BAB II ASPEK HUKUM PIDANA PADA PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA
A. Aspek Hukum Perdata Pada Jaminan Fidusia 1. Sejarah Lahirnya Jaminan Fidusia Fidusia sebagai lembaga jaminan sudah lama dikenal dalam masyarakat Romawi, pada mulanya lembaga jaminan ini tumbuh dan hidup dalam hukum kebiasaan. Berdasarkan pertautan sejarah, lembaga jaminan fidusia awalnya diatur dalam yurisprudensi dan kini telah mendapat pengakuan dalam Undang-Undang. Fidusia merupakan lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang bereksistensi dan berkembang dalam sistem hukum civil law. 64 Perkembangannya, ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau yaituFiducia cum creditore yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas sutau benda kepada kreditor sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila utangnya sudah dibayar lunas. 65
64
Tan Kamelo, Op.Cit., hal. 35-36 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 119-120
65
36 Universitas Sumatera Utara
Timbulnya Fiducia cum creditore ini disebabkan kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan. Pada waktu itu dirasakan adanya suatu kebutuhan mengenai hukum jaminan namun belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki oleh kreditor akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitor percaya bahwa kreditor tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja bukan berdasarkan kekuatan hukum. Debitor tidak dapat berbuat apapun jika kreditor tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum jaminan fidusia yang kita kenal sekarang. 66 Karena adanya kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan, fidusia menjadi terdesak bahkan akhirnya hilang sama sekali dari Hukum Romawi. Jadi fidusia timbul karena memang ada kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan dan kemudian lenyap karena dianggap tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Masyarakat romawi pada waktu itu menganggap bahwa gadai dan hipotek dianggap lebih sesuai karena adanya aturan tertulis sehingga lebih memberi kepastian hukum. Gadai dan hipotek juga memberikan hak-hak yang seimbang antara kreditor dan debitor. Demikian pula hak-hak dari pihak ketiga akan lebih terjamin kepastiannya karena ada aturannya pula. 67
66
Ibid., hal. 120 Ibid., hal. 120-121
67
Universitas Sumatera Utara
Gadai merupakan hak jaminan yang diatur dalam Pasal 1150 KUHPerdata. Menurut Pasal 1150 KUHPerdata, gadai merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas hutangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian bahwa biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan. 68 Sementara menurut Pasal 1162 KUHPerdata, Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, tujuannya untuk mengambil pengantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Hipotek, seperti halnya gadai, merupakan suatu hak yang bersifat accesoir karena mengikuti suatu perikatan pokok yang telah ada antara kreditur dan debitur, yang berupa utang-piutang. Akan tetapi, hipotek tidak dapat dibebankan pada benda bergerak, Pasal 1167 KUHPerdata secara tegas melarangnya. Objek dari Hipotek dengan demikian hanyalah benda tidak bergerak seperti yang ditentukan dalam Pasal 1164 KUHPerdata. 69 Kemudian selain dikenal jaminan fiducia cum creditore, dikenal pula jaminan titipan yang disebut dengan Fiducia Cum amico Contracto yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan teman. Jaminan ini pada dasarnya sama dengan arti “trust”
yaitu percaya sebagaimana dikenal dalam sistem hukum
68
H. Salim HS, Op.Cit., hal. 33 Oey Hoey Tiong, Op.Cit., hal. 20
69
Universitas Sumatera Utara
“Common Law”. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada temannya dengan janji bahwa teman tersebut akan mengembalikkan kepemilikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari perjalannya. Dalam Fiducia cum amico contracto ini kewenangan diserahkan kepada pihak penerima akan tetapi kepentingan tetap ada pada pihak pemberi. 70 Perkembangan jaminan fidusia selanjutnya adalah ketika Hukum Belanda merepsi Hukum Romawi, namun pada saat itu Fidusia sudah lenyap maka fidusia tidak ikut diresepsi. Itulah sebabnya mengapa dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda tidak ditemukan pengaturan tentang fidusia begitu juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang menganut asas konkordasi, tidak ditemukan pengaturan tentang fidusia. 71 Perkembangan yang terjadi di Belanda, yaitu dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, jaminan yang diatur adalah gadai untuk barang bergerak dan hipotek untuk barang tidak bergerak. Pada mulanya kedua jaminan dirasakan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang perkreditan. Tetapi dengan terjadinya krisis pertanian yang melanda negara-negara Eropa pada pertengahan sampai akhir abad ke-19, terjadi penghambatan pada perusahaan-perusahaan pertanian untuk memperoleh kredit. Pada waktu itu tanah sebagai jaminan kredit agak kurang populer, dan kreditor menghendaki jaminan gadai sebagai jaminan tambahan disamping jaminan tanah 70
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., 119-120 Ibid.
71
Universitas Sumatera Utara
tadi. Dengan menyerahkan alat-alat pertaniaannya sebagai jaminan gadai dalam pengambilan kredit rasanya sama saja dengan bunuh diri. Apalah artinya kredit yang diperoleh kalau alat-alat pertanian yang dibutuhkan untuk mengolah tanah sudah berada dalam penguasaan kreditor. Terjadilah perbedaan kepentingan antara kreditor dan debitor yang cukup menyulitkan kedua pihak. Untuk melakukan gadai tanpa penguasaan terbentur pada ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata yang melarangnya. 72 Dengan adanya berbagai kelemahan diatas, dalam praktik timbul lembaga baru, yaitu Fidusia. Pada awal perkembangannya sebagaimana yang terjadi di Negeri Belanda mendapat tantangan yang keras dari Yurisprudensi karena dianggap menyimpang (wetsontduiking) dari ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata yaitu tidak memenuhi syarat tentang harus adanya causa yang diperkenankan. Namun, dalam perkembangannya arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 mengakui sahnya figur fidusia. Arrest ini terkenal dengan
Bierbrouwerij Arrest yang berisi pertimbangan yang diberikan oleh
Hooge Raad lebih menekankan kepada segi hukumnya dari segi kemasyarakatan. Hooge Raad berpendapat perjanjian fidusia bukanlah perjanjian gadai dan tidak terjadi penyimpangan hukum. 73 P.A Stein yang dikutip oleh H.Salim dalam bukunya, berpendapat bahwa Dengan adanya sejumlah Arrest dari Hooge Raad yang mengakui adanya lembaga fidusia, maka tiada ragu tentang sahnya lembaga tersebut dimana Hooge Raad
72
Ibid, hal. 122 Ibid.,
73
Universitas Sumatera Utara
memberikan keputusan-keputusan dan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut 74 : 1. Fidusia tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang mengenai gadai karena disitu tidak dilakukan perjanjian gadai; 2. Fidusia tidak bertentang dengan ketentuan Undang-Undang mengenai hak jamina bersama bagi kreditur, karena ketentuan mengenai hal tersebut berlaku bagi semua benda-benda bergerak maupun benda tetap dari debitur, sedang fidusia justru bendanya bukan haknya debitur; 3. Dari ketentuan mengenai gadai sama sekali tidak dapat disimpulkan adanya maksud pembentuk Undang-Undang bahwa sebagai jaminan hutang hanya dimungkinkan benda-benda bergerak yang tidak boleh berada pada tangan debitur; 4. Fidusia merupakan alas hak untuk perpindahan hak milik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 639 BW (Pasal 584 KUHPerdata); 5. Namun demikian, kemungkinna perpindahan hak tersebut sematamata hanya dimaksudkan sebagai pemberian jaminan, tanpa penyerahan nyata dari barangnya, dan perpindahan hak demikian tidak memberikan semua akibat-akibat hukum sebagaimana yang berlaku pada perpindahan hak milik yang normal. Di Indonesia, lembaga Fidusia lahir berdasarkan Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 (BPM-Clynet Arrest). Lahirnya Arrest ini karena pengaruh asas konkordansi. Lahirnya Arrest ini dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dari pengusaha-pengusaha kecil, pengecer, pedagang menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit untuk usahanya. Perkembangan perundang-undangan fidusia pada saat itu sangat lambat, karena undang-undang yang mengatur tentang jaminan fidusia baru diundangkan pada tahun 1999, berkenaan dengan bergulirnya era reformasi. 75 Seiring dengan perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak.
74
H.Salim HS, Op.Cit., hal. 59-60 Ibid., hal. 60
75
Universitas Sumatera Utara
Pada Zaman Romawi dulu, Kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja. Tidak hanya sampai disitu, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai objek fidusia ini, baik Hooge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak. Namun dalam praktek kemudian orang sudah menggunakan fidusia untuk barang-barang tidak bergerak. 76 Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah tetapi dengan lahirnya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia maka jelas bahwa objek Jaminan Fidusia meliputi benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan hak-hak atas tanah yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. 77
76
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 127-128 Ibid., hal. 128
77
Universitas Sumatera Utara
2. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Dengan Hak Kebendaan a. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Dengan Hak Kebendaan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu “Zekerheid” atau “Cautie”. “Zekerheid” atau “Cautie” mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggung jawaban umum debitur terhadap barang-barangnya. 78 Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman, Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali hubungannya dengan hukum benda-benda. 79 Pada dasarnya keberadaan jaminan merupakan prasyarat untuk memperkecil risiko kreditur dalam penyaluran kredit. Sebagai langkah antisipatif dalam menarik kembali kredit atau pembiayaan yang telah diberikan kepada debitur. Dengan demikian, jaminan hendaknya dipertimbangkan dua faktor, yaitu 80 : 1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundangundangan. Jika kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.
78
H. Salim HS, Op.Cit., hal. 21 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai, dan Fidusia, Alumni, Bandung, 1987, hal. 227 – 265 80 Johannes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 71. 79
Universitas Sumatera Utara
2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur. keberadaan jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Keberadaan jaminan dapat memberikan manfaat baik bagi kreditur maupun debitur. Bagi debitur, dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank maupun lembaga pembiayaankonsumen dan tidak khawatir dalam pengembangan usaha yang dijalankannya, karena sudah tersedia modal yang memadai sesuai dengan kebutuhannya. Dengan modal yang diperoleh melalui fasilitas kredit itu debitur dapat menjalankan bisnisnya dengan lancar. Sedangkan manfaat jaminan bagi kreditur, mencakup 81 : a. Terwujudnya keamanan transaksi dagang yang ditutup b. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur. Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Apabila debitur tidak mampu dalam pengembalian pokok kredit dan bunga, maka bank dapat melakukan eksekusi terhadap benda jaminan. Ada 5 (lima) azas penting dalam hukum jaminan, yaitu 82 : 1. Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini
81
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti,Bandung, 1996,
hal. 31. 82
H. Salim HS, Op.Cit., hal. 9
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. 2. Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu; 3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan,hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. 4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai; 5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dan yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai. Jaminan terbagi atas 2 (dua) golongan, yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan perorangan(Borgtoch/Personal guarantiee) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur, apabila debitur yang bersangkutan cidera janji atau Wanprestasi. 83Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului diatas 83
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2007, hal. 3334.
Universitas Sumatera Utara
benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Jaminan kebendaan ini menurut sifatnya dibagi menjadi : 84 1) jaminan dengan benda berwujud, berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak, 2) jaminan dengan benda tidak berwujud yang dapat berupa hak tagih. Kebendaan merupakan suatu istilah dalam ilmu hukum yang berkonotasi secara langsung dengan istilah “benda”. Benda atau kebendaan atau zaak menunjuk pada sesuatu yang dapat dimiliki. Hukum tentang kebendaan ini diatur dalam Buku II KUHPerdata. Dalam Buku II KUHPerdata, benda atau kebendaan dapat dibedakan kedalam : 85 1. Kebendaan berwujud dan tidak berwujud 2. Kebendaan bergerak dan tidak bergerak 3. Kebendaan yang habis dipakai (Vebruikbaar) dan kebendaan yang tidak habis dipakai (onverbruikbaar) Ilmu hukum juga membedakan kebendaan kedalam kebendaan yang sudah ada dan kebendaan yang akan ada. Meskipun dalam rumusan Pasal 503 KUHPer dikatakan secara tegas bahwa tiap-tiap kebendaan adalah berwujud atau tidak berwujud,
namun
tidak
ditemukan
secara
pasti
apa
yang dinamakan
84
H.Salim HS, Op.Cit., Hal.23-25 Herowati Poesoko, Op.Cit., hal. 53
85
Universitas Sumatera Utara
dengankebendaan yang tidak berwujud. Hanya ada 4 Pasal dalam KUHPer yang menyebut istilah kebendaan tidak berwujud, yaitu : 86 1. Pasal 613 yang mengatur tentang pemindahan hak milik atas kebendaan tidak berwujud 2. Pasal 814 mengenai hak memungut hasil atau bunga 3. Pasal 1158 tentang gadai atas piutang 4. Pasal 1164 tentang hipotek atas hak-hak tertentu Dari rumusan-rumusan dalam pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan kebendaan tidak berwujud adalah hak-hak, termasuk didalamnya yang diatur dalam Pasal 508 KUHPer yaitu kebendaan tidak berwujud yang termasuk ke dalam kebendaan tidak bergerak dan Pasal 511 KUHPerdata, Kebendaan tidak berwujud yang termasuk ke dalam kebendaan bergerak. 87 Berdasarkan hal yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Jaminan kebendaan ialah Jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu dari debitur atau pihak ketiga sebagai penjamin, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan. Jaminan kebendaan ini selain dapat diadakan antara kreditur dengan debiturnya juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang atau debitur sehingga hak kebendaan ini memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya. Jaminan kebendaan lahir dan bersumber pada
86
Ibid, hal. 55 Ibid.
87
Universitas Sumatera Utara
perjanjian. Jaminan ini ada karena diperjanjikan antara kreditur dengan debitur. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa fidusia tergolong jaminan kebendaan karena merupakan perjanjian antara kreditur dan debitur yang berhubungan langsung dengan benda. Jaminan kebendaan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan yaitu 88 : 1) Jaminan benda tidak bergerak Yang termasuk dalam kategori jaminan benda tidak bergerak yaitu : a) Tanah (dengan atau tanpa bangunan dan tanaman diatasnya) b) Mesin dan peralatan yang melekat pada tanah dan bangunan, dan merupakan satu kesatuan dengan tanah dan bangunan tersebut c) Bangunan rumah atau hak milik atas rumah susun bilamana tanahnya berstatus hak milik atau hak guna bangunan. 2) Jaminan benda bergerak Jaminan benda bergerak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a) Benda berwujud Contoh benda berwujud misalnya Kendaraan bermotor, Mesinmesin, Kapal laut dan kapal terbang yang telah terdaftar, Persediaan barang. b) Benda tidak berwujud Contoh benda tidak berwujud yaitu Wesel , Sertifikat deposito, Obligasi, Saham dan sebagainnya.
88
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal.176-177
Universitas Sumatera Utara
Pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak memiliki arti yang penting dalam menentukan jenis lembaga jaminan mana yang dapat digunakan untuk pengikatan perjanjian kredit. Jika benda jaminan berupa benda bergerak maka dapat digunakan lembaga jaminan yaitu gadai dan fidusia. Sedangkan jikabenda jaminan merupakan benda tidak bergerak maka lembaga jaminannya adalah hipotik atau hak tanggungan. 89 Terhadap apa yang dikemukakan di atas, maka Jaminan Fidusia sebagai Jaminan Kebendaan dipertegas dalam Pasal 1 angka (2) UUJF. “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.” Dari ketentuan tersebut, maka kita dapat mengetahui apa yang menjadi subyek dan obyek jaminan fidusia. Namun, sebelum menyimpulkan apa yang menjadi subyek dan obyek dari jaminan fidusia, maka kita harus mengetahui pengertian dari subyek dan obyek itu sendiri. Subyek Hukum atau Subject van een recht , yaitu orang yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainnya. Sedangkan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum yakni tindak seeorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan
89
H. Salim HS, Op.Cit., hal. 27
Universitas Sumatera Utara
hubungan hukum, yaitu, akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita, yang oleh karenannya memberikan dan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada masing-masing pihak. 90 Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasi oleh subyek hukum. Dalam hal ini tentunya sesuatu itu mempunyai harga dan nilai, sehingga memerlukan penentuan siapa yang berhak atasnya, seperti benda-benda bergerak ataupun tidak bergerak yang memiliki nilai dan harga, sehingga pengguasaanya diatur oleh kaidah hukum. 91Telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa sebelum berlakunya UUJF, maka yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor. Tetapi dengan berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka obyek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas. Berdasarkan undang-undang ini, obyek jaminan fidusia dibagi menjadi dua macam, yaitu : 92 1. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. 2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan. Yang dimaksud dengan bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan yaitu kaitannya dengan bangunan rumah susun,
90
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan ke-XVI, Jakarta, 2013, hal. 128 91 Ibid, hal. 131 92 H.Salim HS, Op.Cit., Hal. 64
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Subyek dari Jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia. 93 Setelah mengetahui subyek dan obyek dari jaminna fidusia, maka selanjutnya kita harus mengetahui asas-asas yang terdapat dalam jaminan fidusia. Dalam UUJF, pembentuk undang-undang tidak mencantumkan dengan tegas asaasas hukum jaminan fidusia yang menjadi dasar pembentukan norma hukumnya, tetapi kita dapat menemukan dan mencari asas asas tersebut dalam pasal-pasal dari UUJF. Adapun asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam UUJF adalah 94 : 1) Asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 UUJF. 2) Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Dalam ilmu hukum, asas ini disebut dengan droit de suite atau zaaksgevolg.
93
Ibid., Tan Kamelo, Op.Cit., hal.159
94
Universitas Sumatera Utara
3) Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoritas. Ditemukan dalam Pasal 4 UUJF. 4) Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada. Ditemukan dalam Pasal 7 UUJF 5) Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Ditemukan dalam Pasal 9 UUJF 6) Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan atau rumah yang terdapat diatas tanah milik orang lain. 7) Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan. Ditemukan dalam Pasal 6 UUJF. 8) Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. 9) Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas publikasi. Ditemukan dalam Pasal 12 UUJF. 10)
Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak
dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. Dalam ilmu hukum disebut asas pendakuan. Ditemukan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUJF.
Universitas Sumatera Utara
b. Pembebanan Jaminan Fidusia Pembebanan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10 UUJF. Pembebanan jaminan fidusia dilakukan dengan cara berikut ini 95 : 1) Dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Akta jaminan sekurang-kurangnya memuat : a) Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia; b) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; c) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; d) Nilai penjaminan e) Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia; 2) Utang yang pelunasannya dijaminkan dengan jaminan fidusia adalah: a) Utang yang telah ada. b) Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. c) Utang yang pada utang eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan
perjanjian
pokok
yang
menimbulkan
kewajiban
memenuhi suatu prestasi. Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia. Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Pembebanan
95
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal.135-137
Universitas Sumatera Utara
jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri, kecuali diperjanjikan lain, seperti 96: (1) Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia (2) Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan. Substansi perjanjian fidusia telah dibakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pemberi fidusia. Akta yang telah dibakukan oleh pemerintah tersebut bertujuan untuk melindungi nasabah yang ekonominya lemah. Hal-hal yang diatur dalam substansi akta pembebanan fidusia meliputi halhal sebagai berikut: 97 1. Tanggal dibuatnya akta pembebanan fidusia 2. Para pihak, yaitu pemberi dan penerima fidusia 3. Objek fidusia. Objek ini tetap berada pada pemberi fidusia 4. Asuransi objek fidusia 5. Pendaftaran fidusia 6. Perselisihan 7. Biaya pembuatan akta, biasanya dibebankan kepada pemberi fidusia 8. Saksi-saksi 9. Tanda tangan para pihak.
96
Yurizal, Op.Cit., hal.30 H.Salim HS,Op.Cit.,hal. 79
97
Universitas Sumatera Utara
c. Pendaftaran Jaminan Fidusia Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 UUJF dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 11 UUJF ditentukan bahwa benda, baik berada dalam wilayah Negara Republik Indonesia maupun berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia yang dibebani Jaminan fidusia wajib didaftarkan. Sebelum berlakunnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, maka mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan. Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan , Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan pada kantor pendaftaran fidusia. Pada mulanya kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah RI. Seiring berjalannya waktu, Kantor Pendaftaran Fidusia telah dibentuk pada setiap provinsi di Indonesia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Namun, dengan tidak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan tersebut dan diganti menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan, maka
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa permohonan pendaftaran jaminan fidusia diajukan melalui sistem pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik melalui website https://ahu.go.id/. 98 Tujuan Pendaftaran Jaminan Fidusia adalah 99 : 1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dalam perjanjian jaminan tersebut. 2. Memberikan hak yang didahulukan (freferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditor yang lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak kepada penerima fidusia untuk tetap menguasai bendanya yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan. Prosedur dalam pendaftaran jaminan fidusia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 UUJF dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia Yang diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 10, yaitu : 1. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa, atau wakilnya kepada Menteri. Permohonan itu diajukan melalui sistem secara elektronik.Permohonan pendaftaran diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta. Permohonan pendaftaran itu memuat : 98 99
Ibid., hal.82 Ibid, hal. 82-83
Universitas Sumatera Utara
a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia b. Tempat, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia d. Uraian mengenai objek benda jaminan yang menjadi objek jaminan fidusia e. Nilai penjaminan f. Nilai benda yang menjadi objek benda jaminan fidusia. Setelah permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan dan telah memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan diatas, maka akan memperoleh bukti pendaftaran. 2. Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Aktadijelaskan bahwa bukti pendaftaran paling sedikit memuat : a. Nomor Pendaftaran b. Tanggal pengisian aplikasi c. Nama pemohon d. Nama Kantor Pendaftaran Fidusia e. Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia 3. Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintan Nomor 21 Tahun 2015 Pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia dilakukan melalui bank persepsi berdasarkan bukti pendaftaran, kemudian pendaftaran jaminan
Universitas Sumatera Utara
fidusia dicatat secara elektronik setelah pemohon melakukan pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia 4. Sertifikat jaminan fidusia ditandatangani secara elektronik oleh Pejabat pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia adalah : 100 a. Dalam judul sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.” Sertifikat jaminan ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. b. Didalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan hal-hal berikut ini : 1) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia 2) Nilai penjaminan 3) Nilai benda yang menjadi objek benda jaminan fidusia 5. Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Mengatakan bahwa Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal jaminan fidusia dicatat. Pasal 8 menjelaskan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia dapat dicetak pada tanggal yang sama dengan tanggal Jaminan Fidusia dicatat. Apabila terjadi kekeliruan penulisan dalam sertifikat
100
Ibid., hal. 85
Universitas Sumatera Utara
jaminan fidusia yang telah diterima oleh pemohon, dalam jangka waktu 30 hari setelah menerima sertifikat tersebut, pemohon memberitahukan kepada Menteri untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Sertifikat perbaikan memuat tanggal yang sama dengan tanggal sertifikat semula. Disamping itu, bahwa sertifikat jaminan fidusia tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan terhadap substansi. Yang dimaksud dengan perubahan substansi antara lain perubahan objek jaminan fidusia berikut dokumen terkait, perubahan penerima jaminan fidusia, perubahan perjanjian pokok yang dijamin fidusia, dan perubahan nilai jaminan. apabila terjadi hal itu, prosedur yang ditempuh untuk mengadakan perubahan substansi, disajikan berikut ini 101 : a. Penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada menteri, hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. b. Permohonan perubahan sertifikat jaminan fidusia yang telah memenuhi ketentuan memperoleh bukti pendaftaran. Setelah bukti pendaftaran diterima, pemohon melakukan pembayaran biaya permohonan perubahana sertifikat jaminan fidusia melalui bankk persepsi berdasarkan bukti pendaftaran. Pendaftaran perubahan sertifikat jaminan fidusia dicatat setelah pemohon melakukan
101
Ibid., hal.86
Universitas Sumatera Utara
pembayaran. Kemudian sertifikat perubahan atas sertifikat jaminan fidusia dapat dicetak pada tanggal yang sama dengan tanggal permohonan perubahan sertifikat jaminan fidusia setelah pembayaran biaya permohonan dilakukan. Ketentuan mengenai Perubahan sertifikat jaminan fidusia ini diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
c. Eksekusi Jaminan Fidusia Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UUJF. Yang dimaksud dengan eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia ini adalah karena debitur atau pemberi fidusia cedera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia, walaupun mereka telah diberikan somasi. Ada 4 cara eksekusi benda jaminan fidusia, yaitu : 102 1. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia. Yang dimaksud dengan titel eksekutorial, yaitu tulisan yang mengandung pelaksanaan putusan pengadilan yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang sita (executorial verkoop) tanpa perantara Hakim;
102
Ibid., hal.89-90
Universitas Sumatera Utara
2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; 3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga yang tertinggi yang menguntungkan para pihak. Penjualan ini dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, hal ini diatur dalam Pasal 29 UUJF Untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, maka pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Apabila benda yang menjadi objek jaminan fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada dua kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang jaminan fidusia, yaitu: 103 1. Hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia;
103
Ibid., hal. 90
Universitas Sumatera Utara
2. Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur atau pemberi fidusia tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar. Ada 2 janji yang dilarang dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia, yaitu : 104 1. Janji melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan Pasal 29 UUJF 2. Janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cedera janji. Kedua macam perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada. d. Hapusnya Jaminan Fidusia Sebagai perjanjian yang bersifat accesoir maka kemungkinan yang paling besar untuk hapusnya fidusia adalah karena hapusnya piutang pokok yang dijamin dengan fidusia itu. Hal ini berarti bahwa dengan dipenuhinya perutangan pokok, maka perjanjian fidusia otomatis putus dan debitor karena hukum otomatis akan menjadi milik kembali dari benda yang diserahkan. Maka penyerahan kembaliatas
104
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
hak milik tersebut kepada debitor tidak diperlukan. Kemungkinan lain untuk hapusnya fidusia ialah karena musnahnya benda, karena adanya pelepasan hak. 105 Selanjutnya fidusia juga hapus karena adanya kepailitan, artinya jika terjadi kepailitan di pihak debitor, benda jaminan harus dijual dimuka umum, kemudian hasilnya
setelah
diperhitungkan
dengan
piutangnya,
sisanya
harus
dipertanggungjawabkan kepada Kantor Kepailitan, jadi tidak dikembalikan kepada debitor. 106 Dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dalam Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia diatur mengenai penyebab hapusnya Jaminan fidusia. Jaminan Fidusia hapus setelah hal-hal sebagai berikut : 1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia 2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima Fidusia 3) Musnahnya benda yang objek jaminan fidusia Ketiga alasan yang menjadi dasar hapusnya jaminan fidusia adalah sesuai dengan sifat ukuran dari jaminan fidusia. Adanya jaminan fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang hapus karena hapusnya utang atau pelepasan utang maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan menajdi hapus. Dalam hal musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia maka klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan
105
Yurizal, Op.,Cit, Hal.35 Ibid, hal. 36
106
Universitas Sumatera Utara
fidusia tersebut. Tindak lanjut atas hapusnya jaminan fidusia adalah sebagai berikut : 107 1) Penerima fidusia memberitahukan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lama 14 hari terhitung sejak tanggal hapusnya jaminan fidusia, hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (2) PP No. 21 Tahun 2015, pemberitahuan penghapusan Jaminan Fidusia paling sedikit memuat: a) Pernyataan mengenai hapusnya utang pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. b) Nomor dan tanggal sertifikat Jaminan fidusia. c) Nama dan tempat kedudukan notaris d) Tanggal hapusnya jaminan fidusia 2) Didalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa Berdasarkan pemberitahuan penghapusan, jaminan fidusia dihapus dari daftar jaminan fidusia dan diterbitkan keterangan penghapusan yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi. Jika penerima fidusia, kuasa atau wakilnya tidak memberitahukan penghapusan jaminan fidusia maka jaminan fidusia yang bersangkutan tidak dapat didaftarkan kembali
107
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
3. Pelanggaran-Pelanggaran Perjanjian Jaminan Fidusia dalam Hukum Perdata serta Penyelesainnya a. Pelanggaran-Pelanggaran Perjanjian Jaminan Fidusia dalam Hukum Perdata Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dalam implementasinya masih terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh pihak kreditur (penerima fidusia) maupun oleh pihak debitur (pemberi fidusia), Adapun pelanggaran-pelanggaran yang terdapat dalam perjanjian jaminan fidusia dalam hukum perdata yaitu : 1. Kreditur tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Setiap benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Adapun pihak yang wajib mendaftarkan adalah pihak penerima fidusia (kreditur) atau kuasa atau wakilnya. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) UUJF terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak berlaku, dengan kata lain untuk berlakunya ketentuanketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia maka harus dipenuhi bahwa benda jaminan fidusia itu didaftarkan. Kreditur yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bisa menikmati keuntungan-keuntungan dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang jaminan fidusia seperti misalnya hak preferen atau hak didahulukan. 108
108
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.242-243
Universitas Sumatera Utara
Dalam
Peraturan
No.130/PMK/010/2012 melakukan
pembiayaan
Menteri
disebutkan konsumen
Keuangan bahwa untuk
Republik
perusahaan kendaraan
Indonesia
pembiayaan bermotor
yang dengan
pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia tersebut paling lama 30 hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. Perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor sebelum diterbitkan sertifikat jaminan. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi secara bertahap berupa 109 : a) Peringatan, diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari kalender. Jika sanksi peringatan belum
berakhir tetapi
perusahaan pembiayaan memenuhi ketentuan sesuai Permenkeu RI No. 130/PMK.010/2012 maka Menteri Keuangan mencabut sanksi peringatan. b) Pembekuan kegiatan usaha, diberikan jika masa berlaku sanksi peringatan telah berakhir tetapi perusahaan pembiayaan belum memenuhi ketentuan sesuai Permenkeu RI No.130/PMK/010/2012. Masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha adalah 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. Jika sebelum masa berlaku pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. Jika sebelum masa berlaku pembekuan kegiatan usaha
109
Yurizal, Op., Cit., hal. 89-91
Universitas Sumatera Utara
berakhir, perusahaan pembiayaan memenuhi kewajibannya, maka Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. c) Pencabutan izin usaha, dilakukan jika sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha perusahaan pembiayaan tidak memenuhi ketentuan Permenkeu RI No. 130/PMK. 010/2012. Konsekuensi lain dengan tidak didaftarkannya suatu obyek jaminan fidusia adalah apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak bisa langsung melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia namun harus menempuh gugatan secara perdata di pengadilan berdasarkan ketentuan KUHPer. Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka baru dapat dimintakan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia. 110 Lain halnya apabila Pendaftaran fidusia dilakukan setelah debitur wanprestasi.Prakteknya, Perusahaan Pembiayaan cenderung membuat dan mendaftarkan akta Jaminan Fidusia setelah debitur dianggap bermasalah, sehingga nantinya eksekusi atau penarikan benda jaminan seolah-olah sudah sah menurut hukum.Padahal pada masa sekarang telah didukung dengan tata cara pendaftaran Fidusia yang melalui sistem Online dan tidak melalui pencatatan dan pemeriksaan manual, maka hal itu membuat Perusahaan Pembiayaan atau Kreditur dengan mudahnya menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia. Pada persoalan yang
lain banyak Perusahaan Pembiayaan yang melaksanakan
Pendaftaran Fidusia namun tetapi sudah lewat waktu (daluwarsa) misalnya 110
Unan Pribadi, Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia, http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah, Kepala Sub Bidang Pelayanan Hukum Umum Kanwil Kementerian Hukum dan HAMDIY, diakses pada hari Kamis, 01 Desember 2016, Pukul 08:46. WIB.
Universitas Sumatera Utara
setelah Perjanjian pembiayaan dibuat Perusahaan baru mendaftarkan Jaminan Fidusia
3 (Tiga) bulan kemudian. Maka hal ini tidak dapat dibenarkan dan
cenderung pada tindakan akal-akalan. 111
2. Kreditur melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia tidak sesuai ketentuan Pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia. Apabila debitur wanprestasi dengan tidak melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan, maka dapat dilakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan guna pelunasan utang tersebut. Mengenai cara melakukan eksekusi telah diatur dalam Pasal 29 UUJF. Dikarenakan dalam sertifikat jaminan fidusia terdapat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal eksekusi dilakukan dengan penjualan di bawah tangan maka boleh dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan minimal dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Prosedur inilah yang sering dilanggar oleh lembaga pembiayaan (finance) dalam melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan. Biasanya Finance akan menggunakan jasa debt collector yang langsung mendatangi debitor dan mengambil kendaraan obyek jaminan dan 111
Yunus Syalham, Penyalahgunaan Kekuatan Eksekusi Pada Jaminan Fidusia, http://adilindonesia.blogspot.co.id/2014/05/penyalahgunaan-kekuatan-eksekusi-pada.html,Direktur Organisasi Bantuan Hukum Adil Indonesia Purworejo-Jawa Tengah. Diakses hari pada Kamis, tanggal 01 Desember 2016, Pukul 20.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
kemudian oleh finance akan menjualnya kepada pedagang yang sudah menjadi relasinya. Hasil penjualan tidak diberitahukan kepada debitur apakah ada sisa atau masih ada kekurangan dibandingkan dengan hutang debitur. 112 Terhadap eksekusi yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 berakibat eksekusi tidak sah sehingga pihak pemberi fidusia (debitur) dapat menggugat untuk pembatalan 113. Dalam praktiknya tidak jarang kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakantersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan dapat digugat ganti kerugian.
114
b. Mekanisme penyelesaian pelanggaran perjanjian jaminan fidusia dalam aspek perdata Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses yaitu proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan kemudian 112
H.Salim HS, Op.Cit., hal.90 Unan Pribadi, Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia, http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah, Kepala Sub Bidang Pelayanan Hukum Umum Kanwil Kementerian Hukum dan HAMDIY, Diakses pada hari Kamis, 01 Desember 2016, Pukul 08:46. WIB. 114 Pulung Widhi, Akibat Hukum Jaminan yang Belum Didaftarkan, http://kantorhukumkalingga.com/2016/08/29/akibat-hukum-jaminan-fidusia-yang-belumdidaftarkan-2/, Pengacara di Kantor Hukum Kalingga Semarang, Diakses pada tanggal 02 Desember 2016, Pukul. 21.54 WIB. 113
Universitas Sumatera Utara
berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama di luar pengadilan. Penyelesaian pelanggaran jaminan fidusia di Indonesia pada dasarnya telah tercantum di dalam akta pembebanan jaminan fidusia. Menurut Salim, pada umumnya didalam akta pembebanan tidak diatur penyelesaian sengketa dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR) tetapi biasanya yang diatur dalam akta pembebanan jaminan fidusia adalah penyelesaian sengketa secara litigasi, yaitu perkara yang timbul diselesaikan oleh pengadilan. 115 Litigasi sebagai penyelesaian sengketa di pengadilan mempunyai suatu keuntungan dan kelemahan. Adapun yang menjadi keuntungan dan Kekurangan menggunakan litigasi dalam penyelesaian sengketa, yaitu: 116 a. Keuntungan menggunakan Litigasi: 1) Dalam mengambil alih keputusan para pihak, litigasi sekurangkurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial. 2) Litigasi sangat baik sekali untuk menemukan kesalahan-kesalahan dan masalah-masalah dalam posisi pihak lawan 3) Litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan. 4) Litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi. 115
H.Salim HS, Op.Cit., hal.79. ADR merupakan istilah yang pertama kali dimunculkan di Amerika Serikat. ADR diartikan dengan pengelolaan konflik secara kooperatif. Sesungguhnya ADR merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara damai. 116 Ibid., hal.80
Universitas Sumatera Utara
5) Dalam
sistem
masyarakat
litigasi
para
hakim
menerapkan
nilai-nilai
yang terkandung dalam hukum menyelesaikan
sengketa. b. Kekurangan menggunakan litigasi adalah : 1) Litigasi memaksakan para pihak pada posisi ekstrim. 2) Memerlukan pembelaan (advocasy) atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi putusan. 3) Litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, apakah persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrim dan seringkali marginal. 4) Proses litigasi menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan. 5) Fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, para pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka yang sebenarnya. 6) Litigasi tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan para pihak yang bersengketa. 7) Litigasi tidak cocok untuk sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak
persoalan
dan
beberapa
kemungkinan
alternatif
penyelesaian. Berdasarkan hal tersebut, menyelesaikan suatu pertentangan yang timbul karena sengketa perdata dengan keputusan Pengadilan sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai cara yang sudah paling tepat sebagaimana yang disangka
Universitas Sumatera Utara
kebanyakan orang. Seharusnya, menyelesaikan sengketa perdata atau pidana dengan keputusan Pengadilan harus dipandang sebagai cara yang formil saja. Keputusan Pengadilan yang semata mendasarkan fakta obyektif, tidak juga kepada fakta subyektif, sehingga isi keputusan itu selalu menyatakan ada pihak yang kalah dan ada yang menang. Akibatnya pihak yang dikalahkan merasa kecewa dan pihak yang dimenangkan akan bersuka ria. Tentu pihak yang kalah dan merasa kecewa tidak akan mengakui kekecewaannya dan menerima kekalahannya. Dengan demikian, sengketa perdata yang diselesaikan secara perdamaian yang diliputi suasan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan antara pihak-pihak yang bersengketa maka yang akan ditonjolkan bukan siapa yang salah dan siapa yang benar tetapi bagaimana duduk persoalannya agar dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya, sehingga perumusan perdamaian tidak menghasilkan ada pihak yang kalah maupun pihak yang menang. 117 Persengketaan yang diselesaikan secara perdamaian atau non litigasi bukan hanya akan berakhir pada lahirnya saja, tetapi berakhir dalam arti persengketaan itu seperti tak pernah ada. Hubungan pihak-pihak yang bersengketa kembali baik seperti semula. Dengan terjadinya perdamaian maka akan membawa pihak yang bersengketa lebih intim dari pada keadaannya semula. Dan pula biaya, tenaga dan waktu untuk menyelesaikan sengketa dengan perdamaiana jauh tidak sebesar jika suatu sengketa diselesaikan dengan keputusan hakim. 118
117
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, Alumni, Bandung,
1978, hal.78 118
Ibid., hal.79. Penyelesaian sengketa dengan penuh rasa kekeluargaan, persaudaraan dan persahabatan akan mencapai kesepakatan dimana kedua belah pihak secara timbal balik ada take dan give dalam penyelesaian persoalan mereka.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Yahya Harahap menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yaitu : 119 1) Adanya tuntutan dunia bisnis 2) Pengadilan pada umumnya tidak responsif terhadap kebutuhan hukum masyarakat 3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sangat lamban 4) Biaya perkara yang mahal 5) Keputusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Penyelesaian sengketa melalui ADR/non litigasi dapat dilakukan dengan cara : 1. Negosiasi Gary Goodpaster mengemukakan bahwa negosiasi itu merupakan proses upaya untuk mencapai suatu kesepakatan dengan pihak lain, proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam dengan nuansa lembut sebagaiman manusia itu sendiri. 120 Negosiasi itu adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung, tanpa keterlibatan orang ketiga sebagai penegah.Para pihak yang bersengketa yang secara langsung melakukan perundingan atau tawar menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama.Dalam hal negosiasi, para pihak yang bersengketa melakukan diskusi atau 119
M. Yahya Harahap,Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.148-169. Lihat juga dalam Salim, Op.Cit., hal.81. Penelitian yang dilakukan oleh Yahya Harahap ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan masyarakat, khususnya dunia bisnis didalam penyelesaian sengketa. 120 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hal.66
Universitas Sumatera Utara
permusyawarahan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya kepentingankepentingan dan hak-haknya menjadi kepentingan atau kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa.Pada umumnya kesepakatan bersama tersebut dituangkan
dalam
bentuk
tertulis. 121Para
pihak
yang
melakukan
perundingan dinamakan dengan negosiator. 2. Mediasi Menurut Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Mediasi diartikan sebagai suatu proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. Dalam arti adanya pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa antara dua pihak. 122 Mediasi merupakan perluasan dari proses negosiasi. Hal ini dikarenakan para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sengketanya sendiri sehingga menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka mencapai suatu kesepakatan. Bahwa mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa diluar
pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral dan tidak berpihak kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh para pihak. Pihak ketiga dalam mediasi disebut Mediator atau penengah, yang tugasnya hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak 121
Ibid., hal.68. Ibid., hal.98
122
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.Mediator dalam hal ini hanya bertindak sebagai fasilitator saja.Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator tetapi di tangan para pihak yang bersengketa. 123 3. Konsiliasi Konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui pemufakatan atau musyawarah yang dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh seorang atau lebih pihak ketiga yang netral dan bersifat aktif sebagai konsiliator. Proses penyelesaian sengketa dalam konsiliasi ini sepenuhnya diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, konsiliator dalam hal konsiliasi ini lebih aktif dibandingkan mediator dan berkewajiban memberikan anjuran kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan atau mengakhiri persengketaan atau perselisihannya. Pertemuan konsiliasi adalah pertemuan sukarela.Jika pihak yang terkait mencapai perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak yang bersankutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum.Perdamaian dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa permintaan maaf, perubahan kebijaksanaan, memeriksa kembali prosedur kerja, ganti rugi keuangan dan sebagainya. 124 4. Arbitrase Menurut R.Subekti, arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak 123
Ibid., Ibid., hal.129
124
Universitas Sumatera Utara
akan tunduk atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim. Secara otentik, pengertian arbitrase telah dirumuskan dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Pasal 1 angka 1 UU tersebut ditegaskan bahwa : 125 “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Perlu diingat bahwa, tidak semua sengketa
dapat diselesaikan
melalui arbitrase, hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. 126 Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa dalam upaya menyelesaikan sengketa perdata tidak tercapai kata damai dalam penyelesaian secara ADR, maka para pihak dapat mengupayakan penyelesaian melalui pengadilan. Hal terpenting dalam penyelesaian sengketa melalui peradilan adalah adanya gugatan perdata. Gugatan dapat dilakukan secara langsung oleh pihak yang bersengketa maupun dengan memberikan kuasa kepada pihak lain yang ditunjuk yang mempunyai kewenangan untuk beracara di Pengadilan. Para pihak dalam gugatan dapat berupa perorangan atau badan hukum, yang dapat bertindak sebagai: 127
125
Ibid., hal.140 Ibid., 127 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan ke-IV, 2006, hal.44 126
Universitas Sumatera Utara
a.
Penggugat Pihak yang mengajukan gugatan di pengadilan karena merasa dirugikan, baik karena wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Apabila Penggugat lebih dari satu pihak, disebut Para Penggugat.
b. Tergugat Pihak yang digugat/dituntut di pengadilan karena dianggap sebagai pihak yang merugikan, baik karena wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Apabila Tergugat lebih dari satu pihak disebut Para Tergugat. Adakalanya terdapat Turut Tergugat yaitu pihak yang tidak terkait secara langsung dalam sengketa akan tetapi diperlukan untuk memenuhi formalitas gugatan dan harus tunduk terhadap putusan pengadilan.
Adapun tahap yang harus dilakukan dalam penyelesaian sengketa perdata melalui proses peradilan, yaitu: 128 1) Pendaftaran
Gugatan,
Penggugat
mendaftarkan
gugatan
kepada
Pengadilan Negeri yang berwenang sesuai dengan wilayah hukum perkara tersebut. Perkara didaftarkan di dalam buku register perkara perdata di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri.
128
Dulkadir, Penyelesaian Perkara Perdata, http://gudangilmuhukum.blogspot.co.id/2010/08/penyelesaian-perkara-perdata.html, diakses pada tanggal 19 Januari 2017 pukul 22.05 WIB.
Universitas Sumatera Utara
2) Pemanggilan dan pemeriksaan para pihak. Pihak yang tercantum dalam surat gugatan akan dipanggil untuk hadir dalam persidangan guna dilakukan pemeriksaan. Pihak tersebut dapat hadir sendiri atau diwakili oleh kuasa hukumnya. Surat panggilan harus diterima oleh para pihak dalam waktu sekurang-kurangnya 3 hari sebelum persidangan. 3) Pembacaan Gugatan. Suatu gugatan yang tidak ada perubahan, penambahan, pengurangan atau koreksi dari Penggugat harus dibacakan oleh Penggugat atau dapat dianggap telah dibacakan. 4) Jawaban Tergugat. Dengan hadir sendiri di persidangan atau melalui kuasa hukumnya Tergugat mengajukan jawaban terhadap gugatan yang isinya berupa: a.Pengakuan,yaitu
membenarkan
isi
gugatan.
b.Bantahan/sangkalan. c. Menyerahkan pada putusan hakim. 5) Replik Penggugat. Replik adalah jawaban balasan atas jawaban Tergugat dalam perkara perdata yang diajukan oleh Penggugat. 6) Duplik Tergugat. Duplik adalah jawaban Tergugat atas Replik Penggugat. 7) Pembuktian. Tahap pembuktian merupakan tahap terpenting dalam proses perkara perdata, karena dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan bergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan tersebut di hadapan Pengadilan. 8) Kesimpulan. Kesimpulan bukan merupakan keharusan akan tetapi sudah merupakan kebiasaan dalam praktek peradilan. Tujuan dari kesimpulan
Universitas Sumatera Utara
adalah untuk menyampaikan pendapat para pihak kepada hakim tentang terbukti atau tidaknya suatu gugatan. 9) Putusan. Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan.
Putusan
Pengadilan
dapat
berupa:
a) Gugatan dikabulkan seluruhnya atau sebagian. b) Gugatan ditolak. c) Gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk/N.O.).
Pada umumnya, penyelesaian secara non litigasi tidak hanya dapat dilakukan bagi pelanggaran dalam hukum perdata, non litigasi dapat juga berlaku bagi pelanggaran yang masuk kedalam ranah hukum pidana. Sebab hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pada umumnya tidak ada menunjukkan suatu perbedaan dengan hukum lain yaitu bahwa semua hukum memuat sejumlah ketentuan-ketentuan untuk menjamin agar norma-norma yang diakui di dalam hukum itu benar-benar akan ditaati orang. Dalam hal terjadinya pelanggaran dalam perjanjian jaminan fidusia, hendaknya hukum pidana dijadikan sebagai suatu ultimum remedium atau sebagai upaya yang harus dipergunakan sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia. 129
129
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.17
Universitas Sumatera Utara
B. Aspek Hukum Pidana Pada Perjanjian Jaminan Fidusia 1. Kebijakan Hukum Pidana sebagai salah satu upaya penanggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Jaminan Fidusia. Kebijakan atau disebut juga dengan istilah Policy dalam bahasa inggris atau politiek dalam Bahasa Belanda. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (Sosial Defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik/kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti: 130 a. Ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial. b. Ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan nonpenal. Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah seperti Penal Policy, Criminal Policy, atau Strafrechts politiek. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah : a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan 130
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Semarang, cetakan ke-V, 2014, hal.4-6
Universitas Sumatera Utara
bisa menggunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 131 Bila dalam kebijakan penanggulangan tindak pidana atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy). Marc Ancel mengatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”. Menurutnya Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis dan memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undangundang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang serta kepada penyelenggara putusan pengadilan. 132 Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni: 133 1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif) Merupakan kewenangan dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok 131
Ibid., hal.26 Ibid., hal.23 133 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group , Jakarta, 2007, hal. 78-80 132
Universitas Sumatera Utara
dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. 2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan 3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.
Dilihat dari perspektif hukum pidana, maka kebijakan formulasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal policy karena pada tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggung jawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas aparat pembuat undangundang. 134
134
Ibid., hal.80
Universitas Sumatera Utara
Perencanaan (planning) pada tahapan formulasi pada intinya, menurut Nils Jareborg mencakup tiga masalah pokok struktur hukum pidana, yaitu masalah: 135 1. Perumusan tindak pidana/kriminalisasi dan pidana yang diancamkan (criminalisation
and threatened punishment)
2. Pemidanaan (adjudication of punishment sentencing) 3. Pelaksanaan pidana (execution of punishment). Menurut Sudarto berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi bahwa perlu diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: 136 1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu
mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata
materiil dan spritual berdasarkan dengan Pancasila; sehubungan dengan ini (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat 2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana
harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki
yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan sprituil) atas warga masyarakat. 3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost
and benefit principle).
135
Ibid., hal.81 Sudarto, Op.Cit., hal.23
136
Universitas Sumatera Utara
4) Penggunanan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badn penegak hukum yaitu jaringan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Perjanjian fidusia melibatkan beberapa pihak yang terkait dalam pemenuhan hak dan kewajibannya. Tak jarang pihak kreditor mendapatkan kerugian
akibat
pelanggaran
perjanjian
fidusia
dan
tidak
memberikan
perlindungan hukum bagi pihak kreditor. Pentingnya penerima fidusia wajib menerima sertifikat jaminan fidusia dan tembusan diserahkan kepada debitor. Dengan adanya sertifikat jaminan fidusia kreditor mempunyai hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual dan melelang benda yang dijadikan objek jaminan fidusia. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai jaminan, kreditor wajib mengembalikan. Selain itu, dalam perjanjian biasanya dituangkan bahwa pihak debitor dilarang untuk melakukan fidusia ulang terhadap benda yang sudah menjadi objek jaminan yang sudah didaftarkan. Debitor juga dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, menyewakan kepada pihak lain terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar kecuali ada satu perjanjian tertulis dari penerima fidusia. Sedangkan di pihak debitor wajib untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dan menerima kelebihan hasil eksekusi yang melebihi nilai jaminan, apabila setelah pelaksanaan eksekusi tidak
Universitas Sumatera Utara
mencukupi untuk pelunasan utang, pihak debitor tetap bertanggungjawab atas hutang yang belum terbayar. 137 Pemerintah dalam upaya menanggulangi pelanggaran dalam Jaminan Fidusia yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap kreditor ini telah mengeluarkan suatu kebijakan hukum pidana dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia memberikan perlindungan terhadap kreditor melalui Pasal 23 ayat (2) UUJF yang menyatakan: “Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia.” Apabila ada yang melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut maka perbuatan itu dikatakan sebagai suatu tindak pidana yang akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam pasal 36 UUJF, yaitu: “pemberi fidusiaa yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah)” 137
Yurizal, Op.Cit.,hal.73-74
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, UUJF juga memberikan perlindungan terhadap kedua pihak melalui Pasal 35 UUJF yaitu apabila salah satu pihak dengan sengaja memalsukan, menghilangkan, mengubah dengan cara apapun memberikan keterangan yang menyesatkan dan perbuatan tersebut diketahui salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia maka akan dikenakan sanksi pidana, yaitu : “setiap
orang
yang
dengan
sengaja
memalsukan,
mengubah,
menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah)” 2. Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk Tindak Pidana Dalam Perjanjian Jaminan Fidusia Menurut UU No.42 Tahun 1999. Perbuatan-perbuatan pidana menurut wujud atau sifatnya adalah yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, perbuatan itu merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dan menghambat akan terlaksanannya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil. Perbuatanperbuatan pidana yang merugikan masyarakat itu menjadi anti-sosial. Dengan demikian, konsepsi perbuatan pidana dapat disamakan dan disesuaiakn dengan
Universitas Sumatera Utara
konsepsi perbuatan yang pantang atau pamali yang telah dikenal sejak lama dalam masyarakat Indonesia asli. 138 Adapun perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana terhadap perjanjian Jaminan Fidusia yaitu : a. Pemberi fidusia (debitur) menggadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan fidusia tanpa seijin penerima fidusia (kreditur).
Apabila
Pemberi
Fidusia
terbukti
melakukan
perbuatan
yaitu
menggadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan fidusia tanpa persetujuan penerima fidusia, terhadap perbuatan tersebut, Pasal 36 UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 telah mengatur ancaman pidana bagi debitur yang mengadaikan atau mengalihakan obyek jaminan fidusia tanpa seijin kreditur yaitu: “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah)”
Ketentuan mengenai sanksi pidana dalam UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang terdapat dalam Pasal 36, menentukan sebagai berikut: 139 - Pemberian fidusia yang mengalihkan, mengadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
138
Moeljatno, Op.Cit., hal.3 Yurizal, Op.Cit., Hal.42
139
Universitas Sumatera Utara
penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) - Pasal 23 ayat (2) isinya adalah larangan bagi pemberi fidusia untuk mengalihkan, mengadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur yang berkaitan dan dapat menimbulkan dengan sanksi pidana dalam pasal tersebut adalah : 1) Pemberi Fidusia Pasal 1 angka 5 UUJF mengatakan bahwa: “pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia.” Menurut J Satrio, yang dimaksud dengan korporasi dalam Pasal tersebut adalah suatu badan hukum atau suatu badan yang sudah umum diterima bisa mempunyai hak milik. 140 2) Mengalihkan, Menggadaikan atau Menyewakan Bahwa ketentuan ini bersifat alternatif, dimana dengan terpenuhinya salah satu perbuatan dalam unsur ini, maka unsur ini dapat
140
J.Satrio, Op.Cit., hal.180-181
Universitas Sumatera Utara
dikatakan telah terpenuhi. Unsur-unsur perbuatan pidana yang diancam dalam ketentuan ini dapat berupa : a) Mengalihkan Pengaturan mengenai pengalihan jaminan fidusia didapati pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUJF sebagai berikut : 141 (1) Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru. (2) Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut setiap peralihan yang tidak mendapatkan persetujuan dari penerima fidusia baik yang dilakukan dengan akta otentik atau akta dibawah tangan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Dalam penjelasan Pasal 21 UUJF antara lain dinyatakan yang dimaksud dengan “mengalihkan” antara lain termasuk menjual atau menyewakan dalam rangka kegiatan usaha. Yang dimaksud dengan “setara” tidak hanya nilainya tetapi jugajenisnya. 142
141
Yurizal, Op.Cit., hal. 44 Ibid., hal.43-44
142
Universitas Sumatera Utara
J.Satrio yang dikutip langsung oleh Yurizal dalam bukunya menyatakan : 143 Kata “Pengalihan hak atas piutang” dalam Pasal 19 ayat (1) UUJF mengajarkan kepada kita, bahwa tindakan “mengalihkan” merupakan tindakan aktif dan memang dikehendaki sedangkan yang merupakan tindak pidana apabila mengalihkan “memindahtangankan” tanpa prosedur yang diatur oleh UndangUndang No.42 Tahun 1999. b) Mengadaikan atau menyewakan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menggadaikan adalah menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. Dengan demikian, objek jaminan fidusia yang digadaikan oleh pemberi fidusia dijadikan sebagai tanggungan atas utang yang dimilikinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa sedangkan menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa. Menyewakan dapat diartikan memberi kepercayaan seseorang untuk menyewa sesuatu. Menurut Yahya Harahap, bahwa sewa menyewa atau disebut dengan huur en verhuur merupakan suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan suatu barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu
tertentu
dengan
pembayaran
sejumlah
harga
sewa
yang
tertentu. 144Dapat disimpulkan bahwa menggadaikan dan menyewakan
143
Ibid., M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum...Op.Cit., hal.220. Pada umumnya pihak yang menyewakan adalah pihak yang mempunyai barang. 144
Universitas Sumatera Utara
adalah sesuatu yang prinsipnya adalah sama yaitu penyerahan benda hak milik. Penyerahan benda hak milik secara kepercayaan dari kreditor kepada debitor yang mana statusnya penyerahan untuk pinjam pakai apabila sudah dijaminkan dalam perjanjian yang mana benda tersebut yang seluruhnya atau sebagian adalah kepercayaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan dengan maksud melawan hukum yang dilarang dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia. 145 3) Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia Objek fidusia meliputi benda bergerak dan benda tetap tertentu, yang tidak bisa dijaminkan melalui lembaga jaminan hak
tanggungan atau
hipotik, tetapi kesemuannya dengan syarat, bahwa benda itu dapat dimiliki atau dialihkan. 146 4) Tanpa persetujuan tertulis dari penerima fidusia Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Berdasarkan UndangUndang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Sehingga bila dikaitkan ketentuan Pasal ini maka, si pelaku tindak pidana dalam
145
Yurizal, Op.Cit., hal.44-45 J.Satrio, Op.Cit., hal.179
146
Universitas Sumatera Utara
melakukan tindakannya tersebut tidak didasarkan atas suatu keadaan mereka mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu dalam hal ini pengalihan objek jaminan fidusia dalam bentuk tertulis (kontrak). 147 Disisi lain apabila debitor mengalihkan benda obyek jaminan fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UndangUndang Fidusia, karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia tersebut tanpa sepengetahuan kreditor dapat dilaporkan atas tuduhan penggelapan sesuai dengan Pasal 372 KUHPidana oleh kreditor.
148
Pasal 372 KUHPidana : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Dapat diuraikan delik tersebut ke dalam unsur-unsurnya, yaitu 149 : 1) Barang siapa Unsur (bestandeel) barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku/ subyek tindak pidana, yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk kepada
subjek
hukum,
baik
berupa
orang
pribadi (naturlijke
persoon) maupun korporasi atau badan hukum (recht persoon), yang apabila
147
RN Pawitri, Tesis:Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Terhadap Jaminan Fidusia (Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor : 109/Pid.Sus/2014/PN.Wat), Tesis, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta, 2016, hal.42 148 Yurizal, Op.Cit., hal. 77 149 Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak pidana, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader. 2) Dengan Sengaja Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat. Pemahaman yang dimaksud dengan sengaja dapat diuraikan menjadi: a) Perbuatan harus dilakukan dengan sengaja b) Pelaku harus mengetahui bahwa yang dikuasainya adalah suatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain c) Pelaku harus mengetahui perbuatan zich toeeigenen itu bersifat melawan hukum d) Pelaku harus mengetahui bahwa benda tersebut ada dibawah kekuasaannya bukan karena kejahatan. 3) Secara melawan hukum (wederrechtlijk)
Universitas Sumatera Utara
Melawan hukum bukan saja mengandung pengertian sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi meliputi juga perbuatan atau tidak berbuat yang telah melanggar hak oranglain, dan yang bertentangan dengan kesusilaan serta bertentangan dengan kepantasan dalam
masyarakat
perihal
memperhatikan
kepentingan
oranglain. 150Melawan hukum disini dapat juga dikatakan sebagai secara tidak sah. 4) Memiliki barang sesuatu atau menguasai untuk dirinya sendiri ( zich toeeigenen ) Tidak sembarang benda dapat dijadikan objek penggelapan. Yang dapat dijadikan adalah benda berwujud dan bergerak. Rumah dan Tanah tidak dapat. Juga yang dimaksud benda disini termasuk uang. Memiliki barang sesuatu atau menguasai untuk dirinya sendiri adalah menguasai suatu benda seolah-olah ia pemiliknya. Perlu ditekankan disini bahwa zich toeeigenen yang dimaksudkan adalah yang melawan hukum. Apabila penguasaan tersebut tidak bertentangan dengan sifat dari hak dengan hak mana benda itu dapat berada dibawah kekuasannya, maka ini tidak memenuhi unsur zich toeeigenen dalam pasal ini. 5) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain Yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah benda yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan/milik orang lain. Tetapi, benda yang tidak ada pemiliknya (resnullius) atau benda yang semula ada pemiliknya namun 150
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Op.Cit., hal.52
Universitas Sumatera Utara
pemiliknya telah melepaskan hak kepemilikannya terhadap benda itu ( res derelictae ), tidak dapat dijadikan objek penggelapan. 6) Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan Apabila B sebagai pemilik barang itu meminjamkan kalungnya kepada
A
untuk
menghadiri
sebuah
pesta
misalnya,
namun
A
menjual,menukar,menghibahkan,ataupun menggadaikan kalung tersebut maka A dapat dituduhkan penggelapan. b. Pemberi Fidusia dengan sengaja Memalsukan, Mengubah, Menghilangkan atau Dengan Cara Apapun Memberikan Keterangan Secara Menyesatkan. Untuk menjamin terselenggaranya suatu jaminan fidusia yang baik dan benar serta pasti, maka oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia mengatur ketentuan pidanayang tidak hanya terdapat dalam pasal 36 UU jaminan Fidusia saja tetapi ketentuan pidana terdapat juga dalam Pasal 35 yang memuat ketentuan: “setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”
Unsur-unsur pidana yang harus dipenuhi supaya pelaku dapat dituntut berdasarkan ketentuan pasal ini, yaitu : 151
151
RN Pawitri, Op.Cit., hal.42
Universitas Sumatera Utara
1) Setiap Orang Bahwa yang dimaksud dengan setiap orang ini merujuk pada orang perorangan dan/atau korporasi yang menjadi subjek hukum pemegang hak dan kewajiban yang berada dalam keadaan sehat baik jasmani maupun rohani yang merupakan pelaku dari tindak pidana. 2) Dengan Sengaja Merupakan unsur kesalahan dalam Pasal 35 ini.Dimana si pelaku dalam hal mewujudkan tindak pidana terhadap jaminan fidusia tersebut telah mengetahui atau menginsafi bahwa perbuatan yang dia lakukan tersebut tercela atau bersifat melawan hukum. 3) Memalsukan, Mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan. Bahwa ketentuan ini bersifat alternatif, dimana dengan terpenuhinya salah satu perbuatan dalam unsur ini, maka unsur ini dapat dikatakan telah terpenuhi. Unsur-unsur perbuatan pidana yang diancam dalam ketentuan ini dapat berupa: a) Memalsukan keterangan yang dimaksud dengan memalsukan adalah dapat berupa tindakan membuat suatu keterangan secara palsu, yang berarti semula keadaan itu belum ada, lalu dibuat sendiri yang mirip dengan yang asli dan dapat pula berupa memalsukan sesuatu surat, yang berarti surat sudah ada lalu ditambah dan/atau dikurangi atau diubah isinya. b) Mengubah keterangan
Universitas Sumatera Utara
Bahwa yang dimaksud dengan mengubah keterangan tersebut dapat berupa tindakan yakni menjadikan lain dari keterangan semula, mengganti keterangan yang ada, dan mengatur kembali keterangan yang diberikan. c) Menghilangkan keterangan Bahwa yang dimaksud dengan menghilangkan keterangan adalah membuat suatu hal yang ada menjadi tidak ada. d) Dengan cara apapun memberikan keterangan dengan cara yang menyesatkan. Yang dimaksud dengan Memberikan Keterangan Secara Menyesatkan ialah memberikan suatu keterangan yang tidak sebagaimana fakta yang ada atau dengan kata lain bohong. 4) Apabila diketahui oleh salah satu pihak melahirkan perjanjian jaminan fidusia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa pihak dalam jaminan fidusia terdiri dari Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia (Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia), dan Penerima Fidusia adalah orang perseorangan
atau
korporasi
yang
mempunyai
piutang
yang
pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia (Pasal 1 ayat (6) UUJF). Ketentuan dari pasal ini memberikan syarat bahwa akibat tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut yang berupa memalsukan, mengubah,
Universitas Sumatera Utara
menghilangkan, atau dengan cara apapun memberikan keterangan dengan cara menyesatkan bila diketahui salah satu pihak yakni pemberi fidusia ataupun penerima fidusia dapat menimbulkan tidak dapat melahirkan suatu jaminan kebendaan yang berupa jaminan fidusia. Apabila jaminan fidusia tidak dibebani dengan pendaftaran ke kantor pendaftaran fidusia, dengan ini dapat dikenakan tindak pidana penipuan pasal 378 KUHP yang berbunyi: 152 “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.” Unsur-Unsur yang terdapat dalam Pasal 378 KUHPidana yaitu: 1) Barang siapa Barang siapa tidak merupak suatu delik tetapi suatu subjek hukum, yang dimaksud dengan barang siapa disini yaitu semua orang baik warga Negara Republik Indonesia sendiri maupun orang asing, dengan tidak membedakan jenis kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, martabat yang melakukan perbuatan pidana di Wilayah Republik Indonesia. 153 2) Dengan Maksud
152
Yurizal, Op.Cit., hal. 52 Yahman,Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal.121. hal ini dikecualikan kepada yang memiliki hak imunitas sebagai hak kekebalan hukum, hal ini berkaitan dengan Pasal 2 KUHP yang dikenal dengan “Prinsip teritorial”. 153
Universitas Sumatera Utara
Bahwa pelaku mengetahui tujuan yang dikehendaki dan akibat yang terjadi, dengan maksud disini merupakan suatu unsur kesengajaan dengan melawan hukum. Pelaku menyadari bahwa keuntungan yang diperolehnya menjadi tujuan yang bersifat melawan hukum. 3) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum Menurut P.A.F. Lamintang, “dengan tujuan mengguntungkan diri” diartikan sebagai memperoleh keuntungan atau mengguntungkan dan menambah kekayaan dari yang sudah ada. Perolehan keuntungan atau bertambahnya kekayaan pelaku secara materiil harus terjadi. 154 Menurut Pompe yang dikutip oleh Yahman, maksud untuk mengguntungkan diri secara melawan hukum misalnya pembuatnya tidak mempunyai hak sendiri atas keuntungan itu, walaupun tidak ada suatu larangan apa pun dalam ketentuan undang-undang untuk menikmati keuntungan tersebut. 155 4) Membujuk/menggerakkan
orang
lain
dengan
alat
pembujuk/penggerak Menggerakan yaitu suatu perbuatan yang disamakan dengan arti “membujuk” orang lain, yaitu mempengaruhi seseorang sedemikian rupa atau dengan cara tertentu sehingga orang tersebut mau berbuat sesuai dengan kehendak pelaku untuk menyerahkan barang. 156 Dalam perbuatan menggerakan orang yang menyerahkan barang harus ada hubungan kasual antara alat penggerakan itu dan penyerahan barang, dengan dipergunakan 154
P.A.F.Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan KejahatanKejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991, hal.276 155 Yahman, Op.Cit., hal.124 156 Ibid., hal. 115.
Universitas Sumatera Utara
alat-alat penggerakan menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan orang normal. Sebenarnya lebih tepat dipergunakan istilah menggerakan daripada istilah membujuk, untuk melepaskan setiap hubungan dengan penyerahan (levering) dalam pengertian Hukum Perdata. Dalam perbuatan menggerakan orang untuk menyerahkan harus diisyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak itu dan penyerahan barang dan sebagainya. Penyerahan sesuatu barang yang telah terjadi sebagai akibat penggunaan alat
penggerak
atau
pembujuk
itu
belum
cukup
terbukti
tanpa
mengemukakan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakan alat-alat penggerak atau pembujuk itu. Alat-alat itu pertama-tama harus menimbulkan dorongan didalam jiwa seseorang untuk menyerahkan sesuatu barang. psychee dari korban dari penggunaan alat penggerak atau pembujuk tergerak sedemikian rupa, hingga orang itu melakukan penyerahan barang itu. Tanpa penggunaan alat atau cara itu, korban tidak akan tergerak psychee dan penyerahan sesuatu tidak akan terjadi. Penggunaan cara-cara atau alatalat penggerak itu menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal, hingga orang itu terperdaya karenanya. Jadi, apabila orang yang dibujuk atau digerakkan mengetahui atau memahami, bahwa alat-alat penggerak atau pembujuk itu tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran, maka pscyhee-nya tidak tergerak dan karenanya ia tidak tersesat atau terperdaya, hingga dengan demikian tidak terdapat perbuatan
Universitas Sumatera Utara
menggerakan atau membujuk dengan alat-alat penggerak atau pembujuk, meskipun orang itu menyerahkan barangnya. 157 Alat
pembujuk/penggerak
yang
dipergunakan
dalam
perbuatan
membujuk/menggerakan orang agar menyerahkan sesuatu barang terdiri atas 4 jenis cara yaitu : a. Memakai Nama Palsu atau Keadaan Palsu Yang dimaksud dengan nama palsu atau martabat palsu adalah nama yang digunakan bukan nama aslinya melainkan nama orang lain, martabat atau kedudukan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, termasuk nama tambahan yang tidak dikenal oleh orang lain. 158 Pemakaian keadaan atau sifat palsu yaitu pernyataan dari seseorang bahwa ia ada dalam suatu keadaan tertentu, keadaan mana memberikan hak-hak kepada orang yang ada dalam keadaan itu, misalnya seorang swasta mengaku anggota polisi, atau mengaku petugas PLN. 159 b. Tipu Muslihat Tipu muslihat yaitu perbuatan yang dilakukan dengan akal licik dan tipu daya untuk memperalat orang lain, sehingga orang tersebut tergerak hatinya untuk mengikuti kehendak seseorang 157
Yurizal, Op.Cit., hal.80 Yahman, Op.Cit., hal.113 159 Yurizal, Op.Cit., hal.79 158
Universitas Sumatera Utara
menjadi percaya atau yakin atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain atas suatu tindakan, termasuk menunjukkan surat-surat yang palsu. 160 c. Rangkaian Kebohongan Rangkaian kebohongan yaitu suatu perbuatan dengan perkataan yang tidak cukup satu perkataan bohong tetapi beberapa kebohongan yang membuat orang lain terpengaruh olehnya. Rangkaian kata kebohongan biasanya diucapkan secara tersusun menjadi suatu cerita yang dapat diterima sebagai sesuatu yang logis dan benar, kata-kata yang diucapkan membenarkan kata yang satu atau memperkuat kata yang lain. 161 5) Supaya membuat Hutang dan menghapuskan piutang. Berkaitan dengan pengertian "membuat hutang" dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman yang benar.Membuat hutang di sini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan membuat hutang dalam hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya kewajiban
160
Yahman, Op.Cit., hal.114. menurut Van Bemellen perkataan tipu muslihat pertama kali dipakai oleh Modderman. Ia mengusulkan dalam komisi de wal untuk merumuskan sarana penipuan sebagai berikut: “Barang siapa dengan maksud mengguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menggerakan orang lain dengan memakai nama palsu atau kaulitas palsu atau dengan tipu muslihat diancam dengan pidana karena penipuan.” 161 Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemerasatau orang lain yang dikehendaki.Unsur "untuk menghapus hutang". Dengan menghapusnya piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras. Selain Tindak pidana diatas, ada pula tindak pidana yang merupakan pelanggaran perjanjian jaminan fidusia namun perbuatannya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu Eksekusi Objek Fidusia Di Bawah Tangan. Pelaksanaan eksekusi bagi benda yang dibebani Jaminan Fidusia berdasarkan UUJF dan atau Peraturan lainya, maka Pihak perusahaan penerima Fidusia harus izin dan atau menyertakan pihak Kepolisian guna melaksanakan pengamanan dan atau setidaknya dapat ikut menjelaskan tentang Kedudukan Sertifikat Jaminan Fidusia yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap. Hal ini menghindari
asumsi
masyarakat
yang
kurang
mengerti
atas
keadaan
tersebut.Bahwa alasan harus adanya Izin atau Penyertaan Pihak Kepolisian dapat dimaksud sebagai pihak yang mempunyai kewenangan meneliti keabsahan dari perjanjian dan Sertifikat Jaminan Fidusia apakah sudah dijalankan sesuai tatacara yang diberlakukan sebagaimana peraturan yang ada, sebagaimana implementasi PERKAP No 8 Tahun 2008 Tentang Pengamanan Eksekusi Benda Jaminan Fidusia. 162
162
Yunus Syalham, Penyalahgunaan Kekuatan Eksekusi Pada Jaminan Fidusia, http://adilindonesia.blogspot.co.id/2014/05/penyalahgunaan-kekuatan-eksekusi-pada.html,Direktur Organisasi Bantuan Hukum Adil Indonesia Purworejo-Jawa Tengah. Diakses hari pada Kamis, tanggal 01 Desember 2016, Pukul 20.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Pihak Penegak Hukum khususnya Kepolisian wajib mengerti secara detail dan cermat terhadap pemberlakuan Undang-Undang Jaminan Fidusia beserta Peraturan pelaksanaannya serta peraturan lainya, sehingga apabila dikemudian hari ada pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan dan berasumsi merugikan masyarakat maka Polisi wajib menerima laporan dan menindaklanjuti serta dapat memproses secara hukum atas perbuatan Perusahaan tersebut jangan dikemudian saling melempar dan lepas tangan begitu saja seolah membiarkan tindakan dan perbuatan Perusahaan Pembiayaan secara sewenang-wenang.Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. 163
Pasal 368 KUHPidana menyebutkan: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.”
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 368 KUHP yaitu :
163
Yunus Syalham, Penyalahgunaan Kekuatan Eksekusi Pada Jaminan Fidusia, http://adilindonesia.blogspot.co.id/2014/05/penyalahgunaan-kekuatan-eksekusi-pada.html,Direktur Organisasi Bantuan Hukum Adil Indonesia Purworejo-Jawa Tengah. Diakses hari pada Kamis, tanggal 01 Desember 2016, Pukul 20.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
1) Barang siapa Sama halnya seperti Unsur dalam Pasal 372 KUHP, barang siapa dalam Pasal ini yaitu semua orang baik warga Negara Republik Indonesia sendiri maupun orang asing, dengan tidak membedakan jenis kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, martabat yang melakukan perbuatan pidana di Wilayah Republik Indonesia. 2) Dengan maksud Unsur ‘dengan maksud’ dalam pasal ini memperlihatkan kehendak pelaku untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain. Jadi, pelaku sadar atas perbuatannya memaksa.Memaksa yang dilarang di sini adalah memaksa dengan kekerasan. Tanpa ada paksaan, orang yang dipaksa tidak akan melakukan perbuatan tersebut. 164 3) Menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum Menurut Wirjono Prodjodikoro, Unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum” sangat penting, karena sudah cukup, apabila sifat pelanggaran hukum dari menguntungkan diri sendiri ini tercakup dalam maksud si pelaku. Jadi si pelaku tetap salah, meskipun kemudian ternyata, bahwa ia memang berhak menguntungkan diri sendiri. Misalnya barang yang diminta dengan kekerasan itu, kemudian ternyata miliknya si pelaku sendiri, hal mana tidak diketahui oleh si pelaku pada waktu ia melakukan pemerasan. Dalam hal ini maka ia tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana pemerasan, tetapi ia dapat
164
SR Sianturi, Op.Cit., hal.617
Universitas Sumatera Utara
dihukum berdasar Pasal 335 ayat (1) nomor (1) KUHP, yang melarang tiap perbuatanpaksaan dengan kekerasan. 4) Memaksa dengan Kekerasan Istilah "memaksa" dimaksudkan adalah melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri 5) Supaya membuat Hutang dan menghapuskan piutang. Membuat hutang di sini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan membuat hutang dalam hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki.Unsur "untuk menghapus hutang". Dengan menghapusnya piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras.
Walaupun dalam pasal 368 KUHP tidak menyatakan secara tegas bahwa tindak pidana pemerasan harus dilakukan dengan sengaja akan tetapi dengan melihatnya pada adanya unsur memaksa dengan kekerasan maka dapat menarik
Universitas Sumatera Utara
kesimpulan tindak pidana pemerasan seperti yang dimaksud dalam pasal 368 KUHP harus dilakukan dengan sengaja.Pemberlakukan Pasal 368 KUHP ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. 165
3. Perumusan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Perjanjian Jaminan Fidusia Menurut UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Moeljatno mengatakan bahwa tidak semua perbuatan yang melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Misalnya Pelacuran, perbuatan pelacurannya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana. Bahwa pelacur tidak dijadikan larangan pidana, tidak berarti bahwa hal ini dianggap tidak merugikan masyarakat, tetapi karena sukarnya untuk mengadakan rumusan yang tepat. Namun hal tersebut dapat dituntut misalnya yang menyediakan tempat untuk pelacuran dan menjadikan hal itu sebagai pencarian atau kebiasaan maka dapat dikenakan sanksi pada Pasal 296 KUHP. Sanksi merupakan perbuatan dari sebuah akibat maupun konsekuensi yang harus diterima dan dilaksanakan oleh
165
Grace P Nugroho, Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta Di Bawah Tangan, http://www.hukumonline.com/, Diakses pada tanggal 04 Desember 2016, Pukul 20.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
pelaku tindak pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam aspek hukum. Perbuatan tercela yang dilakukan oleh masyarakat harus dipertanggungjawabkan kepada si pelakunya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Orang yang melakukan perbuatan pidana tentu akan dipidana apabila ia mempunyai kesalahan. Sanksi haruslah dipandang sebagai suatu unsur yang esensial. 166 Menurut Jan Remmelink, sanksi merupakan suatu pembalasan berupa penderitaan yang dijatuhkan penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak secara salah melanggar aturan perilaku dan pelanggaran itu diancamkan dengan pidana. 167 Menurut Muladi, hukum pidana modern yang berorientasi pada perbuatan dan pelaku, stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana (Straf/Punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relatif bermuatan pendidikan. 168 Perkembangan hukum pidana di Indonesia dewasa ini, terutama dalam Undang-Undang Pidana Khusus atau perundangundangan pidana diluar KUHP terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem 2 (dua) jalur dalam stelsel sanksinya. Sistem pemidanaan dua jalur atau yang disebut dengan Double Track System merupakan sistem jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus. Walaupun ditingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi
166
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Philosophis Dan Sosiologis, PT.Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hal.62 167 Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, USU Press, Medan, 2010, hal.7 168 Sholehudin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hal.3
Universitas Sumatera Utara
tindakan terlihat samar. Namun ditingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan. Keduanya bersumber pada dasar mengapa diadakan pemidanaan, sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar untuk apa diadakan pemidanaan itu.169 Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa dalam banyak hal batas antara sanksi atau pidana dan tindakan sukar untuk ditentukan dengan pasti, sebab pidana sendiri dalam banyak hal mengandung tujuan untuk melindungi dan memperbaiki. Namun menurut Roeslan, hal itu secara praktis tidak ada kesulitan dalam membedakannya, apa yang disebut dalam Pasal 10 KUHP adalah sanksi pidana dan yang lain daripada itu adalah sanksi tindakan. 170 Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa dalam pemberian sanksi pidana kepada seseorang terdapat 3 pertimbangan, yaitu : 171 1. Penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana bukanlah sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari materi perundangundangan itu sendiri. Artinya masalah penalisasi, depenalisasi, kriminalisasi dan dekriminilasi 172 harus dipahami secara komprehensif dengan segala aspek persoalan substansi materi perundang-undangan terhadap kebijakan legislasi.
169
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Alumni , Bandung, 1981, hal.63 Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Op.Cit., hal. 9 171 Sholehudin, Op.Cit., hal 3-4 172 Penalisasi adalah sebuah perbuatan yang semula tidak bisa di hukum pada suatu saat menjadi bisa dihukum oleh UU. Depenalisasi adalah suatu perbuatan yang semula diancam dengan pidana kemudian ancaman tersebut dihilangkan. Kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Dekriminalisasi adalah proses dimana suatu perbuatan yang merupakan kejahatan karena dilarang dalam perundang-undangan pidana, kemudian pasal yang menyangkut perbuatan itu dicabut dari perundang-undangan dan dengan demikian perbuatan itu bukan lagi kejahatan. 170
Universitas Sumatera Utara
2. Sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional, karena jika tidak, akan menimbulkan The Crisis of Over Criminal Law yaitu krisis kemampuan batas dari hukum pidana. 3. Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Perumusan tujuan pemidanaan diarahkan untuk dapat membedakan sekaligus mengukur sejauh mana jenis sanksi, baik berupa pidana maupun tindakan yang telah ditetapkan dalam kebijakan legislasi dapat mencapai tujuan secara efektif. Ide-ide dasar pemidanaan menurut Barda Nawawi Arief, adalah : 173 a. Ide
keseimbangan
monodualistik
antara
kepentingan
masyarakat (umum) dan kepentingan individu. b. Ide keseimbangan antara “social welfare” dan “Social defence” c. Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/”offender” (individualis pidana) dan “victim” (korban) d. Ide penggunaan “double track system” antara pidana dan tindakan e. Ide mengefektifkan “noncustodial measures (alternatives to imprisonment)
173
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Semarang, cetakan ke-II, 2015, hal.22
Universitas Sumatera Utara
f. Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”) g. Ide modifikasi atau perubahan atau penyesuaian pidana h. Ide subsidiaritas didalam memilih jenis pidana i. Ide permaafan hakim j. Ide mendahulukan atau mengutamakan keadilan dari kepastian hukum. Pada dasarnya, menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, dikenal beberapa jenis sistem perumusan sanksi pidana (Strafsoort) yaitu : 1. Sistem Perumusan Tunggal/Imperatif Sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat tunggal atau imperatif yaitu sistem perumusan jenis pidananya dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang bersangkutan. Sistem perumusan tunggal ini dapat berupa pidana penjara saja ataupun juga pidana denda saja. 174 Barda Nawawi Arief, dalam pemikirannya bahwa perumusan sanksi pidana tunggal memiliki kelemahan yaitu : 175 a. Kelemahan utama dari sistem perumusan tunggal adalah sifatnya yang sangat kaku, absolut dan bersifat imperatif, tidak memberi kesempatan
174
Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali, Djambatan, Jakarta, 2007, hal.18. menurut Sudarto, jenis perumusan tunggal ini merupakan peninggalan atau terpengaruh dari aliran klasik. Aliran ini mengobyektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku. Dengan sifat tersebut maka aliran ini pada awal timbulnya sama sekali tidak memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. 175 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...Op.Cit., hal.143
Universitas Sumatera Utara
kepada hakim untuk menentukan jenis pidana apa yang dianggap paling sesuai untuk terdakwa. b. Sistem perumusan tunggal merupakan peninggalan yang sangat mencolok dari aliran klasik yang ingin mengobjektifkan hukum pidana dan karenanya sangat membatasi kebebasan hakim dalam memilih dan menetapkan jenis pidana. c. Ide dasar yang melatar belakangi sistem perumusan tunggal tidak sesuai dengan ide dasar yang melatarbelakangi ditetapkannya pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia. Dengan dianutnya sistem perumusan tunggal yang kaku dan absolut akan menimbulkan kontraksi ide, sebab konsepsi pemasyarakatan bertolak dari ide rehabilitasi, resosialisasi dan individualisasi pidana. d. Dengan sistem perumusan tunggal yang kaku kecenderungan negara untuk menggembangkan kebijakan yang selektif dan limitatif dalam penggunaan pidana penjara sebagai salah satu sarana politik kriminal. KUHP mengenal sistem perumusan tunggal berupa pidana penjara saja atau pidana saja atau pidana kurungan saja atau pidana denda saja. Seperti halnya yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP, 378 KUHP dan Pasal 368 KUHP yang hanya merumuskan sanksi pidana penjara saja. 2. Sistem Perumusan Alternatif Sistem perumusan alternatif adalah sistem dimana pidana dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya berdasarkan urutan jenis
Universitas Sumatera Utara
sanksi pidana dari terberat sampai teringan sehingga hakim diberi kesempatan memilih jenis pidana yang dicantumkan dalam Pasal yang bersangkutan. KUHP juga mengenal sistem perumusan Alternatif berupa ancaman Pidana penjara atau denda. 176 Walaupun ada sanksi yang dapat dipilih, undang-undang juga mengingatkan hakim agar dalam melakukan pilihan itu berpedoman pada: 177 a. Selalu berorientasi pada tujuan pemidanaan b. Lebih mengutamakan atau mendahulukan jenis pidana yang lebih ringan. Sebab pidana yang lebih ringan itu telah didukung atau telah memenuhi tujuan pemidanaan.
3. Sistem Perumusan Kumulatif Sistem kumulatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim harus menjatuhkan keseluruhannya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif adalah dari perkataan “dan” di antara beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana. misalnya : pasal 36 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya enam tahun “dan” denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00. 4. Sistem Perumusan Kumulatif-Alternatif
176 177
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.21 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...Op.Cit., hal.147-148
Universitas Sumatera Utara
Sistem kumulatif alternatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim dapat menjatuhkan keseluruhannya atau dapat pula memilih salah satu diantaranya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif alternatif adalah dari perkataan “dan atau” di antara jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana. Sistem perumusan Kumulatif-Alternatif merupakan gabungan dari sistem sebelumnya. Sistem perumusan ini mengandung aspek : a. Adanya aspek perumusan kumulatif. Ditandai dengan adanya kata hubung “dan” b. Adanya aspek perumusan alternatif didalamnya. Ditandai dengan kata “atau” yang bersifat memilih. Menurut Mardjono Reksodiputro bahwa penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua sesuai dengan peradaban manusia itu sendiri. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat, yang pertama yaitu pendapat yang tidak setuju sanksi pidana digunakan untuk menanggulangi tindak pidana. Pendapat ini mengatakan para pelaku tindak pidana atau pelanggar hukum tidak perlu dikenakan pidana, karena pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban masa lalu, sedangkan pendapat kedua setuju dengan
Universitas Sumatera Utara
penggunaan sanksi dalam penanggulangan tindak pidana. 178 Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan sanksi pidana/pemidanaan yaitu: 179 1. Memperbaiki pribadi pelaku kriminal; 2. Membuat pelaku menjadi jera melakukan kejahatan; 3. Membuat pelaku-pelaku tertentu untuk tidak mampu lagi melakukan kejahatan-kejahatan dengan cara-cara yang lain yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Menurut Pasal 10 KUHP, jenis hukuman atau macam ancaman adalah: 180 a. Pidana Pokok 1) Pidana mati 2) Pidana penjara 3) Pidana kurungan 4) Pidana denda b. Pidana Tambahan 1) Pencabutan hak-hak tertentu 2) Perampasan barang-barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim Adapun perbedaan antar jenis-jenis pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut : 181 1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (Imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Maksud imperatif keharusan menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti. Sifat imperatif ini sudah terdapat dalam setiap 178
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal.27 Ibid., hal.4 180 Lihat Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 181 Adami Chazawi, Op.Cit., hal.26-28 179
Universitas Sumatera Utara
rumusan
tindak
pidana,
dimana
rumusan
kejahatan
maupun
pelanggaran hanya ada dua kemungkinan, yaitu : a) Diancamkan satu jenis pidana pokok saja, hakim tidak bisa menjatuhkan jenis pidana pokok yang lain. b) Tindak pidana yang diancam dengan dua atau lebih jenis pidana pokok yang sifatnya alternatif hakim harus memilih satu saja. Sementara itu, fakultatif maksudnya menjatuhkan jenis pidana tambahan bukanlah suatu keharusan. Apabila menurut pendapat hakim, kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan salah satu jenis pidana tambahan yang didakwakan jaksa penuntut umum telah terbukti, hakim boleh menjatuhkan dan boleh tidak menjatuhkan pidana tambahan tersebut. 2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan menjatuhkan jenis. Jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok.Sementara itu, menjatuhkan jenis pidana pokok dapat berdiri sendiri tanpa harus dengan menjatuhkan jenis pidana tambahan. Ada pengecualian, yaitu jenis pidana tambahan dapat dijatuhkan tidak bersama jenis pidana pokok, tetapi bersama tindakan (maatregelen)
Universitas Sumatera Utara
3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (excetutie) Sifat jenis pidana pokok yang merupakan prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi. Menurut pertimbangan pembentuk undang-undang yang dijelaskan dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda bahwa menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersamaan tidak dapat dibenarkan karena pidana perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda dengan jenis pidana denda Dalam konsep KUHP baru, pidana kurungan tidak dicantumkan lagi sebagai salah satu bentuk dari pidana pokok. Pasal 65 ayat (1) Konsep KUHP baru, menyebutkan: 182 (1) Pidana pokok terdiri atas : a. Pidana penjara b. Pidana tutupan c. Pidana pengawasan d. Pidana denda e. Pidana kerja sosial Dalam perumusan jumlah pidana yang diancamkan, dikenal ada tiga model yaitu : 183
182
Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Op.Cit., hal.76. Berdasarkan Pasal 86 (2) KUHP Baru, dalam penjatuhan pidana kerja sosial wajib mempertimbangkan hal-hal berikut: a. Pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan b. Usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku c. Persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial d. Riwayat sosial terdakwa e. Perlindungan keselamatan kerja terdakwa f. Keyakinan agama dan politik terdakwa g. Kemampuan terdakwa membayar pidana denda
Universitas Sumatera Utara
1. fix model yaitu rumusan tindak pidana yang menyebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana (maksimum ataupun jika perlu minimumnya) yang dapat dijatuhkan hakim. 2. categorization model, yaitu dengan penyebutan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindak pidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu. 3. free model, dalam hal ini undang-undang tidak menentukan dengan pasti jumlah pidana untuk setiap tindak pidana, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim.
Sementara, menurut Collin Howard, dikenal adanya 4 (empat) sistem perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat), yaitu : 184
1. Sistem fixed/definite sentence, yaitu Berupa ancaman pidana yang sudah pasti. 2. Sistem indefinite sentence, yaitu berupa ancaman lamanya pidana secara maksimum. 3. Sistem determinate sentenceyaitu berupa ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana 4. Sistem indeterminate sentence, sistem ini tidak menentukan batas maksimum
pidana,
badan
pembuat
undang-undang
menyerahkan
183
Chairul Huda, Perumusan Tindak Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan, Artikel Hukum Tata Negara dalam Peraturan Perundang-undangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/62-perumusan-tindak-pidana-dalam-peraturanperundang-undangan.html, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan, 2009, diakses pada hari Kamis, 19 Januari 2017, Pukul 21.19 Wib. 184 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.25-26.
Universitas Sumatera Utara
sepenuhnya kepada kebijakan pidana aparat pelaksana pidana yang berada di tingkatan yang lebih rendah, misalnya dalam
Perumusan sanksi pidana yang digunakan oleh Undang-Undang No.42 Tahun 1999 terhadap pelanggaran perjanjian jaminan fidusia yaitu dengan sistem perumusan kumulatif. Pada dasarnya, sistem perumusan kumulatif hampir sama dengan perumusan tunggal sebab perumusan tersebut mengharuskan hakim untuk menjatuhkan pidana keduanya, dalam perumusan kumulatif tidak ada kesempatan bagi hakim untuk memilih. Sistem perumusan kumulatif dalam UUJF ditandai dengan kata “dan” dalam Pasal 35 UUJF dan Pasal 36 UUJF, yaitu :
Pasal 35 UUJF :
“Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan,mengubah,menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000,(Sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).” Pasal 36 UUJF : “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)” Dari ketentuan diatas, dilihat dari formulasi perumusan perundangundangan, hakikatnya sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kumulatif pada Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang terdapat dalam Pasal 35 dan Pasal 36 berupa pidana penjara dan pidana denda.
Universitas Sumatera Utara
1. Pidana Penjara
Barda Nawawi yang dikutip oleh Mohammad Eka Putra dan Abdul Khair mengemukakan efektivitas pidana penjara itu dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu, sebagai berikut: 185
1. Aspek perlindungan masyarakat
Perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki
kerugian/kerusakan,
menghilangkan
noda-noda,
serta
memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (General prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan lagi.
2) Aspek perbaikan si pelaku
Aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum. Dilihat 185
Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Op.Cit., hal.41
Universitas Sumatera Utara
dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana. Tolak ukurnya ada pada masalah seberapa jauh pidana penjara itu mempunyai pengarub terhadap si pelaku. Dua aspek yang mempengaruhi pidana terhadap terpidana yaitu : pertama, aspek pencegahan awal (deterent aspect), biasanya diukur dengan menggunakan indikator residivis. Menurut R.M. Jackson bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Kedua, aspek perbaikan (reformative aspect) yang berhubungan dengan masalah perubahan sikap dari terpidana. Seberapa jauh bekerjanya pidana penjara dapat mengubah sikap terpidana. Dalam Pasal 10 KUHP, ada dua jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. Maksudnya, kedua jenis pidana tersebut menghilangkan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat dalam hal ini yaitu Lembaga Pemasyarakatan. 186 Adapun perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan adalah pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan hanya diancamkan pada tindak pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara. Pidana kurungan banyak diancamkan pada jenis pelanggaran, sementara pidana penjara banyak diancamkan pada jenis kejahatan. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) bila
186
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.32
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, pidana kurungan boleh diperberat tetapi tidak boleh lebih dari 1 tahun 4 bulan. Sedangkan untuk pidana penjara bagi tindak pidana yang dilakukan seperti adanya perbarengan dan penggulangan maka dapat dijatuhi pidana penjara dengan ditambah sepertiganya. 187 Stelsel pidana penjara, menurut Pasal 12 (1), dibedakan menjadi: 188
1) Pidana penjara seumur hidup. Yaitu diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat berat seperti pidana alternatif dari pidana mati.Pidana yang berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati, tetapi sebagai pidana alternatifnya adalah pidana penjara sementara setingi-tingginya 20 tahun. 2) Pidana penjara sementara waktu. Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling tinggi (maksimum umum) 15 tahun.Pidana penjara sementara dapat dijatuhkan melebihi dari 15 tahun secara berturur-turut.
Berdasarkan hal tersebut maka stelsel pidana penjara yang terdapat dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UUJF adalah pidana penjara sementara waktu, sebab kedua Pasal tersebut penjatuhan hukuman pidana penjaranya tidak melebihi maksimum umum yaitu 15 tahun.
187
Ibid., hal.33 Ibid., hal.34
188
Universitas Sumatera Utara
2. Pidana denda
Pada umumnya, pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delikdelik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Maka dari itu pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Ada beberapa keistimewaan dari pidana denda jika dibandingkan dengan jenis-jenis lain dalam kelompok pidana pokok, yaitu: 189
1) Dalam
hal
pelaksanaan
pidana,
denda
tidak
menutup
kemungkinan dilakukan atau dibayar oleh orang lain, yang dalam hal pelaksanaan pidana lainnya kemungkinan seperti ini tidak bisa terjadi. 2) Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan.
Dalam praktek, jika pidana denda tidak dibayar, maka harus menjalani kurungan pengganti denda. Pidana kurungan pengganti denda ini dapat dibedakan yang lamanya berkisar antar satu hari sampai enam bulan. Ditinjau dari segi efektivitasnya maka pidana denda menjadi kurang efektif jika dibandingkan dengan pidana penjara, terutama apabila dibandingkan dengan pidana penjara, hal ini terutama ditinjau dari segi penjeraannya terhadap terpidana. 190
189
Ibid., hal.40 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan ke-II, 2007, hal.61 190
Universitas Sumatera Utara
Adapun model perumusan jumlah pidana yang digunakan Undang-undang No.42 Tahun 1999 dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UUJF adalah yaitu fix model, hal ini ditandai dengan rumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tersebut disebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Bahkan dalam Pasal 35 UUJF disebutkan jumlah pidana penjara dan pidana denda maksimum dan minimum yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima tahun) dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000., (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dalam Pasal 36 UUJF dengan tegas menyebutkan jumlah pidana penjara paling lama yaitu 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000., (Lima Puluh Juta rupiah). Ditinjau dari perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat), maka UndangUndang Jaminan Fidusia menganut dua jenis strafmaat yang pertama, yaitu menganut sistem determinate sentence berupa ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana. Sistem ini terlihat dalam Pasal 35 UUJF, yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta denda paling sedikit Rp. Rp. 10.000.000., (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Aspek kebijakan aplikatif sistem determinate sentence ini, praktik peradilan menyikapi dengan dua pendapat yang berbeda, yaitu : 191 1. Pendapat pertama bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dibawah batas minimum ancaman pidana yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini berdasarkan asas legalitas. 191
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.27. belum ada pedoman dalam menerapkan sistem determinate sentence yang mengatur secara lebih spesifik terhadap sistem ini.
Universitas Sumatera Utara
2. Pendapat kedua bahwa hakim dapat saja menjatuhkan pidana kurang dari batasan minimum ancaman pidana yang ditentukan undangundang dengan alasan berdasarkan asas keadilan dan keseimbangan antara tingkat kesalahan dan hukuman yang dijatuhkan.
UUJF juga menganut jenis strafmaat yaitu fixed/indefinite sentence system. Sistem ini diartikan untuk setiap tindak pidana dietapkan bobot atau kualitasnya sendiri-sendiri yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum atau ancaman minimumnya untuk setiap tindak pidana. Sistem ini terdapat dalam Pasal 36 UUJF, terlihat dari adanya perumusan kata-kata paling lama dan paling banyak yaitu bahwa dalam Pasal 36 UUJF menentukan pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada pemberi fidusia dengan pidana paling lama 2 (dua) tahun dan paling banyak denda Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Sistem fixed/indefinite sentence dalam rumusan pasal ini mempunyai segi positif dan segi negatifnya. Segi positifnya yaitu :
a. Menunjukan tingkat keseriusan masing-masing tindak pidana. b. Memberikan fleksibelitas dan diskresi kepada kekuasaan pemidanaan. c. Melindungi kepentingan si pelaku itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan. 192
192
Ibid., hal.24. sistem fixed/indefinite sentence system biasanya disebut sebagai sistem maksimum. Menurut Lilik Mulyadi, ketiga aspek postif dari sistem maksimum tersebut mengandung aspek perlindungan masyarakat dan individu. Aspek perlindungan masyarakat terlihat dengan ditetapkannya ukuran objektif berupa maksimum pidana sebagai simbol kualitas norma sentral masyarakat yang terkandung dalam perumusan delik bersangkuta.Aspek
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan sisi negatif dari sistem indefinite sentence system ini adalah sistem ini akan membawa konsekuensi yang cukup sulit dalam menetapkan maksimum khusus untuk tiap tindak pidana. Dalam setiap proses kriminalisasi pembuat undang-undang selalu dihadapkan pada masalah pemberian bobot dengan menetapkan kualifikasi ancaman pidana maksimumnya sebab menetapkan maksimum pidana untuk menunjukkan tingkat keseriusan atas suatu tindak pidana, bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. 193
perlindungan individu terlihat dengan diberikannya kebebasan pada hakim untuk memilih lamanya pidana dalam batas minimum dan maksimum yang telah ditetapkan. 193 Ibid., hal.25
Universitas Sumatera Utara