BAB II PENDIDIKAN KARAKTER DAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karakter Karakter
merupakan
nilai-nilai
perilaku
manusia
yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatanberdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Sedangkan Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan,maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.1 Fakri Gaffar yang dikutip Zubaedi dalam bukunya“Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan”menyatakan bahwa, pendidikan karakter ialah suatu proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuh-kembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Definisi ini mengandung pengertian bahwa dalam pendidikan 1
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter:Menjawab Tantangan Krisis multidimensional (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), hlm. 84.
21
22
karakter paling tidak mencakup transformasi nilai-nilai kebajikan, yang kemudian ditumbuh-kembangkan dalam diri seorang (peserta didik) dan akhirnya akan menjadi sebuah kepriadian, tabi‟at, maupun kebiasaan dalam bertingkah laku sehari-hari.2 Sri Judiani yang dikutip Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida, mengemukakan bahwa pendidikan karakter ialah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.3 Menurut Ryan dan Bohlin yang dikutip Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani, pendidikan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (Knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan yang benar dan salah kepada anak, tetapi menamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan bersedia melakukan yang baik.4 Dari pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan karakter adalah suatu bentuk pengarahan dan bimbingan supaya siswa mempunyai tingkah laku yang baik sesuai dengan nilai-nilai moralitas
2
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana Predana Media group, 2011), hlm 22. 3 Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 23. 4 Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hlm. 32.
23
dan keberagamaan. Dengan demikian pendidikan karakter ini diharapkan akan dapat menciptakan generasi-generasi yang berkepribadian baik dan menjunjung asas-asas kebajikan dan kebenaran disetiap langkah kehidupan. 2. Fungsi Pendidikan Karakter Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari adanya pendidikan karakter.
Pemerintah
melalui
kementrian
Pendidikan
Nasional
merekomendasikan agar setiap kegiatan pembelajaran dengan pendidikan karakter. Melalui pendidikan karakter ini, diharapkan dapat mengurangi berbagai persoalan negatif yang menimpa bangsa. Mulai dari perilaku menyimpang, kekerasan, ketidakjujuran sampai perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Degradasi moral bangsa Indonesia ini tidak terlepas dari belum terbentuknya pendidikan karakter pada setiap jiwa masyarakat
dan
bangsa indonesia. Tidak hanya pada rakyat biasa, tetapi sudah sampai pada tingkat pejabat negara yang notabenya berpendidikan dan berpengetahuan. Manfaat pendidikan karakter di antaranya ialah menjadikan manusia agar kembali kepada fitrahnya, yaitu selalu menghiasi kehidupanya dengan nilai-nilai kebajikan yang telas digariskan oleh-Nya.5
5
Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida, Op. Cit., hlm. 27.
24
Berkaitan dengan itu, Zubaedi memaparkan beberapa fungsi diadakanya pendidikan karakter, diantaranya: 1) Fungsi pembentukan dan pengembangan potensi Pendidikan
karakter
berfungsi
untuk
membentuk
dan
mengembangkan potensi peserta didik supaya berpikir baik, berhati baik,
dan
berperilaku
baik
sesuai
dengan
falsafah
hidup
Pancasila.Oleh karenanya, dalam konteks ini pendidikan harus mampu memberikan
keluasan
kepada
peserta
didik
untuk
dapat
mengembangkan potensi maupun bakat yang dimilikinya sesuai dengan norma-norma yang ada. 2) Fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki dan penguatan peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi ddan bertanggung jawab
dalam pengembangan
potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, sejahtera. 3) Fungsi penyaringan. Pendidikan karakter berfungsi untuk memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.6
6
Zubaedi, Op. Cit., hlm. 18-19.
25
3. Tujuan Pendidikan Karakter Mengenai tujuan pendidikan karakter, menurut Darma Kesuma yang dikutip Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida menyatakan bahwa, tujuan pendidikan karakter, khususnya dalam setting sekolah, diantaranya sebagai berikut: 1) Menguatkan
dan
mengembangkan
nilai-nilai
kehidupan
yang
dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. 2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. 3) Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.7 Jadi, tujuan pendidikan karakter yaitu untuk meningkatkan mutu penyelenggarakan
dan
hasil
pendidikan
yang
mengarah
pada
pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji, dan menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter yang terwujud dalam perilaku sehari-hari.8
7
Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida, Op. Cit., hlm. 24-25. Novan Ardy Wiyani, Bina Karakter Anak Usia Dini(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 14-15. 8
26
4. Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter Tidak terdapat prinsip-prinsip yang bisa berlaku umum yang sesuai dengan seluruh kondisi lingkungan sekolah. Analisis kebutuhan merupakan cara yang baik untuk dilakukan sebelum lebih jauh mengimplementasikan
pendidikan
karakter.Secara
teoritis
terdapat
beberapa prinsip yang dapat digeneralisasi untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu pelaksanaan pendidikan karakter.9 Menurut Sri Judiani yang dikutib Zubaedi,menyebutkan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pendidikan karakter. Prinsip-prinsip disini sebagai acuan dasar dalam pelaksanaan pendidikan karakter, diantaranya: 1) Berkelanjutanyaitu
proses
pengembangan
nilai-nilai
karakter
merupakan proses yang tiada henti, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan bahkan sampai terjun ke masyarakat. 2) Melalui semua mata pelajaran yaitu pengembangan diri dan budaya sekolah serta muatan lokal. 3) Nilai-nilai tidak diajarkan, tetapi dikembangkan dan dilaksanakan, hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan kemampuan, baik ranah kognitif, afekti, dan psikomotorik. 4) Proses pendidikan dilakukan peserta didik dengan aktif dan menyenangkan, guru harus merencanakan kegiatan belajar yang 9
Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta: Prenada Media, 2014), hlm. 11.
27
menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengelola informasi yang sudah dimiliki, dan menumbuhkan nilainilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah.10 Berkaiatan dengan prinsip-prinsip tersebut, menurut Character Education
Qualit
Standars
sebagaimana
dikutip
Mulyasamerekomendasikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, diantaranya yaitu: 1) Mempromosikan nilai-nilai dasar pendidikan karakter yang efektif. 2) Mengidentifikasi karakter secara komprehansif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku. 3) Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif, dan efektif untuk membangun karakter. 4) Menciptaka komunitas sekolah yang memiliki kepedulian. 5) Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukan perilaku yang baik. 6) Memiliki
cakupan
terhadap
kurikulum
yang
bermakna
dan
menantang, yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses. 7) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari peserta didik.
10
Zubaedi, Op. Cit., hlm. 138.
28
8) Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai dasar yang sama. 9) Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter. 10) Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sabagai mitra dalam usaha membangun pendidikan karakter. 11) Mengevaluasi karakter sekolah , fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.11 5. Nilai-nilai Pendidikan Karakter Dalam konteks yang luas, pendidikan karakter di Indonesia telah dikembangkan menjadi beberapa nilai. Terdapat delapan belas nilai pendidikan karakter yang wajib diterapkan disetiap proses pendidikan atau pembelajaran. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dimaksud sebagai berikut: a. Religius, sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. b. Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
11
E. Mulyasa, Manajemen PAUD, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 74-75.
29
c. Toleransi, sikap tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. d. Disiplin, tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. e. Kerja keras, perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. f. Kreatif, berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. g. Mandiri, sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. h. Demokratis, cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. i. Rasa ingin tahu, sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. j. Semangat kebangsaan, cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya. k. Cinta tanah air, cara berpikir, bertindak, dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan pilitik bangsa.
30
l. Menghargai prestasi, sikap, dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. m. Bersahabat atau komunikatif, tindakan yng memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. n. Cinta damai, sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiranya. o. Gemar membaca, kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. p. Peduli lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencagah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi. q. Peduli sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. r. Tanggung jawab, sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibanya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Delapan belas nilai pendidikan karakter diatas merupakan hasil pengembangan pendidikan karakter di Indonesia dan dianjurkan untuk diterapkan di berbagai jenjeng pendidikan. Mulai dari pendidikan anak usia dini sampaiperguruan tinggi. Hal ini dimaksudkan supaya kedepanya generasi muda mempuyai karakter-kerakter positif, dan pada akhirnya
31
akan membawa kemajuana bangsa dan negara Indonesia menuju bangsa dan negara yang bermartabat, makmur, dan sejahtera.12 6. Metode Pendidikan Karakter Menurut Doni A. Kusuma yang dikutip Bambang Q-Aness dan Adang Hambali, merekomendasikan lima metode pendidikan karakter yaitu mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas, praktis prioritas, dan refleksi. a. Mengajarkan Pemahaman konseptual tetap dibutuhkan sebagai bekal konsep-konsep nilai yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter
tertentu.
Mengajarkan
karakter
berarti
memberikan
pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai tertentu, keutamaan, dan maslahat. b. Keteladanan Peserta didik lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan menempati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih dahulu memilki karakter yang hendak diajarkan. Guru adalah yang digugu dan ditiru, pesreta didik lebihmudah meniru apa yang dilakukan oleh gurunya tenimbang apa yang diajarkanoleh sang guru. Pengajaran dan keteladanan merupakan metode asasi bagi terbentuknya keutamaan dan akhlak. Prinsip ini terlihat dari perilaku Rasulullah SAW yang bernilai edukatif-akhlaki. Oleh sebab itu, Alllah
12
Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida, Op. Cit., hlm. 39- 41.
32
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk meneladaninya, yakni melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. c. Menentukan Prioritas Menetukan prioritas yang jelas harus ditentukan agar suatu proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas. Tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus, sehingga tidak dapat dinilai berhasil atau tidak berhasil. Lembaga pendidikan menghimpun kumpulan karakter yang dianggap penting pelaksanaanya dan untuk merealisasikan visi lembaga pendidikan. Oleh karena itu lembaga pendidikan memiliki beberapa kewajiban: 1) Menentukan tuntutan standar yang akan ditawarkan pada peserta didik. 2) Semua pribadi yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus memahami secara jernih apa nilai yang ingin ditekankan dalam pendidikan karakter. Jika lembaga ingin menetapkan perilaku standar yang menjadi ciri khas lembaga, maka karakter standar itu harus dipahami oleh anak didik, orang tua dan masyarakat. d. Praktis Prioritas Unsur lain yang sangat penting untuk pendidikan karakter adalah bukti dilaksanakanya prioritas nilai pendidikan karakter
33
tersebut. Berkaitan dengan tuntutan lembaga pendidikan atas prioritas nilai yang menjadi visi kinerja pendidikanya, lembaga pendidikan harus mampu membuat verifikasi sejauh mana visi sekolah telah dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan skolastik melalui berbagai macam unsur yang ada didalam lembaga pendidikan itu sendiri. e. Refleksi Karakter yang dibentuk oleh lembaga pendidikan melaui barbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis. Tanpa ada usaha sadar untuk melihat kembali sejauh mana proses pendidikan karakter ini direfleksikan dan dievaluasi, tidak akan pernah terdapat kemajuan. Refleksi merupakan kemampuan sadar khas manusiawi, dengan
kemampuan
sadar
ini,
mampu
mengatasi
diri
dan
meningkatkan kualitas hidupnya dengan baik.13 Dalam hal ini, Menurut Hery Noer Aly, metode pendidikan karakter sebagai berikut: a. Pembiasaan Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Yang dimaksud dengan kebiasaan (habit) ialah cara-cara yang bertindak personal, uniform dan hampir-hampir otomatis (hampir-hampir tidak disadari oleh pelakunya).
13
Bambang Q-Aness dan Adang Hambali, Op. Cit., hlm. 108-110.
34
Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan karakter yang sangat penting, terutama bagi anak-anak, karena mereka belum menginsafi apa yang disebut baik dan buruk dalam arti susila.14 b. Memberi Nasehat Nasehat
adalah
penjelasan
tentang
kebenaran
dan
kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasehati dari bahaya serta menunjukanya kejalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat. Memberi nasehat merupakan salah satu metode penting dalam pendidikan karakter. Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh yang baik ke dalam jiwa peserta didik apabila digunakan dengan cara yang dapat menyentuh relung jiwa.15 c. Motivasi dan Intimidasi Dalam bahasa Arab, metode ini disebut uslub al-targhib wa altarhib. Metode ini sesuai dengan tabi‟at manusia dimanapun dan apapun jenis, waran kulit dan ideologinya. Manusia menurut tabi‟atnya bertingkah laku sesuai dengan kadar kemampuanya tentang akibat yang mungkin lahir dari tingkah laku dan perbuatanya, apakah akibat
itu
membahayakan
ataukah
bermanfaat
dan
apakah
menyenangkan ataukah menyengsarakan. Motivasi dan intimidasi digunakan sesuai dengan perbedaan tabi‟at dan kadar pengetahuan menusia terhadap prinsip-prinsip dan 14 15
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana, 1999), hlm. 184-185. Ibid., hlm. 191.
35
kaidah Islam. Sebab pengaruh yang dihasilkan tiap-tiap metode ini tidaklah sama. Dalam pelaksanaan prinsip ini, hendaknya guru atau pendidik tanggap akan adanya berbagai iklim dan kondisi yang dihayati peserta didik selama proses belajar mengajar.16 d. Hukuman Hukuman merupakan metode terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang hendak diperhatikan pendidik dalam menggunakan metode hukuman tersebut, diantaranya sebagai berikut: 1) Hukuman adalah metode kuratif yang artinya, tujuan hukuman ialah untuk memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik lainya, bukan untuk balas dendam. 2) Hukuman baru dilakukan apabila metode lain seperti nasehat, dan peringatan tidak berhasil guna memperbaiki peserta didik. 3) Sebelum dijatuhi hukuman, peserta didik hendaknya lebih dahulu diberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri. 4) Hukuman yang dijatuhkan kepada peserta didik hendaknya dapat dimengerti olehnya, sehingga ia sadar akan kesalahanya dan tidak mengulanginya. 5) Hukuman psikis lebih baik tenimbang hukuman fisik. 6) Hukuman hendaknya disesuaikan dengan perbedaan latar belakang kondisi peserta didik.
16
Ibid., hlm. 196-197.
36
7) Dalam menjatuhkan hukuman, hendaknya diperhatikan prinsip logis, yaitu hukuman disesuaikan dengan jenis kesalahan. 8) Pendidik hendaknya tidak mengeluarkan ancaman hukuman yang tidak mungkin dilakukannya. e. Metode Persuasi Metode persuasi ialah menyakinkan peserta didik tentang suatu ajaran dengan kekuatan akal. Dengan metode persuasi, pendidikan Islam menekankan pentingnya memperkenalkan dasardasar rasional dan logis segala persoalan yang dimajukan kepada peserta didik. Mereka dihindarkan dari meniru segala pengetahuan secara buta tanpa memahami hakikatnya atau pertalianya dengan realitas, baik individual maupun sosial. Peserta didik juga diberi kesempatan untuk melakukan diskusi secara benar dan konstruktif dalam menganalisis berbagai aspek obyek yang didiskusikan. f. Pengetahuan Teoritis Metode ini merupakan metode yang paling tua dan umum digunakan dalam pendidikan karakter, dalam pendidikan Islam, pengetahuan dan ilmu mempunyai nilai yang hakiki. Orang-orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan tidak akan pernah sama. Islam memandang ilmu sebagai jalan untuk mencapai ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT. Islam menghargai ilmu dan orang
37
yang
berilmu,
serta
memandang
pengetahuan
sebagai
dasar
pertanggungjawaban.17
B. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam 1. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Wina Sanjaya dalam bukunya “Kurikulum dan Pembelajaran”, mengatakan bahwa: kata „pembelajaran adalah terjemah dari „instruction‟ yang banyak digunakan dalam dunia pendidikan Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-wholistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar.18 Sedangkan menurut Ahmad Zayadi dan Abdul Majid, Istilah pembelajaran (instruction)secara sederhana bermakna „upaya untuk membelajarkan seseorang atau sekelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode, dan pendekatan kearah pencapaian tujuan
yang
telah
pembelajaranmerupakan 17 18
direncanakan‟. kegiatan
Atau
dengan
kata
terencana
Ibid., hlm. 200-206. Wina Sanjaya, Kurikulm dan Pembelajaran (Jakarta: Kencana,2011), hlm.213.
lain, yang
38
mengondisikan/merangsang seseorang agar bisa belajar sesuai dengan tujuan pembelajaran.19 Pembelajaran (instruction) merupakan akumulasi dari konsep mengajar (teaching) dan konsep belajar(learning). Penekananya terletak pada perpaduan antara keduanya, yakni pada penumbuhan aktifitas subjek didik. Konsep tersebut dapat dipandang sebagai suatu sistem, sehingga dalam sistem belajar ini terdapat komponen-komponen seperti siswa atau peserta didik, tujuan, materi untuk mencapai tujuan, fasilitas, dan prosedur serta alat atau media yang harus dipersiapkan. Sedangkan pengertian pendidikan agama Islam, sebagaimana Menurut Zakiyah Darajat yang dikutip oleh Abdul Majid dan Dian Andayani,menyatakan bahwa pendidikan agama Islam adalah suatu usaha membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.20 Esensi pendidikan adalah adanya proses transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan dari generasi tua kepada generasi muda. Oleh karena itu ketika kita menyebut pendidikan Islam, maka akan mencakup dua hal, (a)mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak
19
Ahmad Zayadi dan Abdul Majid, Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berdasarkan Pendekatan Kontekstual (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm.8. 20 Abdul Majid & Dian Andayani,Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 130.
39
Islam; (b)mendidik siswa-siswi untuk mempalajari materi ajaran Islam berupa pengetahuan tentang ajaran Islam.21 Dengan
demikian,
pembelajaran
pendidikan
agam
Islam
merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik/guru PAI dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk menyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mempunyai tujuan untuk menjadikan manusia menjadi lebih mulia. 2. Fungsi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Menurut Abdul Majid & Dian Andayani, fungsi pendidikan agama Islam untuk sekolah/madrasahadalah sebagai berikut: a. Pengembangan Yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran, dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya. b. Penanaman Nilai Sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
21
Ibid.,hlm. 131.
40
c. Penyesuaian Mental Yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkunganya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkunganya sesuai dengan ajaran agama Islam. d. Perbaikan Yaitu, untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangankekurangan
dan
kelemahan-kelemahan
peserta
didik
dalam
kenyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari. e. Pencegahan Yaitu,
untuk
menangkal
hal-hal
yang
negatif
dari
lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembanganya menuju manusia Indonesia seutuhnya. f. Pengajaran Tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya. g. Penyaluran Yaitu, untuk menyalurkan anak-anak yang berbakat khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.22
22
Ibid.,hlm. 135.
41
3. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Tujuan pendidikan agam Islam di sekolah/madrasah yakni untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tujuan pendidikan agama Islam terdapat tahapan-tahapannya. Secara umum tahapan-tahapan tujuan pendidikan agama Islam meliputi: a. Tujuan tertinggi/terakhir Tujuan tertinggi dalam pendidikan agama Islam bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi ini seseuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Tuhan: 1) Menjadi hamba Allah SWT. 2) Mengantarkan subyek peserta didik menjadi khalifah fi al-Ardh, yang mampu memakmurkan bumi dan melestarikanya dan lebih jauh lagi, mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan tujuan penciptanya, dan sebagai konsekuensi setelah menerima Islam sebagai pedoman hidup.
42
3) Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup dii dunia sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat.23 b. Tujuan umum Tujuan umum pendidikan agama Islam bersifat empirik dan realistik.
Tujuan
umum
berfungsi
sebagai
arah
yang
taraf
pencapaianya dapat diukur karena peruabahan sikap, perilaku, dan kepribadian peserta didik.24 c. Tujuan khusus Tujuan khusus pendidikan agama Islam ialah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi/terakhir dan tujuan umum (Pendidikan
Islam).
Tujuan
khusus
bersifat
relatif
sehingga
dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/terakhir dan umum itu. Pengkhususan tujuan tersebut didasarkan pada: 1) Kultur dan cita-cita suatu bangsa. 2) Minat, bakat, kesanggupan subyek didik. 3) Tuntutan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu.
23 24
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 66. Ibid.,hlm. 68.
43
d. Tujuan sementara Tujuan sementara pendidikan agama Islam adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.25 Dengan demikian, Pendidikan agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil, guna mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, karena pendidikan pada saat kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya. Sebagai mana menurut pendapat Zakiyah Dradjat yang dikutip Abdul Majid dan Dian Andayani,bahwa pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan yang dilaluinya sejak kecil.26
C. Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Batasan karakter berada dalam dua wilayah. Ia diyakini ada sebagai sifat fitri manusia, sementara pada sisi lain ia diyakini harus “dibentuk” melalui model pendidikan tertentu. Aristoteles menyakini bahwa individu tidak lahir dengan kemampuan untuk mengerti dan menerapkan standarstandar moral, dibutuhkan pelatihan yang berkesinambungan agar individu menampakan kebaikan moral. Sebagaimana Hadits Rasulullah menegaskan bahwa tugas kenabian Muhammad Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlak. Ini berarti telah ada benih akhlak pada masing-masing manusia, tinggal bagaimana lingkungan pendidikan dapat mengoptimalkan benih-benih 25
Ibid.,hlm. 70-71. Abdul Majid & Dian Andayani,Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 139. 26
44
tersebut. Sejalan dengan hadits yang lainyang menegaskan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitri, bergantung pada bagaimana lingkunganya yang akan membentuk kefitrian itu dalam warna tertentu yang khas.27 Secara praktis dapat dirumuskan apa yang harus dikembangkan sebagai model pendidikan karakter. Pertama, menggunakan pembidanan Socrates untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya karakter tertentu. Formula 4 M Ratna Megawangi dapat digunakan yakni mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), menginginkan kebaikan (desiring the good), dan mengerjakan kebaikan (acting the good) merupakan urutan proses pengajaran yang bermula dari memberikan pengetahuan
peserta
didik
tentang
kebaikan,
menggiring
atau
mengkondisikan agar peserta didik mencintai kebaikan tersebut, kemudian membangkitkan peserta didik agar menginginkan karakter yang diajarkan, dan terakhir mengondisikan peserta didik agar mengerjakan kebaikan secara sukarela, simultan, dan berkesinambungan.28 Metode pembidanan tidak bisa secara optimal digunakan, karena membangkitkan kesadaran individu peserta didik akan karakter tertentu tidaklah mudah. Karena itu pendidikan karakter tetap saja membutuhkan sekumpulan karakter yang hendak “dibangkitkan” dari individu. Di sinilah pentingnya penggabungan metode pembidanan dengan metode yang kedua, yaitu pembiasaan. Peserta didik “dipancing” untuk menyadari karakter tertentu yang telah ditentukan (dengan metode 4M), baru kemudian karakter 27 28
Bambang Q-Anees danAdang Hambali,Op. Cit., hlm. 120. Ibid., hlm. 121.
45
yang telah disadari itu dan diinginkan itu dibiasakan dalam keseharian secara simultan. Ada beberapa metode pendidikan yang dapat diterapkan, diantaranya adalah metode dialog partisipatif dan metode eksperensial. Metode dialog partisipatifmendorong siswa-siswi untuk kreatif, kritis, mandiri dan terampil berkomunikasi. Metode dialog partisipasi dapat dijabarkan/dikonkretkan dalam kegiatan-kegiatan seperti diskusi kelompok, sharing pengalaman keseharian, dan sharingpengalaman iman, wawancara, dramatisasi, dinamika kelompok ,dsb. Metode eksperensial (naratif) menggunakan cerita sebagai pengembangan diri. Metode ini dianggap unggul karena: bersifat merangsang imajinasi peserta didik, menyapa peserta didik secara menyeluruh, baik segi kognitif maupun afektif; bersifat menawarkan, membebaskan, dan tidak menjejali.29 Selain itu, pendidik harus bisa memilih pengajaran karakter yang mempunyai nilai permanen dan tahan lama, yang diyakini berlaku bagi semua manusia. Menurut Covey yang dikutip Bambang Q-Anees dan Adang Hambalimengemukakan sejumlah prinsip nilai yang dianggap berlaku bagi semua manusia. Covey bahkan menyakini bahwa prinsip-prinsip ini adalah hukum alam bagi kehidupan manusia, yaitu hukum yang bisa berlaku secara universal pada semua manusia di manapun dan kapanpun. Prinsip-prinsip itu adalah keadilan, integritas, kejujuran, martabat, pelayanan, kualitas, dan pertumbuhan.
29
Ibid., hlm. 121-122.
46
Prinsip-prinsip tersebut hanya bisa didapatkan dari Al-Qur‟an. Pendidikan karakter dalam agama Islam menjadikan Al-Qur‟an sebagai sumber rujukan pengembangan karakter. Namun sebagai catatan dapat ditegaskan bahwa perujukan Al-Qur‟an bukan berarti Al-Qur‟an saja, juga pada akhlak Rasulullah. Dasarnya adalah “Al-Qur‟an merupakan akhlak Rasulullah”. Jadi penghayatan dan pengamalan (kegiatan mengalami) apa yang dilakukan Rasulullah dalam hal akhlak menjadi syarat dasar bagi penghayatan Al-qur‟an.30 Secara teknis, urutan pendidikan karakter berbasis Al-qur‟an dapat berlangsung sesuai tahapan sebagai berikut: Pengalaman Pembelajaran
Refleksi
Aksi
Evaluasi 1. Tahap pertama: Pengalaman Pembelajaran (pengenalan) Pengalaman adalah suatu kegiatan yang melibatkan dimensi kognitf daan afektif. Melalui pengalaman peserta didik mengalami suatu tantangan terhadap pengetahuan yang sudaah dimilikinya dengan fakta, ide, dan masukan baru dari pendidik. Melalui pengalaman, konteks (pengetahuan asal, kebiasaan dasar, pengalaman sebelumnya) yang dibawa
30
Ibid., hlm. 122.
47
peserta didik dihadapkan pada suatu pengalaman baru, sesuatu yang memungkinkan untuk sepaham atau berkebalikan dengan konteks yang sebelumnya telah dimiliki oleh peserta didik. Pengalaman pembelajaran merupakan penerapan dari 2 dari metode 4 M, yaitu mengetahui dan mencintai. Metode yang dapat dilakukan untuk membawa peserta didik pada pengalaman dapat berupa aktifitas bersama, problem solving, aktivitas mandiri, dan peer-group learning. Sebelum tahap pertama dilakukan, pengajar harus terlebih dahulu menentukan sumber dan sprinsip nilai (karakter) apa yang hendak diajarkan. Dengan hal ini pengajar harus memahami secara utuh materi pengajaran serta maknanya dalam kaitanya dengan prinsip nilai dan karakter.31 2. Tahap kedua: Refleksi Refleksi
adalah
proses
pencarian
arti
untuk
pengalaman
pembelajaran. Refleksi merupakan suatu proses (1) untuk mengedepankan perolehan makna dalam pengalaman manusiawi dengan pemahaman lebih baik mengenai kebenaran yang telah dipelajari; (2) untuk mengerti akan sumber perasaan dan reaksi yang dialami seseorang lewat apa yang dipelajari; (3) untuk memperdalam pemahaman tentang implikasinya baik bagi dirinya sediri maupun orang lain; (4) untuk mendapatkan pengertian personal akan kejadian-kejadian dan ide-ide yang ada.
31
Ibid., hlm. 124.
48
Manfaat refleksi, yaitu sebagai proses formatif dan pembebasan. Refleksi akan membentuk kasadaran peserta didik, termasuk kepercayaan, sistem nilai, sikap, dan seluruh cara berfikir mereka, sedemikian rupa sehingga mereka dibawa maju untuk melakukan suatu aksi dalam paradigma baru. Refleksi (atau saling refleksi antar guru-murid) akan dapat memperkuat, menantang, mendorong, menyimak kembali, dan akhirnya memberi banyak kepastian bahwa apa yang dipelajari dan apa yang akan dilaksanakan, entah secara pribadi atau bersama, sungguh sesuai dengan cita-cita untuk menjadi manusia mulia. Pada tahap refleksi ini peserta didik dapat menghasilkan kesimpulan seperti prinsip-prinsip nilai yang telah dirancang oleh guru. Seperti: setiap tindakan pasti dilakukan atas dasar apa atau dasar siapa, tindakan yang baik dilakukan atas dasar kasih sayang, atau kebaikan yang patut mendapat pujian didapatkan pada orang yang memelihara lingkungan, kasih sayang pada sesama, dan merencanakan masa depanya. 3. Tahap ketiga: Aksi atau Afirmasi Setelah peserta didik melakukan refleksi dan menemukan makna yang membangkitkan kecintaan dan keinginan untuk melakukan, peserta didik didorong untuk melakukan aksi tertentu. Aksi atau afirmasi adalah upaya untuk mengajari peserta didik dalam melakukan pilihan-spilihan dari berbagai sistem nilai yang ada. Aksi disini berarti penentuan pilihan yang mengubah cara pandang lama ke cara pandang baru. Misalnya, peserta didik diminta untuk menyadari
49
kebiasaan lamanya dan membandingkan dengan prinsip tindakan yang telah dihasilkan dalam refleksi, kemudian peserta didik didorong untuk “mengganti” atau “mengubah” tindakanya.32 Pada tahap aksi atau afirmasi ini peserta didik dapat menghasilkan kesimpulan seperti prinsip-prinsip nilai yang telah dirancang oleh guru. Seperti: setiap tindakan pasti dilakukan atas dasar apa atau dasar siapa, tindakan yang baik dilakukan atas dasar kasih sayang, atau kebaikan yang patut mendapat pujian didapatkan pada orang yang memelihara lingkungan, kasih sayang pada sesama, dan merencanakan masa depanya. 4. Tahap keempat: Evaluasi Setelah melewati batas waktu yang ditentukan, peserta didik dan pengajar
melakukan
evaluasi
secara
bersama-sama:
bagaimana
pengalamanya, tingkat kesulitan, keberhasilan menghadapi tantangan, keberhasilan untuk konsisten, apa hasil positif yang didapatkan, dan seterusnya. Evaluasi berarti student centered evaluation. Evaluasi dilakukan dalam konteks dan pengalaman peserta didik yang melakukan tindakan atau aksi. Jadi yang digunakan bukan dari sudut pandang pendidik. Pendidik adalah subjek yang menemani peserta didik untuk berkembang, yang berarti juga teman bagi peserta didik untuk menilai perkembangan dirinya.33
32 33
Ibid., hlm. 126. Ibid., hlm. 126-127.
50
Evaluasi (penilaian) karakter dimaksudkan untuk mendeteksi karakter yang terbentuk pada diri peserta didik dalam pembelajaran yang telah diikutinya. Pembentukan karakter memang tidak bisa terbentuk dalam waktu yang singkat, tetapi indikator perilaku dapat dideteksi secara dini oleh setiap guru. Satu hal yang harus diperhatikan dalah bahwa penilaian yang dilakukan harus mampu mengukur karakter yang diukur.34 Sedangkan tujuan evaluasi (penilaian) karakter adalah untuk mengukur sejauh mana nlai-nilai yang telah dirumuskan sesuai standar minimal telah dikembangkan dan ditanamkan di sekolah serta dapat dihayati, diamalkan, diterapkan, dan dipertahanakan oleh peserta didik dalam kehidupan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanakan pada setiap saat, baik dikelas maupun di luar kelas, dengan cara pengamatan dan pencatatan.35
34
E. Mulyasa,Pengembangan dan Implementtasi Kurikulum 2013 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 147. 35 Nurul Zuriah,Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 250.