BAB IV PERMASALAHAN HUKUM BERKAITAN DENGAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DENGAN JAMINAN FIDUSIA
4.1.
Transaksi Pembiayaan Konsumen Dengan Jaminan Fidusia. Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa ada empat hal penting yang merupakan dasar dari lembaga pembiayaan konsumen, yaitu : a. Pembiayaan konsutnen merupakan salah satu alternatif pembiayaan yang dapat diberikan kepada konsumen. b. Obyek pembiayaan adalah barang kebutuhan konsumen, seperti komputer, barang elektonik, kendaraan bermotor dan tain-lain. c. Sistem pembayaran angsuran dilakukan secara berkala, biasanya dilakukan bulanan dan ditagih langsung kepada konsumen. d. Jangka waktu
pengembalian
bersifat
fleksibel,
tidak
terikat
dengan ketentuan tertentu. Dalam prakteknya lembaga pembiayaan konsumen ini sangat diminati oleh para konsumen didasarkan pada alasan-alasan bahwa proses / prosedur permohonan untuk mendapatkan pembiayaan sangat mudah serta tidak diperlukan adanya jaminan barang-barang lain selain barang yang
bersangkutan
dijadikan
obyek
jaminanyang
pengikatannya
dilakukan secara Fidusia. Sama
seperti
pemberian
kredit
oleh
bank,
pada
lembaga
pembiayaan konsumen juga memerlukan jaminan dalam arti keyakinan
113
bagi perusahaan pembiayaan bahwa konsumen akan dapat memenuhi kewajibannya
sesuai
dengan
perjanjian
pembiayaan
yang
telah
ditandatangani. Seperti diketahui pemberian pembiayaan oleh perusahaan pembiayaan kepada konsumen dituangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian pembiayaan. Jaminan-jaminan yang diberikan dalam transaksi pembiayaan konsumen ini pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian kredit bank. Untuk itu, jaminan dalam pembiayaan konsumen dibagi kedalam jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan tambahan. 1. Jaminan utama Sebagai
suatu
kredit,
maka
jaminan
pokoknya
adalah
kepercayaan dari kreditur (perusahaan pembiayaan) kepada debitur (konsumen), bahwa pihak konsumen dapat dipercaya dan sasnggup memenuhi kewajibannya. Jadi disini prinsip pemberian kredit yang dikenal dengan prinsip 5C (character, capital, capacity, condition of economic
dan
collateral)
juga
berlaku
dan
diterapkan
pada
pembiayaan konsumen. Untuk mengetahui dan menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit, pada umumnya dunia perbankan menggunakan instrument analisa 5C (the five of credit) ini. 128
2. Jaminan Pokok 128 Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, hal.92.
115 Sebaga jaminan pokok terhadap transaksi
pembiayaan
konsumen adalah barang yang dibeli dengan dana atua pembiayaan dari perusahaan pembiayaan tersebut. Jika dana tersebut diberikan misalnya untuk membeli mobil, maka mobil yang bersangkutan menjadi jaminan pokoknya. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam bentuk “Fiduciary Transfer of Ownership” (Fidusia). 129 Mengingat dalam pembiayaan konsumen umumnya adalah barang kebutuhan konsumen, seperti; komputer, alat elektronik, alat berat, kendaraan bermotor, dan lain-lainnya, yang notabena masuk katagori barang bergerak, maka pembebanannya atau pengikatannya memakai lembaga jaminan fidusia. 3. Jaminan Tambahan. Sering juga dalam praktek pembiayaan konsumen dimintakan jaminan tambahan, walaupun tidak seketat jaminan untuk pemberian kredit oleh bank. Dalam pengamatan Munir Fuady, biasanya jaminan tambahan terhadap transaksi ini adalah berupa; Surat pengakuan utang (promissory notes), atau acknowledgment of indebtedues, kuasa menjual barang, dan assignment of proceed (cossie) dari asuransi. Disamping itu sering juga dimintakan “persetujuan istri/suami” untuk konsumen pribadi, dan persetujuan komisaris / RUPS untuk konsumen perusahaan sesuai ketentuan Anggaran Dasarnya. 130 Pembebanan pembiayaan
atau
konsumen
pengikatan dilakukan
barang dengan
yang
menjadi
membuatkan
obyek
perjanjian
tambahan yaitu perjanjian pemberian jaminan fidusia yang mengikuti 129 130
Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 168. Munir Fuady I, Loc.Cit.
perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pembiayaan konsumen. Pada
dasarnya
dalam
pelaksanaan
perjanjian
pembiayaan
konsumen di Indonesia, tidak hanya dibuat satu macam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga dibuat berbagai jenis perjanjian lainnya. Perjanjian pokoknya adalah perjanjian pembiayaan konsumen, dan dari perjanjian pembiayaan ini, maka lahirlah perjanjian tambahan atau perjanjian accessoir lainnya, seperti perjanjian jaminan fidusia. 131 Bila dicermati dalam praktek, masing-masing lembaga pembiayaan mempunyai jenis perjanjian tambahan yang berlaku antara satu dengan yang lainnya. Namun yang pasti, pada setiap perjanjian tambahan umumnya ada dibuat perjanjian pemberian jaminan Fidusianya, seperti praktek yang dilakukan pada PT. Federal International Finance (PT. FIF) Astra sebagai berikut : Judul perjanjian pokok pada lembaga pembiayaan PT. Federal International Finance (PT. FIF) Astra adalah perjanjian pembiayaan konsumen. Sementara itu, perjanjian tambahan meliputi : a. Perjanjian pemberian jaminan fidusia b. Perjanjian oleh debitur c. Perjanjian pemberian kuasa. Perjanjian pemberian fidusia merupakan perjanjian yang dibuat antara pemberi fidusia denga penerima fidusia, dimana pemberi fidusia menyerahkan benda jaminan berdasarkan kepercayaan kepada penerima fidusia, untuk jaminan suatu utang. Pemberi fidusia adalah penerima fasiltias kredit dari PT. FIF, sedangkan penerima fidusia adalah perusahaan pembiayaan PT. FIF. Biasanya yang diserahkan oleh pemberi fidusia berupa BPKB kendaraan bermotor (barang) yang menjadi obyek perjanjian pembiayaan konsumen. BPKB inilah yang ditahan oleh penerima Fidusia sampai dengan pemberi fidusia dapat melunsi utang-utangnya. 132 131 H. Salim HS, 2008, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUP Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 135. 132 Ibid, hal. 136.
117 Perjanjian pemberian jaminan fidusia dibuat dengan akta notaries dalam bahasa Indonesia yang merupakan akta jaminan fidusia (pasal 5 ayat 1 UU Jaminan Fidusia. Sejalan dengan ketentuan mengenai hipotik dan hak tanggungan, maka akta jaminan fidusia wajib dibuat dengan akta otentik (akta notaris). Sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta itu adalah notaris yang ditunjuk undang-undang. Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk ditempati dimana akta dibuatnya (pasal 1868 KUH Perdata). Sementara R. Supomo memberikan pengertian akta otentik sebagai berikut : Akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat tersebut sebagai alat bukti. 133 Sedangkan akta dibawah tangan adalah surat yang ditandatangani dan dimuat dengan maksud untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum. 134 Ketentuan pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya diantara para pihak beserta para ahli wrisnya, atau para pengganti haknya. Hal inilah yang menyebabkan UU Jaminan fidusia menetapkan perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta notaris. 135 Alasan lain kenapa akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta 133 R. Supomo, 1980, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 76-77. 134 Ibid. 135 Gunawan Widjaja, & Ahmadyani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 136.
otentik (akta notaris) adalah mengingat obyek jaminan fidusia tidak saja barang-barang bergerak yang sudah terdaftar, tetapi pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah sewajarnya bentuk akta otentiklah yang dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum berkenaan dengan obyek jaminan fidusia. 136 Untuk memberikan kepastianhukum, maka pasal 11 UU jaminan fidusia (UU No. 42 tahun 1999) mewajibkan benda yang dibebani jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun benda yang dibebani jaminan fidusia berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia.
4.2.
Perampasan Oleh Negara Terhadap Benda Jaminan Fidusia. Perampasan barang yang menjadi jaminan fidusia yang dimaksud dalam hal ini adalah dalam hal pihak pemberi fidusia melakukan perbuatan melawan hukum (kejahatan illegal loging). Permasalahan ini muncul dari kasus yang pernah terjadi yang menimpa PT. Astra Sedaya Finance selaku perusahaan pembiayaan yang memberikan pembiayaan dengan jaminan fidusia. PT. Astra Sedaya Finance adalah perusahaan yang bergerak di sektor pembiayaan (Financing), yang melakukan kegiatan dalam bidangbidang usaha sebagai berikut : 1. Sewa Guna Usaha yang dilakukan dalam bentuk pengadaan barangbarang modal bagi penyewa dengan atau tanpa hak opsi untuk membeli barang-barang tersebut, atau dengan membeli harta milik 136
Ibid.
119 penyewa untuk kemudian disewa gunakan kembali; 2. Anjak piutang yang dilakukan dalam bentuk: 3. Pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari transaksi usaha dalam maupun luar negeri; 4. Pengelolaan penjualan dengan kredit dan pengurusan tagihan dari suatu perusahaan klien;
5. Kartu Kredit yang dilakukan dalam bentuk pengeluaran kartu kredit yang dapat digunakan oleh pemegang kartu kredit tersebut untuk pembayaran barang-barang dan jasa-jasa;
6. Pembiayaan konsumen yang dilakukan dalam bentuk 1 penyediaan dana
bagi
konsumen
untuk
pembelian
pembayaran secara angsuran oleh konsumen.
barang-barang
dengan
137
Salah satu kegiatan PT. Astra sedaya Finance adalah dibidang pembiayaan konsumen. Sebagai perusahaan yang bergerak dibidang financing, maka didalam memberikan pembiayaan kepada konsumen berdasarkan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia yang tunduk pada Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pemberian fidusia dilakukan melalui proses yang disebut dengan “constitutum prossessorium” (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik bendanya). Sehubungan dengan jaminan fidusia ini, fisik bendanya tetap ada di tangan pemiliknya atau debitur. Dengan kondisi seperti itu terbuka peluang benda jaminan fidusia itu beralih atau dialihkan dengan sengaja oleh pemberi fidusia (debitur). 137 Henry Subagiyo, Op.Cit, hal. 87 – 88.
Dalam kasus PT. Astra Sedaya Finance, barang jaminan fidusia berpindah atau beralih penguasaannya dari tangan pemberi fidusia karena dirampas oleh negara akibat perbuatan melawan hukum (kejahatan illegal loging) yang dilakukan pemberi fidusia berdasarkan ketentuan pasal 78 ayat 15 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 19 tahun 2005 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2005 menjadi Undang-Undang. PT. Astra Sedaya Finance merasa telah dirugikan dan potensial untuk mendapatkan kerugian selanjutnya dengan pemberlakukan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2005 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2005 menjadi undang-undang yang menyatakan bahwa, "Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran
dan
atau
alat-alat
termasuk
dipergunakan untuk melakukan kejahatan
alat
angkutnya
yang
dan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal mi dirampas untuk negara." Dan Penjelasannya yang berbunyi, "Yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain." Berdasarkan ketentuan tersebut, PT Astra Sedaya Finance merasa dirugikan dengan dirampasnya tiga unit truck Toyota New Dyna oleh pihak Kejaksaan Negeri Sengeti Kabupaten Muoro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi. Ketiga truk yang dirampas tersebut merupakan barang dalam status jaminan fidusia yang diberikan oleh Juli Ardiansyah,
121 Febriansyah, dan Syamsudin pada pihak PT Astra Sedaya Finance berdasarkan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia. 138 Dalam kasus diatas, tiga unit truk Toyota New Dyna yang dirampas
oleh negara tersebut karena telah
dipergunakan untuk
melakukan kejahatan illegal loging. Terkait hal ini pertanyaan yang timbul adalah bagaimana akibat hukumnya dari tindakan perampasan oleh negara tersebut, mengingat benda yang dirampas adalah benda yang dalam status jaminan fidusia. Istilah perampasan oleh negara merupakan bagian dari upaya penegakan hukum pidana. Perampasan dimungkinkan untuk dilakukan terhadap benda atau barang terpidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan: 1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. 2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasaikan hal-hal yang ditentukan dalam undangundang. 3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Pada dasarnya benda yang dibebani jaminan fidusia secara fisik 138 Ibid, hal. 86
masih berada di tangan pemberi fidusia. Namun untuk kepentingan dari hak-hak kreditor selaku penerima fidusia atas pemenuhan piutangnya, maka Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia, menyatakan, "Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan bejida persediaan, kecuali denganpersetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia." Ketentuan tersebut menunj ukkan bahwa selama benda yang tidak merupakan benda persediaan, misalnya mesin produksi, mobil, rumah (penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia) masih dibebani oleh
jaminan
mengalihkannya
fidusia, tanpa
maka
pemberi
persetujuan
fidusia
tertulis
dari
(debitor) penerima
dilarang fidusia
(kreditor). Terhadappelanggaran ketentuan di atas diancam dengan hukuman pidanapenjara dan denda sebagaimana tercantum dalam pasal 36 UU Fidusia. Namun dalam UU Fidusia tidak mengatur bagaimana akibat hukumnya jika suatu benda jaminan fidusia dirampas oleh negara karena perbuatan melawan hukum. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam perkara tersebut adalah bagaimana akibat hukumnya, jika benda yang dijaminkan ternyata tidak lagi berada di dalam kekuasaan pemberi jaminan (debitor). 139 Dalam praktek, tidak adanya benda dalam kekuasaan pemberi jaminan tentu dapat bermacam sebab, misalnya diperjual-belikan, musnah, hilang, hingga dirampas seperti pada perkara di atas. Tentu 139 Ibid., hal. 107
123 terhadap kejadian tersebut akan merugikan pihak penerima jaminan dari pelunasan piutangnya, terlebih lagi jika akan dilakukan eksekusi terhadap benda jaminan. Terhadap keadaan tersebut bisa jadi penerima jaminan tidak mendapatkan pemenuhan dari pelunasan piutangnya. Dengan demikian kepastian untuk mendapatkan jaminan kedudukan untuk pelunasan piutang bagi kreditur tentu harus diperhatikan. Sesungguhnya
pengikatan
benda
jaminan
kredit
akan
mengamankan kepentingan kreditur, begitu pula pengikatan benda jaminan fidusia, akan mengamankan kepentingan pihak perusahaan pembiayaan
sebagaimana
kreditur
atau
penerima
fidusia.
Seperti
diketahui terdapat empat lembaga jaminan yang dapat dipergunakan untuk mengikat jaminan utang, yaitu gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia. 140 Bila dicermati ada beberapa hal yang
menguntungkan
dan
memberikan kedudukan yang kuat terhadap perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia apabila obyek jaminan fidusia diikat secara sempurna berdasarkan ketentuan UU Fidusia (UU No. 42 tahun 1999), diantaranya : 1. Perusahaan Pembiayaan sebagai penerima Fidusia mempunyai hak kebendaan terhadap barang jaminan fidusia. Hak kebendaan yang dimiliki perusahaan pembiayaan yang dimaksud disini adalah hak kebendaan yang memberikan jaminan. Di dalam Hukum Perdata dikenal adanya hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan dan hak kebendaan yang bersifat memberi 140 M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 134.
kenikmatan. Maksud dari hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan dapat dijelaskan sebagai berikut : Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan itu senantiasa tertuju terhadap bendanya orang lain, mungkin terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jika benda jaminan itu tertuju pada benda tak bergerak, maka hak kebendaan tersebut berupa hipotik, sedangkan jika benda jaminan itu tertuju pada benda bergerak, maka hak kebendaan tersebut berupa gadai. Kedua macam hak ini memberikan kekuasan langsung terhadap benda jaminan dan hak mana dapat dipertahankan kepada siapapun juga. Pihak perusahaan pembiayaan sebagai krediturdapat menuntut pelunasan utang debitur dari barang yang dijadikan sebagai jaminan kredit. Perusahaan pembiayaan mempunyai hak tagih terhadap benda jaminan kredit selama kreditnya belum dilunasi oleh debitur. Berdasarkan hak tersebut perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia dapat menuntut pencairan atas benda jaminan fidusia guna pelunasan kredit jika debitur wanprestasi. 2. Perusahaan pembiayaan mempunyai hak didahulukan (Hak Preferent) dari kreditur lain untuk memperoleh pelunasan piutang dari hasil penjualan barang jaminan fidusia, bila debitur wanprestasi. Hak didahulukan perusahaan pembiayaan ini dasar hukumnya dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 1132 KUH Perdata, yang selengkapnya menyatakan ; Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutang kepadanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Ketentuan pasal 1132 KUH Perdata pada dasarnya mengatur
125 tentang adanya persamaan hak diantara para kreditur, terkecuali kreditur preferent yang mempunyai hak didahulukan atas pemenuhan pembayaran piutangnya. Kreditur preferent yang dimaksud pasal 1132 KUH Perdata adalah para pemegang hak jaminan. Menurut M. Bahsan, ketentuab pasal 1132 KUH Perdata mengtur tentang lembaga jaminan gadai, hipotik, hak tanggungan, dan jaminan fidusia, dan dalam hal ini merupakan lembaga jaminan yang diatur
dalam
peraturan
perundangan
yang
dalam
ketentuan
menetapkan/memberikan hak didahulukan kepada kreditur sebagai pemegang hak jaminan. 141 Disamping
ketentuan
pasal
1132
KUH
Perdata,
hak
didahulukan perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia secara tegas juga diatur dalam ketentuan pasal 1 angka 2 dan pasal 27 UU Fidusia (UU No. 92 tahun 1999). Adapun ketentuan pasal-pasal dimaksud selengkapnya menyatakan sebagai berikut : Pasal 1 Angka 2; Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Pasal 27 : 1) Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. 2) Hak yang didahulukan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang 141 M. Bahsan, Op.Cit, hal. 136.
menjadi obyek jaminan fidusia. 3) Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia. 3. Perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia akan mempunyai kepastian hukum terhadap pengikatan benda jaminan fidusia. Dari ketentuan lembaga jaminan, terutama hipotik, hak tanggungan, dan jaminan fidusia, dapat diketahui mengenai kepastian hukum tersebut melalui pemenuhan azas spesialitas dan azas publisitas. Azas spesialitas adalah mengenai pengikatan / pembebanan barang jaminan melalui pembuatan akta dihadapan pejabat umum (untuk fidusia harus dibuat dengan akta notaris). Sementara azas publisitas adalah berkaitan dengan pendaftaran dari benda jaminan tersebut pada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengikatan benda jaminan tersebut teratat secara jelas serta terbuka bagi umum. Dengan dipenuhinya kedua azas ini, maka perusahaan pembiayaan akan memperoleh kepastian hukum terhadap pengikatan benda jaminan fidusia. 4. Perusahaan
Pembiayaan
sebagai
penerima
Fidusia
mempunyai
kemudahan untuk mencairkan obyek jaminan. Bila diperhatikan, dari ketentuan jaminan Fidusia (berdasarkan UU Fidusia), jika debitur ingkar janji atau wanprestasi, maka barang jaminan fidusia dapat dicairkan, dan dapat dilakukan
eksekusi
berdasarkan title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat jaminan
127 fidusia. Sertifikat jaminan fidusia memuat kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang
mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan title eksekutorial tersebut perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menyelesaikan barang jaminan fidusia. Kedudukan kuat dari perusahaan pembiayaan sebagaimana disampaikan di atas dengan hak-hak yang dimilikinya selaku penerima
jaminan
fidusiamenjadi
tidak
ada
artinya
dengan
dirampasnya benda jaminan oleh negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur sebagai pemeberi fidusia. Kedudukan perusahaan pembiayaan menjadi lemah dan tidak berdaya ketika benda jaminan fidusia sudah tidak ada lagi dalam kekuasaan debitur, padahal benda jaminan itu menjadi satu-satunya jaminan dalam pelunasan hutang debitur. Terkait dengan status hukum benda yang dijadikan obyek jaminan
fidusia, sebagaimana telah
dikemukakan
pada uraian
sebelumnya bahwa upaya pemberian hak pada kreditur dengan tujuan sebagai agunan. Hal ini menunjuk pada ciri umun dari hak jaminan, bahwa pengalihan hak milik terhadap suatu benda diperuntukkan sebagai agunan (jaminan). 142 Jadi disini status hukum benda jaminan fidusia yang dirampas 142 Henry Subagyo, Loc.Cit.
oleh negara tersebut adalah sebagai benda jaminan yang mempunyai sifat droit de
suite. Dengan adanya sifat seperti itu perusahaan
pembiayaan sebagai penerima fidusia mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada. Namun persoalannya, dengan dirampasnya benda jaminan fidusia itu oleh negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemberi fidusia, maka status hukumnya menjadi tidak jelas dan menghilangkan hak dari perusahaan pembiayaan sebagai kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan apabila debitur wanprestasi. Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan fidusia berupa bus-bus atau truck oleh pemilik benda dijual kepada pihak lain, maka dengan sifat droit de suite, jika debitur cidera janji Kreditur sebagai penerima jaminan fidusia sesungguhnya tetap dapat mengeksekusi benda jaminan bus-bus atau truck meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain. Jadi penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan obyek (obyek fidusia) itu. Begitu juga halnya dengan adanya benda jaminan fidusia yang dirampas oleh negara, dengan sifat droit de suite maka pihak perusahaa pembiayaan sesungguhnya dapat mengeksekusi benda jaminan yang ada di tangan negara tersebut.
4.3.
Perlindungan Hukum Perusahaan Pembiayaan Atas Perampasan Barang Jaminan Fidusia oleh Negara.
129 Semula bentuk jaminan ini tidaklah diatur dalam perundangundangan, tetapi berkembang dengan dasar yurisprudensi, di Indonesia baru diatur dalam undang-undang pada tahun 1999 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Fidusia merupakan Pengembangan dari lembaga gadai. 143 Oleh karena itu, yang menjadi objek jaminannya ialah barang bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan umum daiam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tersebut bahwa: "Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda." Fiduciare Eigendoms Over Dracht atau penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan timbul atas
dasar
kebutuhan masyarakat. Masyarakat
membutuhkan pinjaman atau kredit dengan jaminan benda bergerak tetapi benda bergerak
yang dijaminkan
diperlukan sehari-hari bekerja
untuk
masih
melanjutkan
usaha
karena
atau keperluan
sehari-hari. Praktek pemberian kredit dengan jaminan benda
bergerak yang masih dalam kekuasaan kepada
dikuasai debitur
Kreditur)
didasarkan
debitur
(tidak
diserahkan
pada yurisprudensi karena belum ada
undang-undang yang mengaturnya. 144 143 Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 534. 144 Sutarno, Op.Cit, hal. 204.
Undang-undang yang mengatur pemberian kredit dengan jaminan benda bergerak adalah Gadai yang diatur buku II pasal 1150 s/d 1160 KUHPerdata. Apabila mencari pinjaman atau kredit dengan menggunakan jaminan gadai akan terbentur pada syarat In Bezit Stalling yaitu salah satu syarat dalam gadai. Yang mensyaratkan bahwa benda bergerak yang menjadi jaminan harus ditarik/berada dalam kekuasaan pemegang gadai/ pemberi kredit. Syarat in bezit stalling dirasakan sangat berat oleh pemohon kredit dengan jaminan benda bergerak karena benda yang dijaminkan itu justru sangat diperlukan untuk menjalankan usaha atau kehidupan sehari-hari. Misalnya usaha rumah makan membutuhkan modal dengan pinjaman kredit dari bank dengan
jaminan alat perlengkapan
itu. Perusahaan pengangkutan
memerlukan
rumah makan
kredit dengan jaminan
truck-truck atau bus-busnya. Jika jaminan berupa alat perlengkapan rumah makan atau truck atau bus tersebut ditarik dari debitur sudah pasti debitur tidak dapat menjalankan perusahaan karena benda-benda jaminan gadai yang ditarik dari kekuasaan debitur justru digunakan untuk melanjutkan usahanya. 145 Untuk
mengatasi
kesulitan-kesulitan
demikian
dan
untuk
menyesuikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat serta untuk menghindari ketentuan pasal 1152 KUHPerdata (yang mengharuskan barang jaminan ditarik kekuasaan pemiliknya) maka yurisprudensi memungkinkan adanya lembaga jaminan Fiducia. 145 Sutarno, Loc.Cit.
Jaminan
dengan
131 menggunakan
lembaga
Fiducia
yang dipindahkan atau diserahkan
ialah hak atas benda (hak kepemilikan) tersebut sebagai jaminan atas dasar kepercayaan, sedangkan bendanya sendiri masih tetap berada dalam kekuasaan si debitur/pemilik barang sehingga masih dapat dipergunakan untuk kepentingan malanjutkan usaha debitur/pemilik barang. Dari paparan di atas jelas dalam jaminan fidusia, bahwa benda yang dipakai sebagai jaminan tetap berada dalam penguasaan pemilik benda. Hal ini telah ditafsirkan oleh doktrin para sarjana yang ada, bahwa meskipun alas hak (title) dari benda itu diserahkan melalui suatu perjanjian, namun bendanya secara fisik tetap dikuasai oleh pemberi jaminan. Dengan konsep fidusia seperti itu sudah sepantasnya pihak pemberi fidusia menjaga agar benda jaminan tersebut tetap berada dalam kekuasaannya. Namun kenyataannya sangat mungkin benda jaminan fidusia berpindah tangan atau berpindah penguasaannya kepada pihak ketiga, karena dialihkan oleh debitur pemberi fidusia. Pihak penerima fidusia
sebagai
kreditur
akan
diposisikan
pada
posisi
tidak
menguntungkan karena benda jaminan ternyata tidak lagi berada di dalam kekuasaan pemberi jaminan (debitur). Dalam
praktek,
tidak
adanya
benda
dalam
kekuasaan
pemberi jaminan tentu dapat bermacam sebab, misalnya diperjualbelikan, musnah, hilang, digadaikan, disewakan, termasuk dirampas oleh negara. Tentu terhadap kejadian tersebut akan merugikan pihak penerima
jaminan dari pelunasan piutangnya, terlebih lagi jika akan dilakukan eksekusi terhadap benda jaminan. Terhadap keadaan tersebut bisa jadi penerima
jaminan
tidak
mendapatkan
pemenuhan
dari
pelunasan
piutangnya. Dengan demikian perlindungan hukum bagi penerima fidusia harus diperhatikan dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Atas tindakan debitur mengalihkan benda jaminan fidusia kepada pihak lain, apakah itu menggadaikan, menjual atau menyewakan, tidak dibenarkan atau dilarang. Hal mana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 23 ayat 2 UU Fidusia. Adapun ketentuan pasal dimaksud adalah sebagai berikut: Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima Fidusia. Tindakan debitur mengalihkan benda obyek jaminan Fidusia tanpa persetujuan tertulis dari Penerima Fidusia termasuk kategori perbuatan melawan hukum, karena dilarang oleh UU Fidusia. Begitu juga UU Fidusia melalui ketentuan Pasal 24 menyatakan: Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Mengacu pada ketentuan pasal 23ayat 2 dan pasal 24 UU Fidusia tersebut tidak jelas diatur tentang apa bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada perusahaan pembiayaan sebagai penerima Fidusiaketika benda jaminan fidusia dirampas negara karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemberi fidusia.
133 Dengan melakukan penafsiran terhadap kedua pasal di atas, serta berdasarkan yurisprudensi dan azas / prinsip hukum yang ada, bentuk perlindungan
hukum
yang
dapat
diberikan
kepada
perusahaan
pembiayaan sebagai penerima fidusia adalah sebagai berikut : 1. Mewajibkan pengganti
kepada yang
debitur
supaya
setara nilainya. Hal
menyediakan
jaminan
mana didasarkan pada
ketentuan Pasal 23 dan Pasal 24 dari UU Fidusia. Pasal 23 menyatakan
bahwa
debitur
dilarang
untuk
mengalihkan,
menggadaikan, atau menjual benda obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan kepada pihak lain. Begitu pula menurut ketentuan
Pasal
24,
dalam
hal
pemberi
Fidusia melakukan
tindakan pengalihan benda jaminan Fidusia, dimana pihak penerima Fidusia tidak ikut menangung kewajiban atas akibat dan tindakan itu. Dari hal itu, kiranya debitur wajib menggantikan benda jaminan Fidusia, apabila benda tersebut rusak, hilang, atau telah beralih kepada pihak lain. Kelalaian debitur, sehingga menyebabkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia beralih penguasaannya kepada pihak ketiga, itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab debitur. Sebagaimana pula disampaikan oleh Henry Subagyo sebagai berikut : Pada perjanjian Fidusia pada intinya juga ditentukan kewajiban sebagai debitur selaku pemberi jaminan untuk memelihara agar benda jaminan yang secara fisik ada pada penguasaannya tetap dalam kondisi relative baik. Dengan demikian, debitur (pemberi fidusia) wajib mengganti benda jaminan, apabila benda tersebut rusak, hilang, atau telah beralih. Kelalaian atas benda jaminan adalah tanggung jwab debitur, termasuk jika memang degitur melakukan perbuatan melawan hukum pidana yang bisa berakibat terjadi perampasan benda jaminan oleh penegak
hukum. 146 Hal mana juga didukung oleh praktek yurisprodensi, dimana hakim menjatuhkan sita jaminan atas suatu benda milik debitur sebagai pengganti benda jaminan yang sudah tidak ada lagi dalam kekuasaan debitur. 147 Hal mana dapat dilihat dari ; Putusan PN Medan dalam perkara No. 462/Pdt.G/PN.Mdn. antara Bank Internasional Indonesia VS Kwan Pok Keng, Liaw Tjin Hoa dan Ing Tjin San. Terhadap gugatan wanprestasi, maka dengan tidak adanya lagi benda jaminan dalam kekuasaan debitur, maka Hakim memutuskan untuk meletakkan sita jaminan atas sebidang tanah hak guna banguna sebagai pengganti dari benda jaminan yang telah tidak ada. 148 2. Mewajibkan kepada debitur supaya melunasi hutangnya. Hal ini dilakukan apabila debitur tidak bisa menyediakan jaminan pengganti, dan terlebih-lebih lagi bila debitur menurut penilaian perusahaan pembiayaan ada gelagat tidak dapat memenuhi kewajibannya. Hal ini dapat pula dilihat dari Putusan PN Medan dalam Perkara No. 558/Pdt.G/1992/PN.Mdn. antara Bank Dharmala Nugraha Cabang Medan VS CV. Barumun Jaya dan Ridwan. Terhadap gugatan wanprestasi atas perkara di atas, Hakim menghukum dengan menyatakan bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi dan menghukum tergugat (debitur) untuk melunasi hutangnya. 149 Dari kedua putusan tersebut diatas, maka dapat kiranya dikemukakan bahwa
Perusahaan Pembiayaan sebagai kreditur
146 Henry Soebagyo , Op.Cit., hal. 108 147 M. Yahya Harahap, 1990, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Pustaka, Bandung, hal. 98. 148 Henry Soebagyo, Op.Cit, hal. 109 149 Henry Soebagyo, Loc.Cit.
135 dimungkinkan untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap benda jaminan yang tidak lagi dalam kekuasaan debitur. Pemberian perlindungan hukum terhadap penerima fidusia terkait dengan tidak adanya lagi benda jaminan fidusia dalam kekuasaan debitur, menjadi semakin penting untuk diperhatikan mengingat beberapa hal ;
1. Dikaitkan dengan fungsi hukum Hukum
bekerja
dengan
cara
memancangi
perbuatan
seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Untuk
keperluan
pemancangan,
maka
hukum
menjabarkan
pekerjaannya dalam berbafai fungsinya. 150 Theo Huijbers, menyatakan bahwa fungsi hukum itu adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjamin hakhak manusia, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. 151 Suhardjo juga menegaskan bahwa hukum sebagai kaedah mempunyai fungsi sebagai berikut : 1) Hukum yang menjamin kepastian hukum 2) Hukum yang menjamin keadilan sosial
3) Hukum berfungsi pengayom/perlindungan. 152 Fungsi
hukum
sebagai
pengayom
/
perlindunga
150 Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10. 151 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hal. 289. 152 Bachsan Mustafa II, Loc.Cit.
mengandung makna dimana hukum berfungsi mengayomi atua melindungi manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa, serta bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hak-hak pribadinya, yaitu
hak
azasinya,
hak
kebendaannya
maupun
hak
perorangannya. 153 Dengan demikian, hukum sebagai kaedah berfungsi untuk melindungi/mengayomi serta menjamin hak-hak yang dimiliki manusia dalam masyarakat, termasuk hak kebenddaannya. Fidusia sebagai hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan dilindungi oleh hukum, dan hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. 2. Dikaitkan dengan Teori Negara Hukum Teori negara hukum yang paling relevan disini adalah negara hukum modern yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hakhak yang dijamin itu. 2) Badan kehakiman yang bebas (independent and imperial tribunals) 3) Pemilihan umum yang bebas 4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat 5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi 6) Pendidikan kewarganegaraan. 154 Salah satu ciri negara hukum modern adalah adanya jaminan
perlindungan
terhadap
hak-hak
individu
dan
cara
prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang 153
Bachsan Mustafa II, Loc.Cit.
154 Mariam Budihardjo, Loc.Cit.
137 dijamin itu. Jaminan perlindungan terhadap hak-hak individu disini termasuk didalamnya hak kebendaan. 3. Dikaitkan dengan konsepsi hak dan hak kebendaan. Ada berbagai batasan tentang hak kaitannya denganhak kebendaan. Dalam pengertian hukum yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, dan kepentingan adalah tuntutan yang diharpakan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. 155 Bachsan
Mustafa
memberikan
definisi
hak
adalah
kekuasaan, dan kekuasaan itu dapat dipertahankan terhadap setiap orang, artinya setiap orang harus mengakui, menghormati dan mengindahkan kekuasaan itu. 156 Hak senantiasa berhubungan dan berhadapan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan kaedah, tetapi merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individu disatu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lawan. Hak dan kewajiban merupakan kewenangan yang diberika kepada seseorang oleh hukum. 157 Menurut Saut P. Panjahitan, hak adalah peran yang boleh tidak dilaksanakan (bersifat fakultatif), sedangkan kewajiban merupakan peranan yang harus dilaksanakan (besifat imperatif). 158 155 Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit. 156 157 158
Bachsan Mustafa II, Loc.Cit. Ishaq, Op.Cit., hal. 82. Saut P.Panjahitan, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Azas, Pengertian,
J.B. Daliyo menyatakan : Hak adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum obyektif kepada subyek hukum, dan kewajiban adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada orang ataupun badan hukum, seperti kewajiban pengusaha yang berbadan hukum untuk membayar pajak penghasilan. 159 Diantara macam hak ada yang namanya hak kebendaan. Bila dicermati apa yang telah dikemukakan di atas, hak kebendaan tersebut ada yang bersifat memberikan jaminan. Adapun hak kebendaan
yang
bersifat
memberikan
jaminan
(zakelijkzekerheidsrecht) diatur dalam gadai, hipotik, UndangUndang No. 42 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dan UndangUndang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 160 Dengan hak kebendaan ini kedudukan kreditur (penerima jaminan) dijamin pelunasan piutangnya. Biasanya dalam praktek hukum manakala diantara para pihak melakukan perikatan, agar pihak kreditur mendapatkan ekstra perlindungan hukum, selalu ditimbulkan dengan perjanjian tambahan yang berupa perjanjian jaminan kebendaan yang menimbulkan hakhak kebendaan, agar semakin kuat kedudukan kreditur tersebut. 161 Fidusia merupakan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan, memberikan kekuasaan langsung terhadap benda jaminan, dan hak mana dilindungi oleh hukum serta dapat dipertahankan dan Sistematika), Universitas Sriwidjaja, Palembang, hal. 81. 159 J.B. Daliyo, dkk., 1994, Pengantar Ilmu Hukum Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 32, dan 34. 160 Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan. Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hal. 50. 161 Ibid.
139 kepada siapapun juga. Dengan konstruksi seperti itu, makaperusahaan pembiayaan
sebagai
pemegang/penerima
hak
jaminan
fidusia
dilindungi oleh sistem hukum atau kekuasaannya terhadap benda jaminan fidusia. Selain itu, sesuai dengan sifat-sifat hak kebendaan, maka fidusia sebagai lembaga jaminan kebendaan mempunyai hak preferen (hak didahulukan/diutamakan). Hak preferen ini dimiliki oleh perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia dalam pelunasan piutangnya yang diambil dari barang jaminan fidusia apabila debitur wanprestasi.