BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Penelitian Terdahulu Mustafa (2007), meneliti dengan judul ”Pengaruh Kecerdasan Emosi Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada Fungsi Operasi dan Penunjang PT. Pertamina (Persero) Unit Pengolahan Balongan Indramayu.” Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi linear berganda dengan tingkat kepercayaan 95% ( α = 0,05). Hasil uji serentak memperlihatkan bahwa 96,2% tinggi rendahnya produktivitas kerja karyawan dipengaruhi kecerdasan emosional karyawan sedangkan sisanya 3,87%. Jadi dapat disimpulkan ada pengaruh yang sangat kuat dimensi kecerdasan emosional secara serentak terhadap produktivitas kerja karyawan. Hasil uji F memperlihatkan F=535,204 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000. Menggunakan standar taraf signifikansi dalam pengujian (5%), maka hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan “secara bersama-sama ada pengaruh yang sangat kuat dan signifikan kecerdasan emosi terhadap produktivitas kerja karyawan. Febrian (2009), meneliti judul “Pengaruh Pelatihan dan Kecerdasan emosional terhadap Kinerja Karyawan PT. Coca Cola Bottling North Sumatra Operation”. Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi linear berganda dengan tingkat kepercayaan 95% ( α = 0,05). Nilai F hitung (63,805) lebih besar daripada nilai F tabel (3,97), dan sig. α (0.000a) lebih kecil dari alpha 5% (0.05). Dengan demikian,
Universitas Sumatera Utara
pelatihan, dan kecerdasan emosional secara serempak berpengaruh sangat signifikan terhadap kinerja pegawai pada PT Cocacola Bottling North Sumatra Operation.
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Teori Tentang Kecerdasan Emosional Menurut Cooper dan Sawaf (1997) organisasi berada ditengah-tengah revolusi bisnis. Dengan sengaja tanpa perdebatan mengarah ke perubahan dari kecerdasan Inteligent (IQ) ke kecerdasan emosi (EI). Nilai ekonomis dari kecerdasan/inteligen emosional telah tersebut secara ekstensif dalam penelitian perilaku keorganisasian masa kini. Kecerdasan emosional sangat penting dalam organisasi karena, ”dari perspektif pekerjaan, perasaan akan mengarahkan kepada mereka untuk memudahkan atau mempersulit pencapaian tujuan. (Goleman, 1998 : 287). Di era informasi kemampuan emosional menjadi keahlian yang sangat penting bagi manusia untuk mengerjakan pekerjaan melalui kerja sama dengan orang lain dan kemampuan mereka untuk mengkomunikasikan secara efektif disamping keahlian teknis. Menurut Goleman (2007 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Universitas Sumatera Utara
Goleman (2007 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi, yaitu : a. Amarah
:
Beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan
:
Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut
:
Cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan :
Bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta
Penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
:
dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih f. Terkejut
:
Terkesiap, terkejut
g. Jengkel
:
Hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. Malu
:
Malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam The Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya
Universitas Sumatera Utara
bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi). Menurut Mayer (Goleman, 2007 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia. Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh BarOn pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2007 :180). Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2007 : 5053) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut
sebagai
kecerdasan emosional. Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2007 : 52). Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2007 : 53). Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 2007:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Pada tahun 1995, seorang psikolog dan wartawan bernama Daniel Goleman menerbitkan tulisannya tentang Emotional Intelligence, yang disusun berdasarkan pada konsep kecerdasan emosional (Emotional Quetion) karya Mayer dan Salovey di
Universitas Sumatera Utara
atas. Kecerdasan Emosional didefinisikan sebagai kemampuan secara terus menerus untuk memotivasi diri sendiri dalam keadan frustasi; mengendalikan gerakan hati dalam suasana kegembiraan; pengendalian suasana hati yang dikarenakan kelebihan beban berfikir; berempathi dan selau optimis (Goleman, 2007). Menurut Goleman (2007 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Cooper dan Sawaf (1997) menjelaskan bahwa, “kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan kekuatan dan kekuasaan emosi sebagai sumber energi manusia, informasi, hubungan dan pengaruh.” Dengan pemahaman kecerdasan emosi ini menjelaskan bahwa pemimpin yang memiliki kesadaran pengendalian emosi dapat mempengaruhi emosi orang lain. Kecerdasan emosi sangat penting bagi pemimpin karena orang yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan hal-hal negatif cenderung menjadi layak. Pemimpin menciptakan lingkungan yang saling percaya, menghormati, dan adil serta dapat bertindak sebagai panutan dalam peningkatan hasil dan produktivitas. (Harvard Business Review, 2004 dalam Brown, 2005: 5) Menurut Bar-on ( Jones, 2007: 39) kecerdasan emosional didefinisikan sebagai suatu kemampuan noncognitive, dan ketrampilan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi lingkungan yang menuntut
Universitas Sumatera Utara
dan memaksa. Lebih Lanjut menurut Mayer & Salovey (1997:87) Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan emosi, untuk mengakses dan menghasilkan emosi agar supaya dapat membantu dipikirkan, untuk memahami emosi dan pengetahuan emosional dan untuk mengatur emosi secara tepat agar supaya dapat mempromosikan emosional dan pertumbuhan intelektual. Lebih lanjut kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk berbicara dengan dan tentang emosi, mengkombinasikan perasaan dengan pikiran, menggambarkan kecerdasan emosi sebagai “anggota dari kelas kecerdasan yang terdiri dari kecerdasan sosial, kecerdasan praktikal, dan kecerdasan pribadi.” (Mayer, Salovey & Caruso, 2004:197) Kecerdasan emosional dianggap sebagai keahlian (Goleman, 2007), sifat (Mayer & Salovey, 1997), atau kombinasi dari keduanya (Robets, Zeidner & Matthews, 2001). Penelitian kecerdasan emosional dewasa ini difokuskan dalam dampaknya terhadap performance karyawan (Bar-On, 1997; Goleman, 1995; Salovey & Mayer, 1990) 2.2.1.1. Sejarah Kecerdasan Emosional dan Perkembangannya Dalam bidang psikologi, akar dari teori kecerdasan emosional (EI) mulai muncul sejak permulaan pengujian kecerdasan intelligent (IQ). E.L. Thorndike, (1920) Profesor psikologi pendidikan pada Columbia University Teachers College, adalah salah seorang pertama yang mendidentifikasikan aspek-aspek dari kecerdasan emosi yang dia sebut dengan “kecerdasan sosial”. Thorndike mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai “the ability to understand and manage men and women, boys and girls to act wisely in human relation.” Cherniss (dalam Smith, 2005:21)
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya pada tahun 1937, Thorndike and Stern mengidentifikasikan tiga area perbedaan sebagai perluasan terhadap kecerdasan sosial, yaitu sifat mengarah ke masyarakat, pengetahuan sosial, dan tingkat derajat penyesuaian sosial (attitute toward society, social knowledge, and degree of social adjustment). (Thorndike dalam Smith, 2005:12). Sayang pekerjaan pioner ini dilewatkan ataupun dilupakan. Tahun 1940-an Penelitian di Ohio State Leadership Studies mengusulkan bahwa “consideration” adalah aspek penting dalam kepemimpinan yang efektif. Lebih spesifiknya dari penelitian ini mengusulkan bahwa pemimpin yang dapat membangun “kepercayaan yang menguntungkan, rasa hormat, dan hubungan yang hangat dan keramahan” dengan anggota dari kelompoknya akan menjadi lebih efektif. Di tahun 1952, David Wechsler, yang mengembangkan secara luas penggunaan IQ test yang menunjukkan bahwa “affective capacities” sebagai bagian dari kemampuan repetoir manusia. (Wechsler dalam Smith, 2005:12). Wechsler mendefinisikan kemampuan (intelligence) sebagai kemampuan keseluruhan atau kemampuan global dari individu untuk bertindak secara penuh arti, untuk berpikir secara rasional dan untuk menghadapi lingkungannya secara efektif. Tahun 1983, Gardner, seorang psikolog Harvard, salah seorang yang membantu kebangkitan Emotional Intelligence (EI). Gadner merupakan salah seorang yang menunjukkan perbedaan antara kemampuan intelektual dengan kemampuan emosional. Gardner memperkenalkan teori Multiple Intelligence (MI) tahun 1983. Dalam teori ini menidentifikasikan delapan kemampuan (intelligences) yaitu: verballingustic, logical-mathematical, musical, bodily-kinesthetic, spatial, interpersonal
Universitas Sumatera Utara
(kemampuan untuk memahami manusia dan hubungannya), and intrapersonal (untuk mengakses kehidupan emosional seseorang dengan tujuan untuk memahami dirinya dan orang lain) and naturalist.(Gardner dalam Law, et al, 2008: 2) Kemampuan lingustik (Linguistic intelligence) adalah kemampuan untuk menggunakan kata-kata yang efektif dan verbal, kemampuan untuk memanipulasi sintak, fonologi, semantik dan aspek pragmatik dalam bahasa. Kemampuan logis dan matematik (Logical or mathematical intelligence) adalah kemampuan untuk menggunakan angka-angka dan alasan secara efektif. Seseorang dengan kemampuan logis yang tinggi cenderung sensitif terhadap pola logis, hubungan, proposisi (sebab dan akibat), kategori, inferensi, generalisasi, kalkulasi dan pengujian hipotesis. Kecerdasan spatial (spatial intelligence) adalah memampuan untuk menerima visual dunia secara tepat dan dapat melaksanakan perubahan berdasarkan apa yang dipersepsikan. Seseorang dengan kemampuan spatial cenderung memiliki kepekaan terhadap warna, garis, bentuk, ruang dan hubungannya diantara elemen-element tersebut. Kemampuan bodi-kinetik (Bodily-kinesthic intelligence) adalah kemampuan seseorang dengan menggunakan anggota seluruh badan untuk menyatakan gagasan dan perasaan dan untuk merasakan dunia orang lain. Kecerdasan ini meliputi keterampilan fisik yang meliputi kordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, fleksibilitas. Kemampuan musikal (musical intelligence) adalah kemampuan untuk menerima, membedakan dan mengekpresikan bentuk musik. Kemampuan ini menyangkut kepekaan terhadap irama, tangga nada dan melodi dan warna dari suatu instrumen musik.
Universitas Sumatera Utara
Gardner menggambarkan kemampuan sosial sebagai kemampuan interpribadi dan kemampuan intra-pribadi (inter-personal and intrapersonal intteligence). Kemampuan inter-pribadi adalah kemampuan untuk menerima dan merasakan suasana hati, niat, motivasi dan perasaan orang lain Kemampuan intra-pribadi adalah pengetahuan diri pribadi dan kemampuan untuk bertindak adaptif atas dasar kemampuan tersebut. Kemampuan ini mencakup suatu gambaran yang akurat tentang kekuatan dan kelemahan diri sendiri, niat, suasana hati, perangai, motivasi, hasrat dan kemampuan untuk disiplin diri, dan pemahaman diri. Gardner dalam Law, et al, 2008: 3-4). Gardner mengungkapkan “IQ penting, tetapi bukan segala-galanya. Banyak orang yang memiliki IQ tinggi bekerja dengan orang yang memiliki IQ yang lebih rendah memiliki kemampuan emosional yang tinggi.” Tahun
1988,
Bar-On
(Smith,
2005:16), dalam disertasi
doktornya
menggunakan istilah “emotional quotient (EQ)” lama sebelum istilah tersebut dikenal luas dengan nama kecerdasan emosional (emotional intelligence). Kemudian Bar-On mendefinisikan kemampuan emosional sebagai suatu kemampuan dan pengetahuan sosial yang dapat mempengaruhi keseluruhan kemampuan seseorang secara efektif dengan lingkungannya. Istilah kecerdasan emosional pertama sekali diusulkan pada tahun 1990 oleh Jack Mayer, seorang profesor psikologi dari Universitas New Hampshire dan Peter Salovey, seorang ahli psikologi dari Yale. Salovey dan Mayer (1990), menggambarkan kecerdasan emosional sebagai "suatu bentuk kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk mengetahui beberapa perasaan dan emosi yang
Universitas Sumatera Utara
dimiliki, dan mampu membedakan di antaranya, serta menggunakan informasi ini untuk membimbing pemikiran serta tindakan". Menurut identifikasi yang dilakukan oleh Mayer dan Salovey terdapat Empat bagian dari kecerdasan emosional, yaitu: 1. Pengidentifikasian emosi : kemampuan untuk mengenalisa satu perasaan yang dimiliki dan perasaan tersebut ada di sekitar mereka. 2. Pemahaman Emosi : kemampuan untuk mengidentifikasikan dan memahami emosi, seperti apa yang diistilahkan Mayer dan Salovey sebagai "emotional chains" – transisi dari satu emosi ke lainnya. 3. Menggunakan emosi : kemampuan untuk mengakses satu emosi dan alasannya (menggunakannya untuk membantu berpikir dan mengambil keputusan). 4. Mengelola emosi : kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri dan mengaturnya. Banyak para ahli mengkontribusikan ilmunya dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang kemampuan emosional. Daniel Goleman, CEO of Emotional Intelligence Service, dalam bukunya, Emotional Intelligence, adalah yang pertama mempopulerkan ide bahwa kemampuan emosional sama pentingnya
dengan
kemampuan
inteligennya
bagi
kesuksesan
hidup
manusia.(Goleman, 1998). Goleman mengungkapkan bahwa terdapat dua komponen dalam kecerdasan emosional yaitu keahlian personal dan keahlian sosial. Keahlian personal terdiri dari kesadaran diri sendiri, pengaturan diri, dan motivasi. Keahlian sosial terdiri dari empati dan kemampuan sosial.
Universitas Sumatera Utara
Kesadaran diri merupakan kemampuan untuk mengenali dan memahami suasana hati diri sendiri, emosi dan dampaknya terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki kesadaran diri menyadari hubungan antara apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan, apa yang dilakukan dan apa yang dikatakan orang lain. Goleman (2007) mengadakan studi kepada para pemimpin dan menemukan bahwa ada beberapa kemampuan yang berbeda antara pemimpin yang superior dan pemimpin yang tidak superior. Pemimpin yang efektif menunjukkan kesadaran diri dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Mereka memiliki kemampuan untuk menilai kekuatan dan keterbatasan mereka sendiri. Menurut Goleman (2007),
Kesadaran diri barangkali merupakan keahlian emosional
yang paling utama. Seseorang yang memiliki kesadaran diri yang rendah akan sangat berbahaya terhadap hubungan pribadinya seperti halnya dengan karirnya. Keahlian pribadi yang kedua adalah pengaturan diri atau penguasaan diri yang merupakan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan emosi (selfcontrol); untuk tetap tenang dan fokus terhadap tugas yang ada. Seseorang yang memiliki penguasaan diri cenderung untuk memahami perbedaan pandangan orang lain. Hal lain yang berkaitan dengan pengaturan diri atau penguasaan diri adalah dapat dipercaya, integritas (kejujuran), mendengarkan kata hati dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap tindakan diri sendiri. Seseorang yang memiliki derajat pengaturan diri yang tinggi cenderung merasa nyaman dan terbuka terhadap gagasan, pandangan dan informasi baru. Individu dengan kecerdasan emosi cendrung menjadi optimis dan menunjukkan kebahagiaan
Universitas Sumatera Utara
pribadi ditengah-tengah perubahan atau kesulitan. Kebahagiaan tidak begitu saja terjadi. Kebahagiaan harus dilatih dan dipertahankan oleh setiap orang. Motivasi, komponen ketiga dari keahlian personal mencakup komitmen, optimisme, keyakinan, antusias dalam melakukan kegiatan tanpa memandang uang atau status dan untuk mencapai tujuan dengan ketekunan dan kekuatan yang dimiliki (Goleman, 2007). Individu yang termotivasi memiliki keinginan kuat untuk berhasil dan tetap optimis, walaupun pada saat mengalami kegagalan. Individu yang tidak termotivasi di lain pihak cenderung menjadi pesimis dan menyerah lebih cepat. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi cenderung memiliki stamina dan dan daya tahan yang tinggi. Keahlian keempat dan kelima yang merupakan keahlian sosial yang cenderung untuk dilakukan pemahaman dan pengembangan yang lebih dibanding dengan keahlian yang lain. Empati merupakan kemampuan untuk memahami emosi orang lain. Sebagai hasil dari pemahaman ini, seseorang yang memiliki rasa empati cenderung untuk memperlakukan orang lain menurut emosionalnya. Seseorang tersebut dapat membangun dan mempertahankan bakat, memiliki kepekaan terhadap keanekaragaman budaya, menghargai pandangan yang berbeda dan menghindari konflik yang tidak produktif. Keterampilan sosial atau keahlian inter-pribadi mencakup kecakapan dalam mengelola hubungan dengan orang lain dan membangun jaringan kerja.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1.2. Kecerdasan Emosional kaitannya dengan Organisasi Bisnis Konsep
kecerdasan
emosional
banyak
diterapkan
dalam
organisasi
perusahaan, Goleman, Mayer dan Salovey mengatakan bahwa kecerdasan emosional lebih penting dibandingkan kemampuan koqnitif atau keahlian teknis. Goleman mengatakan, “Penjelasan tentang nilai organisasi, jiwa, dan misi mendorong kepada keyakinan diri terhadap pengambilan keputusan perusahaan.” (Goleman, 1998:281). Organisasi
merupakan
sekumpulan
orang-orang
yang
berinteraksi
dan
mengkontribusikan kepada fleksibilitas organisasi, adaptasi, perubahan manajemen dan kesuksesan organisasi. Perusahaan yang bekerja keras untuk meraih tujuan dengan penggunaan soft skill, seperti emosi dihubungkan dengan kepemimpinan yang efektif dan kesuksesan organisasi. (Brooks, 2003). Oleh karenanya hubungan antara kecerdasan emosi dengan kemampuan lainnya perlu diselidiki. Yang menarik adalah untuk melihat saling pengaruh antara kecerdasan emosi dengan kecerdasan praktis dan hubungan keduannya terhadap organisasi. Buku Goleman (1998, 2007) dengan judul Emotional Intelligence, dan Working with Emotional Intelligence memberikan konsep bahwa kecerdasan emosional dapat diterapkan dalam dunia bisnis. Dalam beberapa bagian dari perusahaan
seperti
komunikasi,
pemasaran,
kepemimpinan
dan
keuangan
kepercayaan, integritas dan kesadaran organisasi adalah wilayah dimana kecerdasan emosional itu diterapkan. (Caruso, Bienn, & Kornacki, 2006; Humber, 2002). Menurut Ferdowsian dalam Jones, (2007: 34) produktif, efisiensi dan efektif merupakan syarat mutlak dalam persaingan global. Memungkinkan karyawan untuk
Universitas Sumatera Utara
menaikkan tingkat kinerja mereka, organisasi akan dapat menjadi produktif dan kompetitif.
Peningkatan
produktivitas
organisasi
berasal
dari
peningkatan
produktivitas individu, efektivitas dan kreatifitas. Penelitian Fedowsian (2002) mengungkapkan bahwa kepemimpinan, lingkungan, kecerdasan emosional dan motivasi mengarah kepada kinerja karyawan. Penelitian lain mengatakan bahwa manager yang memiliki kinerja yang efektif ditandai dengan rating yang tinggi pada tingkat kecerdasan emosional. Kecerdasan emosi memiliki kontribusi yang positif terhadap kinerja karyawan. Kecerdasan emosi akan mempengaruhi hubungan dengan pelanggan. Iklim kerja yang buruk yang berasal dari konflik, interaksi tim yang lemah, moral yang rendah akan berdampak kepada kinerja. Pelatihan kecerdasan emosi dapat dijadikan pelengkap dari keahlian-keahlian yang lain pada suatu organisasi atau individu, dan oleh karena itu keahlian tersebut dapat digunakan pada kondisi perubahan organisasi, peningkatan kinerja, membangun tim kerja dan lain sebagainya. Menurut Goleman (1998) dalam penelitiannya pada tingkat Master of Business Administration (MBA) mengatakan bahwa terdapat tiga kemampuan yang diinginkan
oleh
perusahaaan
yaitu
kemampuan
komunikasi,
kemampuan
interpersonal dan inisiatif. Ketika proses penggabungan antara keahlian analisis dan keahlian emosional dilakukan, maka pimpinan memberikan kontribusi untuk peningkatan produktivitas dan kualitas kerja bawahannya. Keahlian interpersonal seperti komunikasi, mengajarkan orang lain keahlian baru, negosiasi dan bekerja
Universitas Sumatera Utara
dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda merupakan hal yang penting dalam kesuksesan di dunia kerja. (Gardner, 1993; Goleman, 1998). Goleman mengatakan walaupun kemampuan intelektual dan kemampuan teknikal penting pemimpin yang efektif cenderung memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Dia mengidentifikasikan ada tiga kategori keahlian pemimpin yang khusus yaitu keahlian teknikal (seperti insinyur, dan akuntan); kemampuan koqnitif (seperti berpikir kritis) dan kemampuan menunjukkan kecerdasan emosional (seperti kemampuan untuk bekerja baik dengan orang lain). Goleman (2007) menemukan bahwa keahlian intelektual dan keahlian koqnitif akan mengarah kepada peningkatan kinerja. Bagaimanapun, ketika dia menganalisa rasio terhadap keahlian teknikal, IQ dan kecerdasan emosional, kecerdasan emosional terbukti menjadi dua kali lebih penting dari pada komponen yang lain. Pemimpin dalam abad ke-21 membutuhkan keahlian baru yang dapat dihubungkan dengan kecerdasan emosi. Hawley (dalam Brooks & Nafukho, 2006: 122) mengatakan bahwa “pemimpin masa depan adalah pemimpin yang dapat menunjukkan empati yang besar dan perhatian terhadap orang lain dan pemimpin yang tidak bersandar pada posisi dan status mereka”. 2.2.2. Teori Tentang Produktivitas Kerja 2.2.2.1. Pengertian Produktivitas Kerja Produktivitas secara umum (menyeluruh) dapat diartikan sebagai hubungan antara keluaran (barang-barang atau jasa) dengan masukan (tenaga kerja, bahan, uang). Dibidang industri, produktivitas mempunyai arti ukuran yang relatif nilai atau ukuran yang ditampilkan oleh daya produksi yaitu sebagai campuran dari produksi
Universitas Sumatera Utara
dan aktivitas; sebagai ukuran yaitu seberapa baik menggunakan sumber daya dalam mencapai hasil yang diinginkan (Ravianto, 1991). Selanjutnya Webster (dalam Yatman dan Abidin, 1991) memberikan batasan tentang produktivitas yaitu: (a) keseluruhan fisik dibagi unit dari usaha produksi, (b) tingkat keefektifan dari manajer produksi di dalam penggunaan aktivitas untuk produksi, dan (c) keefektifan dalam penggunaan tenaga kerja dan peralatan. Dalam setiap kegiatan produksi, seluruh sumber daya mempunyai peran yang menentukan tingkat produktivitas, maka sumber daya tersebut perlu dikelola dan diatur dengan baik. Tohardi (2002) menyatakan bahwa produktivitas kerja merupakan sikap mental. Sikap mental yang selalu mencari perbaikan terhadap apa yang telah ada. Suatu keyakinan bahwa seseorang dapat melakukan pekerjaan lebih baik hari ini daripada hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Pendapat tersebut didukung oleh Ravianto (1991) yang mengatakan produktivitas pada dasarnya mencakup sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa kehidupan hari ini lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Sikap yang demikian akan mendorong seseorang untuk tidak cepat merasa puas akan tetapi harus mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan kerja dengan cara selalu mencari perbaikan-perbaikan dan peningkatan. Aigner dalam Hidayat (1993) menyatakan bahwa filsafat mengenai produktivitas sudah ada sejak awal peradapan manusia, karena makna produktivitas adalah keinginan dan upaya manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan di segala bidang. Dengan kata lain filsafat produktivitas adalah
Universitas Sumatera Utara
keinginan untuk membuat hari ini daripada hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Ada tiga aspek utama yang perlu ditinjau dalam menjamin produktivitas yang tinggi yaitu: (a) aspek kemampuan manajemen tenaga kerja, (b) aspek efisiensi tenaga kerja, dan (c) aspek kondisi lingkungan pekerjaan. Ketiga aspek tersebut saling terkait dan terpadu dalam suatu sistem dan dapat diukur dengan berbagai ukuran yang relatif sederhana (Singodimendjo, 2000). Produktivitas kerja harus menjadi bagian yang tidak boleh dilupakan dalam penyusunan strategi bisnis, yang mencakup bidang produksi, pemasaran, keuangan dan bidang lainnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa orang yang mempunyai sikap tersebut didorong untuk menjadi dinamis, kreatif, inovatif, serta terbuka, namun tetap kritis dan tanggap terhadap ide-ide baru dan perubahan-perubahan. Dalam kaitannya dengan tenaga kerja, maka produktivitas tenaga kerja merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja per satuan waktu. Singodimedjo (2000) mengemukakan rumusan umum dari produktivitas kerja yang mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input). Atau yang didefinisikan sebagai indeks produktivitas ( IP) yaitu: Hasil yang dicapai IP
=
Output =
Sumber daya yang digunakan
Input
Universitas Sumatera Utara
Produktivitas kerja memerlukan perubahan sikap mental yang dilandasi kerja hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan cara kerja hari esok lebih baik dari hari ini. Peningkatan produktivitas dilakukan oleh pribadi yang dinamis dan kreatif. Uraneck dan Geoller (dalam Ravianto, 1991) memberikan tiga belas langkah membina pribadi yang dinamis dan kreatif yaitu: (1) kemampuan otak untuk menghasilkan gagasan yang tak terbatas jumlahnya, (2) memperoleh gairah hidup untuk menunjang pribadi yang dinamis, (3) memecahkan masalah hidup, dengan berhasil baik dan penuh dengan daya cipta, (4) memanfaatkan waktu lebih baik, sehingga dapat menambah penghasilan, (5) melontarkan gagasan kepada orang lain sehingga bisa mendatangkan hasil pelaksanaan yang memuaskan, (6) mengembangkan suatu kepribadian yang dinamis sepanjang hari, (7) memperbanyak penghasilan, (8) dapat berhasil dalam bidang pekerjaan yang dipilih, (9) membuat gagasan dapat diterima orang lain dengan cara yang leibih efektif, (10) membimbing orang lain dengan cara yang lebih efektif, (11) membina hidup berumah tangga dan pribadi yang lebih dinamis, (12) menikmati hidup dan memanfaatkan sebanyak mungkin unsur-unsur dalam kehidupan, (13) menjadi manusia yang lebih baik. Kussrianto (1990) menyatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja per satuan waktu. Peran serta tenaga kerja di sini adalah penggunaan sumber daya serta efesien dan efektif.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja. Setiap perusahaan selalu berkeinginan agar tenaga kerja yang dimiliki mampu meningkatkan produktivitas yang tinggi. Produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berhubungan dengan tenaga kerja itu sendiri maupun faktor lain seperti tingkat pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap dan etika kerja, motivasi, giji dan keseharan, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan kerja, iklim kerja, teknologi, sarana produksi, manajemen, dan prestasi (Ravianto, 2001). Menurut Simanjuntak (2003), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan, yaitu: 1. Pelatihan Latihan kerja dimaksudkan untuk melengkapi karyawan dengan keterampilan dan cara-cara yang tepat untuk menggunakan peralatan kerja. Untuk itu latihan kerja diperlukan bukan saja sebagai pelengkap akan tetapi sekaligus memberikan dasar-dasar pengetahuan. Karena dengan latihan berarti para karyawan belajar untuk mengerjakan sesuatu dengan benar-benar dan tepat, serta dapat memperkecil atau meninggalkan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Stoner (1991) mengemukakan bahwa peningkatan produktivitas bukan para pemutakhiran peralatan, akan tetapi pada pengembangan karyawan yang paling utama. Dari hasil penelitiaan beliau menyebutkan 75% peningkatan produktivitas justru dihasilkan oleh perbaikan pelatihan dan penegtahuan kerja, kesehatan dan alokasi tugas.
Universitas Sumatera Utara
2. Mental dan Kemampuan fisik Karyawan Keadaan mental dan fisik karyawan merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian bagi organisasi, sebab keadaan fisik dan mental karyawan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan produktivitas kerja karyawan. 3. Hubungan antara atasan dan bawahan Hubungan antara atasan dan bawahan akan mempengaruhi kegiatan yang dilakukan sehari-hari. Bagaimana pandangan atasan terhadap bawahan, sejauh mana bawahan diikutsertakan dalam penentuan tujuan. Sikap yang saling jalin-menjalin telah mampu meningkatkan produktivitas karyawan dalam bekerja. Dengan demikian, jika karyawan diperlakukan dengan baik, maka karyawan tersebut akan berpartisipasi dengan baik pula dalam proses produksi, sehingga akan berpengaruh pada tingkat produktivitas kerja. Sedangkan Tiffin dan Cormick dalam Siagian (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja dapat disimpulkan menjadi dua golongan yaitu: 1. Faktor yang ada pada diri individu, yaitu umur, temperamen, keadaan fisik individu, kelelahan dan motivasi. 2. Faktor yang ada di luar individu yaitu kondisi fisik seperti suara, penerangan, waktu, istirahat, lama kerja, upah, bentuk organisasi, lingkungan sosial dan keluarga. Dengan demikian jika karyawan diperlakukan secara baik oleh atasan atau adanya hubungan antar karyawan yang baik, maka karyawan tersebut akan
Universitas Sumatera Utara
berpartisipasi dengan baik pula dalam proses produksi, sehingga akan berpengaruh pada tingkat produktitas kerja. 2.2.2.3. Pengukuran Produktivitas Kerja. Produktivitas merupakan hal yang sangat penting bagi para karyawan yang ada di perusahaan. Dengan adanya produktivitas kerja diharapkan pekerjaan akan terlaksan secara efisien dan efektif, sehingga ini semua akhirnya sangat diperlukan dalam pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan. Menurut Sutrisno (2009 : 111) untuk mengukur produktivitas kerja, diperlukan suatu indikator, yaitu sebagai berikut: 1. Kemampuan Mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas. Kemampuan seorang karyawan sangat bergantung pada keterampilan yang dimiliki serta profesionalisme mereka dalam bekerja. Ini memberikan daya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diembannya kepada mereka. 2. Meningkatkan hasil yang dicapai. Berusaha untuk meningkatkan hasil yang dicapai. Hasil merupakan salah satu yang dapat dirasakan baik oleh yang mengerjakan maupun yang menikmati hasil pekerjaan tersebut. Jadi upaya untuk memanfaatkan produktivitas kerja bagi masing-masing yang terlibat dalam suatu pekerjaan. 3. Semangat kerja Ini merupakan usaha untuk lebih baik dari hari kemarin. Indikator ini dpat dilihat dari etos kerja dan hasil yang dicapai dalam satu hari kemudian dibandingkan dengan hari sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
4. Pengembangan diri. Senantiasa mengembangkan diri untuk meningkatkan kemampuan kerja. Pengembangan diri dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan dengan apa yang akan dihadapi. Sebab semakin kuat tantangannya, pengembangan diri mutlak dilakukan. Begitu juga harapan untuk menjadi lebih baik pada gilirannya akan sangat berdampak pada keinginan karyawan untuk meningkatkan kemampuan. 5. Mutu Selalu berusaha untuk meningkatkan mutu lebih baik dari yang telah lalu. Mutu merupakan hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan kualitas kerja seorang pegawai. Jadi meningkatkan mutu bertujuan untuk memberikan hasil yang terbaik pada gilirannya akan sangat berguna bagi perusahaan dan diri sendiri. 6. Efisiensi Perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan. Masukan dan keluaran merupakan aspek produktivitas yang memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi karyawan. 2.2.2.4. Upaya Peningkatan Produktivitas Bahwa peningkatan produktivitas kerja dapat dilihat sebagai masalah keperilakuan, tetapi juga dapat mengandung aspek-aspek teknis. Untuk mengatasi hal itu perlu pemahaman yang tepat tentang faktor-faktor penentu keberhasilan
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan produktivitas kerja, sebagian diantaranya berupa etos kerja yang harus dipegang teguh oleh semua karyawan dalam organisasi. Yang dimaksud etos kerja ialah norma-norma yang bersifat mengikat dan diterapkan secara eksplisit serta praktik-praktik yang diterima dan diakui sebagai kebiasaan yang wajar untuk dipertahankan dan diterapkan dalam kehidupan kekaryawan para anggota suatu organisasi. Sedangkan faktor-faktor tersebut menurut Siagian (2002) adalah: 1. Perbaikan terus-menerus. Dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja, salah satu implikasinya ialah bahwa seluruh komponen organisasi harus melakukan perbaikan secara terus menerus. Pandangan ini bukan hanya merupakan salah satu etos kerja yang penting sebagai bagian dari filsafat manajemen muthakir. Pentingnya etos kerja ini terlihat dengan lebih jelas apalagi diingat bahwa suatu organisasi selalu dihadapkan kepada tuntutan yang terus menerus berubah, baik secara internal maupun eksternal. Tambahan pula ada ungkapan yang mengatakan bahwa satu-satunya hal yang konstan di dunia adalah perubahan. Secara internal perubahan yang terjadi adalah perubahan strategi organisasi, perubahan pemanfaatan teknologi, perubahan kebijaksanaan, dan perubahan dalam praktik sumber daya manusia sebagai akibat diterbitkan perundangundangan baru oleh pemerintah dan berbagi faktor lain yang tertuang dalam berbagai keputusan manajemen. Sedangkan perubahan eksternal adalah
Universitas Sumatera Utara
perubahan yang terjadi denganc epat karena dampak tindakan suatu organisasi yang dominan perananya di masyarakat. 2. Peningkatan mutu hasil pekerjaan. Berkaitan erat dengan upaya melakukan perbaikan secara terus-menerus ialah peningkatan mutu hasil pekerjaan oleh semua orang dan segala komponen organisasi. Padahal mutu tidak hanya berkaitan dengan produk yang dihasilkan dan dipasarkan, baik berupa barang maupun jasa, akan tetapi menyangkut segala jenis kegiatan di mana organisasi terlibat. Berarti mutu menyangkut semua jenis kegiatan yang diselenggarakan oleh semua satuan kerja, baik pelaksana tugas pokok maupun pelaksana tugas penunjang dalam organisasi. Peningkatan mutu tersebut tidak hanya penting secara internal, akan tetapi juga secara eksternal karena akan tercermin dalam interaksi organisasi dengan lingkungannya yang pada gilirannya turut membentuk citra organisasi di mata berbagai pihak di luar organisasi. Jika ada organisasi yang mendapat penghargaan dalam bentuk ISO 9000, misalnya penghargaan ini diberikan bukan hanya karena keberhasilan organisasi meningkatkan mutu produknya, akan tetapi karena dinilai berhasil meningkatkan mutu semua kenis pekerjaan dan proses manajerial dalam organisasi yang bersangkutan. 3. Pemberdayaan sumber daya manusia. Bahwa sumber daya manusia merupakan unsur yang paling strategik dalam organisasi. Karena itu memberdayakan sumber daya manusia merupakan etos kerja yang sangat mendasar yang harus dipegang teguh oleh semua eselon
Universitas Sumatera Utara
manajemen dalam khirarki organisasi. Memberdayakan sumber daya manusia mengandung berbagai kiat seperti mengakui harkat dan martabat manusia, perkaya mutu kekaryaan dan penerapan gaya manajemen yang partidipatif melalui proses demokratisasi dalam kehidupan berorganisasi.
2.3. Kerangka Konseptual Produktivitas kerja karyawan merupakan hal yang sangat penting dalam keberhasilan pencapaian tujuan di suatu perusahaan. Seorang karyawan akan mampu bekerja sesuai dengan harapan perusahaan jika ia memiliki kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya. Secara luas, kompetensi dapat diartikan sebagai kombinasi antara keterampilan (skill), sikap (atribut personal), dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Disejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe yaitu soft skill competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain, contohnya adalah kepemimpinan, komunikasi, hubungan sosial dan lain-lain. Sedangkan kompetensi yang kedua sering disebut dengan hard skill competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni, sebagai contoh analisis keuangan, perencanaan, teknisi permesinan dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
Produktivitas kerja mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dapat dicapai dengan peran tenaga kerja yang bersangkutan per satuan waktu. Secara matematis jika hasil kerja atau output = O dan peran tenaga kerja atau input = I, maka produktivitas kerja = (O/I)*100%. Seorang tenaga kerja dinilai produktif jika yang bersangkutan mampu menghasilkan output lebih banyak dalam satuan waktu tertentu. Jika produktivitas kerja hanya dikaitkan dengan waktu saja, maka jelas kiranya bahwa produktivitas kerja sangat tergantung pada segi keterampilan dan keahlian tenaga kerja secara fisik. Namun penilaian produktivitas kerja karyawan tidak tergantung pada segi keterampilan fisik saja (hard skill competency) tetapi juga kemampuan soft skill competency. Penilaian produktivitas kerja pada dasarnya merupakan salah satu faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien. Untuk keperluan penilaian produktivitas kerja karyawan diperlukan informasi-informasi yang relevan (valid) dan reliabel. Meskipun informasi yang digunakan untuk penilaian mempunyai tingkat kualitas yang tinggi, namun permasalahannya adalah bagaimana suatu penilaian akan menjamin adanya ”objektivitas”. Hal ini harus dipikirkan dan diperhatikan dalam proses penilaian produktivitas kerja karyawan, artinya harus dihindarkan dari adanya sifat ”suka”dan ”tidak suka” dari penilai. Kemampuan soft skill competency karyawan khususnya kecerdasan emosi sangat menunjang keberhasilan tujuan perusahaan. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan
Universitas Sumatera Utara
Intelligence Quotient (IQ). Banyak orang yang cerdas (dalam arti terpelajar) tetapi mereka tidak mempunyai kecerdasan emosi. Kedua kecerdasan yang berbeda ini (intelektual dan emosi) mengungkapkan aktivitas bagian-bagian yang berbeda dalam otak. Teori sistem menyatakan bahwa mengabaikan kategori data apapun yang signifikan identik dengan membatasi pemahaman dan respon seseorang. Memahami arus emosi dalam perusahaan dapat mendatangkan manfaat yang nyata. Kerugian dapat dialami oleh suatu perusahaan ketika manajer selalu mengabaikan emosi karyawan yang bekerja. Emosi yang dimiliki oleh seseorang sebenarnya berisi seluruh kejadian atau pengalaman yang pernah dialaminya. Manusia sebagai sistem, kekuatan emosinya ditunjukkan dalam bentuk energi. Inilah sumber utama pengaruh dan kekuatan manusia dalam mengarungi kehidupannya. Emosi yang berlebihan pada suatu waktu dapat menghambat atau menghentikan penalaran dan analisis yang bersifat rasional, tetapi kejadian pada sebagian kasus menjelaskan bahwa emosi yang terlalu rendah justru dapat menghancurkan karir dan sekaligus perusahaan. Kecerdasan emosi (EQ) merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain (Goleman, 2005:512). Salovey dan Meyer dalam Goleman (2005:513) mendefinisikan ”kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan diri sendiri dan orang
Universitas Sumatera Utara
lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan”. Tentu saja tidak cukup hanya memiliki perasaan, kecerdasan emosional menuntut seseorang untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan pada diri sendiri dan orang lain, dan untuk menanggapi (merespon) dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan seharihari. Saat ini banyak hasil penelitian membuktikan bahwa seseorang yang berprestasi tinggi dalam pekerjaan lebih mengandalkan kompetensi kecerdasan emosional dari pada kemampuan kognitif murni. Penelitian juga membuktikan bahwa jika IQ hanya berkembang sedikit setelah usia remaja, sedangkan kecerdasan emosional berkembang terus sepanjang hidup sambil belajar dari pengalaman. Menurut Goleman (1995 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ). Bahkan secara khusus dikatakan bahwa kecerdasan emosional lebih berperan dalam kesuksesan dibandingkan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah studi bahkan menyebutkan IQ hanya berperan 4%-25% terhadap kesuksesan dalam pekerjaan dan sisanya ditentukan oleh EQ atau faktor-faktor lain di luar IQ tadi. Goleman (1995 : 48) menyatakan “ Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap - yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif – memiliki keuntungan dalam setiap kehidupan, entah itu
Universitas Sumatera Utara
dalam hubungan asmara dan persahabatan atau dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi.” Kecerdasan emosi yang setelah melalui berbagai telaah akan diukur melalui lima dimensi yang meliputi: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial dapat mempengaruhi produktivitas kerja. (Goleman :1995) Kesadaran diri merupakan kemampuan untuk mengenali dan memahami suasana hati diri sendiri, emosi dan dampaknya terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki kesadaran diri menyadari hubungan antara apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan, apa yang dilakukan dan apa yang dikatakan orang lain. Pengaturan diri atau penguasaan diri yang merupakan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan emosi (self-control); untuk tetap tenang dan fokus terhadap tugas yang ada. Seseorang yang memiliki penguasaan diri cenderung untuk memahami perbedaan pandangan orang lain. Motivasi, komponen ketiga mencakup komitmen, optimisme, keyakinan, antusias dalam melakukan kegiatan tanpa memandang uang atau status dan untuk mencapai tujuan dengan ketekunan dan kekuatan yang dimiliki. Empati merupakan kemampuan untuk memahami emosi orang lain. Sebagai hasil dari pemahaman ini, seseorang yang memiliki rasa empati cenderung untuk memperlakukan orang lain menurut emosionalnya. Seseorang tersebut dapat membangun dan mempertahankan bakat, memiliki kepekaan terhadap keanekaragaman budaya, menghargai pandangan yang berbeda dan menghindari konflik yang tidak produktif.
Universitas Sumatera Utara
Keterampilan sosial mencakup kecakapan dalam mengelola hubungan dengan orang lain dan membangun jaringan kerja. Dari kerangka pemikiran secara visual bentuk atau model pengaruh tersebut dapat digambarkan ke dalam sebuah bagan dibawah ini. Kesadaran Diri (X1) Pengendalian Diri (X2) Motivasi (X3)
Produktivitas Kerja
Kecerdasan Emosional
Empati (X4) Keterampilan Sosial (X5)
Gambar I.1. Kerangka Konseptual 2.4. Hipotesis Adapun hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan pada pabrik kelapa sawit unit Gunung Bayu PT. Nusantara IV (persero). 2. Kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial berpengaruh signifikan terhadap kecerdasan emosional karyawan pada pabrik kelapa sawit unit Gunung Bayu PT. Nusantara IV (persero).
Universitas Sumatera Utara