalam surat itu129. Apabila merujuk brosur yang dikelurkan oleh International Banking Department CONTINENTAL Bank Continental Illonois National Bank and Trust Company of Chicago maka didapati definisi L/C sebgai berikut: Basically, it is a document in which a bank undertakes to pay a party named in the document (the beneficiary) a sum of money provided certain conditions described in the letter of credit are met. Generally, this money will be paid when the beneficiary submits proof, usually in the form of documents, of having met the conditions.130 Dari definisi-definisi di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa letter of credit itu adalah suatu perintah (order) yang biasanya dilakukan oleh pembeli atau importir yang ditujukan kepada Bank untuk membuka L/C agar membayar sejumlah uang kepada Bank penjual atau eksportir. Biasanya sebelum seorang importir membuka L/C di suatu Bank, si importir telah membuat suatu perjanjian jual beli (sale contract) terlebih dahulu dengan si penjual (eksportir). Berdasarkan kontrak jual beli tersebut si pembeli tadi membuka L/C di sebuah Bank dimana ia berdomisili. Hal ini dilakukannya tidak lain hanya sebagai alat untuk mempermudah cara pembayaran yang aman kepada si penjual eksportir, apabila tempat tinggal 129
Amir MS., Teknik Perdagangan Luar Negeri, Cetakan Kedua, Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta 1980, hlm., 23.
130
Commercial Letter Of Credit, International Banking Departement Continental Bank, Continental Illinois National Bank and Company Of Chicago.
64
masing-masing pihak berlainan negara, di samping juga untuk memenuhi isi perjanjian jual beli perusahan yang telah diperkuat oleh kedua belah pihak yang menjadi dasar pembukaan L/C tersebut131. Di atas disebutkan bahwa ada pendapat jika dasar pembukaan L/C adalah perjanjian jaul beli dimana si importir (si pembeli) di dalam salah satu clausule dari perjanjian itu menyatakan bahwa ia akan segera membuka L/C pada suatu Bank tertentu. Namun begitu tidaklah tepat apabila dengan adanya clausule itu lantas dikatakan bahwa credit opening itu sama dengan suatu perjanjian yang digantungkan kepada suatu syarat (opschortende voorwaarde), walaupun sebenarnya si penjual (eksportir) baru akan mengirimkan barangnya setelah si pembeli menyuruh Bank membuka kredit untuk kepentingan penjual atas beban pembeli. L/C adalah suatu kontrak yang bersifat voluntir dan unconditional132 Dalam pelaksanaan pembukaan suatu L/C, ada beberapa pihak yang berkepentingan yaitu133: pertama, Pembeli
(importir) Pihak ini mengadakan
transaksi jual-beli dengan pihak penjual atau eksportir, mengajukan permohonan pembukaan L/C untuk pelaksanaan pembayarannya kepada Bank Devisa atas nama penjual atau eksportir setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku
131
Hadisoeprapto, Op Cit, hlm., 27.
132
Uraian mengenai hal ini dapat dilihat dalam Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D. Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana salatiga, Bab II, tentang Perikatan Voluntir.
133
Amir M.S., Letter of Credit (Dengan Pembahasan Khusus Standby L/C dalam Bisnis Ekspor Impor), Penerbit PPM, Jakarta 2005, hal., 3.
65
untuk impor seperti Surat ijin Importir dan lain sebagainya. Pihak pembeli ini biasanyadisebut sebagai importir accountee ataupun principal. Kedua, Bank Pembuka L/C Bank Pembuka L/C ini dalam bahasa asingnya dikenal dengan the Opening Bank atau the Issuing Bank. Bank ini melakukan pembukaan kredit setelah adanya permohonan pengajuan pembukaan L/C dari pemohon kredit yakni pembeli. KetigaPihak Penjual. Penjual merupakan pihak untuk mana suatu permintaan pembukaan L/C dibuka bagi pelaksanaan pembayaran transaksi yang telah terjadi antara ia (pihak penjual) dengan pihak pembeli. Biasanya pihak penjual di sini disebut juga dengan eksportir atau beneficiary atau vendor atau drawer yang menerima L/C itu. Keempat, Bank Pembayar L/C atau Paying Bank pembayar L/C yaitu pihak bank yang disebutkan dalam L/C dimana diterbitkan wesel dan yang melakukan pembayaran kepada pihak penjual/beneficiary apabila dokumendokumen yang disyaratkan telah dipenuhi. Bank pembayar biasanya merupakan pemelihara rekening atau depository correspondent bank pembuka/ issuing bank. Kelima, Confirming Bank yaitu bank kedua selain bank pembuka atau issuing bank yang ikut menjamin pembayaran L/C atau menjamin adanya pembayaran wesel yang diterbitkan atas L/C yang bersangkutan. Keenam, Negotiating Bank ialah bank yang tidak tercantum dalam L/C yang menyanggupi untuk membeli/mengambil alih/menegosiasi wesel yang
66
diterbitkan oleh pihak penjual/beneficiary. Pembayaran ini segera dilakukan terhadap penjual/beneficiary disertai dengan hak regres kepada penerbit wesel; kecuali apabila negotiating bank merupakan issuing bank atau confirming bank. Ketujuh, Remmiting Bank ialah bank yang meneruskan dokumen-dokumen dari penjual/eksportir/beneficiary kepada issuing bank. Pihak remmiting bank dapat dilakukan oleh advising bank, negotiating bank atau paying bank. Kedelapan, Reimbursing Bank yaitu bank yang melakukan penggantian atas pembayaran (reimbursement) terhadap bank yang melakukan pembayaran atau membayar, mengakseptasi atau menegosiasi wesel atas L/C. Dapat bertindak sebagai reimbursing bank ialah issuing bank atau bank lain yang mendapat kuasa dari issuing bank untuk melakukan reimbursement.
2.13. Kewajiban dan Tanggung Jawab Bank134 Pembayaran dengan kredit berdokumen (credit opening dengan dokumen), memerhatikan semua pihak yang berkepentingan (yaitu bank-bank dan orang yang berhak atas pembayaran). bahwa semua dokumen-dokumen yang dibutuhkan bagi pembayaran itu harus dilengkapi. Bagi bank, tidak hanya kelengkapan dari dokumen itu yang perlu diteliti, melainkan juga bahwa dokumen-dokumen itu telah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan kredit (credit opening).
134
Emmy Pengaribuan SH, Pembukaan Kredit Berdokumen (Documentary Credit Opening), Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989, hlm., 51-56.
67
Inilah kewajiban yang pertama-tama dari bank yang bersangkutan, seperti jelas dapat kita baca bahwa di dalam Artikel 7 UCP menetapkan sebagai berikut: “Bank must examine all document with reasonable care to ascertain that they appear on their face to be in accordance with the terms and conditions of the credit”135. Kriteria yang ada hubungan dari segi hukum, adalah136 pembagian yang paling penting yang dikenal oleh banyak negara-negara sebelum ada UCP dan yang kemudian diatur di dalam UCP sendiri ialah pembagaian atas: kredit berdokumen yang revocable dan kredit berdokumen yang irrevocable. Pembagian seperti ini sekarang sudah diatur dalam Pasal 1a UCP 1974 (Pasal 1 ayat (1) UCP 1962) yang menetapkan: “credit may either revocable, or irrevocable”. Pembagian lainnya yang dikenal juga dalam UCP ialah pembagaian atas: confirmed credit dan unconfirmed credit. Kredit berdokumen yang dapat diperalihkan dan yang tidak dapat peralihkan juga merupakan suatu pembagian di dalam bentuk kredit berdokumen, (transferable and non-transferable credits). Pembagian ini juga dikenal di dalam UCP. Pembagian lain yang didasarkan atas kriteria “penyebutan secara tegas-tegas” di dalam kredit itu, apakah kredit itu dapat diperalihkan. Kalau tidak ada penyebutan tegas-tegas demikian maka kredit itu tidak boleh diperalihkan atau termasuk non-transferable credit. Suatu pembagian lain yang didasarkan atas kriteria cara merealisasi kredit dokumen itu juga dikenal,137 sehingga terdapat: cash-credit atau betalingskredit 135
Ibid.
136
Ibid.
137
Beliau (Panggaribuan, Emmy) juga mengutip dari Ellinger, Documentary Letter of Credit, University of Singapore Press, 1970.
68
(Belanda), dan acceptance atau “wesel-kredit” (kredit yang dibayar dengan cara membayar suatu wesel yang diterbitkan atas pengganti bank sendiri). Biasanya di dalam kejadian yang paling sederhana, pembukaan kredit berdokumen itu dimaksudkan untuk melaksanakan pembayaran dari satu transaksi saja. Dengan melaksanakan pembayaran atas kredit itu menjadi hapus. Jadi bank hanya mendapat instruksi untuk membayar untuk transaksi saja. Pembukaan kredit semacam itu disebut dengan nama simple credit138. Akan tetapi, di samping simple credit, juga dikenal pembukuan kredit yang dimaksudkan untuk membayarlebih dari satu transaksi, yang dikenal dengan nama Revolving Credit. Revolving Credit masih di bedakan atas 2 jenis yaitu: Revolving Credit yang kumulatif dan Revolving Credit yang non-kumulatif. Keredit berdokumen itu dikenal dengan beberapa bentuk yang khusus seperti back to back credit dan anticipatory credit139. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar 1 (satu) tentang pelaksanaan dan peralihan kredit berdokumen ditambah shipping documents, di bawah ini:
138
Ibid. hal., 20. (buku dari Ellinger yang penulis maksud).
139
Ibid, hlm., 85.
69
Gambar 1. Alur Documentary Credit140.
(5) Pengapalan Barang
(1)
SALES CONTRACT
Beneficiary/exportir
Applicant/importir
(4) ADVIS/LC
(8) $
(2) APLIKASI L/C
(9)
$
(6) B/L & DRAF
ADVISING BANKBANK PENERUS L/C/ADVISING BANK
(3) L/C
ISSUING BANKBANK PEMBUKA L/C
(7) B/L & DRAFT (10) $
Berikut ini penjelasan atau deskripsi atas alur sebagaimana dikemukakan di atas: yang sudah Penulis terapkan pada kasus yang juga menjadi satuan amatan penelitian ini. Pertama, pada akhir tahun 1982 atau awal 1983, PT. Gespamindo mengimpor 3000 metric ton pupuk seharga US.$ 195.000,- dari Phosphate Mining Co. Selaku eksportir, atas pesanan PT. Patra Buana, PT. Kapuas Dua Belas, dan PT. Sinar Mulia Buana, masing-masing 1000 metric ton.
140
“Alur Documentary Credit” ini Penulis sitir dari catatan perkulihan Hukum Perbankan dan Lembaga Pembiayaanpada Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana yang diampu oleh Trisetya Wahyu Nugroho, S.H., M.H.
70
PT. Gespamindo meminta untuk membukakan kredit (3 buah L/C guna membayar pupuk) atas nama eksportir kepada PT. Sajahtera Bank melalui The Chartered Bank di Jakarta. Bank Penjual (The Chartered Bank yang ada di Australia/dapat juga bank bonafide lainnya, karena dalam kasus tidak dapat diketahui secara jelas) kemudian memberikan konfirmasi kepada penjual tentang status L/C yang diterbitkan oleh Bank Pembeli (confirming bank), sekaligus menjanjikan pada penjual bahwa bank Penjual akan membayar penjual, kalau penjual sudah menunjukan dokumen-dokumen yang diperlukan (dalam kasus ini tidak disertai detail diketahui). Begitu L/C diterbitkan dan dikonfirmasikan, penjual akan megepak barang dan menyerahkannya kepada pengangkut, membuat invoice dan mengasuransikan barang. Untuk memastikan mutu barang, suatu perusahan pemeriksa bisa dilibatkan (inspecting firm). Penjual juga akan menyiapkan dokumen lain yang diperlukan, termasuk dokumen yang menunjukkan kepatuhan pada hukum perdagangan. Setelah
barang
diserahkan
pada
pengangkut,
pengangkut
akan
mengeluarkan B/L yang merupakan gabungan antara bukti terima barang dan kontrak yang mewajibkan pengangkut untuk menyerahkan barang hanya padapembeli atau orang ditunjuk. B/L dan dokumen-dokumen lain akan dibawa oleh penjual ke Bank Penjual. Bank Penjual kemudian akan membayar harga yang disepakati kepada penjual (dalam kasus
ini, juga tidak secara detail diketahui). B/L kemudian
71
diserahkan kepada Bank Pembeli. Bank pembeli tidak pernah melihat barang yang diperjualbelikan. Setelah B/L dan dokumen lain dipandang cukup, Bank Pembeli akan membayar kepada bank Penjual. Dalam kasus ini, setelah semua dokumen ditebus oleh PT. Bank Sajahtera, semua lembar B/L rangkap 3 ada padanya. Harusnya Bank Pembeli kemudian menyerahkan B/L dan dokumen lain kepada pembeli, tetapi pada kenyataannya sampai saat ini PT. Gespamindo tidak melunasi kewajibannya dan menurut Hakim dalam Putusan 1887, PT. Gespamindo untuk kepentingan pembukaan dan/atau pembukuan L/C, masih mempunyai kewajiban pembayaran kepada PT. Sajahtera Bank, sejumlah sisa US.$ 117.000,- + US.$ 52.000,- = US.$ 169.000,-. Harusnya pembeli kemudian menunjukan B/L kepada PT. Samudera Indonesia. Alhasil, hakim memutuskan bahwa pihak pengangkut turut melakukan perbuatan melawan hukum karena secara tanpa hak menyerahkan pupuk yang diangkutnya kepada pihak yang tidak dapat menunjukan B/L.
2.14. Arti Penting Tinjauan Pustaka Dengan ditemukan titik temu antara PMH dan Conversion maka seharusnya para hakim Indonesia yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang mirip dengan Putusan 1887 dikemudian hari, adalah baiknya jika menggunakan kaedah hukum perdagangan internasioal yaitu conversion. Hal itu sebagai wujud proses harmonisasi hukum secara internasional sebagaimana tuntutan hukum sebagai suatu sistem. Artinya bahwa ditengah-
72
tengah perkembagan dunia yang semakin bersifat “borderless” terutama karena perkembagan teknologi dan telekomunikasi, maka perbedaan-perbedaan yang terdapat di masing-masing sistem hukum positif justru tidak boleh menjadi penghambat interaksi antarmanusia secara internasional atau transnasional yang sedang atau akan berlangsung. Sehingga penerapan hukum perdagangan internasional dalam hal ini penerapan kaedah konversi (conversion) melalui lex causae membuka pintu gerbang untuk menemukan sistem aturan hukum yang berlaku internasional.
73