BAB II JAMINAN FIDUSIA DALAM HUKUM JAMINAN DI INDONESIA A. Objek Jaminan Fidusia Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah unsur pengaman kredit bank, yang dilahirkan dengan didahului oleh perjanjian kredit bank. Konstruksi ini menunjukkan bahwa perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter assesor, yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Jaminan Fidusia). Dengan penegasan assesor dari perjanjian fidusia, berarti dapat menghilangkan keraguan dari perbedaan pandangan yang selama ini dipermasalahan oleh hakim dan para ahli hukum. 58 Sifat Jaminan fidusia ketentuan Pasal 1 butir dua Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak dapat bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat terbebani hak tanggungan sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam pengusaan pemberi fidusia, sebagai agunan pelunasan tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia kepada kreditur lain, ini berarti Undang-Undang jaminan fidusia secara tegas menyatakan jaminan fidusia adalah jaminan kebendaan. 59
58 59
Tan Kamello, Op,cit, Hal. 28. Gunawan Widjaja, Jaminan fidusia, Grafindo Persada, Jakarta 2000 Hal 124
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
Sebagai hak kebendaan, jaminan fidusia mempunyai hak di dahulukan terhadap kreditur lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda jaminan. Hak tersebut tidak hapus walaupun
terjadi
kepailitan pada debitur. Pemegang fidusia merupakan kreditur separatis sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan. Pengakuan hak separatis akan memberikan perlindungan hukum bagi kreditur pemegang fidusia. Yang menjadi persoalan adalah apakah pengakuan yang di berikan itu sudah sempurna di berikan oleh Undang-Undang Kepailitan? Hal ini berkaitan dengan adanya penangguhan jangka waktu selama 90 hari terhitung sejak putusan pailit di tetapkan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 56 A Undang-Undang Kepailitan. Bahkan, di tentukan selama
berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala
tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat di ajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik kreditur maupun pihak ketiga di larang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan. Ketentuan ini menjadi tidak sinkron dengan prinsip separatis yang di miliki oleh kreditur pemegang jaminan fidusia. Dengan perkataan lain hak separatis telah di gerogoti (uitgehold). Hak kebendaan dari jaminan fidusia baru lahir sejak di lakukan pendaftaran pada kantor pendaftaran fidusia dan sebagai buktinya adalah di terbitkannya sertifikat jaminan fidusia. Konsekuensi yuridis dari tidak di daftarkannya jaminan fidusia adalah perjanjian jaminan fidusia bersifat perseorangan (persoonlijke karakter). Oleh karena itu, proses pembuatan jaminan fidusia harus dilakukan secara sempurna mulai dari tahap perjanjian kredit, pembuatan akta jaminan fidusia oleh Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
notaris dan diikuti dengan pendaftaran akta jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Tahapan proses perjanjian jaminan fidusia tersebut memiliki arti yang berbeda sehingga memberi karakter tersendiri dengan segala akibat hukumnya.
B. Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia 1. Pengalihan Jaminan Fidusia Pasal 19 Undang-Undang Jaminan Fidusia menetapkan bahwa pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan jaminan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditor baru. Peralihan itu di daftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Dalam ilmu hukum, “Pengalihan hak atas piutang” seperti yang diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Jaminan Fidusia tersebut dikenal dengan istilah Cessie yaitu pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Dengan adanya cessie terhadap perjanjian dasar yang menerbitkan utang piutang tersebut. Maka jaminan Fidusia sebagai perjanjian assesoir, demi hukum juga beralih kepada penerima hak cessie dalam pengalihan perjanjian dasar. Ini berarti pula, segala hak dan kewajiban kreditor (sebagai Penerima Fidusia) lama beralih kepada kreditor (sebagai Penerima Fidusia) baru.
2. Hapusnya Jaminan Fidusia Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia, maka Jaminan Fidusia ini merupakan perjanjian assesoir dari perjanjian dasar yang menerbitkan Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sebagai suatu perjanjian assesoir, Jaminan Fidusia ini, demi hukum hapus, bila utang pada perjanjian pokok, yang menjadi sumber lahirnya perjanjian penjaminan fidusia atau utang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia hapus, di samping itu Pasal 25 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan secara tegas bahwa Jaminan Fidusia hapus karena : a. Hapusnya utang yang di jamin dengan fidusia; b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia; atau c. Musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Jadi sesuai dengan sifat ikutan dari Jaminan Fidusia, maka adanya Jaminan Fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang karena pelepasan, maka dengan sendirinya Jaminan Fidusia yang bersangkutan menjadi hapus. “Hapusnya utang” ini antara lain di buktikan dengan bukti pelunasan atau bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat kreditor. Musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi, Jadi jika benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia musnah dan benda tersebut di asuransikan maka klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan fidusia tersebut. Timbul pertanyaan, apakah dengan hapusnya Jaminan Fidusia dalam hal hapusnya utang yang dijamin, perlu dilakukan pengalihan kembali (retro-overdracht) atas kepemilikan oleh penerima fidusia kepada pemberi fidusia? dalam makalahnya “” berpendapat bahwa tidak perlu dilakukan pengalihan kembali secara tersendiri. Hal Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
ini karena pengalihan hak kepemilikan atas objek Jaminan Fidusia dilakukan oleh pemberi fidusia kepada penerima fidusia sebagai jaminan atas kepercayaan bahwa hak kepemilikan tersebut dengan sendirinya akan kembali bilamana utang lunas (adanya syarat batal atau onder ontbindendevoor waarde). Tentunya ini sesuai dengan sifat perjanjian assesoir dari penjaminan fidusia itu sendiri. 60 Atas
hapusnya
Jaminan
Fidusia,
maka
penerima
fidusia
harus
memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan Fidusia tersebut. Pada saat pemberitahuan tersebut harus dilampirkan pula pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut. Adanya ketentuan seperti ini akan berguna untuk memberi kepastian kepada Kantor Pendaftara Fidusia untuk mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari buku Daftar Fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.
C. Eksekusi Jaminan Fidusia Sebagaimana telah di bahas sebelumnya, sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jadi berdasarkan titel eksekutorial ini penerima Fidusia dapat langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek Jaminan Fidusia tanpa melalui pengadilan.
60
Fred B.G Tumbuan, mencermati Pokok-pokok RUU Jaminan fidusia,www.hukumonline.com diakses pada tanggal 26 desember 2008, pukul 20.00. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
Undang-Undang Jaminan Fidusia juga memberikan kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi ini tidak semata-mata menopoli Jaminan Fidusia, karena dalam hal gadai juga dikenal lembaga serupa. Pasal 1155 ayat (1) Kitab Undang-Undang Perdata menyatakan bahwa : “(1) apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercidera janji, setelah tenggang waktu yang diberikan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu yang di berikan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah di lakukannya suatu peringantan untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai dimuka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.” Untuk Jaminan dalam bentuk hipotek, kemudahan eksekusi itu diberikan pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang-Undang Perdata yang berbunyi : “(2) Namun di perkenankanlah kepada si berpiutang hipotek pertama untuk di berikannya hipotek dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak di lunasi semestinya, atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan di kuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus di lakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam pasal 1211.”
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa apabila debitor atau pemberi fidusi cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat di lakukan dengan cara : a. pelaksanaan titel eksekutorial oleh Penerima Fidusia; b. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c. penjualan di bawah tangan yang di lakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat di peroleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Jadi prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini di harapkan dapat di peroleh harga yang paling tinggi. Namun demikian dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik pemberi Fidusia ataupun Penerima Fidusia maka di mungkinkan penjualan dibawah tangan asalkan hal tersebut di sepakati oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan tersebut di penuhi. 61 Namun khusus untuk point c, pelaksanaan penjualan tersebut dilakukan setelah waktu 1 (satu) bulan sejak di beritahukan secara tertulis oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan 61
Ibid, hal 3
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Pasal 30 Undang-Undang Jaminan Fidusia mewajibkan pemberi fidusia untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima Fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.
D. Perkembangan Jaminan Fidusia dan Kebutuhan Masyarakat Fidusia sebagai lembaga jaminan sudah lama di kenal dalam masyarakat Romawi, yang pada mulanya tumbuh dan hidup dalam hukum kebiasaan. Berdasarkan peraturan sejarah, lembaga jumlah fidusia selanjutnya diatur dalam yurisprudensi dan kini telah mendapat pengakuan dalam undang-undang. 62 Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat 63 yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law. Istilah civil law berasal dari kata Latin jus civile, yang di perlakukan kepada masyarakat Romawi.
62
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung :Alumni,Bandung 2004, hal. 28. 63 Di Indonesia, dalam pandangan tradisionil, potensi fidusia ini sudah cukup lama dikenal dalam kehidupan masyarakat dengan sebutan “boreh”. Lihat R. Subekti, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional, kertas kerja pada seminar Hukum Jaminan, Bina Cipta tahun 1978,:, 1981), hal. 29. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
Selain jus civile terdapat pula yang mengatur warga romawi dengan orang asing yang di kenal dengan jus getium, 64 Jus civile di artikan sebagai hukum sipil yakni hukum yang di buat oleh rakyat untuk kalangan warga sendiri 65 sedangkan jus disebut juga dengan hukum bangsa-bangsa. Sistem civil law disebut juga dengan sistem hukum Eropa kontinental, yang berakar dari tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi. 66 Dalam proses perkembangannya sistem civil law tidak saja dijumpai di benua Eropa melainkan berlaku secara luas di berbagai negara di luar Eropa antara lain Indonesia. Sistem hukum Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan hukum Belanda karena adanya peraturan sejarah yang didasarkan kepada asas konkordansi (concordantie beginsel). 67 Demikian pula sistem hukum Belanda memiliki pertautan sejarah dengan hukum Prancis yang berasal dari hukum Romawi. 68 pada abad ke 6 hukum Romawi di kumpulkan dan di jadikan kodifikasi atas perintah kaisar Yustianus dalam sebuah kitab undang-undang yang diberi nama Corpus Iuris
64
Joseph Dainow, the civil law and the common law: some points of comparison, The American Journal of Comparative Law, vol.15, 1967, hal. 420. 65 IPM Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris – Indonesia, : Sinar Grafika Jakarta, 1996, hal. 364-365. 66 Sutandyo Wigyo Soebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika SosialPolitik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 2. 67 Schoulten van Out Haarlem, asa konkordansi yang diikuti Indonesia adalah konkordansi sempit (enge concordantie), lihat C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1982), hal. 198. 68 Daerah Prancis di bagian utara dan tengah berlaku hukum lokal yakni hukum Prancis kuno yang berasal dari Germania disebut pays de droit coutumier, sedangkan dibagian selatan merupakan daerah Hukum Romawi yang berlaku pays de droit ecrit. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
civilis. 69 Dengan meluasnya kerajaan Romawi ke Eropa Barat hukum romawi pun menjadi luas jangkauan berlakunya. Menurut Sunaryati Hartono, ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan di dituangkannya hukum Romawi ke dalam hukum Eropa Barat yakni : Pertama, mulai abad pertengahan banyak mahasiswa-mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara belajar di Universitas di Italia dan Perancis Selatan (di mana Italia merupakan pusat kebudayaan Eropa). Pada zaman ini yang dipelajari oleh ahli hukum hanya hukum Romawi, setelah tiba di tanah airnya, kalau ada persoalan, hukum Romawilah yang dipergunakan, jika hukumnya sendiri tidak dapat memberi penyelesaian, bahkan ada kalanya jika hukumnya sendiri dapat dipergunakan, mereka sengaja tidak memakainya. Kedua, adanya kepercayaan pada hukum alam yang asasi yang dianggap sebagai suatu hukum yang sempurna dan berlaku bagi setiap tempat dan waktu (zaman). Karena mereka yang menerima hukum alam itu tidak dapat melepaskan dirinya dari hukum Romawi yang telah dipelajarinya di Negara Italia dan Perancis selatan, biasanya mereka menyamakan hukum alam itu dengan hukum Romawi. 70 Sementara itu, di Perancis berlaku juga hukum kanonik yang ditetapkan oleh gereja Katolik Roma dalam Codex Iuris Canonici. Kodifikasi Perancis baru terjadi
69
Corpus Iuris Civilis dibagi atas 4 bagian yakni Codex, Pandexten,Instituten Dan Novellen, lihat R. Feenstra, Inleidende Hoofdstukken Betreffende De Romeinsrechtelijke Gronslagen Van Het Nederlands Privaatrecht, (Den Haag : Universitaire pers laiden, 1978), hal. 8-9. 70 Sunaryati Hartono, Capita Selekta Perbandingan Hukum, Bandung : Alumni, 1982, hal. 108. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
setelah Revolusi Perancis atas prakasar Napoleon yang di sebut dengan Code Civil.
71
Tujuan kodifikasi ini adalah untuk menciptakan kesatuan hukum dan kepastian hukum. Selanjutnya, Code Civil dari tahun 1811 sampai 1838 di perlakukan di Belanda. Sebagian besar hukum perdata Belanda didasarkan atas Code Civil dan hanya sebagian kecil saja yang didasarkan atas hukum Belanda kuno. Oleh karena itu, kodifikasi hukum perdata Belanda adalah suatu tiruan kodifikasi hukum perdata Perancis dengan beberapa perubahan kecil yang berasal dari hukum Belanda kuno. Berdasarkan asas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda selanjutnya menjadi contoh kodifikasi hukum perdata di Indonesia. Sebagai kesimpulan bahwa unsur-unsur hukum perdata di Indonesia terdiri dari hukum Romawi, hukum Perancis kuno dan hukum Belanda Kuno. 72 Dalam hukum Romawi, khususnya dibidang hukum perjanjian pada tingkat awal perkembangannya tidak terdapat bentuk yuridis yang memadai untuk memberikan jaminan baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, karena hak gadai dan hipotek sebagai hak jaminan belum berkembang. Sementara itu kebutuhan masyarakat Romawi akan bentuk lembaga jaminan pada saat itu sangat dirasakan dalam hubungannya dengan peminjaman uang, sehingga praktek menggunakan konstruksi hukum yang ada yaitu pemberian jaminan kebendaan oleh debitur kepada krediturnya dengan pengalihan hak milik kepercayaan.
71
Sunaryati Hartono, Capita Selekta Perandingan Hukum, Bandung : Alumni, 1982,
hal. 108. 72
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbitan Universitas Jakarta hal 72 Ibid hal 72, Mahadi, Hak Milik dalam Hukum Perdata Nasional, Proyek BPHN, hal.1 Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
Dalam kaitanya dengan hal ini, O.K Brahn mengatakan bahwa pembagian hak milik antara hak milik secara yuridis berada di tangan kreditur dan hak milik secara ekonomis tetap berada di tangan debitur, lazimnnya orang menyebut dengan istilah milik fidusia 73 . Mengenai istilah fidusia ini, Mahadi menjelaskan bahwa kata fidusia berasal dari bahasa Latin. Kata tersebut merupakan kata benda artinya kepercayaan terhadap seseorang atau sesuatu, pengharapan yang besar. Selain itu, terdapat kata “fido” merupakan kata kerja yang berarti mempercayai seseorang atau sesuatu. 74 Subekti menjelaskan arti kata fiducial adalah kepercayaan yang lain bahwa apa yang keluar ditampakkan sebagai pemindahan milik, sebenarnya ( ke dalam, intern hanya suatu jaminan saja untuk suatu hutang). Dalam sistem hukum anglo sakson, dikenal istilah “fiduciary” yang diartikan sebagai berikut fidusia adalah suatu istilah yang berasal dari hukum Romawi, yang memiliki dua pengertian yakni sebagai kata benda dan kata sifat. Sebagai kata benda, istilah fidusia memiliki arti seseorang yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan pihak ketiga dengan itikad baik, penuh ketelitian, bersikap hati-hati dan berterus terang. Orang yang diberi kepercayaan dibebani kewajiban untuk melakukan
60 Mahadi, Hak Milik dalam Hukum Perdata Nasional, Proyek BPHN 61 R. Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa,1982), Hal. 82
????
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
perbuatan untuk kemanfaatan orang lain. Sebagai kata sifat, istilah fidusia menunjukkan pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan 75 . Menurut Bogart, trust dapat dideskripsikan dalam berbagai pengertian sebagai berikut : trust adalah hubungan kepercayaan (fiduciary) yang di dalamnya satu orang adalah sebagai pemegang hak atas harta kekayaan berdasarkan hukum (legal title) tunduk pada kewajiban berdasarkan equity untuk memelihara atau mempergunakan milik itu untuk kepentingan orang lain 76 . Kimbrough dalam Summary of American Law mengatakan bahwa trust adalah hak milik atas harta kekayaan dipegang oleh satu pihak untuk penggunaan atau kepentingan bagi orang lain yang mempunyai hak berdasarkan equity.
77
Trust juga
dapat diartikan sebagai hubungan hukum antara dua atau lebih orang yang di dalamnya seorang terikat untuk menguasai harta kekayaan atas dasar hak menurut hukum untuk kemanfaatan orang lain yang mempunyai kepentingan berdasarkan equity. 78 Dalam pengertian yang sederhana, trust adalah kepercayaan yang diberikan kepada seseorang (di sebut trustee) dan melakukan kewajiban untuk kepentingan orang lain (di sebut beneficiary).
76 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Mengenal Trust, Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, (Yogyakarta : 16-18 November, 1992), hal. 1. 77 Ibid Hal. 1; Secara etimologi, arti kata “equtiy” adalah keadilan yang ideal yang tidak diatur oleh hukum bahkan yang dapat bertentangan dengan hukum. Equity merupakan bagian dari hukum Inggris yang tidak berasal dari adat kebiasaan dan putusan-putusan parlemen, tetapi berasal dari putusan-putusan court of Chancery zaman dahulu. Dahulu (abad ke 14) Chancelor adalah pendeta yang menyelesaikan perkara yang diajukan oleh masyarakat untuk memperoleh keadilan yang selanjutnya berkembang menjadi suatu pengadilan yang disebut “court of Chancery”. Dalam perkembangannya (abad ke 17) court of chancery dipegang oleh ahli-ahli hukum dan pada awal abad ke 19 pengertian equity sama terikatnya dengan precedent seperti common law. Lebih lanjut lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung : alumni, 1986), Hal. 6-7. 78 Ibid, hal. 2. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
Menurut Peter Hefti, berdasarkan sistem common law bahwa dalam trust, pihak trustee mempunyai kedudukan sebagai legal owner atas harta kekayaan trust. Yang menjadi pertanyaan bagi Peter Hefti adalah apakah makna dari cita-cita atau ide bahwa trustee itu adalah legal owner. Pertanyaan tersebut harus diselesaikan dengan membandingkan pada lembaga fidusia dalam hukum Romawi yang menurut pendapat para ahli kebanyakan mempunyai konsep yang sama dengan trust . 79 Jika dilihat uraian di atas konsep trust dalam sistem common law adalah mengenal adanya pemisahan antara penguasaan dengan kemilikan, sedangkan dalam sistem civil law bahwa hak penguasan dan kemilikan atas benda tidak terpisah melainkan merupakan suatu kesatuan. Hal ini di dasarkan kepada prinsip yang tekandung dalam Pasal 1977 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 80 . Dalam bidang hukum, menurut hukum romawi dikenal 2 (dua) bentuk fiduia yaitu pertama fiducia cum creditore an fiducia cum amico 81 . Kedua bentuk fidusia tersebut timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciace kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio 82 . Dari kata cum creditore dapat diduga bahwa debitur akan mengalihkan kemilikan atas suatu benda kepada krediturnya
79 Ibid, hal. 3. 80 Dalam pasal ini terdapat azas bahwa siapa yang menguasai barang bergerak di anggap sebagai pemilik dari barang tersebut, disitir dari Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung :Alumni,Bandung 2004, hal. 42. 81 W.M. Kleyin, Kepastian dan Ketidakpastian Peralihan Milik Fidusiyer Compedindium Hukum Belanda (Gravenhage; Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum-Indonesia-Belanda, 1978), hal.17 82 disitir dari Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 42. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
sebagai jaminan untuk mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur bilaman hutangnya sudah dibayar lunas. 83 Apabila dilihat dari isi janji yang disepakati dalam bentuk fiducia cum creditore, maka ada beberapa hal yang penting sebagai unsur dalam hubungan antara debitur dengan krediturnya yakni : pertama, debitur megalihkan kemilikan atas benda kepada kreditur kedua benda yang diserahkan adalah sebagai jaminan hutang, ketiga, secarra fisik benda yang dijadiklan jaminan hutang dikuasai oleh debitur, keempat kreditur berkewajiban mengembalikan hak milik atas benda kepada debitur setelah melaksanakan kewajibannya. 84 Dalam kontruksi fiducia cum creditore, walaupun debitur menyerahkan benda dalam kemilikan kreditur bukan berarti bahwa kreditur dapat melakukan sesuatu terhadap benda itu secara bebas dan tidak terbatas. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan hak tersebut walaupun tidak ada undang-undang atau peradilan yang menetapkan hubungan kepercayaan itu. Jadi, dapat dikatakan bahwa hubungan kepercayaan itu didasarkan kepada aturan moral.85 Berdasarkan pendapat ini dikatakan bahwa moral itu terdapat dalam perbuatan yang dilakukan karena kebiasaan, layak sesuai dengan kehidupan bermasyarakat terutama kalau perbuatan itu menyangkut hal yang tidak baik atau buruk, benar atau 83
Ibid, hal. 42. http://hardijma.wordpress.com/2008/04/15/sekilas-tentang-fidusia-dan-jaminan-fidusia/. Dikutip tanggal 08 januari 2009.pukul 15.00. 85 Kata ”moral” berasal dari kata Latin ”mores” yang identik dengan akar kata ”ethos” berarti alat kebiasaan. Moral berarti sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar, lihat Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Buku IV, (Jakarta: Bulan Bintang 1978) hal. 512 (lihat Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 43). 84
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
salah. Apabila perbuatan itu bebas telepas dari setiap bentuk hukum positif disebut dengan moral instrinsik dan jika perbuatan itu sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang berkuasa atau oleh hukum positif baik dari manusia maupun dari Tuhan disebut moral ekstrinsik. 86 Moral dan hukum merupakan dua hal yang berbeda, tetapi saling berkaitan satu dengan lainnya. Perbedaan itu terletak kepada karakter dan sanksi. Karakter moral adalah otonomitas dan memiliki sanksi batiniah, sedangkan karakter hukum adalah heteronomitas dan memiliki sanksi lahiriah. Keterkaitan antara keduanya berada dalam hubungan vertikal yakni tata tertib sosial bahwa itu lebih tinggi kedudukannya di dalam hukum (moral is a high grade law)
87
. Bruggink mengatakan
bahwa kaidah hukum diderivasi dari kaidah moral atau berpijak dari moral 88 . Di Cina, Jadi, dapat dilihat bahwa justice under the law adalah keadilam yang mengacu kepada hukum positif, sedangkan justice above the law adalah keadilan yang mengacu kepada hukum atau keadilan yang mengacu kepada moral yang transendental. Konsep justice under the law merupakan konsep dari kaum legalis sedangkan konsep justice above the law merupakan pandangan dari kaum Confusius. Hal ini menunjukan bahwa moral dalam hukum positif berbeda dengan moral dalam 86
W. poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Remaja Karya, 1986), hal. 103 (lihat Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 43). 87 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 43-44). 88 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 189, disitir dari Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 44. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
hukum alam. Seolah-olah moral dalam hukum alam lebih tinggi kedudukannya dari moral hukum positif 89 . Dalam pandangan positivitas, kalau hendak mempelajari hukum secara ilmiah, hukum harus dipisahkan dari moral. Dalam kaitannya dengan fiducia cum creditore, hubungan pihak pihak didasarkan atas pertimbangan kepercayaan kepada moral yaitu moral intrinsik, yang tidak dipengaruhi oleh hukum positif baik undangundang maupun yurisprudensi 90 . Selain bentuk fiducia cum creditore, dikenal pula fiducia cum amico, yang terjadi bilamana seseorang menyerahkan kewenangannya kepada pihak lain atau menyerahkan suatu barang kepada pihak lain untuk diurus 91 . Mengenai fiducia cum amico, Fred B.G. Tumbuan menjelaskan bahwa : Fiducian cum amico merupakan suatu lembaga titipan yang dikenal dalam hukum Romawi. Lembaga ini sering digunakan oleh seorang pater familias yang harus meninggalkan keluarga dan tanahnya untuk jangka waktu yang lama karena ia harus membuat perjalanan jauh atau bepergian perang. Dalam hal demikian, pater familias tersebut akan menitipkan familiarnya yaitu keluarga dan seluruh kekayaanya kepada seorang teman yang selanjutnya akan mengurus tanah dan kekayaanya yang ditinggalkan oleh pater familias. Tentu saja antara pater familias dan temannya tersebut dibuat janji bahwa teman tersebut akan mengembalikan kepemilikan atas familia bilamana si pater familias sudah kembali dari perjalanannya. 92 Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa fiducia cum amico merupakan hubungan yang tidak ditujukan untuk kepentingan jaminan hutang. Hubungan antara 89
Soetikno, Filsafat Hukum Bagian II, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1989), h. 9, disitir dari Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 44. 90 Tan Kamello, Op.Cit, hal. 44 91 Oey Hoey Tiong, Op.cit, hal. 37 92 Fred B.C.Tumbuan, Op.cit, h.11, disitir dari Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, h. 45. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
pemberi dan penerima adalah bersifat kepengurusan harta benda. Penerima harta benda menjalankan kewenangan sesuai dengan kepentingan dari si pemberi harta benda. Jadi, fiducia cum amico ini dikenal juga dalam hukum anglo Amerika dengan nama trust 93 . Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah fiduciary dalam hukum Anglo Sakson yang dimaksudkan tidak lain adalah fiducia cum amico dalam hukum Romawi. Dengan demikian, dalam bahasan selanjutnya yang dimaksud adalah fidusia dalam pengertian dan tujuannya sebagai jaminan hutang atau fiducia cum creditore dalam hukum Romawi 94 . Dalam pengertian fiducia cum creditore, seorang kreditur pemegang benda jaminan tidak dapat bertindak seperti seorang pemilik benda. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan memiliki benda jaminan untuk selamanya dan akan memenuhi janjinya untuk mengembalikan benda jaminan jika debitur telah memenuhi kewajibannya. Yang menjadi persoalan, bagaimana kalau kreditur tidak menepati janjinya untuk mengembalikan barang jaminan. Apakah debitur dapat menuntut haknya kembali? Tentunya jawaban tersebut terpulang kepada hakikat hubungan fiducia cum creditore yang didasarkan kepada moral. Sangat sulit bagi debitur untuk menuntut haknya melalui saluran hukum. Di sinilah kelemahan lembaga fiducia cum creditore 95 .
93
Tan Kamello, Op.Cit, hal. 45. Tan Kamello, Op.Cit, hal. 46 95 Tan Kamello, Op.Cit, hal. 46. 94
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
Dengan adanya kelemahan tersebut, diikuti pula dengan berkembangnya gadai dan hipotek sebagai lembaga jaminan, kehidupan lembaga fiducia cum creditore terdesak dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat akan lembaga jaminan, yang kemudian lenyap dalam lalu lintas hukum 96 . R. Sutterheim menjelaskan tentang latar belakang sejarah lenyapnya lembaga fidusia akibat tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum serta berkembangnya gadai dan hipotek sebagai jaminan kebendaan sebagai berikut : Hubungan-hubungan fidusia didasarkan kepada kepercayaan dan terlalu memberi kewenangan kepada kreditur yang menjadi pemilik barang yang diarahkan sebagai jaminan. Dalam kepercayaan itu, kreditur tidak akan menyalahgunakan haknya tanpa ada ketentuan dalam undang-undang atau peradilan yang menetapkan kepercayaan itu. Hubungan tersebut dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan hak dibutuhkan dalam lalu lintas kredit. Maka dari itu, dalam Hukum Romawi pada akhir zaman klasik, hak-hak gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan kebendaan, yang kemudian hilanglah fudisia untuk akhirnya pada zaman sesudah zaman klasik di bawah Yustianus hilang sama sekali. 97 Dengan berkembangnya gadai dan hipotek, lembaga fidusia yang berasal dari romawi itu tidak populer lagi dan tidak digemari lagi oleh masyarakat sehingga hilang dari lalu lintas perkreditan 98 .
96
Tan Kamello, Op.Cit, hal. 46. R. Sutterheim, Op.cit, h. 54; disitir dari Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 47. 98 Tan Kamelo, Op.cit. hal. 47 97
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
Selain bentuk fiducia dalam hukum Romawi dikenal pula suatu cara lain untuk menjaminkan barang kepada orang lain dengan nama pignus depositum. Melalui lembaga pignus depositum 99 , barang jaminan tidak menjadi milik dari kreditur melainkan hanya sebagai pegangan saja 100 . Ketika hukum Romawi diresepsi oleh hukum Belanda, lembaga fidusia tidak turut diambil alih. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa fidusia sebagai lembaga tidak terdapat dalam Burgelijk Wetboek (BW). Menurut sistem B.W. lembaga gadai dipergunakan untuk jaminan benda bergerak dengan konstruksi bahwa barang jaminan dilepaskan dari kekuasaan debitur sedangkan lembaga hipotek dipergunakan untuk benda-benda tidak bergerak. Pada mulanya, kedua bentuk jaminan kebendaan tersebut dirasakan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang perkreditan. Namun, pada akhir abad 19 terjadi perubahan dalam masyarakat yang ditandai dengan adanya krisis di bidang pertanian akibat datangnya serangan hama sehingga para petani tidak mendapatkan hasil panennya. Konsekuensinya para pengusaha di bidang pertanian mengalami kekurangan modal. 101
Para pengusaha tersebut tidak mungkin lagi melakukan investasi.
Salah satu harapan untuk mendapatkan bantuan modal adalah dari bank. Namun, bank pada waktu itu tidak mau memberikan kredit para pengusaha pertanian kecuali
99
Kata ”Pignus Depositum” terdiri dari dua kata yaitu pignus artinya gadai dan depositum artinya penitipan. Pignus dapat juga diartikan sebagai barang-barang yang di sita oleh kreditur untuk pelunasan hutang, sedangkan depositum diartikan sebagai kontrak mengenai penjaminan. Lebih lanjut lihat Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 47. 100 R. Subekti, Op.cit, hal. 78. 101 Tan Kamelo, Op.cit, hal. 47-48. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
disediakan barang jaminan berupa alat-alat pertanian dalam bentuk jaminan gadai. Demikian pula jaminan hipotek tidak dimungkinkan karena para pengusaha pertanian tidak banyak yang memiliki tanah hak milik. Di samping itu juga bank sebagai pemberi kredit meminta jaminan tambahan selain jaminan hipotek. Apabila para pengusaha pertanian memberikan sekaligus dua barang jaminan yakni alat-alat pertanian dengan jaminan gadai dan tanah pertanian dengan bentuk berhenti melanjutkan usahanya. Kalau bank memberikan kredit kepada para pengusaha pertanian dengan jaminan gadai berarti alat-alat pertanian harus diserahkan kepada bank. Hal itu tentu memberatkan para pengusaha. Apabila dilakukan dengan kontruksi jaminan gadai tanpa penyerahan barang jaminan ke dalam kekuasaan kreditur (bank), akan bertentangan dengan norma hukum dari gadai yang diatur dalam Pasal 1198 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 102 . Dalam suasana kritis tersebut, pada tahun 1884 dikeluarkan undang-undang darurat di Hindia Belanda yang mengatur lembaga jaminan baru, yang disebut dengan lembaga Oogstverband (ikatan Panen). Menurut R. Subekti, lembaga Oogstverband adalah satu jenis jaminan kebendaan yang diakui dalam hukum positif di Indonesia 103 . Lembaga ini mirip dengan “anti chresis” yang diatur dalam Civil Code of The Philippines yaitu suatu ikatan panenan 104 .
102
Tan Kamelo, Op.Cit, hal. 47-48. R. Subekti, Op.Cit, hal. 30. Disitir dari Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, h. 49. 104 Ibid, hal. 80. 103
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
Oogstverband adalah suatu hak kebendaan atas hasil-hasil pertanian yang belum dipetik atau sudah beserta perusahaan serta peralatan yang digunakan untuk pengolahan hasil pertanian itu, untuk jaminan agar supaya dipenuhi perjanjian untuk menyerahkan produk-produk itu kepada pemberi uang untuk dijual dalam komisi dengan tujuan membayar uang-uang persekot, bunga-bunga, ongkos-ongkos dan uang provisi dari hasil penjualan 105 . Dari pengertian Oogstverband, ada 3 (tiga) hal yang cukup penting harus diketahui yakni pertama, Oogstverband sebagai lembaga jaminan memiliki karakter kebendaan (zakelijke karakter), kedua, objek Oogstverband adalah hasil-hasil pertanian yang belum dipetik atau sudah dipetik beserta perusahaan serta peralatan yang dipakai untuk mengolah hasil pertanian, ketiga, hakikat Oogstverband. 106 Dengan karakter kebendaan, berarti lembaga Oogstverband mempunyai sifatsifat kebendaan antara lain haknya dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, hak mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada dan mudah dieksekusi. 107 Mengenai objek Oogstverband, masih perlu dipertanyakan apakah objek Oogtverband itu masuk dalam benda bergerak atau benda tidak bergerak. Persoalan ini semakin penting karena berkaitan dengan masalah lembaga jaminannya. Menurut J. Satrio, hasil panen merupakan benda bergerak. Penulis kurang menyetujui pendapat tersebut. Pendapat itu tidak memberikan alasan mengapa hasil panen dikategorikan 105
Pasal 1 Koninlijk Besluit tahun 188, disitir dari Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 49. 106 J. Satrio, Op.cit, h. 108, Disitir dari Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 49. 107 Tan Kamello, Op.cit, hal. 49. Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
sebagai benda bergerak. Menurut penulis, hasil panen itu harus dibedakan antara hasil yang sudah dipetik. Hasil panen pertanian yang sudah dipetik merupakan benda bergerak sedangkan hasil panen pertanian yang belum dipetik merupakan benda tidak bergerak. Alasan ini didasarkan kepada Pasal 506 angka 3 KUH Perdata. Terhadap benda bergerak dipergunakan lembaga gadai. 108 Lembaga Oogstverband memberikan kemungkinan bahwa barang jaminan itu tetap berada dalam kekuasaan pemberi jaminan (debitur). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi konstruksi baru di bidang hukum jaminan benda bergerak. Konstruksi itu adalah gadai tanpa penguasaan yang belum bersifat murni tetapi sudah dapat dikatakan sebagai awal dari cikal bakal lahirnya Fiducuria Eigendoms Overdracht 109 . Hal menarik lainnya adalah hakikat jaminan dalam lembaga Oogstverband adalah kewajiban menyerahkan barang (produk-produk) kepada pemberi kredit dan bukan jaminan dalam arti membayar sejumlah uang. Kewajiban penyerahaan barang dari debitur kepada pemberi kredit merupakan pemenuhan perjanjian yang sudah ditentukan. Hakikat jaminan ini merupakan inti dari lembaga Oogstverband 110 . Dengan demikian, lembaga Oogstverband merupakan usaha pemerintah dalam bentuk jaminan gadai tanpa penguasaan. Kelemahan dari lembaga ini, menurut R. Subekti, antara lain adalah tentang hapusnya Oogstverband, yakni apabila hasil
108
Ibid, hal. 50 Ibid, hal. 50 110 Ibid, hal. 50 109
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
panen yang dijadikan jaminan musnah
111
. Dengan adanya kelemahan tersebut,
Oogstverband sebagai jaminan dalam lalu lintas kredit kehilangan fungsinya sebagai tidak digemari masyarakat 112 . Selain Oogstverband, sebagai jalan keluar terhadap persyaratan gadai ditempuh melalui lembaga Voorraadpand
113
. Voorraadpand adalah suatu bentuk
jaminan dengan objek barang-barang dagangan tanpa pemindahan kekuasaan atas barang tersebut, tanpa perpindahan hak milik atas benda tersebut. Lembaga Voorraadpand juga memiliki kelemahan yakni penjaminan itu tidak tercatat dalam suatu register, kekuasaan barang berada pada debitur dan debitur secara yuridis tetap merupakan pemilik dari barang-barang gadai tersebut 114 . Pada awal abad ke 20 dengan melihat adanya kekurangan dalam lembaga gadai yang tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat bisnis dan tidak dapat menjawab tantangan dinamika perkembangan hak jaminan, lalu orang mencari jalan keluar dengan membuat perjanjian seperti alam kasus perusahaan (brouwerij arrest) 115 . Sebelum kasus ini diputus di pengadilan, masih ada kekhawatiran dalam masyarakat bahwa hakim akan menganggap fidusia tanpa penyerahan faktual (nyata) sebagai suatu yang batal dengan alasan terjadi tindakan penyelundupan hukum
111
R. Subekti, Op.cit, hal. 80 R. Sutterheim, Op.cit, hal. 5 113 R. Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktek dan Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1977), hal. 73, 114 Tan Kamelo, Op.cit, hal. 51 115 Pitlo, Op.cit, h. 473; O.K.Brahn, Op.cit, hal. 15-16; Tan Kamelo, Op.cit, hal. 51. 112
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
(wetsontduiking)
116
. Oleh karena itu, harus dicarikan jalan keluarnya. Praktik hukum
lebih menyukai figur hukum lain yang dekat dengan fidusia yakni jual beli dengan janji atau hak membeli kembali (verkoop met beding tot of onder verplicting van wederinkoop)
yang
diikuti
dengan
suatu
penyerahan
secara
constitutum
possesorium. 117 Pada tahun 1928 Perhimpunan Ahli Hukum Belanda, (Nederlandse juristenvereniging) memberikan nasihat agar persoalan tentang fidusia dicarikan solusinya oleh pembentuk undang-undang sehingga tercipta adanya kepastian hukum. Namun, ternyata bukan pembentuk undang-undang yang mencarikan jalan keluar dari persoalan-persoalan yang mencarikan jalan keluar dari persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat, melainkan para hakim dari H.R pada tahun 1929 telah mengambil inisiatif untuk menemukan norma hukum baru dengan mengakui fidusia sebagai jaminan di samping lembaga gadai (pand) yang sudah ada. Inisiatif H.R. tersebut terlihat dari pemecahan sengketa perdata dalam kasus perjanjian bierbruwerij tersebut di atas 118 . Pada mulanya pengadilan tingkat pertama memutuskan bahwa dalam perjanjian fiducaire eigendoms overdracht itu telah terjadi perjanjian semu (schijnovereekomt) dengan tujuan untuk menghindarkan akibat hukum dari perjanjian gadai. Kelihatannya perjanjian gadai, tetapi sesungguhnya bukan gadai. Pengadilan tidak mengakui keabsahan fidusia. Kemudian persoalan ini dibawa ke tingkat banding 116
Ibid, hal. 51 O.K.Brahn, Op.cit, hal. 20. 118 Tan Kamelo, Op.cit, hal. 52. 117
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
dan Mahkamah Agung dan akhirnya diputuskan bahwa Hof dan H.R tidak sependapat dengan pengadilan tingkat pertama 119 . Dalam salah satu pertimbangan hukumnya dikatakan bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tidak mengadakan perjanjian gadai, sehingga tidak dapat dikatakan fiduia bertentangan dengan gadai 120 . Akhirnya, lembaga yang selanjutnya dikenal dengan Bierbourwerij Arrest dan menjadi yurisprudensi fidusia pertama yang lahir di Belanda. Pengakuan fiduciaire eigendoms overdracht tersebut adalah mengikuti jejak praktek hukum di Jerman yang dibenarkan oleh yurisprudensi dengan nama “Sicherheits uberrignung” 121 . Menurut R. Subekti, lembaga fiduciaire eigendoms overdracht merupakan salah satu contoh hukum penemuan hakim (rechtersrecht) yang sering dinamakan uitbouw (perluasan) dari pandrecht (hukum gadai). 122 Di samping dampak dan apa yang di namakan accelerazed evolution (percepatan perkembangan) di atas bisa bersifat sistemik, ia juga berimplikasi pada jangka panjang dan luar biasa. Implikasi sisternik itu terjadi karena di dalam era evolusi yang di percepat itu terdapat nuansa-nuansa substantif dalam bentuk normanorma hukum yang masih sangat tidak memuaskan. Akibatnya, kesimpangsiuran norma hukum cenderung menciptakan disintegrasi dan menimbulkan kerugian serta
119
Tan Kamelo, Op.cit, hal. 53 Mahadi, Op.cit, hal. 104 , disitir dari Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 53. 121 Vollmar, Op.cit, h. 317, disitir dari Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung:Alumni, Bandung 2004, hal. 53. 122 R. Subekti, Peranan Mahkamah Agung dalam Pembinaan Hukum di Indonesia, Majalah Hukum No. 1 Tahun 1974, (Jakarta:Law Center), hal. 50. 120
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008
korban
(viktirnogin).
Kadang
bahkan
bisa
mencapai
perbuatan-perbuatan
menyimpang (kriminologi). Implikasi yang berjangka panjang dan extraordinary bisa bernilai positif dan bisa bernilai negatif. 123
123
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan, Jakarta. 1995, Hal. 34-35.
Yosephina Hotma Vera : Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Di Ikat Dengan Akta Jaminan Fidusia Terhadap Bangunan Yang Berdiri Di Atas Tanah Otorita Batam, 2009 USU Repository © 2008