13
BAB II PERMASALAHAN HUKUM DALAM LELANG TERHADAP JAMINAN FIDUSIA KENDARAAN BERMOTOR PADA PERUSAHAAN LEASING A.
Leasing
1.
Pengertian Leasing Leasing adalah merupakan suatu ”kata atau peristilahan” baru dari bahasa
asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, yang sampai sekarang padanannya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak atau belum ada yang dirasa cocok untuk itu. Istilah leasing ini sangat menarik oleh karena ia bertahan dalam nama tersebut tanpa diterjemahkan dalam bahasa setempat, baik di Amerika yang merupakan asal-usul adanya lembaga leasing ini, maupun di negara-negara yang telah mengenal lembaga leasing ini.14 Kata ”leasing” berasal dari bahasa Inggris ”lesse” yang dalam arti biasa atau umum adalah menyewakan.15 Dalam bahasa Indonesia leasing sering diistilahkan dengan nama ”sewa guna usaha”. Sampai saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang leasing, namun demikian praktek bisnis leasing telah berkembang dengan cepat, dan untuk mengantisipasi kebutuhan agar secara hukum mempunyai pegangan yang pasti, maka pada tanggal 7 Pebruari 1974 telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Dalam Surat Keputusan Bersama itu juga disebutkan apa yang dimaksud dengan leasing, yaitu:
”Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli
14 AminWidjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Dalam Leasing, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994) hlm. 7. 15
Komar Andasasmita, Serba-Serbi Tentang Leasing (Teori dan Praktek), Cet. 3, (Bandung: Ikatan Notariat Indonesia, 1984), hlm. 34.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
14
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.” Selanjutnya menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/KMK/01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), yang dimaksud dengan leasing adalah : ”Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha tanpa hak opsi (finance leasing) maupun sewa guna usahan tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.” Namun disamping itu, terdapat suatu Keputusan Presiden yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan, yaitu Keputusan Presiden No. 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud dengan leasing adalah :16
Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara ”Finance Lease” maupun Operating Lease”untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha selama Jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Dalam Pasal 8 Keputusan Presiden tersebut dinyatakan, bahwa : ”Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, segala peraturan mengenai Sewa Guna Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak berlaku.” Hal ini berarti segala peraturan yang berhubungan dengan sewa guna usaha yang terbentuk sebelum berlakunya Keputusan Presiden ini, dengan adanya Keputusan Presiden ini dinyatakan tidak berlaku, dan sebagai dasar
hukum
mengenai Lembaga Pembiayaan maupun mengenai Sewa Guna Usaha, maka peraturan yang berlaku adalah yang terbentuk setelah Keputusan Presiden ini berlaku, yaitu : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
16
Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Lembaga Pembiayaan, KEPRES No. 61 Tahun 1988, Ps. 1 ayat (9).
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
15
2. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
No.
1251/KMK/013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. 3. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
No.
1169/KMK/01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha. Dari definisi tersebut di atas dapat disebutkan unsur-unsur dari leasing adalah sebagai berikut :17 1. Pembiayaan Perusahaan Leasing memang dimaksudkan sebagai usaha yang memberikan kemudahan
pembiayaan
kepada
perusahaan
tertentu
yang
memerlukannya. 2. Penyediaan Barang Modal Barang modal ini sangat bervariasi, dapat berupa mesin-mesin, alatalat berat, traktor, kapal, pesawat terbang, peralatan kantor seperti komputer, mesin foto kopi, kendaraan bermotor dan sebagainya. 3. Keterbatasan Jangka waktu Salah satu unsur penting dari lembaga leasing adalah jangka waktu yang terbatas. Biasanya dalam kontrak leasing ditentukan untuk beberapa tahun leasing tersebut dilakukan. Dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK/01/1991, tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) ditentukan bahwa jangka waktu leasing diterapkan dalam tiga kategori sebagai berikut : ”(1) Jangka Singkat, yaitu minimal dua tahun, (2) Jangka menengah, yaitu minimal tiga tahun, dan (3) Jangka panjang, yaitu minimal tujuh tahun.” 4. Pembayaran Kembali Secara Berkala Besarnya dan lamanya angsuran sesuai dengan kesepakatan yang telah dituangkan dalam perjanjian atau kontrak leasing.
17
Ibid., hlm. 12 - 13.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
16
5. Hak Opsi untuk Membeli Di akhir masa leasing, diberikan hak kepada lessee(Perusahaan atau Peorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari Lessor) untuk membeli barang modal tersebut dengan harga yang telah terlebih dahulu ditetapkan dalam kontrak leasing yang bersangkutan. Namun demikian tidak semua jenis leasing memberikan hak opsi dan hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian selanjutnya mengenai jenis-jenis leasing. 6. Nilai Sisa (Residu) Nilai sisa merupakan besarnya jumlah uang yang harus dibayar kembali kepada lessor (Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Sewa Guna Usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha) oleh lessee di akhir masa berlakunya leasing atau pada saat lessee mempunyai hak opsi. Nilai sisa biasanya sudah terlebih dahulu ditentukan bersama dalam kontrak leasing. Leasing sebagai pranata hukum perjanjian merupakan perjanjian in-nominat (perjanjian tidak bernama) dimana ketentuan mengenai perjanjian itu tidak diatur dalam KUHPerdata. Meskipun demikian, leasing ini tetap tunduk pada ketentuanketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam Buku III Bab I dan Bab II KUHPerdata. Hal ini seperti yang ditentukan dalam Pasal 1319 KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan umum yang masih berlaku terhadap perjanjian leasing itu khususnya adalah mengenai Pasal 1338 KUHPerdata yaitu mengenai asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa perjanjian itu dapat diadakan mengenai hal apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan kata lain perjanjian leasing itu dapat diadakan sepanjang klausa yang ada dalam perjanjian leasing itu tidak bertentangan dengan tiga hal tersebut. Dan sebagai akibatnya, klausa-kalusa yang ada dalam perjanjian leasing itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing itu.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
17
Selain hal tersebut, ketentuan umum yang harus ditaati dalam perjanjian leasing adalah Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Artinya perjanjian leasing itu harus memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang dicantumkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang apabila salah satu syarat itu tidak terpenuhi maka perjanjian leasing itu dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak atau dapat dibatalkan demi hukum. Syarat sahnya perjanjian itu sendiri menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah : a. Sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Dua syarat pertama ini dinamakan syarat subyektif dan jika syarat ini tidak terpenuhi maka dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan. d. Suatu hal tertentu e. Sebab yang halal/Sah Dua syarat ini disebut juga syarat objektif yang apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian leasing itu menjadi batal demi hukum. Leasing ini berbeda dengan perjanjian sewa menyewa yang diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata dan perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang merupakan perjanjian nominat atau perjanjian bernama. Sedangkan leasing sebagai perjanjian in-nominat pegaturannya tidak ada dalam KUHPerdata dan dasarnya adalah kebiasaan dan yurisprudensi, yang mana perjanjian leasing ini sama halnya dengan perjanjian sewa beli dan perjanjian. Oleh karena itu perjanjian leasing tidak dapat dikategorikan dalam salah satu perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata perjanjian in-nominat.
2.
Jenis-jenis Leasing Kalau dilihat secara umum, jenis-jenis leasing dapat dibedakan menjadi dua
kelompok utama. Hal yang paling penting yang membedakan kedua jenis tersebut
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
18
adalah hak pemilikan secara hukum, cara pencatatan dalam akuntansi dan besarnya rental.18 Dua jenis leasing tersebut adalah : 1.
Finance Lease, adalah suatu bentuk cara pembayaran dimana : a. Lessor mendapatkan hak milik atas benda bergerak yang kemudian diserahkan untuk dipakai lessee, untuk suatu jangka waktu yang maksimal sama dengan masa kegunaan ekonomis benda yang bersangkutan, dan sebaliknya. Lessee berkewajiban membayar kepada lessor, seluruh biaya lessor
ditambah
dengan
ongkos-ongkos
pembiayaan
lessor
dan
keuntungan bagi lessor; b. Perjanjian untuk memakai benda itu dapat diakhiri oleh lessee, sehingga lessee-lah yang memikul resiko ekonomis benda itu. Yang dimaksud dengan resiko ekonomis adalah resiko atas pertambahan atau penurunan nilai benda yang bersangkutan; c. Lessee membukukan benda itu sebagai aktivanya dan lessee juga mencatatkan hutangnya pada lessor; d. Pada saat berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan, lessee dapat mengembalikan benda itu kepada lessor atau dapat membelinya dengan harga yang relatif rendah sebagaimana telah diperjanjikan terlebih dahulu, atau lessee dapat memperpanjang jangka waktu leasing dengan syaratsyarat yang disetujui bersama. 2.
Operating Lease Merupakan suatu bentuk pemberian jasa pembiayaan, dimana : a. Lessor membeli suatu benda bergerak atau benda tidak bergerak, kemudian menyerahkan kepada lessee untuk dipakainya selama jangka waktu yang lebih pendek dari masa kegunaan ekonomis benda itu atau maksimal sepanjang masa kegunaan benda yang bersangkutan dan sebagai imbalan lessee wajib membayar kepada lessor suatu imbalan berkala;
18
Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 15-
16.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
19
b. Resiko ekonomis benda yang bersangkutan jatuh pada lessor karena lessee dapat mengakhiri perjanjian leasing sewaktu-waktu, dan karena pada umumnya jangka waktu berlakunya perjanjian leasing lebih pendek dibanding dengan masa kegunaan benda yang bersangkutan; c. Lessor-lah yang mencatatkan benda itu sebagai aktivanya; d. Setelah berakhirnya perjanjian leasing atau setelah perjanjian leasing diakhiri, lessee wajib mengembalikan benda itu kepada lessor, lessee tidak mempunyai hak opsi untuk membeli benda itu. Setelah melihat dua jenis leasing tersebut, dari finance lease dapat pula dibedakan menjadi dua macam bentuk leasing, yaitu : 1. Direct Finance Lease Direct lease atau sewa finansiil langsung (Direct Financing Lease) yang dianggap sebagai sewaan dengan dibayar penuh dan tidak dapat dibatalkan (full pay out, non-cancelable lease), yaitu suatu metode untuk memberi biaya (financing) dimana pihak yang menyewakan (lessor) berusaha memperoleh kembali seluruh modal yang ia keluarkan untuk pembelian barang yang ia sewakan dari uang sewa yang harus dibayar penyewa menurut perjanjian sewa-menyewa.19 2. Sale and Lease Back Sesuai dengan namanya, dalam transaksi ini lessee menjual barang yang sudah dimilikinya kepada lessor. Atas barang yang sama ini kemudian dilakukan kontrak leasing antara lessor dan lessee. Dilihat dari sisi lessee, perjanjian ini dibuat dengan tujuan yang berbeda dibandingkan dengan direct finance lease. Disini lessee memerlukan cash yang bisa dipergunakan untuk tambahan modal kerja atau untuk keperluan lainnya. Dengan sistem sale and lease back ini memungkinkan lessor memberikan dana untuk keperluan apa saja kepada clientnya. Yang dibutuhkan hanyalah objek lease yang nilainya sesuai dengan dana yang diberikan. 19
Andasasmita, Loc. Cit., hlm. 6.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
20
Disamping jenis-jenis leasing yang telah disebutkan di atas, ada bentukbentuk lain dari leasing, yaitu : 1. Leverage Lease Leverage lease ini adalah merupakan finance lease. Namun dalam pelaksanaannya jauh lebih kompleks dan melibatkan pihak ketiga, yang disebut credit provider. Lessor tidak membiayai barang tersebut hingga sebesar 100% dari harga barang melainkan hanya antara 20% hingga 40 %. Kemudian sisa dari harga barang tersebut akan dibiayai oleh pihak ketiga. Biasanya jenis leasing ini dilakukan terhadap barang yang mempunyai nilai yang tinggi. 2. Syndicate Lease Sering juga terjadi dimana beberapa perusahaan leasing bersama-sama membiayai penyediaan suatu barang leasing dan kemudian secara bersamasama pula me-lease-kan barang tersebut kepada lessee. Dalam hubungan ini selalu dibuat perjanjian tersendiri antara para anggota syndicate leasing untuk mengatur cara pelaksanaan agunan-agunan jika ada serta pembagian hasil pelaksanaan agunan.20 3. Cross Border Lease Merupakan suatu transaksi leasing yang dilakukan dengan melewati batas suatu negara. Dengan demikian antara lessor dan lessee terletak pada dua negara yang berlainan. Diperlukan suatu penanganan yang khusus untuk transaksi jenis ini karena segi hukum dan perpajakan masing-masing negara belum tentu sama.
3.
Dasar Hukum Perjanjian Leasing Secara yuridis dapat dikemukakan, bahwa leasing adalah perjanjian, maka
titik tolak menganalisanya adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata di Indonesia. Dalam konteks ini berarti ketentuan-ketentuan khusus mengenai leasing dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentunya tidak ada. Hal tersebut tidak merupakan halangan, karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata menganut asas 20
Soekadi, Op. Cit., hlm. 38 - 39.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
21
kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini sangat baik karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengekang dinamika perkembangan hukum. Seperti diketahui, bahwa peraturan tentang leasing yang berlaku saat ini boleh dikatakan sangat sederhana dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan pada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada. Surat Keputusan Tiga Menteri (Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Koperasi) tahun 1974 mengenai leasing adalah peraturan pertama yang khusus dikeluarkan di Indonesia. Surat keputusan itu dan lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan leasing di Indonesia terutama bersifat administratif dan obligatory atau bersifat memaksa. Namun demikian dasar hukum yang melandasi berlakunya leasing di Indonesia sebagai berikut : 1. Secara Umum (Generale) : a. Asas Konkordasi hukum berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 atas Hukum Perdata yang berlaku bagi penduduk Eropa, yang berbunyi : ”Segala badan negara dan peraturan yang masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar Ini”. b. Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai kebebasan berkontrak serta asas-asas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam Bab I Buku ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Peradata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak bertentangan dengan Undang-undang, kepentingan umum (public policy) dan kesusilaan.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
22
c. Pasal 1548 – 1580 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Buku ke-3 Bab VII) yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang sewa-menyewa sepanjang tidak diadakan pernyimpangan oleh para pihak. Pasal-pasal ini membahas hak dan kewajiban lessor dan lesse. 2. Secara Khusus (specifik) : a. Surat Keputusan Besama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan dan Koperasi Republik Indonesia : Nomor
: Kep-122/MK/IV/2/1974
Nomor
: 32/M/SK/2/1974
Nomor
: 30/Kpb/I/1974
Tanggal
: 7 Pebruari 1974
Tentang
: Perjanjian Usaha Leasing
Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut merupakan peraturan pokok tentang pendirian leasing dan pelaksanaannya langsung diserahkan kepada Menteri Keuangan. b. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Republik Indonesia : Nomor
: Kep-649/MK/IV/5/1974
Tanggal
: 6 Mei 1974
Tentang
: Perjanjian Usaha Leasing
c. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Republik Indonesia : Nomor
: No. Kep.650/MK/IV/5/1974
Tanggal
: 6 Mei 1974
Tentang
: Penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materai terhadap usaha leasing.
d. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter : Nomor
: PENG-307/DJM/III.I/7/1974
Tanggal
: 8 Juli 1974
Tentang
: 1. Tata cara perijinan 2. Pembatasan usaha
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
23
3. Pembukuan 4. Tingkat Suku Bunga 5. Perpajakan 6. Pengawasan dan pembinaan e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan : Nomor
: 34/KP/II/1980
Tanggal
: 1 Pebruari 1980
Tentang
: Lisensi/perijinan untuk kegiatan usaha sewa beli
(Hire
Purchase),
angsuran/cicilan
(Sale
jual-beli and
dengan
Purchase
by
Installment), dan sewa-menyewa (Renting). f. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri : Nomor
: SE.4815/MD/1983
Tanggal
: 31 Agustus 1983
Tentang
:
Ketentuan
Perpanjangan
Ijin
Usaha
Perusahaan asing dan Perpanjangan Penggunaan Tenaga Warga Negara Asing pada Perusahaan Leasing. g. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri : Nomor
: SE4835/MD/1983
Tanggal
: 1 September 1983
Tentang
: Tata Cara dan Prosedur Pendirian Kantor Cabang dan Kantor Perwakilan Perusahaan Leasing.
h. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Republik Indonesia : Nomor
: S.742/MK/011/1984
Tanggal
: 12 Juli 1984
Tentang
: Usaha Financial Leasing
i. Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak : Nomor
: SE.28/PJ.22/1984
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
24
Tanggal
: 26 Juli 1084
Tentang
: Usaha Financial Leasing
Namun disamping itu, terdapat suatu Keputusan Presiden yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan, yaitu Keputusan Presiden No. 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Dalam Pasal 8 Keputusan Presiden tersebut dinyatakan, bahwa: ”Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, segala peraturan mengenai Sewa Guna Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak berlaku”. Hal ini berarti segala peraturan yang berhubungan dengan sewa guna usaha yang terbentuk sebelum berlakunya Keputusan Presiden ini, dengan adanya Keputusan Presiden ini dinyatakan tidak berlaku. Dan sebagai dasar hukum mengenai Lembaga Pembiayaan maupun sewa Guna Usaha, maka peraturan yang berlaku adalah yang terbentuk setelah Keputusan Presiden ini berlaku, yaitu : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. 2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. 3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha. Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang mengatur hak dan kewajiban serta hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan, selain dari pedoman dan peraturan di atas kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta Yurisprudensi yang ada.21
4.
Subjek dan Objek Perjanjian Leasing 4.1. Subjek Perjanjian Leasing Subjek perjanjian leasing, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 649/MK/IV/5/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing dan Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. PENG-307/DJM/III.I/7/1974, yang dapat 21
Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Op. Cit., hlm. 11- 13.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
25
melakukan usaha leasing adalah perusahaan yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan. Selain itu dalam Pasal 2 Surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut antara lain ditentukan bahwa yang dapat bertindak sebagai lessor hanyalah Lembaga Keuangan atau Badan Hukum tersendiri baik yang berbentuk Perusahaan Nasional maupun Perusahaan Campuran dan yang terlebih dahulu telah memperoleh izin usaha leasing dari Menteri Keuangan. 4.2. Objek Perjanjian Leasing Menurut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri dan Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No.
PENG-307/DJM/III.I/7/1974 tentang Pedoman
Pelaksanaan Peraturan Leasing adalah barang-barang modal atau alat-alat produksi. Secara umum yang dapat menjadi objek dari leasing adalah semua barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang berharga atau bernilai dalam lalu lintas ekonomi.
5.
Berakhirnya Leasing Pada prinsipnya ada tiga macam putusnya perjanjian leasing, yaitu karena :
(1) Konsensus, (2) Wanprestasi, (3) Force Majeure. A. Putusnya Kontrak Leasing Karena Konsensus Seperti juga perjanjian lainnya, tentu perjanjian leasing dapat diputuskan kapan saja jika para pihak dalam perjanjian tersebut saling sepakat untuk itu. Ini memang prinsip yang berlaku umum dalam hukum kontrak. Biasanya, hak salah satu pihak untuk memutuskan kontrak dengan persetujuan pihak lain disebutkan secara eksplisit dalam kontrak yang bersangkutan. Dalam praktek, pemutusan kontrak leasing secara konsensus ini sangat jarang terjadi. Hal ini dikarenakan karakteristik dari kontrak leasing dimana salah satu pihak berprestasi tunggal, dalam hal ini pihak lessor. Artinya, pihak lessor cukup sekali berprestasi, yaitu menyerahkan dana untuk pembelian barang leasing. Sekali dana dicairkan, maka pada prinsipnya selesailah tugas substansial dari lessor. Tinggal dari pihak supplier kemudian berkewajiban
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
26
menyerahkan barang kepada lessee, dan selanjutnya pihak lessee harus mengembalikan uang cicilan kepada lessor. Karena setelah mencairkan dana, selesailah sudah tugas substansial dari lessor, maka tentunya sangat sulit bagi lessor untuk ikut setuju jika pihak lessee ingin memutuskan kontrak di tengah jalan. Karena, kalau kontrak putus, lalu bagaimana dengan nasib dana yang telah dicairkan itu. Kadang-kadang terdapat juga kontrak dimana kedua belah pihak dapat bebas memutuskannya di tengah jalan, dengan atau tanpa sebab sama sekali. Model kontrak seperti ini jarang dipraktekkan dan tidak sesuai dengan karakteristik kontrak leasing sebagai kontrak prestasi tunggal dari pihak lessor. Sebab, sekali lessor sudah berprestasi, maka tidak mungkin kontrak diputus di tengah jalan. Kecuali terhadap transaksi leasing dimana lessor belum sempat memberikan prestasinya dalam bentuk apapun, ataupun dalam leasing dengan mana lessor dengan mudah dapat menjual barang modal dan dengan harga yang mencukupi. Sementara itu, apabila kontrak leasing diakhiri dengan konsensus para pihak justru pada saat belum ada satu pihakpun yang melakukan prestasi, misalnya pihak lessor pun belum mencairkan dananya, maka yang terjadi juga bukan pemutusan kontrak. Tetapi lebih tepat dikatakan sebagai pembatalan kontrak. Akibatnya, kontrak dianggap tidak pernah ada sama sekali. Hanya saja dengan adanya Pasal 1266 KUHPer, yang akan diterangkan selanjutnya, maka terjadi kekaburan antara kontrak yang dibatalkan dengan kontrak yang diputuskan.22
B. Putusnya kontrak Leasing Karena Wanprestasi Wanprestasi atau breach of contract merupakan salah satu sebab sehingga berjalannya kontrak menjadi terhenti. Dalam hal ini yang dimaksud dengan wanperstasi adalah salah satu pihak atau lebih tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan kontrak. Pasal 1239 KUHPer menentukan bahwa dalam hal suatu
22
Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 53 – 54.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
27
pihak melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dapat menuntut diberikan ganti rugi berupa biaya, rugi dan bunga. Alternatif lain selain dari tuntutan hanya ganti rugi oleh pihak yang dirugikan, maka dapat juga dituntut pelaksanaan perjanjian itu sendiri dengan atau tanpa ganti rugi. Khusus terhadap kontrak leasing, maka berbagai kemungkinan wanprestasi dapat
terjadi
dengan
konsekuensi
yuridis
yang
berbeda-beda
pula.
Kemungkinan-kemungkinan wanprestasi tersebut antara lain dapat disebutkan sebagai berikut : 1) Wanprestasi yang didiamkan Hukum kita tidak mengenal yang namanya doktrin substantial performance. Doktrin substantial performance mengajarkan bahwa yang dianggap tidak melaksanakan wanprestasi oleh salah satu pihak sehingga pihak lainnya dapat memutuskan kontrak adalah jika prestasi yang tidak dilaksanakan tersebut cukup substantial dalam kontrak yang bersangkutan. 2) Wanprestasi pemutus kontrak leasing Bisa saja karena alasan-alasan tertentu, salah satu pihak memutuskan kontrak leasing yang bersangkutan. Alasan pemutusan kontrak adalah karena pihak lain telah melakukan wanprestasi terhadap satu atau lebih klausula dalam kontrak leasing. Tidak perduli apakah prestasi yang tidak dipenuhi tersebut substansial ataupun tidak. Kecuali ditentukan lain dalam kontrak yang bersangkutan. Dalam kontrak leasing, banyak item, yang apabila dilanggar terutama oleh lessee, maka kontrak dianggap putus. Yang paling penting diantaranya tentu apabila lessee tidak membayar uang cicilan pada saat jatuh tempo. 3) Wanprestasi karena barangnya cacat Secara yuridis, konsekuensi dari cacat/rusaknya barang leasing sangat tergantung kepada situasi cacatnya/rusaknya barang tersebut. Untuk itu ada beberapa kemungkinan yuridis, yaitu sebagai berikut :
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
28
a. cacat tersembunyi b. cacat tidak tersembunyi c. barang rusak karena kesalahan lessee d. barang rusak bukan karena kesalahan lessee23
C. Putusnya Kontrak Leasing Karena Force Majeure Sungguhpun hak milik belum beralih kepada lessee sebelum hak opsi beli dilaksanakan oleh pembeli, tetapi karena lessor memang dari semula bertujuan hanya sebagai penyandang dana, bukan sebagai pemilik, maka sudah selayaknya jika beban resiko dari suatu leasing yang dalam keadaan force majeure dibebankan kepada lessee. Dalam kontrak-kontrak leasing, memang jelas kelihatan bahwa lessor tidak ingin mengambil resiko. Jadi, pengaturan resiko pada transaksi leasing lebih condong ke resiko yang ada pada transaksi jual beli ketimbang sewa menyewa. Hanya saja dalam praktek, isyu resiko ini tidak begitu menjadi soal berhubung biasanya barang leasing yang bersangkutan telah diasuransikan. Bahkan sering juga dalam bentuk asuransi ”all risk”. Dimana hak untuk menerima ganti kerugian dari asuransi ini telah dialihkan kepada lessor (dilakukan cessie asuransi). Namun demikian pengaturan tentang resiko ini tetap penting mengingat jika terjadi sesuatu dan lain hal yang menyebabkan pihak asuransi tidak dapat atau tidak mau membayar seluruhnya atau sebagian dari ganti kerugian jika terjadi force majeure. Misalnya dengan alasan bahwa asuransi bukan untuk ”all risk”, atau perusahaan asuransi jatuh pailit, ataupun karena ada ”dispute” dalam melihat sebab terjadinya peristiwa force majuere tersebut. Karena itu, dalam hal ini pihak lessee-lah yang akhirnya menjadi pihak yang menanggung resiko. Dalam praktek, hal ini diikuti sepenuhnya.24
23
Ibid., hlm. 55 – 62.
24
Ibid., hlm. 63 – 65.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
29
B.
Jaminan Fidusia
1.
Pengertian Jaminan Fidusia Pengertian Fidusia menurut Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah : ” Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”25 Adapun pengertian Jaminan Fidusia yaitu :
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemberi Fidusia terhadap Kreditor lainnya.26 Dari pengertian yang diberikan tersebut jelas bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, yaitu Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk Fidusia. Lembaga Fidusia ini pada hakikatnya telah lama dikenal, bahkan telah hadir pada jaman penjajahan Belanda. Bedanya hanya dahulu sebelum adanya undang-undang tentang Jaminan Fidusia tersebut, berlakunya dalam praktek digantungkan dan didasarkan kepada yurisprudensi. Berlakunya Fidusia diperbolehkan dengan hadirnya keputusan Hooggerchtshof tanggal 18 Agustus 1932 dalam perkara Batafsche Petroleum Maatschappij melawan Pedro Clignett dimuat dalam Indische Tijdschirft Vn Het Recht jilid ke-136 bab 311. Kemudian setelah Indonesia merdeka maka diberlakukan Jaminan 25
Indonesia, Undang-undang Tentang Jaminan Fidusia, UU No. 42, LN. No. 168 tahun 1999, TLN No. 3889, Pasal 1 angka 1. 26
Ibid., Pasal 1 angka 2.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
30
Fidusia ini dapat dijumpai dalam suatu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 372 K/Sip/1970 dalam perkara Lo Dhing Siang melawan Bank Negara Indonesia unit I Semarang. Kini dengan kehadiran Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, disini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan tentang utang piutang dengan jaminan barang dalam arti pengalihan suatu benda itu tetap dalam penguasaan dari si pemilik benda. Sebelum Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 diberlakukan, pada umumnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia hanyalah terhadap benda-benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan inventory, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor, setelah diberlakukannya undang-undang ini pengertian Jaminan Fidusia diperluas dalam arti benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1996. Demikian juga dengan adanya penambahan aturan pada Jaminan Fidusia dalam Undang-undang Jaminan Fidusia tahun 1999, yang menyebabkan adanya pendaftaran pada setiap perbutan pembuatan Jaminan Fidusia pada kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Kemudian dengan didaftarkannya Jaminan Fidusia tersebut, penerimaan Fidusia memiliki dan masuk dalam kelompok yang didahulukan (preferent). Maka lembaga jaminan Fidusia ini telah dilengkapi dengan kepastian hukum yang dapat dinikmati oleh para pihak yang berkepentingan, dan juga pendaftaran jaminan memberikan kepastian akan hak yang didahulukan kepada Kreditor yang mempergunakan lembaga jaminan Fidusia tersebut.27
27
Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Jaminan Fidusia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1999), hlm. 5 - 8.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
31
2.
Asas Hukum Jaminan Fidusia Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin ”principium” yang dalam bahasa Inggris disebut ”principle”. Padanan kata dalam bahasa Belanda ”beginsel” yang artinya dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Kata principle atau sering diindonesiakan sebagai prinsip sebagai sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar tumpuan, sebagai dasar tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal yang ingin dijelaskan.28 Dalam hal terbentuk dan diundangkannya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pembentuk undang-undang tidak menyebutkan secara tegas dasar atau asas-asas hukum jaminan Fidusia yang menjadi fondasi pembentukan norma hukumnya. Sesuai dengan teori tentang dasar atau asas hukum serta dibantu dengan teori tentang norma yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat dicari tentang dasar atau asas hukum jaminan Fidusia dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Tan Kamelo menjabarkan asas hukum jaminan Fidusia dalam tiga belas asas sebagai berikut :29 1) Asas preferensi, yaitu Kreditor penerima Fidusia berkedudukan sebagai Kreditor yang diutamakan dari Kreditor-Kreditor lainnya. 2) Asas bahwa jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. 3) Asas bahwa jaminan Fidusia adalah merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoritas yang mengandung arti bahwa keberadaan jaminan Fidusia adalah ditentukan oleh perjanjian lain yaitu perjanjian utama atau perjanjian prinsipal. 4) Asas bahwa jaminan Fidusia dapat diletakkan utang yang baru akan ada (kontinjen). 28
A. A. Andi Prajitno, Hukum Fidusia (Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999), (Malang: Banyumedia Publishing, 2009), hlm. 175. 29
Ibid., hlm. 177 - 181.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
32
5) Asas bahwa jaminan Fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. 6) Asas
bahwa
jaminan
Fidusia
dapat
dibebankan
terhadap
bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain. 7) Asas bahwa jaminan Fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan Fidusia. 8) Asas bahwa pemberi jaminan Fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan Fidusia. 9) Asas bahwa jaminan Fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran Fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Fidusia. 10) Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan Fidusia tidak dapat dimiliki oleh Kreditor penerima jaminan Fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. 11) Asas bahwa jaminan Fidusia memberikan hak prioritas kepada Kreditor penerima Fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor Fidusia dari pada Kreditor yang mendaftarkan kemudian. (Pasal 28 Undangundang Nomor 42 Tahun 1999). 12) Asas bahwa pemberi jaminan Fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik (te goeder trouw, in good faith). 13) Asas bahwa jaminan Fidusia mudah dieksekusi sebagaimana yang dapat ditemukan dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.
3.
Objek Jaminan Fidusia Benda yang dapt menjadi objek Jaminan Fidusia adalah benda apapun yang dimiliki dan dialihkan kepemilikannya, baik benda itu berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Undang-undang Hak Tanggungan atau Hipotik sebagaimana dimaksud dalam
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
33
Pasal 314 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Dagang juncto Pasal 116 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.30 Apabila kita memperhatikan pengertian benda yang dapat menjadi objek Jaminan Fidusia maka yang dimaksud dengan benda adalah termasuk juga piutang (receivables). Khusus mengenai benda yang menjadi jaminan fidusia, undang-undang mengatur bahwa Jaminan Fidusia meliputi hasil tersebut dan juga klaim asuransi kecuali diperjanjikan lain.31 Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia harus jelas dalam akta Jaminan Fidusia baik identifikasi benda tersebut maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis bendanya, merek bendanya dan kualitasnya.32 Selain itu Pasal 4 Undang-undang Fidusia juga menegaskan bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian pokok dan sesuai dengan pengertian Jaminan Fidusia bahwa Jaminan Fidusia diberikan sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu maka dalam Undang-undang juga diatur jenis utang yang pelunasannya dapat dijamin dengan Jaminan Fidusia.
4.
Tata Cara Pembebanan Fidusia Sesuai dengan kedudukan dan fungsi Jaminan Fidusia serta peranannya sebagai jaminan terhadap suatu utang, maka memberikan alur pikir yang kuat, bahwa hukum Jaminan Fidusia telah menempatkan setiap Jaminan Fidusia sebagai suatu perjanjian accessoir yaitu pelengkap dari perjanjian pokok. Oleh karena Undang-undang Jaminan Fidusia tersebut merupakan perjanjian ikutan (accessoir) dan memiliki hak yang didahulukan atau 30
Yasman, “Pemberian Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Dalam Praktek Perjanjian Kredit,” (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2002), hlm. 49. 31 Ratnawati W. Prasodjo, “Pokok-pokok Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,” (Makalah disampaikan pada acara Seminar Hukum Nasional Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 1 Desember 1999), hlm. 6. 32
Ibid.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
34
preferent (hak utama) serta memiliki juga kesempatan parate eksekusi, maka tentunya pembebanan benda/barang dengan Jaminan Fudisia wajib dan harus dibuat dalam suatu Akta Notaris (Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia).33 Mengingat objek Jaminan Fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah sewajarnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta otentik seperti yang telah diatur dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sejalan dengan ketentuan yang mengatur mengenai Hipotik dan Hak Tanggungan, maka Akta Jaminan Fidusia harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa akta notaris adalah merupakan akta yang otentik yang memiliki kekuatan pembuktian di dalamnya diantara para pihak beserta para ahli warisnya atau para pengganti haknya. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia, pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam bahasa Indonesia. Dalam akta Jaminan Fidusia tersebut selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan akta tersebut. Dalam akta Jaminan Fidusia tersebut perlu dicantumkan uraian yang jelas mengenai jenis, merk, kualitas dari benda atau barang tersebut (penjelasan Pasal 6 Undang-undang Jaminan Fidusia). Akta Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat :34 a.
Identitas pihak pemberi dan penerima Fidusia;
b.
Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
c.
Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
d.
Nilai penjaminan; dan
e.
Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
33
Widyadharma, op. cit., hlm. 14.
34
Yasman, op. cit., hlm. 51 - 52.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
35
Utang yang pelunasannya dijamin dengan Jaminan Fidusia berupa : (menurut Pasal 7 Undang-undang Jaminan Fidusia)35 a.
Utang yang telah ada;
b.
Utang yang akan timbul dikemudian hari dan telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu;
c.
Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok. Seperti apa yang disebutkan di atas bahwa pengertian utang yang
dimaksud juga mencakup setiap perikatan (verbintenis) senagaimana dimaksud Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 8 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Pemberi Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia tersebut. Ketentuan pemberian Fidusia kepada lebih dari satu Penerima Fidusia dimaksudkan dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium. Ketentuan Pasal 9 Undang-undang Fidusia menetapkan bahwa Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satu jenis benda, termasuk piutang baik yang telah ada maupun yang diperoleh kemudian. Ini berarti benda tersebut demi hukum akan dibebani dengan Jaminan Fidusia pada saat benda tersebut menjadi milik Pemberi Fidusia. Pembebanan Jamina Fidusia tersebut tidak perlu dilakukan dengan pengikatan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Hal ini karena atas benda tersebut sudah dilakukan pengalihan hak kepemilikan ”sekarang untuk nantinya”. Khusus mengenai hasil atau ikutan dari kebendaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia, Pasal 10 Undang-undang Fidusia menyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain :36
35
Widyadharma, op. cit., hlm. 15 - 16.
36
Yasman, op. cit., hlm. 53.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
36
a. Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, yaitu segala sesuatu yang diperoleh dari benda yang dibebani Jaminan Fidusia. b. Jaminan Fidusia meliputi juga klaim asuransi, dalam hal ini benda yang menjadi objek diasuransikan. Apabila klaim asuransi tidak termasuk meliputi Jaminan Fidusia tersebut, maka oleh Undangundang Jaminan Fidusia diwajibkan diperjanjikan secara tegas dan konkrit di dalam Akta Notaris Perjanjian Jaminan Fidusia. Untuk menjamin terselenggaranya suatu Jaminan Fidusia yang baik dan benar serta pasti, maka oleh Undang-undang Jaminan Fidusia dilengkapi dengan ketentuan pidana yang tercantum dalam Pasal 35 Undang-undang Jaminan Fidusia sebagai berikut : Setiap orang yang memalsukan,
mengubah,
menghilangkan
atau
dengan sengaja
dengan
cara
apapun
memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hak tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).37
5.
Pendaftaran Jaminan Fidusia Pendaftaran Jaminan Fidusia, bukanlah hanya suatu anjuran atau kemungkinan, akan tetapi pendaftaran Jaminan Fidusia adalah kewajiban. Hal ini oleh perundang-undangan diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Jaminan Fidusia tahun 1999, yang secara implisit bahwa benda/barang yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. Sedangkan tempat pendaftaran atau lembaga pendaftaran Jaminan Fidusia adalah Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dalam lingkup Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 12 Undang-undang Jaminan Fidusia). Dilengkapinya Jaminan Fidusia dengan kewajiban 37
Widyadharma, op.cit., hlm. 16.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
37
mendaftarkan Akta Perjanjian Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha para pihak yang berkepentingan dalam Jaminan Fidusia tersebut. Sehingga nafas utama dari Jaminan Fidusia dengan kewajiban mendaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia adalah suatu pemberi preferent pada Penerima Fidusia terhadap Kreditor lain yang secara pasti, mutlak dan lengkap.38 Pendaftaran Jaminan Fidusia pada kantor Pendaftaran Fidusia, adalah kewajiban dari Penerima Fidusia termasuk kuasa atau wakilnya. Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia dicatat dalam daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonannya (Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Jaminan Fidusia). Setelah perjanjian Jaminan Fidusia dicatatkan pada kantor Pendaftaran Fidusia, maka Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia sertipikat Jaminan Fidusia dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran (Pasal 14 ayat (1) undang-undang Jaminan Fidusia).39 Adapun prosedur dan tata cara pembebanan dan pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut dapat disarikan sebagai berikut : 1. Jaminan Fidusia dibuat dalam Akta Notaris dalam bahasa Indonesia (Akta Fidusia); 2. Akta Jaminan Fidusia tersebut sekurang-kurangnya memuat : a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia; c. Nilai penjaminan, dan d. Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
38
Ibid., hlm. 19 - 20.
39
Ibid., hlm. 21.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
38
3. Jaminan Fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia atas permohonan
penerima
Fidusia
atau
kuasanya/wakilnya
dengan
melampirkan pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia; 4. Pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia memuat : a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b. Tanggal, nomor Akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan Notaris yang membuat Akta Jaminan Fidusia; c.
Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; e. Nilai Penjaminan; f. Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. 5. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran (Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Jaminan Fidusia); 6. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan sertifikat Jaminan Fidusia kepada Penerima Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran; 7. Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam buku Daftar Fidusia.40 Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaraan Fidusia merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia, diterbitkan dengan mencatumkan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tentunya ini dimaksudkan bahwa setifikat Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial, senafas dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 224 HIR, bahwa kekuatan eksekutorial itu adalah sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sehingga jika Debitor cidera
40
Yasman, op.cit., hlm. 60- 61.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
39
janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjalankan kesempatan eksekusi (Pasal 14 juncto 15 Undang-undang Jaminan Fidusia).41 Pendaftaran Fidusia itu terbuka untuk umum, ini dimaksudkan agar segala keterangan tentang – mengenai benda/barang yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat diperoleh setiap orang yang membutuhkannya (Pasal 18 Undang-undang Jaminan Fidusia). Ini juga yang dimaksudkan untuk memperkuat dan menjalankan fungsi preventif agar tidak dilakukan Fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar, sehingga tertutuplah kemungkinan terjadinya Pemberian Fidusia dua kali atau lebih atas suatu benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. (Pasal 17 juncto 18 Undang-undang Jaminan Fidusia). Akan tetapi ternyata dalam Pasal 28 Undang-undang Jamina Fidusia ditemukan suatu ketentuan bahwa benda yang sama menjadi objek Jaminan Fidusia lebih dari satu perjanjian Jaminan Fidusia, maka yang memiliki hak yang didahulukan adalah pihak yang lebih dahulu mendaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Disini tampak dua alur pemikiran dan penafsiran mengenai objek Jaminan Fidusia, jika bersandarkan pada Pasal 17 Undang-undang Jaminan Fidusia tentu tidak dimungkinkan satu benda dijaminkan Fidusia lebih dari satu kali, akan tetapi jika berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Jaminan Fidusia menjaminkan sebuah benda lebih dari satu kali perjanjian dimungkinkan. Tetapi karena Undang-undang Jaminan Fidusia sendiri telah menetapkan bahwa yang memiliki preferensi (hak utama) adalah pihak yang lebih dahulu mendaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, maka tidaklah ada permasalahan yang fundamental terhadap terjadinya dua pasal yaitu Pasal 17 dan 28 Undang-undang Jaminan Fidusia yang kontradiktif tersebut.42
41
42
Widyadharma, op. cit., hlm. 23. Ibid., hlm. 23 - 26.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
40
6.
Eksekusi Fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jadi berdasarkan titel eksekutorial ini Penerima Fidusia dapat langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek Jaminan Fidusia tanpa melalui pengadilan. Undang-undang Fidusia juga memberikan kemudahan dalam melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi.43 Tata cara melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia harus betul-betul mematuhi ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Jaminan Fidusia berbunyi sebagai berikut : Pasal 29 ayat (1) : Apabila Debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara : a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia; b. Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sendiri melalui
pelelangan
umum
serta
mengambil
pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan; c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak
Pasal 31 : ”Dalam hal Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual dipasar atau di bursa,
43
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, ed. 1, cet. I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 150
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
41
penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Jadi prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian dalam hal
penjualan
melalui
pelelangan
umum
diperkirakan
tidak
akan
menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik Pemberi Fidusia ataupun Penerima Fidusia, maka dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan hal tersebut disepakati oleh Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi. Namun khusus untuk ponit c, pelaksanaan penjualan tersebut dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi
Fidusia
dan
Penerima
Fidusia
kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.44 Jika dilakukan menyimpang atau bertentangan dengan maksud dan tujuan dari ketentuan tentang eksekusi Jaminan Fidusia ini maka eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan sebagaimana yang dimaksud di atas batal demi hukum (Pasal 32 Undang-undang Jaminan Fidusia). Objek Jaminan Fidusia menurut Undang-undang Jaminan Fidusia tersebut berada pada penguasaan Pemberi Fidusia sebagai ciri khas dari Jaminan Fidusia. Maka Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut untuk dieksekusi, tetapi apabila Pemberi Fidusia menolak untuk menyerahkannya maka Penerima Fidusia berhak mengambil objek Jaminan Fidusia dari tangan penguasaan Pemberi Fidusia dan bila perlu dengan bantuan pihak yang berwenang. (Pasal 30 dan penjelasan Undang-undang Jaminan Fidusia).
44
Ibid., hlm. 153.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
42
Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila Debitor cidera janji maka batal demi hukum (Pasal 33 Undang-undang Jaminan Fidusia), dimaksudkan agar Penerima Fidusia tidak dapat merugikan pihak Pemberi Fidusia dalam arti menekan harga barang objek Fidusia serendahrendah mungkin. Ketentuan tentang melarang Penerima Fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila Debitor cidera janji adalah merupakan pengulangan kembali ketentuan yang serupa dalam gadai yang diatur dalam Pasal 1154 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Apabila telah dilaksanakan eksekusi atas objek Fidusia dan kemudian hasilnya melebihi nilai penjaminan, maka Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan sisanya kepada Pemberi Fidusia. Sebaliknya jika hasil eksekusi tidak mencukupi untuk melunasi hutang, maka Debitor tetap bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar, sedangkan terhadap pemilik objek fidusia yang kedudukannya hanya sebagai penjamin, jika benda/barang dari penjamin yaitu objek jaminan telah habis tereksekusi, maka terhadap penjamin tidak dapat diwajibkan untuk bertanggung jawab apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan hutang (Pasal 33 Undangundang Jaminan Fidusia).45
7.
Hapusnya Jaminan Fidusia Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Fidusia, Jaminan Fidusia ini merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian pokok yang menerbitkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sebagai suatu perjanjian accesoir, maka demi hukum Jaminan Fidusia hapus bila hutang
45
Widyadharma, op. cit., hlm. 34 – 36.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
43
yang bersumber pada perjanjian pokok tersebut dan yang dijamin dengan fidusia hapus.46 Hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 26 Undang-undang Jaminan Fidusia yang memuat ketentuan sebagai berikut :47 Pasal 25 : 1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Fidusia; b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; c. Musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. 2) Musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam angka 10 huruf b. 3) Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya hutang, pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut.
Pasal 26 : 1) Dengan hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Buku Daftar Fidusia. 2) Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi. 46
Fred B. G. Tumbuan, “Mencermati Pokok-pokok Undang-undang Fidusia,” (Makalah disampaikan pada acara seminar sosialisasi Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, Jakarta, 9 November 1999), hlm. 70. 47
Widyadharma, op. cit., hlm. 43.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
44
Sehubungan dengan hal hapusnya Jaminan Fidusia, timbul pertanyaan apakah dengan hapusnya Jaminan Fidusia dalam hal hapusnya utang yang dijamin perlu dilakukan penagihan kembali (retrooverdracht) atas hak kepemilikan oleh Penerima Fidusia. Dengan memperhatikan bahwa pengalihan hak kepemilikan atas objek Jaminan Fidusia dilakukan oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia sebagai jaminan kepercayaan bahwa hak kepemilikan tersebut dengan sendirinya akan kembali bilamana utang lunas (adanya syarat batal atau order ontbindende voorwaarde).48
C.
Lelang
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Lelang Lelang menurut sejarahnya berasal dari bahasa Latin ”auctio” yang berarti peningkatan harga secara bertahap, sebenarnya telah lama dikenal. Para ahli melalui penelitian literatur Yunani mengemukakan bahwa lelang telah dikenal sejak 450 tahun Sebelum Masehi. Beberapa jenis lelang yang populer pada masa itu antara lain adalah lelang karya seni, lelang tembakau, lelang kuda, lelang budak dan sebagainya.49 Di Indonesia, lelang masuk secara resmi dalam Perundang-undangan sejak tahun 1908, yaitu dengan berlakunya Vendu Reglement atau Peraturan Lelang yang dimuat dalam Staatblad tahun 1908 Nomor 189 dan Vendu Instructie atau Instruksi Lelang yang dimuat dalam Staatblad tahun 1908 Nomor 190. Peraturan-peraturan lelang ini masih berlaku sampai saat ini dan menjadi dasar hukum penyelenggaraan lelang di Indonesia. Dalam Pasal 1 Vendu Reglement tahun 1908 Nomor 189 tersebut ditulis bahwa Penjualan Umum atau Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui
48
Tumbuan, op. cit., hlm. 71.
49
Sutardjo, “Lelang dan Permasalahannya Dikaitkan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998,” (makalah disampaikan pada Seminar Penanganan Permasalahan Perkara Kepailitian di Pengadilan Niaga, Jakarta, 25 Agustus 1998).
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
45
usaha mengumpulkan para peminat atau peserta lelang. Penjualan umum atau Lelang tersebut harus dilakukan oleh atau dihadapan seorang Pejabat Lelang. Dari pengertian tersebut tampak bahwa lelang harus memenuhi unsurunsur sebagai berikut : a. Lelang adalah suatu cara penjualan yang dilakukan pada suatu saat dan tempat yang telah ditentukan. b. Dilakukan dengan cara mengumumkannya terlebih dahulu untuk mengumpulkan peminat/peserta lelang. c. Dilakukan dengan cara penawaran atau pembentukan harga yang khusus, yaitu dengan cara penawaran harga secara lisan atau secara tertulis yang bersifat kompetitif. d. Peserta yang mengajukan penawaran tertinggi akan dinyatakan sebagai pemenang/pembeli. Pengertian lelang sebagaimana dimaksud dalam Vendu Reglement tersebut kiranya senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mr. Wennek dari Balai Lelang Rippon Boswell and Company Swiss, yang menyatakan : “An auction is a system of selling to the public, a number of individual items, one at a time, commencing at a set time on a set day. The auctioneer conducting the auction invites offers of prices for the item from the attenders”.50 Berdasarkan pengertian-pengertian lelang tersebut, nampak bahwa sebenarnya lelang merupakan suatu sarana untuk mempertemukan penjual dan pembeli dengan tujuan untuk menentukan harga yang wajar bagi suatu barang. M.T.G Meulenberg, seorang ahli lelang Negara Belanda dari Departement of Marketing and Agricultural Market Research University of Wageningen menggaris bawahi hal ini dengan mengemukakan bahwa :
50
FX. Sutardjo, “Mekanisme dan Berbagai Aspek Penjualan Tanah Secara Lelang,” (makalah disampaikan pada Kursus Kuasa Hukum bagi Pejabat BPN, Jakarta, 27 Februari 1995), hlm. 3.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
46
“Auction is an intermediary between buyers and sellers. The main objective is price discovery”51 Dasar hukum lelang terbagi atas dua peraturan, yaitu : a. Lex Specialis : a.1.
Undang-undang lelang tahun 1908 yang lebih dikenal dengan Vendu Reglement yang dimuat dalam Staatblad tahun 1908 Nomor 189 sebagaimana kemudian telah mengalami pengubahan dan penambahan. Meskipun statusnya hanya berupa Reglement tetapi karena merupakan satu-satunya peraturan lelang dan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pelaksanaan (PP), maka Vendu Reglement dapat disamakan denggan Undang-undang.
a.2.
Peraturan Pelaksanaan Undang-undang tersebut diatur dalam Vendu Instructie yang dimuat dalam Staatblad tahun 1908 Nomor 190.
a.3. Peraturan Pemerintah tentang pungutan Bea Lelang yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1949 Nomor 39. a.4. Surat
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
295/KMK.09/1993 tanggal 27 Februari 1993 tentang Tata Cara Pengumuman Lelang. a.5. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
337/KMK.01/2000. a.6. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan tugas Eselon I Departemen. a.7. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
304/KMK.01/2002, tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. a.8. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
305/KMK.01/2002, tentang Pejabat Lelang. a.9. Dan berbagai peraturan pelaksanaan lainnya.
51
Ibid., hlm. 3.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
47
b. Peraturan-peraturan terkait lainnya yang menjadi dasar pelayanan lelang, yaitu antara lain : b.1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. b.2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. b.3. Undang-undang Hukum Perbendaharaan Indonesia (ICW). b.4. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia yang diperbaharui Staatblad Nomor 1848 Nomor 57. b.5. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa. b.6. Undang-undang Nomor 49 Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. b.7. Reglement voor de Buitengenwesten Staatblad Nomor 1927 Nomor 227. b.8. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang berada di atasnya. b.9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. b.10. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. b.11. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. b.12. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.52
2.
Organisasi Lelang Keberadaan unit Lelang Negara dimulai sejak tahun 1908, yaitu dengan berlakunya Vendu Reglement (Peraturan Lelang) yang dimuat dalam Staatblad Nomor 189 Tahun 1908 dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang) yang dimuat dalam Staatblad Nomor 190 Tahun 1908. Pada mulanya Unit Lelang Negara berdiri sendiri dengan nama ”Inspeksi Urusan Lelang” yang 52
Ida Murtamsa Salim, “Lelang Sebagai Sarana Penjualan Harta Pailit, Teori dan Prakter, Permasalahan dan Penyelesaian,” (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2002), hlm. 21 – 23.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
48
berada
dilingkungan
Departemen
Keuangan
dan
kemudian
dalam
perkembangannya kurang lebih pada tahun 1960, Unit Lelang Negara digabungkan dan berada dibawah Direktorat Jendral Pajak. Hal ini dilakukan antara lain dengan pertimbangan bahwa sifat pemungutan Bea Lelang dikategorikan sebagai penerima pajak tidak langsung. Sejak tanggal 1 April 1990, Pimpinan Departemen Keuangan memindahkan kedudukan dan tanggung jawab Unit Lelang Negara ke dalam lingkungan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) yaitu salah satu unit eselon I dilingkungan Departemen Keuangan. Adapun tujuananya agar Unit Lelang Negara dapat lebih difungsikan secara optimal, disamping untuk memberi kesempatan Direktorat Jenderal Pajak berkonsentrasi pada bidang tugas pokoknya yang makin bertambah berat. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 dalam rangka mentempurnakan
sistem
pengurusan
Piutang
Negara
dan
untuk
mengembangkan pelayanan jasa lelang maka organisasi Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) diubah menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Sejak Unit Lelang berada dilingkungan BUPLN maka setiap ibukota propinsi di Indonesia telah dibentuk Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dan di 87 Kota Madya/Kabupaten telah didirakan Kantor Pejabat Lelang kelas II yang telah siap memberikan pelayanan lelang kepada pihakpihak yang membutuhkannya. Pada saat ini Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara telah diubah menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yaitu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001.53
53
Ibid., hlm. 24 – 25.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
49
3.
Asas-asas Lelang Asas-asas yang digunakan dalam lelang antara lain tercermin dari pengertian lelang itu sendiri. Beberapa asas yang dapat dikemukakan antara lain adalah : a. Asas Publisitas (Publicity) atau Asas Transparansi (Transparency), artinya setiap pelelangan harus didahului dengan pengumuman lelang, baik dalam bentuk iklan, brosur atau undangan. Disamping untuk menarik peserta lelang sebanyak mungkin, pengumuman lelang juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan sosial kontrol sebagai bentuk perlindungan publik. Asas ini sangat penting yang membentuk karakter lelang sebagai penjualan yang bersifat transparan. Karena itu asas ini juga disebut asas transparansi. b. Asas Persaingan (Competition), yaitu karena para peserta lelang bersaing dan peserta dengan penawaran tertinggi yang sudah sesuai atau di atas harga limit yang akan dinyatakan sebagai pemenang. c. Asas Kepastian (Certainty), artinya independensi Pejabat Lelang seharusnya mampu membuat kepastian bahwa penawar tertinggi yang dinyatakan sebagai pemenang lelang, bahwa pemenang lelang tersebut yang telah melunasi kewajibannya akan memperoleh barang beserta dokumen. d. Asas Akuntanbilitas (Accountability), artinya pelaksanaan lelang dapat dipertanggung jawabkan karena Pemerintah melalui Pejabat Lelang berperan untuk mengawasi jalannya lelang dan membuat akta otentik yang disebut Risalah Lelang yang berfungsi sebagai akta van transport. Pejabat Lelang itu haruslah independen, artinya tidak terpengaruh atau memihak kepada siapapun, sehingga asas ini dapat juga dikatakan sebagai asas independensi. e. Asas Efisiensi (Efficiency), artinya karena lelang dilakukan pada suatu saat dan tempat yang ditentukan dan transaksis terjadi pada saat itu juga
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
50
maka diperoleh efisiensi biaya dan waktu karena dengan demikian barang secara cepat dapat dikonversi menjadi uang.54
4.
Fungsi Lelang Lelang sebagai sarana penjualan barang yang bersifat khusus dan transparan sejak semula dimaksudkan sebagai pelayanan umum, yaitu siapapun dapat memanfaatkan jasa lelang. Namun demikian lelang di Indonesia sebenarnya mempunyai fungsi privat dan fungsi publik. Fungsi privat lelang nampak dalam peranan lelang sebagai institusi pasar yang mempertemukan penjual dan pembeli sehingga lelang turut berperan memperlancar arus lalu lintas perdagangan barang, barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Ini karenanya lelang dapat dipergunakan secara luas oleh masyarakat. Fungsi publik tercermin dari tiga hal, yaitu : a. Mengamankan aset yang dimiliki atau dikuasai oleh negara untuk meningkatkan efisiensi dan tertib administrasi dari pengelolaan aset tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 ICW (Undang-undang Kebendaharaan Indonesia) juncto Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1970 dan Keputusan Presiden Nomor 16 tahun 1994, Undang-undang tahun 1995 Nomor 10 tentang Kepabeanan, Undang-undang tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah dan sebagainya. b. Pelayanan penjualan barang dalam rangka mewujudkan penegakan hukum yang mencerminkan keadilan, keamanan dan kepastian hukum seperti penjualan barang bukti bekas sita jaminan baik dari Pengadilan, Kejaksaan maupun Pajak atau benda-benda lainnya, sebagai bagian dari sistem hukum yang berkaitan dengan kepailitan, acara perdata, acara pidana, pegadaian, fidusia dan sebagainya. c. Mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk Bea Administrasi, Bea Lelang dan Uang Miskin. Dalam hal ini lelang juga memikul tugas untuk 54
Ibid., hlm. 26 – 27.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
51
mengamankan pendapatan negara melalui pajak khususnya yang berkaitan dengan penjualan tanah yaitu Pajak Penghasilan (PPh) dan juga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).55
5.
Jenis-jenis Lelang Jenis lelang dibedakan berdasarkan sebab barang dijual dan penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang. Sifat lelang ditinjau dari sudut sebab barang dilelang dibedakan antara lelang eksekusi dan lelang non
eksekusi.
Lelang eksekusi
adalah
lelang untuk
melaksanakan
putusan/penetapan pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan itu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Lelang non eksekusi adalah lelang selain lelang eksekusi yang meliputi Lelang Non Eksekusi Wajib dan Lelang Non Eksekusi Sukarela. Sifat lelang ditinjau dari sudut penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang, dibedakan antara lelang yang sifatnya wajib, yang menurut peraturan perundang-undangan wajib melalui Kantor Lelang dan lelang yang sifatnya sukarela atas permintaan masyarakat. Lelang Non Eksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik negara/daerah dan kekayaan negara yang dipisahkan sesuai peraturan yang berlaku. Lelang Non Eksekusi Sukarela adalah lelang untuk melaksanakan kehendak perorangan atau badan untuk menjual barang miliknya.56 a. Lelang Yang Bersifat Eksekusi dan Wajib 1) Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Adalah pelayanan lelang yang diberikan kepada Panitia Pengurusan Piutang Negara/Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara dalam rangka proses penyelesaian pengurusan piutang negara atas barang jaminan atau sitaan milik penanggung utang, dimana Debitor tidak 55
Ibid., hlm. 28 – 29.
56
Purnama Tiora Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), hlm. 57.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
52
membayar utangnya kepada negara. Dasar hukumnya adalah Undangundang Nomor 49 Peraturan Pemerintah Tahun 1960 tentang Panitia Pengurusan Piutang NegaraLelang eksekusi PN 2) Lelang Eksekusi Pengadilan Negeri (PN)/Pengadilan Agama (PA) Adalah lelang yang diminta oleh panitera PN/PA untuk melaksanakan keputusan hakim pengadilan yang telah berkekuatan pasti, khususnya dalam rangka perdata, termasuk lelang hak tanggungan, yang oleh pemegang hak tanggungan telah diminta fiat eksekusi kepada ketua pengadilan. 3) Lelang Barang Temuan dan Sitaan, Rampasan Kejaksaan/Penyidik Adalah lelang yang dilaksanakan terhadap barang temuan dan lelang dalam rangka acara pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana yang antara lain meliputi lelang eksekusi barang yang telah diputus dirampas untuk negara, termasuk dalam kaitan itu adalah lelang eksekusi Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu lelang barang bukti yang mudah rusak, busuk dan memerlukan biaya penyimpanan tinggi 4) Lelang Sita Pajak Adalah lelang atas sitaan pajak sebagai tindak lanjut penagihan piutang pajak kepada negara baik pajak pusat maupun pajak daerah. Dasar hukum dari pelaksanaan lelang ini adalah Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997. 5) Lelang Eksekusi Barang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Barang tak Bertuan) Lelang ini dapat diadakan terhadap barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasi Negara dan barang yang menjadi milik Negara. Direktorat Bea dan Cukai telah mengelompokkan barang menjadi tiga, yaitu barang yang dinyatakan tidak dikuasi, barang yang dikuasai Negara dan barang yang menjadi milik Negara. Lelang barnag tak bertuan dimaksudkan untuk menyebut lelang yang
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
53
dilakukan terhadap barang yang dalam jangka waktu yang ditentukan tidak dibayar bea masuknya. 6) Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) Lelang eksekusi yang dilakukan berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan, yang memberikan hak kepada Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual sendiri secara lelang terhadap objek hak tanggungan didasarkan Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan. 7) Lelang Eksekusi Fidusia Adalah lelang terhadap objek fidusia karena Debitor cidera janji, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Parate eksekusi Fidusia, Kreditor tidak perlu meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri apabila akan menjual secara lelang barang agunan kredit yang diikat fidusia, jika Debitor cidera janji. b. Lelang Non Eksekusi Wajib Adalah lelang yang dilakukan dalam rangka penghapusan barang milik/dikuasai negara adalah aset pemerintah pusat/daerah, ABRI maupun sipil. Barang yang dimiliki negara adalah barang yang pengadaannya bersumber dari dana yang berasal dari APBN, APBD serta sumber-sumber lainnya atau barang yang nyata-nyata dimiliki negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan. c. Lelang Sukarela 1) Lelang Sukarela/Swasta Adalah jenis pelayanan lelang atas permohonan masyarakat secara sukarela. Jenis pelayanan lelang ini sedang dikembangkan untuk dapat bersaing dengan berbagai bentuk jual beli individual/jual beli biasa yang dikenal dimasyarakat. Lelang sukarela yang saat ini sudah berjalan antara lain lelang barang-barang milik kedutaan/korps
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
54
diplomatik, lelang baran seni seperti carpet dan lukisan, lelang sukarela yang diadakan oleh Balai Lelang. 2) Lelang Sukarela BUMN Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) mengatur, bagi persero tidak berlaku Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1970 tentang Penjualan dan atau Pemindahtanganan Barang-barang yang dimiliki/dikuasai negara, yang harus melalui Kantor Lelang.57
6.
Tata Cara Lelang Siapapun yang berminat menjual barang secara lelang harus mengajukan permohonan tertulis ke Kantor Lelang di tempat barang yang akan dilelang berada. Pemohon lelang mengajukan permintaan lelang secara lisan atau melalui telepon, yang harus segera diikuti dengan permohonan tertulis. Permohonan lelang tersebut pada dasarnya tidak dapat ditolak oleh Kantor Lelang, kecuali permohonan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam ketentuan lelang. Apabila permohonan lelang telah diterima oleh Kantor Lelang, maka pemohon lelang harus segera melengkapi surat permohonan lelangnya dengan dokumen-dokumen atau bukti-bukti hak dan kewenangannya menjual barang secara lelang. Selain itu pemohon lelang selaku penjual dapat menetapkan syarat-syarat penjualan lelang asalkan syarat tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan lelang yang berlaku. Setelah kantor lelang meneliti permohonan lelang beserta dokumen kelengkapannya tersebut dan memperoleh keyakinan atas legalitas subyek lelang dan legalitas objek lelang, maka Kantor Lelang akan menetapkan waktu dan tempat lelang dengan memperhatikan keinginan pemohon lelang. Segera setelah ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan 57
Ibid., hlm. 58 – 61.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
55
Lelang mengenai waktu dan tempat pelaksanaan lelang, pemohon lelang selaku penjual melakukan pengumuman lelang di surat kabar/harian dan atau media masa lainnya.58 Untuk memberi kesempatan kepada masyarakat yang berminat mengikuti lelang untuk memperoleh informasi mengenai barang yang akan dilelang, maka semua dokumen kelengkapan permohonan lelang dan persyaratan lelang dari penjual, serta bukti pengumuman lelang tersebut harus diserahkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang selambatlambatnya 3 (tiga) hari sebelum lelang. Para peminat lelang untuk dapat turut serta dalam suatu lelang diwajibkan untuk menyetorkan uang jaminan dalam jumlah tertentu ke rekening Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dengan ketentuan sebagai berikut : a. Uang jaminan tersebut akan diperhitungkan dengan harta pembelian jika si penawar ditunjuk sebagai pembeli. b. Uang jaminan tersebut akan dikembalikan segera jika si penawar tidak ditunjuk sebagai pembeli. c. Uang jaminan tersebut akan menjadi milik penjual jika pemenang lelang wanprestasi yaitu tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar uang lelang tepat pada waktunya. Lelang bersifat terbuka karena itu pada prinsipnya semua orang dapat menjadi peserta sepanjang tidak dikecualikan sebagaimana diuraikan diatas. Pada waktu yang telah ditentukan, lelang dilaksanakan dan dipimpin oleh Pejabat Lelang dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang . Dalam hal penawaran tertinggi dalam lelang telah sesuai dengan kehendak penjual, maka barang akan dilepas dan Pejabat Lelang akan menetapkan penawar tertinggi tersebut sebagai pemenang lelang. Namun dalam hal penawar tertinggi ternyata belum mencapai harga jual yang dikehendaki penjual (atau batas harga yang telah ditetapkan), maka pejabat lelang akan menetapkan 58
Salim, op. cit., hlm. 33 – 34.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
56
bahwa objek lelang ditahan (atau tidak ditunjuk pemenangnya), kecuali penjual setuju untuk melepaskan barang tersebut.59 Dalam hal barang lelang laku terjual, maka pembeli berkewajiban membayar uang Pokok Lelang sejumlah penawarannya ditambah dengan Bea Lelang Pembeli yang dipungut sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang Staatblad tahun 1949 Nomor 390 (Peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang), yaitu sebesar 9% (sembilan persen) untuk barang bergerak dan 4,5% (empat koma lima persen) untuk barang tidak bergerak, serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 5% (lima persen) dari harga pokok lelang setelah dikurangi suatu nilai bebas pajak yang ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah dimana barang tersebut berada, Uang Miskin yang dipungut berdasarkan Pasal 18 Vendu Reglement sebesar 0,7% (nol koma tujuh persen) untuk barang bergerak dan 0,4% (nol koma empat persen) untuk barang tidak bergerak. Ketentuan tersebut diatas sudah tidak berlaku lagi dengan berlakunya peraturan yang baru yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, yaitu sebesar 1% (satu persen) bagi penjual untuk lelang eksekusi dan 1% (satu persen) bagi pembeli, sedangkan untuk Uang Miskin sudah tidak dipungut lagi atau 0% (nol persen) sesuai dengan Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999. Bea Lelang Pembeli dan Penjual dihitung dari harga pokok lelang. Selanjutnya uang pokok lelang, Bea Lelang Pembeli dan Penjual disetorkan kepada Pejabat Lelang. Khusus dalam hal pemerintah sebagai penjual, maka Bea Lelang tidak dikenakan kepada penjual. Pengenaan Bea Lelang penjual dengan cara memotong langsung dari Harga Pokok Lelang yang akan disetor kepada pemohon lelang. Pada dasarnya pembayaran uang lelang harus dilakukan secara tunai. Dalam hal pembeli membayar uang pembelian lelangnya dengan cheque, 59
Ibid., hlm. 36.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
57
maka sebelum cheque itu dicairkan dan hasil pencairannya dinyatakan baik oleh Bank, Pejabat Lelang tidak akan memberikan barang yang dilelang. Pejabat lelang pada dasarnya harus menyetorkan uang hasil lelang ke rekening Penjual dalam waktu 1 x 24 jam, setelah diterimanya pelunasan uang hasil lelang dari pembeli.60
7.
Risalah Lelang Pada setiap pelaksanaan lelang Pejabat Lelang akan membuat Risalah Lelang yang merupakan Akta Otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Keotentikan Risalah Lelang karena dibuat dihadapan pejabat umum, yang dalam hal ini adalah Pejabat Lelang, ketentuan mengenai pejabat umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pejabat Lelang mempunyai wilayah kerja yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Pejabat Lelang hanya berwenang untuk melaksanakan di wilayah kerja Pejabat Lelang tersebut. Pengaturan mengenai akta otentik dan wilayah kerja dari Pejabat Umum, dalam hal ini Pejabat Lelang, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu : ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya”.61 Risalah lelang telah memenuhi ketentuan-ketentuan suatu akta otentik dan merupakan suatu bukti yang sempurna mengenai beralihnya hak antara penjual lelang dan pembeli lelang, sebagaimana diatur dalam Pasal1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
60
Ibid., hlm. 37.
61
Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh Subekti, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), Ps. 1868.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
58
”Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”.62 Risalah lelang merupakan akta otentik bagi penjual untuk dipergunakan sebagai bukti telah dilaksanakannya suatu penjualan barang melalui prosedur lelang, sedangkan bagi pembeli untuk dipergunakan sebagai bukti pembelian untuk menghadap instansi yang terkait untuk mengurus sesuatu yang berhubungan dengan pembelian lelang tersebut. Kantor Badan Pertanahan Nasional memakai Risalah Lelang sebagai dasar hukum untuk mendaftarkan risalah lelang dan mencoret nama pemilik yang lama dan menggantinya dengan nama pembeli lelang.63
D.
Lelang Sebagai Sarana Penjualan Barang Jaminan Fidusia
1.
Dasar Hukum Lelang Barang Jaminan Fidusia Dasar hukum mengenai lelang barang Jaminan Fidusia telah diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 42 tentang Jaminan Fidusia yang menyebutkan bahwa : ”Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan”. Dari ketentuan tersebut lelang merupakan suatu cara penjualan utama atau pada prinsipnya apabila barang Jaminan Fidusia ingin dijual maka dengan cara lelang. Tetapi dalam Undang-undang Jaminan Fidusia terdapat pilihan lain untuk menjual, apabila dengan cara lelang tidak laku yaitu dengan cara dijual secara di bawah tangan dengan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak dan hal ini tetap ada prosedurnya tidak bisa langsung saja menjual 62
Ibid., Ps. 1870.
63
Salim, op. cit., hlm. 39 – 40.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
59
Dalam hal lelang sebagai sarana penjualan barang Jaminan Fidusia dijadikan jalan alternatif yang pertama karena sudah jelas bahwa barang yang akan dijual melalui lelang itu bukan barang milik Kreditor, sehingga apabila Kreditor ingin menjual barang tersebut dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan maka Kreditor tersebut telah melanggar hukum. Barang yang akan dijual melalui lelang tersebut adalah barang Jaminan Fidusia yang mana telah diatur cara penjualannya oleh Undang-undang, itu sebabnya Kreditor memilih lelang sebagai sarana penjualan barang Jaminan Fidusia. Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka dibentuklah Undang-undang mengenai Jaminan Fidusia dan di dalam Undang-undang Jaminan Fidusia diatur juga mengenai cara penjualan atas barang Jaminan Fidusia, yaitu dengan cara pelelangan umum yang mana dengan cara pelelangan umum ini kepastian hukum akan diperoleh antara Pembeli dan Penjual barang Jaminan Fidusia tersebut.
2.
Tata Cara Lelang Jaminan Fidusia dan Pungutan yang dikenakan dalam Lelang Barang Jaminan Fidusia Permohonan lelang dapat diajukan oleh pemohon lelang, dalam hal ini penerima fidusia atau Kreditor yang mana bisa memohon kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang untuk melakukan lelang berdasarkan Akta Jaminan Fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial, dimana kepala aktanya mencantumkan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
60
2.a.
Tata cara lelang barang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut: PROSEDUR LELANG
1
DEBITOR/LESSEE
PEMOHON LELANG/ LESSOR
3
2
PENGUMUMAN LELANG
5
3
6
4
PESERTA LELANG
KPKNL
KAS NEGARA
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
61
1) Adanya wanprestasi dari pihak lessee, sehingga lessor menarik kendaraan bermotor Jaminan Fidusia. 2) Lessor atau pemohon lelang mengajukan permohonan lelang ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, lalu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang akan mencek dokumendokumen atau surat-surat yang terkait, dalam hal ini bendanya adalah barang Jaminan Fidusia maka harus ada Akta Jaminan Fidusia yang sudah difotokopi dan dilegalisir. Setelah itu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang menyatakan setuju untuk melelang karena dokumen atau surat-surat sudah lengkap dan menetapkan waktu, tempat pelelangan serta uang jaminan (apabila diperlukan). 3) Pemohon Lelang atau lessor melakukan pengumuman untuk memberi kesempatan kepada masyarakat yang berminat menjadi Peserta Lelang. 4) Masyarakat yang berminat menjadi peserta lelang meminta keterangan lebih lanjut mengenai objek lelang serta kelengkapan dokumen-dokumen kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Masyarakat yang nantinya akan ikut menjadi Peserta Lelang hanya berurusan langsung dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang bukan kepada Pemohon Lelang. Setelah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang memutuskan pemenang lelang dan barang telah laku terjual, maka Pembeli wajib membayar harga lelang dan Bea Lelang ke bendahara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang secara tunai, lalu Pembeli akan menerima seluruh dokumen-dokumen yang terkait dan Risalah Lelang. 5) Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang menyerahkan uang hasil lelang diserahkan kepada Penjual atau Pemohon Lelang yang sebelumnya sudah dipotong untuk Bea Lelang. Pejabat Lelang harus
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
62
menyetorkan uang hasil lelang kepada Penjual dalam waktu 1 x 24 jam setelah diterimanya uang dari Pembeli. 6) Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang menyerahkan Bea Lelang dari Penjual dan Pembeli ke Kas Negara. 7) Pembeli pergi ke Kantor SAMSAT dengan membawa semua dokumen-dokumen yang terkait untuk proses balik nama.
2.b.
Pungutan negara dalam pelaksanaan Lelang Eksekusi Pungutan Lelang Eksekusi dalam Jaminan Fidusia kendaraan bermotor
adalah sebagai berikut :
Jenis Barang
Beban Pada
Bea Lelang
Uang Miskin
1%
0%
1%
0%
Penjual/Pemohon Lelang Bergerak Pembeli/Pemenang Lelang
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
63
2.c.
Skema Hak dan Kewajiban Peserta Lelang
HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK TERKAIT DALAM LELANG
1. 2. 3. 4.
PEMOHON LELANG/ EKSEKUTOR
KPKNL
5. 6. 7. 8.
1. Meneliti Persyaratan Lelang 2. Menentukan Tanggal Lelang 3. Meminta copy Akta Jaminan Fidusia (dalam hal lelang Jaminan Fidusia) 4. Menerima Uang Jaminan Lelang (bila ada) 5. Melaksanakan Lelang 6. Membuat Risalah Lelang 7. Mengamankan Hak Negara yaitu Bea Lelang. 8. Menyetorkan Hasil Lelang ke Pemohon Lelang
1. 2. 3. 4.
PESERTA LELANG/ PEMBELI LELANG
Mengajukan Permohonan Lelang ke KPKNL Menentukan Harga Limit Mengumumkan Lelang Memberi Penjelasan tentang Dokumen Barang yang Dilelang Memberi Kesempatan Melihat Barang Menentukan Persyaratan Lelang lainnya Menerima Uang Hasil Lelang dan Membayar Bea Lelang Menerima Salinan Risalah Lelang
5. 6. 7. 8.
Melihat Dokumen Barang Memeriksa Barang yang akan Dilelang Meminta Penjelasan sebelum Barang Dilelang Menyetorkan Uang Jaminan ke Rekening KPKNL (bila ada) Mengajukan Penawaran (tulisan/lisan) Membayar Hasil Lelang dan Bea Lelang Menerima Barang dan Dokumen Menerima Petikan Risalah Lelang
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
64
3.
Lelang Sebagai Jalan Keluar Penyelesaian Barang Jaminan Fidusia Pasal 29 ayat (1) sub b Undang-undang Nomor 42 tentang Jaminan Fidusia menentukan bahwa pada prinsipnya penjualan objek Jaminan Fidusia dilakukan secara lelang. Namun demikian dapat diperbolehkan untuk melakukan penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia. Dalam era saat ini yang menuntut adanya transparansi disegala sektor, cara lelang adalah alternatif yang tepat untuk mewujudkan suatu penjualan yang transparan. Lelang dilakukan di depan umum, dengan cara penawaran yang kompetitif, dan dilaksanakan oleh Pejabat Lelang selaku Pejabat Umum yang independen. Dengan melakukan penjualan barang Jaminan Fidusia secara lelang berarti kepentingan berbagai pihak seperti Debitor, Kreditor, maupun pembeli lelang itu sendiri dapat terlindungi dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu berbeda dengan sistem penjualan di bawah tangan, lelang adalah cara penjualan yang cepat sehingga lebih effisien. Dengan demikian lelang sebenarnya mampu berperan sebagai salah satu sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan effektif sebagaiman dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang Jaminan Fidusia.
4.
Penentuan Harga Limit dalam Lelang Barang Jaminan Fidusia Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia, harga limit atau harga minimal dari barang yang akan dilelang, ditentukan oleh pemohon lelang dan menjadi tanggung jawab penjual/pemohon lelang.64 Barang bergerak Jaminan Fidusia macam-macam jenisnya dengan nilai dan kualitas yang berbeda-beda. Masalahnya bagaimana cara Kreditor menentukan harga limit dari objek Jaminan Fidusia tersebut. Apakah Kreditor memiliki aturan 64
Departemen Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 40/PMK.07/2006, tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Ps. 30.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
65
main mengenai penentuan harga tersebut agar harga limit ditetapkan dengan cara-cara profesional dan dapat dipertanggung jawabkan ?. Dalam hal ini yang menjadi objek yang akan dilelang berupa kendaraan bermotor yang bernilai dibawah Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), Kreditor atau eksekutor dapat menentukan harga limit serendah-rendahnya ditetapkan sama dengan Nilai Likuidasi (Forced Sale Value).65 Dalam pelaksanaan Lelang Eksekusi dan Lelang Non Eksekusi Wajib, harga limit bersifat terbuka/tidak rahasia dan harus dicantumkan dalam Pengumuman Lelang.66 Dalam pelaksanaan lelang dalam lelang eksekusi Pengadilan Negeri menunjukkan bahwa jika jumlah utang mempengaruhi penentuan batasan harga akan menyebabkan harga menjadi kurang wajar apabila dibandingkan dengan keadaan barang yang akan dijual. Dalam menentukan batasan harga, maka yang harus diperhatikan adalah kondisi dan status barang itu sendiri. Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahwa harga lelang tidak selalu sama dengan harga pasar pada umumnya. Hal ini mengingat sifat lelang yang merupakan penjualan yang sifatnya mendesak, cara pembayarannya tunai dan pembeli menerima barang apa adanya dengan semua resikonya. Itu sebabnya batasan harga lelang pada umumya lebih rendah dari harga pasar.
5.
Pemasaran untuk Lelang Barang Jaminan Fidusia Pelaksanaan lelang untuk barang Jaminan Fidusia bisanya melalui lelang eksekusi yang berjalan selama ini pada umumnya pemasarannya melalui pengumuman di surat kabar harian yang terbit di tempat barang berada yang akan dilelang. Adapun dasar hukum dari pengumuman tersebut adalah Pasal 19 ayat (1) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Dalam hal tidak ada surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengumuman Lelang diumumkan dalam surat kabar harian yang terbut di tempat yang terdekat atau 65
Ibid., Ps. 29 ayat (5).
66
Ibid., Ps. 32 ayat (1).
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
66
di ibukota propinsi yang bersangkutan dan beredar di wilayah kerja KP2LN atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II tempat barang akan dijual.67 Dalam hal pengumuman lelang melalui surat kabar harian harus memenuhi kriteria :68 a. Apabila dilakukan pada Surat Kabar Harian yang terbit di Ibukota Negara harus pada surat kabar yang mempunyai tiras/oplah paling sedikit 20.000 (dua puluh ribu) eksemplar. b. Apabila dilakukan pada Surat Kabar Harian yang terbit di Ibukota Propinsi harus pada surat kabar yang mempunyai tiras/oplah paling sedikit 15.000 (lima belas ribu) eksemplar. c. Apabila
dilakukan
pada
Surat
Kabar
Harian
yang
terbit
di
Kota/Kabupaten selain huruf a dan huruf b harus pada surat kabar yang mempunyai tiras/oplah paling sedikit 5.000 (lima ribu) eksemplar. Sebagai sarana pemasaran, pengumuman lelang lebih banyak berfungsi untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapat perlindungan hukum. Selain itu dalam praktek masih ada kesan bahwa lelang eksekusi erat kaitannya dengan perkara, sehingga hasilnya kurang efektif. Pengumuman lelang sebaiknya mengandung substansi pemasaran yang kuat sehingga seharusnya memuat spesifikasi barang dan hal-hal yang penting dan menarik dari barang tersebut serta apabila perlu juga mencantumkan batasan harga. Sehingga dalam hal ini pengumuman lelang paling sedikit memuat :69 a. Identitas Penjual; b. Hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang dilaksanakan; c. Jenis dan jumlah barang;
67
Ibid., Ps. 19 ayat (2).
68
Ibid., Ps. 19 ayat (3).
69
Ibid., Ps. 20.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
67
d. Lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan; e. Jumlah, dan jenis/spesifikasi, khusus untuk barang bergerak; f. Jangka waktu melihat barang yang akan dilelang; g. Uang Jaminan Penawaran Lelang, meliputi besaran, jangka waktu, cara dan tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan adanya Uang Jaminan Penawaran Lelang; h. Jangka waktu pembayaran harga lelang; dan i. Harga limit, sepanjang hal itu diharuskan dalam peraturan perundangundangan atau atas kehendak Penjual/Pemilik Barang. Untuk mendukung efektifitas lelang, hendaknya strategi pemasaran perlu mendapat perhatian. Misalnya apabila barang yang dijual membutuhkan investasi yang besar sebaiknya mendahului pengumuman lelang yang formal, sudah diberikan keterangan yang efektif kepada masyarakat, melalui cara-cara yang efektif dan luas sehingga masyarakat agak leluasa mempelajari atau mengkajinya sebelum menentukan untuk ikut dalam lelang sebagai peserta lelang.
E.
Analisa
Permasalahan
Hukum
dalam
Lelang
Jaminan
Fidusia
Kendaraan Bermotor pada Perusahaan Leasing 1.
Permasalahan hukum yang timbul apabila perusahaan leasing tersebut menjual barang Jaminan Fidusia secara langsung tanpa melalui lelang Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
68
terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam. Munculnya Undang-undang Jaminan Fidusia dilandasi dengan berbagai pertimbangan antara lain adanya kebutuhan yang besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga Jaminan. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai Jaminan Fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Menurut Undang-undang Jaminan Fidusia, lelang merupakan cara yang diutamakan dalam hal penjualan barang Jaminan Fidusia yang tertuang dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b, yang berbunyi : Apabila Debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara : Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. Disini dapat kita lihat bagaimana peranan lelang sebagai sarana penjualan barang Jaminan Fidusia sangat penting karena telah disebutkan di dalam Undang-undang Jaminan Fidusia, dan pada intinya sistem dengan cara pelelangan umum adalah suatu alternatif utama yang ditawarkan untuk penyelesaian sengketa antara pihak Kreditor dan Debitor. Lelang berperan sangat besar dalam sistem penjualan barang Jaminan Fidusia ini, karena lelang adalah cara yang paling aman dalam berpindahnya barang dari Penjual kepada Pembeli. Dalam lelang barang Jaminan Fidusia ini tidak bisa sistem pelaksanaanya dilakukan secara sembarangan atau tidak mengikuti prosedur petunjuk pelaksanaan lelang, karena seluruh prosedur
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
69
lelang telah ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Jadi apabila menyimpang dari petunjuk yang telah dikeluarkan oleh Menteri Keuangan ini maka lelang tersebut tidak sah. Lelang bisa dilaksanakan apabila kendaraan tersebut adalah barang Jaminan Fidusia, dan sejak awal kendaraan yang akan dileasingkan oleh perusahaan leasing telah diikat dengan perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara Fidusia, namun pada prakteknya pihak perusahaan leasing tidak pernah mendaftarkan perjanjian tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia dikarenakan biaya untuk mendaftarkan itu sangat mahal, dan hal ini membuat pengikatan Fidusia menjadi tidak sempurna sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak memiliki hak mendahulu (preferent) sehingga perusahaan leasing tersebut menjadi Kreditur kongkuren. Apabila Fidusia tersebut tidak didaftarkan maka proses eksekusinya harus melalui Pengadilan. Perusahaan tidak bisa sesukanya menarik kendaraan bermotor yang dileasingkannya tersebut, karena tidak didaftarkan maka perjanjiannya termasuk ke dalam jual-beli biasa. Dan apabila melakukan penjualan melalui lelang oleh perusahaan leasing sendiri maka menjadi cacat hukum dan bisa dibatalkan. Pada prakteknya lelang tidak pernah dipergunakan oleh para perusahaan leasing dan hal ini sering terjadi dikarenakan pihak perusahaan leasing merasa enggan berurusan dengan Kantor Lelang dan ada juga karena ketidaktahuan dari pihak perusahaan leasing mengenai sistem penjualan terhadap barang Jaminan Fidusia. Permasalahan dalam mempergunakan lelang atas penjualan barang Jaminan Fidusia pada praktek di lapangan masih simpang-siur atau jauh dari sistem penjualan lelang
yang baik dan benar, contohnya perusahaan-
perusahaan leasing menjual barang Jaminan Fidusia tidak melalui lelang dalam makna yang sebenarnya, bahkan ada perusahaan leasing yang tidak
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
70
tahu menahu makna lelang yang sebenarnya. Perusahaan leasing beranggapan dengan melakukan penjualan secara terbuka maka mereka sudah melakukan lelang, sedangkan arti dari lelang adalah : ”Penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan /atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang”.70 Lelang tersebut haruslah dipimpin oleh Pejabat Lelang yang diangkat oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Keuangan dan ketentuan ini tertuang dalam Pasal 1 huruf a Vendu Reglement. Bahkan ada perusahaan leasing yang mengerti akan hal ini tetapi perusahaan tersebut tidak mau menggunakan lelang dalam penjualan barang Jaminan Fidusia tersebut, dikarenakan prosedur dari lelang yang melalui Kantor Lelang tersebut memakan waktu yang lama, lalu penjual dan pembeli dikenakan Bea Lelang. Hal ini mereka anggap sangat memberatkan bagi pihak penjual dan pembeli. Perusahaan leasing tersebut berpendapat juga apabila lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang maka perpindahan barang bergerak Jaminan Fidusia akan lama prosesnya karena dalam pengajuan lelang sampai dengan proses pelelangan memakan waktu berminggu-minggu, sedangkan perusahaan leasing ingin barang bergerak Jaminan Fidusia tersebut cepat laku terjual.71 Hal ini tentu saja salah, karena dalam kenyataannya justru lelang melalui Kantor Lelang itu sangat cepat dikarenakan prosedur yang sudah ada di dalam Kantor Lelang tersebut sudah secara sistematis, bahkan Kantor Lelang ini bisa melelang sekitar 100 kendaraan dalam sehari, yang mana hal ini tidak dapat dilakukan Kreditor. Apabila Kreditor ingin melakukan penjualan pasti tidak mungkin dalam satu hari itu juga bisa terjual beberapa kendaraan, hal ini dikarenakan Debitor tersebut harus menunggu dulu orang yang datang ingin 70
Ibid., Ps. 1 ayat (1). Wawancara, Rahmat Hidayat dan Ibu Aulia Cahyati, bagian collection PT. Tunas Finance Tbk., Lampung. 71
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
71
melihat kendaraan Jaminan Fidusia tersebut, belum lagi ada proses tawarmenawar, yang mana hal ini pasti tidak terjadi dalam lelang, karena lelang tidak mengenal tawar-menawar. Lelang yang berkaitan dengan barang Jaminan Fidusia harus diselenggarakan oleh Kantor Lelang tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh perusahaan leasing tersebut, karena barang yang akan dilelang adalah barang yang bermasalah, yang mana barang tersebut adalah milik Debitor tapi penyerahannya secara Fidusia dan penjualannyapun harus transparan, agar pihak Debitor tahu kendaraannya itu laku dengan harga berapa.
Bahkan
dalam penjualan melalui lelang terhadap barang Jaminan Fidusia ini tidak boleh menggunakan jasa Balai Lelang, karena lelang barang Jaminan Fidusia termasuk ke dalam Lelang Eksekusi, apabila ingin menggunakan jasa Balai Lelang bisa saja tapi hanya sebatas proses persiapannya saja bukan dalam penjualannya, hal ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 Pasal 10 ayat (2) juncto Pasal 11. Tetapi walaupun prosedur lelang telah diatur dalam Peraturan Menteri, pihak Kreditor kurang menyukai cara penjualan melalui lelang dikarenakan Kreditor merasa tidak praktis dan tidak sesuai dengan keinginnannya. Oleh karena itu kebanyakan perusahaan-perusahaan leasing selalu mengambil sistem penjualan di bawah tangan., dan hal ini pun masih tidak sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan ayat (2), yang berbunyi :
Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan atau Penerima Fidusia kepad pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Dalam prakteknya Kreditor walaupun menjual dengan sistem di bawah tangan tapi pihak Kreditor tidak pernah melakukan pengumuman dalam surat kabar harian, dan jangka waktunya dalam penjualan pun tidak 1 (satu) bulan setelah kendaraan barang Jaminan Fidusia tersebut tidak laku saat lelang, Kreditor
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
72
langsung menjual pada saat itu juga setelah Kreditor menarik barang Jaminan Fidusia tersebut. Mengapa hal ini bisa terjadi, karena ketidak tahuan dari perusahaan leasing dan Kantor Lelang tidak pernah membina perusahaanperusahaan leasing tersebut sehingga terjadilah salah pengertian dalam hal penjualan barang Jaminan Fidusia ini. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/PMK.07/2006, bahwa sebelum melaksanakan lelang haruslah diumumkan terlebih dahulu dalam surat kabar harian sebanyak 1 (satu) kali dan tenggang waktunya minimal 6 (enam) hari sebelum lelang dilaksanakan. Lelang diumumkan dengan maksud : a. Supaya masyarakat tahu akan adanya lelang; b. Agar barang cepat terjual; c. Agar masyarakat tertarik untuk mengikuti lelang tersebut; d. Untuk mengontrol, sehingga apabila ada pihak yang dirugikan ia dapat mengajukan protes. Namun dalam prakteknya perusahaan leasing tidak melakukan hal-hal seperti yang telah diterangkan di atas. Prosedur yang selama ini mereka gunakan yaitu dengan cara : a. Setelah Debitor melakukan wanprestasi, maka pihak Kreditor melayangkan surat peringatan sampai dengan 3 (tiga) kali berturut-turut yang berisi untuk menyelesaikan pembayaran yang telah tertunda. b. Apabila pihak Debitor masih tidak mau menanggapi surat peringatan tersebut, maka pihak Kreditor Memberikan surat pemberitahuan bahwa kendaraan tersebut akan ditarik pada waktu yang telah ditetapkan oleh pihak Kreditor. c. Setelah pihak Kreditor menarik kendaraan tersebut, maka Kreditor
menghubungi
show
room-show
room
serta
memberitahu kepada relasi terdekat bahwa barang tersebut akan
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
73
dijual, dengan cara pemberitahuan dari mulut ke mulut tanpa melalui surat kabar harian. d. Pihak Kreditor melakukan penjualan dengan cara menyewa gedung kosong atau melakukan penjualan di tempat show room, tapi penjualan barang Jaminan Fidusia tersebut bisanya tidak langsung laku pada saat itu juga, bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu, karena menunggu orang yang ingin membeli barang tersebut. e. Setelah ada pembeli barulah uang dari hasil penjualan tersebut dipakai untuk menutupi sisa utang dari Debitor, dan pembeli mendapat barang beserta dokumen-dokumen yang diperlukan untuk balik nama. Dalam hal pembayaran pembeli bisa memilih dengan cara kredit atau cash, dan bisa negoisasi. Tentu saja prosedur ini melanggar dari aturan yang telah ditentukan oleh Undang-undnag Jaminan Fidusia karena barang yang akan mereka jual adalah barang Jaminan Fidusia, yang mana dalam peraturannya harus dilakukan lelang dalam penjualannya seperti yang diterangkan berikut ini : ”Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan”.72 Dan apabila dibandingkan dengan penjualan secara lelang seperti yang telah ditentukan oleh Vendu Reglement tentu saja hal tersebut menyimpang. Lelang berdasarkan Vendu Reglement adalah sebagai berikut : 1) Kreditor atau pemohon lelang mengajukan permohonan lelang ke Kantor Lelang, lalu Kantor Lelang akan mencek dokumen-dokumen atau surat-surat yang terkait, dalam hal ini bendanya adalah barang Jaminan Fidusia maka harus ada Akta Jaminan Fidusia yang sudah difotokopi dan dilegalisir. Setelah itu Kantor Lelang menyatakan 72
Indonesia, Undang-undang Jaminan Fidusia, UU No. 42 tahun 1999, Ps. 29 ayat (1) huruf
b.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
74
setuju untuk melelang karena dokumen atau surat-surat sudah lengkap dan menetapkan waktu, tempat pelelangan serta uang jaminan (apabila diperlukan). 2) Pemohon Lelang atau Kreditor melakukan pengumuman untuk memberi kesempatan kepada masyarakat yang berminat menjadi Peserta Lelang. 3) Masyarakat yang berminat menjadi peserta lelang meminta keterangan lebih lanjut mengenai objek lelang serta kelengkapan dokumen-dokumen kepada Kantor Lelang. Masyarakat yang nantinya akan ikut menjadi Peserta Lelang hanya berurusan langsung dengan Kantor Lelang bukan kepada Pemohon Lelang. Setelah Kantor Lelang memutuskan pemenang lelang dan barang telah laku terjual, maka Pembeli wajib membayar harga lelang dan Bea Lelang ke bendahara Kantor Lelang secara tunai, lalu Pembeli akan menerima seluruh dokumen-dokumen yang terkait dan Risalah Lelang. 4) Kantor Lelang menyerahkan uang hasil lelang diserahkan kepada Penjual atau Pemohon Lelang yang sebelumnya sudah dipotong untuk Bea Lelang. Pejabat Lelang harus menyetorkan uang hasil lelang kepada Penjual dalam waktu 1 x 24 jam setelah diterimanya uang dari Pembeli. 5) Kantor Lelang menyerahkan Bea Lelang dari Penjual dan Pembeli ke Kas Negara. 6) Pembeli pergi ke Kantor SAMSAT dengan membawa semua dokumen-dokumen yang terkait untuk proses balik nama. Apabila telah terjadi penjualan tanpa melalui lelang yang sesungguhnya maka hal tersebut bisa menimbulkan permasalahan hukum apabila Debitor melakukan perlawanan hukum. Dikarenakan Debitor tidak puas dengan hasil lelang, maka bisa saja Debitor menggugat hasil lelang yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang tersebut, maka dapat timbul permasalahan
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
75
hukum, atau bisa saja ada pihak ke 3 (tiga) yang merasa dirugikan dengan penjualan tersebut dan pihak ke 3 (tiga) tersebut melayangkan gugatan ke Pengadilan. Perusahaan leasing dianggap telah lalai dalam hal penjualan barang Jaminan Fidusia tersebut, dengan lalainya perusahaan leasing ini maka Debitor bisa mengajukan perusahaan leasing ke meja hijau atau diperkarakan, karena dianggap tidak mematuhi dari Undang-undang yang berlaku Dengan adanya gugatan yang melalui Pengadilan maka pihak-pihak yang terkait harus mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang telah diperbuatnya. Hal ini akan memakan biaya dan waktu antara Penggugat dan Tergugat, dan untuk mencegah hal ini terjadi alangkah baiknya apabila perusahaan leasing melakukan penjualan barang Jaminan Fidusia tersebut melalui lelang yang benar. Kebaikan penjualan secara lelang adalah : a.
Adil, karena lelang bersifat terbuka, transparan dan objektif.
b.
Aman, karena lelang dipimpin oleh Pejabat Lelang/Pejabat Umum yang diangkat oleh Pemerintah.
c.
Cepat, karena tidak perlu negoisasi, karena sudah didahului dengan pengumuman lelang sehingga peserta lelang dapat berkumpul pada hari lelang dan melakukan pembayaran secara tunai.
d.
Mampu mewujudkan harga yang wajar. Apabila dilaksanakan dengan baik, maka lelang mencerminkan harga pasar ditempat lelang itu berada, karena penawaran lelang bersifat kompetitif dan transparan.
e.
Kepastian hukum, berkaitan dengan Risalah Lelang, yaitu suatu akta otentik, sehingga pembeli dapat mempertahankan haknya dan dipakai sebagai syarat balik nama.
Dengan melakukan cara melelang yang benar, kecil kemungkinannya untuk mendapatkan gugatan dari pihak-pihak yang terkait karena lelang telah mempunyai prosedur atau tata cara tersendiri, sehingga tidak mungkin lelang disalah gunakan kepentingannya untuk hal-hal yang tidak terpuji.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
76
Bila dibandingkan dengan sistem penjualan tanpa melalui lelang seperti yang selama ini dipergunakan oleh perusahaan leasing pada umumnya maka penjualan tersebut mempunyai kelemahan, yaitu : a) Penjualan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Undang-undang. b) Penjualan tersebut tidak cepat karena harus menunggu orang untuk membeli, dan barang laku atau tidaknya memakan waktu yang lama atau tidak pasti karena menunggu pembeli terlebih dahulu. c) Penjualan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, karena tidak ada Risalah Lelang. d) Apabila pihak Debitor merasa dirugikan, maka pihak Debitor bisa mengajukan tuntutan kepada pihak Kreditor ke Pengadilan karena penjualannya tidak melalui lelang. e) Pembayarannya tidak cash, bisa melalui kredit. f) Dalam hal penjualan tanpa melalui lelang ini tidak transparan, pihak Debitor tidak mengetahui berapa harga motornya telah laku terjual. Kreditor seharusnya mendapat pembinaan dari Kantor Lelang mengenai perihal barang Jaminan Fidusia ini, karena dalam prakteknya banyak perusahaan-perusahaan leasing yang ternyata tidak tahu akan proses penjualan barang Jaminan Fidusia harus melalui lelang. Mengapa hal ini bisa sampai terjadi, sedangkan menurut Undang-undang Fidusia penjualan barang Jaminan Fidusia yang utamanya adalah melalui lelang. Hal ini dikarenakan Kantor Lelang kurang berperan dalam pemberitahuan mengenai hal pelelangan barang Jaminan Fidusia. Kantor Lelang dapat melakukan pembinaan dengan cara memberikan brosur-brosur kepada perusahaan-perusahaan leasing atau menegur para perusahaan leasing tersebut bahwa selama ini perusahaanperusahaan
leasing
telah
salah
prosedur,
Kantor
Lelang
harus
menginformasikan kepada perusahaan leasing bahwa penjualan barang
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
77
Jaminan Fidusia itu harus melalui lelang, atau Kantor lelang dapat menggunakan media, seperti : seminar dan penyuluhan mengenai proses penjualan barang Jaminan Fidusia, lalu Kantor Lelang harus meningkatkan pelayanannya serta aktif menghubungi asosiasi perusahaan-perusahaan leasing (apabila ada) untuk memberikan penjelasan mengenai lelang. Namun sayang pihak Kreditor belum menyadari betul peranan lelang dalam barang Jaminan Fidusia padahal seperti yang telah disebutkan sebelumnya sistem penjualan secara lelang inilah cara yang utama dalam penjualan barang Jaminan Fidusia. Berdasarkan penelitian dari penulis terhadap perusahaan-perusahaan leasing, maka penulis dapat menarik kesimpulan : a.
bahwa ternyata perusahaan leasing ditempat penulis melakukan penelitian tidak pernah melakukan penjualan secara lelang;
b.
bahwa perusahaan-perusahaan leasing tersebut tidak tahu bahwa penjualan barang Jaminan Fidusia itu harus melalui lelang.
c.
Ada perusahaan leasing yang sebenarnya tidak ingin menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang, akan tetapi perusahaan tersebut melakukan lelang yang menurut mereka sudah benar, tetapi lelang yang mereka lakukan itu bukan lelang dalam makna yang sebenarnya, lelang yang dilakukan lelang yang tidak sesuai dengan Vendu Reglement dan Peraturan Menteri Nomor 40/PMK.07/2006. Ini terjadi karena ketidak tahuan arti dari lelang yang sebenarnya, disini bisa dilihat bahwa telah terjadi kesalah pahaman mengenai lelang dan ini adalah tugas dari Kantor Lelang untuk memberitahu tentang lelang kepada perusahaan leasing.
d.
Bahkan ada juga perusahaan leasing yang melakukan penjualan dibawah tangan tapi perusahaan tersebut tidak melewati prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-undang, yaitu melakukan pengumuman disurat kabar harian setempat.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
78
Dalam hal penjualan tanpa melalui lelang ini, belum pernah ada pihakpihak yang menggugat, walaupun pembeli membeli kendaraan yang tidak potensial. Seandainya pembeli membeli kendaraan tersebut melalui lelang maka pembeli akan mengetahui bahwa barang Jaminan Fidusia tersebut telah diganti karena sebelum lelang dilaksanakan ada masa dimana peserta lelang melihat terlebih dahulu kondisi barang. Sedangkan dampak bagi Debitor adalah Debitor tidak mengetahui berapa hasil penjualan atas barang miliknya tersebut, disini harga menjadi tidak transparan dan Debitor bisa dirugikan oleh Kreditor, karena Seandainya barang tersebut laku terjual dengan harga Rp. 100.000.000,- bisa saja Kreditor mengatakan bahwa harga dari kendaraan tersebut laku hanya Rp. 80.000.000,-. Dengan beralihnya barang Jaminan Fidusia dari Penjual kepada Pembeli dengan cara melalui lelang dengan cara pihak Kreditor mengikuti petunjuk pelaksanaan lelang yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, maka peralihannya sangat tepat dan akurat. Hal ini dikarenakan : a.
Sistem penjualan melalui pelelangan secara umum adalah sistem yang paling utama disarankan dalam hal perpindahan hak milik bagi Pembeli kepada Penjual.
b.
Berkekuatan hukum tetap karena dalam proses penjualan barang Jaminan Fidusia melalui lelang, karena sistem penjualan ini diatur dalam Peraturan Menteri.
c.
Apabila dalam penjualan barang Jaminan Fidusia tersebut melalui lelang maka Pembeli akan mendapat Risalah Lelang, yang mana Risalah lelang tersebut adalah laporan mengenai jalannya suatu pertemuan yang disusun secara teratur dan dipertanggungjawabkan oleh si pembuat dan atau pertemuan itu sendiri, sehingga mengikat sebagai dokumen resmi dari kejadian/peristiwa yang disebutkan di dalamnya. Risalah Lelang adalah Berita Acara Lelang sebagaimana dimaksud Pasal 35 Vendu Reglement yang bentuknya diatur dalam Pasal 37, 38 dan 39 Vendu Reglement.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
79
Peranan lelang sangat tepat dalam hal penjualan barang Jaminan Fidusia, dan sangat membantu dalam menjual barang Jaminan Fidusia dengan cepat, effisien dan transparan. Dalam Undang-undang Jaminan Fidusia pun telah ditentukan mengenai cara penjualan barang Jaminan Fidusia seperti yang tertuang dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b, dan dalam hal ini negara dalam membuat Undang-undang Jaminan Fidusia ingin melindungi tidak hanya pihak Kreditor yang memberikan pinjaman tetapi juga pihak Debitor, karena itu diwajibkan untuk lelang.
2.
Bagaimanakah cara perusahaan leasing mengatasi suatu masalah apabila ada Debitor yang kendaraannya akan ditarik untuk dilelang telah melakukan kecurangan seperti mengganti onderdil dari kendaraan yang akan dilelang tersebut Terjadinya penarikan kendaraan bermotor Jaminan Fidusia dikarenakan pihak Debitor telah melakukan wanprestasi dan hal ini terdapat dalam perjanjian yang telah dibuat antara Kreditor dan Debitor, akan tetapi sebelum kendaraan tersebut ditarik oleh pihak Kreditor biasanya pihak Debitor dikasih peringatan terlebih dahulu sebanyak 3 (tiga) kali, apabila peringatan surat peringatan tersebut tidak ditanggapi maka pihak Kreditor akan memberikan surat penarikan terhadap barang Jaminan Fidusia tersebut. Wanprestasi adalah keadaan dimana Debitor tidak memenuhi prestasi (ingkar janji) yang telah diperjanjikan. Di dalam perjanjian arti wanprestasi tidak dicantumkan tapi di dalam salinan Akta Jaminan Fidusia telah dicantumkan mengenai hal ini, seperti yang tertuang dalam Pasal 4 yang berbunyi : Tanpa diperlukan somasi atau pemberitahuan lebih dulu kepada Pemberi Fidusia, bila Pemberi Fidusia atau Debitor tidak memenuhi kewajibannya atau ketentuan menurut akta ini, atau Utang dimaksud dalam Perjanjian Pembiayaan belum dibayar lunas walaupun Perjanjian Pembiayaan telah berakhir, maka pinjam pakai obyek Jamian Fidusia tersebut menjadi berakhir dan obyek Jaminan Fidusia harus diserahkan dengan segera oleh Pemberi Fidusia.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
80
Hal ini tidaklah bertentangan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, karena hal ini juga diatur di dalam Pasal 1238 yang berbunyi : ”Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Mengenai wanprestasi hanya disampaikan secara lisan saja kepada pihak Debitor karena Kreditor merasa bahwa pihak Debitor mengerti hukum dan ini tentu saja salah karena tidak semua orang mengerti hukum. Yang dimaksud pihak Kreditor dengan wanprestasi adalah Debitor tidak membayar angsuran pada saat yang telah ditentukan dan Debitor mempunyai itikad tidak baik dengan cara membawa kabur barang Jaminan Fidusia. Di dalam praktek wanprestasi yang sering terjadi adalah pihak Debitor tidak mampu membayar lagi uang angsuran kendaraan bermotor Jaminan Fidusia tersebut, apabila terjadi maka pihak Kreditor akan mengirimkan surat peringatan yang pertama, dan apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari Debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak Kreditor akan melayangkan surat yang ke dua dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari, dan apabila tidak dipatuhi oleh Debitor dikirimkanlah lagi surat yang ke tiga dengan jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari. Setelah tiga kali pihak Debitor memberikan surat tapi tidak ditanggapi juga maka Kreditor mengirimkan surat penarikan dan mengambil barang Jaminan Fidusia tersebut.73 Selama masa peringatan atau teguran yang dilakukan oleh pihak Kreditor, biasanya Kreditor akan melakukan pengawasan terhadap barang Jaminan Fidusia tersebut, walaupun pihak Kreditor tidak bisa mengawasi kegiatan Debitor dalam 1 x 24 jam, tapi setidaknya Kreditor telah melakukan
73
Wawancara., op. cit.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
81
pengawasan terhadap benda Jaminan Fidusia tersebut. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh pihak Debitor terhadap benda Jaminan Fidusia tersebut.74
Skema Tanpa Wanprestasi Perjanjian
Lancar
Lunas
Lesse mendapatkan BPKP & STNK
Lesse pergi ke SAMSAT untuk balik nama Skema Dengan Wanprestasi Perjanjian
Gagal/ Wanprestasi
Peringatan
Lelang
Ditarik
Dalam praktek pernah terjadi dimana pihak Kreditor tidak bisa menarik kendaraan bermotor Jaminan Fidusia dikarenakan Debitor beserta barang Jaminan Fidusia tersebut menghilang, Debitor telah menjual kendaraan tersebut kepada orang lain, namun pada akhirnya barang Jaminan Fidusia tersebut diketemukan dan langsung ditarik oleh pihak Kreditor walaupun kendaraan tersebut berada ditangan orang lain, hal ini karena Kreditor memiliki bukti kepemilikan yang kuat yaitu BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) yang mana BPKB ini yang menyimpan adalah pihak Kreditor, sedangkan yang dikasih untuk pihak Debitor hanya STNK (Surat Tanda 74
Wawancara, Derry Martha, Kepala Cabang PT. Batavia Prosperindo Finance, Lampung.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
82
Nomor Kendaraan), dan orang yang memegang kendaraan tersebut tidak memiliki BPKB walaupun STNK berada ditangan orang tersebut. Dalam hal kecurangan yang lain, penulis pernah menanyakan kepada perusahaan leasing tempat penulis melakukan penelitian, apakah pernah Debitor melakukan kecurangan pada saat Kreditor ingin menarik kendaraan tersebut lalu pihak Debitor menyatakan bahwa STNK nya telah hilang, selama ini karena kejadian dalam hal Debitor wanprestasi sedikit sekali terjadinya, bisa dibilang dalam 2 (dua) tahun terakhir ini hanya 3 kali kejadian Debitor melakukan wanprestasi maka dalam hal Debitor meyatakan STNK hilang tidak pernah terjadi. Sehingga bila ada pembeli yang menanyakan mengenai kelengkapan dokumen-dokumen seperti STNK dan BPKB pihak penjual bisa menunjukkan bahwa surat-surat tersebut lengkap. Dalam
prakteknya
beberapa
Debitor
yang
sering
melakukan
kecurangan, yaitu adalah pihak Debitor mengganti onderdil dari barang Jaminan Fidusia sebelum pihak Kreditor melakukan penarikan terhadap barang tersebut. Dalam hal kecurangan ini penulis pernah menanyakan kepada perusahaan leasing tempat penulis melakukan penelitian, apakah pernah Debitor melakukan kecurangan pada saat Kreditor ingin menarik kendaraan tersebut lalu pihak Debitor menyatakan bahwa STNK nya telah hilang, selama ini karena kejadian dalam hal Debitor wanprestasi sedikit sekali terjadinya, bisa dibilang dalam 2 (dua) tahun terakhir ini hanya 3 kali kejadian Debitor wanprestasi maka dalam hal Debitor meyatakan STNK hilang tidak pernah terjadi. Pada umumnya perusahaan leasing tidak mempermasalahkan apabila ada Debitor yang telah melakukan kecurangan dalam mengganti onderdil pada kendaraan bermotor Jaminan Fidusia tersebut, karena di dalam kontrak atau perjanjian pun tidak disebutkan hal ini dan barang Jaminan Fidusia ini pada akhirnya akan dijual melalui cara pelelangan,
dan di dalam lelang
dikenal juga dengan asas ”As Is”, yaitu yang menanggung resiko dalam hal ini adalah pembeli karena sebelum dilakukan lelang para masyarakat yang
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
83
ingin menjadi peserta lelang pun telah melihat kondisi barang yang akan dilelang dan sudah bertanya mengenai kondisi barang tersebut pembeli pada saat lelang sudah mengetahui kondisi dari kendaraan bermotor tersebut, hal mengenai tentang waktu melihat dan bertanya mengenai kendaraan bermotor yang
akan
dilelang
telah
diatur
dalam
Peraturan
Menteri
No.
40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan asas ”As Is” bisa kita lihat juga di dalam Risalah Lelang. Tapi bila perusahaan leasing membiarkan saja apabila ada Debitor melakukan kecurangan, maka perusahaan leasing akan mengalami kerugian terhadap pendapatannya, karena apabila hasil penjualan dari barang Jaminan Fidusia tersebut tidak mampu mencukupi hutang pokoknya Debitor maka pihak Kreditor tidak bisa lagi menuntut ke pihak Debitor untuk melunasi sisa hutangnya, karena Debitor beranggapan apabila Kreditor telah menarik kendaraannya maka hutangnya selesai juga, mengapa pihak Debitor bisa beranggapan seperti demikian ?, karena dalam perjanjian tidak dicantumkan mengenai penyelesaian apabila harga jual dari kendaraan tersebut tidak cukup untuk membayar hutang maka Debitor masih harus menyelesaikan sisa hutangnya. Hal ini dapat dijadikan pelajaran untuk perusahaan leasing agar mencantumkan juga klausul mengenai pelunasan sisa hutang apabila penjualan tersebut tidak bisa menutup hutang pokok Debitor. Dalam perjanjian penyerahan secara Fidusia antara Kreditor dan Debitor hanya mencantumkan mengenai perawatan kendaraan saja, hal ini tertuang dalam Syarat-syarat Perjanjian Pembiayaan Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia butir ke 11 (sebelas) huruf d, yaitu : Untuk menjamin kelancaran pembayaran seluruh kewajiban DEBITOR kepada KREDITOR, baik yang timbul dari perjanjian ini atau perjanjian lainnya yang dibuat oleh DEBITOR dan KREDITOR, maka DEBITOR dengan ini menyerahkan kepada KREDITOR hak miliknya atas Fidusia atas Barang dan barang-barang jaminan lain yang tercantum dalam butir 4 (empat) Perjanjian Pembiayaan Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia (secara bersama-sama disebut ”Barang”) dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang lazim dipergunakan dalam penyerahan hak milik secara Fidusia, antara lain :
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
84
d. Debitor wajib memelihara dan mengurus Barang tersebut sebaikbaiknya dan melakukan segera pemeliharaan dan perbaikan atas biaya sendiri dan bila ada bagian dari kendaraan yang diganti atau ditambah maka bagian itu termasuk dalam penyerahan secara Fidusia kepada Debitor. Tidak ada klausul yang menyatakan apabila pihak Debitor melakukan kecurangan dalam
mengganti
onderdil, maka pihak Kreditor
akan
mengenakan sanksi kepada pihak Debitor. Menurut pendapat penulis, dalam hal perjanjian yang dibuat antara Kreditor dan Debitor sangatlah lemah, karena tidak mencantumkan klausul mengenai kecurangan pihak Debitor dalam penggantian onderdil, apabila pihak Kreditor ingin melindungi barang Jaminan Fidusia tersebut sebaiknya klausul mengenai kecurangan ini ditambahkan di dalam perjanjian untuk menanggulangi hal-hal yang biasanya terjadi di dalam praktek, dan sebaiknya sebelum perjanjian itu ditanda tangani oleh kedua belah pihak, pihak Kreditor menjelaskan terlebih dahulu isi dari perjanjian tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti serta akibat-akibat yang terjadi apabila Debitor melakukan pelanggaran, karena tidak semua orang mengerti akan hukum. Sebaiknya pihak Kreditor dalam menyelesaikan masalah apabila ada pihak Debitor yang wanprestasi, lebih baik pihak Kreditor melakukan tindakan persuasif, dengan cara menanyakan baik-baik apa kendala dari pihak Debitor sehingga Debitor bisa wanprestasi, sebab apabila cara ini dilakukan setidaknya membuat pihak Debitor merasa bahwa Debitor masih diberi kepercayaan dan kesempatan dalam hal penyelesaian hutang dan hal ini membuat Debitor tetap mempunyai itikad baik dalam membereskan masalah wanprestasi ini. Hal ini pun bisa mencegah Debitor untuk melakukan kecurangan terhadap barang Jaminan Fidusia tersebut. Berdasarkan penelitian penulis terhadap perusahaan-perusahaan leasing dimana tempat penulis melakukan penelitian, tingkat terjadinya wanprestasi itu sangat sedikit sekali, kejadian wanprestasi itu hanya terjadi 3 (tiga) kali dalam 2 (dua) tahun ini. Hal itu dikarenakan sebelum perusahaan leasing
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
85
memberikan pinjaman kepada Debitor, Debitor harus menyerahkan tanda jadi (Down Payment) kepada perusahaan leasing dan besarannya telah ditentukan oleh perusahaan leasing, lalu perusahaan leasing tersebut melakukan survey terlebih dahulu kepada Debitor, apakah betul Debitor itu telah bekerja dan Debitor diminta untuk menyerahkan bukti-bukti mengenai identitas dan pekerjaannya, lalu apabila Debitor tersebut memiliki usaha, maka Kreditor juga melakukan survey ke tempat usaha milik Debitor tersebut. Hasil dari survey dimaksudkan untuk menyeleksi apakah Debitor tersebut layak untuk diberikan pinjaman dan untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya wanprestasi yang bisa berakibat terjadinya kecurangan penggantian onderdil oleh pihak Debitor dan untuk menjamin kelancaran pembayaran yang dilakukan Debitor kepada Kreditor.
Universitas Indonesia
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010