BAB II KONSEP PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER A. PENDEKATAN SAINTIFIK 1. Pengertian Pendekatan Saintifik Pendekatan pembelajaran diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, didalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu.1 Pendekatan saintifik adalah proses yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara langsung mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahap-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan.
Pendekatan
saintifik
dimaksudkan
untuk
memberikan
pemahaman kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi dengan menggunakan pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah dari guru.
1
Zainal Mustakim, Strategi dan Metode Pembelajaran (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press), hlm. 72
22
23
Oleh karena itu, kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber melalui observasi dan bukan hanya diberi tahu.2 National Science Teacher Assosiation (NSTA) sebagaimana yang dikutip oleh Daryanto dan Herry Sudjendro dalam buku yang berjudul “Siap Menyongsong Kurikilum 2013”, mendefinisikan bahwa scientific approach
(pendekatan saintifik) merupakan pendekatan untuk belajar atau mengajar sains dan teknologi dalam konteks pengalaman manusia. Pendidikan sains pada
hakikatnya
merupakan
upaya
pemahaman,
penyadaran,
dan
pengembangan nilai positif tentang fenomena alam dan sosial yang meliputi produk dan proses. Dalam proses pembelajaran ini, struktur pembelajarannya sistematis, deskripsi pelaporannya objektif, konsep pembelajarannya jelas dan sikapnya kritis.3 Tim PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesionalisme Guru) Rayon 112, menyatakan bahwa pendekatan saintifik adalah konsep dasar yang menginspirasi atau melatar belakangi perumusan metode mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah. Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan.4 Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan saintifik merupakan sebuah pendekatan yang digunakan dalam 2
Hosnan, Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21 (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), hlm. 34 3 Daryanto dan Herry Sudjendro, Siap Menyongsong Kurikilum 2013. Cet ke 1 (Yogyakarta: Gaya Medika, 2014), hlm. 82 4 PANITIA Sertifikasi Guru Rayon 112, Bahan Ajar Sertifikasi Guru Pendidikan dan Latihan Profesionalisme Guru (PLPG) Sertifikasi Guru dalm Jabatan (Uniersitas Negeri Semarang, 2013), hlm. 1-2
24
pembelajaran yang bersifat ilmiah yakni peserta didik dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran melalui tahapan-tahapan mengamti, menanya, mengumpulkan data, menalar dan mengkomunikasikan sehingga siswa dapat memahami materi yang diajarkan sebab dalam pendekatan ilmiah siswa tidak hanya memperoleh informasi atau materi yang diajarkan melalui penjelasan gurunya tetapi siswa dapat memperoleh informasi dari mana saja.
2. Kriteria Pendekatan Saintifik Dalam pendekatan saintifik ada beberapa kriteria yang harus dipahami para pelaku pendidikan terutama bagi yang menerapkan kurikulum 2013. Kriteria tersebut antara lain sebagai berikut: 1.
Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penelaran tertentu bukan sebatas kira-kira, khayalan legenda atau dongeng semata.
2.
Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pikiran subjektif atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3.
Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memcahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
4.
Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
25
5.
Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan dan dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6.
Berbasis pada konsep, teori dan fakta empiris yang dapat dipertanggung jawabkan.
7.
Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem pembelajarannya.5
3. Pembelajaran dalam Pendekatan Saintifik 1) Pembelajaran Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.6 Pada pendidikan formal (sekolah), pembelajaran merupakan tugas yang dibebankan kepada guru, karena guru merupakan tenaga profesional yang dipersiapkan untuk itu. Ada beberapa prinsip yang perlu dikuasi dan dikemnbangkan oleh guru dalam upaya mengoptimalkan kegiatan pembelajaran, yaitu:
5 6
a.
Prinsip perhatian dan motivasi
b.
Prinsip keaktifan
c.
Prinsip keterlibatan langsung/berpengalaman
d.
Prinsip pengulangan
e.
Prinsip tangtangan
Hosnan, Op. Cit., hlm. 38 Ibid., hlm. 4
26
f.
Prinsip balikan dan penugasan
g.
Prinsip perbedaan individu7 Sedangkan hal-hal yang harus dilakukan oleh guru dalam
pembelajaran antara lain: a. Menyediakan sumber belajar b. Mendorong siswa untuk berinteraksi dengan sumber belajar (menugaskan) c. Mengajukan pertanyaan agar siswa memikirkan hasil interaksinya d. Memantau persepsi dan proses berpikir siswa e. Mendorong siswa berdialog/berbagi hasil pemikirannya f. Mengkonfirmasi pemahaman yang diperoleh siswa g. Mendorong siswa untuk mereflesikan pengalaman belajarnya.8 Agar terjadi interaksi pembelajaran dengan baik, ada beberapa komponen yang sling berkaitan dan saling membantu, serta merupakan satu kesatuan yang dapat menunjang proses pembelajaran.9
2) Langkah-langkah Pembelajaran pada Pendekatan Santifik Langkah-langkah pembelajaran pada kurikulum 2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik). Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan saintifik ini tidak selalu dapat diaplikasikan secara 7
Daryanto, Muldjo Raharjo, Model Pembelajaran Inovatif , Cet.1 (Yogyakarta: Gaya Media, 2012), hlm. 30-36 8 Hosnan, Op. Cit, hlm. 37 9 Jamal Suprihatiningrum, Strategi Pembelajaran Teori dan Aplikasi (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2013), hlm. 77
27
prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilainilai atau sifat-sifat non ilmiah. Pada pendekatan ilmiah (saintifik), pembelajaran disajikan sebagimana berikut ini: a. Mengamati (Observing) Kegiatan pertama pada pendekatan ilmiah (saintifik) adalah pada langkah pembelajaran mengamati/ observing. Metode observasi adalah
salah
satu
strategi
pembelajaran
yang
menggunakan
pendekatan kontekstual dan media asli dalam rangka membelajarkan siswa yang mengutamakan kebermaknaan proses belajar. Dengan metode observasi, siswa akan merasa tertantang mengeksplorasi rasa keingintahuannya tentang fenomena dan rahasia alam yang senntiasa menantang.10 Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang dan mudah melaksanakannya. Selain itu metode mengamati juga mempunyai beberapa
kekurangan, yaitu membutuhkan waktu
persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan menghamburkan makna serta tujuan pembelajaran. Praktik observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan alat-alat pencatat dan
10
Hosnan, Op. Cit., hlm. 39
28
alat-alat lain, seperti : Tape recorder, kamera, kamera video, dan instrument sebagi media pencatat yang berupa daftar (cecklist), skala rentang (rating scale), catatan anekdot (anecdotal reccord).11 b. Menanya (Questioning) Langkah ke dua pada pendekatan ilmiah (saintifik) adalah menanya (questioning). Kegiatan belajarnya adalah mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang daimati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (mulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Kompetensi yang dikembangkan adalah kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat. Pada kegiatan pembelajaran ini, siswa melakukan pembelajaran bertanya.12 Pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tangapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapata berupa
pernyataan, asalkan keduanya
menginginkan tanggapan verbal. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula ia membimbing atau membantu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya,
11
Panitia Sertifikasi Guru Rayon 112, Op. Cit., hlm. 5-7 Hosnan, Op. Cit, hlm. 48-49 13 Panitia Sertifikasi Guru Rayon 112, Op. Cit., hlm. 7-12 12
29
ketika itu pula itu pula ia mendorong asuhannya untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.13 c. Mengumpulkan Informasi Kegiatan “mengumpulkan informasi” merupakan tindak lanjut dari bertanya. Kegiatan ini dilakukan dengan menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber melalui berbagai cara. Untuk itu, peserta didik dapat membaca buku yang lebih banyak, memperhatikan fenomena atau objek yang lebih teliti atau bahkan melakukan eksperimen. Dari kegiatan tersebut terkumpul sejumlah informasi. Dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, aktivitas mengumpulkan informasi dilakukan melalui eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/kejadian/aktivitas wawancara dengan narasumber dan sebagainya.14 d. Mengasosiasikan/Mengolah Informasi/Menalar (Associating) 1) Esensi menalar Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas
fakta-fakta
empiris
yang
dapat
diobservasi
untuk
memperoleh simpulan berupa pengetahuan, penalaran yang dimaksud merupakan penalaran ilmiah. 2) Cara menalar Seperti yang telah dijelaskan diatas terdapat dua cara menalar, yaitu : 13
Daryanto, Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013 (Yogyakarta: Gava Media, 2014), hlm. 80
30
a) Penalaran Induktif Penalaran
induktif
merupakan
proses
penarikan
kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi kesimpulan yang bersifat umum. b) Penalaran Deduktif Pealaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik
kesimpulan
dari
pernyataan-pernyataan
atau
fenomena yang bersifat umum menuju pada hal ynag bersifat khusus.15 e. Mengkomunikasikan Pada pendekatan saintifik guru diharapkan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengkomunikasikan apa yang telah mereka pelajari. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui menuliskan atau menceritakan apa yang telah ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiakan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampaikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut. Kegiatan “mengkomunikasikan” dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaiakan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, adalah
15
Ibid., hlm. 71-76
31
menyampaikan hasil pengamatan. Kesimpulan berdasrkan hasil analisis secara lisan tertulis atau media lainnya.16 3) Jejaring Pembelajaran pada Pendekatan Ilmiah (Saintifik) Pada pendekatan ilmiah menggunakan jejaring pembelajaran dengan pembelajaran kolaboratif. Kolaborasi esensinya merupakan interaksi filsafat dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pada pembelajaran kolaboratif fungsi guru lebih bersifat derektif atau manajer belajar, sebaliknya peserta didiklah yang harus lebih aktif. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berkolaborasi dengan empati, saling mengamati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masingmasing. Dengan cara demikian akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkinkan peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama. 17 Banyak metode yang dipakai dalam pembelajaran atau kelas kolaboratif, beberapa diantaranya dijelaskan berikut ini: a. Jigsaw
16 17
Hosnan, Op. Cit., hlm 75-76 Hosnan, Op. Cit, hlm. 79
32
Jigsaw adalah strategi pembelajaran kooperatif dimana siswa individu menjadi pakar dalam sub bagian topik dan mengajarkan sub bagian itu kepada orang lain.18 b. STAD (Student Team Achievment Divisions) STAD (Student Team Achievment Divisions) adalah strategi pemebelajaran kooperatif yang memberikan tim berkemampuan majemuk praktik untuk mempelajari konsep dan keterampilan. Jadi motode pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah salah satu metode pembelajaran yang berguna untuk menumbuhkan kemampuan kerja sama, kreatif, berpikir kritis dan ada kemempuan untuk membantu teman serta merupakan pembelajaran kooperatif yang sangat sederhana.19 c. LT (Learning Together) Pada metode ini, kelaompok-kelompok sekelas beranggotakan peserta didik yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok anya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan atas hasil kerja kelompok.20 4) Pemanfaatan Internet Pemanfaatan internet sangat dianjurkan dalam pembelajaran atau kelas kolaboratif. Karena memang, internet merupakan salah satu jejaring
18
Panitia Sertifikasi Guru Rayon 112, Op. Cit., hlm. 16-19 Hosnan, Op. Cit., hlm 265 20 Panitia Sertifikasi Guru Rayon 112, Op. Cit., hlm. 18 19
33
pembelajaran dengan akses dan ketersedian informasi yang luas dan mudah. Penggunakan internet disarankan makin mendesak sejalan dengan perkembangan pengetahuan yang terjadi secara optimal. Masa depan adalah milik peserta didik yang memiliki akses hampir ke seluruh informasi tanpa batas dan mereka yang mampu memanfaatkan informasi yang diterima secepat mungkin.21 Pembelajaran kolaboratif yang didukung dengan teknologi memiliki kekuatan yang saling melengkapi. Terlebih penggunaan teknologi yang dibantu dengan intruksi, maka akan memungkinkan argumentasi yang membengun. 5) Model Pembelajaran pada Pendekatan Saintifik Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai sebuah kerangka konseptual
yang
melukiskan
prosedur
yang
sistematis
yang
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan befungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan strategi dan aktivitas prinsip pembelajaran/paradigma belajar dari pola lama bergeser menuju ke pola baru.22 Dalam pendekatan saintifik terdapat tiga model pembelajaran yang digunakan, yaitu:
21 22
Ibid., hlm. 19 Hosnan, Op. Cit., hlm 181
34
a. Discovery Learning (Penemuan) Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembanngkan berdasarkan pandangan kontrukstisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu. Melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran.23 Dalam pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk belajar aktif melalui keterlibatan mereka sendiri dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip
dan
guru
mendorong
siswa
untuk
memiliki
pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Keuntungan yang didapat siswa dengan pembelajaran model ini adalah sebagai berikut: 1) Mengembangkan potensi intelektual 2) Mengubah siswa yang memiliki motivasi dari luar menjadi motivasi dalam diri sendiri 3) Siswa akan belajar bagaimana belajar (lern how to learn) 4) Mempertahankan memori
Zuhdan Kun Prasetyo berpendapat bahwa belajar penemuan (discovery learning) dibedakan menjadi dua, yaitu penemuan bebas (free discovery) dan penemuan terpadu/terbimbing (guided discovery).
23
Ibid., hlm. 280-281
35
Temuan terbimbing adalah satu pendekatan mengajar dimana guru memberi siswa contoh-contoh topic yang spesifik dan memandu siswa untuk memahami topik tersebut.24 Guru yang menganut tujuan pokok Bruner, yaitu menjadikan siswa mampu berdiri sendiri, harus mendorong siswa untuk mandiri sedini mungkin sejak awal sekolah. pembelajaran memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengikuti minat alamiah mereka. Guru dapat membantu siswa untuk memahami dengan bentuk gambar atau demonstrasi.25 b. Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah) Model
Problem Based Learning (PBL) adalah model
pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah yang nyata sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannnya sendiri, menumbuhkembangkan
keterampilan
yang
lebih
tinggi,
memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan keterampilan
berpikir
kritis
dan
pemecahan
masalah
serta
mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting, dimana tugas guru harus
memfokuskan
diri
untuk
membantu
siswa
mencapai
keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berbasis masalah,
24
Jamil Suprihatiningrum, Strategi Pembelajaran Teori dan Aplikasi (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2013) hlm. 241-246 25 Ibid., hlm. 244-248
36
penggunaanya di dalam tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar.26 Tujuan utama PBL bukanlah penyampaian sejumlah besar pengetahuan kepada peserta didik, melainkan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah dan sekaligus mengembangkan kemampuan peserta didik untuk secara aktif membangun pengetahuan sendiri. PBL dimaksudkan juga untuk mengembangkan kemandirian belajar dan keterampilan sosial peserta didik. Kemandirian belajar dan keterampilan sosial itu dapat terbentuk ketika peserta didik berkolaborasi untuk mengidentifikasi informasi, strategi, dan sumber belajar yang relevan untuk menyelesaikan masalah.27 Syarat-syarat masalah yang dijadikan pusat pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Relevan dengan tujuan pembelajaran, mutakhir dan menarik 2) Berdasarkan informasi yang luas 3) Terbentuk secara konsisten dengan masalah lain, dan 4) Termasuk masalah dalam dimensi kemanusiaan
Keterlibatan siswa dalam strategi pembelajaran PBL meliputi kegiatan kelompok dan kegiatan perorangan. Dalam kelompok, siswa melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 26 27
Hosnan, Op. Cit., hlm. 295 Ibid., hlm. 299
37
1) Membaca kasus 2) Menentukan masalah mana yang saling relevan dengan tujuan pembelajaran 3) Membuat rumusan masalah 4) Membuat hipotesis 5) Mengidentifikasi sumber informasi, diskusi, dan pembagian tugas. 6) Melaporkan
Sementara itu guru sebagai tutor mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Mengelola strategi PBL dan langkah-langkahnya 2) Memfasilitasi berfungsinya kelompok kecil 3) Memandu siswa untuk mempelajari materi khusus menuju mekanisme dan konsep dan bukan solusi dari masalah 4) Mendukung otonom ssiwa dalam belajar 5) Mendukung humanisme melalui kesatuan keilmuan, penghargaan terhadap nilai-nilai empati 6) Menstimulasi motivasi untuk mengarahkan dan mempengaruhi perkembangan siswa 7) Mengevaluasi pembelajaran.28
28
Rusmaono, Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning itu Perlu untuk meningkatkan Profesionalitas Guru (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 75-78
38
Untuk kegiatan perorangan, dalam pemebelajaran PBL, siswa melakukan kegiatan membaca berbagai sumber, meneliti dan menyampaikan temuan. Kegiatan dikelas adalah menerima umpan balik dari kelompok lain, dibawah panduan guru. Bagi
guru
yang
menggunakan
model
PBL
dalam
pembelajarannya, maka perlu persiapan yang sangat matang dan perencanaan yang khusus. Bentuk perencanaan dapat berupa sebuah RPP. Adapun Langkah-Langkah yang ditempuh dalam dalam metode PBL adalah sebagai berikut: 1) Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan, masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya. 2) Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, berdiskusi dan lain-lain. 3) Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dengan jawaban ini tentunya didasarkan kepada data yang telah diperoleh 4) Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betulbetul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul-betul cocok.
39
5) Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jwaban dari masalah tadi.29 c. Projct Based Learning (Pembelajaran Berbasis Proyek) Pembelajaran
berbasis
proyek
(PBP)
merupakan
model
pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media.30 Yang di maksud proyek adalah tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi dari pengumpulan sampai penyajian data. Proyek juga akan memberikan informasi
tentang
pemahaman
dan
pengetahuan
siswa
pada
pembelajaran tertentu, kemampuan mengaplikasikan pengetahuan, dan mengkomunikasikan informasi. Langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek dilakasanakan dalam 3 tahap, yaitu: 1) Tahap Perencanaan Proyek , meliputi: a. Merumuskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai b. Menentukan topik yang akan dibahas c. Mengelompokkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang dengan tingkat kemempuan yang beragam d. Merancang dan menyusun LKS e. Merancang kebutuhan sumber belajar f. Menetpkan rancangan penilaian
29
Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 143 30 Hosnan, Op. Cit., hlm. 319
40
2) Tahap pelaksanaan Langkah-langkah
pembelajaran
pada
pembelajaran
berbasisi proyek menggamit 6 kegiatan pembelajaran yaitu penentuan pertanyaan, menyusun rencana proyek, menyyususn jadwal, memonitoring, menguji hasil, dan evaluasi pengalaman. Pada
langkah
penentuan
pertanyaan,
guru
pertama-tama
menganalisis kometensi inti dan standar kompetensi. Pada materi yang sesuai dengan odel pembelajaran proyek guru melakukan invventarisasi dan memilih KD yang benar-benar sesuai dengan model pembelajaran ini. Pada langkah menyusun rencana proyek yang mencakup menyususn jadwal kegiatan, mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan serta mempersiapkan bagaimana cara menyelesaikan proyek yang telah dirennakan. Pada langkah selanjutnya guru melakukan monitoring. Monitoring dilakukan guru untuk mengetahui dimana siswa mendapatkan kesulitan dan kapan sisa memerlukan bantuan guru. 3) Tahap penilaian Pada tahap ini guru melakukan evaluasi terhadap hasil kerja masing-masing kelompok. Berdasarkan penilaian tersebut guru dapat membuat kesimpulan apakah kegiatan tersebut perlu diperbaiki atau tidak. Sistem penilaian yang dilakuakan pada model pembelajaran proyek adalah penilaian proyek, meliputi penilaian dari tahap
41
perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui
pemahaman,
kemampuan
mengaplikasikan,
kemampuan penyelidikan, dan kemampuan menginformasikan peserta didik pada mata pelajaran tertentu secara jelas. Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu kemampuan pengelolaan, relevansi
dan
keaslian.
Kemampuan
pengelolaan
yaitu
kemampuan peserta didik dalam memilih topic, mencari informasi, mengelola waktu pengumpulan data dan penulisan laporan. Relevansi yaitu kesesuaian mempertimbangkan
tahap
mata pelajaran dengan
pengetahuan,
pemahaman
dan
keterampilan dalam pembelajaran. Keaslian adalah bahwa yang dilakukan siswa adalah hasil karyanya. Teknik penilaian proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir. Tahapan yang perlu dinilai yaitu tahapan penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data dan penyampaian laporan tertulis atau poster. Instrumen penilaian berupa daftar cek atau skala penilaian.31 B. Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti a. Pengertian Pendidikan Agama Islam
31
Hosnan, Op.Cit., hlm. 329-331
42
Moh Halimi dan Syamsul Kurniawan, dengan mengutip pendapat Hasan Langgulung, menyebutkan bahwa pendidikan agama Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual, dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilainilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akhirat.32 Menurut Choiri Fuad Yusuf dalam bukuanya Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, menyatakan bahwa fungsi Pendidikan Agama Islam di sekolah adalah untuk pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia atau mempunyai karakter yang baik, penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.33 b. Pengertian Budi Pekerti Budi pekerti adalah watak atau tabiat khusus seseorang untuk berbuat sopan dan menghargai pihak lain yang tercermin dalam perilaku dan kehidupannya. Sedangkan watak itu merupakan keseluruhan dorongan sikap, keputusan, kebiasaan dan nilai moral seseorang yang baik, yang dicakup dalam satu istilah kebajikan.34
32
Moh. Halimi Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2012), hlm. 32-33 33 Choirul Fuad Yusuf, Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT. Citasatria, 2007) hlm. 36 34 Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 18
43
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat dan kerjasama). Dari uraian beberapa definisi diatas dapat disimpulkan, pendidikan agama Islam dan budi pekerti adalah proses penanaman ajaran agama Islam oleh seorang guru kepada peserta didik, sehingga mampu terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari. 2. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Secara umum tahap-tahap tujuan pendidikan agama Islam meliputi: a. Tujuan tertinggi/terakhir Tujuan tertinggi/terakhir dalam pendidikan agama Islam bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Tuhan, yaitu:
44
1) Menjadi hamba Allah SWT 2) Mengantarkan subjek didik menjadi khalifah fil al- Ardh yang mampu memakmurkan bumi dan melestarikannya dan lebih jauh lagi, mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya sesuai dengan tujuan penciptaanya, dan sebagai konsekuensi setelah menerima Islam sebagai pedman hidup 3) Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat. b. Tujuan umum Tujuan umum pendidikan agama Islam bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik. c. Tujuan khusus Tujuan khusus pendidikan agama Islam ialah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi/terakhir dan tujuan umum (Pendidikan Islam). Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/terakhir dan umum itu. Pengkhususan tujuan tersebut didasarkan pada: 1) Kultur dan cita-cita suatu bangsa 2) Minat, bakat, dan kesnggupan subjek didik
45
3) Tuntutan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu.35
C. Karakter 1. Pengertian Karakter Secara bahasa kata karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu “charassein” yang berarti barang atau alat untuk menggores, yang di kemudian hari dipahami sebagai stempel/cap. Jadi, watak itu stempel/cap, sifat-sifat yang melekat pada diri sesorang. Watak sebagai sikap sesorang berubah, kendati watak mengandung unsure bawaan (potensi internal), yang setiap orang dapat berbeda. Namun watak amat sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat lingkungan pergaulan dan lain-lain.36 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.37 Sutarjo Adisusilo, dengan mengutip pendapat F.W. Foerster menyebutkan bahwa karakter adalah sesuatu yang mengualifikasi seseorang pribadi. Karakter menjadi identitas, menjadi cirri, menjadi sifat yang teta, yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Jadi karakter adalah seperangkat nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi sifat tetap dalam diri sesorang, 35
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 66-68 Sutarjo Adisusilo, Perkembangan Nilai Karakter (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2013) hlm. 77 37 WJS Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2013) hlm. 521 36
46
misalnya kerja keras, pantang menyerah, jujur, sederhana dan lainlain.38 Arismantoro dengan mengutip pendapat Alwisol, menyebutkan bahwa karakter diartikan sebagai gamabaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit. Karakter berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter terwujud dari tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan sosial.39 Menurut Ngainun Naim karakter adalah serangkaian sikap (attitudes),
perilaku
(behaviors),
motivasi
(motivations)
dan
keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual, seperti sikap kritis dan alasan moral perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan ketidakadilan,
prinsip-prinsip
kecakapan
moral
interpersonal
dalam dan
situasi
emoosional
penuh yang
memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkonstribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.40 Dari berbagai definisi sebagaimana teleh diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan seseorang yang terbentuk dari hasil 38
Sutarjo Adisusilo, Op .Cit., hlm. 78 Arismantoro, Character Building (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 27 40 Ngainun Nai’im, Character Building (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 55 39
47
internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak sehingga ia dapat hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. 2.
Nilai-nilai Karakter Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa berasal dari nilainilai luhur universal, yakni: a. Cinta Tuhan dan ciptaan- Nya b. Kemandirian dan tanggung jawab c. Kejujuran/amanah dan diplomatis d. Hormat dan santun e. Dermawan, suka menolong, gotong-royong dan kerja sama f. Percaya diri dan kerja keras g. Kepemimpinan dan keadilan h. Baik dan rendah hati i. Toleransi, kedamaian dan kesatuan.41 Menurut Kementrian Pendidikan Nasional, nilai karakter bangsa terdiri atas sebagai berikut: 1) Religius, yaitu ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleransi terhadap pelaksanaan ibadah, perbedaan agama (aliran kepercayaan ) lain.
41
Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter (Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa) (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hlm. 54
48
2) Jujur, yaitu sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan dan perbuatan (mengetahui yang benar, mengatakan yang benar dan melakukan yang benar), sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya. 3) Toleransi,
yaitu
sikap
dan
perilaku
yang
mencerminkan
penghargaan terhadap perbedaan agama aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut. 4) Displin, yaitu kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku. 5) Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan dan lainlai dengan sebaik-baiknya. 6) Kreatif, yaitu sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari hasil sebelumnya. 7) Mandiri, yaitu sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun dalam hal ini bukan berarti tidak boleh kerjasama secara
49
kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain. 8) Demokratis, yaitu sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dan orang lain. 9) Rasa ingin tahu, yaitu cara berpikir sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dipelajari secara lebih mendalam. 10) Semangat
kebangsaan,
yaitu
sikap
dan
tindakan
yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau individu dan golongan. 11) Cinta tanah air, yaitu sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri. 12) Menghargai prestasi, yaitu sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi. 13) Bersahabat/komunitatif, yaitu tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerjasama secara kolaboratif dengan baik.
50
14) Cinta damai, yaitu sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu. 15) Gemar membaca, yaitu kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, Koran dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya. 16) Peduli lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar. 17) Peduli sosial, yaitu sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang saling membutuhkan. 18) Tanggung jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun agama. 42 3. Metode pembentukan karakter Pembentukan karakter peserta didik tentunya membutuhkan suatu metodolgi yang efektif, aplikatif, dan produktif agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan baik. Menurut Doni Koesoema A, metodologi dalam membentuk karakter peserta didik adalah sebagai berikut: 42
Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 8-9
51
a.
Mengarjakan Pemahaman konseptual tetap membutuhkan sebagai bekal konsep-konsep nilai yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter tertentu. Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai tertentu, keutamaan (bila dilaksanakan), dan maslahatnya (bila tidak dilaksanakan). Mengajarkan nilai memiliki dua faedah, pertama memberikan pengetahuan konseptual baru, kedua menjadi pembanding atas pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses mengajarkan tidaklah monolog, melainkan melibatkan peran serta peserta didik.
b.
Keteladanan Keteladanan menempati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih dahulu memiliki karakter yang diajarkan. Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru, peserta didik akan meniru apa yang dilakukan guru ketimbang apa yang dijelaskan sang guru. Keteladanan tidak hanya bersumber dari guru, melainkan juga dari seluruh manusia yang ada di lembaga pendidikan tersebut, dan juga bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan karakter.
c.
Menentukan skala prioritas
52
Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar suatu proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas. Tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus, sehingga tidak dapat dinilai berhasil atau tidak. Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu lembaga pendidikan memiliki beberapa kewajiban: 1) Menentukan standar yang akan ditawarkan pada peserta didik 2) Semua pribadi yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus memahami secara jernih apa nilai yang ingin ditekankan dalam lembaga pendidikan karakter. 3) Jika lembaga ingin menetapkan perilaku satandar yang menjadi cirri khas lembaga maka karakter standar itu harus dipahami oleh anak didik, orang tua dan masyarakat. d.
Praktis prioritas Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah bukti pelaksanaannya prioritas nilai yang menjadi visi kinerja pendidikannya, lembaga pendidikan harus mampu membuat verifikasi sejauh mana visi sekolah telah dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan melalui berbagai macam unsur yang ada di dalam lembaga pendidikan itu sendiri.
e.
Refleksi
53
Karakter yang dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis. Tanpa ada usaha sadar untuk melihat kembali sejauh mana proses pendidikan karakter ini direfleksikan atau dievaluasikan, tidak akan pernah terdapat kemajuan. Refleksi merupakan kemampuan sadar khas manusiawi, dengan kemapuan sadar ini, manusia mampu mengatasi diri dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan baik.43 Metodologi pembentukan karakter tersebut menjadi catatan penting bagi semua pihak, khususnya guru yang berinteraksi langsung kepada peserta didik. Tentu, lima hal ini bukan satu-satunya, sehingga masing-masing tertantang untuk menyuguhkan alternatif dan gagasan untuk memperkaya metodologi pembentukan karakter yang sangat dibutuhkan bangsa ini di masa yang akan datang.44 4. Evaluasi Pembentukan Karakter Penilaian karakter dimaksudkan untuk mendeteksi karakter yang terbentuk dalam diri peserta didik melalui pembelajaran yang telah diikutinya. Pembentukan karakter memang tidak bisa langsung terbentuk dalam waktu yang singkat, tetapi indikator perilaku dapat dideteksi secara dini oleh setiap guru. Satu hal yang harus
43
Bambang Q-Anees dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Al Qur’an, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009) hlm. 108-110 44 Jamal Ma’ruf Asmani, Buku Panduan Internalisasi pendidikan karakter di sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2011) hlm. 67-70
54
diperhatikan adalah bahwa penilaian yang dilakukan harus mampu mengukur karakter yang diukur.45 Tujuan penilaian karakter adalah untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai yang telah dirumuskan sebagai standar minimal telah dikembangkan dan ditanamkan di sekolah serta dapat dihayati, diamalkan, diterapkan, dan dipertahankan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian dilaksanakan pada setiap saat, baik di kelas maupun di luar kelas, dengan cara pengamatan dan pencatatan.46
45
E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 147 46 Nurul Zuriyah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 250