BAB IV ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SERAT WULANGREH DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Konsep Pendidikan Karakter dalam Serat Wulangreh Serat Wulangreh merupakan karya sastra Jawa klasik yang ditulis Sri Susuhunan Pakubuana IV pada abad ke 18 di Surakarta Hadiningrat yang berisi ajaran-ajaran budi pekerti yang berbentuk tembang macapat atau nyanyian yang dimasukkan dalam rumpun macapat. Ajaran budi pekerti yang terdapat dalam Wulangreh ini, bukanlah ajaran budi pekerti yang didapat dengan teoritis belaka akan tetapi budi pekerti yang dicapai dengan praktik atau latihan-latihan, baik melalui olah pikir, olah rasa, dan olah raga agar manusia menemukan realitas yang sebenarnya, mencapai kesempurnaan dan pengetahuan tertinggi yaitu rasa jati. Pandangan hidup orang Jawa dalam pencarian kebenaran tertinggi penekananya tidak hanya pada penumpukan pengetahuan kognitif, akan tetapi menggunakan kesadaran dan penghayatan batiniah. Orang Jawa memandang manusia terdiri dari dua dimensi yaitu lahir dan batin, dimensi lahir yaitu untuk mengetahui dunia objektif yang diterima dari panca indera sedangkan dimensi batin untuk mengetahui pengetahuan subjektif yang diperoleh melalui penghayatan-penghayatan ruhani. Pandangan seperti inilah yang mewarnai pemikiran Pakubuana IV yang dituangkan dalam Serat Wulangreh
66
67
sebagai wejangan untuk para putra wayahnya dalam menempuh kebenaran tertinggi. 1. Landasan Pembentukan Karakter Dalam mengerjakan suatu perbuatan, pasti ada suatu dasar (pedoman) yang dijadikan sebagai landasan untuk melakukan perbuatan tersebut. Dalam Wulangreh, untuk menempuh perilaku luhur, Pakubuana IV memberi nasehat agar menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber ilmu dan landasan pembetukan karakter. Karena dalam al-Qur`an menurut Pakubuana IV tempat rasa yekti sebagai
sarana untuk kesempurnaan hidup. Dalam pupuh
dhandhanggula bait 3 dijelaskan: Jroning kur’an nggoning rasa yekti Nanging ta pilih ingkang uninga Kajaba lawan tuduhe Nora kena den awur Ing satemah nora pinanggih Mundhak katalanjukan Tedah sasar susur Yen sira ayun waskitha Sampurnane ing badanira puniku Sira anggugurua Artinya: Dalam Qur’an tempat rasa yang benar Tapi pilihlah yang kau ketahui Kecuali dengan petunjuknya Tak boleh diacak Yang akhirnya tidak ditemukan Akhirnya terlanjur Petunjuknya kacau balau Bila kau ingin tahu Kesempurnaan diri ini Kau pelajarilah.
68
Dari penggalan pupuh di atas, menunjukan bahawa dalam al-Qur`an sebagai tempat rasa yang hakiki, di dalamnya terdapat segala aturan kehidupan manusia yang bisa dijadikan pedoman untuk kesempurnaan hidup. Adapun dalam mempelajari al-Qur`an, pada baris ke empat sampai tujuh pada penggalan pupuh di atas, agar dalam mempelajari al-Qur`an tidak boleh sembarangan dengan diacak-acak, harus melalui guru sehingga tidak rusak. Bila tidak melalui guru menjadi rusak segala aturan, akhirnya tidak memperdulikan ajaran agama, batal haram ditinggalkan. Dalam pupuh Asmaradana bait 4 juga dijelaskan bahwa al-Qur`an dan al-Hadis sebagai penerang jiwa Parentahira hyang widi Kang dhawuh maring nabiyolah Ing dalil kadis enggone Aja na ingkang sembrana Rasakna den karasa Dalil kadis rasanipun Dadi padhanging tyasira Artinya: Perintah tuhan Yang disampaikan lewat nabi kita Dalam dalil hadis tempatnya Jangan sampai ada yang gegabah Rasakan rasanya itu Isi dalil hadisnya Sebagai sesuluh batinmu. Dalam penggalan pupuh di atas
kata rasakna den karasa diartikan
rasanya rasa itu. Akan tetapi menurut penulis kata rasakna sebenarnya berasal dari kata rasa dengan imbuhan na menjadi rasakna yang menujukkan arti perintah artinya perintah untuk merasakan, sedangkan kata den artinya
69
sampai, kemudian kata karasa berasal dari kata rasa dengan imbuhan ka pada awal kata menjadi karasa yang artinya terasa jadi kata rasakna den karasa adalah penegasan untuk menghayati al-Qur`an dan al-Hadis secara mendalam sampai terasa dalam hati (rasa) seseorang karena al-Qur`an dan al-Hadis dadi padhanging tyasira (jadi penerang hatimu). Al-Qur`an sepenuhnya berorientasi untuk kepentingan manusia. Dialah mata air yang kepadanya berpokok segala mata air yang diminum, untuk menetapkan hukum dan menerangkan segala keperluan manusia, al-Qur`an sebagai tempat pengambilan yang menjadi sandaran segala dasar cabang, yang menjelaskan pranata susila yang benar bagi kehidupan manusia. AlQur`an berisi aturan yang sangat lengkap dan tidak punya cela, mempunyai nilai universal dan tidak terikat oleh ruang dan waktu, nilai ajarannya mampu menembus segala dimensi ruang dan waktu.1 Bagi umat Islam, al-Qur`an adalah kitab suci yang tidak diragukan lagi kebenaranya. Al-Qur`an adalah wahyu yang berasal dari Allah, disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Kitab suci ini dijadikan pedoman hidup untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.2 Dengan memahai dan menghayati nilai-nilai al-Qur`an akan melahirkan watak, karakter, dan akhlak yang mulia, sebagai mana yang dituntunkan oleh kitab suci ini. Akhlak Nabi adalah al-Qur`an, karenanya sangat mulia. Oleh
1
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 154. Imam Suprayogo, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Malang: UIN MALIKI Press, 2013), hlm. 71. 2
70
sebab itu, semestinya dalam membangun akhlak bangsa, khususnya bagi kaum muslimin, tidak ada jalan lain kecuali melalui al-Qur`an. Masyarakat benar-benar didekatkan dengan kitab sucinya ini.3 2. Pembinaan dan Pengembangan Karakter Karakter yang baik (akhlak al-karimah) tidak serta merta langsung ada pada seseorang dengan sendirinya namun harus melalui usaha keras seperti yang dikatakan al-Ghozali, untuk menempuh akhlak yang baik harus melalui dua usaha yaitu dengan riyadhoh dan mujahadah untuk mengekang hawa nafsu dan dengan membiasakan amal shalih. Dalam pandangan leluhur Jawa untuk memiliki karakter yang baik harus melalui laku tapa brata, semadi, tirakat atau laku prihatin. Laku tersebut dilakukan dengan dua cara yaitu; mesubudi (membersihkan pekerti, kelakuan dengan mengekang hawa nafsu) dan mesuraga (membersihkan badan dari kotoran dan segala unsur negatif), dengan cara mengurangi makan, minum, tidur, dan mengendalikan segala nafsu lahir maupun batin, dan meningkatkan iman dan takwa kepada Allah semata, semua itu ditempuh untuk hamemasah, hamemasuh tajaming kalbu (mengasah mensucikan ketajaman kalbunya) agar dapat mencapai kewaskhitaning cipta (kewaskitanya cipta, intelegency hati atau batin dan ruh) agar bisa menagkap nir (bersit cahaya) batin dan nir cahaya ciptanya.4 Anjuran mengendalikan nafsu dalam Serat Wulangreh dijelaskan dalam beberapa pupuh dibawah ini: Padha gulangen ing kalbu 3 4
20
Ibid., hlm. 72. Budi Herusatoto, Konsepsi Spiritual Leluhur Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm.
71
Ing sasmita amrih lantip Aja pijer mangan nendra Ing kaprawiran den kesthi Pesunen sariranira Cegahen dhahar lan guling (kinanti 1) Artinya: biasakan dalam hatimu dalam gelagat agar cerdik jangan sering makan dan tidur dalam keperwiraan pikirkanlah rajinkanlah dirimu kurangilah makan dan tidur. Dipun sami ambanting sariranira Cegah dhahar lan guling Darapon suda Nepsu kang ngambra-ambra rerema ing tyasireki dadi sabarang karsanira lestari (Durma 1) Artinya: Bantinglah tubuhmu Kurangilah makan dan tidur Agar berkurang Marah yang meluap-luap Rendahlah dalam hatimu itu Segala sesuatu Kehendak menjadi lestari Dari penggalan pupuh di atas menunjukkan bahwa manusia dituntut untuk mengontrol dirinya dengan cara mengendalikan nafsu agar mudah tanggap akan isyarat batin dan segala perbuatan dan tingkah lakunya menjadi lestari sesuai dengan aturan. Hal serupa juga dikatakan oleh Asy-Syafi`i dalam Ihya Ulummudinya al-Ghozali, bahwa saya tidak kenyang-kenyang sejak umur enam belas tahun karena kenyang itu memberatkan badan,
72
mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, menyebabkan tidur dan menjadi malas untuk beribadah.5 Nafsu dianggap perasaan kasar, siapa yang membiarkan diri dikuasai olehnya berarti dikemudikan dari luar, dia memboroskan kekuatan batinnya dan menimbulkan kesan yang kurang sedap. Manusia yang diombang-ambing oleh nafsu-nafsunya dinilai sebagai kurang kontrol diri, dia tidak dapat menyesuaikan diri dengan tata aturan yang ada dan tidak memiliki kekuatan untuk memusatkan kekuatan batin.6 Menurut Simuh dalam buku Mistik Islam Kejawen R. N. Ranggawarsita, Nafsu adalah sebagai kekuatan batin yang mendorong kearah berbagai macam watak. Nafsu sebenarnya ada satu akan tetapi disebut empat macam yaitu; 1) Nafsu lawwamah berarti angangsa, menimbulkan dahaga, kanthuk, lapar, dan sebagainya. Tempatnya dalam perut, lahirnya dari mulut, diibaratkan sebagai hati yang bersinar hitam. 2) Nafsu amarah artinya garang, memiliki watak angkara murka, iri, pemarah, dan sebagainya, bersumber di empedu, timbul dari telinga, ibarat hati bersinar merah. 3) Nafsu
sufiyah
artinya
birahi,
menimbulkan
watak
rindu,
membangkitkan keinginan, kesenangan dan sebagainya. Bersumber dari limpa, timbul dari mata, ibarat hati bersinar kuning.
5 6
Imam al-Ghozali, Ihya’ Ulummudin jilid I, (Semarang: Asy-Syifa’, 2003), hlm. 76. F. Magnis Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1984) , hlm.123
73
4) Nafsu mutmainah artinya ketentraman, mempunyai watak loba akan kebaikan, keutamaan, dan keluhuran, misalnya berpuasa tapa brata tanpa mengenal batas kemampuan. Sumbernya dari tulang, timbul dari hidung, ibarat hati bersinar putih.7 Adapun nafsu dalam Wulangreh yang membahayakan manusia ada dua macam, yaitu nafsu lawwamah (keinginan hati) dan nafsu amarah (nafsu angkara murka).8 Dijelaskan dalam pupuh pangkur bait 11 nadyan wes kathekanan karepanee nora marem saya banjur luamah lawan amarah iku ingkang den tutwuri (walaupun keinginannya sudah tercukupi, tidak akan pernah merasa puas sehingga lawwamah dan amarah yang dituruti). Jika merujuk pada pendapat Simuh di atas, penyebutan nafsu lawwamah dan nafsu amarah dalam pupuh pangkur bait 11, sejalan dengan nasihat yang diberikan dalam pupuh kinanthi bait 1 dan pupuh durma bait 1 terkait larangan untuk mengurangi makan, minum, dan mengekang nafsu yang meluap-luap dalam melatih ketajaman mata batin. Nafsu lawwamah inilah yang mendorong manusia sering makan dan minum yang berlebihan sehingga menimbulkan kantuk dan suka tidur karena letak nafsu lawwamah ini berada dalam perut manusia. Sedangkan nafsu amarah yang mendorong manusia untuk berbuat kejelekan seperti iri hati, drengki, suka marah dan menghina orang lain. Hal serupa juga dikatakan oleh F. Magnis Suseno, untuk belajar menguasai nafsu-nafsunya manusia hendaknya berusaha dalam dua arah. Pertama hendaknya selalu berusaha untuk menumpulkan dorongan-dorongan 7
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UI Press,1988),
hlm. 340. 8
Darusuprapta, Serat Wulangreh, (Surabaya: CV. Citra Jaya, 1985), hlm. 52.
74
hati dan kecondongan-kecondongan naluriah. Oleh karena itu manusia selalu berusaha mempertahankan keseimbangan batin dan menunjukan diri selalu tenang, halus, terkontrol, rasional, dan berkepala dingin. Tujuanya adalah untuk mencapai keadaan kestabilan batin gembira yang permanen.9 Olah batin seperti ini menurut sebagian sarjana dari Barat seperti Niels Mulder dianggap sebagai laku kebatinan yang merupakan inti dari kehidupan kejawen, yaitu pengembangan hidup batin dan diri yang terdalam seseorang. Diri terdalam itulah yang sebenarnya menyusun mikrokosmos yang paling sejati dari kehidupan yang meliputi segala-galanya.10 Bentuk dorongan batin yang terdapat pada manusia juga berupa sok kuasa, mengandalakan pangkat, dan merasa paling hebat. Dalam Wulangreh digambarakan dengan sifat adigang, adigung dan adiguna. Ketiga sifat itu menurut Pakubuana IV harus dihindari. Seperti dijelaskan dalam pupuh gambuh bait 4 di bawah ini; Ana pocapanipun adiguna adigang adigung pan adigang kidang adigung pinasti adiguna ula iku telu pisan mati samyoh. Artinya: Ada peribahasa Adiguna adigang adigung Adigang lambang kijang adigung gajah Adiguna gajah Ketiga itu pasti mati semua
9
F. Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 123. Cristina S. Handayani dan Andrian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 52 10
75
Sifat adigang yang melambangkan kijang. Artinya, kijang itu mengandalkan gesitnya pada waktu melompat. Adiguna adalah lambang gajah. Artinya, gajah itu mengandalkan kebesaran dan kehebatan tubuhnya, sedangkan adiguna adalah lambang ular. Artinya, ular itu melambangkan kemujaraban racun pada bisanya. Maksudnya dari semua itu agar seseorang meninggalkan sifat mengandalkan keturunan orang berpangkat dan terhormat baik dari kalangan bangsawan maupun intelektual, meninggalakan sikap dirinya paling kuat dengan membanggakan kehebatan fisiknya, meninggalak sikap membanggakan kemapuanya, kepintaranya karena semua itu hanay mengantarkan seseorang kepada kesombongan, padahal manusia itu nantinya akan mati semua.11 Selain sikap adigang, adigung, dan adiguna. Ada juga watak yang harus dijauhi yaitu lunyo, lemer, genjah, nyumur gumiling, ambuntut arit, pemabuk, menghisap candu, komersil, dan berjudi. Dijelaskan dalam beberapa pupuh di bawah ini: Aja lunyu lumur genjah, angrong prasanakan nyumur gumuling, ambubuti arit puniku, watak kang tan raharja, (pangkur 14) Artinya: Jangan lonyo lemes genjah Angrong pasanakan nyumur gumiling Ambuntut arit itu Watak yang tidak baik. Anu cacat agung malih, anglangkungi saking awon, apan sakwan iku akeh pun, 11
Darusuprapta, Serat Wulangreh, (Surabaya: Citra Jaya, 1985), hlm. 51.
76
dhingin wong madati, pindho wong ngabotohan, kaping tiga wong durjana. (wirangrong 10) Kaping sakawane ugi, wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing rina lan wengi, mung batine den etang, alumuh lamun kalonga. (wirangrong 11) Lawan ana waler malih, aja sok anggung kawuron, nginum sajeng tanpa masa iku, dadi lire ugi, angombe saben dina, pan iku watake ala. (wirangrong 23) Artiny: Ada cela yang besar jua lebih dari jelek jumlahnya ada empat pertama orang madat kedua orang berjudi ketiga orang jahat (wirangrong 10) Keempat juga orang pedagang yang jelek yang suka kaya wataknya di siang dan malam haya menghitung keuntungan tak mau bila dikurangi (wirangrong 11) Dan ada pantangan juga jangan suka sombong dan mabuk minum tuak tanpa aturan hal mana sesungguhnya dia minum setiap hari itulah watak yang jelek (wirangrong 23) Sikap lonyo (tidak berketetapan hati), lemer (serba ingin), genjah (tak dapat dipercaya), angrong pasanakan (mengganggu istri orang), nyumur gumiling (tidak menyimpan rahasia), mbuntut arit (baik dibelakang),
77
berjudi, mabuk, komersil hanya menghantarkan manusia pada kenistaan, membuat pikiran tak seimbang, menjadikan pemalas, menjadikan manusia sombong,
hanya
memuaskan
hawa
nafsu,
menjadikan
manusia
menggantungkan makna hidupnya pada hal-hal yang bersifat materi. Adapun sikap yang harus dimiliki manusia di dunia ini menurut Pakubuana IV yaitu rereh, ririh, ngati-ati. Maksudnya rereh yaitu sabar dalam bertingkah, ririh yaitu tidak tergesa-gesa, perlahan-lahan. Ngatiati yaitu hatihati dalam betingkah laku. Ada juga watak yang harus dimiliki manusia yaitu, deduga, prayoga, watara, riringa. Deduga yaitu mepertimbangkan segala sesuatu sebelum bertindak, prayoga yaitu mempertimbangkan hal-hal yang baik sebelum bertindak, watara yaitu mengira-ngira sesuatu secara mendalam, riringa yaitu berhati-hati dan waspada segala sesuatu yang belum ada kepastian. Tutur Pakubuana IV dalam pupuh gambuh bait 9 dan pangkur bait 2 di bawah ini: Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngatiati, den kawang-kawang barang laku, den waskitha solahing wong. (gambuh 9) Artinya: orang hidup itu jangan menganggap ketiganya itu lakukanlah secara pelan dan hati-hati pandanglah semua ulah perhatikan tingkah orang lain Deduga lawan prayoga, myang watara reringa aywa lali, iku parabot satuhu tan kena tininggala, tangi lungguh angadeg tuwin lumaku
78
angucap meneng myang nendra, duga-duga aja kari (pangkur 2) Artinay: Kira-kiralah dengan baik Jangan lupa pada keseganan Itu perangkat yang baik Tak boleh ditinggalkan Bangun duduk berdiri dan berjalan Berkata diam dan tidur Sopan santun jangan tinggalkan Dari penjelasan beberapa pupuh di atas menegaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari harus memiliki sikap kehati-hatian dan selalu waspada sebelum berintindak, mempertimbangkan baik buruknya terlebih dahulu sebelum bertindak. Dengan demikian dalam menjalankan hidup menurut Pakubuana IV harus dengan penghayatan dan kesadaran dalam menjalankan hidup dan memperhatikan sopan santun. Semua perilaku tersebut dilakukan dengan sabar penuh penghayatan dan kesadaran diri, dengan belajar prihatin dalam bersuka ria, bersuka dalam prihatin, bersakit dalam sehat, bersehat dalam sakit, sampai pada matiraga, mati dalam hidup, hidup dalam mati.
Pan ana silih bebasan, padha sinauwa ugi, lara sajroning kapenak, lan suka sajroning prihatin, lawan ingkang prihatin, mana suka ing jronipun, iku den sinauwa, lan mati sajroning urip, ingkang kuna pan mangkono kang den gulang.(sinom. 10) Artinya: ada pula kiasanya belajarlah pula sakit dalam kenyamanan
79
gembira dalam keprihatinan dan yang prihatin memang gembira dalam hatinya itu pelajarilah dan mati dalam hidup kaum tua demikianlah yang dipelajarinya Bertolak dari pandangan pemisahan realitas fundamental yang terungkap dalam spekulasi dua alam yaitu makrokosmos dan mikrokosmos atau jagad gedhe dan jagad chilik atau sering juga disebut dengan alam lahir dan alam batin, alam lahir yaitu jasad kasar dan alam batin yaitu bentuk yang halus. Dengan demikian dalam pembinaan dan pengembangan karakter yang terdapat dalam Serat Wulangreh dengan cara mengontrol diri dengan laku tatasusila seperti di atas, laku tersebut dilakukan dengan cara mengontrol dorongan nafsu dan keinginan naluriahnya. Dalam mengontrol dorongan nafsu dengan cara mengurangi makan dan minum atau berpuasa, kemudian untuk mengontrol dorongan naluriahnya dengan cara meninggalkan
sikap adigang, adigung,
adiguna. Dengan demikian laku tersebut yang akan membuat manusia tanggap akan isyarat batin yang bersifat gaib. Laku tata susila tersebut nantinya akan membentuk kesadaran diri dan penghayatan akan pengetahuan dan nilai-nilai moral, kerendahan hati, empaty, cinta pada kebaikan yang pada intinya melahirkan sikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam bertindak dengan cara mempertimbangkan dan memikirkan sesuatu secara mendalam akan baik dan buruknya terlebih dahulu sebelum bertindak dan mengambil keputusan yang tepat. Maka dari itu laku tata susila seseorang yang akan membentuk watak, karakter atau akhlak pribadinya, dan kualitas hidup dirinya ditentukan dengan
80
laku tata susilanya dalam menuju kesempurnaan. 1. Tujuan Pendidikan Karakter dalam Wulangreh Tujuan dari pendidikan karakter dalam wulangreh agar
menemukan
kebenaran sejati dengan pamoring kawula gusti, sehingga dapat mengadakan hubungan dengan Tuhan secara terus menerus dan menerima petunjuknya sehingga menjadi tuntunan dalam tindakan sehari-harinya. Seseorang yang dalam posisi pamoring kawula gusti akan memiliki sikap-sikap terpuji, bisa dijadikan teladan bagi orang lain, Dalam dua baris terakhir bait 11 pupuh asmarandana juga dijelaskan dene wong kang wis luhung, anggone amengku mring bala den prih wedi sarta asih artinya sedangkan orang yang telah tinggi budinya cara memperlakukan kawan dengan jalan takut dan cinta.dihormati orang lain. Konsep pamoring kawula gusti dijelaskan dalam beberapa pupuh di bawah ini : Den bisa nampani padha, mungguh Sasmitaning Hyang suksma, ingkang dhawuh marang sira, wineruhken becik ala, anyegah karepanira, marang panggawe kang ala, kang tumiba siya-siya, iku peparing Hyang Suksma. (girisa 17) Artinya: Agar semua dapat menerima semua petunjuk tuhan yang memerintahkan kepdamu menunjukan baik dan buruk mencegah kemauan mu kepada tingkah yang jelek yang akan sia-sia itulah anugrah tuhan
81
Paring peling maring sira, tinuduhken ing dedalan, kang bener kang kanggo uga, ing dunya ingkang sampurna, mugi anak putu padha, anaa dadi tuladha, ing kabecikan manusa, tiniruwa ing sujalma. (girisa 18) Artinya: Mengingatkan kepada mu ditunjukkan kepada jalan yang betul yang dapat digunakan pula di dunia dengan sempurna agar anak cucu semua dapatlah dijadikan contoh kebaikan manusia ditiru oleh manusia Sakehing wong kepengin, nira solah bawanira, marang anak putu padha, anggepe wedi asih, kinalulutan bala, kadhepa saparentahnya, tulusa mukti wibawa, ing satedhak turunira. (girisa 19) Artinya: Agar semua tertarik meniru segala tingkah anak cucu semua berlaku takut hormat dicintai kawan-kawanya tunduk pada perintahmu tetap berwibawa dan bahagia atas semua anak cucunya Didohna saking duraka, winantuwa ing nugraha, sakehe anak putu padha, ingkang ngimanaken samya, marang pituture bapak, Alloh ayem badanana, ing pandonganingsun mapan, ing tyas ingsun wus rumasa. (girisa 20)
82
Artinya: Dijauhkan dari durhaka selalu mendapat anugrah semua anak cucu iman pula kepada nsihat ayah tuhan yang mengabulkan atas semua doaku dalam hatiku telah merasa Pandangan konsep tentang pamoring kawula gusti sudah melekat dalam pandangan hidup orang Jawa, sehingga apapun usahanya semu di arahkan
untuk
bersatu
dengan
Tuhanya
dalam
usaha
mencapai
kesempurnaan hidup. Tergambarkan dalam pupuh sinom bait 10 di bawah ini: Pamoring Gusti kawula pan iku ingkang sayekti dadine styo ludiro iku den waspada ugi gampangane ta kaki tembaga lawan mas iku linebur ing dahana luluh amor dadi siji mari nama kencana miwah tembaga Artinya: Bersatunya pencipta dan makhluknya itulah yang sesungguhnya jadilah mata darah yang waspada juga mudahnya anakku tembaga dan emas itu dilebur dalam api hancur luluh menjadi satu hilanglah sifat tembaga dan emasnya. Dengan demikian dalam pandangan hidup orang Jawa untuk mencapai kesempurnaan hidupnya segala usaha manusia di arahkan untuk kembali ke Tuhanya, karena Tuhan adalah sang sangkan sekaligus sang paran. Maka
83
orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah Sang Hyang Sangkan Paran artinya bahwa manusia itu berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan (sangkan paraning dumadi)
maka usahnya diarahkan untuk kembali
kepadanya. 12 Dalam pandangan orang Jawa seseorang yang sudah manunggal dengan gustinya dia akan mendapatkan petunjuk Tuhan yang dijadikan sebagai tuntunan hidupnya, sehingga sikap-sikapnya terjelma sikap-sikap Ilahi. Petunjuk Tuhan ini tidak bisa didapat dengan kemampuan cipta akal pikir manusia, melainkan oleh rasa dalam keheningan cipta, rasa dan karsa. Dijelaskan dalam baris terahir bait 2 pupuh dandhanggula yaitu: sasmithaning ngaurip puniki.... wruh ing rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen drapon samporneng diri, ing kauripan ira Artinya: Tanda petunjuk yang diperoleh dalam hidup ini diterima oleh rasa sejati usahakanlah kaumiliki rasa ini agar kau capai kesempurnaan hidup ini Rasa dalam pandangan hidup orang Jawa digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran subjektif, semakin tajam rasa seseorang maka semakin dekat dengan kebenaran sejati.13 Rasa adalah paham religius. Karena melalui rasa di dasar keakuan sekaligus terbuka kenyataan yang Ilahi. Dalam rasa keakuan mengalami dan melaksanakan kesatuanya dengan yang Ilahi. Dalam rasa realitas yang Ilahi seluruhnya membuka diri. Maka rasa itu 12 13
Yana MH., Op. Cit, hlm. 21 Cristina S. Handayani, Op. Cit., hlm
84
sekaligus berarti eling, ingat akan asal usul sendiri, yang Ilahi. Dalam rasa, orang Jawa mencapai kawruh sangkan paraning dumadi, pengertian tentang asal dan tujuan segala makhluk.14 Maka usaha mistik Jawa diarahkan pada penghalusan dan pendalaman rasa secara terus-meneruus. Untuk itulah tujuan manusia Jawa mengatur dan memperhalus segi-segi lahiriyah eksistensinya.15 Siapa yang menemukan keseimbangan batin melalui pengaturan segi-segi lahiriyahnya dan semakin mendalami realitas numinus alam semesta melalui penghalusan rasa, dia menurut paham Jawa mencapai keadaan yang dapat ditandakan dengan tiga istilah; dia sekaligus seorang raja, seorang wakil Allah (khalifatullah) dan seorang kesatria yang sekaligus merupakan guru rohani (satria pinandhito).16 Dengan demikian baik dan buruk tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma dalam bentuk keinginan dan dorongan-dorongan nafsu. Maka usaha yang dilakukan dengan penyadaran atau kesadaran jiwa. Maka dari itu karakter tidak lepas dari laku dalam menuju kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan semakin membentuk karakter pribadinya. Laku dalam menuju kesempurnaan dalam pandangan orang Jawa biasanya disebut dengan ngelmu (ilmu kasekten atau ilmu batin), Ngelmu dalam hal ini bisa disebut juga dengan kontrol diri, kesadaran diri dan penghayatan akan dirinya yang menghantarkan pada kesadaran moral dan tindakan moral. Dengan pandangan seperti demikian, pendidikan karakter dalam hal ini disebut juga dengan ngelmu yang mengarahkan agar manusia 14
F. Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 130 Ibid., hlm. 131. 16 Ibid., hlm. 132. 15
85
semakin memiliki kesadaran, dengan cara menata tatanan lahirnya (makrokosmos) untuk semakin menyelami batinya (mikrokosmos). Dengan demikian manusia semakin mengetahui posisinya dan akan bertindak sesuai dengan tatanan realitas sosial, semakin orang tersebut sadar akan realitas sosial, berarti dia semakin mendalami realitas dirinya, semakin dia mendalami realitas dirinya semakin dia mendalami alam batinya yang akan menghantarkan pada pengetahuan yang hakiki (rasa jati). Dalam menempuh kesadaran dirinya tentu dengan aturan-aturan hukum agama yang sudah dijelaskan di atas dengan jalan yang sesuai yang tertera dalam al-Qur`an dan Hadis yang nantinya menemukan kebenaran sejati dalam al-Qur`an. Dengan demikian pendidikan karakter dalam hal ini dibentuk melalui kesadaran akan posisi dirinya, semakin dia sadar semakin mengambil tindakan yang tepat (beretika atau berkarakter). Dari sekelumit penjelasan di atas bahwa tujan tertingginya pendidikan karakter dalam Wulangreh agar seseorang menemukan kebenaran yang sejati dengan cara mengontrol dorongan-dorongan nafsu dan mengambil sikap yang tepat terhadap tatanan lahir. Dalam konsepsi Jawa biasa disebut dengan menselaraskan antara mikrokosmos dan makrokosmos, dalam dunia Islam mempunyai kedekatan dengan ajaran tasawuf yang mengajarkan manusia agar membersihkan jiwanya dari pengaruh nafsu yang nantinya menemukan kebenaran hakiki dan berakhlak karimah. 3. Nilai-nilai Akhlak atau Karakter dalam Serat Wulangreh Sesuai dengan namanya Wulangreh yang berarti ajaran kraton, maka di
86
dalamnya terdapat piwulang-piwulang yang kaya dengan nilai-nilai tuntunan hidup. nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai perabot yang perlu dalam kehidupan sehari hari. Dalam Serat Wulangreh diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Adapun nilai-nilai akhlak atau karakter dalam Serat Wulangreh yang di ajarkan yaitu; a. Akhlak untuk diri sendiri (perseorangan) Nilai karakter perseorangan yaitu nulai-nilai karakter yang diperlukan setiap perseorangan dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai karakter perseorangan dalam Wulangreh yaitu; bersikap Jujur, menjaga perkataan dalam berbicara, tidak sombong, rendah hati, rasa ingin tahu dan bersifat kritis terhadap pengetahuan. Tertulis dalam beberapa pupuh di bawah ini; Aja nganti kebanjur, barang polah ingkang nora jujur, yen kebanjur kojur sayekti tan becik (gambuh 2) Artinya: jangan sampai terlanjur segala ulah yang tidak jujur bila terlanjur sungguh rugi tidak baik Den samya marsudeng budi, wuweka dipun was paos, aja dumeh bisa muwus, yen tan pantes ugi, sanadya mung sekecap, yen tan pantes prenahira. (wirangrong 1) Artinya Usahakan mempelajari budi baik Kejahatan diperhatikan Jangan asal dapat berkata Bila tidak patut jua
87
Meski hanya sekata Bila tak pada tempatnya Rowang sapocapan ugi, kang pantes ngajak calathon, aja sok metuwo wong celathu, ana pantes ugi, rinungu mring wong kathah, ana satengah micara. (wirangrong 3) Artinya: Kawan bicara jua Yang pantas diajak bicara Jangan suka asal bicara Ada tempatnya juga Didengar orang banyak Di saat berkata-kata Lawan maning ing pituturingsun Yen sira amaca Layang sabarang layanging Aja pijer katungkul ningali sastra (pocung 17) Ceritane ala becik dipun weruh Nuli rasakna Layang iku saunining Den karasa kang becik sira anggoa (pocung 18) Artinya: Dan lagi nasehatku Bila kau baca Sebarang buku Jangan hanya terpesona kata-kata Harus mengetahui isi ceritanya Kemudian renungkan Isi buku itu Rasakan dan yang baik gunakanlah. b. Akhlak dalam keluarga Nilai karakter dalam keluarga adalah nilai karakter yang dilakukan dalam lingkungan
keluarga. Dalam Wulangreh nilai
88
karakter yang bisa diambil yaitu; mentaati perintah orang tua, hidup rukun, memberi nasehat pada yang muda. Tertulis dalam beberapa pupuh di bawah ini: Wong tan manut tuture wong tuwa ugi, pan nemu duraka, ing donya tumekeng akhir, tan wurung kasurang-surang. (maskumambang 5) Artinya: Orang yang tak taat nasihat orang tua juga Mendapat durhaka Didunia maupun diakhirat Pasti terlunta-lunta Aja kaya sadulur memanise dipun runtut, oja kongsi pisah, ing samubarang karyeki, yen arukun dinulu katon prayoga. (pocung 4) Artinya: Saudara dan keluarga hendaknya dirukuni Jangan sampai berpisah Dalam segala kehendaknaya Semua rukun tampak baik c. Akhlak dalam sosial Akhlak sosial yaitu akhlak yang digunakan dalam interaksi sosial, baik untuk kebaikanya sendiri maupun orang lain. diantara nilai akhlak sosial yang terdapat dalam Wulangreh yaitu; mencari teman yang baik, tenggang rasa, tidak mencela orang, jangan berhianat, menjaga rahasia orang lain, berbicara pada orang yang dapat dipercaya. Dijelaskan dalam beberapa pupuh di bawah ini: Nadyan asor wijilipun, yen kelakuwane becik, utawa sugih cerita, kang dadi misil, yen pantes raketana,
89
darapon mundhak ing budi. (kinanthi 4) Artinya: Meski rendah derajatnya Jika bertingkah laku baik Dan banyak pengalamanya Pengalaman yang baik dicontoh Itu baik kau dekati Agar bertambah baik tingkahlakumu Yen wong anom pan wus tamtu, manut marang kang ngadhepi, yen kang ngadhep akeh durjana, tan wurung bisa anjuti, yen kang ngadhep akeh bongsa, nora wurung dadi maling. (kinanthi 5) Artinya: Jika orang muda sudah pasti menurut pada yang dihadapinya bila yang dihadapi banyak penjahat tak ayal tentu dapat berjudi bila yang dihadapi banyak pencuri tak ayal tentu dapat mencuri Aja ana wong bisa tutur, amunga ingsun pribadhi, aja ana amemedha, angrasa pinter ngluwihi, iku setan nunjang-nunjang, tan pantes dipun cedhaki. (kinanthi 14) Artinya: Jangan ada yang dapat berkata-kata Atas nama dirinya sendiri Jangan ada yang mencela Merasa paling pandai Itu adalah setan yang mengamuk Tak pantas didekati Rowang sapocapan ugi, kang pantes ngajak calathon, aja sok metuwo wong celathu, ana pantes ugi, rinungu mring wong kathah, ana satengah micara. (wirangrong 3)
90
Lan welinge wong ngaurip, aja ngakehken supaos, iku gawe reged badanipun, nanging masa mangkin, tan ana itungan prakara, supata ginawe dinan. (wirangrong 4) Artinya: Kawan bicara juga Yang pantas diajak bicara Jangan suka asal bicara Ada tempatnya juga didengar orang banyak disaat berkata-kata dan lagi orang hidup jangan suka bersumpah itu mengotori badan mu tapi dimasa kini tak ada perhitungan perkara bersumpah dianggap biasa d. Akhlak dalam negara Nilai akhlak dalam negara yaitu nilai-nilai akhlak yang digunakan dalam kehidupan bernegara, baik sebagai raja, abdi dalem, atau rakyat biasa (kawula). Sebagai raja akhlak yang diperlukan yaitu meniru para leluhur dalam memimpin negara dalam sinom bait 18 dijelaskan: Marang leluhur sedaya, nggone nenedha mring Widhi, bisaa ambabonana, dadi ugere rat Jawi, saking telateneki, nggone katiban wahyu, ing mula mulanira, lakune leluhur dingin, andhap asor anggone anamur lampah. Artinya: Semua leluhur
91
caranya memohon kepada tuhan agar dapat menguasai negeri memimpin pulau jawa karen rajinya pula dari mendapatkan wahyu pada mulanya laku orang leluhur di masa lalu sopan santun dalam menyamar Bagi seorang abdi negara dalam mengabdi tidak boleh ragu-ragu dan penuh kesetiaan. Dijelaskan dalam pupuh megatruh bait 1 di bawah ini: Wong ngawula ing Ratu luwih pakewuh, nora kena minggrang-minggring, kudu mantep sartanipun setya tuhu marang Gusti, dipun purut sapakon. Artinya: Mengabdi kepada ratu lebih sulit Tidak boleh rag-ragu Harus mantap pengabdianya Setia sungguh kepada gusti Taatilah segala perintahnya e. Akhlak dalam beragama Nilai akhlak dalam beragama dalam Wulangreh disampaikan dalam beberapa nasihat agar manusia selalu berpegang teguh pada ajaran Islam, menjalankan syariat, mengerjakan rukun iman, mendirikan shalat, berpegang teguh pada Qur`an-Hadis, ijma’, Qiyas, selalu bergaul dengan orang yang tahu tentang ilmu yaitu ulama’ dan berhati-hati dalam mepelajari Islam. Tutur Pakubuana IV dalam beberapa pupuh di bawah ini;
92
Kacek uga lan kang tanpa ngelmi Sabarang kang kaot Dene ngelmu iku ingkang kangge Sadinane gurokna kariyin Pan sarengat ugi Parabot kang perlu (mijil 25) Artinya: Lain pula dengan yang tak berilmu Segala yang berbeda Sedangkan ilmu yang digunakan Sehari-hari digurukan dahulu Dan sariat pula perabot yang perlu Ngelmu sarengat puniku dadi Wawadhah kang yektos Kawruh tetelu kawengku kabeh Pan sarengat kanggo lair batin Mulane den sami Brangtaa ing ngelmu (mijil 26) Artinya: Ilmu sariat itu menjadi Wahana yang tepat Ilmu ketiganya termuat semuanya Sariat untuk lahir batin Maka mari bersama-sama Bukalah kepada pengetahuan. Kang wis wruh rasaning kitab Drapun sira weruha Wajib mokal ing hyang sukma Miwah wajibing kawula Lan mokale kawuruhana Miwah ta ing tata krama Sarengat dipun waspada Batal karam takokena (gambuh 5) Artinya: Yang telah memahami isi kitab Agar kau mengetahui Wajib mustahil atas tuhan Dan kewajiban makhluk Dan mustahilnya kau ketahui
93
Dan dalam bersopan santun Waspadalah dengan sarengat Batal haram tanyakanlah. Lamon ana wong micoreng ngelmi Tan mupakat ing patang prakara Aja sira age-age Anganggep nyatanipun Saringana dipun bersih Limbangen lan kang patang Prakara rumuhun Dalil kadis lan ijemak Lan kiyase papat iku salah siji Ana kang mupakat (dandhanggula 5) Artinya: Jika ada orang yang membicarakan ilmu tan sepakat pada empat hal jangan engkau tergesa-gesa menganggap kenyataanya saringlah sampai bersih pilihlah dengan yang empat perkara yang lalu dalil hadis dan ijmak dan empat kias itu salah satu usahakan ada yang sepakat A. Relevansi Pendidikan Karakter dalam Serat Wulangreh dengan Pendidikan Agama Islam Pada dasarnya Pandangan hidup orang Jawa dalam sepanjang sejarah mempunyai pola tetap. Bahwa segala hasil pemikiran, penghayatan dan perjalananya menuju pada kesempurnaan. Para sarjana barat biasanya mengatakan dengan sifat sinkretisme dalam mengolah unsur-unsur budaya asing dan budaya sendiri. Abdullah Ciptoprawiro lebih cenderung
94
menyebutnya dengan istilah mosaik, yang mempunyai pola tetap, namun unsur-unsur atau batu-batunya akan berubah dengan masuknya budaya baru.17 Berpijak dari pendapat di atas bahwa konsep pendidikan karakter dalam Wulangreh relevan dengan pendidikan Islam dimana ditegaskan dalam beberapa pupuh bahwa dalam mencapai kesempurnaan hidup harus dengan menjalankan syariat, menjalankan rukun iman, menjalankan shalat, yang nantinya menemukan rasa jati yang ada dalam al-Qur`an (jroning Qura`an nggoning rasa yekti). Dengan demikian dalam Islam juga diajarkan untuk mengontrol hawa nafsu dengan mengurangi makan dan minum. Dalam menemukan pengetahuan sejati juga mirip dengan epistemologi al-Ghozali yang dinukil oleh Ahmad Ali Riyadi, bahwa pengetahuan menurut al-Ghozali dapat muncul dari dalam jiwa dengan melalui menutp indranya, kemudian mengasingkan diri dengan berkhalwat untuk membenahi akhlaknya dan menyelam kedasar jiwanya sehingga mata air pengetahuan memancar dari dalam jiwanya dalam artian, bahwa jiwa dapat menangkap pengetahuan langsung dari al-lauh mahfudz. Karena menurut al-Ghozali jiwa manusia mempunyai dua pintu yang berbeda. Pertama, pintu yang menuju dunia spiritual (alam malakut). Kedua pintu yang menuju kedunia material sensoris (alam al-mulk wa asy-syahadah).18 Jiwa yang suci memiliki kemampuan untuk memperoleh ilmu melalui ilham. Pengetahuan seperti ini menurut alGhazali disebut dengan al-ilmu al-laduni atau al-ilm ar-rabbani yakni 17 18
hlm.52-53.
Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 27. Ahmad Ali Riyadi, Psikologi Sufi al-Ghozali, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008),
95
pengetahuan suci yang tidak diperoleh dengan usaha atau proses rasional.19 Al-Ghazali dalam menyatakan bahwa sumber utama pengetahuan adalah Tuhan yang telah menganugrahkan kepada manusia melalui berbagai cara. Tugas utama manusia adalah mempersiapkan jiwa secara konstan untuk siaga menerima cahaya Tuhan dengan membersihkanya dan memelihara kemurnian dan kesuciannya. Penyucian jiwa dilakukan karena hambatan dalam menerima cahaya Tuhan itu tidak pernah berasal dari tuhan tetapi dari manusia sendiri.20 Ketika jiwa benar-benar bersih maka jiwa akan berada dalam keadan siap untuk menerima wahyu yang dilimpahkan kepadanya melalui kasih sayang tuhan, seperti pada para nabi dan orang-orang suci.21 Dengan demikian konsep pendidikan karakter dalam Wulangreh relevan dengan pendidikan Islam. Serat Wulangreh adalah karya sastra Jawa yang ditulis sekitar abad ke 18 oleh Sri Susuhunan Pakubuana IV di kraton Surakarta Hadiningrat, karya sastra tersebut diberikan kepada putra wayahnya untuk melestarikan adat istiadat kraton yang mempunyai nilai-nilai luhur sebagai pedoman hidup. Dari berbagai nasihat terebut, tergambarkan betapa luhurnya budaya Jawa dan ajaran agama Islam. Yang paling menonjol dari Wulangreh yaitu, bagaimana manusia bisa memiliki budi pekerti yang baik, yaitu dengan cara menyelaraskan antara makrokosmos dan mikrokosmos yang menjadi cara pandang orang Jawa. Penyelarasan tersebut dilakukan agar manusia memiliki keseimbangan batin, dengan cara menguasai nafsunafsu pada manusia itu sendiri. Walaupun dalam praktiknya dipenuhi oleh 19
Ibid., hlm. 55 Majid Fakhry, Etika dalam Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 129. 21 Ibid., hlm. 130. 20
96
alam pemikiran dan kebudayaan Jawa, Pakubuana IV menempatkan alQur`an dan al-Hadis sebagai central position dalam landasan pembentukan karakter. Seperti dikatakan Koentjoroningrat bahwa orang Jawa kejawen juga menganggap al-Qur`an sebagai sumber utama dari segala pengetahuan yang ada. Namun, seperti halnya semua penganut agama di seluruh dunia, orang awam beragama Agami Jawi dalam melakukan berbagai aktivitas keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandanganpandangan, nilai-nilai budaya dan norma-norma, yang kebanyakan berada di dalam alam pikiranya.22 Semangat Pakubuana IV untuk membenahi moral bangsawan pada waktu itu, dimana eksistensi kraton hampir punah baik dari pengaruh intern seperti perang saudara dalam perebutan kekuasaan dan pengaruh ekstern yaitu masuknya campur tangan para Kolonial Belanda dalam urusan pemerintahan. Kondisi seperti itulah kemudian kegiatan kraton diarahkan pada kebudayaan dan rohani, harapan Pakubuana IV yang tertuangkan dalam Wulangreh, agar manusia dalam kehidupanya mempunyai karakter yang baik untuk kebaikan manusia itu sendiri, berguna dalam kehidupan, memberikan anugrah kepada sesama manusia, agar bisa menjadi teladan bagi generasi seterusnya. Semua itu terangkum dalam kalimat dene wong kang wis luhung, anggone amengku mring bala den prih wedi sarta asih, bahwa manusia yang berbudi pekerti baik dalam bergaul dengan sesama manusia penuh kehati-hatian dan cinta.
22
Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 319.
97
Sesuai cita-cita leluhur Jawa untuk amamangun karyenak tyasing sasama,23 hamemayu hayuning bawana. Hal itu relevan dengan tujuan pendidikan Agama Islam yang mempertimbangkan manusia sebagai makhluk terbaik, sebagai khalifatullah, Islam juga mengajarkan manusia agar menjadi insan kamil, begitu pula tentang ajaran agama Islam yang menginginkan nilai-nilai kebaikan untuk semua(rahmatan lil `alamin).24
23
Kata amamangun karyenaktyasing sasama di ambil dari Serat Wedhathama pupuh sinom bait 15. Amamangun kryaenak tiyasing sasama artinya membangun watak cinta kasih diantara sesamanya. Kata-kata tersebut adalah cita-cita Panembahan Senopati di Mataram. Beliau digambarkan sebagai sosok seseorang yang suka bertapa. Lihat Mangku Negara IV, Wedhathama Winardi, (Surabaya: Citra Jaya, 1988), hlm. 17. 24 Zuhairani Dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm.164