MOTIVASI DAN LEARNING CYCLE DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam Pengkajian Islam Oleh : MAHNAN MARBAWI NIM : 08.2.00.1.12.08.0053
Pembimbing : SUPARTO, M.Ed., Ph.D.
SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 25082010
Abstrak Mahnan Marbawi : Motivasi dan Learning Cycle Dalam Pembelajaran PAI. Motivasi dan Learning Cycle adalah model pendekatan pembelajaran yang memperhatikan dan mendorong motivasi belajar siswa serta diintegrasikan melalui pendekatan learning cycle. Motivasi yang dimaksud berupa perhatian terhadap motivasi intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi siswa. Guru mendorong motivasi belajar siswa tersebut –intriksik dan ekstrinsik, muncul dalam proses pembelajaran. Untuk memunculkan motivasi intrinsic siswa, guru harus melakukan pendekatan personal. Sementara untuk mendorong munculnya motivasi intrinsik siswa dalam belajar, guru menggunakan pendekatan learning cycle dalam pembelajaran. Tesis ini akan membuktikan ketidaktepatan (menentang) teori STAD atau student teams achievement division yang dikembangkan Robert Slavin. Model Pembelajaran STAD yang ditawarkan oleh Slavin, memiliki beberapa kelemahan diantaranya dari sisi monitoring pengerjaan tugas oleh siswa dalam kelompok yang cenderung dikerjakan hanya oleh siswa yang memiliki kemampuan lebih tinggi. Sehingga motivasi mengerjakan tugas oleh siswa lain akan berkurang. Tesis ini akan memperkuat teori motivasi Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick tentang motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Tesis ini juga akan mengintegrasikan teori motivasi dengan siklus belajar. Tesis ini menunjukkan bahwa : 1) penguatan terhadap faktor ekstrinsik melalui learning cycle dan pendekatan personal yang akan memperbesar motivasi belajar siswa. 2) Learning cycle lebih dekat pada faktor ekstrinsik yang memberikan pengaruh terhadap faktor intrinsik. Sumber utama penulisan tesis ini adalah hasil field research tentang MLC di kelas yang dikolaborasikan dengan berbagai teori motivasi yang berkembang. Terutama teori motivasi Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick tentang motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Berbagai teori pembelajaran yang berbasis learning cycle juga menjadi perhatian tesis ini. Selain itu teori STAD Robert Slavin menjadi bagian yang diperdebatkan dengan teori Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick. Tesis ini juga mencoba melihat aplikasi sederhana dari teori Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick dengan melakukan field research.
iv
ﻣﻠﺨﺺ اﻟﺒﺤﺚ ﻣﺤﻨﺎن ﻣﺮﺑﻮي ،دورة اﻟﺪواﻓﻊ ﻟﻠﺘﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺗﻌﻠﻴﻢ اﻟﻌﻠﻮم اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ. إن دورة اﻟﺪواﻓﻊ ﻟﻠﺘﻌﻠﻢ ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ ﻧﻤﻮذج ﻟﻤﺪﺧﻞ إﻟﻰ اﻟﺘﻌﻠﻢ اﻟﺬي ﻳﻌﺘﻨﻲ ﺑﺪواﻓﻊ اﻟﻄﻼب إﻟﻰ اﻟﺘﻌﻠﻢ وإدﻣﺎﺟﻬﺎ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻣﺪﺧﻞ دورة اﻟﺘﻌﻠﻢ .واﻟﻤﺮاد ﺑﺎﻟﺪواﻓﻊ هﻨﺎ هﻮ اﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﺑﺎﻟﺪواﻓﻊ اﻟﺪاﺧﻠﻴﺔ واﻟﺨﺎرﺟﻴﺔ اﻟﺘﻲ ﺗﺆﺛﺮ ﻓﻲ اﻟﻄﻼب. ﻓﺎﻟﻤﺪرس ﻳﺸﺠﻌﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺗﺤﻘﻴﻖ دواﻓﻌﻬﻢ اﻟﺪاﺧﻠﻴﺔ واﻟﺨﺎرﺟﻴﺔ ﻓﻲ ﻋﻤﻠﻴﺔ اﻟﺘﻌﻠﻢ .وﻟﺘﺤﻘﻴﻖ دواﻓﻌﻬﻢ اﻟﺪاﺧﻠﻴﺔ ﻓﻌﻠﻰ اﻟﻤﺪرس أن ﻳﻌﺎﻣﻠﻬﻢ ﺑﻤﺪﺧﻞ ﺷﺨﺼﻲ، ﺑﻴﻨﻤﺎ ﻟﺘﺤﻘﻴﻖ دواﻓﻌﻬﻢ اﻟﺨﺎرﺟﻴﺔ ﻓﻲ اﻟﺘﻌﻠﻢ ،ﻓﻌﻠﻴﻪ أن ﻳﺴﺘﺨﺪم ﻣﺪﺧﻞ دورة اﻟﺘﻌﻠﻢ ﻓﻲ اﻟﻌﻤﻠﻴﺔ اﻟﺘﻌﻠﻴﻤﻴﺔ. ﺗﺜﺒﺖ هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻋﺪم دﻗﺔ ﻧﻈﺮﻳﺔ "ﻗﺴﻢ اﻹﻧﺠﺎز ﻟﻤﺠﻤﻮﻋﺔ اﻟﻄﻼب" ) (STADاﻟﺘﻲ ﻗﺎم روﺑﺮت ﺳﻼﻓﻴﻦ ﺑﺘﻄﻮﻳﺮهﺎ .وإن أﻧﻤﻮذج اﻟﺘﻌﻠﻢ اﻟﺬي ﻧﺎدى ﺑـﻪ ﺳﻼﻓﻴﻦ ﻟﻪ ﻋﺪة ﻋﻴﻮب ،وﻣﻦ ﺑﻴﻨﻬﺎ ﻋﻴﻮب ﻓﻲ ﺟﺎﻧﺐ رﻗﺎﺑﺔ أداء اﻟﻮاﺟﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻄﻼب ﻓﻲ ﻓﺮﻗﺘﻬﻢ .ﻓﺄداء اﻟﻮاﺟﺐ ﻟﺪى اﻟﻄﻼب ذوي اﻟﻤﻘﺪرة اﻟﻤﺘﻔﻮﻗﺔ ﻳﻜﻮن أآﺜﺮ ﺳﻴﺎدة ﺑﺎﻟﻤﻘﺎرﻧﺔ ﻣﻊ اﻟﻄﻼب اﻟﻀﻌﻔﺎء اﻟﻤﻘﺪرة ،ﻣﻤﺎ ﻳﺠﻌﻞ اﻟﺪواﻓﻊ إﻟﻰ أداء اﻟﻮاﺟﺐ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻟﻄﻼب ﻏﻴﺮ اﻟﻤﺘﻔﻮﻗﻴﻦ ﺿﻌﻴﻔﺔ. هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺗﺆﻳﺪ ﻧﻈﺮﻳﺔ اﻟﺪواﻓﻊ ﻟﻮاﻳﻦ هﺎرﻟﻦ وروث دﻳﻜﻦ آﺮﻳﻚ ﻋﻦ اﻟﺪواﻓﻊ اﻟﺪاﺧﻠﻴﺔ واﻟﺨﺎرﺟﻴﺔ .وهﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺗﻮﺣّﺪ ﻧﻈﺮﻳﺔ اﻟﺪواﻓﻊ ودورة اﻟﺘﻌﻠﻢ. وﺗﺜﺒﺖ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ أن ) (1ﺗﻌﺰﻳﺰ اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻟﺨﺎرﺟﻲ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ دورة اﻟﺘﻌﻠﻢ واﻟﻤﺪﺧﻞ اﻟﺸﺨﺼﻲ ﺳﻴﻘﻮّي دواﻓﻊ اﻟﻄﻼب إﻟﻰ اﻟﺘﻌﻠﻢ؛ و) (2دورة اﻟﺘﻌﻠﻢ أﻗﺮب إﻟﻰ اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻟﺨﺎرﺟﻲ اﻟﺬي ﻳﺆﺛﺮ ﻓﻲ اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻟﺪاﺧﻠﻲ. وﻣﺼﺎدر اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت اﻟﺮﺋﻴﺴﻴﺔ ﻹﻋﺪاد هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ هﻲ ﻋﺪة ﻧﻈﺮﻳﺎت ﻣﺘﻄﻮرة ﻓﻲ اﻟﺪواﻓﻊ ،وﻓﻀﻼ ﻋﻦ ﻧﻈﺮﻳﺔ اﻟﺪواﻓﻊ ﻟﻮاﻳﻦ هﺎرﻟﻦ وروث دﻳﻜﻦ آﺮﻳﻚ ﻋﻦ اﻟﺪواﻓﻊ اﻟﺪاﺧﻠﻴﺔ واﻟﺨﺎرﺟﻴﺔ .وﺗﻌﺘﻤﺪ هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ أﻳﻀﺎ ﻋﻠﻰ ﻋﺪة ﻧﻈﺮﻳﺎت اﻟﺘﻌﻠﻢ ﻋﻠﻰ أﺳﺎس دورة اﻟﺘﻌﻠﻢ ،ﺑﺎﻹﺿﺎﻓﺔ إﻟﻰ أن ﻧﻈﺮﻳﺔ ﻗﺴﻢ اﻹﻧﺠﺎز ﻟﻤﺠﻤﻮﻋﺔ اﻟﻄﻼب ﻟﺮوﺑﺮت ﺳﻼﻓﻴﻦ ﺗﻜﻮن ﺟﺰءا ﻻ ﻳﺘﺠﺰأ ﻣﻤﺎ ﻳﻨﺎﻗﺶ ﺑﻨﻈﺮﻳﺔ واﻳﻦ هﺎرﻟﻦ وروث دﻳﻜﻦ آﺮﻳﻚ .وأﺧﻴﺮا ﺗﺤﺎول هﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺗﻄﺒﻴﻖ ﺑﺴﻴﻂ ﻟﻨﻈﺮﻳﺔ واﻳﻦ هﺎرﻟﻦ وروث دﻳﻜﻦ آﺮﻳﻚ ﻋﻠﻰ أﻧﻤﻮذج ﺗﻌﻠﻢ اﻟﻌﻠﻮم اﻟﺸﺮﻋﺔ ﻣﻦ ﺧﻼل اﻟﺒﺤﺚ اﻟﻤﻴﺪاﻧﻲ .واﷲ أﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮاب.
v
Abstract Mahnan Marbawi : Motivation and Learning Cycle in PENDIDIKAN AGAMA ISLAM subject matter (Islamic Education) Motivation Learning Cycle is an approach of learning that attends and increases student learning motivation by means of integrating it through Learning Cycle Approach. The motivation here covers the attention to both intrinsic and extrinsic which affect the students. Teacher stimulates student motivation, both intrinsic and extrinsic to exist in learning process. To stimulate the intrinsic motivation, teacher should take a personal approach. While to stimulate the extrinsic motivation, teacher should take learning cycle approach in learning. This thesis tries to find out the inaccuracy of the STAD theory (Student Teams Achievement Division) developed by Robert Slavin and refutes it. The model proposed by Slavin has some drawbacks. Among other weaknesses of this model are; the monitoring system by student in groups, the tendency of dominance of the fast learner that affect motivation of the other learners. On the other hand, this thesis support the concepts of Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick on intrinsic and extrinsic motivation. This thesis will also integrate motivation theory and learning cycle. The thesis shows that; 1) strengthening extrinsic factor through learning cycle and personal approach will enhance students learning motivation. 2) learning cycle is closer to the extrinsic factor that affects intrinsic factor. The main sources of this thesis are various on motivation, especially the one from Wayne & Ruth Deakin Crick on intrinsic and extrinsic motivation. Several learning theories that are based on the learning cycle also serve as sources for this thesis. In addition, the STAD theory of Robert Slavin will also be used as anti thesis to be confronted with the theory of Wayne Harlen and Ruth Deakin Crick. This thesis will also observe the simple application of Wayne Harlen & Ruth Deakin theory during the field research.
iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul Surat Pernyataan ………………………………………………………..
i
Surat Persetujuan Pembimbing………………………………………....
ii
Surat Persetujuan Tim Penguji…………………………………………
iii
Abstraks………………………………………………………………….
iv
Kata pengantar ………………………………………………………….
vi
Daftar isi…………………………………………………………………
viii
Daftar gambar……………………………………………………………
viii
Pedoman transliterasi……………………………………………………
x
Bab I : PENDAHULUAN………………………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………………..........
1
B. Permasalahan..............…………………………………………..…
13
C. Tujuan Penelitian ..............………………………………………..
14
D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian .........................................
15
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .............................................
15
F. Metodologi Penelitian ………..……………………………………
22
G. Sistematika Penulisan …..…………………………………………
24
Bab II : MOTIVASI DALAM PEMBELAJARAN A. Definisi dan Bentuk Motivasi …………………….……………….
26
B. LC : Definisi dan Tahapan LC ……………………..………….….
44
C. Motivasi dan Pembelajaran di Kelas ………………………………
59
Bab III : PENGAJARAN PAI DI SMP A. Pengajaran PAI selama ini....………….………………………....
70
B. Ruang lingkup Pembelajaran PAI ………………………………
72
C. Karakteristik Pembelajaran PAI .......…………………………..
74
viii
D. Beberapa Metode Pembelajaran PAI ……………………………
80
E. Gap Analisys Pengajaran PAI …………………………..……
93
Bab IV. PROSEDUR DAN LANGKAH PENERAPAN MOTIVASI DAN LEARNING CYCLE DALAM PEMBELAJARAN A. Model Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle …………………
103
B. Prosedur dan Langkah Penerapan Motivasi dan Learning Cycle…
111
C. Penerapan Motivasi pada fase Engagment, Eksploration, Expand, Elaboration, dan Evaluation
…………………………………..
133
BAB V. PENERAPAN MOTIVASI DAN LEARNING CYCLE DALAM PEMBELAJARAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Al-Qur’an ….
137
B. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Aqidah-Akhlak 145 C. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Fiqih ……….
147
D. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Tarikh …….
149
Bab VI
: PENUTUP: Kesimpulan dan Rekomendasi ............................
151
ix
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Mengajar adalah kata kunci yang mempengaruhi proses pendidikan. 1
Mengajar berhubungan dengan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, kegiatan tersebut bermuara pada : madzhab behavioristik 2 dan konstruktivis. 3 Asri Budiningsih dalam bukunya mengatakan bahwa kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas. Pendapatnya ini untuk menjelaskan teori belajar konstruktivis. 4 Teori belajar behavioristik menekankan pada perilaku yang dapat diamati dan diukur. Teori koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari aliran behavioristik. 5 Teori koneksionisme yang dipelopori oleh Thorndike, memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya Dede Rosyada, Paradigman Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004), 89. 1
2
Diperkenalkan oleh John B. Watson dan Adward L. Torndike di Amerika Serikat pada awal abad ke 20 : Anderson J.R 1994: 3. Menurut aliran Behavioristik, memandang manusia sebagai organisme yang pasif dan dipengaruhi oleh stimulus yang ada di lingkungannya. Aliran Behavioristik ini melahirkan teori Connectionism, Classical Conditioning, Contiguous Conditioning, serta Descriptive Behaviorisme atau yang lebih dikenal dengan nama Operant Conditioning. Muh. Hizbul Muflihin, “Aplikasi dan Implikasi Teori behaviorisme Dalam Pembelajaran: Analisis Strategi Inovasi Pembelajaran”, ( Khazanah Pendidikan : Jurnal Ilmiah Pendidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009), 123. Baca juga Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung-Alfabeta, 2008), 42. Baca juga Winfred F. Hill, Theories of Learning, Penerjemah M.Khozim, (Bandung: Nusa Media 2009), 168. Baca juga Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winataputra, Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran, (Jakarta: Depdiknas, 1997), 13. 3
Pembelajaran secara konstruktivisme lahir dari pandangan mengenai cara manusia belajar. Teori konstruktivisme mengatakan bahwa murid membina makna mengenai dunia dengan mensintesis pengalaman baru terhadap apa yang mereka telah pahami sebelumnya. Melalui konstruktivisme, guru akan mengenal pasti tahap pengetahuan murid dan dapat merancang kaedah pengajarannya berdasarkan tahap/sifat ciri pengetahuan tersebut. Abdul Jalil Othman dan Bahtiar Omar, “Aplikasi Pembelajaran Secara Konstruktivisme Dalam Pengajaran Karangan Berpadu”, (Jurnal “Masalah Pendidikan”, Universitas Malaya, 2005), 1. Asri Budianingsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta 2004), 58.
4
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung : Alfabeta, 2003), 42. Baca juga Winfred F. Hill, Theories of Learning , penerjemah, M. Khozim, (Bandung : Nusa Media 2009), 35. 5
1
belajar adalah adanya asosiasi antara kesan panca indera (sense of impression) dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (impuls to action). 6 Ini artinya belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respon yang tepat dari berbagai respon yang mungkin bisa dilakukan. Thorndike sebagaimana dikutip oleh John A. Nevin, mengembangkan teori tiga macam hukum belajar, yaitu : “1) The Law of Readiness (hukum kesiapan belajar), yaitu jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. 2) The Law of Exercise (hukum latihan), yaitu semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat. dan 3) The Law of Effect (hukum pengaruh) adalah hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah bila akibatnya tidak memuaskan”. 7 Kemudian Ivan Pavlov seperti dikutip Theresia Kristanti mengembangkan teori belajar classical conditioning. Ivan Pavlov mengembangkan pembiasaan (conditioning) melalui Stimulus (S) dan Respon (R) yang menekankan pada analisis prilaku yang objektif. Pavlov melakukan percobaan pada seekor anjing. Dalam eksperimennya ia menunjukkan makanan kepada anjing yang kemudian memakan makanan itu. Setiap kali ditunjukkan makanan, anjing itu mengeluarkan air liur. Tampak bahwa makanan yang di sini disebut unconditional stimulus (UCS) menyebabkan respons (R), keluarnya air liur. 8 Sejalan dengan Pavlov dan Thorndike, Jhon B. Watson mendukung teori behavioristik. Menurut Watson pembelajaran yang terjadi bersandar pada dua 6
Muh. Hizbul Muflihin, “Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran : Analisis Strategis Inovasi Pembelajaran”, (Khazanah Pendidikan : Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009), 123. 7
John A Nevin, “Analyzing Thorndike’s Low Of Effect: The Question of StimulusRespons Bonds”, (Journal of The Experimental Analysis Of Behavior, University of New Hampshire, Number 3, November, 1999), 447-450,. Baca juga Muh Hizbul Muflihin, “Aplikasi dan Implikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran : Analisis Strategis Inovasi Pembelajaran”, (Khazanah Pendidikan : Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009),124. 8
Theresia Kristianty, “Pandangan-pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme tentang Pemerolehan Bahasa Pertama”, (Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006). Baca juga Winfred F. Hill, Theories Of Learning, penerjemah M. Khozin, (Bandung : Nusa Media 2009), 35.
2
prinsip, frekuensi dan resensi . Frekuensi menyatakan semakin sering kita melakukan respon terhadap suatu stimulus, semakin cenderung respon tersebut menjadi stimulus lagi. Maksudnya adalah respon siswa terhadap suatu stimulus, respon tersebut akan menjadi stimulus baru dan akan menimbulkan respon baru. Contoh mengerjakan tugas adalah respon siswa atas tugas dari guru sebagai stimulus, pekerjaan mengerjakan tugas menjadi stimulus bagi siswa untuk memperoleh reward yang menjadi sebuah respon dari guru atas stimulus mengerjakan tugas dari siswa. Resensi menyatakan bahwa semakin baru respon yang diberikan terhadap stimulus, semakin cendrung kita melakukannya lagi. Artinya stimulus dan respon (S-R) tersebut dapat diamati. Sebagai contoh, seorang anak akan mendapatkan reward bila mengerjakan tugas, maka dia akan rajin mengerjakan tugas. Sebaliknya jika seorang anak akan mendapatkan hukuman karena tidak mengerjakan tugas, maka dia akan berusaha mengerjakan tugas agar tidak mendapat hukuman. Reward (hadiah) dan punishment (hukuman) dilakukan secara periodik adalah resensi yang mempengaruhi perilaku anak. 9 Sayangnya kaum behavioristik tidak menjelaskan secara detil respon tersebut berbanding lurus dengan stimulus yang diberikan dan apakah respon tersebut sangat dipengaruhi oleh informasi awal yang dimiliki oleh siswa (pengalaman), sosial dan lingkungan siswa serta faktor lain yang mempengaruhi psikologis siswa. Seperti iklim kelas, motivasi belajar, materi, cara guru mengajar dan lain sebagainya. Kaum behavioristik memang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon yang diberikan kepada siswa. Dengan demikian proses belajar menurut behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu dalam diri siswa yang belajar. 10
Winfred F. Hill Theories of Learning , penerjemah, M. Khozim, 49
9
Galloway, dalam Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winataputra, Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran, (Jakarta, Depdiknas, 1997), 13 10
3
Sementara menurut pandangan konstruktivisme, keberhasilan belajar tergantung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar. Siswa harus menemukan sendiri dan mengkonstruksi informasi yang dia butuhkan. Tokoh dari aliran ini antara lain adalah Pieget.11 Menurut Pieget sebagaimana dikutip Syaiful Sagala, proses belajar anak terjadi dalam dua tahap : assimilation dan accommodation. Assimilasi adalah proses menyesuaikan dan mencocokan informasi baru dengan apa yang telah diketahui sebelumnya. Akomodasi adalah menyusun dan membangun kembali atau mengubah informasi awal sehingga ada penyesuaian dan pembaruan informasi atau pengetahuan. 12 Teori kontruktivisme ini kemudian berkembang dan melahirkan teori-teori belajar. Diantaranya teori belajar learning cycle. 13 Pada awal-awalnya teori behavioristik mendominasi warna kurikulum di Indonesia. Ini terlihat dari dominasi capaian nilai akhir yang menjadi perhatian. Proses pembelajaran tidak menjadi fokus utama tetapi bagaimana siswa bisa menjawab soal dan mendapat nilai tinggi menjadi tujuan utama atau goal orientation. Hal semacam ini bisa dilihat dari warna kurikulum 1974, kurikulum 1984 yang menekankan kepada hasil (output oriented). Perkembangan kurikulum pendidikan Indonesia akhirnya menemukan bentuk yang dianggap ideal dengan keluarnya Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
14
dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung : Alfabeta, 2003), 24
11
Sardiman A.M. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), l37 12
Dalam perkembangannya Learning cycle memiliki lima fase : engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation, lihat Kusdian Kurniahadi, Penelitian, : “Pengaruh Metode Perubahan Konseptual (Conceptual Change Methodes) dalam Setting Model 5 E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lan Undhiksha Singaraja,” (Fak.Pendidikan MIPA Univ. Udayana, 2006), 12. Permendiknas No. 41 tahun 2007 pada bab III bagian B yang menjelaskan kegiatan pembelajaran memasukan unsur learning cycle yaitu eksplorasi, elobarasi dan konfirmasi. 13
14
Dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Permendiknas No 22 dan 41 berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendiknas No. 19 Standar Nasional Pendidikan yang kemudian mengeluarkan delapan standar pendidikan. Dan diantaranya adalah Permendiknas No. 22 dan Permendiknas No. 41.
4
Proses. Dimana dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 ini peran pemerintah hanya menjadi penyedia Standar Nasional saja sementara pelaksanaan kurikulum semua menjadi kewenangan di satuan pendidikan (sekolah). Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang terdiri atas Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD) sebagai besaran pengembangan kurikulum yang akan dilakukan oleh satuan pendidikan (sekolah). 15 Permendiknas No. 41 tahun 2007 hanya mengatur proses pembelajaran yang mengatur bagaimana kegiatan pembelajaran mulai awal hingga akhir (termasuk evaluasi) dilakukan. Permendiknas No. 22 tahun 2006 sendiri sebenarnya mengadopsi konsep madzhab behavioristik, sementara Permendiknas No. 41 tahun 2007 mengadopsi kontruktivisme.
Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yaitu
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD). SK dan KD ini merupakan kompetensi yang harus dikuasai atau dicapai oleh siswa dalam proses pembelajaran. Bentuk SK dan KD sebenarnya adalah pengajaran terprogram untuk
mencapai
behavioristik.
16
kompetensi
yang
diinginkan
seperti
pada
madzhab
Permendiknas No. 41 tahun 2007 menjelaskan proses
pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru dan siswa. Dimana 15
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ini dikembangkan oleh satuan pendidikan (sekolah) yang lebih dikenal dengan KTSP, kurikulum tingkat satuan pendidikan. KTSP ini terbagi menjadi dua bagian Dokumen I yang memuat penyusunan visi, misi, tujuan sekolah/madrasah, struktur dan muatan kurikulum (mata pelajaran, mulok, pengembangan diri, ketuntasan belajar, kenaikan/kelulusan serta kalender pendidikan) yang sesuai dengan karakteristik masing-masing satuan pendidikan. Dokumen II yang berisi panduan teknis menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang baik sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas yang dimulai dari pemetaan kompetensi dasar dan penjabarannya menjadi komponen silabus dan RPP. Kebijakan Pemerintah untuk menyusun kurikulum di tingkat satuan pendidikan merupakan perwujudan dari reformasi di bidang pendidikan yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ini merupakan upaya untuk mewujudkan setidak-tidaknya tiga strategi dari tiga belas strategi pembaharuan yang diamanatkan, yaitu: (a) pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, (b) pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; dan (c) pemberdayaan peran serta masyarakat 16
Contoh terkenal dari penerapan prinsip behaviorisme di dunia pendidikan adalah pengajar terprogram (program learning) dimana materi disajikan dalam unit-unit kecil yang mudah dipelajari. Unit-unit kecil ini dilambangkan dengan kompetensi yang harus dipelajari atau dikuasi oleh siswa. Permendiknas No. 22 tahun 2006 yang memuat standar isi menjelaskan begaimana kompetensi-kompetensi yang harus dikuasi oleh siswa dalam setiap semester untuk semua jenjang pendidikan SD, SMP, SMA/SMK atau yang untuk madrasah dijelaskan melalui Permenag No. 2 tahun 2007 tentang Standar Isi Madrasah.
5
proses pembelajaran tersebut berpusat kepada siswa. Proses pembelajaran ini dilakukan dengan mengedepankan aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai kompetensi. Dan hal ini sesuai dengan teori konstruktivisme yang juga mengedepankan kegiatan pembelajaran dari segi prosesnya. 17 Namun demikian, dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi menekankan bahwa penyampaian SK dan KD yang merupakan pengajaran terprogram dengan proses pembelajaran, didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan. 18 Masih dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tersebut dijelaskan kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas, dan jenis serta jenjang pendidikan. Sementara dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran yang mengandung tiga tahap kegiatan : pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Dalam kegiatan inti harus mencakup tiga aspek : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Kedua Permendiknas tersebut banyak membicarakan bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan serta kompetensi yang harus dicapai setelah proses 17
Dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 dijelaskan bagaimana proses belajar siswa dikelas dilakukan. Permendiknas No. 41 menjelaskan tahapan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru dan siswa. Ada kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutupan serta evaluasi. Dalam kegiatan pendahuluan seorang guru harus mempersiapkan peserta didik (siswa) baik secara psikis atau materi dengan berbagai macam cara seperti pemberian motivasi, apersepsi dan sebagainya. Dalam kegiatan inti seorang guru harus mempersiapkan peserta didik untuk melakukan berbagai macam aktivitas pembelajaran yang terangkum dalam tiga fase : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Dan dalam kegiatan penutup, guru memberikan penugasan dan evaluasi terhadap proses pembelajaran. Kegiatan inti yang terdiri atas tiga fase ini sebenarnya mengadopsi konsep konstruktivis melalui Learning Cycle yang memiliki lima fase : engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation.. 18
Permendiknas No. 22 tahun 2006 Bab 2:5
6
pembelajaran. Permendiknas No. 22 tahun 2006 yang berisi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD) sebenarnya menjadi goal orientation dari proses pembelajaran di kelas. Sementara Permendiknas No. 41 tahun 2007 menjadi guidance bagaimana goal orientation yang di tetapkan dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tersebut dicapai. Permendiknas No. 41 tahun 2007 memang mengarahkan pembelajaran yang berorientasi kepada student center dalam prosesnya. Istikah SK dan KD menurut pendapat penulis sendiri sebenarnya merupakan penyempurnaan dari istilah Tujuan Instruksional Umum (TIU) untuk SK dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) untuk KD yang digunakan dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum 1994 program pengajaran seluruh mata pelajaran harus mengacu kepada GBPP atau Garis Besar Program Pengajaran. Sementara saat ini program pengajaran di dasarkan atas Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang berisi SK dan KD dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Baik dalam GBPP atau pun Permendiknas No. 22 tahun 2006 dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tersebut faktor motivasi yang berpengaruh dalam proses pembelajaran belum mendapat perhatian. Motivasi hanya disinggung sedikit dalam kegiatan awal sebagai apersepsi. Pencapaian kompetensi masih menjadi isu utama dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Pencapaian kompetensi sebagai hasil dari proses belajar tersebut banyak dilakukan ketika proses pembelajaran berlangsung. Proses pencapaian kompetensi lebih banyak dipengaruhi oleh bagaimana proses pembelajaran dilakukan oleh guru. Apakah ketika proses pembelajaran dilakukan guru menggunakan metode, model, strategi dan media pembelajaran yang menyebabkan siswa bisa memahami kompetensi atau sebaliknya. Kurangnya kemampuan guru mengembangkan
7
metode, model, strategi dan media pembelajaran menyebabkan siswa kurang mampu menguasai kompetensi yang telah ditentukan dalam satu mata pelajaran. 19 Prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari diri siswa (faktor internal 20 ) maupun dari luar siswa (faktor eksternal). 21 Faktor internal diantaranya adalah minat, bakat, motivasi, tingkat intelegensi. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah faktor metode pembelajaran dan lingkungan. Dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar. Motivasi mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar baik bagi guru maupun siswa. Bagi guru mengetahui motivasi belajar dari siswa sangat diperlukan guna memelihara dan meningkatkan semangat belajar siswa. Bagi siswa motivasi belajar diperlukan untuk menumbuhkan semangat belajar sehingga siswa terdorong untuk melakukan perbuatan belajar. Siswa melakukan aktivitas belajar dengan senang karena didorong adanya motivasi belajar. 19
Semakin guru menguasai metode, model, strategi dan media pembelajaran maka semakin mudah siswa mencapai kompetensi yang diajarkan. Semakin rendah kemampuan guru menguasai metode, model, strategi dan media pembelajaran semakin sulit siswa mencapai kompetensi. Penggunaan metode pembelajaran, model pembelajaran, strategi pembelajaran dan media pembelajaran bisa sangat variatif. Seorang guru ketika melaksanakan satu kegiatan pembelajaran harus menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang didasarkan atas Silabus. rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi dan kompetensi dasar, kegiatan pembelajaran, materi pokok/pembelajaran indikator pencapaian kompetensi, penilaian, sumber, dan alokasi waktu belajar. Di Indonesia, silabus merupakan pengaturan dan penjabaran seluruh kompetensi dasar suatu mata pelajaran dalam Standar Isi Dari Silabus ini dijabarkan kedalam RPP. Dalam RPP seorang guru harus menggambarkan metode, model, setrategi dan media pembelajaran. 20
M.Sobri Sutikno: ”Peran Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa”, makalah seminar pendidikan, diakses dari http://smkn2.padangpanjang.org/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=41 pada tanggal 17 Maret 2010. 21
Sobri menyebut motivasi ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar. M. Sobri Sutikno: ”Peran Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa”, makalah seminar pendidikan. Diakses dari http://smkn2.padangpanjang.org/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=41 pada tanggal 17 Maret 2010.
8
Sebagai ranah internal, motivasi termasuk bagian dari psikologi. Ada banyak faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Selama ini pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dinilai masih konvensional. Kompetensi Pendidikan Agama Islam yang harus dikuasi oleh siswa sebagaimana diamanatkan oleh Perendiknas No 22 tahun 2006 diuraikan dalam bahan ajar, dan materi pelajaran. Dalam penyampaiannya kompetensi tersebut, para guru PAI kebanyakan menggunakan metode ceramah. Padahal ada banyak aspek (kognitif, afektif dan psikomotor) yang tidak hanya bisa diselesaikan –disampaikan dengan metode ceramah. Penyampaian kompetensi tersebut berhubungan dengan model taksonomi 22 Bloom. Kenneth D. Moore merumuskan beberapa indikator menyangkut tiga taksonomi
Bloom: afektif,
kognitif dan psikomotor. 23 Proses pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar (KBM) PAI relatif belum menemukan bentuk yang ideal. Hal ini menyangkut penanaman nilai kepada siswa sebagai bagian integral dari PAI.24 Guru PAI belum memberikan perhatian yang fokus terhadap siswa sebagai individu. 25 Dimana siswa ketika mengikuti proses KBM memiliki atensi yang fluktuatif. Atensi tersebut bisa naik dan bisa turun dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti motivasi belajar, media pembelajaran, metode pembelajaran, dan lain sebagainya.
22
Taksonomi adalah alat yang mengklasifikasikan dan menunjukkan hubungan di antara berbagai hal. Richard I Arends, Learning to Teach, penerjemah, Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 116. Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Remaja Rosda Karya,2004), 140. Baca juga Richard Kindsvatter, William Wilen & Margareth Ishler, Dynamics of Effective Teaching, (USA : Longman Publisher, 1996), 161-163. Baca juga Muhammad Abduh Ahmad, Mustofa Abdullah Ibrahim, Tadrīs al Tarbiyat al-dīnīyat al-islāmīyat bi al-ta’līm al’ām wa al-azharī falsafatut ijrāātut, (Kairo: Al-Azhar, 2000), 49. 23
Zakiah Daradjat Dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,(Jakarta :Bumi Aksara, 2008), 68-72 24
Abuddin Nata, Prespektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), 152-155. 25
9
Selain itu proses pembelajaran di kelas yang melibatkan guru dan siswa banyak mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran. Menurut Richard I Arends, kelas merupakan sebuah komunitas belajar yang memiliki fitur-fitur sosial. Kelas adalah lingkup sosial tempat berinteraksinya siswa yang bercirikan persahabatan dan konflik. 26 Memahami problem yang melingkupi proses pembelajaran dari sisi iklim kelas, materi pembelajaran, metode pembelajaran dan faktor motivasi belajar siswa merupakan bagian dari tugas guru. Seseorang siswa dalam melakukan aktivitas belajar selalu didasari oleh dorongan yang terjadi di kelasnya. 27 Pemahaman terhadap kondisi kelas oleh seorang guru bisa menghantar kepada tercapainya tujuan pembelajaran yaitu penguasaan kompetensi. Kompetensi atau kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa yang diamanatkan oleh Permendiknas No. 22 tahun 2006 menjadi pegangan guru dalam melaksanakan proses belajar di kelas. Selama ini guru menggunakan berbagai macam strategi, metode pembelajaran untuk membantu siswa mencapai kompetensi yang diajarkan. Kompetensi tersebut diuraikan menjadi bahan ajar, materi ajar, dan disampaikan dengan berbagai macam strategi pembelajaran dan metode pembelajaran sesuai konteks kompetensi dan kondisi pendukung lainnya. Seperti sarana prasarana, media pembelajaran, kemampuan siswa, kemampuan guru sendiri dan lain sebagainya. 28 Untuk mencapai kompetensi tersebut guru menyiapkan dokumen berupa rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP, lesson plan) sebelum kegiatan belajar mengajar di mulai. RPP ini digunakan sebagai pegangan atau guidance dalam proses KBM untuk satu atau dua kali pertemuan. Tergantung keluasan dan kedalaman materi yang dijabarkan dari SK dan KD. Dalam RPP
dituliskan
kegiatan pendahuluan yang meliputi apersepsi dan pemberian motivasi. Dan
Richard I Arends, Learning to Teach, 148.
26
Denis Coon, Introduction to Psychology : Exploration and Application, (St Paul, 1983),
27
40. Thoifur, Menjadi Guru Inisiator, (Jakarta : Rasail Media Group, 2007), l22.
28
10
selama itu pula pada prakteknya banyak guru mengabaikan – atau belum banyak memperhatikan- bagaimana membangun motivasi belajar siswa pada kegiatan pendahuluan dan pada kegiatan inti. Model pembelajaran Learning Cycle pertamakali diperkenalkan oleh Robert Karplus. Karplus sebagaimana dikutip oleh John Settlage Sherry A Shotherland menjelaskan konsep learning cycle terdiri atas tiga fase, yaitu exploration, concept introduction, and concept application. 29 Namun menurut John Settlage Sherry A Southerland, konsep learning cycle dengan model 5 E dikembangkan oleh Rodge Bybee : “when you hear or read about the five “E” models you should give appropriate acknowledgment to Bybee’s promotion of this varety of the learning cycle. However, this shouldn’t lead any one to believe that all learning cycle have five phase”. 30 Model Learning Cycle yang popular dengan sebut 5 E, engagement, exploration, explanation, elaboration and evaluation. 31 Engagment 32
adalah
bagaimana guru merangsang keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Exploration adalah bagaimana siswa mengembangkan dan menemukan sendiri pengetahuan awal mereka dengan berbagai aktivitas pembelajaran seperti membaca, mendengarkan, menirukan, berdiskusi dan lainnya. Explanation adalah bagaimana siswa menyampaikan pemahaman mereka terhadap hasil explorasi mereka dalam satu materi. Evaluation adalah memberikan kesempatan kepada guru untuk memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa
John Settlage Sherry A Shotherland, teaching Science to every Child : Using Culture as a starting Point, (Wasingthin, D.C. : The National Academios Press, 2007), 129. 29
John Settlage Sherry A Shotherland,Teaching Science to every Child : Using Culture as a starting Point, 129. 30
Rodger W. Bybee, Joseph A. Taylor et all, The BSCS 5E Instructional Model: Origins, Effectiveness, and Applications, (Colorado :Springs, BSCS, 2006), 2. 31
32
Kusdian Kurniahadi, Penelitian, : “Pengaruh Metode Perubahan Konseptual (Conceptual Change Methodes) dalam Setting Model 5 E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lan Undhiksha Singaraja”,( Fak.Pendidikan MIPA Univ. Udayana, 2006), 12.
11
atau memberikan kesempatan guru untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan kompetensi yang telah dicapai oleh siswa. 33 Menurut penulis, model Learning Cycle (LC) 5 E ini kemudian diadopsi oleh Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Isi. Permendiknas No. 41 tahun 2007 ini menurut penulis mengadopsi model LC 5 E. Dimana dalam Permendiknas No. 41 ini LC hanya terdapat 3 E : eksplorasi, elaborasi dan evaluasi. 34 Bagi penulis sendiri, model LC yang ada dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 tersebut mereduksi dari LC model 5E. Sebab ada beberapa bagian dari LC 5 E yang tidak bisa diwakili dalam aktivitasnya seperti engagment dan explanation. Sementara evaluation
dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007
tersebut masih diakomodir dalam kegiatan penutup. Faktor motivasi yang mendasari siswa untuk belajar dan faktor proses pembelajaran yang berbasis pada Permendiknas No. 41 tahun 2007 inilah yang akan menjadi penelitian dari tesis ini. Model Learning Cycle yang akan digunakan adalah model Learning Cycle yang ada dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 yaitu eksplorasi, elobarosi dan konfirmasi. Integrasi faktor motivasi dan LC ini akan coba diterapkan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Diharapkan integrasi tersebut akan menjadi model pendekatan pembelajaran PAI. 35
Hipotesa 36 yang dibangun
33
Baca juga Titik Harsiati, makalah “Learning Cycle” dalam workshop AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Programs), 2007. Baca juga Rodge W Bybee, et all, The BSCS 5E Instructional Model : Origins, Effectiveness, and Application, 3. Lihat, Permendiknas No. 41 tahun 2007, bagian III B: Pelaksanaan Pembelajaran.
34 35
Dalam Permendiknas No. 22 dijelaskan Pendidikan Agama Islam termasuk dalam kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dikelompokkan ke dalam kelompok mata pelajaran : Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian seperti PKn, Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi seperti IPA, IPS, Matematik, TIK, Kelompok mata pelajaran estetika seperti Seni Budaya, Keterampilan, Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan seperti Penjasorkes. 36
Hipotesa adalah pernyataan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih dan selalu menggunakan kalimat pernyataan. Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), 30.
12
adalah semakin besar keterlibatan proses belajar siswa yang dipadukan dengan menggunakan model Motivasi dan Learning Cycle , 37 maka semakin besar keberhasilan kompetensi yang akan dicapai. Semakin guru memahami bagaimana menumbuhkan motivasi belajar dan menguasai pembelajaran LC, semakin besar motivasi belajar siswa. Semakin besar motivasi belajar siswa,maka semakin besar peluang siswa mencapai kompetensi.
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dari paparan di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Apa saja stimulus dan respon yang harus diperhatikan guru untuk membangun motivasi belajar siswa? 2. Bagaimana guru menerapkan proses pembelajaran berbasis learning cycle (LC) yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa? 3. Bagaimana penerapan model Motivasi dan Learning Cycle sebagai pendekatan pembelajaran PAI? 2. Pembatasan Masalah Masalah yang akan dibahas dalam tesis ini, dibatasi pada beberapa hal, sebagai berikut : a. Stimulus dan respon yang dibangun guru yang mendorong motivasi belajar siswa. b. Model pembelajaran atau learning cycle yang mendorong motivasi belajar siswa. c. Model penerapan Motivasi dan Learning Cycle sebagai model pendekatan pembelajaran PAI. Baca Taufiq Ahmad Mar’I dan Muhammad Mahmud Alhilliyaṭ, T>{arāiq al-Tadrīs alAmmat, (Kairo : Dār al-māsīrat, 2005), 95-98. 37
13
3. Perumusan Masalah Merujuk kepada identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana”intervensi” motivasi yang diberikan oleh seorang guru pada setiap fase learning cycle ?
2.
Bagaimana memberikan motivasi pada siswa ketika menerapkan learning cycle pada pelajaran PAI?
C. Tujuan Penelitian Berdasar pada identifikasi dan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan : 1. Mengetahui proses persiapan KBM PAI yang mampu meningkatkan motivasi belajar siswa. 2. Mengetahui bentuk-bentuk ”intervensi” motivasi yang bisa diberikan pada setiap fase pembelajaran oleh guru PAI D. Siginifikansi dan Kegunaan Penelitian 1. Signifikansi Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, penelitian ini secara akademis penting dilakukan untuk mengungkapkan hal-hal sebagai berikut : a. Problematika sikap (stimulus atau respon) guru yang mendorong motivasi belajar siswa b. Model learning cycle yang diterapkan oleh guru dan mampu mendorong motivasi belajar siswa. 2. Kegunaan. Adapun kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk :
14
a. Pengembangan model-model pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang memperhatikan faktor motivasi dan proses pembelajaran (LC). b. Sebagai upaya untuk memperkaya khazanah pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Diharapkan hal ini bisa menjadi sumbangan bagi dunia akademik khususnya jurusan Tarbiyah. c. Model pendekatan Motivasi dan Learning Cycle ini diharapkan berguna bagi guru PAI dalam menjalankan proses pembelajaran yang memperhatikan berbagai stimulus dan respon yang terjadi, dan mendorong munculnya motivasi belajar siswa
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan Diakui
sudah
banyak
penelitian
menyangkut
motivasi
dalam
pembelajaran. Baik di dalam dan apalagi di luar negeri. Tokoh-tokoh seperti Richard M. Ryan, Edward L. Deci, Mc Donald, Dweck, dan masih banyak tokoh lainnya adalah peneliti tentang motivasi dari berbagai bidang. Sementara di Indonesia sendiri cukup banyak tesis atau disertasi serta skripsi yang menyangkut tentang motivasi belajar. Arko Pujadi dalam penelitiannya : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa : Studi Kasus pada Fakultas Ekonomi Universitas Bunda Mulia, melakukan penelitian yang bertujuan mengetahui karakteristik motivasi belajar mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Bunda Mulia. Dalam, penelitiannya Arko Pujadi meneliti perbedaan motivasi belajar diantara mahasiswa didasarkan atas gender, jurusan dan tahun angkatan. Arko juga meneliti hubungan antara motivasi belajar mahasiswa dengan faktor intrinsik dalam dirinya dan faktor-faktor ekstrinsik (lingkungan belajarnya), seperti gender, kualitas dosen, materi kuliah, metode perkuliahan, kondisi dan suasana ruang kuliah, dan fasilitas perpustakaan. 38
38
Arko Pujadi: “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa: Studi Kasus Pada Fakultas Ekonomi, di Business & Management”, (Jurnal Bunda Mulia, Vol: 3, No. 2,
15
Dalam penelitiannya Arko Pujadi menemukan empat kesimpulan berkaitan dengan motivasi belajar mahasiswa. Diantaranya motivasi belajar mahasiswa tinggi dilihat dari keseriusannya mengikuti perkuliahan dosen, kepemilikan buku wajib kuliah, keseriusan mengerjakan tugas dari dosen, jarangnya mahasiswa bolos kuliah. Arko Pujadi juga menemukan adanya signifikansi motivasi belajar mahasiswa dengan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik seperti kualitas dosen, ruang kuliah, materi kuliah dan metode perkuliahan. 39 Michael Budiman dan Daniel Albert Y. A. dalam artikelnya Student ELearning Intrinsic Motivation menyebutkan konsep tentang “motivasi hakiki” (Intrinsic Motivation Literature). Konsep mengenai motivasi hakiki pada awalnya berasal dari William James. Ia menggunakan istilah minat (interest) dan naluri untuk membangun (instinct of constructiveness) untuk menjelaskan tipe-tipe perilaku manusia. Minat dan naluri untuk membangun tersebut menggambarkan konsep self-determination (kemampuan individu untuk memutuskan sesuatu tanpa pengaruh dari luar) dan competence (kemampuan individu untuk melakukan sesuatu dengan baik), dan pada akhirnya kedua hal inilah yang pada awalnya mendefinisikan motivasi hakiki. 40 Goerge Boeree menjelaskan dalam tulisannya tentang Abraham Maslow berkaitan dengan kebutuhan manusia yang menggerakkan motivasi. Menurut Maslow, manusia memiliki banyak kebutuhan. 41 Maslow 42 mengemukakan hierarki atau tingkatan kebutuhan yang terdiri atas: (a) kebutuhan dasar, September 2007), 10. 39
Arko Pujadi: “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa: Studi Kasus Pada Fakultas Ekonomi, di Business & Management”, 11. 40
Michael Budiman dan Daniel Albert Y. A., “Student E-Learning Intrinsic Motivation”, (Jurnal CAIS 2007, volume 19). George Boeree, Abraham Maslow (1908-1970), Personality Theories, (Shippenburg University,2006), 2. 41
Abraham Maslow, mengajukan theory Human Motivation yang di dalam teorinya menjelaskan hirarki kebutuhan manusia, lihat Abraham Maslow, Motivation and Personality, third edition, (Kindersley : Publishing, 2008), 56-65. Baca juga John Adair, Leadership and Motivation, penerjemah: Fairano Ilyas, Kepemimpinan Yang Memotivasi, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008), 48-53. 42
16
kebutuhan untuk mengetahui dan memahami; (b) kebutuhan akan keindahan; (c) kebutuhan aktualisasi diri. Jika Maslow mendasarkan teori motivasinya pada teori kebutuhan, Victor Vroom menekankan pada aspek harapan atau expectacy teori. Vroom mendasarkan teorinya pada tiga aspek : 1) Valance atau value yang disederhanakan menjadi nilai dari tujuan. 2) Expectancy atau harapan: orang yang berbeda memiliki harapan dan tingkat kepercayaan tentang apa yang mereka mampu lakukan. 3) Alat yang dimaksud adalah apakah mereka (karyawan) akan benar-benar akan mendapatkan apa yang mereka inginkan (gaji) bahkan jika ia telah dijanjikan pengelola (management). 43 Teori tersebut dirumuskan dalam fungsi matematis Motivasi = expectancy (perasaan berpeluang sukses) x instrumentality (hubungan antara sukses dan reward) x value (nilai dari tujuan). Karena rumus ini menggunakan perkalian tiga variabel, jika salah satu variabel rendah, maka motivasi juga akan rendah. Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick dalam Artikelnya Testing and Motivation for Learning, Graduate School of Education mengemukakan kerangka teori hubungan motivasi belajar.44 Menurut Wayne dan Ruth Motivasi belajar siswa dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, seperti yang dijelaskan pada latar belakang masalah. Richard I Arends dalam bukunya Learning to Teach juga membahas tentang motivasi belajar siswa. Dalam bukunya Richard menjelaskan bagaimana strategi untuk memotivasi siswa dan membangun komunitas belajar yang produktif. 45
43
Victor Vroom, “Motivation and Management, Expectancy Theory’s Vroom”, diakses dari www.valuebasedmanagement.compada tanggal 12 Desember 2008. 44
Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, “Testing and Motivation for Learning, Graduate School of Education, Assessment in Education”, (Journal Assassment in Education Vol.10, No.2 July 2003), 183. Richard I Arends, Learning to Teach, penerjemah Helly Prajitno Sortjipto, Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 160. 45
17
Paul R. Pintrich dan Dale H. Schunk dalam buku mereka Motivation in Education, Theory, Research, and Applications . Paul dan Dale menjelaskan adanya korelasi signifikan dan positif antara nilai intrinsik – Paul dan Dale menggunakan istilah intrinsic value, dengan self efficacy, penggunaan strategi dan self regulation. 46 Penulis sendiri akan menggunakan model yang dikembangkan Wayne dan Ruth sebagai model dalam penelitian motivasi belajar. Model pengembangan motivasi belajar Wayne dan Ruth ini dijadikan alat untuk melakukan intervensi kepada proses pembelajaran yang berbasis learning cycle dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Faktor-faktor yang termasuk dalam motivasi intrinsik yang dikembangkan Wayne dan Ruth menurut penulis berada pada proses pembelajaran. Artinya faktor-faktor intrinsik seperti self efficacy, self esteem, sense of self as learner dan lain sebagainya sangat mempengaruhi proses pembelajaran di kelas. Sayangnya Wayne dan Ruth tidak menyertakan iklim kelas yang juga menjadi faktor ekstrinsik dan mempengaruhi pembelajaran atau motivasi belajar siswa. Untuk itu penulis akan mengadopsi manajemen kelas yang dikembangkan oleh Richard I Arends dan model pengembangan classroom influences Paul R. Pintrich dan Dale H. Schunk. Dari model pengembangan motivasi belajar Wayne & Ruth serta Richard I Arends ditambah model classroom influence Paul dan Dale inilah yang menjadi pijakan penulis untuk mengembangkan model pembelajaran PAI
yang
memperhatikan motivasi belajar dalam setiap proses KBM. Menurut penulis, untuk mencapai keberhasilan belajar siswa, teori Wayne Harlen dan Ruth Deakin Creak tersebut perlu digabungkan dengan learning cycle
Paul R. Pintrich dan Dale H. Schunk, Motivation in Education, Theory, Research, and Applications, (Ohio : Prentice-Hall Columbus Ohio, 1996), 11. 46
18
(LC). Siklus belajar atau learning cycle (LC) terdiri dari lima fase (5E) dan ditambah satu fase Elaborasi yang saling berhubungan satu sama lainnya, yaitu: 47 1) Engage (Menarik Perhatian-Mengikat) Fase engage merupakan fase awal. Pada fase ini guru menciptakan situasi teka-teki yang sesuai dengan topik yang akan dipelajari siswa. Guru dapat mengajukan pertanyaan (misalnya: mengapa hal ini terjadi? Bagaimana cara mengetahuinya? dll) dan jawaban siswa digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang telah diketahui oleh mereka. Fase ini dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. 2) Exploration (Eksplorasi) Selama fase eksplorasi, siswa harus diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan teman-temannya tanpa arahan langsung dari guru. Fase ini menurut teori Piaget merupakan fase “ketidakseimbangan” dimana siswa harus dibuat bingung. Fase ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk menguji hipotesis atau prediksi mereka,
mendiskusikan
dengan
teman sekelompoknya dan menetapkan
keputusan. 3) Explanation (Menjelaskan) Pada fase ini guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri. 4) Expand (Perpanjangan) Pada fase ini siswa harus mengaplikasikan konsep dan kecakapan yang telah mereka miliki terhadap situasi lain. 5) Elaboration (Elaborasi) 48 : 47
Titik Harsiati, makalah : “Learning Cycle” dalam workshop AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Programs, Pemerintah Australia memberikan bantuan pendidikan kepada pemerintah Indoensia melalui program AIBEP), 2007. Baca juga Rodge W Bybe, et all, The BSCS 5E Instructional Model : Origins, Effectiveness, and Application, 3. 48
Didasarkan atas Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Dalam Permendiknas No 41 tahun 2007 tentang Standar Proses LC disederhanakan menjadi tiga fase : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi.
19
Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; 6) Evaluation (Evaluasi) Evaluasi dilakukan selama proses pembelajaran
dilangsungkan. Guru
bertugas untuk mengobservasi pengetahuan dan kecakapan siswa dalam mengaplikasikan konsep dan perubahan berfikir siswa.Learning cycle lebih dekat kepada
faktor ekstrinsik yang memungkinkan pengaruhnya terhadap faktor
intrinsik dan motivasi belajar siswa. Gabungan antara fungsi motivasi belajar siswa dengan LC akan menghasilkan prestasi belajar yang menggembirakan. Model LC yang memperhatikan motivasi yang dibangun oleh guru dalam proses pembelajaran ini akan menjadi bagian untuk memperkaya dan menjadi salah satu alternatif Abuddin Nata
dalam pendekatan pembelajaran. Seperti dijelaskan oleh
terdapat beberapa pendekatan dalam pembelajaran. Seperti
pendekatan individualis, pendekatan kelompok, pendekatan campuran, dan pendekatan edukatif. 49 Sementara dari sisi metode pembelajaran terdapat beberapa strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya. 50
Melvin L.
Siberman dalam bukunya Active
Learning: 101 Strategia to Teach Any Subject, menjelaskan bagaimana seharusnya proses pembelajaran dilakukan. Dalam bukunya Mel Siberman
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), 147-161. 49
Wina Senjaya, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), 35. 50
20
menjelaskan bagaimana membuat peserta didik aktif sejak dini, dan bagaimana membantu peserta didik memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap aktif. 51 Pendekatan pembelajaran tersebut termasuk pendekatan lainnya seperti Cooperatif Learning,
52
adalah bagian dari pembelajaran aktif. Posisi model
Motivasi dan Learning Cycle yang akan dikembangkan penulis adalah untuk memperkaya khazanah pendekatan pembelajaran, khususnya dalam Pendidikan Agama Islam, yang lebih memperhatikan aspek motivasi. Aspek motivasi yang dimaksud penulis tersebut bisa muncul dari stimulus dan respon yang diberikan oleh guru dalam proses pembelajaran. Berbagai model dan pendekatan pembelajaran yang telah dijelaskan memberikan kontribusi terhadap munculnya motivasi belajar siswa. Posisi tesis ini untuk memperkuat teorinya Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick sekaligus menggabungkannya dengan teori Learning Cycle dalam pembelajaran. Aspek motivasi yang menjadi perhatian Wayne and Ruth dalam proses pembelajaran yang berpusat kepada siswa seperti model Learning Cycle, ini akan dilihat dalam proses pembelajaran. Tesis ini juga memberikan catatan penting terhadap model pembelajaran STAD (student Teams Achievement Divisions) yang dikembangkan oleh Robert Slavin. Robert Slavin mengenalkan pendekatan pembelajaran tipe STAD untuk membantu guru dalam mengelola pembelajaran. Tipe pembelajaran STAD menitikberatkan pada pembelajaran kelompok. Dalam prakteknya, tipe STAD digunakan setelah guru memberikan ceramah dan kemudian siswa membentuk kelompok untuk membahas apa yang sudah disampaikan oleh guru. Menurut penulis, pembelajaran tipe STAD yang berbasis kepada kerja kelompok dengan tingkat heterogenitas yang tinggi (tingkat kemampuan, jenis kelamin, etnis, dsb) jika tidak diberikan panduan pengerjaan tugas yang kuat akan Melvin L. Siberman, Active Learning: 101 Strategia to Teach Any Subject, penerjemah Sarjuli dkk., (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani-Yappendis, 2002), 33-39. 51
Etin Solihatin & Raharjo, Cooperative Learning; Analisis Model Pembelajaran IPS, (Jakarta: Bumi Aksara2008), 35. Hisyam Zaini dkk, Strategi Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani 2008), 45. 52
21
menyulitkan
dalam pelaksanaannya. Kesulitan itu timbul diakibatkan karena
sulitnya mengontrol kerja kelompok yang dimungkinkan mengandalkan siswa yang memiliki kemampuan lebih saja untuk mengerjakan tugas kelompok.
F. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini secara umum dilakukan dengan metode kualitatif akademik. 53 Yaitu suatu metode yang mencoba menemukan pokok permasalahan dan penjabaran yang didasarkan pada rujukan dari pendapat para ahli motivasi dan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan keahliannya. Pengumpulan data sendiri dilakukan melalui library research. Library research
dilakukan
dengan menelaah buku-buku yang berkaitan dengan persoalan motivasi belajar siswa, model-model pembelajaran, termasuk buku-buku yang membahas tentang learning cycle. Teori Wayne Harlen & Ruth Daekin Crick dan teori learning cycle ini kemudian dikomparasikan. Mengutip pendapatnya Sabrina O. Sihombing, ada empat alasan pentingnya memperbandingkan kedua teori tersebut yang dijadikan dasar penelitian ini. 54 Pertama, setiap teori adalah bermanfaat dalam memberikan pemahaman akan fenomena, akan tetapi, masing-masing teori hanya mampu menjelaskan sebagian fenomena saja. Alasan kedua, tiap teori menggunakan variabel-variabel tertentu untuk menjelaskan fenomena. Lebih lanjut, pengujian teori terbaik adalah jika dilakukan komparasi antara dua atau lebih teori karena akan dihasilkan teori mana yang lebih baik untuk memahami suatu fenomena. Alasan ketiga menurut Sabrina adalah teori-teori eksis saat ini tidaklah tetap sepanjang waktu. Akan tetapi, teori-teori tersebut akan semakin berkembang misalnya melalui modifikasi atau perbaikan-perbaikan dalam teori tersebut jika Abuddin Nata, Prespektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, 11.
53 54
Sabrina Oktaria Sihombing, “Hubungan Sikap dan Perilaku Memilih satu Merek : Komparasi antara Theory of Planned Behavior and Theory of Trying”, (Disertasi Universitas Gajah Mada, 2004), 20.
22
banyak penelitian empiris yang mendukungnya. Terakhir, berpikir komparasi adalah merupakan suatu pemikiran ilmiah. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) intervensi atau respon baik yang berasal dari guru atau siswa yang bisa menunjukkan adanya penguatan terhadap motivasi belajar siswa, 2) model pembelajaran (LC) yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. 2. Pendekatan dan analisa data Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi
dan eksplanasi. 55
Eksplanasi yaitu mengkaji hubungan sebab-akibat diantara dua fenomena atau lebih sebagai penjelasan
(eksplanasi) dari teori. Dan penelitian eksplorasi
(menjelajah) berkaitan dengan upaya untuk menentukan apakah suatu fenomena ada atau tidak. Penelitian pertama bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stimulus atau respon-respon yang diberikan baik oleh guru atau siswa yang menunjukkan adanya motivasi belajar. Tujuan penelitian kedua untuk mengetahui bahwa motivasi belajar itu dipengaruhi oleh stimulus dan atau respon yang diberikan oleh guru atau siswa serta proses pembelajaran. G.
Sistematika Penulisan. Bab
pertama,
Pendahuluan;
bab
ini
meliputi
latar
belakang
dilaksanakannya penelitian ini, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah yang akan diteliti, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka berkaitan dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan, dan dilengkapi dengan sistematika penulisan hasil penelitian. Bab ini sangat penting dikemukakan karena menggambarkan mengapa penelitian ini dianggap perlu untuk dilaksanakan. Bab kedua, Motivasi dalam Pembelajaran;
bab ini akan menjelaskan
tentang definisi dan bentuk-bentuk motivasi yang bisa diberikan kepada siswa
55
Achmad Djunaedi, Pengantar : “Apakah Penelitian Itu?”, makalah mata kuliah Pengantar Metodologi Penelitian Pascasarjana hal 6-7, tanpa nama universitas. http://mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a01-metlit-pengantar.pdf diakses tanggal 10 Mei 2010.
23
untuk mendorong motivasi belajar siswa. Bab ini juga menjelaskan latar belakang tentang learning cycle dan pentahapannya dip roses pembelajaran di kelas. Sebagai penutup bab dua ini akan dijelaskan bagaimana guru bisa memberikan motivasi belajar anak ketika mereka berada di kelas. Pada bab ini juga dijelaskan tentang bagaimana kerangka teori Motivasi dan Learning Cycle dibangun dari teori motivasi Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, serta teori learning cycle. Dalam bab ini juga dijelaskan tentang teori learning cooperative Robert Slavin yang akan menjadi bagian dari dasar munculnya teori Motivasi dan Learning Cycle . Bab ketiga, menjelaskan tentang pengajaran dan pembelajaran PAI di SMP. Bab ini merupakan landasan teori bagi bab-bab berikutnya, yang diawali dengan pembicaraan masalah pengajaran Pendidikan Agama Islam selama ini : membahas pengajaran Pendidikan Agama Islam selama ini, ruang lingkup, karakteristik dan model pembelajaran PAI. Bab keempat, Penerapan Model Motivasi dan Learning Cycle
dalam
Pembelajaran; Bab ini menjelaskan bagaimana prosedur dan langkap pendekatan Motivasi dan Learning Cycle dilakukan dalam pembelajaran PAI, bagaimana penerapan Motivasi dan Learning Cycle dalam setiap fase pembelajaran yang diamanatkan dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 dan bagaimana guru membangun motivasi intrinsik dan ekstrinsik siswa. Pengembangan Motivasi dalam fase engagement, eksploration, expand, elaboration, explanation dan evaluation. Bab kelima, Penerapan Model Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle dalam pembelajaran PAI; Pengembangan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Al-Quran, pengembangan Motivasi dan Learning Cycle
pada aspek
Aqidah dan Akhlak, pengembangan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Fiqih , Pengembangan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Tarikh Bab keenam, Penutup; Bab ini merupakan simpulan dari penelitian yang dilakukan dan rekomendasi yang ditawarkan.
24
25
Bab II MOTIVASI DALAM PEMBELAJARAN
Pandangan tentang kajian motivasi akan selalu berhubungan dan tidak pernah lepas dengan persoalan psikologi. Konsep yang paling menonjol tentang akar pengertian motivasi tidak lepas dari dua kata, kemauan (volition/will) dan insting (instincts). 1
Antara volition dan will memiliki perbedaan pengertian.
Dalam Bahasa Indonesia, keduanya diartikan sama, kemauan. Will merefleksikan hasrat (desire), kebutuhan (want) atau maksud/tujuan (purpose). 2 Sementara volition menunjukkan bagaimana aktivitas dalam menggunakan will, “volition was the act of using the will. 3 Di bawah ini akan dijelaskan tentang hubungan motivasi dengan pembelajaran di kelas. Hal ini berkaitan dengan bagaimana usaha seorang guru membangun motivasi belajar siswanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Edward L. Deci yang mengatakan “..apa yang harus guru katakan kepada siswanya yang memiliki motivasi rendah agar mereka sukses….?”.4 Akan dibahas juga bagaimana learning cycle diaplikasikan dalam proses pembelajaran serta bagaimana teori Motivation dan Learning Cycle dibangun.
A. Definis dan Bentuk Motivasi Belajar -
Definisi motivasi Rendahnya motivasi siswa dalam belajar kerap dituding sebagai biang
keladi dari kegagalan atau rendahnya kompetensi yang dicapai oleh siswa. Hal ini juga berimbas kepada guru yang mengajar mata pelajaran. Guru disalahkan karena tidak bisa mengantarkan siswa kepada kompetensi minimal yang telah 1
Paul R. Pintrich, and Dale H.Schunk, Motivation in Education, Theory, Research, and Application, (New Jersey, Prentice-Hall,1996), 27. 2
John M. Echols dan Hasan Shadily, Inggris – Indonesia, Jhon Ecol, Bagian desire, want dan purpose. 3
Paul R. Pintrich, and Dale H.Schunk, Motivation in Education, Theory, Research, and Application, 27. 4
Edward L. Deci, Motivation and Classroom Learning, (Journal Psycology Chapter 7).
Boric,
26
ditetapkan 5 . Kegiatan di ruang-ruang kelas sendiri adalah suatu sistem sosial yang dipengaruhi oleh ukuran kelas, konteks sosial kelas teknologi pengajaran yang dipakai, struktur komunikasi, dan suasana sosial. Ada banyak penelitian yang telah dilakukan para pakat tentang motivasi belajar siswa. Di bawah ini akan dipaparkan berbagai hasil penelitian tentang motivasi. Seperti yang yang dijelaskan Csikszentmihalyi & Larson. Menurut mereka, salah satu kegagalan yang paling berulang di pendidikan adalah murid jarang mengatakan bahwa mereka menemukan pembelajaran yang memberikan penghargaan.6 Dan hal ini berhubungan dengan motivasi belajar siswa (motivation for learning). Menurut Romiszowski, seperti dikutip Zaenal Abidin bahwa kinerja atau performance yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal dari dalam dan luar mahasiswa. Faktor luar misalnya fasilitas belajar, cara mengajar dosen, sistem pemberian umpan balik dan sebagainya. Faktor dalam mahasiswa mencakup kecerdasan strategi belajar, motivasi dan sebagainya. 7 Istilah motivasi bisa di dapat dari bahasa latin movere yang berarti "menggerakkan". WS. Winkel berpendapat bahwa motivasi adalah penggerak yang telah menjadi aktif. Sedangkan Donald menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu perubahan tenaga di dalam diri atau pribadi seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi dalam mencapai tujuan. W. Podkowiki menjelaskan
motivasi
sebagai
suatu
kondisi
yang
menyebabkan
atau
menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberi arah dan ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut. Pada prakteknya kata motivasi dan niat hampir sama dengan motivasi, sama-sama dapat dipakai dengan arti yang sama, yaitu bisa kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish), dorongan (drive) atau kekuatan (strength).
5
Permindaknas No 20 tahun 2007 tentang Standar Isi
6
htm
http://education.calumet.purdue.edu/vockell/EdPsyBook/Edpsy5/Edpsy5_intrinsic. diakses tanggal 9-12-09 7
Zaenal Abidin, “Motivasi Dalam Strategi Pembelajaran dengan Pendekatan ARCS”, (Jurnal Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vol.XVIII, No.2), 40-54.
27
Walaupun dalam bahasa Inggris intention diartikan niat dan motivation dengan motivasi namun dalam berbagai penelitianpun kata motivasi yang digunakan 8 . Dapat dikatakan bahwa motivasi memiliki peran yang penting dalam keberhasilan seorang siswa. 9 Hal ini berkaitan dengan kemampuan siswa dalam mengorganisasi potensi yang ada dalam dirinya dengan kondisi eksternal yang dihadapinya ketika di kelas atau di luar kelas. Guru diharapkan mampu mengarahkan potensi-potensi internal siswa menjadi sebuah daya bagi siswa. Sehingga menimbulkan motivasi kuat bagi siswa dengan membuat setting eksternal yang menunjang munculnya atau tumbuhnya motivasi internal. Setting eksternal dimaksud adalah segala upaya yang dilakukan guru baik dari sisi proses pembelajaran, media, bahan, wacana yang disiapkan guna menarik minat dan potensi siswa untuk belajar. Barelson dan Steiner menjelaskan motivasi sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang (innerstate) yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan dan yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku kearah tujuan. Sementara menurut Luthans “motivation is a process that start with a pshycological deficiency or need a drive that is aimed at a goal or incentive”. 10 Gambar 1 : Terjadinya motivasi menurut Barelson dan Stainer : Kebutuhan
Keinginan
Ketegangan
Kepuasan
Perilaku
8
Diakses dari http://blogsahlan.blogspot.com/2009/11/teori-motivasi-al-raja-dan-khaufrasa.html diakses tanggal 19 Desember 2009 9
Arko Pujadi : “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Mahasiswa”, (Jurnal Bussines & Management Bunda Mulia,Volume 3, No 2, September 2007) 10
Arko Pujadi : “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Mahasiswa”. Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut : motivasi adalah sebuah proses yang diawali dengan kondisi psikologis kekurangan atau kebutuhan yang menggerakkan kea rah satu gol atau tujuan atau insentif.
28
Sumber : Arko Pujadi : “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Mahasiswa”, (Jurnal Bussines & Management Bunda Mulia,Volume 3, No 2, September 2007) Dalam pandangan Barelson, motivasi timbul dari rangkaian reaksi yang didasari atas kebutuhan. Adanya kebutuhan ini menimbulkan keinginan untuk dipenuhi. Dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut, pelaku akan mengalami berbagai macam proses sebagai bentuk usaha untuk mencapai kebutuhan atau keinginan tersebut. Dalam proses atau usaha yang dilakukan tersebut, pelaku akan mengalami ketegangan akibat tekanan-tekanan yang terjadi selama proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Sebagai contoh, ketika seseorang berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, kadang dia akan berhadapan dengan berbagai macam konflik dimana dia bekerja yang menimbulkan ketegangan 11 . Penyelesaian
dalam
menghilangkan
ketegangan
tersebut
akan
menimbulkan perilaku tertentu. Atau perilaku tertentu tersebut muncul sebagai bagian dari respon terhadap ketegangan yang mengakibatkan kepuasaan setelah tercapainya kebutuhan. Perilaku yang timbul didasari oleh bentuk respon dari pelaku terhadap cara pemenuhan kebutuhan. Akibat dari adanya ketegangan tersebut, maka proses pencapaian kebutuhan tersebut menimbulkan model perilaku. Perilaku inilah yang dijadikan dasar untuk mencapai keinginan atau kebutuhan.
Sebagai contoh ketika
seseorang terpuruk dalam satu masalah, kemampuan untuk menentukan sikap dan langkah (dalam prosesnya menegangkan syaraf otak belakang) 12 yang tepat akan melahirkan perilaku optimis dan kerjakeras untuk menyelesaikan masalah. 13 11
Bandingkan dengan teori motivasi Clyton Alderfer, Teori ERG, 1) Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;2) Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan 3) Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar. 12
Lihat dalam Al-Quran surat Ar-Ra’du : 11 “Allah tidak akan merubah nasib seseorang kecuali dia sendiri bersaha merubahnya”. Kemampuan menetukan langkah dan sikap adalah sebuah upaya untuk merubah dan menentukan nasib. Dan hal ini berkaitan dengan motivasi intrinsic, dan self efficacy. 13
Bandingkan dengan teori kebutuhan Maslow
29
Maslow yang dikutip Zaenal Abidin lebih menyukai konsep motivasi belajar untuk memenuhi kebutuhan. Karena manusia memiliki banyak kebutuhan, pada waktu tertentu kebutuhan manakah yang mereka coba untuk dipenuhi. Maslow mengemukakan hierarki atau tingkatan kebutuhan yang terdiri atas dua bagian utama yaitu: (1) kebutuhan dasar, berada pada hierarki paling bawah, berturut-turut terdiri dari (a) kebutuhan fisiologis; (b) kebutuhan akan rasa aman; (c) kebutuhan untuk dicintai; (d) kebutuhan untuk dihargai ; dan (2) kebutuhan tumbuh, yang berada di atas kebutuhan dasar, berturut-turut dari bawah terdiri dari: (a) kebutuhan untuk mengetahui dan memahami; (b) kebutuhan keindahan; (c) kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Maslow, semakin orang dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk mengetahui dan memahami dunia di sekeliling mereka, motivasi belajar mereka dapat menjadi semakin besar dan kuat.14 Adapun ungkapan motivasi terendah meningkat pada tingkatan yang tinggi oleh Abraham Maslow di antaranya, motivasi yang berakar pada kebutuhan untuk mewujudkan diri, ingin mengembangkan diri sesuai dengan bakat, hal-hal yang berhubungan dengan penambahan ilmu pengetahuan, status sosial dan perbuatan pribadi. Pembicaraan tentang motivasi ini menjadi menarik melihat berbagai penelitian terdahulu tentang motivasi. Sebagai contoh dalam studi yang dilakukan Fyans dan Maerh diantara tiga faktor yaitu latar belakang keluarga, kondisi/konteks sekolah dan motivasi, faktor yang terakhir merupakan prediktor yang paling baik untuk prestasi belajar. Walberg, menyimpulkan bahwa motivasi mempunyai kontribusi antara 11 sampai 20 persen terhadap prestasi belajar. Studi yang dilakukan Suciati menyimpulkan bahwa kontribusi motivasi sebesar 36 persen sedangkan Mc. Clelland, menunjukkan bahwa motivasi berprestasi (achievement motivation) mempunyai kontribusi 65 persen terhadap prestasi belajar. 15 14
Zaenal Abidin, “Motivasi dalam Strategi Pembelajaran dengan Pendekatan ARCS”, (Jurnal Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, , Vol .XVIII), 40-54. 15
Zaenal Abidin, “Motivasi dalam Strategi Pembelajaran dengan Pendekatan ARCS”, 43
30
David McClelland dalam teorinya Mc.Clelland’s Achievment Motivation Theory atau teori motivasi prestasi yang dikutip Robbins, mengemukakan bahwa individu mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi serta peluang yang tersedia. Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan akan prestasi (achievement), kebutuhan kekuasaan (power), dan kebutuhan afiliasi. Dari paparan di atas di dapat kesimpulan bahwa motivasi sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor baik eksternal maupun internal. Faktor eksternal membutuhkan penguatan dari luar yang memungkinkan adanya intervensi. Sementara faktor internal menjadikan kebutuhan atau kepuasaan sebagai dasar kemunculannya. Sejak awal para ahli psikologi yang mendalami teori motivasi mencoba untuk menjelaskan motivasi di beberapa bidang kajian yang berbeda dan di beberapa jenis perilaku. White mendiskusikan motivasi mastery (mastery or effectance motivation) sebagai kemampuan, dan mengusulkan sinonim dari kapabilitas (kemampuan), kapasitas, efisiensi, kecakapan, dan keterampilan. White berargumentasi bahwa seseorang mempunyai sesuatu hal yang tidak bisa dipisahkan, yakni merasa dirinya mampu
dan sekaligus saling berhubungan
secara efektif dengan lingkungan atau dipengaruhi oleh lingkungan. Tujuan dari motivasi mastery adalah sejauh mana seseorang mempunyai keyakinan atas kapasitas yang dimilikinya (efficacy) atau dapat menguasai diri dengan baik (personal mastery), dan ini merupakan suatu kebutuhan yang hadir sejak awal. 16 Sementara Wiliam James menggunakan istilah motivasi hakiki untuk menjelaskan minat (interest) dan naluri untuk membangun (instinct of constructiveness) untuk menjelaskan tipe-tipe perilaku manusia. Minat dan naluri untuk
membangun
tersebut
menggambarkan
konsep
self-determination
(kemampuan individu untuk memutuskan sesuatu tanpa pengaruh dari luar) dan 16
Bandingkan dengan Barleson dan Steiner yang menjelaskan kebutuhan berhubungan dengan pemenuhan kepuasaan. Sementara Maslow kebutuhan membicarakan kebutuhan dasar aktualisasi diri.
31
competence (kemampuan individu untuk melakukan sesuatu dengan baik), dan pada akhirnya kedua hal inilah yang pada awalnya mendefinisikan motivasi hakiki. 17 Motivasi penguasaan atau motivasi mastery diramalkan secara positif berhubungan dengan persepsi anak-anak dari satu iklim yag asli (asal). Richard M. Ryan telah menelaah bukti yang menyebutkan penguasaan motivasi seorang anak bergantung pada penguasaan lingkungan sekolah atau motivasi hakiki bergantung kepada pengalaman yang otonomi. 18 Motivasi mastery juga berperan dalam belajar anak walaupun bukan yang utama. Ketika
para siswa masuk sekolah, mereka mulai mengarahkan
motivasinya pada penguasaan mata pelajaran tertentu. Prestasi sekolah dan hasil belajar lainnya dihipotesiskan berasal dari motivasi mastery. Penguasaan motivasi juga diperkirakan akan positif berhubungan dengan persepsi anak-anak asal iklim. Richard M. Ryan juga menunjukkan bahwa dalam lingkungan sekolah penguasaan atau motivasi intrinsik bergantung pada pengalaman otonomi. 19 Menurut Harter, anak mempunyai motivasi yang berorientasi intrinsik (mastery or instricsic orientation) bila sedang belajar di kelas, yang ditentukan oleh minat yang timbul dari dirinya seperti penguasaan, keingintahuan, dan memilih sesuatu dalam menghadapi tantangan. Motivasi intrinsik mempunyai pola yang berhubungan dengan kemampuan dan pengendalian diri yang tinggi, merencanakan dan menganalisis tugas secara realistis, dan percaya dengan usaha yang dilakukannya dalam meningkatkan kemampuan dan pengendalian diri. Anak juga memiliki motivasi yang berorientasi ekstrinsik (performance or extrinsic orientation) bila sedang belajar di kelas, yang ditentukan oleh minat yang berasal dari luar dirinya seperti restu 17
Daniel Albert Y. A., Michael Budiman, “Student E-Learning Intrinsic Motivation”, : CAIS, Volume : 19, 2007)
(Jurnal 18
Richard M. Ryan and Wendy S., ”Origins and Pawns in the Classroom: Self-Report and Projective Assessments of Individual Differences in Children's Perceptions”, ( Joumal of Personality and Social Psychology, Grolnick University of Rochester, Vol. SO, No. 3, 1986), 550-558. 19
Richard M. Ryan dan Wendy S., “Self-Report and Individual Differences in Children's Perseption”, 550-558.
32
atau petunjuk dan penilaian dari guru. Motivasi ekstrinsik yang mendorong ke arah belajar ditandai oleh pertimbangan di luar dirinya dalam melakukan suatu pekerjaan, seperti misalnya kinerja seorang siswa, penilaian dari guru, atau untuk mengantisipasi suatu penghargaan atau pujian. 20 Kerangka teoritis pada penelitian Harter’s mempunyai pengaruh yang besar pada teori motivasi, dengan bertitik tolak pada argumentasi White. Harter mengusulkan suatu model tentang motivasi masteri (mastery or effectance motivation), yang menggambarkan pengaruh dari kesuksesan atau yang dialami. Tujuan dari motivasi masteri
kegagalan
adalah untuk memperoleh
kemampuan dalam menghadapi pengaruh lingkungan seseorang. Harter secara operasional membangun konstruk Children’s Self Report Scale of Intrinsic versus Extrinsic Motivation in the Classroom 21 dalam sebuah instrumen. Instrumen itu terdiri dari 30 item yang dikelompokkan menjadi 5 skala dan masing-masing terdiri dari 6 item (3 item untuk intrinsik dan 3 item untuk ekstrinsik), yakni : 1. Preference for challege : memilih sesuatu dalam menghadapi tantangan dan bukan mencari sesuatu dengan mudah. 2. Curiosity : melakukan suatu pekerjaan untuk memenuhi rasa keingintahuan dan minat yang pada dirinya, tetapi bukan untuk menyenangkan guru dan memperoleh nilai yang bagus. 3. Independent mastery : berusaha sendiri dan tidak tergantung dari guru. 4. Independent judgment : mempertimbangkan sesuatu sendiri dan tidak hanya percaya pada pertimbangan guru atau orang lain.
20
Goldberg, M. D., “A developmental investigation of intrinsic motivation : Correlates, causes, and cosequenses in high ability students, Dissertation”, (University of Virginia, 1994), 55. 21
Harter, S. “A new self-report scale of Intrinsic versus Extrinsic Orientation in the classroom : motivational and informational components”, (Journal Developmental Psychology,vol : 17),300-312.
33
5. Internal criteria : mempunyai kriteria sendiri dalam menentukan sesuatu hal yang dianggap akan sukses atau gagal dibandingkan dengan kriteria yang berasal di luar dirinya. Motivasi berdasar pada penguasaan (mastery or intrinsic motivation) didefinisikan oleh White sebagai kecenderungan umum yang saling berhubungan dan dipengaruhi oleh lingkungan. 22 White memandang kecenderungan ini harus dihadapi secara efektif dengan memotivasi diri, karena kepuasan yang dicapai tidak bisa dipisahkan dengan perasaan senang. 23 Motivasi yang berdasarkan pada pertimbangan (judgment motivation) berkaitan dengan skala internal kriteria dan independent judgment, dan ini mencerminkan sejauh mana anak memiliki kepercayaan dibandingkan bila bersandar pada pertimbangan orang lain, dan menjadi dasar (internal maupun eksternal) dalam mengevaluasi kinerja (performance) anak di sekolah. 24 Entwisle dan koleganya menemukan bahwa motivasi intrinsik anak-anak muda cenderung sangat tinggi. 25 Goldberg menyatakan bahwa motivasi intrinsik akan berkurang dengan mulai digunakannya motivasi ekstrinsik, hal itu disebabkan oleh keadaan di luar dirinya mulai memberi penghargaan atau pujian, dan cenderung berubah atau berkurang ketika umur anak meningkat. Kassin & Lepper
mempertunjukkan bahwa jika anak-anak diberi pertimbangan di luar
dirinya untuk mulai bekerja dan mereka menikmati kegiatan itu, mereka menduga bahwa mereka telah ikut ambil bagian dengan alasan yang disebabkan oleh keadaan di luar dirinya, dan di masa mendatang mereka cenderung tidak ikut
22
White, R., “Motivation Reconsidered. The Concept of Competence”, (Journal Psychological Review, vol :66), 297-323. 23
Bandingkan dengan Barlesen dan Steiner yang menganggap pemenuhan kebutuhan akan mendatangkan kepuasan 24
Ginsburg, G. S., & Bronstein, P., “Family factors related to children’s intrinsic/extrinsic motivational orientation and academic performance”, (Journal Child Development, vol : 64), 1461-1474 25
Entwisle, D., Alexander, K., Cadigan., & Pallas, A., “The schooling process in first grade : Two sample a decade apart”, (American Educational Research Journal, vol : 23), 587-613
34
ambil bagian dalam suatu kegiatan manakala penghargaan atau pujian.
tidak memberikan suatu
26
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan motivasi siswa di kelas, antara lain Gottfried memperlihatkan ada hubungan yang signifikan antara motivasi (instrinsik) akademik dengan prestasi anak di kelas. 27 Skala Children’s Academic Intrinsic Motivation Inventory (CAIMI) digunakan untuk mengukur motivasi intrinsik anak dalam belajar di kelas. Demikian juga Fortier dalam penelitiannya menemukan bahwa kompetensi akademik yang dirasakan siswa mempunyai hubungan positip dengan motivasi intrinsik. 28 Boggiano mengungkapkan bahwa motivasi akademik anak mempunyai pengaruh yang positip pada kinerja akademik mereka. 29 Robert J Vallerand menjelaskan istilah motivasi intrisik sebagai in general motivation intrinsic refres to the fact of doing to an activity for itself and pleasure and satisfacvtion derived on participation . Bila diterjemahkan dengan bebas, motivasi intrinsik adalah motivasi hakiki yang umum merujuk kepada fakta untuk melakukan satu aktivitas untuk diri sendiri dan untuk kesenangan serta untuk memperoleh kepuasan pada keikutsertaan individu. W. Harlen dan R Deakin Crick 30 menggambarkan motivasi belajar dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Seperti yang terlihat dari gambar di bawah ini : 26
Kassin, S. M., & Lepper, M. R. ”Over sufficient and insufficient justification effects : Cognitive and behavioral development”, (Journal : The development of achievement motivation, Greenwich) 27
Gottfried, A. E., “Academic intrinsic motivation in elementary and junior high school students”, ( Journal of Educational Psychology, 77), 631-645. 28
Fortier, M.S., Vallerand, R. J., & Guay, F. (1995). “Academic motivation and school performance : Toward a structural model”, (Journal Contemporary Psychology, vol : 20), 257274. 29
Boggiano, A. K., Shields, A., Barret, M., Kellam, T., Thomson, E., Simons, J., & Katz, P. (1992). Helpless deficits in students : The role of motivational orientation. Motivation and Emotion, , 271-296. 30
Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, “Testing and Motivation for Learning, Graduate School of Education, Assessment in Education”, (Journal Assassment in Education, Vol.10, No.2 July 2003), 183.
35
Gambar 2 : Teori Motivasi Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick
Sumber : Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, Testing and Motivation for Learning, Graduate School of Education, Assessment in Education, (Jurnal Assassment in Education, Vol.10, No.2 July 2003) Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa motivasi belajar dipengaruhi oleh Self Efficacy, Locus of Control, Goal Oreintation, Effort, Interest, Self Regulation, Self Esteem, sense of self as learner. Menurut penulis hal ini termasuk dalam motivasi intrinsik. Sementara yang mempengaruhi motivasi dari faktor eksternal adalah : Home Support, Assessment Practice, Peer Culture, Pedagogy, Curriculum dan School Ethos.
Berdasarkan beberapa penelitian, selef efficacy,
locus of control, goal orientation, self regulation, self esteem, sense of self as learner memiliki pengaruh signifikan dengan menggunakan MSLQ: 31 Motivated Strategis for Learning Questionare.
31
MSLQ merupakan instrument untuk mengukur motivasi siswa yang terdiri dari berbagai skala : self efficacy, instrinsic value dan test axiety. Termasuk mengukur self regulation learning
36
Keyakinan diri atau self efficacy memberikan dasar bagi motivasi manusia, untuk mencari kesejahteraan atau kesehatan (well beeing), 32 dan prestasi pribadi. Keyakinan diri menurut Bandura 33 tidak akan muncul pada orang-orang yang tidak percaya bahwa tindakan mereka dapat memberikan hasil yang mereka inginkan, dan mereka memiliki sedikit ide atau usaha untuk bertindak atau bertahan dalam menghadapi kesulitan. Secara sederhana self efficacy bagi siswa adalah kepercayaan diri siswa ketika mengajukan pertanyaan, dan keterlibatan dalam proses pembelajaran. Pengaturan diri (self-regulation) merupakan kemampuan individu seorang siswa untuk mengatur perilakunya sendiri dalam mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Misalnya seorang siswa harus selalu dapat mengatur motivasi dirinya dalam melakukan proses pembelajaran, selalu bersemangat dalam mengerjakan tugas dan sebagainya. Atau sebaliknya bagaimana dia mengatasi kejenuhan dalam proses pembelajaran. Oleh karenanya dalam merancang suatu pendidikan harus dirancang pula lingkungan belajar yang melibatkan para siswa dalam suatu kegiatan yang sesuai dengan bagaimana mereka mengatur dirinya. Self regulation bagi siswa adalah sikap untuk menyesuaikan diri dengan segala tugas yang diberikan oleh guru. Berorientasi pada tujuan (goal orientation) sering tampak sebagai salah satu aspek dari motivasi individu seseorang. Seseorang yang berorientasi pada tujuan pada umumnya menjelaskan tujuan yang mereka pilih dan metode yang digunakan untuk mengejar tujuan tersebut (Deshon & Gillespie, 2005). Goal orientation bagi siswa adalah segala upaya yang dilakukan untuk memahami materi yang diberikan oleh guru.
Stratetegis. Instrumen ini ada 44 item MSLQ yang dirujuk dari Pintrich De Groot (Journal of Education Psychology, 1990, Vol 82, No 1), 33-40 32
Bandingkan dengan Abraham Maslow yang menjelaskan bahwa motivasi disebabkan pemenuhan kebutuhan dasar 33
Bandura, A., Barbaranelli, C., Caprara, G. V., and Pastorelli, C. (1996), Multifaceted impact of self efficacy beliefs on academic functioning. (Child Development, 1996), 1206–1222.
37
Sementera istilah self esteem merujuk pada harga diri atau bagaimana siswa menilai dirinya sendiri. Beberapa definisi self-esteem menurut beberapa ahli psikologi. 1. Suatu sikap positif atau negative ke arah objek tertentu yang dinamankan the self/diri 2. Harga diri adalah disposisi untuk mengalami dirinya sebagai berkompeten untuk mengatasi tantangan dasar dari hidup dan kebahagian yang berharga. 3. Derajat dimana kita merasa sendiri secara positif atau secara negatif; sikap keseluruhan kita ke arah diri sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa self-esteem adalah penilaian seseorang secara umum terhadap dirinya sendiri, baik berupa penilaian negatif maupun penilaian positif yang akhirnya menghasilkan perasaan keberhargaan atau kebergunaan diri dalam menjalani kehidupan. Menurut Coopersmith tingkatan harga diri individu dapat dibedakan menjadi tiga golongan di mana setiap golongan memiliki karakteristik masingmasing. Karakteristik individu yang memiliki self-esteem tinggi yaitu: 34 1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik. 2)Berprestasi dalam bidang akademis dan berhasil dalam hubungan sosial. 3) Dapat menerima kritik dengan baik. 4) Percaya pada persepsi dan dirinya sendiri. 5) Keyakinan akan dirinya tidak hanya berdasarkan khayalannya, karena mempunyai kemampuan, kecakapan sosial, dan kualitas diri yang tinggi. 6) Tidak mudah terpengaruh pada penilaian orang lain mengenai sifat dan kepribadiannya, baik itu positif maupun negatif. 7) Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. 8) Memiliki tingkat kecemasan dan perasaan tidak aman rendah. 9) Memiliki daya bertahan yang seimbang Self esteem mengeksplorasi
bagi siswa adalah kemampuan dan kemauan untuk bahan-bahan yang diberikan oleh guru dalam bentuk
mengerjakan tugas. Sense as Learner
adalah sikap siswa yang menyadari
34
Bustanova, Self Esteem dan Narcissistic Personality Disorder diakses dari http://bustanova.wordpress.com/2008/11/07/self-esteem-dan-narcissistic-personality-disorder/ pada tanggal 19 November 2009.
38
terhadap tujuannya datang kesekolah untuk belajar. Sehingga dia memiliki motivasi yang tinggi untuk menguasai materi. Sense as learner ini juga dipengaruhi oleh keinginan dalam jangka panjang (cita-cita) siswa. Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinium dari internal menuju eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benarbenar internal atau yang benar-benar eksternal. Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Disamping itu locus of control tidak bersifat stastis tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus of control dapat berubah menjadi individu yang berorientasi external locus of control dan begitu sebaliknya, hal tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan sering melakukan aktifitasnya. Sementara menurut Julian Rotter mengenai internal dan eksternal locus of control menghubungkan perilaku dengan psikologi kognitif serta percaya bahwa perilaku itu sebagian besar ditentukan oleh
“reinforcement”, dan melalui
penguatan individu meyakini faktor penyebab tindakan mereka. Selanjutnya keyaninan ini dapat menuntun tentang sikap dan perilaku seperti apa yang bisa diadopsi dari orang lain. Rotter mendefinisikan locus of control sebagai persepsi seseorang terhadap sumber-sumber yang mengontrol kejadian-kejadian dalam hidupnya, dalam hal ini ada locus of control eksternal dan internal. Jika individu tersebut meyakini bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialami merupakan tanggung jawab
pribadi dan merupakan usaha sendiri, maka orang tersebut
dikatakan memiliki locus of control internal. Sedangkan locus of control eksternal merupakan keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan ditentukan oleh kekuatan
yang berada di luar dirinya yaitu nasib, keberuntungan atau
kekuatan lain. 35 Pada orang-orang yang memiliki internal locus of control faktor kemampuan dan usaha terlihat dominan, oleh karena itu apabila individu dengan 35
Karwono, “Pengaruh Pemberian Umpan Balik dan Locus of Control Terhadap Kemampuan Mahasiswa dalam Mengelola Pembelajaran Mikro (Studi Eksperimen pada Mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Metro Lampung)”, hasil penelitian ini disampaikan pada seminar nasonal UMM Lampung.
39
internal locus of control mengalami kagagalan mereka akan menyalahkan dirinya sendiri karena kurangnya usaha yang dilakukan. Begitu pula dengan keberhasilan, mereka akan merasa bangga atas hasil usahanya. Hal ini akan membawa pengaruh untuk tindakan selanjutnya dimasa akan datang bahwa mereka akan mencapai keberhasilan apabila berusaha keras dengan segala kemampuannya Sebaliknya pada orang yang memiliki external locus of control melihat keberhasilan dan kegagalan dari faktor kesukaran dan nasib, oleh karena itu apabila mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi penyebabnya.` Hal itu tentunya berpengaruh terhadap tindakan dimasa datang, karena merasa tidak mampu dan kurang usahanya maka mereka tidak mempunyai harapan untuk memperbaiki kegagalan tersebut. Sementara hal yang mempengaruhi motivasi belajar siswa dari faktor luar atau eksternal merujuk pada konsepsi W. Harlen dan R Deakin Crick adalah home support, school ethos, peer
culture, pedagogy, curriculum, dan assessment
practice. Home support adalah bagian penting yang menentukan mental siswa. Dukungan dari rumah bisa berbagai bentuk. Dan yang terpenting adalah dukungan psikologis untuk mengembangkan kepribadian anak. Hal ini diilhami oleh sajak dari Dorothe McNolthe yang menginspirasi bahwa perlakuan terhadap anak, akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kehidupan anak dimasa yang akan datang. 36 36
Lihat Sajak Dorothe : Anak Belajar Dari Kehidupannya : “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah. Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan olokolok, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mengasihi. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi. Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan. Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan. Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan ksaih dalam kehidupan. Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar damai dengan pikiran”. Dorothy Law Nolte, dalam Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1985), 75
40
School ethos adalah nilai yang dikembangkan oleh sekolah, seperti nilai kejujuran, kedisiplinan, kebersihan, religious culture, dan sebagainya. School ethos lebih didasari oleh kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh sekolah. Peraturan ini kemudian menjadi bagian dari pembentukan watak dan sikap siswa selama di sekolah. Selain itu school ethos diperoleh dari nilai-nilai yang dikembangkan oleh guru dan siswa selama mereka berinteraksi di sekolah. Termasuk dalam school ethos adalah teacher support yaitu segala sesuatu atau upaya guru yang membantu siswa baik secara verbal atau non verbal. Peer culture adalah nilai-nilai yang dikembangkan oleh siswa dalam kelompok kecil. Budaya yang dikembangkan antar siswa pada prakteknya sangat dominion mempengaruhi pola perilaku siswa. Hal ini berkaitan dengan usia psikologis mereka dan kebutuhan akan pengakuan dalam kelompok. Kebutuhan akan pengakuan ini menjadikan seorang siswa harus rela menerima nilai atau budaya yang dijejalkan oleh kelompoknya. Pedagogy dan curriculum adalah system pembelajaran yang dikembankan di sekolah dan kurikulum yang dipakai. Hal ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah pusat dan kemampuan guru dalam ilmu pendidikan, khususnya mengenai pedagogy. Kemampuan guru dalam mengajar berkaitan dengan penggunaan model, strategi, metode dan keterampilan mengajar guru. Hal inilah yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Semakin bagus guru dalam penguasaan pedagogynya maka semakin besar motivasi belajar siswa atau sebaliknya. Semakin kurang kemampuan pedagogy guru dalam mengajar, maka motivasi belajar siswa pun relatif turun. Assessment practice adalah system penilaian yang menyeluruh yang digunakan oleh pihak sekolah dan guru. Reward yang diberikan dalam setiap pemberian nilai kepada siswa, memberikan efek besar dalam memotivasi siswa untuk belajar. Termasuk teknik penilaian yang dirasakan sesuai dan adil oleh siswa memberikan kontribusi terhadap kemauan belajar siswa. Konsepsi motivasi dari W. Harlen dan R. Deakin Crick inilah yang akan dijadikan dasar atau basis teori dari tesis ini. Teori W. Harlen dan R. Deakin Crick ini kemudian dikolaborasikan dengan teori learning cycle yang diadopsi oleh 41
Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Sehingga kolaborasi tersebut menghasilkan model motivasi dalam learning cycle. -
Bentuk-bentuk motivasi Motivasi yang diberikan oleh guru masih bersifat ekstrinsik atau faktor
yang mempengaruhi motivasi belajar siswa dari luar diri individu siswa. Motivasi yang diberikan oleh guru tersebut sangat bergantung kepada kemampuan guru untuk menyesuaikan materi pembelajar dengan strategi, metode, model, alat atau media pembelajaran yang dilakukan. Motivasi belajar siswa muncul, lebih didasarkan pada aspek eksternal yang dibangun atau dimodifikasi oleh guru dengan berbagai stimulusnya. Stimulus yang dimaksud adalah segala upaya baik secara administratif seperti Silabus, RPP, LKS, penilaian maupun behavior seperti cara berkomunikasi (verbal atau non verbal),
alat
peraga,
praktek,
based
on
experiences
(berdasarkan
problem/pengalaman keseharian) yang dilakukan guru untuk mempengaruhi perilaku belajar siswa. Stimulus tersebut bisa sekaligus berupa respon seperti bentuk komunikasi yang dilakukan oleh guru. Baik stimulus atau respon tersebut memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini didasarkan atas pendapat Richard Kindsvatter 37 yang berpendapat bahwa penggunaan feedback (umpan balik) dengan penguatan verbal dan non verbal dan penggunaan pujian yang efektif dapat memberikan pengaruh terhadap siswa. Siswa akan terbangun motivasi belajarnya ketika apa yang dilakukan oleh guru menarik. Dan hal tersebut masih sangat mungkin diusahakan oleh guru. Berdasarkan penelitian lapangan sederhana yang dilakukan oleh penulis tentang kemampuan guru meningkatkan motivasi belajar siswa ada korelasi positif bahwa motivasi siswa meningkat ketika guru mampu menampilkan pembelajaran yang aktif dengan strategi dan metode pembelajaran yang tepat, dan didukung oleh media atau alat pembelajaran yang tepat.
37
Richard Kindsvatter, dkk William Wilen dan Margaret Ishler, Dynamics Of Effective Teaching, (New York, Longman Publisher, 1996), 53.
42
Yang terakhir ini sangat menentukan ketertarikan siswa untuk mengikuti proses pembelajaran. Pendapat dari Richard Kindsvatter inilah yang dijadikan dasar pengukuran indikator faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Faktor-faktor eksternal tersebut diejawantahkan dalam indikator respon guru yang mempengaruhi motivasi belajar siswa di kelas seperti : 1) mengajukan pertanyaan 2) menjawab pertanyaan siswa 3) membantu individu siswa 4) membantu kelompok diskusi 5) komunikasi verbal : memuji individu, memuji kelompok : bertepuk tangan, memuji hasil kerja kelompok, menyebut nama siswa, memberi perhatian kepada individu siswa : tentang kesehatan, kondisi di rumah dsb, humor, menghimbau individu, menghimbau kelompok, menghardik, menegur
individu 6) komunikasi non verbal : berkeliling kelas,
tersenyum, kontak fisik secara positif, kontak fisik secara negative, kontak mata 7)
memberi
kesempatan
kepada
siswa
untuk
bertanya/mengemukakan
pendapat/menjawab 8) menyiapkan alat/media pembelajaran yang berkaitan dengan materi 9) memberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman pribadi siswa yang berkaitan dengan pelajaran/materi 10) menghubungkan dengan problem yang biasa dialami sehari-hari (problem based learning) 11) memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan sendiri (praktek) Sementara respon siswa yang mendorong motivasi belajar timbul dari adanya stimulus yang dilakukan oleh guru seperti di atas. Jika melihat teori motivasi yang dijelaskan oleh Wyne Harlen & Deakin Crick, stimulus yang diberikan oleh guru merupakan factor eksternal yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Kegairan belajar siswa dipengaruhi oelh cara guru menyajikan pembelajaran, kejelasan LKS yang diberikan, alat peraga yang ditampilkan, pembagian kelompok, alat penunjang yang disediakan guru dan stimulus verbal yang diberikan guru. Sementara untuk mengukur respon siswa yang menunjukkan adanya motivasi belajar, penulis mendefinisikan beberapa indikator yang bisa diukur, sebagai berikut : 1) mengajukan pertanyaan 2) menjawab pertanyaan siswa/guru/ maju untuk menjawab/memeragakan 3) mengerjakan tugas dari guru 4) terlibat aktiv dalam diskusi 5) inisiatif dan aktif (self esteem) 6) tertarik dengan startegi, 43
metode pembelajaran yang disampaikan guru 7) melakukan praktek langsung 8) rasa percaya diri tinggi (self efficacy) 9) berorientasi kepada penguasaan materi/keinginan untuk bisa (goal orientation) 10) berorientasi kepada hasil nilai/keinginan untuk mendapat nilai bagus (goal orientation) 11) pengaturan diri : kemampuan untuk memahami tugas dan menyesuaikan dengan tugas (self regulation).
B. Learning Cycle : Definisi dan Tahapan -
Definisi Menurut Deborah L Hanusein dan Michael H. Lee dari Universitas of
Missiouri- Colombia menjelaskan Learning cycle dikembangkan pada tahun 1967 oleh Robert Karplus. 38 Menurut Deborah, Karplus menjelaskan teori learning cycle yang dibangunnya didasarkan atas 1) exploration yaitu siswa membuktikan pengalaman pertama mereka dengan fenomena alam; 2) concept introduction yaitu siswa mengikuti untuk membangun pengetahuan melalui ineraksi dengan temannya, media pembelajaran dan guru; (3) concept application siswa diminta untuk menjelaskan pengetahuan barunya pada situasi yang berbeda. Model pembelajaran Learning Cycle merupakan model pembelajaran yang mengembangkan dan mengeksplorasi siswa, atau berpusat kepada siswa 39 . Permendiknas No. 41 tahun 2007 mengadopsi learning cycle khususnya ketika membahas tentang Perencanaan Pelaksanaan Pembelajaran, Pelaksanaan Proses Pembelajaran,
Penilaian
Hasil
Pembelajaran
dan
Pengawasan
Proses
Pembelajaran. Perencanaan pelaksanaan pembelajaran membahas tentang membuat Silabus, RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) dan prinsip penyusunan RPP.
Pelaksanaan proses pembelajaran meliputi persyaratan
pelaksanaan proses pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran. 38
Deborah L Hanusein & Michael Lee, “Using a Learning Cycle Approach to Teaching the Learning Cycle to Preservice Elementary Teachers” Paper presented at the 2007 annual meeting of the Association for Science Teacher Education, Clearwater, FL
39
Lihat catatan kaki nomor 28, 29, 30 pada Bab 1
44
Dalam pelaksanaan pembelajaran, terdiri atas kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Disinilah harus difahami oleh guru apa saja yang harus dipersiapkan sebelum pembelajaran di mulai. Artinya bahwa kegiatan pembelajaran sangat bergantung pada sekenario yang telah dirancang oleh guru melalui RPP. Pada kegiatan pendahuluan yang berisi kegiatan menyiapkan siswa secara fisik dan psikis, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pelajaran yang sudah diajarkan dan akan didiskusikan bersama sesuai dengan silabus. Kegiatan pendahuluan ini merupakan rangkaian awal proses pemberian motivasi kepada siswa sebelum pelajaran di mulai. Di ibaratkan kail, kegiatan pendahuluan inilah yang memberikan umpan untuk masuk dalam proses pembelajaran. Guru dituntut untuk bisa memberikan dan mendorong siswa untuk mau terlibat dalam proses pembelajaran melalui berbagai macam motivasi yang sampaikan dalam kegiatan pendahuluan. Intinya di kegiatan pendahuluan ada proses pemberian motivasi. Di kegiatan inti dalam Permendiknas No. 41 ini, merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk mencapai tuntutan pembelajaran yang aktif, interaktif, inspiratif, menyenangkan dan menantang motivasi siswa, guru dituntut menggunakan berbagai macam metode dan strategi yang sesuai dengan karakteristik siswa. Dalam kegiatan inti juga dijelaskan bagaimana guru harus mampu memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran melalui proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Tiga fase inilah –ekplorasi, elaborasi dan konfirmasi, yang menurut penulis menjadi bagian dari learning cycle. Seperti diketahui, learning cycle
45
adalah model pembelajaran yang memiliki tahapan-tahapan seperti engagement, aplikasi, evaluasi, elaborasi dan lain sebagainya. 40 Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Permendiknas 41 menekankan dalam kegiatan ini menjadi tiga fase kegiatan : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Kegiatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam satu kegiatan pembelajaran. Bergantung keluasan KD dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam satu kali pertemuan. Pertanyaannya adalah aktivitas-aktivitas apa yang harus dilakukan dalam setiap fase tersebut ? Agar siswa dapat mencapai kompetensi yang akan dicapai. Alternatif kegiatan eksplorasi 41 antara lain : 42 mendengar tentang, membaca tentang, berdiskusi tentang, mengamati model (teks/ karya), mengamati demonstrasi, mengamati simulasi kasus, mengamati dua
perbandingan (yang
salah dan yang benar), mencoba melakukan, membaca kasus (bedah kasus), talk show, berwawancara dengan lingkungan (menggali informasi), observasi terhadap 40
Baca juga Rodge W Bybe, et all, The BSCS 5E Instructional Model : Origins, Effectiveness, and Application, 3. Dan lihat Bab I hal 19-20. 41
Dalam kegiatan eksplorasi menurut Permendiknas No. 41 tahun 2007 guru harus 1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; 2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; 3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; 4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan 5) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan. 42
Titik Harsiati, Panduan Pengembangan KTSP AIBEP – (Australai Indonesia Basic Education Program-(Jakarta : Depag, 2009), 56. Alternatif kegiatan ini untuk menjawab pertanyaan aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa dalam setiap fase.
46
lingkungan, mencoba melakukan kompetensi dengan kemampuan awalnya. mencoba bereksperimen, bernyanyi
(berkaitan dengan konsep yang akan
dibahas), bermain (berkaitan dengan konsep yang akan dibahas). Alternatif kegiatan elaborasi 43 antara lain : secara diskusi/ mandiri, mengidentifikasi ciri, menemukan konsep, melakukan generalisasi, mencari bagian-bagian, mendeskripsikan persamaan dan perbedaan, memasukkan dalam kelompok yang mana (memilah-milah), membandingkan dengan dunia nyata atau pengetahuan yang telah dimiliki (analisis beda dan persamaannya), menganalisis mengapa terjadi begini/ begitu dari hasil eksperimen/ demonstrasi, meramalkan apa yang akan terjadi dari eksperimen, mengidentifikasi mana yang beda/sama dengan model bandngan/kriteria dan mana yang lebih baik, mengidentifikasi apa yang salah/benar, mengapa salah/benar, mengurutkan, mengelompokkan, mengkombinasikan, menyusun mana yang berhubungan dan mana yang tidak, menguhung-hubungkan (mencari model hubungan), menasangkan contoh dan bukan contoh, (memanfaatkan model bandingan untuk elaborasi) Alternatif kegiatan konfirmasi 44 antara lain : penyimpulan, memberikan balikan apa yang dikerjakan siswa, penjelasan mengapa salah, penjelasan mana 43
Berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007, dalam kegiatan elaborasi, guru: 1) membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentuyang bermakna; 2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; 3) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; 4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; 5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; 6) memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; 7) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok; 8) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; 9) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. 44
Berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007, dalam kegiatan konfirmasi, guru: 1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, 2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber, 3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan, 4) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar: a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; b) membantu menyelesaikan masalah; c) memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; d) memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; e) memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
47
yang benar dan yang salah. meluruskan yang salah, menegaskan yang benar, melanjutkan/ menambahkan yang kurang, mengangkat kasus yang salah dan yang benar
- menjelaskan mengapa salah/benar, menyimpulkan konsep, kriteria ,
prinsip, cara mencapai yang lebih baik, contoh dan bukan contoh, memperluas contoh yang benar dan yang salah, menjelaskan bagaimana seharusnya, menciptakan rubrik. Learning cycle atau siklus belajar adalah model pembelajaran yang berpusat pada siswa atau student center. LC juga menjadi salah satu bagian dari pembelajaran aktif (active learning). 45 Pembelajaran aktif mendorong anak/siswa untuk berpikir, menganalisa, mengajukan pendapat, menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka 46 . Active learning juga sering diistilahkan dengan PAKEM : Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan 47 . Konsep Pakem ini sebenarnya untuk memenuhi tuntutan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2000 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 19, yang menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, memberikan ruang gerak yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta fisikologis siswa. Amanat undang-undang ini sering kita dengar dengan istilah PAKEM 48 . Sayangnya praktek pembelajaran PAKEM ini belum dilaksanakan secara massif. Hal ini lebih disebabkan persoalan pembelajaran PAKEM belum difahami oleh guru secara substansi. Artinya pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional dari pusat hingga ke tingkat daerah, yang mendengungdengungkan PAKEM tidak melakukan pelatihan secara massif terhadap guru tentang PAKEM ini. Hal ini kasusnya sama dengan CBSA, Cara Belajar Siswa 45
Lihat Bab I hal 11.
46
USAID, What Is Active Learning (WIAL) Panduan untuk Fasilitator, (Jakarta: DBE 2,
2008), 15. 47
Konsep PAKEM kadang ditambahkan dengan inovatif setelah aktif, menjadi PAIKEM.
48
Indrawati, Wawan Setiawan, Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan Untuk SD, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam (PPPPTK IPA) untuk Program BERMUTU, (Jakarta, P4TK IPA, 2009), 9.
48
Aktif, yang nasibnya sama tidak bisa berkembang. CBSA dan PAKEM tidak berkembang karena tidak massifnya sosialisasi pelatihan. Disini menunjukkan upaya pemerintah untuk memperbaiki proses pembelajaran sebenarnya sudah dilakukan. Ini bisa dilihat dari perkembangan kurikulum yang dilakukan -mulai dari kurikulum 1974, 1984, 1994, 2000, dan kurikulum 2006. Yang terakhir ini –kurikulum 2006, adalah Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar isi yang dijadikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP. PAKEM dan berbagai model pembelajaran yang berbasis active learning, seperti metode STAD (Student Teams Achievement Division) 49 , CTL (Contextual Teaching and Learning), merupakan aplikasi dari Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 40 ayat 2 Undang-undang No 20 tahun 2003 menyatakan bahwa : Guru dan tenaga kependidikan berkewajiban : 1) Menciptakan suasan pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan logis 2) Mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan pendidikan 3) Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Sementara PP No. 19 tahun 2000 menyebutkan bahwa pembelajaran diselenggarakan
secara
interaktif,
inspiratif,
menyenangkan,
menantang,
memotivasi siswa untuk berprestasi, memberikan ruang gerak yang cukup bagi kreativitas dan prakarsa dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik dan psikologis siswa. Untuk dapat melaksanakan amanat
49
Tipe STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan-kawannya dari Universitas John Hopkins, Tipe ini dipandang sebagai yang paling sederhana dan paling langsung dari pendekatan pembelajaran kooperatif. Tipe ini digunakan untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu, baik melalui penyajian verbal maupun tertulis, melalui beberapa kegiatan sebagai berikut : penjelasan materi pembelajaran; diskusi atau kerja kelompok belajar; validasi oleh guru; evaluasi (Tes); menentukan nilai individu dan kelompok; penghargaan individu atau kelompok; Dra. Sulis Merfanti, “Peningkatan Pemahaman Siswa pada Mata Pelajaran PKn melalui Pembelajaran Tipe STAD materi Sistem Hukum Nasional di Kelas XA SMAN 2 Pontianak”, Block Grant PTK, Dit PMPTK, Kementerian Pendidikan Nasional, 2007, hal. 10.
49
perundang-undangan tersebut, guru harus merubah paradigma mengajar menjadi membelajarkan siswa. UU No 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2000 ini kemudian diperjelas dengan berbagai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas). Salah satunya yang berhubungan dengan pembelajaran adalah Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Permendiknas No. 22 merupakan rujukan utama dalam pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Atau yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sementara Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses berbicara tentang pedoman atau aturan yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran di kelas. -
Teori Cooperatif Learning tipe STAD Robert Slavin Cooperatif learning, seperti dijelaskan R. Bruce Williams adalah system
instruksional yang digunakan untuk kelompok kecil, mereka (siswa) bekerja bersama untuk memaksimalkan kemampuan mereka dan saling belajar antar siswa. Robert Slavin sendiri memberikan pendapat bahwa cooperative learning terjadi ketika metode instruksional digunakan siswa untuk bekerja dan belajar dalam kelompok kecil yang heterogen 50 . Dalam
perkembangannya,
Slavin
mengembangkan
pembelajaran
cooperative learning dengan model sudent teams achievement division atau STAD. STAD menjadi bagian dari pembelajaran cooperatif learning, digunakan untuk membangun kerjasama team sekaligus membangun kompetisi antar tim yang bisa juga dikolaborasikan dengan model TGT melalui kuis individual. STAD juga digunakan untuk mengukur/memberi hadiah terhadap indivdu untuk
50
R. Bruce Williams, Cooperative Learning: A Standard for High Achievement : A Standar for High Achievement, (London : Corwin Press, 2002), 3. Baca juga Etin Solihatin & Rahardjo, Cooperatif Learning, Analisis Model Pembelajaran IPS,(Jakarta : Bumi Aksara, 2008), 4-10
50
meningkatkan skor individu dengan cara memberi hadiah kepada individu yang tergabung dalam tim. 51 Lebih jauh Slavin menjelaskan STAD digunakan untuk meningkatkan desain system pemberian hadiah yang memberikan peluang kepada semua siswa untuk mendapat hadiah dan hanya jika mereka mengerjakan tugas lebih baik dibanding sebelumnya. Efek dari sistem ini yang bisa merusakan / mengurangi evaluasi motivasi/system insentif menurut atkinson yang dikutip Slavin adalah sedikitnya kesempatan bagi individu untuk
sukses, sementara yang lain mendapatkan
kesempatan yang mudah. Slavin sendiri memberikan kritik terhadap sistem pentahapan tradisional yang dibuat hanya pantas untuk sistem motivasi. Cooperatif learning sendiri menurut Slavin adalah untuk menyelesaikan sebagian persoalan pencapaian (kompetensi, dari penulis) dari keberagaman latar belakang siswa, membantu kelompok memahami pelajaran, memberi kesempatan siswa belajar kepada teman sebayanya. Menurut Slavin52 , pembelajaran STAD bisa digunakan melalui lima komponen, yaitu : presentasi kelas, pembentukan kelompok yang heterogen, kuis, penilaian individu menggunakan skor dan penguatan kelompok sekaligus penilaian kelompok. STAD merupakan metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Menurut Nurhadi, bahwa : Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan suatu model pembelajaran kelompok dimana anggota kelompok memiliki keragaman latar belakang baik dari sisi jenis kelamin, etnis/suku, maupun
51
Robert Slavin, Team assisted Individualization Combining Cooperative learning and Individualized Instruction in Mathematics, dalam Learning to Cooperate, Cooperating to Learn, edited by Rpbert Slavin, Shlomo Sharn, Spencer Kagan, etc, (New York: Plenum Publishing Press, 1985), 177-179. 52
Robert Slavin, Team assisted Individualization Combining Cooperative learning and Individualized Instruction in Mathematics, dalam Learning to Cooperate, Cooperating to Learn, edited by Robert Slavin, Shlomo Sharn, Spencer Kagan, etc, 68-69.
51
kemampuan intelektual. Anggota kelompok sendiri terdiri atas 4 sampai 5 orang. 53 Namun demikian menurut Lie 54 , model pembelajaaran cooperative learning
memiliki beberapa kelemahan, diantaranya : 1) Guru tidak bisa
mengontrol kelas (kelompok) karena bebasnya anggota kelompok yang tidak memiliki motivasi belajar berinteraksi tanpa panduan. 2) Kerjasama yang digunakan dalam kelompok tidak jelas, hanya mengandalkan siswa yang memiliki kemampuan lebih saja. 3) Sistem kerjasama kelompok yang tidak terbangun dengan bagus. 4) Pekerjaan kelompok lebih banyak dikerjakan oleh siswa yang memiliki kemampuan lebih, tidak ada distribusi pekerjaan/tugas kelompok. 5) Siswa yang kurang memiliki kemampuan hanya menumpang saja kepada siswa yang mengerjakan tugas. Menurut penulis, model pembelajaran STAD yang ditawarkarkan oleh Slavin, memiliki beberapa yang perlu diperkuat. Salah satunya adalah interaksi dan komunikasi yang harus diperkuat oleh guru. Pasalnya apa dikatakan oleh Lie, STAD memiliki kelemahan dari sisi monitoring pengerjaan tugas siswa dalam kelompok. Dimana kecendrungan pengerjaan tugas oleh siswa yang memiliki kemampuan lebih akan dominan. Sehingga motivasi mengerjakan tugas dari siswa lain akan berkurang. Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle bisa dijadikan solusi dimana, interaksi dan komunikasi guru dengan siswa dilakukan melalui pendekatan personal. Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle juga bisa menjadi jembatan untuk menanggulangi heterogenitas yang ada dalam kelompok. Dalam heteogen khususnya dari sisi budaya yang melatarbelakangi siswa, Richard
I Arend
memberikan pendapat, bahwa guru perlu peka terhadap dasar perbedaan kultural dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi perilaku siswa di kelas. 55 Sebab 53
Nurhadi, ”Kurikulum 2004 : Pertanyaan dan Jawaban”, (Jakarta : Grasindo, 2004),116
54
Lie, Anita. ”Cooperative Learning : Mempraktikan Cooperative Learning di Ruangruang Kelas”,(Jakarta : Gramedia, 2002), 22. 55
Richard I Arends, Learning to Teach, penerjemah, Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 65.
52
menurutnya ada beberapa perbedaan kultur yang bisa menimbulkan masalah. Seperti disatu sisi ada siswa sikap terhadap keseimbangan antara mengerjakan tugas dan bersosialisasi. Selain itu menurut Richard, kelas memiliki fitur-fitur kelas. Kelas adalah lingkup sosial tempat persahabatan terbentuk dan komunikasi terjadi. Kelas menurut Richar bisa dilihat dari perspektif ekologis yaitu melihat kelas sebagai tempat dari guru, siswa dan orang lain berinteraksi di lingkungan yang sangat interdependen (saling bergantung). Fitur yang dimaksudkan Richard adalah multidimensionality, simultaneity, immediacy, unpredictability, publicness, dan history. Fitur-fitur tersebut disebut juga properti kelas. 56 Multidimensionality
adalah
kelas
merupakan
perpaduan
berbagai
latarbelakang, kepentingan, dan kecakapan berkompetensi yang berbeda-beda. Hal ini menurut Richard sangat terbuka terhadap terjadinya konflik dan dibutuhkan kemampuan guru untuk mengontrol dan meminimalisir konflik yang terjadi. Simultaneity adalah disamping memberi tugas, seorang guru juga harus mengawasi seluruh kelas, menangani interupsi dan memperhatikan waktu serta lainnya. Immediacy (kesegaran) adalah yaitu perubahan yang terjadi dari satu kejadian ke kejadian lain dan memberikan dampak langsung terhadap kelas. Dalam hal ini stimulus dan respon atau feedback
yang terjadi di kelas
memberikan kesegaran dalam proses yang terjadi di kelas. Unpredictability yaitu bahwa kejadian di kelas sering kali tidak bisa diprediksi, meskipun guru telah merancang proses pembelajaran. Karena itu menurut penulis, rancangan pembelajaran yang progresif adalah yang mengadopsi perubahan yang terjadi tersebut. Artinya guru mencatat perubahan rancangan pembelajaran sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi di kelas. Publicness adalah apa yang terjadi di kelas bisa disaksikan oleh orang lain. Kelas diistilahkan sebagai “aquarium” dimana yang menjadi ikannhya adalah guru dan siswa. Apa yang dilakukan oleh keduanya bisa dilihat dan diperhatikan oleh orang lain. History adalah kelas merupakan sebuah rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah komunitas. Kelas bertemu lima hari dalam seminggu, 12 bulan dalam setahun. Dengan demikian 56
Richard I Arends, Learning to Teach, 148-149.
53
mengakumulasi setumpuk pengalaman, norma, dan rutinitas. Pertemuanpertemuan tersebut akan membentuk peristiwa yang akan diingat sepanjang masa. Menurut penulis, Motivasi dan Learning Cycle memberikan peranan besar terhadap pembentukan fitur-fitur yang ditawarkan oleh Richard ini. Sementara pembelajaran STAD secara spesifik hanya berkaitan dengan proses pembelajaran yang kurang memperhatikan aspek-aspek kelas. Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle
sebagai bagian dari pendekatan pembelajaran mendorong
motivasi belajar siswa melalui pendekatan learning cycle, memperhatikan fiturfitur ini. Pasalnya system pendekatan komunikasi yang dilakukan dalam Motivasi dan Learning Cycle lebih kepada pendekatan komunikasi personal. Dimana komunikasi ini akan mempengaruhi fitur kelas dari sisi simultaneity, dan immediacy. Motivasi dan Learning Cycle juga aka memperkuat karakter multidimensionality dan publicness yang ada di kelas. Sehingga peristiwa yang terjadi bisa ditangani, walaupun kejadiannya unpredictability.
- Memahi Taksonomi Bloom Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses menjelaskan bahwa proses pembelajaran di kelas harus didasarkan atas kebutuhan siswa, (student center). Begitupun dengan Permendiknas No 20 tahun 2003 tentang Standar Isi. Keharusan focus kepada siswa mengharuskan seorang guru harus memahami apa yang harus dikerjakan siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran. Baik di awal pertemuan, di kegiatan inti dan di penutup. Dalam Standar Proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mencakup: perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran,
penilaian
hasil
pembelajaran,
dan
pengawasan
proses
pembelajaran. Permendiknas No. 41 tahun 2007 menekankankan bagaimana proses pelaksanaan pembelajaran yang berbasis kepada siswa. Hal ini ditandai dengan pewilahan aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa dalam kegiatan pembelajaran 54
melalui : kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Pada dasarnya Permendiknas No. 41 tahun 2007 ini merupakan model learning cycle Sementara Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi berisi standar kompetensi yang harus dicapai oleh siswa dalam setiap pembelajaran. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai siswa tersebut harus menjadi perhatian utama guru ketika mengajar. Kompetensi-kompetensi yang harus dicapai tersebut memiliki karakteristik yang mencakup pada taksonomi Bloom 57 : Kognitif, afektif dan psikomotor. Pada ranah kognitif, ada level kecakapan yang harus bisa dikuasai anak. Yaitu level kecakapan knowledge (mengetahui dan mengingat). Level ini dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan istilah C1 yang meliputi indikator kecakapannya siswa mampu menyebutkan, membaca, menuliskan, menyatakan, mengurutkan,
mengidentifikasi,
mendefinisikan,
mencocokkan,
menamai,
melabeli, menggambarkan. Pada level Comprehension (pemahaman) atau C2 diharapkan
indikator
kecakapan
yang
mampu
dikuasai
siswa
adalah
Menerjemahkan, mengubah, mengeneralisasi, menguaraikan (dengan kata-kata sendiri), menulis ulang (dengan kalimat sendiri), meringkas, membedakan, (diantara dua), mempertahankan, menyimpulkan, berpendapat dan menjelaskan. Pada level Application (penerapan ide) atau C3 siswa diharapkan mampu memiliki kecakapan : mengoperasikan, menghasilkan, mengubah, mengatasi, menggunakan, menunjukkan, mempersiapkan, dan menghitung. Pada level Analysis (kemampuan menguraikan) atau C4 siswa mampu memiliki kecakapan : menguraikan satuan menjadi unit-unit yang terpisah, membagi satuan menjadi sub-sub atau bagian-bagian, membedakan antara dua yang sama, memilih dan mengenal perbedaan (diantara beberapa yangdalam satu kesatuan). Pada level Synthesis (unifikasi-memadukan) atau C5 siswa mampu merancang,
merumuskan,
mengorganisasikan,
mengompilasikan,
57
Kenneth D. Moore merumuskan beberapa indikator menyangkut tiga taksonomi Bloom dalam Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Kecana 2004), 140, baca juga Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler :Dynamics of Effective Teaching, (USA : Longman Publisher, 1996), 161-163
55
mengomposisikan, membuat hipotesa, dan merencanakan. Dan pada level Evaluation (menilai) atau C6 siswa mampu Mengkritisi, menginterpretasi, menjastifikasi dan memberikan penilaian. Pada ranah afektif, ada lima level yang harus diperhatikan guru sebagai kecakapan yang harus dikuasai siswa. Level receiving (penerimaan) atau A1 memiliki indikator kecakapan sebagai berikut : mempercayai (sesuatu atau seseorang untuk diikuti), memilih (sesuatu atau seseorang untuk diikuti), mengikuti, bertanya (untuk diikuti), dan mengalokasikan. Level responding (tanggapan) atau A2 memiliki indikator kecakapan : menginformasikan, member jawaban, membaca (pesan-pesan), membantu, melaksanakan, melaporkan dan menampilkan. Pada level valuing (penanaman nilai) atau A3 memiliki kecakapan yang harus dikuasai siswa : menginisiasi, mengundang (orang untuk terlibat), terlibat, mengusulkan, dan melakukan. Level organization (pengorganisasian nilai-nilai) atau A4 memiliki tuntutan kecakapan : memverifikasi nilai-nilai sebagai pandangan hidup, menetapkan beberapa pilihan nilai, mensistesiskan (antar nilai), mengintegrasikan (antar nilai), menghubungkan (antar nilai), memengaruhi (kehidupan dengan nilai-nilai). Dan pada level characterization (karakterisasi kehidupan) atau A5 memiliki indikator kecakapan menggunakan nilai-nilai sebagai pandangan hidup (worldview), mempertahankan nilai-nilai yang sudah diyakini. Ranah Psikomotor juga memiliki level kecakapan yang harus dikuasai siswa. Seperti level observing (memperhatikan) atau P1 memiliki indikator kecapakan : mengamati proses, member perhatian pada tahapan-tahapan sebuah perbuatan, member perhatian pada sebuah artikulasi. Level imitation (peniruan) atau P2 memiliki kriteria kecakapan : melatih, mengubah sebuah bentuk, membongkar sebuah struktur, membangun kembali sebuha struktur, dan menggunakan sebuah konstruk atau model. Level practicing (pembiasaan) atau P3 memiliki indikator kecakapan : membiasakan sebuah model atau perilaku yang sudah dibentuknya, mengontrol 56
kebiasaan agar tetap konsisten. Dan level adapting (penyesuaian) atau P4 memiliki indikator kecakapan : menyesuaikan model, membenarkan sebuah model, untuk dikembangkann dan memadukan model pada kenyataan. 58 Dari
perspektif
taksonomi
Bloom
dan
perspektif
Permendiknas,
diharapkan guru mengetahui bentuk-bentuk motivasi yang diberikan, bagaimana cara memberikan motivasi, dan bagaimana itu dilakukan. Persoalan motivasi yang dibahas dalam bab ini, akan merujuk kepada toerinya W. Harlen dan Ruth Deakin Crick tentang aspek atau faktor yang memempengaruhi motivasi belajar siswa 59 . Melihat Taksonomi Bloom tersebut dapat ditarik benang merah bahwa ada kompetensi yang lebih menekankan kepada aspek kognitif, atau aspek afektif dan ada yang menekankan pada aspek psikomotorik. Bagi seorang guru taksonomi tersebut mutlak menjadi perhatian untuk menentukan arah pembelajaran. Alternatif kegiatan eksploras, elaborasi dan konfirmasi yang ditawarkan dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007
atau jika menggunakan model 6E
tersebut, menjadi penuntun untuk mencapai tipologi Bloom. Sebagai contoh pada tahap ini tipologi Bloom yang akan dicapai adalah pada aspek kognitif dengan level kecakapan memahami (comprehension) sebuah Standar Kompetensi dengan Kompetensi Dasar tertentu, maka alternatif kegiatan yang bisa dilakukan dalam kegiatan eksplorasi adalah, guru melibatkan siswa untuk mencari informasi tentang topik/tema yang sedang dipelajari, dengan cara membaca, mendengar informasi atau berdiskusi tentang topik yang sedang di bahas. Tentu sebelumnya, guru harus menyediakan bahan bacaan, bahan diskusi atau lembar kerja siswa yang sesuai dengan topik yang sedang dibahas. Contoh lain, pada fase elaborasi, dengan taksonomi Bloom yang akan dicapai pada level afektif, dengan level kecakapan yang akan dicapai responding atau siswa mampu memberi tanggapan. Maka kegiatan yang bisa dilakukan adalah siswa diminta melakukan analisis atau melakukan perbandingan atas apa yang 58
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Kecana 2004), 140.
59
Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick, Testing and Motivation for Learning, Graduate School of Education, Assessment in Education, (Jurnal : Assassment in Education Vol.10, No.2 July 2003), 183.
57
mereka lakukan pada waktu fase eksplorasi. Pada waktu kegiatan eksplorasi, siswa diminta membaca, mendengar atau berdiskusi tentang sesuatu, maka pada fase elaborasi, siswa diminta memberikan sebuah pendapat tentang analisis dari apa yang mereka baca atau dari apa yang mereka diskusikan. Pada fase konfirmasi, dengan sasaran taksonomi Bloom psikomotor dan level kecakapan yang akan dicapai adalah pembiasaan, maka kegiatan yang dilakukan adalah siswa bisa mengangkat kasus yang salah dan yang benar. Dan guru bisa menjelaskan mengapa salah dan mengapa benar. Aspek lain yang harus diperhatikan adalah, kata kerja operasional dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD). Kata kerja operasional tersebut memiliki keterkaitan dengan ranah dalam taksonomi Bloom, level kecakapan sehingga memudahkan indikator kecakapan yang akan dicapaianya. SK dan KD memiliki salah satu atau lebih dari ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
Sebagai contoh SK 9. Memahami Ajaran Al – Hadits tentang
kebersihan. Dengan KD sebagai berikut : 9.1
Membaca hadits tentang
kebersihan, 9.2. Menyebutkan arti hadits tentang kebersihan, 9.3
Menampilkan
perilaku bersih seperti dalam kehidupan sehari-hari. Kata kerja operasional memahami, membaca, menyebutkan dan menampilkan bisa dirujuk kepada level
taksonomi Bloom dengan level
kecapakan yang akan dicapai. Dengan memperhatikan kata kerja operasional, akan memudahkan mermuskan indikator kecakapan yang akan dicapai.
C. Motivasi dan Pembelajaran di Kelas Peneliti pada University of Notre Dame, Dolezal, S.E, Welsh, L.M., etc tertarik dengan apa yang dilakukan guru untuk memotivasi keterlibatan akademik siswa dan berusaha membandingkan praktik pengajaran yang mendukung atau meruntuhkan motivasi. Menurut mereka ada beberapa praktik yang mendukung motivasi belajar siswa, seperti di bawah ini : Tabel 1 : Contoh praktek yang mendukung dan meruntuhkan motivasi Praktik-praktik
Guru
yang Praktik-praktik
Guru
yang 58
mendukung motivasi
meruntuhkan motivasi
Menganggap siswa akuntabel
Atribusi berdasarkan kemampuan
Memberikan pekerjaan rumah yang Mendukung perkembangan dorongan sesuai Mencek pemahaman siswa
Memberikan kerangka kerja pendukung
Lingkungan kelas yang positif
Kurang memantau pekerjaan siswa
Memiliki tujuan dan ekspektasi yang Memberikan tugas-tugas dengan tingkat jelas
kesulitan yang rendah
Menggunakan
pembelajaran
yang Memiliki perencanaan yang buruk/tidak
kooperatif
lengkap
Memiliki tugas-tugas sulit yang dapat Memiliki tingkat kecepatan yang terlalu dikerjakan siswa
rendah
Memantau pekerjaan siswa
Memiliki lingkungan kelas yang negatif
Memberikan dorongan yang positif
Menggunakan
praktek
pembelajaran
yang tidak inspiratif Memberikan
pengajaran
tentang Menggunakan menejemen kelas yang
strategi
negatif
Menghargai siswa
Tidak menunjukkan hubungan
Menstimulasi pemikiran kognitif
Menggunakan pemberitahuan kepada publik dan hukuman
Sumber : Richard I Arends, Learning to Teach, terjemahan, Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007) Apa yang disimpulkan dari hasil penelitian Dolezal tersebut didasarkan atas penelitian kepada sikap guru-guru SD yang di Indiana, US. Menurut penulis, dari kesimpulan tersebut memiliki relevansi dengan usaha guru untuk memberikan motivasi belajar kepada siswa di kelasnya. Praktik-praktik yang mendukung atau meruntuhkan motivasi belajar siswa sangat dipengaruhi apa yang dilakukan oleh guru. Siswa memberikan respon dari apa yang dilakukan oleh guru. Hal yang juga berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa adalah keterampilan guru dalam mengajar. 59
Borich 60
menyatakan
terdapat
empat
hal
yang
mempengaruhi
keterampilan guru dalam mengajar, yaitu karakteristik kepribadian (seperti motivasi berprestasi, ketepatan (directness), dan fleksibilitas), sikap (seperti motivasi untuk mengajar, empati terhadap siswa, dan komitmen), pengalaman (seperti lama mengajar, pengalaman dalam mengajar suatu materi, dan pengalaman pada level kelas tertentu), dan bakat atau prestasi (seperti skor pada tes kemampuan, indeks prestasi, dan hasil evaluasi mengajar). Untuk lebih jelasnya, keempat faktor tersebut dapat dilihat dalam Tabel 7 sebagai berikut :
Tabel 2 : Faktor-Faktor yang mempengaruhi keterampilan guru mengajar
No. 1.
Kepribadian
Sikap
Suka memberi
Motivasi untuk
kebebasan
mengajar
Pengalaman Lama mengajar
Bakat/Prestasi Ujian guru tingkat nasional
(permissiveness) 2.
Dogmatisme
Sikap terhadap
Pengalaman
siswa
dalam mengajar
Ujian kelulusan
suatu materi 3.
Otoritarian
Sikap terhadap
Pengalaman pada
Tes Bakat
proses
level kelas
Skolastik
mengajar
tertentu
(Scholastic Aptitude Test), terdiri dari verbal dan kuantitatif
60
Gary D. Borich, Effective teaching Methods, (Merill Publishing.co, 1998)
60
4.
Motivasi
Sikap terhadap
Pengalaman
Tes Kemampuan
berprestasi
otoritas
dalam mengikuti
Khusus, seperti
workshop
kemampuan penalaran, kemampuan logis, dan kelancaran verbal (verbal fluency)
5.
Introvert-
Ketertarikan
Mengikuti kursus
Indeks prestasi,
Ekstrovert
vokasional
setelah tamat
baik kumulatif
pendidikan
maupun pada subjek utama
6.
Abstrak
Sikap terhadap
Tingkat
Rekomendasi
(abstractness)-
dirinya
pendidikan
profesional
Konkret
(konsep diri)
(concreteness) 7.
Langsung
Sikap terhadap
Penulisan tugas
Evaluasi siswa
(directness)-
materi yang
profesional
mengenai
Berbelit
diajarkan
(professional
keefektifan
papers written)
dalam mengajar
(indirectness) 8
Locus of control
Evaluasi mengajar
9
Kecemasan (secara umum atau hanya pada saat mengajar)
Sumber: Borich, Effective teaching Methods, (Merill Publishing.co, 1998) Dari apa yang dijelaskan oleh Borich dan Dolezal jelas, bahwa motivasi belajar siswa berkaitan erat dengan apa yang dilakukan oleh guru. Termasuk di 61
dalamnya adalah empat aspek yang dijelaskan Borich yaitu, kepribadian, bakat, sikap, dan pengalaman. Aspek kepribadian seorang guru dalam perspektif Borich memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini sejalan dengan tuntutan Undang-Undang Guru yang mengharuskan seorang guru memiliki empat kompetensi 61 , diantaranya kompetensi kepribadian. 62 Jika melihat penjelasan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005, kompetensi yang dimaksud dalam PP ini lebih kepada kemampuann guru dalam mengelola perilakunya. Sementara Borich mengaskan kepribadian guru lebih kepada aspek psikologis yang ada pada setiap individu. Kompetensi yang dijelaskan Borich menurut penulis lebih spesifik menjelaskan setiap aspek yang dimiliki seorang guru kaitannya dengan proses pembelajaran. Sebagai contoh, aspek sikap, pengalaman dan prestasi yang dijelaskan Borich lebih jelas dan fokus
61
Louise Moqvist (2003) seperti dikutip Ahmad Sudrajat dalam artikelnya : Kompetensi Guru dan Peran Kepala Sekolah, mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.” Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Diakses dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/21/kompetensi-guru-dan-peran-kepala-sekolah-2/ pada tanggal 12 Juli 2010. 62
Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, guru harus memiliki empat kompetensi yaitu : 1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan. 3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
62
terhadap sikap-sikap seorang guru yang mempengaruhi proses pembelajaran. Sementara dalam PP No. 19 tahun 2005 aspek kompetensi tersebut tidak berkaitan langsung dengan proses pembelajaran di kelas. Sebagai contoh aspek kompetensi sosial yang menitikberatkan bagaimana peran guru dalam lingkup sosial di masyarakat. Jika dibandingkan dengan kompetensi guru yang diterapkan oleh National Board for Profesional Teaching Skill telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu: 63 1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa. 2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path). 3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran. 4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk 63
Diakses dari http://www.nbpts.org/UserFiles/File/what_teachers.pdf pada tanggal 12
Juli 2010
63
memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran. 5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat. Kompetensi guru yang diterapkan oleh National Board for Profesional Teaching Skill dengan kompetensi guru yang ditekankan dalam PP No. 19 ini tidak harus dibandingkan secara vis a vis atau berhadapan. Karena masing-masing memiliki culture, frame dan tujuan serta maksud yang berbeda. Namun demikian, menjadi penting untuk melakukan telaah atas kompetensi tersebut kaitannya dengan aspek yang berhubungan dengan menumbuhkan motivasi belajar bagi siswa. Selain itu kedua kebijakan yang ada di Indonesia atau di Amerika tersebut memiliki kesamaan visi untuk meningkatkan mutu guru di masing-masing Negara. Aspek kemampuan menumbuhkan motivasi belajar pada diri guru mutlak diperlukan sebab guru akan berinteraksi secara langsung dan setiap hari dengan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Proses interaksi yang dilakukan guru menyangkut proses komunikasi. Seperti dijelaskan oleh Borich yang menjelaskan berbagai macam perilaku guru yang bisa menumbuhkan atau meruntuhkan motivasi siswa. Sejalan dengan pendapat Borich, Ilardo yang dikutip Patricia H. Hamm, menjelaskan perlunya guru memiliki kemampuan persuasive sebagai bagian dari menumbuhkan motivasi belajar siswa. Menurut Iliardo yang dijelaskan Patric H Hamm, pendekatan persuasif, adalah proses komunikas untuk mengubah kepercayaan, sikap, niat atau perilaku lain baik secara sadar atau tidak sadar menggunakan kata-kata verbal) atau pesan non verbal. Pendekatan persuasive digunakan untuk mempengaruhi baik individu atau kelompok untuk menerima situasi/posisi tertentu atau keyakinan. Pendekatan persuasive membutuhkan 64
pemahaman yang jelas dari audience dan intensitas yang focus dari pendengarnya. 64 Menurut Patricia H. Hamm, guru sebagai pembicara harus membawa audience melalui lima tahap pemahaman dalam pendekatan persuasif . Yaitu , 1) peka terhadap persoalan yang dihadapi audience 2) memahami persoalan 3) memahami solusi yang ditawarkan 4) memberikan gambaran terhadap dampak dari solusi yang ditawarkan 5) memahami bagaimana audience melakukan solusi. Tahapan kepekaan dari pendekatan persuasive dalah pengenalan terhadap akar masalah atau situasi. Hal ini sesuai dengan kemampuan atau kompetensi guru dari aspek sosial seperti yang diamanatkan dalam PP. No. 19 tahun 2005. Atau sesuai dengan Teachers are Committed to Students and Their Learning yang diterapkan National Board for Profesional Teaching Skill. Apa yang diutarakan di sub bab atas menjadi dasar pemikiran pengembangan motivasi dan learning cycle. Yaitu menggabungkan teori motivasi dari Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick dengan Learing Cycle model Permendiknas No. 41. tahun 2007. Secara definisi motivasi dan learning cycle adalah model pembelajaran yang memperhatikan penguatan motivasi belajar melalui kegiatan pembelajaran. Motivasi yang dimaksud baik berupa perhatian terhadap motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Bagaimana guru mendorong motivasmotivasi tersebut –intriksik dan ekstrinsik muncul dalam proses pembelajaran. Motivasi
dan
learning
cycle
adalah
model
pembelajaran
yang
memperhatikan motivasi belajar siswa. Pembelajaran yang memperhatiakn berbagai indikator motivasi belajar siswa yang harus didorong/dirangsang oleh guru. Sehingga proses pembelajaran berjalan dengan maksimal, dimana keterlibatan siswa dalam pembelajaran aktif dan partisipatif. motivasi dan learning cycle adalah mengintegrasikan perhatian terhadap aspek motivasi dengan pembelajaran berbasis learning cycle. 65
64
Patricia H. Hamm,,Teaching and Persuasive Communication: Class Presentation Skills: a handbook for faculty, teaching assistants and teaching fellows,( Brown University, A publishing, 2006), 10-11. 65
Lihat catatan kaki nomor 13 dan 30 pada Bab 1.
65
Model pembelajaran motivasi dan learning cycle sama halnya dengan model pembelajaran yang memperhatikan keragaman individu. Dimana pembelajaran memperhatikan aspek individu seperti kemampuan yang berbeda, suasana kelas dan strategi yang tepat untuk pembelajaran. Dalam hal ini model motivasi seperti apa yang harus diberikan kepada siswa dalam pembelajaran sehingga mereka –siswa, bisa menanamkan secara sadar nilai-nilai yang didiskusikan selama proses pembelajaran. Model
pembelajaran
motivasi
dan
learning
cycle
juga
sangat
memperhatikan fitur-fitur kelas yang ditawarkan oleh Richard. Perhatian terhadap apa yang terjadi di kelas
tersebut dijembatani dengan system komunikas
interpersonal yang ditawarkan oleh motivasi dan learning cycle. Sifat kelas yang heterogen dan multidimensional membutuhkan kemampuan komunikasi yang sampai pada tingkat empati dengan tetap menegakan sistem yang dibangun oleh guru di kelas tersebut. Motivasi dan learning cycle dalam aplikasinya menggandeng teori learning cycle atau siklus belajar yang memusatkan kepada aktivitas siswa. Artinya setelah guru memperhatikan individu siswa dengan menggunakan pendekatan persuasive, guru mengkolaborasikan pembelajaran menggunakan learning cycle yang sesuai dengan SK dan KD yang sedang dipelajari.
66
BAB III PENGAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, khususnya pada Bab II, menjelaskan bahwa Pendidikan Agama Islam termasuk dalam kelompok mata pelajaran Agama dan Akhak Mulia. Kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia ini memiliki cakupan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Masih dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tersebut, pelaksanaan kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. 1 Hal ini dikuatkan Pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang menjelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
1
Diah Harianti, “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama, bagian D. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum, poin 1”, (Puslitbang Pusat Kurikulum Depdiknas, 2007), 13. Baca pula M. Subandowo, “Peningkatan Produktivitas Guru dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pada Era Global”,(Khazanah Pendidik ; Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol 1, No. 2 Maret 2009), 114.
68
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari uraian ini penulis berkesimpulan bahwa pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki muatan afektif sebagai tujuan utama dari pendidikan agama. Yaitu melahirkan anak didik yang beriman, berakhlak mulia, memiliki sikap toleransi dalam kerangka besar multikultur dengan tetap memiliki jati diri sebagai pribadi. Dan pelajaran agama ini disampaikan dalam proses pembelajaran yang menyenangkan. Ahmad Tafsir menegaskan tujuan pendidikan agama Islam di sekolah umum adalah untuk meningkatkan pemahaman, keterampilan melakukan, dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan utama pendidikan agama Islam di sekolah ialah keberagamaan, yaitu menjadi Muslim yang sebenarnya. Keberagamaan inilah yang selama ini kurang di perhatikan. 2 Pesan-pesan moral yang eksplisit nampak diinginkan negara dari mata pelajaran PAI ini. Hal ini sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional Indonesia,3 mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan nasional tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam operasional kebijakan dengan keluarnya berbagai macam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional atau Permendiknas menyangkut persoalan pembenahan pendidikan. Pemerintah mengeluarkan delapan standar nasional menyangkut pendidikan yang
2
Ahmad Tafsir, Makalah “Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, tanpa keterangan tempat dan tahun. 3
Bab II pasal 4 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003
69
dikemas dalam Permendiknas. 4 Pada tataran praksis di lapangan, baru beberapa standar yang bisa dilaksanakan. Di antaranya Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, Permendiknas tentang Standar Penilaian. Sementara Standar Sarana dan Prasarana, termasuk standar pembiayaan walaupun sudah keluar, namun belum sepenuhnya bisa dilaksanakan. Hal ini menyangkut persoalan anggaran dana pemerintah baik pusat maupun daerah. Padahal delapan standar tersebut wajib dipenuhi oleh pemerintah.
A.
Pengajaran PAI Selama ini PAI dan seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah untuk semua
jenjang dalam pelaksanaan kurikulumnya mengacu kepada Permendiknas tentang Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Kepala Sekolah, Standar Pengawas, dan standar-standar pendidikan lainnya. Merujuk pada Standar Nasional khususnya Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian inilah, mata pelajaran PAI di ajarkan. Mata pelajaran PAI ini kemudian diuraikan menjadi materi dan bahan ajar yang didasarkan kepada Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dipelajari dan dikuasai sebagai sebuah kompetensi oleh siswa dalam setiap semester untuk semua jenjang dan kelas. Dalam hubungannya dengan tujuan dan cita-cita pendidikan nasional, sejak kurikulum 1977 sampai sekarang PAI dianggap belum bisa seratus persen mewujudkan manusia Indonesia yang bertaqwa, berahlak mulia, memiliki sikap toleran terhadap perbedaan. Justru PAI diangap gagal dalam melahirkan generasi Indonesia yang diharapkan. 4
Standar Nasional tentang: Standar Isi, Standar Proses, Standar Pembiayaan, Standar Pengelolaan, Standar Kelulusan, Standar Penilaian, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana
70
Pandangan terhadap kegagalan PAI ini disampaikan oleh Muchtar Buchori. Menurutnya, sebagaimana dikutip oleh Muhaimin kegagalan PAI disebabkan karena praktek pengajaran PAI yang fokus kepada aspek kognitif dari ajaran agama. Pengajaran PAI di sekolah mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. 5 Akibatnya ada kesenjangan antara aspek pengetahuan agama siswa dengan aspek pengamalan ajaran agama dalam keseharian mereka. Pendapat tersebut paralel dengan pendapat Harun Nasution yang menyatakan bahwa PAI menjadi pengajaran agama saja bukan menjadi pendidikan agama. 6 Pendapat senada disampaikan Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru yang menyetakan bahwa pengajaran hanya sekedar transfer ilmu belaka. Sementara pendidikan merupakan proses transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. 7 Terkait
dengan
pengertian
Pendidikan
Islam,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra menyatakan bahwa
Yusuf
Qordhowi
Pendidikan Islam
adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Dalam hal ini, Azyumardi Azra menekankan konsep pendidikan dalam konteks Islami dengan istilah tarbiyah, ta’ li>m dan ta’di>b yang harus dipahami secara utuh. Menurutnya, di ketiga istilah ini mengandung makna dan sangat erat berhubungan dengan bagaimana manusia berhubungan dengan masyarakat sekitarnya, berhubungan dengan lingkungan dan terutama berhubungan dengan Tuhan. Istilah-istilah itu pula menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam baik secara informal, formal dan nonformal. 8 5
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo, 2009), 23. 6
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 75
7
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Ciputat: Logos, 2002), 3. 8
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 4-5.
71
B. Ruang Lingkup Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasar pandangan di atas dan melihat UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 serta Permendiknas tentang Standar Isi, ruang lingkup pembelajaran PAI menyangkut aspek-aspek: Tauhid/Aqidah, Akhlak, Tarikh atau SKI (Sejarah Kebudayaan Islam), Fiqih/Syariah, Al-Quran/Hadits. Aspek-aspek tersebut menjadi besaran dari mata pelajaran PAI atau menjadi tema-tema sentral dari PAI yang diajarkan di kelas untuk semua jenjang (SD, SMP, SMA dan SMK). Namun dalam pembelajarannya tema-tema besar tersebut dibreak down oleh Standar Isi 9 menjadi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-KD) ini merupakan acuan dasar untuk menjabarkan tema-tema besar tadi telah digariskan pemerintah. SK – KD inilah yang harus dikuasai oleh siswa dalam rangka menciptakan generasi yang memiliki kepribadian mulia (berakhlak) dan memiliki kemampuan akademik yang membanggakan. 10 Senada dengan hal di atas, ruang lingkup utama dari PAI menurut Zakiah Daradjat adalah meliputi: pengajaran keimanan, pengajaran akhlak, pengajaran ibadah, pengajaran fiqih, pengajaran usul fiqih, pengajaran qira’at Qur’an, pengajaran tafsir, pengajaran ilmu tafsir, pengajaran hadits, pengajaran ilmu hadits, pengajaran tarikh islam dan tarikh tashri’. 11 Pendapat Zakiah Daradjat ini memang terlalu luas. Sementara dalam Standar Isi, ruang lingkup Pendidikan Agama Islam dipadatkan pada lima aspek : Aqidah/Tauhid, Al-Quran/ Hadits, Fiqih, Akhlak, dan Tarikh atau sejarah. Standar Isi yang menjadi acuan pembelajaran PAI di sekolah umum memang menekankan
9
Permendiknas No 20 tahun 2006.
10
Lihat Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.
11
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 63-116.
72
pada lima aspek tersebut, tidak merambah pada pengajaran qira’at Qur’an, tafsir, ulumul hadits atau tarikh tash’ri seperti yang dinyatakan Zakiah Daradjat. Tetapi pelajaran-pelajaran yang disebut oleh Zakiah Daradjat tadi di ajarkan di madrasah yang bercirikan keislaman. Ruang lingkup pembelajaran PAI sendiri sangat dipengaruhi oleh perkembangan kurikulum PAI sendiri. Dalam perkembangannya kurikulum PAI mengalami banyak perubahan paradigma. Awalnya seperti dijelaskan Muhaimin, pembelajaran PAI lebih menekankan kepada hafalan yang terpengaruh culture Timur Tengah. Paradigma ini menurut penulis banyak dilakukan oleh pesantren untuk mencapai tujuan pembelajaran. Perubahan berikutnya mengalami kemajuan cukup signifikan, dari cara berpikir tekstual, normatif, dan absolut kepada cara berpikir historis, empiris dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Dari sisi produk dan proses, perkembangan kurikulum PAI berubah dari awalnya menekankan pada produk pemikiran keagamaan tokoh-tokoh pendahulu menjadi lebih memperhatikan proses dan metodologi. Dan terakhir perubahan dari sisi keterlibatan proses penyusunan, awalnya kurikulum PAI disusun hanya oleh para pakar, namun saat ini melibatkan stake holder dan melibatkan kalangan yang lebih luas seperti para pakar, guru, peserta didik, dan masyarakat. 12
C. Karakteristik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Karakteristik pembelajaran PAI akan sangat bergantung kepada aspek yang diajarkan seperti yang ditetapkan oleh UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Karakteristik pembelajaran PAI disesuaikan dengan tema-tema besar seperti 12
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah,10-11.
73
Tauhid/Aqidah, Akhlak, Tarikh, Fiqih/Syariah, Al-Quran/Hadits. Kesemua tema besar tersebut menurut penulis memiliki tujuan untuk menjaga lima hal atau maqa>s}id al-shari>‘ah h}ifz} al-nafs
13
yaitu h}ifz} al-di>n (menjaga/melindungi agama),
(menjaga/melindungi jiwa), h}ifz} al-nasl (menjaga/melindungi
keturunan), h}ifz} al-mal (menjaga/melindungi harta benda), h}ifz} akal-intelektualitas) 14
(menjaga/melindungi
dan
h}ifz}
al-‘aql al-bi>ah
(menjaga/melingdungi lingkungan). Tegasnya maqa>s}id al-shari>‘ah mengacu kepada pemeliharaan agama, keberlangsungan hidup, menjaga kemurnian dan kejelasan keturunan, menjaga harta benda, akal sehat dan lingkungan hidup. Penulis sependapat dengan banyak kalangan seperti K.H. Ali Yafie dalam bukunya
“Menggagas
Fiqih
Lingkungan”
atau
Fachruddin,
M.
Mangunwijaya:“Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup” pentingnya h}ifz} al-bi}>ah ini. Sebab tanpa adanya h}ifẓ al-bi>ah (memelihara lingkungan hidup) sama artinya kelima komponen kehidupan ini telah mati. “Kiamat sebelum kiamat”, menurut Fachrudin dalam bukunya. Tidak berlebihan jika kelimanya bergantung pada h}ifz} al-bi>ah . Selain
itu,
pelajaran
Pendidikan
Agama
Islam
juga
memiliki
tanggungjawab terhadap penguatan nasionalisme. Hal ini menurut penulis termasuk dalam bagian maqa>s}id al-shari>‘ah. Jadi h}ifz} al-wat}an adalah bagian dari maqa>s}id al-shari>‘ah, termasuk h}ifz} al-bi>ah, menjadi karakter yang harus nampak dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Ini menjadi penting karena dalam Pendidikan Agama ada materi atau paling tidak kasus-kasus
13
Istilah ini dikenalkan pertamakali oleh Abu Ishak atau Imam Shatibi yang menjadi rujukan para pakar ketika berbicara maqa>s}id al-shari>‘ah, sebagai ulama dari Andalus yang hidup pada abad 8 Hijriah/abad 14 Masehi. Beliau menjelaskan secara rinci tentang maqa>s}id al-shari>‘ah dalam kitabnya Al-Muwa>faqa>t. Makalah Arwani Shaerazi: Para Pionir Kajian maqa>s}id al-shari>‘ah disampaikan pada forum Diskusi Digital Fahmina Institute Cirebon. Baca juga Abu Ishak Ibrahim bin Mu<sa, Ál-muwaffaqat, (Kairo, Da>r al-Fikr,790 H), 2-4{ 14
Maqa>s}id al-shari>‘ah, tujuan utama syariah. Baca pula Abd. Fatah Wibisono dkk, Islam Rahmatan li al-‘Alami>n (Jakarta, Direktorat PAIS Kementerian Agama,2010), 68-126. Baca juga Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Mu<sa atau yang lebih dikenal dengan Imam Al-Shat}ibi< maqa<s}id al-shari
74
aktual tentang konsep jihad yang oleh sebagian pihak memiliki pemahaman berbeda dalam aplikasi di kehidupan. Dan hal tersebut perlu dijelaskan secara komprehensif kepada siswa oleh guru. Menurut penulis Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang berisi SK dan KD seluruh mata pelajaran termasuk mata pelajaran PAI, memiliki tujuan filosofis untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional. Standar Isi PAI semestinya menjabarkan dari maqa>s}id al-shari>‘ah ini. Sebagai contoh – penulis hanya mencontohkan SK-KD PAI untuk jenjang SMP, pada SK no 2: Meningkatkan keimanan kepada Allah SWT melalui pemahaman sifat-sifat-Nya. SK ini diajarkan pada kelas VII semester I termasuk pada tema Aqidah. SK yang memiliki empat KD 15 yaitu: Pertama, membaca ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Kedua, menyebutkan arti ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT. Ketiga, menunjukkan tanda-tanda adanya Allah SWT dan Keempat, menampilkan perilaku sebagai cermin keyakinan akan sifat-sifat Allah SWT. SK-KD tersebut memiliki nilai
h}ifz} al-Di>n, karena berhubungan
dengan memperkuat aqidah siswa. Penulis menyederhanakan pengertian h}ifz} aldi>n adalah menjaga agama dalam arti memahami pokok-pokok ajaran agama sehingga si penganut agama tersebut tidak akan terjebak dengan ajaran agama lain, namun tetap menghormati kepercayaan lain. SK – KD ini memiliki tujuan kompetensi yang harus di capai atau dikuasai oleh siswa adalah sebagai berikut: siswa bisa mengetahui dan membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah sekaligus menyebut artinya, siswa juga bisa menunjukkan bukti adanya Allah. Dan bisa menampilkan perilaku seorang Muslim yang mencerminkan keimanan kepada Allah seperti memiliki keteguhan iman, memiliki sikap yang peduli terhadap lingkungan, tetangga dan berbagai perilaku terpuji lainnya.
15
Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, khusus Mata pelajaran PAI untuk
SMP.
75
Seorang guru PAI harus mengajarkan persoalan aqidah tersebut dalam kerangka menjaga agama/aqidah siswa. Dengan tetap memberikan ruang toleransi terhadap kepercayaan lain. Tidak mengembangkan faham yang salah dalam mengajarkan doktrin agama. SK-KD ini bersifat doktrinal, namun tetap harus disampaikan secara benar dan tepat, maksudnya bahwa aqidah Islam harus diakui sebagai basis ideologi keagamaan bagi umat Islam, namun tetap memberikan ruang dialog dengan siswa tentang persoalan yang krusial seperti makna jihad, konsepsi ketuhanan dan lainnya. Sebab materi aqidah ini menjadi dasar bagi siswa dalam menjalankan keimanannya. Keempat KD dari SK no. 2 di atas dalam pembelajarannya harus memperkuat h}ifz} al-di>n. Dan menanamkan perilaku keteguhan iman dan perilaku terpuji lainnya adalah menjadi bagian dari menjaga agama siswa. Contoh lain pada SK 9 kelas IX tentang Memahami ajaran Hadits tentang Kebersihan. Dengan tiga KD yang mengiringinya yaitu: Pertama, membaca alHadits tentang kebersihan. Kedua, menyebutkan arti al-Hadits tentang kebersihan, dan ketiga, menampilkan perilaku bersih seperti dalam Al-Hadits. SK-KD ini memiliki karakteristik untuk menjaga h}ifz} al-bi>ah (menjaga lingkungan hidup). Terkait dengan persoalan lingkungan, guru PAI tidak hanya mengajarkan hadits tentang kebersihan lalu siswa diminta menghafal hadits tersebut, namun KD-KD yang ada dalam SK tentang memahami ajaran hadits tentang kebersihan ini diarahkan kepada kesadaran lingkungan. Guru bisa meminta siswa untuk mencari problem lingkungan yang terjadi lalu dihubungkan dengan ajaran hadits tersebut. Siswa bisa memotret problem bencana banjir, problem penanganan sampah, membandingkan kebersihan di pasar tradisional dengan supermarket dan problem-problem lainnya. Kemudian mereka menemukan akar masalah yang terjadi dan menemukan makna dari problem-problem tersebut. Ajaran Islam apa yang sebenarnya ditinggalkan oleh manusia sehingga terjadi bencana. Model pembelajaran ini adalah model pembelajaran masalah, dimana siswa menemukan 76
masalah atau kasus yang kemudian dihubungkan dengan SK-KD yang akan dicapai dalam pembelajaran. Jika dilakukan dengan cara ini, penanaman nilai tentang kesadaran lingkungan atau h}ifz} al-bi>ah bisa tertanam pada diri siswa. Selain itu dengan cara ini (problem based learning) siswa diajarkan bagaimana mereka melakukan komuniksai atau berhubungan dengan alam (habl min al‘Alam) Dalam setiap SK dan KD memiliki kata kerja operasional yang jelas, seperti membaca hadits, menyebutkan arti hadits atau menampilkan perilaku yang sesuai dengan hadits. Kata kerja operasional ini sebagai ukuran untuk pencapaian kompetensi. Namun demikian, setiap SK dan KD memiliki karakteristik yang bisa dihubungkan dengan maqa>s}id al-shari>‘ah. Disinilah peran Guru PAI memahami Setiap SK dan KD untuk menghubungkannya dengan maqa>s}id alshari>‘ah. Sehingga pembelajaran PAI benar-benar sebuah pembelajaran yang memberikan dampak perubahan karena adanya penanaman nilai melalui pemahaman terhadap maqa>s}id al-shari>‘ah ini. Pendidikan
Agama
Islam
memiliki
basis
tanggungjawab
untuk
menanamkan nilai. Penanaman nilai ini menjadi penting dalam kerangkan memberikan ruh kepada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai bagian untuk menjawab Permendikan No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kelulusan dan Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003. Penanaman nilai tersebut dilakukan selama proses pembelajaran di kelas dan di luar kelas oleh guru yang bersangkutan. Selain karakter pembelajaran yang berbasis maqa>s}id al-shari>‘ah pembelajaran PAI juga harus melihat tujuan pembelajaran PAI yaitu menciptakan manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Secara aplikasi pembelajaran PAI memberikan tuntunan bagaimana melakukan hubungan dengan Allah (habl min Alla>h), bagaimana melakukan hubungan dengan manusia (habl min al-Na>s) dan bagaimana melakukan hubungan dengan alam sekitar (habl min 77
al-‘Ah) maupun hubungan horizontal (habl min al-Na>s wa habl min al-‘Ah) maupun hubungan horisontal (habl min al-Na>s wa habl min al-‘As}id al-shari>‘ah dan penanaman nilai akhlakul karimah. 19 Artinya SK-KD pelajaran PAI diarahkan tidak hanya untuk mencapai kompetensi yang diharuskan. Namun lebih jauh lagi 16
Baca juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 4-5 17
M. Zainuddin MA, Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial, (Jakarta: UIN Press, 2007), 60 18
M. Zainuddin MA, Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial, 61.
19
Rumusan hasil keputusan seminar pendidikan Islam se Indonesia tanggal 07 sampai dengan 11 Mei 1960 di Cipayung, Bogor. “Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan takwa dan akhlak serta menegakan kebenaran dalam rangka membentuk manusia berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam.” Lihat juga Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003
78
kompetensi tersebut harus juga “meninggalkan jejak” perbaikan akhlak siswa. Dengan memperhatikan hubungan sosial - vertical dan horizontal menyangkut bagaimana membangun akhlak siswa dengan sesama manusia dan lingkungan, hubungan dengan Allah melalui SK-KD yang ada dalam pelajaran PAI. Sebagai contoh SK-KD Kls VIII Semester I no 4 tentang: Menghindari perilaku tercela dengan KD-KD yang meliputi: Pertama, menjelaskan pengertian ana>niyah, ghad}ab, h}asad, ghi>bah, dan nami>mah. Kedua, menyebutkan contoh-contoh perilaku ana>niyah, ghad}ab, h}asad, ghi>bah, dan nami>mah. Ketiga, menghindari perilaku ana>niyah, ghad}ab, h}asad, ghi>bah, dan nami>mah dalam kehidupan sehari-hari. SK-KD ini jelas mendasarkan kepada guru dan siswa bagaimana membangun sebuah komunikasi dengan sesama (habl min al-Na>s) yang baik. Inilah yang dimaksud PAI harus “meninggalkan jejak” perbaikan akhlak kepada siswa. Sebenarnya setiap aspek dalam PAI memiliki kaitan erat dengan maqa>s}id al-shari>‘ah dan tiga model hubungan manusia dengan Allah, manusia dan alam. Yang terpenting adalah bagaiman guru PAI bisa mengambil simpul dan memotivasi siswa agar mereka memahami dan menerapkan jejak yang telah dibuat bersama tersebut. Istilah “meninggalkan jejak” dimaksudkan sebagai penanaman nilai akhlak yang memang harus dibangun bersama antara guru dan siswa. Hal inilah yang mendorong guru harus mampu membangun dan mendorong siswa untuk terlibat dalam proses “pembangunan jejak” tersebut. Bentuk dorongan tersebut adalah memberikan motivasi sesuai dengan kondisi siswa dan fase pembelajaran yang dilakukan selama proses pembelajaran di kelas. Senada dengan pendapat di atas (“meninggalkan jejak”), Pusat Kurikulum merumuskan fungsi Pendidikan Agama Islam: 20 (1) Penanaman nilai ajaran Islam 20
Pusat Kurikulum Depdiknas, Standar Kompentensi Mata Pelajaran Agama Islam Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyyah (Jakarta. Depdiknas 2004), 35.
79
sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (2) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; (3) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam; (4) Perbaikan kesalahankesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari; (5) Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang akan dihadapinya sehari-hari; (6) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan non nyata), sistem dan fungsionalnya; (7) Penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Fungsi-fungsi tersebut mendapatkan tempat pada SK dan KD yang kemudian diimplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas dan pendidikan di luar kelas. Guru PAI memiliki peran besar untuk menanamkan dan memfungsikan Pendidikan Agama Islam seperti yang digariskan atau diinginkan oleh Permendiknas No 20 tahun 2006. Fungsi-fungsi yang ditekankan oleh Pusat Kurikulum tersebut menjadi bagian penting yang perlu diselaraskan dengan maqa>s}id al-shari>‘ah.
D. Beberapa Metode Pembelajaran PAI yang digunakan selama ini Beberapa teori pembelajaran yang telah dikembangkan para pakar, diantaranya adalah model koneksionisme yang dikembangkan Ivan Pavlov, model Behaviorisme Watson, konstruktivis model Skiner.21 Teori-teori pembelajaran tersebut memiliki karakter dan fokus yang berbeda dalam memodifikasi perilaku siswa.
21
Winfred. F. Hill, Theories Of Learning:Teori-teori Pembelajaran, Penerjemah: M.Khozim (Jakarta: Nusa Media, 2009), 35-112.
80
Dalam pembelajaran, seorang guru harus memahami apa yang dimaksud dengan pendekatan pembelajaran, metode pembelajaran, strategi pembelajaran, model pembelajaran dan teknik pembelajaran. Pendekatan pembelajaran sebagaimana dijelaskan oleh Abim Syamsudin dalam bukunya Psikologi Pendidikan, merupakan titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). 22 Berbeda dengan Abim Syamsudin, Abuddin Nata menjelaskan bahwa pendekatan pendidikan dilihat dari kepentingan pendidikan itu sendiri. Abuddin menjelaskan pendekatan ditentukan atas kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, serta kepentingan yang menggabungkan kepentingan individu dan masyarakat.
Kepentingan-kepentingan
inilah
yang
kemudian
melahirkan
pendekatan-pendekatan dalam pendidikan. Seperti pendekatan individualistik, pendekatan kelompok, pendekatan campuran dan pendekatan edukatif. 23 Pendekatan dalam pembelajaran sendiri merupakan bagian proses yang harus dirancang dan dianalisis oleh seorang guru sebelum melakukan pembelajaran. Sebab menurut penulis bisa jadi dalam satu kegiatan belajar mengajar bisa dilakukan lebih dari satu pendekatan pembelajaran. Hal ini berkaitan dengan situasi, materi yang harus dikuasai siswa dan berbagai hal pendukung yang melingkupi proses pembelajaran itu sendiri.
22
Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Pendidikan (Bandung: Rosda Karya Remaja, 2003), 54. 23
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009), 147-161.
81
Sedangkan metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Tayar Yusuf sebagaimana dikutip Abuddin Nata menyatakan bahwa metode adalah cara atau langkah-langkah yang digunakan dalam menyampaikan sesuatu gagasan atau pemikiran atau wawasan yang disusun secara sistematis dan terencana serta didasarkan atas teori, konsep, dan prinsip tertentu. 24 Beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya. 25 Sementara menurut Basyiruddin Usman, metode mengajar adalah alat yang merupakan perangkat atau bagian dari suatu strategi pengajaran. Menurutnya, antara strategi dan metode pembelajaran lebih luas cakupan strategi pembelajaran. 26 Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. 27 Dalam strategi pembelajaran menurut R David, sebagaimana dikutip Wina Senjaya terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Secara leksikal, strategi mepunyai arti rencana atau kebijakan yang dirancang untuk mencapai suatu tujuan. Ditinjau dari aspek strategi, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning. Dari aspek cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi 24
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, 176.
25
Wina Senjaya, Strategi Pembelajaran;Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2008), 35. 26
Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 22. 27
Wina Senjaya, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan, 40.
82
pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif. Sementara menurut Basyiruddin Usman strategi belajar menunjukkan pada karakteristik antara perbuatan-perbuatan guru-siswa dalam peristiwa belajar aktual tertentu. 28 Sedangkan yang dimaksud teknik pembelajaran adalah cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. 29 Menurut Akhmad Sudrajat dalam artikelnya 30 model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Model menggambarkan tingkat terluas dari praktek pendidikan dan berisikan orientasi filosofi pembelajaran. Model digunakan untuk menyeleksi dan menyusun strategi pengajaran, metode, keterampilan, dan aktivitas siswa untuk memberikan tekanan pada salah satu bagian pembelajaran (topik konten). Di bawah ini merupakan visualisasi model pembelajaran yang diejawantahkan dalam bentuk pendekatan pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran di kelas: 31 28
Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 22. 29
Udin S.Winataputra, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka 2003), 45. 30
Ahmad Sudrajat, ”Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik dan Model Pembelajaran”, dari www.akhamdsudrajat.blog (diakses tanggal 2 Januari 2010). 31
Kiranawati, “Prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar: Panduan pembelajaran efektif” (makalah), Januari 2008.
83
Gambar 3: Visualisasi model pembelajaran
Sumber : Kiranawati, ”Prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar”, Januari 2008 Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah payung besar yang melingkup strategi pembelajaran, metode pembelajaran dan keterampilan mengajar. Strategi pembelajaran di dalamnya ada unsur metode pembelajaran dan keterampilan pembelajaran. Metode pembelajaran di dalamnya mengandung kemampuan dalam hal keterampilan pembelajaran. Model pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran dan keterampilan pembelajaran masing-masing memiliki unsur yang cukup erat. Dalam pelaksanaannya, satu model pembelajaran bisa menggunakan satu atau lebih strategi pembelajaran. Satu strategi pembelajaran bisa menggunakan lebih dari satu metode pembelajaran. Dari metode pembelajaran yang digunakan harus bisa menggunakan keterampilan pembelajaran. Sebenarnya sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bruce Joyce dan Marsha Weil 32 sebagaimana dikutip oleh Dedi Supriawan dan A. Benyamin 32
Marsha Weil, Bruce Joyce, Bridget Kluwin, Personal Models of Teaching; (Englewood: Printece Hill, 1978),11.
84
Surasega, mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; model ini menitik beratkan hubungan yang harmonis antara individu dan masyarakat (learnig to life to gether) 33 (2) model pengolahan informasi; yang dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informas (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrival), 34 (3) model personal-humanistik. 35 dan (4) model modifikasi tingkah laku, yaitu mengembangkan sistem yang efisien untuk mengurutkan tugas-tugas belajar dan membentuk tingkah laku, dengan cara memanipulasi penguatan baik berupa hadiah atau hukuman. 36 Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran. a. Metode-metode Pembelajaran Metode digunakan oleh guru untuk mengkreasi lingkungan belajar dan menkhususkan aktivitas di mana guru dan siswa terlibat selama proses pembelajaran berlangsung. Biasanya metode digunakan melalui salah satu strategi, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan beberapa metode berada dalam strategi yang bervariasi, artinya penetapan metode dapat divariasikan melalui strategi yang berbeda tergantung pada tujuan yang akan dicapai dan konten proses yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran.
33
Rusdi Susilana, “Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Teori Belajar, Fak. Ilmu Pendidikan UPI Bandung”, makalah kuliah dalam bentuk power point, 2009. 34
Terkait dengan model personal-humanistik, Asri Budiningsih dalam bukunya Belajar dan Pembelajaran menjelaskan pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu mendapat perhatian guru dalam merancang pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya dan dapat membuat pilihan secara bebas ke arah mana dia akan berkembang. Lihat Asri Budiningsing, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta, Rineka Cipta, 2005), 93 35
Asri Budiningsing, Belajar dan Pembelajaran, 76.
36
Rusdi Susilana, “Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Teori Belajar, Fak. Ilmu Pendidikan UPI Bandung”, makalah kuliah dalam bentuk power point, 2009.
85
Sebagai contoh metode ceramah bisa digabung dengan metode diskusi dengan strategi pembelajaran interaktif atau eksperimen. Sebagai ilustrasi ketika akan menerangkan tentang SK-KD T{aharah, guru bisa menggunakan metode ceramah di awal kegiatan dan meneruskannya dengan metode inkuiri untuk menemukan problem kesalahan yang terjadi ketika wudlu dengan meminta anak mempraktekkan wudlu. Teknik yang digunakan bisa menggunakan teknik demonstrasi atau pemodelan. b. Keterampilan-keterampilan pembelajaran Keterampilan merupakan perilaku pembelajaran yang sangat spesifik. Di dalamnya terdapat teknik-teknik pembelajaran seperti teknik bertanya, diskusi, pembelajaran langsung, teknik menjelaskan dan mendemonstrasikan. Dalam keterampilan-keterampilan pembelajaran ini juga mencakup kegiatan perencanaan yang dikembangkan guru, struktur dan fokus pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran. Strategi Pembelajaran dikelompokkan menjadi strategi langsung (direct) yaitu
pembelajaran
dimana
guru
banyak
menjelaskan
konsep
dengan
menggunakan metode ceramah, strategi tidak langsung (indirect) yaitu pembelajaran yang menekankan pada rangsangan rasa ingin tahu siswa atau inquiri, strategi interaktif (interactive) yaitu pelibatan siswa dalam proses pembelajaran dominan, strategi melalui pengalaman (experiential), dan strategi mandiri (independent). Gambar 4 : Strategi Pembelajaran
86
Sumber : Kiranawati, ”Prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar”, Januari 2008
1. Strategi Pembelajaran Langsung (direct instruction) Strategi pembelajaran langsung merupakan strategi yang kadar berpusat pada gurunya paling tinggi, dan paling sering digunakan. Pada strategi ini termasuk di dalamnya metode-metode ceramah, pertanyaan didaktik, pengajaran eksplisit, praktek dan latihan, serta demonstrasi. Strategi pembelajaran langsung ini efektif digunakan untuk memperluas informasi atau mengembangkan keterampilan langkah demi langkah. 2. Strategi Pembelajaran Tidak Langsung (indirect instruction) Pembelajaran tidak langsung memperlihatkan bentuk keterlibatan tinggi siswa dalam melakukan observasi, penyelidikan, penggambaran inferensi berdasarkan data, atau pembentukan hipotesis. Dalam pembelajaran tidak langsung, peran guru beralih dari penceramah menjadi fasilitator, pendukung, dan sumber personal (resource person). Guru merancang lingkungan belajar, memberikan kesempatan siswa untuk terlibat, dan jika memungkinkan memberikan umpan balik kepada siswa ketika mereka melakukan inkuiri. Strategi 87
pembelajaran tidak langsung mensyaratkan digunakannya bahan-bahan cetak, non-cetak, dan sumber-sumber manusia. 3. Strategi Pembelajaran Interaktif (interactive instruction) Strategi pembelajaran interaktif merujuk kepada bentuk diskusi dan saling berbagi diantara peserta didik. Seaman dan Fellenz
mengemukakan bahwa
diskusi dan saling berbagi akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan reaksi terhadap gagasan, pengalaman, pandangan, dan pengetahuan guru atau kelompok, serta mencoba mencari alternatif dalam berpikir. Strategi pembelajaran interaktif dikembangkan dalam rentang pengelompokkan dan metode-metode interaktif. Di dalamnya terdapat bentuk-bentuk diskusi kelas, diskusi kelompok kecil atau pengerjaan tugas berkelompok, dan kerjasama siswa secara berpasangan. 4. Strategi Belajar Melalui Pengalaman (experiential learning) Strategi belajar melalui pengalaman menggunakan bentuk tahapan induktif, berpusat pada siswa, dan berorientasi pada aktivitas. Penekanan dalam strategi belajar melalui pengalaman adalah pada proses belajar, dan bukan hasil belajar. Guru dapat menggunakan strategi ini baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Sebagai contoh, di dalam kelas dapat digunakan metode simulasi, sedangkan di luar kelas dapat dikembangkan metode observasi untuk memperoleh gambaran pendapat umum. 5. Strategi Belajar Mandiri (independent study) Strategi belajar mandiri merujuk kepada penggunaan metode-metode pembelajaran yang tujuannya adalah mempercepat pengembangan inisiatif individu siswa, percaya diri, dan perbaikan diri. Fokus strategi belajar mandiri ini adalah merencanakan belajar mandiri siswa di bawah bimbingan atau supervisi guru. Belajar mandiri menuntut siswa untuk bertanggungjawab dalam merencanakan dan menentukan kecepatan belajarnya.
88
Melihat teori-teori dan pendapat dari berbagai pakar di atas, pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang dilaksanakan di kelas sedikit banyaknya mencoba mengadopsi pendapat-pendapat di atas. Basyiruddin Usman menyebut metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran PAI menggunakan metode konvensional seperti : metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi dan eksperimen, resitasi, kerja kelompok, sosio-drama, karyawisata, drill dan lain sebagainya. 37 Namun demikian dalam sebuah proses pembelajaran, bisa dilakukan secara berbarengan, model, strategi, dan metode pembelajaran yang berubahrubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Hal ini melihat pekembangan yang terjadi di kelas, baik dari sisi ketersediaan bahan dan media pembelajaran atau faktor psikologis lainnya. Contoh ketika seorang guru menghadapi di kelasnya tidak memiliki peralatan langsung maka dia bisa menggunakan system pembelajaran langsung dengan mengkolaborasikan metode ceramah, demonstrasi dan pertanyaan kuis kepada siswa. Menurut Abuddin Nata, 38 pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan dengan model-model antara lain: Pertama, Model pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA) dan keterampilan proses yaitu model pelibatan pembelajaran
siswa
secara
fisik,
intelektual
dan
emosional
dengan
mengembangkan keterampilan : untuk mengetahui (to know), mengerjakan (to do), menginternalisasikan ke dalam diri (to be), dan menggunakannya dalam kegiatan di masyarakat (to live together). Secara konsep, CBSA sangatlah bagus karena memadukan semua aspek yang dibutuhkan seorang anak bagaimana mereka
memperoleh
pengetahuan,
bagaimana
mereka
mempraktekkan
pengetahuan tersebut dan bagaimana mereka mengaplikasikannhya di kehidupan. Sayangnya konsep tersebut tidak mendapat moment yang tepat untuk mendapatkan keberlangsungan baik secara konsep atau kebijakan. Yang terjadi 37
Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, 31-59.
38
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, 217-279.
89
adalah perubahan konsep atau merupakan replikasi atau perubahan bentuk dan nama dari CBSA menjadi PAKEM atau contekstual teaching and learning (CTL). Karena secara substansi PAKEM dan CTL sama dengan model pembelajaran CBSA. Kedua, Model Pembelajaran Quantum Teaching (QT) yaitu model pendekatan pengajaran untuk membimbing peserta didik agar mau belajar. Dengan berprinsip pada “bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”. Pada prakteknya, hingga saat ini model QT belum banyak dilaksanakan karena belum banyak dipahami oleh para guru PAI. Secara konsep model QT memadukan kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki anak seperti yang disarankan oleh Gardner dengan multiple intelegance-nya. 39 Ketiga, Model Problem Based Learning (PBL) yaitu model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan cara menghadapkannya dengan berbagai masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Model PBL ini menurut penulis sangat bisa dilakukan dalam pembelajaran PAI dan sangat mungkin menggabungkannya dengan memberikan motivasi yang harus ditanamkan oleh guru PAI kepada siswa. Sebab materi PAI yang didasarkan atas SK-KD memiliki basis keterkaitan dengan problem kehidupan sehari-hari siswa. Keempat, Model Pembelajaran Kooperatif dan interactive learning yaitu model pembelajaran yang terjadi sebagai akibat dari adanya pembelajaran yang bersifat kelompok. Guru dalam model pembelajaran ini adalah sebagai fasilitator, pendorong, penggerak dan pembimbing agar pembelajaran mengarah kepada terciptanya masyarakat belajar (learning society).
39
Multiple Intelegence menurut Howard Gardner, sebagimana dikutip oleh Anna Yulia, menjelaskan delapan kecerdasan yang dimiliki anak yaitu kecerdasan Linguistik: Word Smart, kecerdasan Logis- Matematis: Number Smart, kecerdasan Spasial: Picture Smart, kecerdasan Kinestetik-Jasmani: Body Smart, kecerdasan Musikal: Music Smart, kecerdasan Antar Pribadi: People Smart, kecerdasan Intra Pribadi: Self Smart, kecerdasan Naturalis: Nature Smart. Lihat Anna Yulia, Working Mom & Kids (Jakarta, Elex Media Komputindo, 2007), 58-59.
90
Pendapat Abuddin ini bukan barang baru dalam teori pembelajaran, atau bahkan menjadi bagian dari teori-teori pembelajaran yang dikembangkan selama ini. Secara natural pembelajaran PAI dalam arti klasik adalah model sorogan dan wetonan yang dikembangkan di dunia pesantren. Namun demikian, kontribusi Abuddin dalam hal ini memberikan sumbangsih cukup berarti dalam Pendidian Agama Islam. Apa yang disampaikan Abuddin menurut penulis bisa dijadikan model pengembangan dalam model pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru PAI. Sementara model-model pembelajaran menurut Taufiq Ahmad Mar’i dan Muhammad Mahmud Alhilliyah adalah sebagai berikut : ( ا ﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ا ﻟﻤﺒﺮ ﻣﺞal-ta‘ li>m al-mubarmaj / Program instruction), ( ا ﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﺑﺎ ﺳﺘﺨﺪ ا م ا ﻟﺤﺎ ﺳﻮ بAl-ta‘li>m biistikhda>m al- h}a>su>b / Computer Assisted Instruction) ا ﻟﺘﻤﺮ ﻳﻦ و ا ﻟﻤﻤﺎ ر ﺳﺔ (Al-tamri>n wa al-muma>rasah / Drill and Practics)
( ا ﻟﺒﺮ ا ﻣﺞ ا ﻟﺘﻌﻠﻴﻤﻴﺔ ا ﻟﺒﺤﺘﺔAl-
bara>mij al-ta‘li>miyah al-bah}tah / Tutorial Programs) (Bara>mij al-la‘ab/ Gaming Program) ا ﻟﻤﺤﺎ آﺎ ة muh}a>ka>h / Simulation Programs),
ﺑﺮ ا ﻣﺞ
(Bara>mij al-
( ﺑﺮ ا ﻣﺞ ﺣﻞ ا ﻟﻤﺸﻜﻼ تBara>mij h}ill al-
mushkila>t / Problem solving Programs), ﻟﻤﺘﻔﺎ ﻋﻞ
ﺑﺮ ا ﻣﺞ ا ﻟﻠﻌﺐ
ا ﻟﻔﻴﻀﻴﻮ ا
(Al-fi>diyu> al-mutafa>‘il / Interactive Video), ﻧﻈﺎ م ا ﻻء ﺷﺮ ا ف ا
( ﻟﺴﻤﻌﻰNiz}a>m al-ishra>f al-sam‘i> / Audio Tutorial System), ﻟﻠﻔﺮ د
اﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ا ﻟﻤﻮ ﺻﻮ ف
(Al-ta‘li>m al-maus}u>f lilfard / Individually Prescribed Instruction), ﻧﻈﺎ
( م ا ﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ا ﻟﺸﺨﺼﻰNiz}a>m Interaction),
al-ta‘li>m al-shakhshi> / Personal System of
( ا ﻟﺤﻘﺎ ﻟﺐ ا ﻟﺘﻌﻠﻴﻤﻴﻪAl-haqa>lib al-ta‘li>mi>yah / Instructional
Package),( ا ﻟﻤﺠﻤﻴﺎ ت ا ﻟﺘﻌﻠﻴﻤﻴﻪAl-mujammi‘ya>t al-ta‘li>mi>yah / Modular Instruction). 40 Penulis sendiri melihat bahwa model dan strategi pembelajaran PAI harus melihat beberapa hal antara lain: Pertama, keluasan dan kedalaman SK-KD PAI. 40
Taufiq Ahmad Mar’i dan Muhammad Mahmud Alhilliyah, {T>{}ara>iq al-Tadri>s al‘Ammah (Kairo: Dar al-Mu‘a>s}irah, 2005), 344.
91
Hal ini untuk memudahkan dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat. Dan terpenting adalah agar mudah memadukan model motivasi yang akan diberikan dalam setiap metode tersebut. Sebagai contoh SK-KD tentang Aqidah: mengenal Allah dengan mengetahui dan memahami sifat-sifat-Nya, maka metode pembelajaran yang tepat menurut penulis adalah kolaboratif dari semua metode pembelajaran. Karena mungkin saja pembelajaran interaktif dilakukan setelah guru memberikan pemahaman tentang konsep dengan metode ceramah. Disini ditemukan bahwa tidak mutlak satu metode atau satu strategi dilaksanakan untuk satu SK-KD. Justru kolaboratif dari berbagai metode dan strategi dalam pembelajaran harus dilakukan guru. Kedua, model pembelajaran baik sisi metode dan strategi harus melihat “jejak yang akan ditinggalkan/penanaman nilai” kepada siswa. Dengan mendasarkan pada maqa>s}id al-shari>‘ah dan implementasinya dalam kehidupan berupa bagaimana mereka mengimplementasikan dengan Allah (habl min Alla>h), dengan manusia (habl min al-nnas) dan dengan alam (habl min al‘Alam). Ketiga, pemerintah sendiri dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional telah mengharuskan proses pembelajaran harus menyenangkan dan mengembangkan potensi-potensi peserta didik. Hal tersebut dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UndangUndang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Hal ini
menjadikan proses pembelajaran yang dilakukan di kelas harus berorientasi kepada siswa (student center).
E. Gap Analisys Pengajaran Pendidikan Agama Islam Pada bab terdahulu telah dijelaskan bahwa “Negara” memiliki kepentingan dalam pendidikan agama yang dituangkan dalam tujuan nasioanl pendidikan. Kepentingan tersebut diejawantahkan dalam politik pendidikan melalui Undang92
undang dan atau peraturan pemerintah tentang pendidikan. Pada kasus ini kepentingan tersebut memiliki korelasi dan siginifikansi dengan kepentinga masyarakat banyak. Kepentingan nasional pendidikan yang berhubungan dengan pendidikan agama berbunyi..
” ….Membentuk manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur dan menghormati agama lain dalam hubungan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan Persatuan Nasional....”.
41
Rumusan ini menurut penelitian Interfidei Jogja bukan
didasarkan atas kepentingan siswa atau bukan berorientasi kepada siswa (student center). Tetapi berorientasi kepada kepentingan nasional tadi. 42 Kepentingan nasional yang dijabarkan Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 tersebut di break down dalam berbagai Peraturan Menteri Pendidikan Nasioanl (Permendiknas). Seperti Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, Permendiknas tentang Standar Kelulusan, Permendiknas tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Permendidknas tentang Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pembiayaan, Standar Pengelolaan dan Standar Penilaian. Menurut penulis beberapa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional seperti Standar Pengelolaan dan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, mencoba memberikan dorongan kepada pengelola,
praktisi pendidikan dan stake holder untuk lebih
mengoptimalkan potensi yang ada, termasuk pendidikan yang berorientasi kepada siswa. Sebagai contoh system Managemen Berbasis Sekolah (MBS) yang beberapa dekade terakhir dimunculkan adalah untuk menjawab sentralisasi pendidikan yang dianggap sebagai bagian dari politik kepentingan nasional tadi. Contoh lain adalah dikeluarkannya Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang
41
Penjelasan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39
42
Interfidei, Ringkasan Laporan : “Penelitian Problematikan Pendidikan Agama: Penelitian di sekolah-sekolah SD, SMP, SMA dan SMK di Jogja 2004-2006”, (Jogjakarta : Interfidei, 2006), 5.
93
Standar Proses menurut penulis adalah dalam kerangka memberikan ruang kreativitas pengembangan siswa (student center). Sejak tahun 2006 pemerintah gencar mensosialisasikan KTSP pada tingkat satuan pendidikan atau sekolah. Konsep KTSP ini sebagai implementasi dari model MBS. Bahkan untuk persoalan MBS ini, banyak lembaga donor luar negeri ikut membantu peningkatan mutu pendidikan. Sebut saja AUSAID (Austrai Agency for International Development), USAID (United State Agency for International Development),, JICA (Japan International Cooperation Agency), World Bank dan lembaga donor lainnya. Lembaga-lembaga tersebut melakukan penguatan peningkatan mutu pendidikan Indonesia dengan memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, 43 melalui program basic education : AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Program, AUSAID), DBE (Decentralisasi Basic Education, USAID), JICA dengan project Madrasahnya, dan berbagai program pendidikan lainnya yang diadakan oleh lembaga-lembaga tadi. Namun diakui, pada prakteknya, masih ada problem atau gap (jurang pemisah) antara apa yang diharapkan (das sein) dan kenyataan (das sollen). Sebagai contoh, konsep pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai implementasi dari MBS (management berbasis sekolah) adalah untuk meningkatkan manajemen pengelolaan sekolah yang melibatkan seluruh stake holder. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Diah Harianti, Kepala Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, Depdiknas. Menurutnya ada distorsi terhadap sosialisasi KTSP sebagai bagian dari implementasi MBS, walaupun tidak besar. 44 Diah Harianti memaparkan gap analisysnya terhadap pemahaman KTSP, pemahaman Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang termasuk pada kajian dokumen dan gap analisys yang berhubungan dengan kajian 43
Bantuan tersebut bisa berupa loan, grant atau hibah.
44
Diah Harianti, Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum Pendidikan Agama, (Jakarta : Depdiknas 2007), 14.
94
lapangan. Dari kajian lapangan yang dilakukan Diah, ditemukan gap tentang pemahaman guru PAI mengenai KTSP, yaitu: 1) Pemahaman guru PAI terhadap isi dari KTSP baik dokumen 1 dan 2 masih belum memadai. 2) Kemampuan guru dalam
melakukan
analisis
materi
pembelajaran,
pengembangan
materi,
menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Standar Isi dan kemampuan mengintegrasikannya dengan mata pelajaran lain belum memuaskan. 3) Keterkaitan antara visi, dan misi sekolah yang dituliskan dalam KTSP masih belum sinkron.
Sementara dari sisi pemahaman guru PAI yang berkaitan dengan pemahaman Standar Kompetensi (SK) danKompetensi Dasar (KD) menurut Diah adalah sebagai berikut: 1) Sebagian guru pendidikan agama belum memahami metode pencapaian SK dan KD yang seharusnya dikembangkan di dalam silabus. Bagi sekolah kategori baik, seharusnya materi standar yang terdapat di Standar Isi dikembangkan lebih dalam dan luas sesuai dengan tingkat kemajuan sekolahnya. 2) Pemahaman guru dan tenaga kependidikan terhadap pengembangan kurikulum termasuk tingkat gradasi materi atau keilmuannya belum memadai. 45 Menariknya lagi Diah menemukan gap analisys terhadap proses pembelajaran Pendidikan Agama di sekolah-sekolah. Penemuannya tersebut menurutnya didasarkan atas kajian lapangan yang telah dilakukan berdasarkan naskah silabus yang dikembangkan dan disusun oleh tingkat satuan pendidikan. Berdasarkan kajian lapangan dan pengamatan guru-guru pendidikan agama terhadap naskah silabus yang disusun satuan pendidikan, diperoleh informasi antara lain sebagai berikut: 1) Isi silabus yang disusun guru belum menggambarkan pengembangan materi atau kompetensi yang seharusnya menjadi ciri dan potensi masing-masing sekolah, akan tetapi dikembangkan masih sebatas pada standar isi tanpa ada pengembangannya, sehingga bagi sekolah yang mutunya kategori baik (akreditasi A) muncul pandangan terjadinya pendangkalan terhadap materi. 2) Pemahaman sebagian tenaga pendidik dalam menyusun dan 45
Diah Harianti, Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum Pendidikan Agama, 15.
95
merumuskan perencanaan pembelajaran perlu mendapat perhatian pembinaan pemerintah setempat. Diperoleh informasi bahwa banyak guru yang belum mengikuti sertifikasi atau belum memiliki kompetensi memadai. 3) Pengetahuan dasar agama peserta didik sangat beragam. Diperoleh informasi, bahwa ada sebagian peserta didik belum memiliki bekal agama yang memadai. 4) Minimnya sarana dan prasarana pembelajaran pendidikan agama, misalnya alat peraga, termasuk tempat ibadah, terutama pada Sekolah Dasar. 5) Sejak tahun 2006, pemerintah pusat telah melakukan sosialisasi kurikulum tingkat satuan pendidikan Namun minimnya sosialisasi tentang penerapan KTSP menyebabkan pemahaman terhadap kurikulum menjadi kendala bagi guru untuk mengimplementasikannya. 6) Kurangnya perangkat administrasi, misalnya buku absen, dan buku daftar nilai. 46 Yang menarik dari kajian lapangan sebagai argumentasi dari Naskah Akademik ini adalah pernyataan bahwa ada unsur psikologis, antropologis dan sosilogis yang memungkinkan peserta didik mudah untuk memahami materi pelajaran dan mengapresiasi potensinya. Dan ini diabaikan oleh guru. Menurut penulis sendiri gap analisys yang ditemukan oleh Diah ini bisa menyebabkan problem pengajaran PAI menjadi tidak maksimal. Hal lain yang mungkin timbul adalah kemampuan guru untuk memotivasi siswa dalam proses pembelajaran pun semakin kurang, karena kemampuan memahami kurikulum dengan segala aspeknya terbatas. Bahwa persoalan motivasi belajar siswa berhubungan dengan unsur psikologis siswa menjadikan guru PAI harus memahami konteks pelaksanaan kurikulum yang sesuai dengan psikologis siswa. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi guru agama untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dalam membangun motivasi belajar siswa ketika terjadi proses pembelajaran PAI .
46
Diah Harianti, Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum Pendidikan Agama, 16.
96
Penulis sendiri setuju dengan problem yang dikemukakan oleh Diah Harianti. Ada distorsi pemahaman dalam pengembangan Standar Isi oleh guru agama. Dimana pengembangan Standar Isi ke dalam silabus masih belum mengembangkan dan mengakomodir potensi sekolah dan konteks pembelajaran yang sesuai dengan keadaan sekolah dan siswa. Menurut penulis, dalam hal pengembangan Standar Isi ke dalam silabus perlu mencermati beberapa masukan Muhaimin dari UIN Malang. Menurutnya ada ketidaksinkronan kelanjutan setiap standar kompetensi dari semua jenjang. Muhaimin mencontohkan pada aspek AlQuran dan Hadits, pelajaran Al-Quran (termasuk didalamnya Tajwid) lebih mendominasi dibanding Hadits. Di SD/MI dan SMA/MA sama sekali tidak menyinggung pelajaran Hadits. Menurut Muhaimin hal ini menunjukkan adanya ketidaksinkonan antara SKL dan SK/KD. 47 Dalam makalahnya, Muhaimin menyoroti aspek Aqidah, Fiqih, Akhlak, Tarikh dalam Standar Isi, termasuk kata kerja operasional yang digunakan dalam SK dan KD). Menurut Muhaimin, rumusan kata kerja operasional KD “menyebutkan” sulit dirinci indikatornya. Kata “menyebutkan” yang dijadikan kata kerja operasional di KD tidak layak dijadikan kompetensi dasar pada jenjang SMP/MTs dan SMA/MA. Karena menurutnya kata kerja tersebut pada tataran kognitif yang paling rendah. 48 Jika Diah menjelaskan gap atau jurang pemisahnya pada tataran aplikasi dilapangan,
Muhaimin
memfokuskan
analisisnya
pada
substansi
dari
Permendiknas. Dari sini dapat ditarik sebuah benang merah bahwa pelaksanaan pembelajaran PAI di lapangan sangat berpengaruh terhadap pemahaman substansi terhadap peraturan yang berkenaan dengan pendidikan di sekolah yang
47
Muhaimin, “Analisis Kritis Terhadap Permendiknas No. 23/2006 tentang SKL & No. 22/2006 tentang Standar Isi PAI di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA”, Makalah disampaikan pada Workshop Penilaian PAI pada Sekolah Depag, (Bogor, Depag, 2007), 15. 48
Muhaimin, “Analisis Kritis Terhadap Permendiknas No. 23/2006 tentang SKL & No. 22/2006 tentang Standar Isi PAI di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA”, 16.
97
dikeluarkan pemerintah. Pemahaman ini membawa implikasi kepada pelaksanaan peraturan tersebut di lapangan dalam hal ini di ruang-ruang kelas atau sekolah. Penulis sendiri menyimpulkan masih banyak gap atau jurang pemisah dalam proses pelaksanaan pembelajaran PAI di kelas, antara lain sebagai berikut: 49 Aspek pemahaman kurikulum : Standar Isi, masih banyak guru PAI yang belum melakukan analisis terhadap Standar Isi yang dibreakdown menjadi silabus dan RPP. Kebanyakan guru PAI melakukan copy paste terhadap silabus yang ada. Analisis Standar Isi dimaksudkan untuk menentukan strategi pembelajaran, metode, model pembelajaran, system penilaian yang tepat, alokasi waktu, penyesuaian program semester dan tahunan, kegiatan pengayaan, remedial dan ulangan atau semester. Apa yang dijelaskan oleh Muhaimin maupun Diah Harianti betul-betul terjadi pada guru PAI. Kemampuan guru untuk melakukan analisis Standar Isi dan diterjemahkan ke dalam silabus masih rendah. Aspek pemahaman Standar Proses, Guru PAI belum banyak memahami bagaimana implementasi Standar Proses yang mengharuskan pemikiran : apa yang harus dilakukan oleh siswa dalam setiap proses pembelajaran. Guru PAI belum memahami bagaimana implementasi kegiatan siswa pada setiap fase eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Aspek proses pembelajaran, guru PAI masih banyak yang menggunakan metode
ceramah
sebagai
satu-satunya
metode
yang
digunakan
dalam
pembelajaran. Belum banyak implementasi pembelajaran yang dilakukan Guru PAI dengan mengkolaborasikan metode, model, media dan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswa. Pembelajaran juga belum mengembangkan atau memperhatikan potensi yang dimiliki oleh siswa sesuai dengan taksonomi Bloom. 49
Yang disebutkan di bawah ini hanya sebagain dari problem pembelajaran PAI yang bisa diidentifikasi. Masih banyak problem pembelajaran PAI yang berpengaruh terhadap proses di kelas seperti, aspek system manajement sekolah, kelengkapan sarana prasarana, latar belakang siswa dan lainnya.
98
Aspek penggunaan ICT dan alat peraga, Sedikit dari Guru PAI yang menggunakan ICT atau alat peraga sebagai media pembelajaran. Kebanyakan dari Guru PAI masih menggunakan model ceramah, membaca dan menulis di papan tulis dalam menyampaikan pembelajaran. Aspek system penilaian, penilaian yang digunakan masih fokus pada kognitif dengan model pilihan ganda, esai atau pertanyaan lisan. Jarang sekali guru menggunakan penilaian berdasarkan tuntutan SK dan KD yang memiliki karakter pada penguatan aspek afektif atau psikomotor. Bahkan untuk penilaian psikomotor pun sering kali Guru PAI menggunakan model penilaian kognitif dengan mengajukan berbagai pertanyaan tulis atau lisan. Hal ini bisa dilihat dari perencanaan silabus atau di RPP nya. Aspek perhatian terhadap motivasi siswa, guru PAI belum memberikan perhatian yang serius terhadap aspek yang mendorong munculnya motivasi belajar siswa. Kemampuan membangun motivasi belajar siswa pada setiap fase pembelajaran perlu mendapat penguatan. Aspek system komunikasi, Pengajaran sering kali dilakukan satu arah, tidak dialogis. Guru PAI belum menjadi sahabat bagi siswa, masih memposisikan diri sebagai orang yang wajib dihormati. Guru PAI juga belum memberikan apresiasi baik verbal maupun non verbal dalam bentuk kontak fisik yang positif terhadap siswa. Aspek posisi dan waktu, dibanding mata pelajaran yang di UN, mata pelajaran PAI dianggap hanya sebagai pelengkap saja. Bahkan pada jaman Sukarno, PAI hanya jadi pelajaran pilihan. Dari sisi waktu, PAI hanya diberikan dalam waktu
2 jam pertemuan dalam satu minggu. Dengan tingkat harapan
masyarakat yang tinggi terhadap mata pelajaran PAI, waktu tersebut menjadi bagian dari hal yang harus disiasati oleh guru dalam penanaman nilai di luar jam pelajaran.
99
Aspek harapan terhadap hasil belajar PAI, harapan masyarakat termasuk orangtua siswa terhadap PAI cukup besar, terutama ketika berhubungan dengan persoalan akhlak siswa. Guru PAI selalu menjadi aktor yang paling pertama dicari ketika terjadi persoalan akhlak siswa. Padahal hal tersebut bukan hanya menjadi tanggungjawab guru PAI. Aspek fokus pengajaran, sistem pembelajaran PAI terkesan doktrinal, padahal nilai-nilai Islam adalah universal yang memungkinkan peserta didik berkembang secara bebas dan tidak terkait atau terkungkung dalam fanatisme sempit dengan tetap memiliki pijakan aqidah yang kuat. Aspek pengembangan diri guru, guru PAI jarang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pelatihan atau pengembangan kemampuan professional dalam hal pembelajaran dibanding dengan mata pelajaran yang di UN kan. Aspek penanaman nilai, Pendidikan Agama Islam di sekolah sedikit sekali menjadi bagian dari penanaman nilai terhadap anak didik. Padahal hal tersebut menjadi tugas utama dari Pendidikan Agama Islam sebagai gerbang pembinaan akhlak siswa. Aspek sikap siswa, sikap siswa sendiri terhadap PAI berbeda dengan mata pelajaran lain, khususnya yang di UN kan. Siswa lebih memberikan perhatian terhadap mata pelajaran yang di UN kan dibanding terhadap mata pelajaran PAI. 50 Dilihat dari paparan di atas, baik analisys yang dilakukan Diah Harianti atau Muhaimin, tidak secara spesifik menjelaskan problem motivasi yang harus dibangun oleh guru PAI dalam proses pembelajarannya. Mereka lebih memperhatikan aspek-aspek pengelolaan kurikulum, proses pembelajaran dan pemahaman terhadap SK dan KD.
50
Pengalaman penulis mengajar di SMPN 280 Jakarta dan berbagai kegiatan pelatihan
Guru PAI.
100
Gap yang terjadi dalam proses pembelajaran PAI berhubungan dengan motivasi belajar siswa adalah guru PAI belum mengetahui bagaimana mendorong, melakukan upaya, menerapkan strategi, model, metode, media pembelajaran yang bisa menumbuhkan minat belajar siswa. Bagaimana seorang guru PAI piawai memunculkan motivasi belajar siswa.
101
BAB IV PROSEDUR DAN LANGKAH PENERAPAN MOTIVASI DAN LEARNING CYCLE DALAM PEMBELAJARAN
Motivasi yang diberikan oleh guru masih bersifat ekstrinsik atau faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa dari luar diri individu siswa. Motivasi yang diberikan oleh guru tersebut sangat bergantung kepada kemampuan guru untuk menyesuaikan materi pembelajar dengan strategi, metode, model, alat atau media pembelajaran yang dilakukan. Pengukuran motivasi belajar siswa, lebih didasarkan pada aspek eksternal yang dibangun atau dimodifikasi oleh guru dengan berbagai stimulusnya. Stimulus yang dimaksud adalah segala upaya baik secara administratif seperti Silabus, RPP, LKS, penilaian maupun behavior seperti cara berkomunikasi (verbal atau non verbal), alat peraga, praktek, based on experiences (berdasarkan problem/pengalaman keseharian) yang dilakukan guru untuk mempengaruhi perilaku belajar siswa. Stimulus tersebut bisa sekaligus berupa respon seperti bentuk komunikasi yang dilakukan oleh guru. Baik stimulus atau respon tersebut memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini didasarkan atas pendapat Richard Kindsvatter 1 yang berpendapat bahwa penggunaan feedback (umpan balik) dengan penguatan verbal dan non verbal dan penggunaan pujian yang efektif dapat memberikan pengaruh terhadap siswa. Siswa akan terbangun motivasi belajarnya ketika apa yang dilakukan oleh guru menarik. Dan hal tersebut masih sangat mungkin diusahakan oleh guru. Berdasarkan penelitian lapangan sederhana yang dilakukan oleh penulis tentang kemampuan guru meningkatkan motivasi belajar siswa ada korelasi positif bahwa motivasi siswa meningkat ketika guru mampu menampilkan pembelajaran yang Richard Kindsvatter, Wilen dan Margaret Ishler, Dynamics Of Effective Teaching, (New York : Longman publishers, 1996), 53 1
102
aktif dengan strategi dan metode pembelajaran yang tepat, dan didukung oleh media atau alat pembelajaran yang tepat. Yang terakhir ini sangat menentukan ketertarikan siswa untuk mengikuti proses pembelajaran. Pendapat dari Richard Kindsvatter inilah yang dijadikan dasar pengukuran indikator faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Faktor-faktor eksternal tersebut diejawantahkan dalam indikator respon guru yang mempengaruhi motivasi belajar siswa di kelas. 2
A. Model Pendekatan Motivasi dan Learning Cycle
Model pendekatan Motivasi dan Learning Cycle yang dimaksud adalah upaya seorang guru untuk mengoptimalkan proses pembelajaran di kelas dengan memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi belajar siswa.
Pengukuran motivasi belajar siswa, lebih didasarkan pada aspek eksternal yang dibangun atau dimodifikasi oleh guru dengan berbagai stimulusnya. Stimulus yang dimaksud adalah segala upaya baik secara administratif seperti Silabus, RPP, LKS, penilaian maupun perilaku seperti cara berkomunikasi (verbal atau Non verbal),
alat
peraga,
praktek,
based
on
experiences
(berdasarkan
problem/pengalaman keseharian) yang dilakukan guru untuk mempengaruhi perilaku belajar siswa. Stimulus atau respon tersebut bisa merupakan feedback baik dalam bentuk komunikasi verbal atau non verbal yang dilakukan oleh guru. Feedback yang diberikan tersebut memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Hal ini didasarkan atas pendapat Richard Kindsvatter 3 yang berpendapat bahwa penggunaan feedback (umpan balik) dengan penguatan verbal dan Non verbal dan penggunaan pujian yang efektif dapat memberikan pengaruh terhadap siswa.
2
Lihat tabel 4 : Jenis Stimulus dan Respon Guru
Richard Kindsvatter, William Wilen dan Margaret Ishler, Dynamics Of Effective Teaching, (New York : Longman, USA, 1996), 53. 3
103
Pemberian feedback terhadap siswa memberikan pengaruh terhadap konsep diri siswa. Guru harus berhati-hati memberikan umpan balik untuk perbaikan atau koreksi atas kekeliruan yang dilakukan siswa. Kekurangsesuaian jenis umpan balik yang diberikan akan berdampak kepada perasaan tidak enak, pesimistis, tidak memiliki motivasi, atau tidak memiliki harga diri karena selalu mendapat teguran guru. Belum mampunya guru memberikan penghargaan dan pengakuan atas setiap upaya (proses) yang dilakukan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran berdampak pada ketidakjelasan konsep diri yang dimiliki siswa. 4 Model pendekatan Motivasi dan Learning Cycle yang dibangun adalah sebagai berikut : •
Pendekatan Komunikasi (verbal dan non verbal) Pendekatan komunikasi yang menjadi bagian dari model Motivasi dan
Learning Cycle dimaksudkan untuk membangun sebuah proses komunikasi interpersonal antara guru dan siswa. Dimana guru memberikan perhatian yang lebih terhadap faktorfaktor
interpersonal siswa. Ini dimaksudkan agar siswa bisa memahami diri
mereka sendiri dan memiliki rasa tanggungjawab terhadap diri sendiri maupun kelompoknya. 5 Komunikasi yang dibangun oleh guru bisa berupa stimulus atau respon seperti : mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan siswa, membantu individu siswa, membantu kelompok diskusi, komunikasi verbal positif (memuji individu, memuji kelompok : bertepuk tangan, memuji hasil kerja kelompok, menyebut 4
Makalah Didin Budiman, “Perbandingan Pengaruh Pemberian Umpan Balik Positif (positive feedback) dan umpan balik betral (neutral feedback) dalam Pembelajaran Penjas Terhadap Pembentukan Konsep Diri Yang Positif Siswa SD”, diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FFPOK/JUR.PEND.OLAHRAGA/DIDINBUDIMAN/Journalsept08.p df pada tanggal 17 Juni 2010. Menurut budiman hal terpenting lagi adalah guru tetap memiliki pendirian yang konsisten terhadap ucapan dan perilakunya. Guru yang baik adalah guru yang selalu berupaya mendengarkan dan memperhatikan segala hal yang diutarakan siswa untuk memperbaiki kinerja pembelajaran. Rudi Susilana, “Model-Model Pembelajaran berdasarkan Teori Belajar, Makalah kuliah FAK Ilmu Pendidikan”, dalam bentuk power point, (Bandung: UPI, 2009). 5
104
nama siswa, memberi perhatian kepada individu siswa : tentang kesehatan, kondisi di rumah dsb, memberikan humor, menghimbau individu), komunikasi verbal negative (menghardik, menegur
individu), Komunikasi non verbal
(berkeliling kelas, tersenyum, kontak fisik secara positif, kontak fisik secara negative, kontak mata/ice contact), memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya/mengemukakan
pendapat/menjawab,
menyiapkan
alat/media
pembelajaran yang berkaitan dengan materi, memberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman pribadi siswa yang berkaitan dengan pelajaran/materi, menghubungkan dengan problem yang biasa dialami sehari-hari /problem based learning), memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan sendiri (praktek). 6 Stimulus atau respon yang diberikan oleh guru tersebut mendorong munculnya faktor motivasi belajar siswa, seperti : guru mengajukan pertanyaan akan mendorong self efficacy siswa, menjawab pertanyaan siswa memunculkan self efficacy dan self esteem, komunikasi verbal memunculkan motivasi self efficacy, self esteem, goal orientation. Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya/mengemukakan
pendapat/menjawab
memunculkan
motivasi
self
efficacy, self esteem. Menyiapkan alat/media pembelajaran yang berkaitan dengan materi memunculkan motivasi self regulation, goal orientation. Memberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman pribadi siswa yang berkaitan dengan pelajaran/materi
memunculkan
motivasi
self
efficacy,
self
esteem.
Menghubungkan dengan problem yang biasa dialami sehari-hari (problem based learning) memunculkan motivasi self regulation, goal orientation, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan sendiri (praktek) memunculkan motivasi self regulation, goal orientation. Stimulus dan respon guru tersebut dalam kerangkan Teori Wayne Harlen & Ruth Deakin Creek adalah termasuk bagian dari motivasi eksternal. Penulis sendiri lebih mendefinisikan stimulus dan respon sebagai motivasi eksternal jenis teacher support. Namun perlu diperjelas bahwa untuk stimulus atau respon guru 6
Sumber : Pengembangan dari teori Wayne Harlen & Ruth Deakin Crick
105
sebenarnya menjadi bagian dari perilaku yang bisa dikatagorikan perilaku atau kemampuan individu guru yang berhubungan dengan karakter guru dan kemampuan pedagogynya. Kemampun lain yang dilihat adalah dengan melihat hasil analisys RPP, alat peraga, LKS dan jalannya diskusi yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Sebagai contoh, sikap atau perilaku guru dalam hal : komunikasi verbal, komunikasi non verbal adalah kemampuan komunikasi individu guru yang mempengaruhi motivasi belajar siswa. Dan kemampuan ini dikatagorikan sebagai kemampuan intrinsik (lebih bersifat kerpibadian/performance pribadi guru). Sementara kemampuan ekstrinsik dari guru adalah kemampuan guru dalam membuat RPP, LKS (lembar kerja siswa), penggunaan ICT, menghubungkan dengan problem keseharian dan pengalaman siswa, adalah kemampuan pedagogy guru. Sementara guru membantu diskusi, dan memberi tugas termasuk kepada teacher support. Menurut Hasibuan yang dikutip oleh Sintya Pujiastuti, pola pembelajaran yang efektif adalah pola pembelajaran yang di dalamnya terjadi interaksi dua arah antara guru dan siswa. Selain itu guru juga mendorong keberanian siswa baik untuk mengeluarkan idenya atau sekedar hanya untuk bertanya. Sintya menjelaskan bahwa pertanyaan merupakan suatu stimulus yang mendorong anak untuk berpikir dan belajar sehingga anak akan lebih mudah menguasai materi atau konsep yang diberikan dan kemampuan berpikir siswa akan lebih berkembang. Hal ini didasarkan atas pendapat Blosser dalam bukunya yang berjudul “Research Matters-to the Science Teacher No.9001. Using Question In Science Classrooms” yang dikutip Syntia bahwa salah satu metode untuk merangsang siswa berkomunikasi dan terlibat secara aktif dalam pembelajaran adalah dengan pertanyaan. 7
7
Syntia Pujiastuti, ”Pentingnya Pertanyaan dalam Proses Pembelajaran”, diakses dari http://www.sd-binatalenta.com/arsipartikel/artikel_tya.pdf pada tanggal 15 Juni 2010.
106
Dengan demikian, keberanian dan jumlah siswa yang mengajukan pertanyaan bisa dijadikan indikator adanya motivasi belajar siswa. Secara spesifik keberanian bertanyaan atau menjawab dari siswa berhubungan dengan self efficacy siswa. Self efficacy ini berhubungan dengan faktor intrinsik dari motivasi belajar siswa. Membantu individu atau kelompok ketika berdiskusi atau mengerjakan tugas menjadi hal yang dapat mendorong atau meningkatkan motivasi belajar siswa. Dengan melakukan bantuan atau bimbingan individu atau kelompok, guru bisa mengetahui problem belajar yang dihadapi oleh siswa. Sehingga guru mampu memberikan bantuan yang tepat. Dari sisi komunikas verbal dan non verbal, menurut penulis
bisa
mendorong motivasi belajar siswa. Seorang guru yang memberika pujian, bertepuk tangan atas hasil kerja atau jawaban/pertanyaan siswa, memberikan perhatian tentang kesehatan, kondisi di rumah, memberikan humor, memberikan dampak yang besar terhadap proses pembelajaran. Termasuk komunikas non verbal seperti tersenyum, kontak mata secara positif, kontak fisik secara positif atau berkeliling kelas, juga memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Respon guru dalam hal komunikasi ini berpengaruh terhadap suasana diskusi dan suasana kelas. Di kelas yang guru-gurunya memberikan apresiasi terhadap hasil kerja siswa, suasana diskusi dan suasana kelas sangat aktif. Siswa terlihat asik mengerjakan tugas dari guru dengan bantuan LKS serta memberikan respon yang positif terhadap apa yang ditugaskan kepada mereka dalam kelompok. Sementara di kelas-kelas yang tidak banyak memberikan apresiasi terhadap hasil kerja siswa, siswa terlihat pasif untuk terlibat langsung dalam setiap kegiatan kelompok. Hal yang jarang dilakukan oleh guru adalah memberi perhatian secara individu menyangkut hal kesehatan, kondisi di rumah, hambatan dalam pembelajaran di kelas dan disekolah. Padahal menurut penulis, perhatian terhadap individu siswa memberikan efek yang besar terhadap siswa secara psikologis. Ini 107
berkaitan dengan upaya guru untuk mengetahui hambatan-hambatan belajar yang dialami oleh siswa. 8 Hal yang juga jarang dilakukan oleh guru-guru adalah menyelipkan humor dalam proses pembelajaran. Bagian untuk mendorong motivasi belajar siswa juga adalah memberikan humor cerdas. Sebagaimana dikatakan oleh Ron Burgess yang dikutip Michael G. Lovorn, mengatakan : ”tertawa dan humor akan menarik perhatian anak-anak, sehingga membantu mereka menyimpan informasi belajar mereka. Humor juga membantu mengurangi ketegangan di anak-anak dan Anda (guru). Tertawa adalah penghilang stress. Hal ini dapat membuat hari-hari sekolah tampak lebih pendek dan meringankan beban Anda. Ini dapat membantu Anda mengatasi krisis, istirahat dari aktivitas yang monoton, dan hidup lebih lama”. 9 Persoalannya memang tidak semua guru memiliki kelebihan atau kemampuan untuk membuat humor yang cerdas. Pendekatan komunikasi ini berpengaruh terhadap motivasi intrinsik siswa seperti self esteem, self efficacy, self regulation, goal orientation dan motivasi intrinsik lainnya. Kemampuan komunikasi guru menempatkan guru sebagai motivator dan sekaligus menjadi kanselor bagi siswa. Pada posisi ini guru diharapkan bisa memberikan solusi terhadap problem yang dihadapi siswa. Stimulus dan respon sebagai bentuk feedback dalam proses pembelajaran tersebut mempengaruhi persepsi siswa terhadap guru. Persepsi siswa tersebut berkaitan dengan respon siswa selama proses pembelajaran. Respon yang diberikan tersebut seperti : mengajukan pertanyaan (self efficacy), menjawab 8
Makalah Hidayat :” Identifikas hambatan Perkembangan Belajar dan Pembelajaran”, disampaikan pada Workshop "Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) & Strategi Pembelajarannya“ (Balikpapan 25 Oktober 2009 – Hotel Pacific). Dalam makalahnya Hidayat menjelaskan Hambatan perkembangan belajar yang banyak dialami oleh siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah itu disebabkan oleh faktor internal pada diri anak yang tentu saja berimplikasi kepada kesulitan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sehingga dalam memecahkan permasalahan belajar anak seperti ini, kita harus mulai dari kondisi dalam diri (internal) anak. 9
Michael G. Lovorn, “Humor in the Home and in the Classroom: The Benefits of Laughing While We Learn”, (Journal of Education and Human Development: California State University, Long Beach, Volume 2, Issue 1, 2008, ISSN 1934-7200), 6.
108
pertanyaan siswa/guru (self efficacy), mengerjakan tugas dari guru (goal orientation), merlibat aktiv dalam diskusi (self esteem), inisiatif dan aktif (self esteem), tertarik dengan startegi, metode pembelajaran yang disampaikan guru, berani bercerita (self efficacy), melakukan praktek langsung (goal orientation), rasa percaya diri tinggi (self efficacy), berorientasi kepada penguasaan materi/keinginan untuk bisa
(goal orientation), berorientasi kepada hasil
nilai/keinginan untuk mendapat nilai bagus (goal orientation), pengaturan diri : kemampuan untuk memahami tugas dan menyesuaikan dengan tugas (self regulation), pendekatan model, strategi, metode dan keterampilan pembelajaran yang digunakan guru (penerapan LC) Seperti dijelaskan pada Bab 1 bahwa pembelajaran yang digunakan adalah menggunakan model learning cycle (LC). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara
berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial.
Dengan
demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi
merupakan proses
pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri siswa menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. 10 Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu: siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa, informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu, orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah.
10
Artikel diakses dari http://library.um.ac.id/images/stories/lptk/suw/Penerapan ”Model Siklus Belajar” pada tanggal 18 Juni 2010.
109
Dari
proses
pembelajaran
yang
menggunakan
LC
guru
bisa
mengembangkan pembelajaran dengan berbagai macam model pembelajaran. Model pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Dalam pembelajaran yang menggunakan LC, guru memikirkan apa yang harus dilakukan oleh siswa dalam setiap fase LC. 11 Proses pembelajaran berbasis LC juga menyangkut bagaimana guru mengelola proses diskusi yang dilakukan oleh siswa. Ini berkaitan degan bagaimana siswa belajar aktif secara bermakna dengan
bekerja dan berfikir.
Dalam pengelolaan diskusi kelompok berkaitan erat dengan cara pembagian kelompok, penamaan kelompok, cara membagikan LKS, alat bantu diskusi yang tersedia, suasana kerja kelompok dan cara siswa mempresentasikan. Keberhasilan penerapan LC, dipengaruhi oleh perangkat pembelajaran yang disiapkan oleh guru. Dalam hal ini, guru menyiapkan lembar kerja siswa yang menjadi guidance, bagi guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran. LKS ini menjadi penting dalam kerangkan menerapkan pembelajaran berbasis LC. Penggunaan LKS ini berkaitan dengan strategi belajar menggunakan pemecahan masalah (problem solving).
B. Prosedur dan Langkah Penerapan Motivasi dan Learning Cycle
Pelakasanaan
pendekatan
motivasi
dan
learning
cycle
dalam
pembelajaran membutuhkan persiapan yang matang dari guru bersangkutan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Untuk menerapkan
motivasi dan learning cycle tersebut, guru perlu melakukan beberapa persiapan dan perencanaan sebelum masuk kelas. Diantaranya sebagai berikut : 1. Menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 11
Lihat catatan kaki no 69 pada Bab II.
110
Clarck dan Lampert sebagaimana dikutip Richard I Arends menjelaskan bahwa perencanaan guru adalah determinan utama dari apa yang diajarkan di sekolah. 12 Masih menurut Richard, perencanaan yang baik melibatkan kegiatan mengalokasikan penggunaan waktu, memilih metode pengajaran yang tepat guna, menciptakan minat siswa dan membangun lingkungan belajar yang kondusif. Sementara menurut Richard Kindsvatter,
13
menjelaskan bahwa “ plans are
guiding students involvement in learning activities”. Dimana RPP yang dibuat guru menjadi petunjuk bagi keterlibatan dan aktivitias siswa dalam pembelajaran. Menurut penulis, apa yang dijelaskan oleh Richard I Arend dan Richard Kindsvatter tersebut sesuai dengan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses yang didalamnya mengatur tentang pembuatan RPP. Selain itu, dalam penyusunan RPP menurut Richard disebutkan bagian dari RPP adalah menciptakan minat siswa. Ini berarti, perencanaan pembelajaran juga menyentuh aspek motivasi yang dibangun oleh guru dalam proses pembelajarannya. Dalam membuat RPP, berdasarkan Permendiknas No 41 tahun 2007 mencakup tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu ; kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Dalam kegiatan pendahuluan menyangkut kegiatan apersepsi. Dalam kegiatan apersepsi seperti pernah dijelaskan pada Bab III dengan melihat apa yang dilakukan oleh guru-guru di sekolah yang ada di Indramayu dan Subang, guru belum mengeksplor kegiatan apersepsi. Padahal sebagai bagian dari kegiatan mendorong motivasi awal untuk belajar, apersepsi dilakukan untuk mengantarkan siswa kepada topik atau kompetensi yang akan dipelajari. Kegiatan apersepsi sendiri bisa menggunakan beberapa cara, seperti permainan, menjelaskan langsung kompetensi, mengajukan pertanyaan dan lain sebagainya. Untuk mengantarkan sebuah kompetensi dalam kegiatan apersepi, guru bisa menggunakan sejumlah daftar pertanyaan yang ringan. Seperti pertanyaan “apa yang kamu pikirkan ketika melihat sebuah sajadah”, atau ”ketika mendengar Richard I Arends, Learning to Teach, terjemahan Helly Prajitno Sortjipto, Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 97. 12
Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching,
13
143
111
adzan”, atau “ketika melihat orang berwudhu”. Pertanyaan tersebut mengantarkan siswa untuk berfikir mengenai tema awal yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan. Dalam menyusun RPP, guru juga memperhatikan maqāṣid al-sharī’at yang akan sesuai dengan materi. Hal ini berkaitan dengan penanaman nilai yang ingin ditanamkan kepada siswa sebagai bagian dari tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Untuk menentukan atau memilih maqāṣid al-sharī’at yang sesuai, guru harus melihat karakteristik dari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD) yang akan disampaikan. Sebab setiap SK dan KD memiliki nilai akhlak yang ingin ditanamkan kepada siswa. Satu SK atau KD bisa mencakup lebih dari satu maqāṣid al-sharī’at. 14 Penentuan maqāṣid al-sharī’at ini berhubungan dengan aktivitas yang akan dilakukan oleh siswa pada kegiatan inti. Seperti diketahui dalam kegiatan inti seperti yang dijelaskan oleh Permendiknas No. 41 tahun 2007, mencakup tiga fase, eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Menurut penulis, kegiatan inti dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 ini mengadopsi konsep learning cycle seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II. Setiap SK dan KD memiliki kata kerja operasional yang perlu diperhatikan. Kata kerja operasional tersebutlah yang akan menentukan aktivitas apa saja yang harus dilakukan oleh siswa. Permendiknas No. 41 tahun 2007, berorietasi kepada student center. Berdasarkan hal ini, penting untuk dipikirkan dalam pembuatan RPP oleh guru adalah apa yang harus dilakukan oleh siswa dalam setiap fase eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Dalam menentukan aktivitas yang akan dikerjakan oleh siswa harus berdasarkan pada kata kerja operasional yang ada dalam SK dan KD. Selain itu guru juga harus menyesuaikan dengan maqāṣid al-sharī’at
yang akan
14
Lihat catatan kaki no 13 pada Bab II
112
ditanamkan.
Kata kerja operasional yang ada dalam SK dan KD juga
menunjukkan apa yang akan dicapai sesuai dengan taksonomi Bloom. 15 Dalam membuat RPP, Richard Kindsvatter, membagi dua RPP, yaitu unit plan dan daily lesson plan formats. Keduanya masuk dalam katagori short and long range planning. Unit plans, adalah tahap dasar dari perencanaan pembelajaran. Unit plans digunakan untuk dasar pengembangan set perencanaan pengajaran/pembelajaran harian, dan bisa perpanjang mulai dari satu samapi enam minggu atau lebih. 16 Daily plans adalah sekedul pendekatan guru dan gambaran aktivitaas pembelajaran siswa dengan beberapa keterangan yang detil. Masih menurut Richad Kindsvatter, RPP yang disediakan guru dengan pengorganisasian dan perintah/penugasan harian yang spesifik. 17 RPP berdasar unit plans yang dibuat Richads Kindsvatter memiliki unsur sebagai berikut : 1) tujuan (goals) 2) Topik yang akan disampaikan (topics) 3) Prosedur pelaksanaan (intuctional procedures) 4) evaluasi (evaluation) 5) Sumber atau resources. Sebagai contoh, penulis akan sajikan contoh unit plans dan Daily lesson-Plan Formats yang dibuat Richard Kindsvetter . 18 Model unit plans atau daily lesson-plans formats yang digunakan oleh Richard Kindsvatter seperti di bawah ini : Unit Plan Richard Kindsvatter Unit focus : Aging Grade : 6
Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching, ,161-163, baca juga Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Kencana 2004), 140. 15
Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching,151 16
Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching,151, Lihat lampiran C 17
Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching,152-155 18
113
Subject : Multidisciplinary, with emphasis on reading Unit Duration : 2 weeks I. Goals The students will : Become familiar with varety of personalities of the elderly; infer the importance of art as a neabs to bring togethers the older and younger generations. Understand the role adverstisements plqy in stereotyping the elderly, determine how current music has depicted the elderly. Analyze the ways in which the elderly interact with ather members of the family. Realize the possibilities for a productive life in old age. Understand the contributions of the elderly from a historical perspective. Realize how young and old people can relate socially. Become aware of how people deal with the death of a loved one and one’s own dying. Speculate how people in their homes and community can help and learn from the elderly. II. Topics Different kinds of grandparents Art as a bridge to understnding being old Stereotyping of the elderly through advertising Elderly in today’s music Elderly in family settings Creativity in old age Famaous oldsters Relating to the elderly Death and dying Helping the elderly III. Instructional Procedures a. Discussion based on student’s differing perceptions, ideas, and feeling related to the issues and personalities in the book Grandpa. 114
b. Student create their own self portraits using a variety of art mediums and draw pictures of hat they ecpect to look like when they are about 70 years of age. Individual discussions with students on differences between portraits. c. Students locate advertise d. ments that show how the society depics the elderly, share with the group, make judgements about stereotyping, and speculate how the adverstisements could be changed to a more positive view of the elderly. e. A variety of songs will be played related to the elderly (“when I’am 64 – beatles ,”old folks” etc), student will share their opinions through discussion about the meanings of th e words and how the elderly are depcted. f. Role playing will be used to depict the elderly and analyze how the elderly interact with members of the family. Several reenactments will take place based on students’ impressions, opinions, positive and negative stereotypes, and perceptions of reality. g. Individual students reports on famaous eldsters including inferences about their motivations to be productive and creative beyond 70 years of age. Optional activity is student sharing of reports to class. h. Student will view the film “Peege” about an elderly woman experiencing isolation in a nursing home. After the students respond individually to the questions in written form about the film, snall groups will be formed for students to share responses, experiences, and attitudes. i. Student read the book “About dying”. Discussion on the feelings about the characters, their opinion about the book, and their own personal experiences with death such as with a relative, friend, or pet. j. Unit culmination; review of students’ learnings and appeal to students to become actively involved in activities and programs related to the elderly in the community. Perhaps the inquiry method can be used in the class perceives an issues that they care to investigate formally or a problem their wish to attempt to solve. IV. Evaluation Informal observation of students within large – and small group discussions and during listening (record), viewing (film), and doing (art) activities. Formal evaluation of students’ written reports on famaos oldsters. Students’ advertisements brought to school will also be graded. 115
V. Resources a. Books “Grandpa”, Barbara Borack’ “About Dying”, Sara Bonnett Stein; “The Family at Sunday Dinner”, Marcia Cameron,”Age and Youth in Action”, Gray Panthers, “Getting Beyond Streotypes”, George Maddox. b. Records, “When I’m 64”, bettles, “Old Folks”, from Jacques Brel Is Alive and Well and Living in Paris, etc c. Film “Peege”, Phoenix Films.
Contoh Daily lesson-Plan Formats
Form 1 (lectures) I. Objectives II. Instructional approach a. Entry; preparation for learning b. Presentation c. Closure; review of learning III.
Evaluation
Form 2 (inquiry) I. Objectives II. Intructional approach a. Entry; preparation and clarification of a problem, issue, or query b. Formation of hypotheses c. Collection of data d. Test hypotheses e. Closure; drawing conclusions III. Evaluation Form 3 (discussion); I. Objectives II. Intructional approach a. Entry; identification of problems, issue, or topic 116
b. Clarification c. Investigation d. Closure; summary, integration, application III. Evaluation Form 4 (simulation gamming); I.
Objectives
II. Intructional approach a. Entry; orientation b. Participant preparation c. Simulation/enactment operations d. Closure; debriefing discussion III. Evaluation Dari contoh unit plans atau daily lesson-plans formats yang digunakan oleh Richard Kindsvatter, tergambar bahwa aspek mendorong motvasi belajar siswa dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang berbasis LC digunakan. Menurut penulis tema yang disebutkan dalam tujuan pembelajaran (goals) dalam unit plan merupakan nilai-nilai karakter yang ingin ditanamkan dalam pembelajaran tentang usia tua (manula). Penanaman nilai tersebut dikemas dalam topik-topik pembelajaran untuk memahami aspek social, ekonomi dan psikologis usia manula. Seperti topik tentang peran (mungkin) artis yang sudah tua dalam pentas musik saat ini, posisi manula dalam keluarga, artis lama (manula) yang masih terkenal, hal-hal yang berubungan dengan manula, kematian dan membantu para manula. Topik-topik tersebut dalam unit plan dilaksanakan (langkah-langkah pembelajaran) dalam bentuk diskusi kelompok setelah membaca buku “Grandpa”. Diskusi berdasarkan buku tersebut dibedakan atau dikelompokkan
117
berdasarkan persepsi siwa, ide-ide dan perasaan yang berhubungan dengan isu-isu dan kepribadian yang ada dalam buku “Grandpa” . 19 Selain siswa diminta untuk membaca buku, siswa juga melaksanakan pembelajaran melalui bernyanyi tentang music-musik lama yang dibawakan oleh The Beatles, melakukan permainan (role playing), membuat laporan, setelah melihat tayangan film “Peege” dan sebagainya. Ini menunjukkan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh siswa mencakup semua aspek yang ada dalam learning cycle, eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Sementara Richard I Arends dalam bukunya learning to teach menambahkan adanya time table yaitu peta kronologis yang menunjukkan bagaimana serangkaian kegiatan pengajaran dilaksanakan dari waktu ke waktu. 20 Penilaian yang dilakukan oleh guru pun tidak dilakukan dalam bentuk daftar pertanyaan, namun dalam bentuk informal observasi ketika siswa melakukan diskusi, sejak mereka mulai membaca, mendengar musik, menonton film dan melakukan berbagai macam aktivitas. Penilaian juga dilakukan melalui penulisan laporan tentang artis manula yang terkenal Sementara jika melihat daily lesson-plan formats, terlihat hanya besaranbesaran (semacam guidance line) tentang topic atau aktivitas yang akan dilakukan dari rencana pembelajaran pada setiap sesi. Dimana setiap sesi memiliki penajaman aktivitas seperti membaca (lecture), menemukan pemahaman atau konsep (inquiry), diskusi kelompok, dan simulasi permainan. Setiap tahapan tadi selalu menyertakan evaluasi. Format rencana pembelajaran yang digambarkan oleh Richard Kindsvatter memang tidak lazim digunakan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan model Bandingkan Unit Plan yang dibuat oleh Richard I Arend, Learning to Teach, terjemahan Helly Prajitno Sortjipto, Sri Mulyantini Soetjipto, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 124. Unit Plans yang dibuat oleh Richard I Arends memuat 1) nama unit 2) alasan untuk mengerjakan unit tersebut 3) konsep inti/pertanyaan esensial/pemahaman”abadi”4) tujuan umum unit yang mengandung tujuan spesifik 5) isi unit 6) sintaksis untuk unit 7) bahan dan sumber daya yang dibutuhkan 8) tugas utama dan 9) asesmen dan evaluai. 19
Richard I Arend, Learning to Teach, 125. Lihat juga Lampiran C
20
118
RPP yang biasa digunakan oleh guru-guru di Indonesia, RPP Richard Kindsvatter relatif lebih sederhana, dianding RPP yang biasa digunakan oleh guru di Indonesia. RPP yang dibuat oleh guru di Indonesia mengacu kepada Permendiknas No. 41 tahun 2007. RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP ) SMP
:
Negeri 280
Mata Pelajaran
:
Pendidikan Agama Islam
Kelas / Semester
:
IX / I
Standar Kompetensi
:
5. Memahami hukum Islam tentang penyembelihan hewan
Kompetensi Dasar
:
5.1. Menjelaskan tata cara penyembelihan hewan
Alokasi Waktu
:
2 x 40 menit ( 1 x pertemuan)
A. Tujuan Pembelajaran 1. Siswa dapat menyebutkan pengertian penyembelihan menurut bahasa dan istilah 2. Siswa dapat membedakan penyembelihan tradisional dan mekanik 3. Siswa dapat menyebutkan tata cara penyembelihan 4. Siswa dapat menentukan hewan yang halal disembelih 5. Siswa dapat membaca dalil tentang hokum penyembelihan B. Materi Pembelajaran Penyembelihan menurut bahasa adalah = penyembelihan. Penyembelihan menurut istilah adalah mematikan hewan dengan cara memotong dileher dan memutus urat nadi sesuai dengan ketentuan agama (syara) Cara penyembelihan. 1. Tradisional : a. Mernyembelih dengan cara orang yang bekerja b. Menyiapkan peralatan untuk penyembelihan
119
c. Hewan yang akan disembelih dibaringkan kekiri sehingga menghadap kiblat, lehernya diletakkan diatas lubang penampungan darah yang sudah disiapkan d. Kaki diikat, dipegang kuat-kuat, kepala ditekan kebawah agar tanduknya menancap ketanah. e. Mengucap basmallah, kemudian alat penyembelihan yang sudah disiapkan langsung digoreskan pada leher binatang yang disembelih sehingga jalan makan, minum dan napas serta urat nadi kanan kiri leher putus. f. Kemudian tali pengikat dilepas agar mudah dan cepat proses kematiannya 2. Mekanik a. Sebelum binatang disembelih terlebih dahulu binatang dipingsankan dengan cara ditotok urat sarafnya atau disetrum dengan aliran listrik. b. Setelah pingsan disembelih dengan alat penyembelihan yang sudah disiapkan Syarat alat penyembelihan : a. Tajam b. Tidak runcing dan tidak tumpul c. Terbuaat dari besi dan baja, batu, bambu dan kaca d. Bukan kuku, gigi dan tulang. Sunnah penyembelihan : a. Menghadap kiblat b. Menyembelih pada pangkal leher c. Menggunakan alat yang tajam d. Membpercepat dalam penyembelihan e. Melepaskan tali pengikat setelah disembelih f. Berlaku baik dalam penyembelihan, tidak kasar. Dalil naqli yang terkait dengan penyembelihan C. Metode Pembelajaran 1. Diskusi kelompok 2. Kunjungan ke tempat penjagalan (studi kasus) 120
3. Belajar kelompok D. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran 1. Pendahuluan a. Memberi salam dan memulai pelajaran dengan membaca basmalah dan berdo’a b. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an selama 5 – 10 menit c.
Memberi apersepsi dengan memberikan pertanyaan tentang “tukang ayam” atau “tukang daging”. Apa yang ada dalam pikiran siswa jika mendengar kata “tukang ayam” atau “tukang daging” atau “tukang jagal”
2. Kegiatan Inti 1. Siswa menelaah literature tentang penyembelihan hewan. 2. Siswa berdiskusi dengan KFC/rumah jagal tentang tatacara penyembelihan hewan 3. Siswa membuat resume hasil diskusi 4. Shopping hasil diskusi dan saling memberi komentar 5. Penguatan 4. Penutup -
Guru memberi tugas siswa untuk menulis dalil naqli dibuku catatan siswa dan dikumpulkan.
-
Guru menyuruh salah satu siswa untuk membaca haditsnya dan yang lain mendengarkan.
-
Guru menyuruh salah satu siswa kedepan untuk membaca arti dari hadits yang dibaca temannya
E. Alat / Sumber Belajar 1. Al-Quran dan terjemahan 2. Buku paket Pendidikan Agama Islam 3. Film tentang penyembelihan hewan 4. Buku-buku lainnya yang relevan F. Penilaian
121
Indikator Pencapaian Kompetensi
Jenis Penilaian
1. Menjelaskan Tes tulis pengertian penyembelihan hewan dan dasar hukumnya.
Bentuk Penilaian
Instrumen
Jawaban singkat
1. Apa dasar hukum dilakukannya penyembelihan hewan?
2. Menjelaskan tatacara penyembelihan hewan yang baik dan benar.
Tes lisan
Jawaban singkat
1. Jelaskan secara singkat tentang tata cara penyembelihan hewan yang benar menurut hukum Islam!
3. Menunjukkan dalil naqli terkait dengan penyembelihan hewan.
Penugasan
Proyek
1. Carilah ayat-ayat al-Quran yang terkait dengan penyembelihan hewan lalu tuliskan dalam buku kerja kalian!
Dari RPP yang dibuat sesuai dengan Permendiknas No. 41 tahun 2007 memiliki perbedaan dengan model unit plan yang dibuat oleh Richard I Arends dan Richard Kindsvatter, sebagai berikut : a.
Aspek goals/tujuan pembelajaran : Dalam model RPP berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007, tujuan
pembelajaran lebih spesifik yang dikembangkan dari kata kerja operasional SK dan KD. Sementara dalam model Unit Plan Richard Kindsvatter memiliki kejelasan dalam penanaman nilai yang ingin dicapai, tujuan dikembangkan dari subjek yang tidak dibatasi oleh kata kerja operasional, tujuan pembelajaran lebih menekankan kepada nilai-nilai yang bisa capai sebagai kompetensi yang ingin dicapai. b.
Aspek materi/topik : Dalam model RPP berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007, materi
dijabarkan langsung menjadi item-item yang harus dipelajari. Seperti tatacara 122
penyembelihan,
pembelihan
tradisional
dan
mekanik,
dalil-dalil
yang
beruhubungan dengan penyembelihan dan sunah penyembelihan. Sementara dalam model Unit Plan Richard Kindsvatter, materi tidak disampaikan secara spesifik, namun disesuaikan dengan goals yang ingin dicapai, materi berupa topik atau tema yang disesuaikan dengan goals, seperti berhubungan dengan musik, seni, hubungan social, topik kematian dan sekarat, membantu manula serta topik yang sesuai dengan tujuan. c.
Aspek langkah pembelajaran/instructional procedure : Dalam model RPP Permendiknas No. 41 tahun 2007, ada kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Selain itu langkah pembelajaran mengadopsi learning cycle : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Sementara model Unit Plan Richard Kindsvatter, siswa melakukan berbagai aktivitas pembelajaran yang didasarkan pada analisa, pengembangan konsep tentang tema yang ingin dicapai dengan berbagai macam aktivtas. Seperti diskusi, menggambar, mendengarkan musik, menonton film dan lainnya. Yang ditekankan pada kegiatan pembelajaran adalah siswa menemukan sendiri pemahaman terhadap setiap topik yang dipelajari dengan berbagai macam kegiatan pembelajaran. d.
Aspek evaluasi : Model RPP Permendiknas No. 41 tahun 2007, evaluasi dilakukan untuk
mengukur kompetensi yang ingin dicapai, evalusi berbentuk soal-soal dalam bentuk tes lisan dan ada juga yang berbentuk penugasan dan ada rubrik penilaian ketika mereka melakukan kunjungan ke tempat penjagalan, atau ketika diskusi kelompok. Sementara Unit Plan Richard Kindsvatter, ada penilaian yang didasarkan atas kegiatan yang dilakukan siswa, penilaian dilakukan dengan meminta siswa untuk membuat laporan. e.
Aspek Sumber belajar : Sumber belajar pada model RPP Permendiknas No. 41 tahun 2007, sangat
terpaku kepada buku cetak. Sementara, pada model Unit Plan Richard 123
Kindsvatter, sumber belajar diberikan kebebasan (memfaslitasi) kepada siswa untuk membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik. Selain itu guru juga menyediakan media pembelajaran yang berkaitan dengan topik. 21 Dari analisis di atas dapat dijelaskan bahwa kedua model RPP atau unit plan tersebut memiliki aspek untuk mendorong munculnya motivasi belajar siswa. Bahwa masing-masing model memiliki kelemahan dan kelebihan, penulis sendiri memiliki pendapat bahwa RPP akan sangat berhubungan dengan kemampuan guru memahami persoalan yang akan disampaikan, memiliki kreativitas dalam memperkaya aktivitas siwa, kreativitas untuk memperkaya sumber belajar dan memperkaya topik serta nilai yang ingin dicapai. Dua model RPP dan unit plan di atas telah mengadopsi pembelajaran berbasis learning cycle. Dari sisi pembelajaran berbasis LC ini, motivasi belajar siswa cukup terdorong. Pasalnya jika langkah-langkah pembelajaran tersebut bisa dilaksanakan, dorongan motivasi belajar dalam bentuk keterlibatan siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran akan terlihat. 2. Menyiapkan lembar kerja siswa (LKS) dan media pembelajaran Untuk mendorong munculnya motivasi belajar siswa, guru dianjurkan menyiapkan lembar kerja siswa (LKS) berikut alat peraga yang sesuai dengan topik atau materi yang akan disampaikan. LKS tersebut berfungsi untuk memberikan petunjuk bagi siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran. Sementara media pembelajaran menurut I Wayan Santyasa menjelaskan bahwa
dalam era perkembangan Iptek yang begitu pesat dewasa ini,
profesionalisme guru tidak cukup hanya dengan kemampuan membelajarkan siswa, tetapi juga harus mampu mengelola informasi dan lingkungan untuk memfasilitasi kegiatan belajar siswa. Konsep lingkungan meliputi tempat belajar, metode, media, sistem penilaian, serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
Sumber : Analisis RPP berdasarkan Permendiknas No. 41 tahun 2007 dan Unit Plan, Richard Kindsvatter. 21
124
mengemas pembelajaran dan mengatur bimbingan belajar sehingga memudahkan siswa belajar. 22 Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah panduan pekerjaan atau kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa untuk satu Standar Kompetensi tertentu. LKS ini berisi informasi tentang SK dan KD, Materi yang akan dibahas, bahan untuk disukusi, panduan pengerjaan, tugas untuk masing-masing siswa/kelompok, instrument penilaian/pengamatan. 23 LKS inilah yang mendeskripsikan apa saja yang harus dilakukan oleh siswa dalam kerangka model learning cycle. Model pembelajaran atau metode serta strategi yang digunakan selama proses pembelajaran akan terlihat dari instruksi yang ada dalam LKS. LKS berfungsi sebagai guidance bagi siswa untuk mengerjakan sesuatu, sementara bagi guru LKS berfungsi untuk menentukan model, metode dan strategi pembelajaran yang dilakukan. 3. Menggunakan komunikasi verbal dan non verbal yang positif Komunikasi yang dimaksudkan adalah komunikas yang positif dan dua arah antara guru dan siswa. Komunikasi yang dilakukan oleh guru bisa berupa komunikas verbal dan non verbal. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab III, bagian B. Komunikasi positif ini juga dianjurkan oleh Dave Foley. Menurut Dave dalam bukunya Ultimate Classroom Control handbook, guru disarankan menggunakan bahasa yang positif ketika berbicara kepada siswa yang melakukan kesalahan. Kata yang digunakan untuk siswa yang melakukan kesalahan yang disarankan oleh Dave Foley seperti “ saya berharap kamu untuk…”,”saya membutuhkan kamu….”, “berhenti melakukan hal itu….”. Jika siswa tidak mengerjakan tugas, kata yang bisa digunakan adalah “bisa saya bantu kamu untuk
22
I Wayan Santyasa, Makalah “Landasaran Konseptual Media Pembelajaran”, disajikan dalam Worh Shop Media Pembelajaran bagi Guru-Guru SMAN Banjarangkan Klungkung. Baca juga Asnawir dan Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), 20 23
Lihat catatan kaki no 15 s.d. 21 pada Bab IV.
125
mengerjakan tugasmu…”,”kenapa belum kamu kerjakan tugasmu…...” dan lain sebagainya. 24 Untuk meningkatkan komuniasi yang positif juga, menurut Dave Foley, seorang guru dianjurkan mendapat simpati dari siswa dengan empat cara, yaitu : 1) bagaimana mengetahui siswa 2) mendapatkan respek dari siswa 3) perlakukan siswa dengan setara dan 4) tunjukan bahwa anda (guru) memberikan perhatian. 25 4. Memberi perhatian positif Memberikan perhatian yang positif dilakukan oleh guru kepada semua siswa. Baik ketika mereka melakukan kesalahan atau membuat keributan di kelas. Perhatian yang positif menurut Dave Foley bukan berarti tidak bertindak tegas. Ketegasan yang dibarengi perhatian menjadi alat yang efektif untuk membangun sedikit kebaikan dengan memberikan komentar tentang bagaimana guru menghargai perilaku baik siswanya. 26 5. Menggunakan system hadiah dan hukuman Guru menyepakati dengan siswa untuk perilaku yang telah disepakati akan mendapatkan hadiah 27 . Jika perilaku tersebut baik, guru memberikan hadiah sebaliknya jika ada perilaku yang tidak disepakti atau dilanggar siswa, guru bisa memberi hukuman yang juga telah disepakti bersama. Seperti jika siswa tidak beranjak dari kursi selama mengerjakan tugas, maka kelas tersebut akan mendapatkan hadiah menonton film yang berkaitan dengan tema pelajaran. Guru juga bisa memberikan sedikir kelonggaran untuk belajar di luar kelas sebagai hadiah dari hal-hal yang telah disepakati. 6. Menentukan nilai yang akan ditanamkan
Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, (Indianapolis : Harvard University,
24
2007),7. Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, 121
25
Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, 107
26 27
Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, 111
126
Seperti pernah dijelaskan pada Bab II, bahwa Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME, berakhlak mulia. Ini berarti bahwa guru dalam proses pembelajaran memiliki kewajiban untuk bisa menanamkan nilai sesuai dengan tuntutan Sistem Pendididkan Nasioanal. Penanaman nilai tersebut tetap harus memperhatikan SK dan KD yang akan diajarkan. Jika kita menggunakan model RPP yang ditawarkan Richard Kindsvatter, maka penanaman nilai tersebut bisa diintegrasikan dengan topik yang dibangun. Sementara jika kita menggunakan RPP yang biasa digunakan di Indonesia, maka penanaman nilai tersebut dilakukan dengan pembiasaan, praktek, dan aktivitas belajar lainnya.
C. Penerapan Motivasi pada Fase Engagment, Eksploration, Expand,
Elaboration dan Evalution. Di atas telah dijelaskan, bahwa seorang guru berdasarkan tuntutan dari Permendiknas No. 41 tahun 2007 harus berfikir apa yang harus dilakukan oleh siswa dalam setiap fase : eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Hal ini di dasari oleh konsep student center, dimana aktivitas siswa menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran. Pertanyaan tersebut relevan dengan pengembangan Motivasi dan Learning Cycle atau pengembangan motivasi yang harus dilakukan oleh guru. Pasalnya jika Permendiknas No. 41 tahun 2007 harus berorientasi kepada siswa, maka Motivasi dan Learning Cycle
harus berorientasi kepada bentuk-bentuk motivasi,
bagaimana cara memberikan motivasi, dan bagaimana itu dilakukan dalam setiap fase pembelajaran. Itu semua harus dilakukan oleh guru. Perilaku guru atau siswa dalam proses pembelajaran memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Sebagai contoh perilaku guru dari sisi komunikasi verbal memberikan pengaruh terhadap persepsi siswa (motivasi 127
belajar siswa) dari sisi kemauan untuk bertanya, kemauan menjawab, mengerjakan tugas. Dari pengamatan di kelas didapat bahwa perilaku atau sikap guru dalam hal berkomunikasi verbal seperti memuji, menyebut nama, menghibur (humor) sangat sedikit. Hal ini berpengaruh terhadap kecilnya self esteem, goal orientation, dan self regulation siswa. Pada Bab I telah dijelaskan model LC 6E yang digunakan dalam learning cycle. 28 Yaitu engagment, exploration, explanation, expand, elaboration
dan
evaluation. Model LC 6 E ini lebih lengkap dibanding model LC yang diadopsi oleh Permendiknas No. 41 tahun 2007. Hakekat dari LC adalah bagaimana siswa menemukan sendiri pemahaman baru berdasarkan berbagai aktivitas yang dikerjakannya dalam proses belajar mengajar. 29 Sehingga proses pembelajaran harus mengacu kepada aktivitas yang harus dikerjakan oleh siswa atau berorientasi kepada student center. Dalam fase-fase LC tersebut, seorang guru harus memperhatiakn apa yang bisa dilakukan dalam mendorong munculnya motivasi belajar. Stimulus dan respon yang harus digunakan guru mengarah kepada tumbuhnya minat belajar siswa, termasuk di dalamnya adalah persiapan RPP, LKS dan alat atau media pembelajaran. Ketika guru melakukan fase engagment, yaitu sebuah fase dimana guru menciptakan situasi teka-teki yang sesuai dengan topik yang akan dipelajari siswa. Guru dapat mengajukan pertanyaan (misalnya: mengapa hal ini terjadi? Bagaimana cara mengetahuinya? dll) dan jawaban siswa digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang telah diketahui oleh mereka. Fase ini dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Bentuk motivasi yang bisa dikembangkan untuk mendorong siswa belajar adalah dalam bentuk pertanyaan, menunjukkan sesuatu gambar yang tidak biasa, unik atau bentuk lainnya yang sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.
28
Lihat halaman 18 pada Bab I.
29
Lihat teori konstruktivisme catatan kaki no 3 pada Bab I.
128
Pertanyaan yang diajukan atau menunjukkan gambar sesuatu yang unik atau tidak biasa bisa menggunakan media, laptop, gambar, puzzle dan lain sebagainya. Kegiatan engagement ini adalah kegiatan awal untuk mengajak dan memancing motivasi siswa untuk memulai proses pembelajaran. Pada proses ini dibutuhkan kreativitas guru dalam menyiapkan berbagai macam bentuk pertanyaan yang memancing keingintahuan siswa. Kegiatan engagement ini bisa menarik minat belajar siswa atau menumbuhkan motivasi intrinsic sense of self as learner atau kesadaran sebagai pembelajaran. Faktor kesadara akan pembelajaran bisa muncul bila stimulus yang diberikan oleh guru dalam fase engagement ini berhasil memancing keingintahuan siswa. Fase engagement juga menguatkan apa yang akan dicapai (goal orientation) dalam proses pembelajaran. Pada fase Exploration (Eksplorasi), siswa harus diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan teman-temannya tanpa arahan langsung dari guru. Fase ini menurut teori Piaget merupakan fase “ketidakseimbangan” dimana siswa harus dibuat bingung. Fase ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk menguji hipotesis atau prediksi mereka, mendiskusikan dengan teman sekelompoknya dan menetapkan keputusan. Bentuk motivasi yang bisa diberikan oleh guru adalah pemberian Lembar Keja Siswa (LKS). Pada fase ini guru bisa membagikan kit/alat/ bahan untuk diskusi dalam sebuah amplop plastik untuk semua kelompok. Setiap amplop plastik sudah ada kartu peran yang berbeda warna untuk setiap kelompok, LKS, materi, gunting, lem dsb. Tabel 3 : Model intervensi kegiatan untuk memotivasi belajar siswa dalam setiap fase learning cycle. No
Motivasi
yang
cycle)
Guru 11 Guru
diberikan Jenis LC (learning Jenis Motivasi
memulai
dengan Engagement
Apersepsi
129
salam 22 Guru menanyakan pelajaran Engagement
Apersepsi
yang lalu 33 Guru membagi kartu puzle Engagement
Skill
pedagogy
berwarna merah, hijau dan
(eksternal
kuning secara acak
motivation)
Kemudian untuk
siswa
diminta
berkumpul
sesuai
dengan warna yang mereka pegang.
Setiap
warna
memiliki karakteristik tugas kelompok - Hijau adalah kelompok yang
bertugas
mencari
literatur di laptop - Kuning adalah kelompok yang bertugas melakukan wawancara
dengan
narasumber di luar kelas - Merah adalah kelompok yang
bertugas
mengerjakan percobaan/praktek. 44 Guru
kemudian Eksplorasi
dan Self efficacy, self
menjelaskan materi yang elaborasi
esteem,
self
akan
regulation
dan
dipelajari
dan
membagikan LKS.
goal
orientation
Setiap siswa berperan sesuai
serta
assasment 130
dengan tugas yang ada di LKS. dibatasi
Setiap
practices
kegiatan
waktunya,
dan
kelompok beralih ke peran kelompok lainnya (bertukar peran).
Sementara
guru
membantu dan memberikan penilaian
selama
proses
berlangsung 5 5
Self
Setiap siswa menjelaskan Elaborasi setiap
hasil
kerja
kelompoknya
dan
memajangnya
di dinding
kelas.
Penjelasan
efficacy,
goal
orientation, skill pedagogy
ini
dipandu dengan pertanyaan dari guru dan dijawab oleh kelompok (jika tidak bisa dilempar ke kelompok lain) Skill
66 Guru memberi penguatan Konfirmasi setelah
semua
kelompok
mengerjakan
tugas
menempelnya
di
pedagogy
dan
dinding
kelas. 7
LKS dan alat peraga
11 LKS yang di buat lengkap : Elborasi
Skill
pedagogy,
ada tugas masing-masing
berhubungan
anggota, tugas kelompok.
dengan
Alat peraga sesuai dengan
kemampuan guru
materi
menyiapkan 131
materi pembelajaran yang menyenangkan ini
bagi
siswa
termasuk
faktor
eksternal
yang
mempengaruhi motivasi belajarnya 8
Jalannya Diskusi
11 Setiap
kelompok
memiliki
nama
telah Elaborasi sesuai
dengan materi pembahasan.
Self efficacy, self regulation
dan
goal orientation
Siswa bekerja sesuai dengan apa
yang
ditugaskan
LKS. mempresentasikan
di
Siswa hasil
diskusi kelompoknya. Siswa saling melihat hasil kerja kelompok lain Sumber : pengalaman pribadi penulis mengajar di SMP Negeri 280 dan hasil kunjungan field research. D. Membangun Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik Siswa
Membangun motivasi intrinsik siswa perlu dilakukan oleh guru. Self esteem, self efficacy, self regulation, sense as self learner, mendorong self effort 30
Sense as learner dan self effort memang belum diteliti langsung di kelas oleh penulis. Kedua jenis motivasi intrinsik ini tidak dijadikan objek penelitian di kelas mengingat keterbatasan waktu dan instrument. 30
132
serta lainnya harus menjadi perhatian seorang guru. Bahwa Self esteem, self efficacy, self regulation, goal orientation, sense as self learner, mendorong self effort serta lainnya, bisa ditumbuhkan oleh guru melalui pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan tersebut disiapkan dengan perangkat pembelajaran yang memadai mulai dari penyiapan RPP, LKS dan alat peraga serta skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas. Secara sederhana self efficacy bagi siswa adalah kepercayaan diri siswa ketika mengajukan pertanyaan, dan keterlibatan dalam proses pembelajaran. Self regulation bagi siswa adalah sikap untuk menyesuaikan diri dengan segala tugas yang diberikan oleh guru. Goal orientation bagi siswa adalah segala upaya yang dilakukan untuk memahami materi yang diberikan oleh guru. Self esteem mengeksplorasi
bagi siswa adalah kemampuan dan kemauan untuk bahan-bahan yang diberikan oleh guru dalam bentuk
mengerjakan tugas. Sense as Learner
adalah sikap siswa yang menyadari
terhadap tujuannya dating kesekolah untuk belajar. Sehingga dia memiliki motivasi yang tinggi untuk menguasai materi. Sense as learner ini juga dipengaruhi oleh keinginan dalam jangka panjang (cita-cita) siswa. Teacher support yaitu segala sesuatu atau upaya guru yang membantu siswa baik secara verbal atau non verbal. Skill pedagogy atau kemampuan guru dalam mengajar berkaitan dengan penggunaan model, strategi, metode dan keterampilan mengajar guru. Jika mengacu kepada definisi sederhana tentang unsur yang termasuk dalam motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik, maka seorang guru bisa memberikan dorongan motivasi kepada siswa dalam berbagai bentuk. Yang paling sederhana dorongan motivasi tersebut dilakukan dengan melihat Tabel 5 : Jenis stimulus atau respon guru yang memotivasi belajar siswa atau Tabel 6 : Jenis
133
stimulus atau
respon siswa yang bisa dijadikan indikator adanya motivasi
31
belajar . Selain itu, tabel-tabel tersebut hanya menjadi acuan untuk mendorong dan menumbuhkan motivasi siwa. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh guru adalah kemampuan mengelola pembelajaran. Semakin bagus guru dalam penguasaan pedagogynya maka semakin besar motivasi belajar siswa atau sebaliknya. Semakin kurang kemampuan pedagogy guru dalam mengajar, maka motivasi belajar siswa pun relatif turun. Kemampuan guru dalam mengajar berkaitan dengan penggunaan model, strategi, metode dan keterampilan mengajar guru. Kemampuan tersebut berkaitan dengan motivasi ekstrinsik dari guru. Mendorong motivasi intrinsik dan ekstrinsik, harus melihat SK dan KD dari mata pelajaran. Dalam mata pelajaran PAI yang memiliki karakteristik berbeda maka pemberian motivasi ini sangat berkaitan dengan maqāṣiḍu alshari’aṭ yang sesuai dengan SK dan KD 32 . Untuk hal ini memang diperlukan analisis SK dan KD dari mata pelajaran PAI yang memiliki kandungan maqāṣiḍu al-shari’aṭ. Namun demikian yang terpenting adalah bagaimana guru PAI bisa menanamkan nilai-nilai yang menjadi tuntutan maqāṣiḍu al-shari’aṭ dan dan tuntutan Permendiknas No. 22 tahun 2006 yang dikemas dalam kemampuan membuat LKS, menyediakan alat peraga yang tepat, model, metode dan strategi pembelajaran yang tepat. Selain itu guru PAI juga dituntut untuk menunjukkan wajah yang familiar dalam hal komunikasi verbal dan non verbal. Menurut Paul R. Pintrich dan Dale H Schunk menjelaskan bahwa motivasi intrinsik siswa dapat dipengaruhi oleh empat sumber, yaitu : 1) kesempatan 2) rasa ingin tahu 3) kontrol dan 4) fantasi. Sementara menurut Waynne Harlen dan Ruth Deakin Crick menjelaskan motivasi intrinsik adalah pelajar/siswa 31
Bentuk motivasi yang tergambar dalam table 5 dan 6 tersebut masih bisa ditambahkan lagi oleh guru. Bentuk-bentuk komuniksi verbal dan non verbal tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap motivasi belajar siswa. Sebagai contoh jika guru sering memberikan senyum, memberikan humor cerdas, sering memuji siswa dan memberikan bantuan dalam proses pembelajaran atau diskusi, siswa akan terdorong untuk belajar. Pada tataran ini, tabel 5 dan 6 bisa digunakan untuk semua mata pelajaran termasuk PAI. 32
Lihat Bab 2 bagian A.2. Karakteristik Matapelajaran PAI.
134
menemukan ketertarikan (interest) dan kesenangan dalam hal apa yang mereka pelajari dan dalam proses pembelajaran itu sendiri. Sementara motivasi ekstrinsik menggambarkan perilaku siswa yang terlibat dalam pembelajaran. 33 Menurut penulis membangun motivasi intrisnik dan ekstrinsik dalam hal belajar siswa perlu memperhatikan fitur-fitur kelas yang ditawarkan oleh Richard I Arends. Pasalnya, kelas sebagai sebuah realitas memiliki karakter seperti yang disampaikan Richard dalam fitur kelasnya. Sehingga seorang guru yang memahami kondisi sosial dan psikologis kelas seperti yang tergambar dalam fitur kelas, akan relatif mudah mengelola kelas dan membangun motivasi belajar siswa. Menumbuhkan motivasi intrinsik siswa bisa dilakukan guru dengan cara mengetahui latarbelakang, kesukaan, perhatian, dan minat siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti menyapa ketika bertemu mereka dimanapun, melempar canda yang menjadi perhatian mereka, menjadi bagian dari pertemanan diantara siswa. Dave Foley menjelaskan bahwa mengetahui kesukaan, latar belajang siswa, dan minat siswa dalam rangka meningkakan lingkungan pembelajaran. Menurut Dave Foley, ada beberapa hal yang bisa dilakukan seorang guru untuk meningkatkan lingkungan pembelajaran. Diantaranya dengan berhubungan langsung dengan siswa secara personal. 34 Menghargai siswa sebagai individu juga bisa meningkatkan motivasi intrinsik siswa dalam belajar. Termasuk memperlakukan siswa secara adil dan menunjukkan perhatian terhadap siswa memberikan pengaruh besar terhadap motivasi intrinsik belajar siswa. Hal ini berkaitan dengan peran guru untuk membangun persahabatan dan menjadi seseorang yang menaruh perhatian terhadap persoalan mereka. 35 Hal ini berkaitan dengan karakteristik siswa seperti 33
Waynne Harlen and Ruth Deakin Crick, “Testing and Motivation for Learning, Graduate School of Education, Assessment in Education”, (Journal Assassment in Education Vol.10, No.2 July, 2003),182 Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook, (Indianapolis : Harvard University,
34
2007),119 Dave Foley, Ultimate Classroom Control handbook,124-125.
35
135
yang dijelaskan Paul R. Pintrich dan Dale H. Schunk. Menurut mereka karakteristik siswa berhubungan dengan bakat, kemampuan umum, keahlian khusus, minat, sikap, dan kepribadian. Dan hal ini berkaitan dengan self efficacy for learning siswa. 36
Paul R. Pintrich and Dale H. Schunk, Motivation in Education, Theory, Research, and Application, (New Jersey USA, 1996),177. 36
136
Bab V PENERAPAN MODEL MOTIVASI DAN LEARNING CYCLE DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Setelah kita mengetahui bagaimana pengembangan Motivasi dan Learning Cycle
dalam pembelajaran, selanjutnya pada bab ini akan
didiskusikan bagaimana Motivasi dan Learning Cycle
diterapkan atau
dikembangkan dalam {Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Seperti diketahui bahwa Pendidikan Agam Islam memiliki lima aspek : Al-Quran, Aqidah-Akhlak, Fiqih dan aspek Tarikh atau sejarah. Aspek-aspek tersebut memiliki karakteristik berbeda seperti pada aspek Al-Quran menurut Zakiah Daradjat adalah keterampilan membaca dengan baik sesuai dengan kaidah (Tajwid) karena berkaitan dengan kegiatan ibadah shalat. Dimana dalam shalat wajib membaca ayat Al-Quran. Namun demikian, Zakiah menambahkan bahwa aspek memahami kandungan Al-Quran menjadi penting untuk di pelajari. 1 Termasuk aspek lainnya memiliki kekhususan maksud tertentu dalam memelaharinya.
A. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Al-Quran. Seperti diketahui dalam Al-Quran menjadi bagian yang terpenting dalam kehidupan umat Islam. Al-Quran menjadi petunjuk bagi orang-orang yang beriman. 2 Pengajaran Al-Quran khususnya dalam hal kemampuan membaca Al-
1
Zakiah Dardjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 2008)92-93 2
Q.S. Al-Baqarah:2
137
Quran sudah ditekankan sejak dini. Ada banyak metode yang diterapkan dalam mengajarkan kemampuan membaca Al-Quran. Seperti di bawah ini. 3 1. Metode Baghdadiyah 4 . Disebut metode Baghdadiyah karena berasal dari Baghdad ketika masa pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah. Tidak diketahui secara pasti siapa penyusunnya, namun telah lama berkembang secara merata di tanah air. Karakteristik dari metode Baghdadiyah adalah: materi-materinya diurutkan dari yang kongkrit ke abstrak, dari yang mudah ke yang sukar, dan dari yang umum kepada materi yang terinci (khusus). Metode ini diajarkan secara klasikal maupun privat. Kelebihan metode Bagdadiyah antara lain : peserta didik diperkenalkan nama-nama huruf hijaiyyah sejak awal pembelajaran, huruf Hijaiyah selalu ditampilkan secara utuh dalam setiap langkah pembelajaran, sebagai penguat memori dan dasar pijakan untuk melangkah pada tahap berikutnya, setiap huruf dan kalimat disusun dengan struktur (wazan) yang rapi sehingga mudah untuk dipelajari, sangat menonjolkan keterampilan meng-eja sehingga secara psikologis memberikan kesan mudah bagi pelajar pemula, materi tajwid secara mendasar terintegrasi dalam setiap langkah. 2. Metode Iqro’ . 5 Metode Iqro’ disusun oleh As'ad Humam dari Kotagede Yogyakarta dan dikembangkan oleh AMM (Angkatan Muda Masjid dan Musholla) Yogyakarta melalui pendirian Taman Kanak-kanak Al-Qur’an
(TKA) dan Taman
Pendidikan Taman Kanak Al-Qur’an (TPA). Metode Iqro’ terdiri dari 6 jilid dengan variasi warna cover yang 3
Kementerian Agama RI,Panduan Pengelenggaraan Kegiatan Tuntas Baca Tulis AlQuran di Sekolah Menengah Pertama (SMP), (Jakarta: Kemenag RI,2010), 20-26 4
Chairani Idris dan Tasyrifin Karim, Buku Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-kanak/Taman Pendidikan Al-Qur’an, (Jakarta : DPP BKPRMI Masjid Istiqlal Kamar 13, 1996) 5
Ahmad Darka AW, Methodologi Pengajaran Iqra’, Sebuah Pengalaman Mengajar dan Menatar,(Jakarta : Pustaka Alivia, 2000).
138
memikat perhatian peserta didik. Beberapa karakteristik dan kelebihan metode Iqro’ adalah : menekankan pada kemampuan membaca secara langsung tanpa harus menghafal nama-nama huruf, peserta didik dapat belajar secara mandiri, karena metode Iqra’ sudah dilengkapi dengan petunjuk praktis hampir di setiap halamannya, peserta didik yang telah menguasai tingkat kemampuan yang lebih tinggi dapat diberdayakan untuk membimbing peserta didik yang berada di bawahnya (Asistensi), metode Iqra’ disusun dalam beberapa jilid buku yang praktis dan mudah dipelajari, metode Iqra’ dapat dipelajari oleh semua tingkatan usia, baik anak-anak maupun orang tua, metode Iqra’ menggunakan prinsip belajar tuntas (mastery learning), dimana setiap peserta didik tidak dapat melanjutkan ke tingkat kemampuan yang lebih tinggi sebelum lulus uji kompetensi. Metode Iqro mempunyai 10 sifat, antara lain: 1) Bacaan langsung. 2) CBSA (Cara Belajar Santri Aktif).
3) Privat/Klasikal. 4) Modul.
5)
Asistensi. 6) Praktis. 7) Sistematis. 8) Variatif. 9) Komunikatif. 10) Fleksibel. 3. Metode Qiro’ati 6 Metode baca Al-Qur’an ’an Qira'ati ditemukan Dachlan Salim Zarkasyi dari Semarang, Jawa Tengah. Metode yang disebarkan sejak awal 1970-an, ini memungkinkan anak-anak mempelajari al-Qur’an secara cepat dan mudah. Pada awalnya metode ini disusun untuk keperluan pembelajaran anak usia 4 - 6 tahun (Taman Kana-kanak). Namun dalam perkembangannya, sasaran metode Qiraati kian diperluas sehingga dapat digunakan untuk anak-anak hingga dewasa. 4. Metode Al-Barqy Metode ini ditemukan pada tahun 1965 oleh Muhadjir Sulthon, dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya dan dibukukan pada 1978, dengan judul “Cara Cepat Mempelajari Bacaan al-Qur’an
al-Barqy”. Dalam
perkembangannya, metode ini ternyata cukup efektif digunakan bagi siapa saja
6
Umdzatul Faizah,”Pembelajaran Membaca Alqur’an dengan Metode Qira’ati pada Anak Prasekolah di TK Islam Hidayatullah Semarang,” Skripsi Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang,2006 (tidak diterbitkan)
139
mulai anak-anak hingga orang dewasa. 5. Metode Tilawati. Metode Tilawati disusun pada tahun 2002 oleh Tim yang terdiri dari Hasan Sadzili, Ali Muaffa dkk. Karakteristik dan keunggulan metode Tilawati antara lain: menyeimbangkan pendekatan pembelajaran secara klasikal dan individual, metode ini disusun secara praktis sehingga mudah dipelajari, menekankan pada kemampuan peserta didik untuk dapat membaca al-Qur’an secara tartil, menggunakan variasi lagu-lagu tilawah dalam membaca al-Qur’an sehingga tidak membosankan, metode ini menggunakan sistem sima’an (menyimak)sehingga peserta didik mampu membenarkan/mengoreksi bacaan al-Qur’an peserta didik yang lain. 6.
Metode Iqro Dewasa dan Terpadu 7 Kedua metode ini disusun oleh Tasrifin Karim dari Kalimantan Selatan.
Iqro terpadu merupakan penyempurnaan dari Iqro Dewasa. Kelebihan Iqro Terpadu dibandingkan dengan Iqro Dewasa antara lain bahwa Iqro Dewasa dengan pola 20 kali
pertemuan sedangkan Iqro Terpadu hanya 10 kali
pertemuan dan dilengkapi dengan latihan membaca dan menulis. Kedua metode ini diperuntukkan bagi orang dewasa. 7. Dirosa (Dirasah Orang Dewasa) Dirosa merupakan sistem pembinaan Islam berkelanjutan yang diawali dengan belajar baca Al-Qur’an. Panduan Baca Al-Qur’an pada Dirosa disusun tahun 2006 yang dikembangkan oleh Wahdah Islamiyah Gowa. Panduan ini khusus orang dewasa dengan sistem klasikal 20 kali pertemuan. 8.
Metode Al-Jabari Metode Al-Jabari merupakan bimbingan praktis membaca dan menulis
Al-Quran. Pelajaran pertama dalam metode ini adalah tanda fatah dengan lafal A, sebagaimana arti dari kata Jabar dari bahasa Parsi yang berarti fatah. Hal ini 7
Tasyrifin Karim dkk., Buku Pedoman Penyelenggaraan TQA (Ta’limul Quran Lil Aulad), (Jakarta :LPPTKA BKPRMI Masjid Istiqlal Kamar 13, 1995)
140
diulang terus sehingga dalam 2-3 kali pertemuan sudah hapal. Selanjutnya akan disusun olahan kata-kata dan secara otomotis olahan kata tersebut dapat dimengerti. 9. Metode LIBAT (Lihat, Baca, Tulis) Metode ini ditemukan oleh Juhaya S. Praja, dosen IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ide metode ini diilhami oleh buku Tuntunan yang ditulis oleh gurunya di Pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur, yaitu K.H. Imam Zarkasyi. Perumusan metode ini dimulai sejak uji coba kepada sejumlah mahasiswa yang buta huruf Al-Qur’an sekitar tahun 1976. Dalam waktu 10 jam, para mahasiswa tersebut mampu membaca dan menulis Al-Qur’an. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan anatomi huruf, pendekatan budaya, disertai dukungan CBSA. Pendekatan anatomi huruf artinya proses pembelajaran dengan memperlihatkan bentuk-bentuk huruf yang saling berkaitan. Kemampuan dan ketidakmampuan menulis huruf tertentu akan mengakibatkan kemampuan dan ketidakmampuan menuliskan
huruf-huruf
lainnya. Pendekatan budaya ialah mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan latar belakang budaya peserta. 10. Metode Hattaiyah Metode ini penggagasnya adalah Muhammad Hatta bin Usman dari Riau.Huruf pertama yang dikenalkan “L” baru diikuti tanda baca A – I – U AN – IN – UN – Sukun dan Tasydid. Selanjutnya latihan membaca dan menulis rata-rata 3 huruf yang sudah dikombinasikan ke dalam berbagai bunyi dan huruf lainnya. Waktu yang digunakan 75% siswa aktif , dan 25% untuk guru membimbing. 11. Metode An-Nur Perintisnya adalah H.M. Rosyadi. Lahir belakangan dibandingkan metode yang sudah dibahas sebelumnya, yaitu menjelang tahun 2000. Metode An-Nur mampu memberi jaminan dua jam bisa membaca Al-Qur’an (dianggap metode tercepat di dunia). Mampu merangsang orang ingin tahu apakah benar 141
terbukti dalam waktu singkat dapat baca tulis Al-Qur’an. Salah satu keistimewaannya, menghafal huruf Hijaiyah dengan urut, dibalik, diacak dan ditulis. Kemudian memahami huruf yang berubah bentuk, tanda titik dan tanda baca. 12. Metode Qira’ah Metode Qira’ah ini dirancang dengan berbasis ke Indonesiaan karena banyak latihan bacaannya yang berbunyi bahasa Indonesia tapi bertuliskan arab sehingga sangat mudah dicerna bagi anak-anak khususnya anak generasi Indonesia. Keunggulan metode qira’ah adalah: memakai media gambar, sekali dituntun langsung tahu, ada keseimbangan penguasaan dari semua huruf, hanya memperkenalkan
kunci-kunci/pola
bacaan,
latihannya
berbunyi
bahasa
Indonesia, langsung belajar ilmu tajwid. Dari metode-metode yang disebut di atas, dapat diambil sebagai bagian dari metode learning cycle dalam pembelajaran Al-Quran. Metode-metode tersebut memang digunakan untuk siswa yang belum memiliki kemampuan membaca yang memadai. Metode membaca yang dijelaskan di atas, dapat dikolaborasikan dengan model problem base learning dalam menjelaskan kandungan Al-Quran. Model Motivasi dan Learning Cycle yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran Al-Quran bisa menggunakan salah satu dari metode membaca di atas dengan menyesuaikan konteks tema yang sedang di bahas dalam materi AlQuran. Sebagai contoh dalam Standar Kompetensi Membaca Surat At-Tiin pada kelas IX jenjang SMP bisa menggunakan sistim Iqra bagi siswa yang belum bisa membaca dan model merangkai puzzle bagi yang sudah mampu membaca. Sementara dari sisi motivasi yang dikembangkan tetap mengacu kepada maqa>s}id al-shari>‘ah yang sesuai dengan SK dan KD 8 . Sebagai contoh tema dalam surat At-Tiin adalah Penciptaan manusia yang sempurna dan proses kejatuhan manusia. Seorang guru bisa mengajak siswa untuk menggali kasus8
Lihat Bab 2 bagian A.2. Karakteristik Matapelajaran PAI.
142
kasus yang melibatkan pejabat atau orang-orang terkenal. Model pembelajaran yang bisa digunakan adalah information research. 9 Materi Al-Quran pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP baru sebatas mengenalkan Ilmu Tajwid. Seperti pada semester 1 kelas VII baru mengenalkan bagaimana “Menerapkan hukum bacaan “Al” Syamsiyah dan “Al” Qamariyah” dan pada semester II kelas VII materi Al-Quran menjelaskan tentang “Menerapkan hukum bacaan nun mati/ tanwin dan mim mati”. Di kelas VIII materi Al-Quran masih menerangkan tentang Tajwid, yaitu menjelaskan tentang “Menerapkan hukum bacaaan Qalqalah dan Ra” pada semester 1 dan “Menerapkan hukum bacaaan Mad dan Waqaf” pada semester 2. Baru di kelas IX materi Al-Quran mulai menjelaskan makna dan nilai yang terkandung dalam Al-Quran, yaitu “Memahami ajaran Al- Quran surat At-Tin” pada semester 1 dan semester 2 tentang “Memahami Al Qur’an surat AlInsyirah”. Melihat materi dan target materi yang ada dalam Stándar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam di SMP menunjukkan capaian yang diinginkan hanya pada aspek membaca sesuai ilmu Tajwid khususnya pada memahami hukum bacaan Al-Syamsiah dan Al-Qomariah, hukum bacaan Mad, hukum bacaan Nun Mati atau Tanwin, Qolqolah dan Ra. Dan pada aspek nilai-nilai atau kandungan ayat yang terdapat pada surat At-Tiin dan surat AlInsyirah. Hal ini menunjukkan capaian aspek kognitif dan afektif pada materi Al-Quran di SMP menjadi fokus pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya penerapan Motivasi dan Learning Cycle dilakukan dengan beberapa pendekatan dan persiapan. Seperti menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), menyiapkan Lembar
9
Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani,Strategi Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta : Insan Madani, 2008), 43, 139-155.
143
Kerja Siswa, menentukan media yang sesuai, menentukan nilai yang akan ditanamkan dan sebagainya. 10 Penerapan motivasi dan learning cycle pada aspek Al-Quran dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam menurut penulis lebih untuk menguatkan self efficacy dan self esteem siswa. Menguatkan kepercayaan diri siswa untuk mampu membaca Al-Quran dan memunculkan kemampuan dan kemauan untuk mengeksplorasi
bahan-bahan yang diberikan oleh guru dalam bentuk
mengerjakan tugas. 11 Pada aspek Al-Quran khususnya menyangkut materi Tajwid, maka maqa>s}id al-shari>‘ah yang ingin dikuatkan adalah h}ifz} al-di>n dan h}ifz} al-‘aql. 12 Selain menguatkan pengetahuan siswa untuk memahami materi Tajwid, sekaligus memberikan basis kecintaan kepada siswa terhadap Al-Quran. Aspek maqa>s}id al-shari>‘ah ini akan dielaborasi dalam proses pembelajaran yang menggunakan learning cycle berikut tahapannya. Motivasi dan learning cycle yang bisa digunakan dalam pembelajaran Al-Quran, khususnya pada aspek membaca bisa menggunakan metode-metode membaca yang disebutkan di atas : metode Iqra dan sebagainya. Namun demikian, metode-metode tersebut hanya menjadi bagian dari learning cycle yang bisa digunakan dan disesuaikan dengan kondisi siswa/kelas dalam pembelajaran membaca Al-Quran. Aspek motivasi yang diberikan dalam setiap fase learning cycle, sangat bergantung kepada metode yang digunakan dan situasi kelas. 13
10
Lihat Bab IV sub bab Prosedur dan Langkah Penerapan motivasi dan learning cycle.
11
Lihat Bab II hal 36-37 tentang self efficacy dan self esteem.
12
Lihat pengertian h}ifz} al-di>n dan h}ifz} al-‘aql pada Bab III hal 72-75.
13
Lihat table model intervensi kegiatan untuk memotivasi belajar siswa dalam setiap fase learning cycle pada Bab IV hal 125-127
144
Pada materi Tajwid, menggunakan metode puzzle menjadi alternatif yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran. 14 Sementara intervensi motivasi yang bisa digunakan adalah 1) dari sisi administratif guru harus menyiapkan RPP dan LKS yang mengajak keikursertaan siswa untuk terlibat aktif dengan menggunakan metode puzzle 2) dari sisi komunikasi guru harus menjadi bagian pembelajaran yang memungkinkan siswa lebih terbuka berkomunikasi dan bertanya serta memberikan perhatian-perhatian personal dan pendekatan persuasif terhadap siswa. 15
B. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Aqidah dan Akhlak. Aspek Aqidah-Akhlak dalam Pendidikan Agama Islam menjadi bagian yang dituntut realisasinya dalam kehidupan sehari-hari pasca siswa belajar. Sebab aspek ini menjadi bagian dari penguatan aspek afektif selain aspek kognitif.
Aspek Aqidah dan Akhlak juga berkaitan dengan maqa>s}id al-
shari>‘ah. Sekaligus menjadi penanda keberhasilan penanaman nilai yang menjadi tuntutan masyarakat. Aspek maqa>s}id al-shari>‘ah yang harus terlihat dalam pembelajaran aspek Aqidah dan Akhlak adalah penguatan pada h}ifz} al-Di>n. Termasuk didalamnya adalah menjaga h}ifz} al-Nafs. Karena perilaku seseorang memberikan pengaruh terhadap persepsi positif dan negatif orang lain terhadai diri seseorang. Sehingga menjadi penting penguatan aspek Aqidah dan Akhlak dalam Pendidikan Agama Islam. Selain itu, aspek Aqidah dan Akhlak juga akan tercermin dalam tata pergaulan seseorang dengan sesama manusia, dengan lingkungan dan dengan Allah. Aplikasi pembelajaran PAI memberikan tuntunan bagaimana melakukan hubungan dengan Allah (habl min Alla>h), bagaimana melakukan hubungan 14
Penggunaan metode sangat bergantung kepada kreatifitas dan kemampuan guru dalam merancang pembelajaran. Lihat Bab III sub bab Beberapa Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang digunakan hal 74 dan 15
Lihat Bab IV sub bab Prosedur dan Langkah Penerapan motivasi dan learning cycle
145
dengan manusia (habl min al-Na>s) dan bagaimana melakukan hubungan dengan alam sekitar (habl min al-‘A
dengan
contoh
yang
baik
dan
dengan
nasehat. 17
Model
Pengembangan Motivasi dan Learning Cycle yang bisa dilakukan dalam aspek Aqidah-Akhlak ini bisa dalam bentuk billboard ranking (urutan nilai luhur), learning contract (kontrak nilai) serta pembelajaran berbasis masalah. 18 Pada dasarnya, Motivasi dan Learning Cycle yang dikembangkan dalam aspek Aqidah-Akhlak akan mengacu kepada karakteristik SK dan KD yang ada dalam aspek Aqidah-Akhlak tersebut. Hal ini berkaitan dengan nilai yang akan ditanamkan oleh guru kepada siswa. Sehingga variasi model Motivasi dan Learning Cycle yang akan dikembangkan bisa menyesuaikan dengan nilai yang ingin ditanamkan. Sementara dari sisi materi pembelajaran Aqidah dan Akhlak, mengacu kepada SK dan KD yang telah ditentukan. Di SMP, aspek Aqidah dan Akhlak menjadi satu bagian yang beriringan. Seperti pada semester 1 dan 2 kelas VII menjelaskan tentang materi Aqidah dalam bentuk SK dan KD ” Meningkatkan keimanan kepada Allah Swt. melalui
pemahaman
sifat-sifat-Nya”,
”
Memahami
Asmaul
Husna”,
“Membiasakan perilaku terpuji : tawadhu, taat, qana’ah, dan sabar”. Dari SK dan KD Aqidah dan Akhlak yang ada pada kelas VII semester 1 menunjukkan ada penguatan maqa>s}id al-shari>‘ah khususnya penguatan pada aspek h}ifz} al-Di>n. Selain itu bagaimana melakukan hubungan dengan 16
Baca juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 4-5 17
Muhammad Abdul Salam Al-A’jami<, Al-tarbi
Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani,Strategi Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta : Insan Madani, 2008), 64, 78.
146
Allah (habl min Alla>h), dan bagaimana melakukan hubungan dengan manusia (habl min al-Na>s) menjadi bagian yang ingin ditanamkan dalam aspek Aqidah dan Akhlak ini. Bentuk motivasi yang digunakan dalam aspek Aqidah dan Akhlak seperti yang pernah dijelaskan pada bab sebelumnya bisa beragam sesuai dengan nilai yang terkandung dalam setiap SK dan KD. Pada SK dan KD keimanan kepada asmaul husna dan akhlak terpuji, motivasi yang bisa dikembangkan bisa merujuk kepada pendapat Al-Ghazali yang dikutip Y. Suyitno. Menurut Al-Ghazali materi pembelajaran harus memperhatikan tingkat daya pikir anak. Dalam menjelaskan aspek Aqidah guru memulai dengan menjelaskan hal-hal yang konkrit baru kemudian menjelaskan hal yang abstrak. Sementara pada aspek akhlak, metode keteladanan dan nasehat menjadi hal yang harus ditekankan oleh guru. 19 Merujuk kepada pemberian motivasi pada setiap fase learning cycle maka pemberian pertanyaan 20 yang memicu rasa ingin tahu siswa bisa digunakan ketika menjelaskan persoalan-persoalan Aqidah dan Akhlak. Pertanyaan tersebut tentu harus aktual dan menggelitik rasa ingin tahu siswa. Sebagai contoh ketika menjelaskasn “Iman kepada hari akhir”, guru bisa mengajukan pertanyaan, tentang persoalan bencana yang banyak terjadi. Pada proses selanjutnya, motivasi yang diberikan akan terlihat dari metode yang digunakan dan LKS yang disiapkan guru.
C. Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Fiqih Menurut Zakiah Daradjat, pembelajaran Fiqih adalah pengajaran yang bersifat amaliah dan harus mengandung unsur teori dan praktek. 21 Pada 19
Y. Suyitno , “Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia (Dari Dunia Timur, Timur Tengah dan Barat)” (Pasca UPI Bandung, 2009),22 20
Lihat fase engagement pada bab IV hal 125
21
Zakiah Dardjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 2008),85.
147
tingkatan permulaan menurut Zakiah, pengajaran Fiqih diberikan melalui materi sederhana, tidak banyak menggunakan dalil-dalil, lebih praktis dan mudah diamalkan. Model Motivasi dan Learning Cycle yang bisa dilakukan adalah model penguatan pada aspek psikomotorik seperti dalam taksonomi Bloom. 22 Bentuk motivasi yang spesifik adalah mendorong siswa untuk melakukan sendiri berbagai aktivitas yang berkaitan dengan aspek Fiqih. Seperti berwudlu, shalat berjama’ah, praktek zakat, haji dan sebagainya. Dengan aktivitas yang langsung dilakukan siswa, guru menjelaskan makna dasar dari setiap aktivitas tersebut, kenapa hal tersebut penting dilakukan dan apa yang bisa diambil manfaat dari aktivitas-aktivitas tersebut. Penjelasan ini bisa dilakukan dengan metode modeling the way (membuat contoh praktek), practice-rehearsal pairs (praktek berpasangan), atau catatan terbimbing. 23 Dilihat dari Taksonomi Bloom, aspek Fiqih lebih menekankan pada aspek psikomotor dan kognitif. Maka model Bloom tipe yang bisa ditekankan adalah pada kemampuan P2 dan P3, peniruan dan pembiasaan. 24 Namun demikian aspek pemahaman yang ada pada ranah kognitif juga harus menjadi perhatian. Sebab aspek psikomotor P2 dan P3 belum bisa terlaksana bila siswa belum memahami konsep dasar tentang materi Fiqih. 25 Sebagai contoh SK kelas VII semester 1 tentang “Memahami ketentuanketentuan thaharah (bersuci)” siswa diajak untuk memahami lebih dulu tentang pengertian thaharah atau kompetensi C2 26 dan kemudian siswa diharapkan
22
Kenneth D. Moore merumuskan beberapa indikator menyangkut tiga taksonomi Bloom dalam Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Kecana 2004), 140, baca juga Richard Kindsvatter, William Wilen, Margaret Ishler :Dynamics of Effective Teaching, (New York : Longman Publisher, 1996), 161-163 23
Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani,Strategi Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta : Insan Madani, 2008), 32, 76, 81. Baca juga Thoifur, Menjadi Guru Inisiator, (Kudus : Rasail, 2008), 55-70. 24
Lihat Bab II hal. 55
25
Lihat Bab II hal 53-54.
26
Lihat Bab II hal 53
148
mampu mengerjakan sendiri tatacara thaharah setelah melihat, meniru dan kemudian membiasaan atau kemampuan P2 dan P3. Motivasi yang bisa diterapkan dalam kegiatan learning cycle adalah memberikan reward bagi siswa yang bisa memeragakan tatacara bersuci dengan benar. Sementara model learning cycle yang bisa digunakan adalah pemodelan pada fase eksplorasi dan elaborasi. 27 Hal tersebut perlu diperkuat juga dengan LKS yang harus disiapkan guru untuk memandu aktivitas siswa.
D.
Penerapan Motivasi dan Learning Cycle pada aspek Tarikh Dalam pembelajaran sejarah, maka aspek interpretasi, analisis, kritik
interen dan ekstern serta sintesis dari fakta sejarah menjadi penting dilakukan. 28 Seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran sejarah atau tarikh harus memperhatikan hal tersebut. Siswa didorong atau dimotivasi untuk menemukan interpretasi dari fakta-fakta sejarah yang mereka temukan melalui bacaan. Intrepretasi tersebut dilakukan dengan melakukan analisis atas fakta sejarah tersebut secara objektif. Merujuk pada Taksonomi Bloom, aspek Tarikh dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP, lebih menekankan pada aspek kognitif dan afektif. Lebih khusus lagi sebenarnya adalah bagaimana siswa dipandu untuk menemukan makna dan spirit dari berbagai peristiwa sejarah yang terjadi. Sebagai contoh “Memahami sejarah Nabi Muhammad Saw” pada semester 1 kelas VII memiliki nilai untuk menanamkan semangat perjuangan Nabi Muhammad yang menyebarkan persamaan derajat dan rahmatan lil alamin. Aspek sejarah memang memiliki keunikan tersendiri dalam proses pembelajaran. Guru dituntut untuk memiliki kemampuan menyampaikan 27
Lihat bab II sub bab learning cycle hal 43-45, baca juga LC 5E Rodge W Bybe, et all, The BSCS 5E Instructional Model : Origins, Effectiveness, and Application, 3 28
Makalah Mukhlis :”Prawacana Metode dan Pembelajaran Sejarah” diakses dari http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/prawacanapenelitian-dan-pembelajaran-sejarah.pdf pada tanggal 2 September 2010.
149
semangat atau spirit dan makna yang terkandung di dalamnya dengan cermat. Pasalnya, dalam materi sejarah hanya ada teks yang berbicara tentang peristiwaperistiwa yang terjadi. Sementara spirit dan maknanya harus digali sendiri oleh guru dan siswa. Aspek C1, C2 dan C3 termasuk C4 29 diharapkan bisa dikuatkan sebagai bagian dari aspek kognitif dalam pembelajaran sejarah ini. Motivasi dan learning cycle yang bisa diterapkan dalam pembelajaran aspek sejarah bisa dilakukan dengan berbagai macam kegiatan. Seperti role play, kecakapan berpikir sintesis kreatif model jurnal kata, peta konsep, portofolio bernotasi dan lainnya. 30 Strategi, metode dan model pembelajaran yang digunakan tersebut tetap merujuk kepada penguatan nilai yang ingin ditanamkan kepada siswa. Sementara motivasi yang dibangun adalah menangkap spirit dari setiap peristiwa sejarah yang terjadi. Termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan learning cycle melalui berbagai aktivitas yang diintegrasikan LKS. Aspek Tarikh dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP memiliki tugas untuk menguatkan maqa>s}id al-shari>‘ah khususnya menyangkut hubungan manusia dengan agamanya, dengan nabinya, dengan Allah, dan dengan sesama manusia termasuk dengan tanah airnya. Dalam konteks hubungan vertikal (habl min Alla>h) maupun hubungan horizontal (habl min al-Na>s wa habl min al-‘As}id al-shari>‘ah. 31
29
Lihat Bab II hal 53-54
30
Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani,Strategi Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta : Insan Madani, 2008), 158-171. 31
Lihat Bab III hal 72
150
BIOGRAFI Nama
: Mahnan Marbawi
Tempat Tanggal Lahir: Cirebon, 31 Oktober 1973 Tempat Tugas
: SMP Negeri 280 Jakarta Jl. Cilacap No 5 Menteng Jakarta Pusat
Istri
: Komariah (32)
Anak
: Ishfahani Qotrun Nada (10), Nur Ainun Nufus (4) Muhammad Zidan Afriansyah (1,5)
Pendidikan
:
1. SD Negeri Lewidingding
tahun 1986
2. MTs AI Mertapada Cirebon tahun 1989 3. MAAI Mertapada Cirebon
tahun 1992
4. STAIN Cirebon
tahun 1999
Pengalaman Organisasi
:
1. Fasilitator pada program AIBEP (Australi Indonesia Basic Education Program) tahun 2007-2010 2. Tim Teknis pada Direktorat Pembinaan SMP Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2007-2009 3. Sekretaris Jenderal DPP AGPAII (Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia) tahun 2007-2012.
159
Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan A. Translitersi ء = ` ز = z ق = q ب = b س = s ك = k ت = t ش = sh ل = l ث = th ص = ṣṢ م = m ج = j ض = ḍḌ ن = n ح = ḥḤ ط = ṭṬ و = w خ = kh ظ = ẓẒ ﻩ = h د = d ع = ‘ ي = y ذ = dh غ = gh ة = t ر = r ف = f Mad dan Diftong 1 ﺁ a panjang = ā 2 إي i panjang = Ī 3 او u panjang = ū 4 diftong أو = Au ا ّو = uw ْأي = Ai ي ّ إ = Iy 5. Huruf “ ”الditulis al- seperti “ ”اﻟﺤﻤﺪditulis al-Ḥamdu 6. Nama orang, nama-nama dan istilah-istilah yang sudah dikenal di Indonesia tidak masuk dan tidak terkait dengan pedoman ini, contoh: Fatimah, fitnah, shalat, dan lain-lain. B. Singkatan-singkatan: H. = Hijrīyat M. ra = Raḑīyallāhu‘anhu t.th. Saw. = Ṣallallāhu ‘alaihi wasallamt.p. t.t. SWT. = Subhānahū wa Ta’ālā
= Masehi = tanpa tahun = tanpa penerbit = tanpa tempat
x
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zaenal. “Motivasi dalam Strategi pembelajaran Dengan Pendekatan ARCS, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta”. Journal SUHUF, Vol. XVIII, No. 02/Nopember 2006. Ahmad, Muhammad Abduh, & Ibrahim, Mustofa Abdullah, Tadri<s altarbi
Personality
Theories.
Brown, James Dean. “What Issues Affect Likert Scale Questionnaire Formats?”, University of Hawaii at Manoa : Journal JALT & Evaluation SIG Newsletter, April, 2000. Budianingsih, Asri, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Budiman, Michael dan Albert, Daniel Y. A. “Student E-Learning Intrinsic Motivation”. Journal CAIS, 2007, volume 19. Budiman, Didin. “Perbandingan Pengaruh Pemberian Umpan Balik Positif (positive feedback) dan umpan balik betral (neutral feedback) dalam Pembelajaran Penjas Terhadap Pembentukan Konsep Diri Yang Positif Siswa SD”, diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FFPOK/JUR.PEND.OLAHRAGA/DIDINBUDI MAN/Journalsept08.pdf pada tanggal 17 Juni 2010. Bybee, Rodger W. & Taylor, Joseph A. et all,. The BSCS 5E Instructional Model: Origins, Effectiveness, and Applications. Colorado :Springs, BSCS, 2006. Coon, Denis. Introduction to Psychology : Exploration and Application. Ottawa : St Paul, 1983, Daradjat, Zakiah Dkk. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta :Bumi Aksara, 2008. 153
Djunaedi, Achmad. “Pengantar : Apakah Penelitian Itu?, makalah mata kuliah Pengantar Metodologi Penelitian pascasarjana,” http://mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a01metlit-pengantar.pdf diakses tanggal 10 Mei 2010. Foley, Dave, Ultimate Classroom Control handbook, Indianapolis : Harvard University, 2007 Goldberg. “A developmental investigation of intrinsic motivation : Correlates, causes, and cosequenses in high ability students”. Doctoral dissertation, University of Virginia, 1994. Gredler. Learning and instruction : Theory into practice. (4nd ed.). Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. In Broussard, S. C. 2002). The Relationship Between Classroom Motivation and Academic Achievement in First and Third Graders. Graduate thesis, The School of Human Ecology, Louisiana State University, 2002). Internet Access : etd.lsu.edu/docs/available/etd-1107102185505 /unrestricted / Broussard_thesis.pdf diakses pada tanggal 10-11-09 Harianti, Diah. “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama,” bagian D. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum, poin 1, (Puslitbang Pusat Kurikulum Depdiknas, 2007. Harlen, Wayne & Crick, Ruth Deakin. “Testing and Motivation for Learning, Graduate School of Education, Assessment in Education”, Journal Assassment in Education Vol.10, No.2 July, 2003. Harsiati, Titik. “Learning Cycle dalam workshop AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Programs)”, 2007. Hidayat. “Identifikas hambatan Perkembangan Belajar dan Pembelajaran, disampaikan pada Workshop "Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) & Strategi Pembelajarannya“ (Balikpapan 25 Oktober 2009 – Hotel Pacific). Hill, Winfred. F. Theories Of Learning : Teori-teori Pembelajaran, Terj; M.Khozin. Jakarta: Nusa Media, 2009. Interfidei, “Ringkasan Laporan : Penelitian Problematikan Pendidikan Agama: Penelitian di sekolah-sekolah SD, SMP, SMA dan SMK di Jogja 20042006”, Jogjakarta : Interfidei, 2006. Ibrahim, Abu Ishak bin Musa, Ál-muwaffaqat, Kairo, Da>r al-fikr,790 H Karwono, “Pengaruh Pemberian Umpan Balik dan Locus of Control Terhadap Kemampuan Mahasiswa dalam Mengelola Pembelajaran Mikro (Studi Eksperimen pada Mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Metro 154
Lampung)”, hasil penelitian ini disampaikan pada seminar nasonal UMM Lampung. Kerlinger, Fred N. Asas-Asas Penelitian Behavioral.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996. Kiranawati. Makalah : Prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar : panduan pembelajaran efektif, Januari, 2008. Kolb, David A. & Boyatzis, Richard E. Experiential Learning Theory: Previous Research and New Directions. dalam R. J. Sternberg and L. F. Zhang (Eds.), Perspectives on cognitive, learning, and thinking styles. NJ: Lawrence Erlbaum, 2000. Kristianty, Theresia. “Pandangan-pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme tentang Pemerolehan Bahasa Pertama”. Journal Pendidikan Penabur No.06/Th.V/Juni 2006. Kurniahadi, Kusdian. “Penelitian : Pengaruh Metode Perubahan Konseptual (Conceptual Change Methodes) dalam Setting Model 5 E Terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA Lan Undhiksha Singaraja”. Fak.Pendidikan MIPA Univ. Udayana, 2006. Lovorn, Michael G. “Humor in the Home and in the Classroom: The Benefits of Laughing While We Learn”, Journal of Education and Human Development: California State University, Long Beach, Volume 2, Issue 1, 2008, ISSN 1934-7200, 6. Makmun, Abin Syamsuddin. Remaja, 2003.
Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Mar’i, Taufiq Ahmad. dan Alhilliyah, Muhammad Mahmud, T{arāiq al-Tadrīs al-Ammat. Kairo, Darul Masirāt, 2005. Muflihin, Muh. Hizbul. “Aplikasi dan Implikasi Teori behaviorisme Dalam Pembelajaran (Analisis Strategi Inovasi Pembelajaran”. Khazanah Pendidikan : Journal Ilmiah Pendidikan, Vol I, No. 1, Maret 2009. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo, 2009. Muhaimin, “Analisis Kritis Terhadap Permendiknas No. 23/2006 tentang SKL & No. 22/2006 tentang Standar Isi PAI di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA”, Makalah disampaikan pada Workshop Penilaian PAI pada Sekolah Depag. Bogor, Depag, 2007. 155
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran.Bandung : Mizan, 1995. Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2009. Nevin, John A. “Analyzing Thorndike’s Low Of Effect: The Question of Stimulus-Respons”, Journal of The Experimental Analysis Of Behavior, University of New Hampshire, 1999. Othman , Abdul Jalil dan Omar Bahtiar. “Aplikasi Pembelajaran Secara Konstruktivisme Dalam Pengajaran Karangan Berpadu”. Jurnal “Masalah Pendidikan”, Universitas Malaya, 2005. Pintrich, Paul R. dan Schunk Dale H. Motivation in Education, Theory, Research, and Applications. Ohio : Prentice-Hall Columbus Ohio, 1996. Pujadi, Arko. ”Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Mahasiswa”, Journal Bussines & Management Bunda Mulia Volume 3, No 2 September 2007 Pujiastuti, Syntia. ”Pentingnya Pertanyaan dalam Proses Pembelajaran”, diakses dari http://www.sd-binatalenta.com/arsipartikel/artikel_tya.pdf pada tanggal 15 Juni 2010. Pusat Kurikulum Depdiknas, Standar Kompentensi Mata Pelajaran Agama Islam Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyyah. Jakarta: Depdiknas, 2004. Rosyada, Dede. Paradigman Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2004. Sagala, Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta, 2008. Santyasa, I Wayan. Makalah “Landasaran Konseptual Media Pembelajaran” , disajikan dalam Worh Shop Media Pembelajaran bagi Guru-Guru SMAN Banjarangkan Klungkung. Sardiman, A.M. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008. Senjaya, Wina. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008. Setiawan Wawan,& Indrawati. “Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan Untuk SD”, Jakarta: P4TK IPA, 2009. Settlage, John &, Shotherland, Sherry A. Teaching Science to every Child : Using Culture as a starting Point. Wasingthin, D.C. : The National Academios Press, 2007.
156
Siberman, Melvin L. Active Learning: 101 Strategia to Teach Any Subject, penerjemah Sarjuli dkk.Yogyakarta : Pustaka Insan Madani-Yappendis, 2002. Sihombing, Sabrina Oktaria, “Hubungan Sikap dan Perilaku Memilih satu Merek : Komparasi antara Theory of Planned Behavior and Theory of Trying”, Disertasi Universitas Gajah Mada, 2004. Soekamto, Toeti dan Winataputra, Udin Saripudin. Teori Belajar dan ModelModel Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas, 1997. Solihatin, Etin & Raharjo. Cooperative Learning; Analisis Model Pembelajaran IPS, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Stavraki, Maria G.The role of affect in attitude change through advertising. Athens University of Economics & Business : Department of Marketing & Communication, 2007. Subandowo, M. “Peningkatan Produktivitas Guru dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pada Era Global”. Khazanah Pendidik ; Journal Ilmiah Kependidikan, Vol 1, No. 2 Maret 2009. Sudrajat, Ahmad. ”Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik dan Model Pembelajaran”, www.akhamdsudrajat.blog diakses tanggal 2 Januari 2010. Supriawan, Dedi dan Surasega. A. Benyamin. “Strategi Belajar Mengajar”, Diktat Kuliah. Bandung: FPTK-IKIP Bandung, 1990. Susilana, Rudi. “Model-Model Pembelajaran berdasarkan Teori Belajar”, Makalah kuliah FAK Ilmu Pendidikan, dalam bentuk power point”. Bandung: UPI, 2009. Sutikno, M. Sobri. ”Peran Guru dalam Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa”, makalah seminar pendidikan. Syaerozi, Arwani. Makalah : “Para Pionir Kajian maqāṣiḍu al-shari’at”, Cirebon : Fahmina Institute Cirebon,2007. Tafsir, Ahmad. Makalah Pendidikan Agama Islam di Sekolah, tanpa keterangan tempat dan tahun. Thoifur. Menjadi Guru Inisiator. Jakarta : Rasail Media Group, 2007. USAID, What Is Active Learning (WIAL) Panduan untuk Fasilitator, DBE 2008, hal 15. Usman, Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta : Ciputat Pers, 2002. Usman, Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta : Ciputat Pers, 2002. 157
Vroom, Victor. “Motivation and Management, Expectancy Theory’s Vroom”, diakses dari www.valuebasedmanagement.com pada tanggal 12 Desember 2008. Wilen, William & Ishler, Margareth. Dynamics of Effective Teaching. New York : Longman Publisher, 1996. Yulia, Anna. Working Mom & Kids. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007. Zaini, Hisyam dkk,. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008. Zainuddin, M. Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial. Jakarta: UIN Press, 2007.
158