BAB IV ANALISIS KONSEP HADIAH (REWARD) DAN HUKUMAN (PUNISHMENT) DALAM TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Analisis Konsep Hadiah dan Hukuman dalam Teori Belajar Behavioristik 1. Analisis Konsep Hadiah dalam Teori Belajar Behavioristik Teori belajar behavioristik adalah teori yang menyatakan bahwa perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati. Perilaku merupakan respons atau tindakan yang dilakukan seseorang dalam situasi tertentu. Seperti yang sudah dipaparkan pada pembahasan
sebelumnya,
perilaku
dapat
dimodifikasi
dengan
pengaruh-pengaruh yang mendahuluinya (anteseden) dan yang mengikutinya (konsekuensi). Anteseden adalah kejadian yang mendahului sebuah tindakan1. Bentuk dari anteseden biasanya berupa isyarat (cueing) seperti menyuruh anak mengacungkan jari ketika mau bertanya, menyiapkan bahan pelajaran, berbicara dengan jelas, dan lain-lain. Isyarat tersebut juga bisa dilanjutkan dengan isyarat tambahan (prompt) berupa petunjuk seperti aturan kelas, tenggat waktu tugas, lokasi pertemuan, dan sebagainya. Sedangkan konsekuensi adalah kondisi yang 1
Anita Woolfolk, Educational Psychology: Active Learning Edition, terjemahan Helly Prajitno S. dan Sri Mulyantini S. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 309.
74
75
menyenangkan atau tidak menyenangkan yang terjadi sesudah perilaku dan mempengaruhi frekuensi perilaku pada masa mendatang. Menurut pandangan
behavioral,
konsekuensi
menentukan
sejauh
mana
seseorang akan mengulangi perilakunya. Ada 2 jenis konsekuensi yang dapat memperkuat perilaku (penguat) dan memperlemah perilaku (hukuman). Dalam dunia pendidikan, istilah penguat (reinforcer) memang lazim dipahami sebagai hadiah (reward), tetapi dalam psikologi istilah ini memiliki makna yang luas. Menurut pandangan behavioral, penguat tidak sebatas hanya hadiah (reward), namun lebih luas lagi dilihat dari definisi, macam, dan bentuknya. Penguat (reinforcer) didefinisikan sebagai setiap konsekuensi yang memperkuat perilaku.
2
Penguat
merupakan konsekuensi yang digunakan oleh seorang pendidik untuk memperkuat perilaku positif (yang diinginkan) sehingga diharapkan perilaku tersebut dapat diulangi pada masa mendatang. Sebuah penguat akan efektif mengubah perilaku siswa apabila dilakukan dengan tepat sesuai dengan kebutuhan siswa. Akan tetapi kurangnya pemahaman tentang penggunaan penguat justru akan menjadikan penguat tersebut tidak efektif. Para penganut aliran behavioristik memaparkan macam-macam teori tentang penggunaan penguat yang efektif sebagai alternatif untuk merubah perilaku siswa dalam pembelajaran. Dalam teorinya mengenai pedoman penggunaan 2
Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik, terjemahan Marianto Samosir (Jakarta: PT. Indeks, 2008), hlm. 184.
76
penguat atau hadiah, ada beberapa pemikiran-pemikiran pokok yang harus diperhatikan seorang guru ketika hendak memberikan penguat kepada siswa. Pemikiran-pemikiran tersebut diantaranya: a. Mengetahui kondisi/kemampuan fisik dan psikilogi siswa Sebelum memberikan penguat hendaknya guru harus memperhatikan kondisi/kemampuan siswa dari segi fisik maupun psikis. Dari segi fisik misalnya melihat usia atau kelas peserta didik. Jenis penguat atau hadiah akan berbeda pada setiap jenjang usia. Penguat untuk usia sekolah dasar kelas 1 akan berbeda dengan usia pada kelas 4. Misalkan untuk kelas 1 bisa diberikan hadiah berupa krayon, tetapi bila krayon diberikan untuk siswa kelas 4 mungkin akan kurang menarik bagi mereka. Perbedaan ini berlaku untuk setiap jenjang usia dari sekolah dasar sampai tingkat menengah atas. Selain segi fisik guru juga harus memperhatikan kondisi psikologi siswanya. Tiap anak pasti mempunyai kondisi kejiwaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Guru harus memperhatikan dengan teliti bagaimana kondisi psikologi siswa ketika
pembelajaran
sedang
berlangsung.
Langkah
untuk
mengetahui kondisi siswa bisa menggunakan metode observasi kelas. b. Memilih penguat yang efektif Guru harus pintar memilih penguat yang efektif sesuai kebutuhan siswa. Tidak semua penguat akan sama efeknya bagi
77
anak. Misalnya untuk satu murid mungkin bisa menggunakan pujian, untuk murid lain bisa memberikan kesempatan melakukan yang disukainya, untuk murid lain bisa dengan penguatan konkret seperti hadiah pensil, dan untuk murid lainnya bisa mengajaknya menjelajahi internet. Untuk mencari penguat yang efektif, guru bisa meneliti apa yang memotivasi anak dimasa lalu dan meneliti tentang persepsi anak terhadap manfaat atau nilai penguat tersebut. Penganut teori behavioristik merekomendasikan agar guru bertanya kepada anak tentang penguat apa yang mereka sukai, menggunakan penguat baru untuk mengurangi kebosanan anak, dan lebih menganjurkan pemberian penguat alamiah (pujian, senyuman) dan penguat aktivitas ketimbang penguat imbalan materi. c. Gunakan prinsip premack Prinsip
premack
menyatakan
bahwa
aktivitas
yang
kemungkinannya tinggi untuk dilakukan dapat digunakan untuk menguatkan
aktivitas
yang kemungkinannya
rendah
untuk
dilakukan. 3 Prinsip premack merupakan salah satu prinsip yang bisa digunakan guru untuk meningkatkan kegiatan yang kurang diinginkan dengan mengaitkannya dengan kegiatan yang lebih diinginkan. 4 Prinsip ini harus digunakan guru ketika hendak memberikan penguat berupa aktivitas. Misalnya mengijinkan anak bermain komputer setelah melaksanakan tugas menulis. 3
Laura A. King, Psikologi Umum, terjemahan Brian Marwendsy (Jakarta: Salemba Humanika, 2014), hlm. 371. 4 Robert E. Slavin, Op. Cit., hlm. 186.
78
d. Gunakan prinsip pembentukan (shaping) dan pemeliharaan (maintenance) Ketika guru menggunakan penguat, mereka berasumsi bahwa murid dapat melakukan perilaku yang diinginkan. Tetapi kadang-kadang murid tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Dalam kasus ini diperlukan shaping (pembentukan). Shaping merujuk pada pengajaran kemampuan atau perilaku baru dengan memperkuat pelajar untuk mendekati perilaku akhir yang diinginkan melalui tahap-tahap kecil menuju sasaran yang diinginkan. 5 digunakan untuk mengajari perilaku baru dengan memperkuat perilaku yang mirip dengan perilaku sasaran. Untuk mencapai sasaran perilaku yang diinginkan harus secara bertahap dengan prinsip ini. Artinya shaping merupakan tahapan untuk membentuk perilaku yang diinginkan. Misalnya anak lelaki yang pemalu. Perilaku yang diinginkan guru adalah membuatnya mau berkelompok dan berbicara dengan temannya. Pada awalnya guru bisa memperkuatnya dengan memberinya senyuman, kemudian memperkuatnya hanya jika dia mengatakan sesuatu untuk teman sekelasnya, kemudian memperkuatnya hanya jika melakukan percakapan yang lama dengan teman sekelasnya, dan yang terakhir guru harus memberinya imbalan hanya jika dia melakukan perilaku sasaran yaitu berkelompok dan berbicara dengan temannya. Perlu 5
Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, terjemahan Wahyu Indiyati, dkk. (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 192.
79
diingat bahwa penggunaan shaping hanya jika pemberian penguat tidak langsung berhasil
membentuk perilaku yang diharapkan.
Selain itu guru juga harus bersabar karena shaping membutuhkan penguatan secara bertahap atau langkah-langkah kecil menuju ke perilaku sasaran, dan ini mungkin membutuhkan waktu yang lama. Setelah guru mendapatkan perilaku yang sesuai dari anak, gunakanlah prinsip pemeliharaan (maintenance) yaitu menjaga perilaku anak agar konsisten bersikap sesuai yang diharapkan. e. Memilih jadwal penguatan terbaik Penguatan akan efektif jika diberikan tepat pada waktunya. Ini akan membantu anak melihat hubungan antara hadiah atau penguat dengan perilaku mereka. Tiap anak mempunyai jadwal penguat
yang
berbeda-beda.
Guru
harus
mampu
mengkombinasikan jadwal penguatan dengan tepat. Ada kalanya guru menggunakan jadwal penguatan berkelanjutan (continuous), ada kalanya juga menggunakan jadwal penguatan parsial seperti interval tetap (fixed interval), interval variabel (variable interval), rasio tetap (fixed ratio), dan rasio variabel (variable ratio). Masingmasing jadwal memberikan manfaat yang berbeda terhadap perilaku yang dikuatkan. f. Menggunakan Perjanjian (contracting) Perjanjian merupakan penguatan dalam bentuk tulisan maupun lisan. Guru bersama siswa dapat membuat kontrak
80
individual maupun kelompok yang mendeskripsikan dengan tepat apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan reward tertentu. g. Lakukan dengan konsisten Penguatan
yang
dilakukan
secara
konsisten
akan
membentuk perilaku yang konsisten juga. Jika penguat tidak diberikan sesuai jadwal penguatan, besar kemungkinan akan terjadi pelenyapan perilaku siswa (extinction). h. Lakukan evaluasi keefektifan pemberian penguat terhadap perilaku Untuk mengetahui penguat yang diberikan berhasil atau efektif dalam pembelajaran, guru harus senantiasa mengevaluasi penguat yang telah diberikan secara cermat. Penguat dikatakan efektif apabila perilaku yang diharapkan tercapai secara konsisten. Teknik evaluasi yang bisa digunakan guru adalah daftar cheklist perilaku siswa dalam setiap pembelajaran beserta penguatan yang telah diberikan selama pembelajaran. 2. Analisis Konsep Hukuman dalam Teori Belajar Behavioristik Hukuman (punishment) dalam pandangan teori behavioristik adalah konsekuensi yang tidak menyenangkan yang digunakan untuk melemahkan perilaku.
6
Hukuman merupakan konsekuensi yang
diberikan guru dalam rangka memperlemah perilaku negatif peserta didik dengan harapan bahwa perilaku tersebut tidak terulang kembali. Hukuman yang diberikan biasanya berupa stimulus yang tidak
6
Robert E. Slavin, Op. Cit., hlm. 190.
81
menyenangkan. Sebagaimana dengan tindakan penguatan, keefektifan tindakan penghukuman tidak dapat diasumsikan tetapi harus diperlihatkan. Adapun prinsip-prinsip pokok dalam penggunaan hukuman menurut teori belajar behavioristik diantaranya: a. Prioritaskan penggunaan penguat negatif (negative reinforcer) Istilah penguat negatif memang sering disamakan dengan istilah hukuman. Dalam pandangan para behavioris keduanya merupakan istilah yang berbeda. Penguat negatif selalu melibatkan memperkuat perilaku, sedangkan hukuman adalah mengurangi atau menekan perilaku.7 Walaupun kedua istilah tersebut berbeda, tapi dalam penggunaannya bisa dikatakan mempunyai tujuan yang hampir sama yaitu mengatasi perilaku bermasalah siswa. Dalam teori belajar behavioristik, penggunaan penguat harus diprioritaskan dari pada harus memberikan hukuman. Ketika menghadapi masalah pada siswa, guru diharapkan menggunakan penguat negatif terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan penggunaan hukuman. Misalkan kasus siswa yang jarang menyelesaikan tugas yang harus dikerjakan di kelas. Guru jangan langsung memberikan hukuman berupa pekerjaan rumah, namun guru bisa memberikan penguat negatif dengan cara bilang kepada anak tersebut: “ segera setelah kau menyelesaikan tugasmu, kau akan terbebas dari pekerjaan rumah”. Jadi bisa disimpulkan bahwa
7
Anita Woolfolk, Op. Cit., hlm. 311.
82
penguat negatif merupakan langkah awal sebelum menggunakan hukuman. b. Menggunakan perjanjian (contracting) Sama dengan penguatan, hukuman juga membutuhkan perjanjian kelas. Perjanjian kelas harus berisi masukan dari guru dan murid. Perjanjian ini berfungsi sebagai pedoman dan memberikan gambaran perilaku apa yang diinginkan dalam kelas beserta konsekuensi apa yang akan didapatkan jika perilaku tersebut tidak terlaksana. Siswa harus berpartisipasi dalam menentukan perjanjian sehingga mereka lebih berkomitmen terhadap aturan yang telah dibuat. c. Sesuaikan hukuman dengan kebutuhan siswa Perilaku bermasalah siswa satu dengan siswa yang lain tentu berbeda. Guru perlu teliti mengetahui kebutuhan siswa sebelum
memberikan
hukuman.
Kebutuhan
siswa
sangat
dipengaruhi oleh kondisi fisik maupun kejiwaannya. Observasi individual
perlu
dilakukan
guru
secara
mendalam
untuk
mengetahui keadaan fisik dan kejiwaan sehingga guru mampu mendeskripsikan kebutuhan siswa dengan tepat. d. Selalu gunakan anteseden sebelum memberikan hukuman Dalam pembahasan teori belajar behavioristik, kita sering berfokus pada konsekuensi-konsekuensi dari perilaku yang diinginkan. Namun stimulus atau rangsangan yang mendahului
83
perilaku (anteseden) dapat juga mempunyai pengaruh terutama ketika
hendak
mempertimbangkan
penggunaan
hukuman.
Anteseden bisa berupa isyarat-isyarat sebagai tanda pengingat verbal maupun non verbal. Contohnya dengan kata-kata “ingat, jika, siapkan, dan lain-lain”. e. Hindari penggunaan hukuman fisik yang keras Hukuman yang keras dapat menghasilkan pengaruh buruk seperti kebencian, permusuhan, kemarahan, dan lain sebagainya. Maka dalam pemikiran aliran behavioristik menyarankan agar seorang guru menggunakan bentuk hukuman yang relatif ringan di kelas. f. Gunakan prinsip shaping dan konsisten Shaping merupakan prinsip yang harus diperhatikan seorang guru. Sama halnya dengan penguat, membentuk perilaku yang diinginkan memerlukan beberapa waktu yang cukup lama. Tahapan yang dilakukan adalah dengan membentuk perilakuperilaku baru secara bertahap sehingga mendekati dan mencapai perilaku yang diinginkan. g. Evaluasi keberhasilan pemberian hukuman Seorang guru tidak boleh putus asa ketika menghadapi perilaku bermasalah siswa. Guru harus belajar dari pengalaman dan mencari informasi rekam jejak/catatan perilaku siswa beserta
84
hukuman-hukuman
apa
yang
sudah
dipakai.
Guru
harus
mengevaluasi secara cermat hukuman yang efektif bagi siswa.
B. Analisis Konsep Hadiah dan Hukuman dalam Pendidikan Islam 1. Analisis Konsep Hadiah dalam Pendidikan Islam Dalam pendidikan Islam, istilah hadiah lebih dipahami sebagai ganjaran (tsawab). Adapun tokoh-tokoh lain juga menggunakan istilah targhib yang maknanya selaras dengan hadiah (reward) dalam konsep pendidikan modern. Abdurrahman An Nahlawi dan Nasih Ulwan memunculkan konsep targhib sebagai pemberian stimulus dengan pujian atau sesuatu yang menyenangkan. Jika istilah ini diformulasikan dalam pendidikan modern, maka akan memiliki kesesuaian dengan konsep penguat (reinforcer) atau hadiah. Secara naluriah, manusia memiliki pembawaan semisal membutuhkan sesuatu yang menyenangkan, di samping terkadang akan merasa jera karena adanya ketakutan di dalam dirinya. Sesuatu yang menyenangkan tersebut bisa diperoleh dengan hadiah, sedangkan sesuatu yang membuat jera diperoleh dengan adanya hukuman. Berkenaan dengan ganjaran, hampir semua pakar pendidikan Islam sepakat pemberian ganjaran dalam pendidikan. Namun mereka memperingatkan agar para pendidik bersikap hati-hati dalam implementasinya. Jika tidak hati-hati, pemberian ganjaran justru
85
kurang efektif atau tidak tepat sasaran sesuai tujuannya. Dalam konteks ini, Abdurrahman Shaleh Abdullah bahkan mengharuskan agar setiap pendidik terlebih dahulu mencapai predikat ‘alim sebelum mereka memberikan ganjaran kepada peserta didiknya. Hal itu dimaksudkan agar ganjaran yang diberikan benar-benar bernilai guna bagi peserta didik. Peserta didik akan tersentuh jiwanya manakala ganjaran tersebut diberikan oleh seorang pendidik yang berkarakter mulia.8 Memberi penghargaan sebenarnya bukan hal yang sama sekali bersih dari resiko negatif. Seorang siswa yang diberi penghargaan mungkin akan merasa bangga, dan kemudian menganggap rendah yang lain. Abdurrahman Shaleh melarang keras pemberian hadiah atau penghargaan yang berlebihan dan yang berakibat negatif. 9 Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian ganjaran adalah siapa yang paling berhak mendapatkannya. Pastikan ganjaran diberikan atas perbuatan atau prestasi yang dicapai pendidik, bukan atas dasar peribadinya. Selain itu guru hendaknya memberikan penghargaan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Pemberian penghargaan yang berlebihan Para ahli pendidikan Islam juga memberikan pujian dan rasa hormat atas penunjukkan sikap baik dalam rangka mendorong terulangnya kembali perilaku tersebut. Dalam konteks pemberian
8
Abdurrahman Shaleh Abdullah, Teori Pendidikan Menurut Al-Qur’an, terjemahan M. Arifin dan Zainuddin (Jakarta: Rhineka Cipta, 1990), hlm. 223. 9 Abdurrahman Shaleh Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Qur’an serta Implementasinya, terjemahan Mutammam (Bandung: CV. Diponegoro, 1991), hlm.235.
86
hadiah, hampir semua kalangan sependapat bahwa pemberian hadiah atau penguat bertujuan untuk memotivasi peserta didik agar tetap bersemangat dalam menampilkan perilaku dan prestasi belajarnya. 2. Analisis Konsep Hukuman dalam Pendidikan Islam Istilah hukuman (‘iqab) dalam pendidikan Islam lebih dipahami sebagai tarhib yang maknanya selaras dengan hukuman (punishment) dalam konsep pendidikan modern. Tarhib adalah pemberian stimulus berupa peringatan atau sesuatu yang menyakitkan. Dalam proses pembelajaran, kadangkala penggunaan nasihat tidak mampu memperbaiki perilaku, sehingga waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan ditempat yang benar. Tindakan tegas tersebut adalah hukuman. Hukuman sesungguhnya tidak mutlak diperlukan. Ada orangorang dengan pemberian teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada yang perlu diberikan perlakuan yang keras. Menurut Muhammad Quthb, pendidikan yang halus, lembut, dan menyentuh perasaan seringkali berhasil dalam mendidik anakanak untuk jujur, suci, dan lurus, tetapi pendidikan yang terlampau halus, terlampau lembut dan terlampau menyentuh perasaan akan sangat berpengaruh jelek, karena membuat jiwa tidak stabil.10
10
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terjemahan Salman Harun, (Bandung: Al Ma’arif, 1993), hlm. 341-342.
87
Pemberian hukuman harus dilakukan dengan hati-hati. Seorang pendidik dalam menjatuhkan hukuman hendaknya memposisikan sebagai seorang dokter. Menurut Abdullah Nasih Ulwan, agar dalam memberikan hukuman dengan cara lemah lembut dan kasih sayang, menjaga tabiat anak yang salah, dan bertahap dari yang lunak sampai yang keras. 11 Dan yang perlu diingat adalah hukuman bertujuan sebagai tuntunan atau perbaikan seperti yang telah dikemukakan oleh Athiyah Al Abrasy.12 Menjaga tabiat anak yang salah amat diperlukan oleh guru dalam memberikan hukuman. Anak didik belum memiliki pengetahuan seperti orang dewasa, jiwanya masih sederhana. Seorang pendidik hendaknya melihat akan keterbatasan yang dimiliki anak. Bisa jadi kesalahan itu timbul akibat keterbatasan pengetahuannya, atau mungkin karena kesalahpahaman yang tidak dimengerti. Pendidik memandang cara yang tepat menghukum anak adalah dengan memposisikan diri sebagai seorang dokter. Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengetahui sebab-sebabnya, karena bisa jadi itu terjadi karena tidak sengaja, ketidaktahuan, atau kelalaian. Jika perbuatan jelek tersebut tanpa alasan yang dapat dimaafkan, dimaklumi, maka hukuman dijatuhkan secara bertahap, dari yang lunak terlebih dahulu. Selanjutnya ketika perilaku anak didik belum
11
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terjemahan Jamaluddin Miri (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 315. 12 M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam terjemahan Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 153.
88
menunjukkan perubahan, diberikan hukuman setingkat agak keras dari yang pertama, hingga seterusnya sampai hukuman yang paling keras. Hukuman itu harus adil. Anak harus mengetahui mengapa ia dihukum. Selanjutnya hukuman itu harus membawa anak kepada kesadaran akan kesalahannya.13 Ada
perbedaan
diperbolehkan
pendapat
penggunaannya
terkait
dalam
hukuman
pendidikan
fisik
yang
Islam.
Teori
behavioristik yang banyak dipakai oleh pendidikan modern melarang keras penggunaan hukuman fisik karena dianggap bersifat temporer dan menimbulkan sifat menentang atau agresi. Sedangkan dalam pendidikan Islam, hukuman fisik diperbolehkan dalam penggunaannya. Hukuman fisik yang digunakan hendaknya tidak terlalu keras dan tidak menyakiti, misalnya pukulan pada telapak tangan atau kaki dengan tongkat yang tidak terlalu besar. Nasih Ulwan juga menyarankan dalam penggunaan pukulan diharapkan berkisar antara satu hingga tiga kali. Setelah tiga kali tidak membuatnya jera, maka boleh ditambah hingga sepuluh kali. Pendidik hendaknya tidak memukul anak sebelum ia berusia sepuluh tahun. Ketika memukul, gunakan dengan tangannya sendiri, dan tidak menyerahkan kepada orang lain. Sehingga tidak timbul api kebencian dan kedengkian di antara mereka. 14 Walaupun berbeda pendapat, ada tujuan yang selaras yang ingin dicapai yaitu mengatasi perilaku bermasalah siswa. 13
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 186. 14 Abdullah Nasih Ulwan, Op. Cit., hlm. 327.
89
Guru harus mengingat prinsip utama yang dikemukakan oleh tokoh pendidikan Islam yaitu hukuman ditempuh hanya ketika ganjaran atau penguat yang tepat dan telah dicoba namun tidak berhasil. Ingat bahwa hukuman fisik sebagai jalan dan cara terakhir yang ditempuh dalam mendisiplinkan perilaku anak didik dan tujuan akhirnya adalah perbaikan. Dengan demikian, selagi jalan dan cara lain masih bisa ditempuh dalam mendidik perilaku anak didik yang menyimpang, sebaiknya hukuman ditiadakan.
C. Analisis Relevansi Konsep Hadiah dan Hukuman dalam Teori Belajar Behavioristik dengan Pendidikan Islam 1. Pemberian Hadiah dan Hukuman Sebagai Metode Pendidikan Akhlak Hadiah (reward) dan hukuman (punishment) dalam pendidikan tidak lepas dari konsep tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang bertakwa dan berakhlak baik adalah esensi dari tujuan pendidikan. Seperti halnya perilaku yang dapat dimodifikasi menurut ahli teori belajar behavioristik, akhlak juga dapat diubah dan dikembangkan dengan jalan pendidikan. Rasulullah adalah seorang cermin manusia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Dalam menjalankan tugasnya sebagai rasul, Nabi Muhammad SAW selalu mengedepankan akhlak, kasih sayang, tidak didasari dengan kekerasan hati. Hakikat pengutusan Nabi SAW. sendiri adalah dalam rangka penyempurnaan akhlak.
90
Praktik
pendidikan
akhlak
senantiasa
diwarnai
dengan
dorongan akan kebaikan dan ancaman atau siksaan. Pemberian hadiah dan hukuman merupakan pelatihan yang dapat mengarahkan dan mengoreksi berbagai kekeliruan yang dilakukan oleh anak didik. Bahkan bukan hanya kekeliruan, tetapi juga memelihara dan terus mengembangkan perilaku positif dari anak didik. Hadiah (reward) dan hukuman (punishment) merupakan pengaruh eksternal sebagai stimulus, memang tidak menyentuh sumber kehidupan moral secara langsung. Akan tetapi perbuatan yang merupakan refleksi dari akhlak atau perilaku. Oleh karena itu, ketika hadiah (reward) dan hukuman (punishment) dijadikan sebagai suatu metode dalam mendidik anak didik menjadi manusia yang berakhlak mulia, harus menimbulkan bentuk kesadaran pada diri individu untuk selalu berperilaku positif dalam semua aspek kehidupan. Siswa dan guru merupakan dua tiang utama proses pendidikan. peran guru adalah sangat penting, karena dia berkepentingan mengarahkan akhlak dan perilaku siswa menuju tujuan yang diinginkan dalam aktivitas sekolah. Penghargaan dan hukuman dapat pula dipakai guru untuk memperkuat atau memperlemah respon siswa. 15 Fitrah baik manusia menyebabkan pemberian penghargaan harus didahulukan dari pemberian hukuman. Dan kemuliaan guru menjadikan penghargaan dan hukuman yang diberikan kepada siswa
15
Abdurrahman Shaleh Abdullah, Op. Cit., hlm. 232.
91
akan berdaya guna. Jika suatu ketika terpaksa dilaksanakan hukuman untuk
merubah
akhlak
atau
perilaku
negatif
siswa,
maka
pelaksanaannya harus selalu dikaitkan dengan tujuan pendidikan.16 Sekolah,
selain
berfungsi
sebagai
sarana
pengajaran
(mencerdaskan anak didik) juga berfungsi sebagai sarana pendidikan (transformasi norma). Dalam rangka transformasi norma atau perilaku, sekolah diharapkan mampu mendidik siswanya yang mempunyai perilaku buruk menjadi berperilaku baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam praktiknya ada beberapa teknik yang bisa dilakukan oleh tenaga profesional dalam menangani perilaku bermasalah siswa, diantaranya dengan penanganan individual. Dalam penanganan individual ini bisa dilakukan beberapa macam teknik, yaitu pemberian petunjuk atau nasihat, konseling, dan psikoterapi. Dalam psikoterapi
tentu
saja berkaitan
dengan
aliran
psikoterapi, salah satunya adalah aliran behavioristik dengan terapi tingkah lakunya. Terapi tingkah laku yang bisa digunakan untuk mengadapi perilaku bermasalah siswa adalah dengan penguat dan hukuman. Tujuan terapi tingkah laku adalah menghilangkan perilaku yang mengganggu dengan memberikan latihan-latihan sedemikian rupa sehingga tingkah laku yang mengganggu itu hilang. Prinsipnya adalah memberikan hukuman setiap tingkah laku yang mengganggu itu
16
Ibid., hlm. 242.
92
muncul dan memberikan ganjaran jika tingkah laku yang positif itu muncul.17 Dalam dunia pendidikan ada teori umum yang perlu dipertimbangkan bahwa pemberian penguat dan hukuman yang paling efektif adalah jika pelaksanaan hukuman dikurangi atau dihindarkan, sedangkan pemberian penguat ditekankan pelaksanaannya. Islam agama rahmatan lil ’alamin melarang tata cara kekerasan. Fakta ini terekam dalam praktek pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah. Beliau selalu menunjukkan akhlak mulia dalam berperilaku di hadapan umatnya. Sikap kasih sayang yang beliau tunjukkan adalah bukti pengutusannya sebagai penyempurna akhlak. 2. Hadiah dan Hukuman Sebagai Bentuk Motivasi Menurut Nasution yang dikutip oleh Zakiah Daradjat, motivasi adalah meciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga anak itu mau melakukan apa yang dapat dilakukannya. Sedangkan Thomas M. Risk mengemukakan bahwa motivasi adalah usaha yang disadari oleh pihak guru untuk menimbulkan motif-motif pada diri murid
yang
menunjang kegiatan kearah tujuan-tujuan belajar.18 Motivasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Pada motivasi instrinsik anak belajar karena belajar itu sendiri cukup bermakna baginya. Sedangkan pada motivasi ekstrinsik
17
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012),
hlm. 289. 18
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal.140.
93
anak belajar bukan karena belajar itu berarti baginya, melainkan mengharap sesuatu dibalik kegiatan belajar itu misalnya nilai yang baik, hadiah, penghargaan atau menghindari hukuman atau celaan.19 Menurut pandangan behavioral, motivasi intrinsik adalah kecenderungan alamiah untuk mencari dan menaklukkan tantangan. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berhubungan dengan kegiatan yang memiliki reward sendiri. Dalam motivasi intrinsik tidak dibutuhkan insentif atau hukuman, karena kegiatan itu sendiri adalah rewarding. Siswa termotivasi secara intrinsik memang mencintai kegiatan itu. Sementara motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang diciptakan oleh faktor-faktor eksternal seperti reward dan hukuman.20 Memberikan nilai, bintang, dan penguat lain untuk pembelajaran, atau hukuman untuk perilaku yang tidak semestinya, adalah upaya untuk memotivasi siswa dengan sarana ekstrinsik yang berupa insentif, hadiah, dan hukuman. Dari beberapa definisi mengenai motivasi, dapat disimpulkan bahwa pemberian hadiah (reward) dan hukuman (punishment) merupakan sumber motivasi bagi peserta didik. Peserta didik akan terdorong untuk terus belajar jika kegiatan pembelajaran diselenggarakan dengan nyaman dan menyenangkan, sehingga peserta didik terlibat secara fisik dan psikis.untuk itu guru perlu
menciptakan
kondisi
yang
sesuai
dengan
minat
dan
kecenderungan peserta didik. Guru perlu memberikan penghargaan 19 20
Ibid., hlm. 142. Anita Woolfolk, Op. Cit., hlm. 188.
94
bagi peserta didik yang berprestasi, baik yang bersifat material seperti hadiah (reward) ataupun non-material.
21
Menurut Abdurrahman
Shaleh, pujian atau penghargaan dapat dimanfaatkan untuk memacu siswa kepada pencapaian hasil-hasil yang diinginkan. Guru dapat memperlihatkan kepuasannya atas prestasi siswa dengan ekspresi verbal.22 Ketika guru hendak memberikan ganjaran harus menanamkan persepsi kepada siswa bahwa mereka tidak hanya berharap akan mendapat pujian dalam pelaksanaan metode ganjaran tersebut, sebaliknya harus menjadi motivasi dalam pendidikan. Selain pemberian hadiah, hukuman juga bisa digunakan oleh guru sebagai dorongan dan motivasi siswa agar mereka mampu merubah perilaku negatif. Hukuman harus mampu merubah persepsi siswa bahwa dengan merubah perilaku negatif mereka akan terhindar dari pemberian hukuman tersebut. Pada intinya penggunaan ganjaran dan hukuman harus menjadi kekuatan-kekuatan yang memberi motivasi. Berdasarkan uraian di atas, dalam perspektif psikologi maupun pendidikan Islam, hadiah dan hukuman pada dasarnya adalah instrumen yang digunakan untuk merubah perilaku atau akhlak yang tidak baik atau kurang terpuji. Tujuan pokoknya adalah memberikan penguatan dan motivasi agar seseorang terus istiqamah dalam berbuat kebaikan dalam seluruh perilakunya baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. 21
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hlm.
22
Abdurrahman Shaleh Abdullah, Op. Cit., hlm. 234.
120.
95
3. Hadiah dan Hukuman Sebagai Internalisasi Nilai Dalam psikologi, anak adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan, berbeda dengan orang dewasa yang telah mengalami kemapanan. Adakalanya ia belum memiliki pengetahuan terhadap sesuatu yang dinginkan dalam lingkungannya. Maka pakar behavioristik menyarankan pendidik menggunakan stimulus agar anak mampu menunjukkan perilaku yang baik. Stimulus itu berupa konsekuensi yang menyenangkan (hadiah) sebagai balasan perilaku
positif,
dan
konsekuensi
yang
tidak
menyenangkan
(hukuman) sebagai balasan perilaku negatif. Sejalan dengan pendapat pakar behavioristik, Ibn Miskawaih juga mengajarkan untuk memberikan penjelasan akan akibat dari perilaku yang telah diperbuat anak. Tidak sering menakut-nakuti anak kecil, tetapi memberikan semangat. Serta memberikan mereka hadiah kalau mereka berbuat baik, agar anak tidak meminta-minta pada temannya. Pendapat ini diamini oleh Ulwan, ketika orang tua melihat sesuatu yang baik, dihormati, maka doronglah sang anak untuk melakukannya. Dan jika melihat sesuatu yang jahat, cegahlah mereka, berilah peringatan dan jelaskanlah akibat yang membinasakan dan membahayakan.23 Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa manakala terjadi penjatuhan hukuman agar anak dapat memahami
23
Abdullah Nasih Ulwan, Op. Cit., hlm. 681.
96
akan perbuatannya yang tidak baik dan untuk meninggalkannya. Ketika anak berbuat sesuatu yang baik, kemudian ia mendapatkan hadiah, sebaliknya berbuat sesuatu yang buruk, lalu hukuman yang diterimanya. Dengan pengalaman itu, anak dapat belajar mana yang baik dan mana yang buruk. Ini menunjukkan adanya internalisasi nilai yaitu hadiah dan hukuman sebagai sarana anak untuk memahami dan membedakan nilai-nilai yang baik dan buruk. Dengan demikian orang tua atau guru dapat menanamkan nilai-nilai yang diinginkan kepada anak melalui bantuan hadiah dan hukuman. 4. Hadiah dan Hukuman untuk Mengembangkan Rasa Bersalah dan Malu Salah satu pokok dalam belajar adalah perubahan perilaku. Ketika guru menjatuhkan hadiah dan hukuman, cukuplah hadiah dan hukuman itu menimbulkan rasa bersalah dan malu pada diri anak. Dan tentunya dengan cara-cara edukatif. Untuk itulah kenapa Ulwan tidak menganjurkan untuk menakut-nakuti anak, tetapi menganjurkan untuk selalu memotivasi dan mendorongnya. Karena perilaku yang timbul atas dasar rasa takut hanya timbul karena keterpaksaan, jauh dari kesadaran diri. Begitu juga, ketakutan bukan satu-satunya respon yang muncul akibat dari suatu hukuman, karena ketakukan bukan bagian dari hukuman itu sendiri. Maka ketika hukuman dimaksudkan untuk mengajarkan nilai-nilai yang baik, maka cara-cara yang dilakukan akan lebih halus dan lebih mendidik.
97
5. Hadiah dan Hukuman Sebagai Meode Rekonstruksi Perilaku Sebagaimana
telah
diungkapkan
dalam
teori
belajar
behavioristik, hadiah dapat memotivasi pengulangan perilaku baik, sebaliknya hukuman dapat menurunkan kemungkinan pengulangan perilaku buruk. Maka dengan hadiah, perilaku baik akan meningkat, sedangkan dengan
hukuman perbuatan buruk diusahakan untuk
menekan dan memperbaikinya. Dengan demikian, ada perubahan yang terjadi dengan perilaku sebelumnya. Anak dapat meningkatkan perilaku baik yang telah dilakukan dan memperbaiki kesalahan sebelumnya. Melihat esensi akan tujuan, fungsi, dan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan, hadiah dan hukuman memiliki kelayakan dijadikan sebagai suatu cara membangun atau rekonstruksi perilaku. Maka ketika modifikasi perilaku dilakukan dengan menggunakan hadiah dan hukuman sangat relevan dan memiliki derajat kegunaan yang tinggi. Dalam pendidikan Islam, perilaku ini sering dikaitkan dengan pendidikan akhlak karena akhlak sangat terkait dengan perbuatan atau perilaku yang dikeluarkannya, yaitu berupa kebaikan atau kejelekan. Metode pendidikan berupa pemberian hadiah dan hukuman menjadi penting, karena metode ini tidak hanya dipandang sebagai cara atau jalan, akan tetapi upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen pendidikan. Sehingga menjadi sebuah iklim kondusif yang
98
mengandung tercapainya tujuan yang dicita-citakan. 24 Menurut Ibn Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak sendiri harus diarahkan dalam rangka mewujudkan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbutan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.25 Berdasarkan inti dari tujuan pendidikan akhlak di atas, maka hadiah dan hukuman diprosedurkan dalam rangka rekonstruksi perilaku untuk mencapai tujuan mewujudkan sikap batin (akhlak) dengan indikasi timbulnya perilaku-perilaku baik dan hilangnya perilaku-perilaku tercela.
D. Analisis Kelebihan dan Kelemahan Metode Hadiah dan Hukuman Dari uraian mengenai konsep hadiah dan hukuman menurut pendekatan behavioristik maupun pendidikan Islam, dapat diambil beberapa kelebihan dan kelemahan dari kedua metode tersebut yaitu: 1. Kelebihan dan Kelemahan Metode Pemberian Hadiah a. Kelebihan 1) Sebagai motivasi belajar siswa 2) Dapat menguatkan perilaku positif siswa 3) Menumbuhkan kepercayaan diri siswa
24
Moh. Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik (Semarang: Pustaka Rizki, 2005),
hlm. 87. 25
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 11.
99
b. Kelemahan 1) Dapat menimbulkan dampak negatif apabila diberikan secara berlebihan. 2) Membutuhkan alat dan biaya, khususnya untuk penguat sekunder atau konkret. 2. Kelebihan dan Kelemahan Metode Pemberian Hukuman a. Kelebihan 1) Dapat memperlemah perilaku yang tidak diinginkan dalam pembelajaran. 2) Jika berhasil dapat memperbaiki tingkah laku negatif siswa. 3) Motivasi siswa untuk menghindari perilaku yang kurang baik sehingga terdorong untuk melakukan kebaikan. b. Kelemahan 1) Menimbulkan perasaan dendam siswa kepada guru 2) Menyebabkan
anak
berdusta
dan
lebih
pandai
menyembunyikan kesalahan. 3) Mengurangi keberanian atau kepercayaan diri anak.
E. Analisis Implikasi Pendekatan Behavioristik 1. Prosedur-prosedur pengembangan tingkah laku a. Reinforcement (penguat) digunakan untuk memperkuat tingkah laku.
100
b. Shaping: proses ini dimulai dengan penetapan tujuan, kemudian diadakan analisa tugas, langkah-langkah kegiatan murid, dan reinforcement terhadap respon yang diinginkan. c. Modelling: tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modeling atau imitasi dari pada melalui pengajaran langsung. 2. Prosedur-prosedur pengendalian atau perbaikan tingkah laku a. Memperkuat tingkah laku bersaing misalnya dengan kegiatan kerjasama
untuk
mengatasi
kelakuan-kelakuan
menentang,
melamun, dan hilir mudik. b. Extinction (pelenyapan) Extinction dilakukan dengan meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Extinction berlangsung terutama jika reinforcement adalah perhatian. Apabila murid memperhatikan ke sana ke mari, maka perubahan interaksi guru-murid akan menghentikan tingkah laku murid tersebut. c. Satiasi: suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. d. Perubahan lingkungan
stimuli
artinya tingkah laku dapat
dikendalikan oleh perubahan kondisi stimulus yang mempengaruhi tingkah laku itu. e. Hukuman digunakan untuk memperbaiki tingkah laku dan hendaknya diterapkan dikelas dengan bijaksana.
101
3. Langkah-langkah dasar modifikasi tingkah laku a. Rumuskan dan amati frekuensi tingkah laku yang perlu diubah. b. Ciptakan situasi belajar sehingga terjadi tingkah laku yang diinginkan. c. Identifikasi reinforcer (penguat) yang potensial. d. Perkuatlah tingkah laku yang diinginkan. e. Catatlah tingkah laku yang diperkuat untuk menentukan kekuatan atau frekuensi respon yang telah ditingkatkan. 4. Pengajaran terprogram Pengajaran terprogram berlangsung seperti halnya paket pengajaran diri sendiri yang menyajikan suatu topik yang disusun secara cermat untuk dipelajari dan dikerjakan oleh murid. Program dapat tertuang dalam buku-buku atau komputer. 5. Program pengajaran individual Program ini disusun agar murid-murid belajar secara maju berkelanjutan menurut kemampuan dan minat mereka. 6. Analisa tugas dan belajar tuntas Analisa tugas berguna untuk perencanaan program pendidikan individual sesuai dengan kebutuhan murid, sedangkan belajar tuntas diharapkan dapat mengembangkan minat dan sikap positif terhadap mata pelajaran.26
26
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar (Jakarta: Rhineka Cipta, 1991), hlm. 206-214.
102
F. Kritik Terhadap Pendekatan Behavioristik (Perilaku) 1. Kekuatan Teori Belajar Behavioristik Prinsip-prinsip dasar teori belajar behavioristik (perilaku) mempunyai kedudukan yang kuat seperti teori-teori lain dalam psikologi. Prinsip teori belajar behavioristik bermanfaat untuk menjelaskan banyak hal tentang perilaku manusia dan bermanfaat untuk mengubah perilaku. 27 Unsur yang mempengaruhi perubahan perilaku
tersebut
yaitu
unsur
lingkungan
dan
pengkondisian
(conditioning). Seorang individu bisa dikondisikan, bisa dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Maka lingkungan yang baik akan membentuk kepribadian yang baik juga. Teori behavioristik mempelajari terbentuknya perilaku manusia atas dasar konsep stimulus respons yang berarti perilaku manusia sangat terkondisi oleh lingkungan. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia yang buruk, sebaliknya lingkungan yang baik menghasilkan manusia yang baik. Pendekatan ini juga memandang bahwa perilaku manusia terbentuk karena adanya pengaruh dari penguatan (reinforcement). Dalam hal ini tidak diperbincangkan adanya makna perilaku baik dan buruk, kecuali hasil dari reinforcement sebagai penguat positif atau negatif. Teori ini juga memandang motivasi untuk mendorong manusia bertingkah laku adalah
27
penyesuaian
diri
Robert E. Slavin, Op. Cit., hlm. 210.
dengan
lingkungan.
Konsep
ini
103
mengisyaratkan bahwa ketika manusia dilahirkan, ia tidak membawa bakat apa – apa karena manusia berkembang atas dasar stimulasi dari lingkungannya. Pandangan ini beranggapan bahwa manusia tidak memiliki kesempatan untuk menentukan dirinya sendiri, oleh karena itu aliran ini memiliki kecenderungan untuk mereduksi manusia. Artinya, manusia tidak memiliki jiwa kemauan dan kebebeasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Dalam hal ini kiranya perlu dipertimbangkan bahwa manusia sebagai makhluk hedonis, padahal manusia juga memiliki kehendak untuk mengabdi pada Tuhannya dengan tulus ikhlas dan penuh kesadaran. Aliran
behavioristik
mempelajari
terbentuknya
perilaku
manusia atas dasar konsep stimulus-respons yang berarti perilaku manusia sangat terkondisi oleh lingkungan. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia yang buruk, sebaliknya lingkungan yang baik menghasilkan manusia yang baik. Dengan demikian nampak bahwa prinsip teori belajar behavioristik cukup relevan dengan Islam karena mengajarkan besarnya pengaruh lingkungan terhadap manusia sebagaimana ungkapan sebuah hadits: “Manusia dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasroni atau Majusi.” (H.R.Bukhari). Perilaku manusia mengikuti hukum sebab-akibat, dimana sebab-sebab itu sendiri dapat dikontrol dan diciptakan. Para ahli aliran behaviouristik berhasil menemukan kaidah-kaidah belajar yang
104
melandasi perubahan perilaku. Kaidah dan hukum belajar ini dapat dianggap sebagai keunggulan dari aliran behavioristik dalam menelaah konsep manusia yang dikaitkan dengan firman Allah dalam surat Ar – Ra’d ayat 11 yaitu bahwa manusia dapat mengubah nasib dirinya sendiri. Petunjuk Tuhan bagi mereka yang ingin mengubah nasib dirinya tentunya dapat menggunakan metode dan teknik belajar dengan memanfaatkan temuan-temuan aliran behavioristik.28 Dari uraian diatas, dapat diambil beberapa kekuatan teori belajar behavioristik yaitu: a. Menjelaskan banyak hal tentang perilaku sehingga bermanfaat untuk memodifikasi atau merubah perilaku siswa. b. Menyajikan banyak tekhnik pemberian hadiah dan hukuman untuk memperkuat dan memperlemah perilaku siswa. c. Teori behavioristik cocok untuk penegakan kedisiplinan karena memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum
28
Rifaat Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islami (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2000), hlm.61-62.
105
dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. 2. Kelemahan Teori Belajar Behavioristik Teori-teori belajar perilaku mempunyai ruang lingkup yang terbatas. Keterbatasannya yaitu hanya terfokus pada perilaku yang dapat diamati, proses belajar yang kurang terlihat seperti pembentukan konsep, pembelajaran dari teks, dan pemecahan masalah. 29 Terdapat hal yang berseberangan antara pendidikan Islam dengan teori belajar behavioristik, yaitu ada faktor lain yang tidak kalah penting dari lingkungan, pengkondisian, dan berbagai pembiasaan atau latihan. Faktor tersebut adalah faktor bawaan, keturunan atau hereditas. Akan tetapi di dalam Islam, ada yang lebih penting diatas semuanya yaitu faktor kehendak atau iradah Allah, dan persetujuan atau taufiq dari Allah. Biarpun seseorang sudah berada di lingkungan yang terbaik, berasal dari keturunan terbaik, tetap saja semuanya bergantung pada kehendak dan persetujuan Allah. Disinilah do’a sangat berperan penting. Ajaran
Islam
mempertimbangkan
jiwa,
mengkaji perilaku
perilaku manusia
dengan hanya
cara
merupakan
interpretasi dari kejiwaan manusia. Jadi tidak hanya dari aspek stimulus-respon saja seperti yang diungkapkan teori behavioristik. Iman Al Ghozali mendefinisikan jiwa dengan istilah nafs (jiwa), qalbu
29
Robert E. Slavin, Loc. Cit.
106
(hati), roh dan aql (akal). Dalam teori behavioristik, istilah tadi tidak nampak sama sekali. Teori psikologi behavioristik tidak mengkaji jiwa tetapi akibatnya yaitu tingkah laku. Unsur rohaniah manusia sudah tidak dianggap penting dalam kesehatan mentalnya.30 Dari penjelasan di atas dapat diambil kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam teori behavioristik yaitu: a. Hanya menjelaskan proses belajar yang dapat diamati, tidak mencakup proses kegiatan mental (kognitif). b. Peristiwa belajar bersifat otomatis-mekanis, padahal seseorang belajar itu memiliki sifat self control (kontrol diri) untuk menolak atau merespon sesuatu bila tidak ia kehendaki.31 c. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur. d. Tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. e. Tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. 30
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: PT Al Husna Zikra, 1995), hlm.
308. 31
Abdul Rahman Saleh, Psikologi: Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 216.
107
f. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi
tingkat
emosi
siswa,
walaupun
mereka
memiliki
pengalaman penguatan yang sama. g. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan (shaping), yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, tidak sekedar pembentukan (shaping). h. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi. i. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. j. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru,
108
hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Teori ini hanya menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual. Berdasarkan uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa pemikiran pendidikan behavioristik tidak sepenuhnya dapat diterima dalam ajaran pendidikan Islam. Pemikiran pendidikan tersebut hanya berdasarkan pada pandangan filsafat manusia yang dilihat hanya dalam segi luarnya saja, dan kurang melihat dari segi dalam diri manusia itu sendiri. Dalam pandangan behavioristik manusia dianggap sebagai tong kosong, makhluk yang tidak berjiwa, atau seperti robot yang dapat digerakkan sepenuhnya oleh keinginan sang dalang. Ini menjadikan manusia yang hanya melakukan sesuatu karena hadiah atau pahala sebagai upah perbuatan baik dan hukuman atau dosa sebagai balasan perbuatan buruk. Dan hal ini bertentangan dengan pandangan Islam yang melihat manusia sebagai makhluk yang memiliki hati nurani, fikiran, perasaan, dan kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedangkan kalau kita fahami, bahwa pandangan Skinner hanya mendasarkan diri tentang manusia, dan tidak dibarengi dengan pandangan tentang Tuhan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Hal ini menunjukkan tentang kedangkalan pandangan behavioristik.
109
3. Sikap Terhadap Teori Behavioristik Perlu diingat bahwa psikologi modern tidaklah semuanya Barat. Ia merupakan pengalaman berpuluh abad lamanya. Banyak ide-ide yang berasal dari Aristoteles dan berbagai filosof Yunani lama biarpun pada cabang yang mutakhir dari psikologi pendidikan. Dalam bidang pribadi, sosial, dan pengobatan jiwa terdapat ide-ide yang telah disumbangkan oleh pemikir-pemikir Islam seperti Ibn Sina, Ibn Sireen, Al Ghozali, dan lain-lain. Jadi kalau kita buang keseluruhan psikologi Barat mungkin kita akan membuang sebagian warisan kita sendiri. Yang perlu dilakukan adalah bersikap waspada dan berjaga-jaga. 32 Terkait dengan teori belajar behavioristik, kita tidak perlu menerima atau menolak suatu teori secara keseluruhan. Yang perlu diingat bahwa prinsip-prinsip teori ini khususnya dalam pemberian hadian dan hukuman hanya sebatas alat atau instrument penunjang dalam pembelajaran, bukan sebagai tujuan pendidikan. Teori belajar behavioristik mereduksi manusia hanya terbatas pada mekanikal-pragmatis dan menjadikan individu berorientasi pada materi (hadiah). Meskipun demikian, tidak semua konsep teori belajar behavioristik itu bersifat destruktif atau bertentangan dengan Islam. Teori-teori pembelajaran perilaku sangat penting bagi penerapan psikologi pendidikan dalam pengelolaan ruang kelas, disiplin, motivasi,
32
Hasan Langgulung, Op. Cit., hlm. 318.
110
model pengajaran, dan bidang-bidang lain. 33 Di sisi lain, masih terdapat beberapa pemikiran yang tidak bertentangan dengan Islam, sehingga perlu diadakan sintesa. Dari sintesa teori belajar tersebut diharapkan muncul teori belajar terpadu yang selaras dengan idealisme Islam, yaitu kumpulan dari beberapa prinsip yang berkaitan dengan belajar yang bersumber dari Al-Qur’an, hadist, khazanah pemikiran intelektual muslim, dan mengadopsi teori belajar barat yang relevan dengan Islam. Harapannya dengan teori belajar terpadu ini memberikan implikasi pada proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
33
Robert E. Slavin, Op. Cit., hlm. 211.