13
BAB II KONSEP GANJARAN DAN HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Ganjaran dan Hukuman Dalam kamus bahasa Inggris discipline itu berasal dari kata disciple, yang artinya “ketertiban”.1 Elizabeth mengartikan disiplin ialah seseorang yang belajar atau dengan sukarela mengikuti seseorang pemimpin (orang tua dan guru), sedangkan anak adalah murid yang belajar untuk mencapai hidup yang berguna dan bahagia. Dengan demikian discipline adalah cara masyarakat mendidik anak sebagai tingkah laku moral yang disetujui oleh suatu kelompok.2 Sebaliknya, hukuman dalam istilah psikologi adalah cara yang digunakan pada waktu keadaan yang merugikan atau pengalaman yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja menjatuhkan orang lain. Secara umum disepakati bahwa hukuman adalah ketidaknyamanan (suasana tidak menyenangkan) dan perlakuan yang buruk atau yang jelek.3 Pada
dasarnya
metode
mengandung
implikasi
bahwa
proses
penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Jadi penggunaan metode dalam proses kependidikan pada hakikatnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik atau mengajar.4
1
Jhon M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (An English-Indonesian Dictionary), (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 185 2 Elizabeth Bergner Hurlock, Child Develoment, (Tokyo-Japan: Grawhill, kogakhusa, 1978), hlm. 392 3 Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28, Th. IV, Nopember, 1999, hlm. 23 4 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 98
14
Berkaitan dengan konsep ganjaran dan hukuman sebagaimana firman Allah SWT:
& % $!"#"#" “Barang siapa yang melakukan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya, dan barang siapa yang melakukan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya”. (Q.S. AlZalzalah: 7-8).5 Dengan menyimak ayat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa balasan yang pertama adalah apa yang dikenal dengan istilah ganjaran (reward), sedangkan balasan yang ke dua adalah hukuman (punishment), di mana ayat ini juga menjelaskan bahwa ganjaran dan hukuman merupakan pedoman dari Allah SWT, dan Islam mengakui hal tersebut sebagai salah satu hukum yang berlaku dalam kehidupan manusia atau masyarakat. Ganjaran di dalam al-Qur’an biasanya disebutkan dalam berbagai bentuk uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz ajr (
) dan tsawab (
),
seperti dalam surat al-Baqarah: 62, al-Ankabut: 58 dan al-Bayyinah: 8.6 Dafid. L Sills mendefinisikan ganjaran ialah: “reward is one of educations tools with given to the pupil as apprecation toward accomplis ment was he reached”. 7 Ganjaran ialah salah satu alat pendidikan yang diberikan pada murid sebagai imbalan terhadap prestasi yang dicapainya. Sedangkan al-Ghazali mengartikan ganjaran ialah
5
Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1971), hlm. 1087 Muhammad Fuad Abdi al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an, (Beirut: Daar al-Fikr, 1992), hlm. 17-18, 205-206 7 Dafid. L Sills, International Ensyclopedia of the Social Seiences, (London: Collier Macmillan, 1972), hlm. 320 6
15
4,5 6 7 89:;<= 3'( ) I
* +, -. -/ "
01 0 2
> -=" 019? @ABC 4@A D E4,5 FGH
“Sewaktu-waktu anak telah nyata budi pekerti yang baik dan perbuatan yang terpuji, maka seyogyanya ia dihargai dan dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan dipuji di depan orang banyak (diberi hadiah)”. Yang perlu diingat dan digaris bawahi ganjaran identik dengan tujuan baik, sedang suap lebih identik dengan tujuan jelek. Meskipun beberapa studi menunjukkan, bahwa untuk meningkatkan motivasi, pemberian ganjaran lebih efektif dibanding dengan cara lainnya; memberi sanksi, mengomeli, memarahi dan lain sebagainya, tetapi sebagian orang tua kurang setuju dengan hal itu. Dikhawatirkan anak terlalu mengharapkan ganjaran yang akan diberikan, sehingga hanya bekerja bila ada hadiah. Memang inilah yang menjadi tantangan bagi para pendidik atau orang tua, oleh karena itu diusahakan bagaimana caranya supaya dapat menghilangkan pemberian hadiah tidak sesering mungkin terutama dalam bentuk materi, berikan hadiah sewajarnya dan jangan terlalu berlebihan. 9 Dari penjelasan tersebut penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud ganjaran ialah suatu pemberian yang diberikan anak didik karena anak telah melakukan kebaikan dan juga merupakan pembinaan yang dipandang sebagai proses sosial dapat melahirkan anak yang berwatak sosial, yang dapat meraih watak kemanusiaannya yang memiliki bekal nilai-nilai dan yang mematuhi perintah serta larangan moral dan sosial yang merupakan syarat bagi tercapainya kehidupan anak yang baik dan stabil. Berkaitan dengan hukuman (punishment) ada beberapa pandangan bahkan ada yang berpendapat dan percaya tentang hukuman itu sendiri dan juga 8
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, I’hya’ Ulumuddin, Juz III, (Beirut-Libanon: Daar alKutub al-Ilmiyyah, t. th), hlm. 78 9 Charles Schaefer, Bagaimana Mempengaruhi Anak, (Jakarta: Dahara Prize, 1989), hlm. 21-22
16
sebaliknya. Untuk itu perlu ditegaskan pula apa yang dimaksud dengan hukuman dalam pembahasan ini, sebagaimana ganjaran yang sudah disinggung di atas. Dalam al-Qur’an hukuman juga biasanya disebutkan dalam berbagai bentuk uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz i’qab ( (
), rijz (
), adzab
), ataupun berbentuk pernyataan (statement). Kata adzab seperti
dalam surat at-Taubah: 74, al-Imron: 21, kata rijz seperti dalam surat al-A’raf: 134 dan 165, dan kata i’qab seperti dalam surat al-Baqarah: 61 dan 65, al-Imron: 11.10 Elizabeth B. Hurlock mendefinisikan hukuman ialah:“punishment means to inpose a penalty on a person for a fault offense or violation or retaliation”.11 Hukuman ialah menjatuhkan suatu siksa pada seseorang karena suatu pelanggaran atau kesalahan sebagai ganjaran atau balasannya. Abdullah Nashih Ulwan berpendapat hukuman ialah “hukuman yang tidak ditentukan oleh Allah untuk setiap perbuatan maksiat yang di dalamnya tidak ada had atau kafarat”.12 Sehingga bisa dibedakan antara hukuman yang khusus dikeluarkan negara dengan hukuman yang diterapkan oleh kedua orang tua dalam keluarga dan para pendidik di sekolah. Karena baik hudud atau hukuman ta’zir keduanya sama bertujuan untuk memberi pelajaran baik bagi si pelaku ataupun orang lain, semua itu adalah sebagai cara yang tegas dan tepat untuk memperbaikinya.13 Berdasarkan pengertian di atas, adanya hukuman disebabkan oleh adanya pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Jadi, yang dimaksud menghukum yaitu memberikan suatu hukuman yang tidak menyenangkan atau pembalasan dengan sengaja pada anak didik dengan maksud supaya anak tersebut jera. Perlu 10
Muhammad Fuad Abdi al-Baqi, op. cit., hlm. 572-578 Elizabeth Begner Hurlock., op. cit., hlm. 396 12 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak dalam Islam, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 308 13 Ibid., hlm. 311 11
17
dijelaskan disini bahwa pembalasan bukan berarti balas dendam, sehingga anak benar-benar insyaf dan sadar kemudian berusaha untuk memperbaiki atas perbuatan yang tidak terpuji. Sedangkan Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa : UV
6 MQR
S-#" L AJTL ' L … !-JKL !@-M" N 0= O ;" P8
‘Maksud
hukuman dalam pendidikan Islam ialah…sebagai tuntutan dan perbaikan, bukan sebagai hardikan atau balas dendam.’ Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukuman
memiliki tujuan perbaikan, bukan menjatuhkan hukuman pada anak didik dengan alasan balas dendam. Maka dari itu seorang pendidik dan orang tua dalam menjatuhkan hukuman haruslah secara seksama dan bijaksana. Kalau dilihat secara ringkas mengenai kedudukan hukuman dalam masyarakat Islam yang bersumber dari al-Qur’an, menurut Abdurrahman Shaleh Abdullah Islam mengenal tiga kategori hukuman yaitu hudud, qishasdan ta’zir.15 Adapun dalam pembahasan ini, hukuman yang dimaksud bersifat edukatif atau mendidik dan dalam masyarakat Islam dikenal dengan sebutan hukuman ta’zir. Kata “ta’zir” menurut kamus istilah fiqih adalah bentuk masdar dari kata kerja “azzara” yang artinya menolak, sedang menurut istilah hukum syara’ berarti pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang tidak mempunyai hukum had, kafarat dan qishas.16 Maka dari itu hukuman haruslah mengandung unsurunsur pendidikan baik diputuskan oleh hakim ataupun yang dilakukan orang tua
14
hlm. 155
Athiyah al-Abrasyi, Tarbiyah al-Islamiyah wa falsafaiuha, (Mesir: As-Syirkham, 1975),
15 Abdurrahman Shaleh Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Qur’an serta Implementasinya, (Bandung: Diponegoro, 1991), hlm. 236 16 Muhammad Abdul Mujib, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 384
18
dan para pendidik terhadap anaknya, ini kepentingan si pelaku maupun masyarakat umum. Dari beberapa uraian tentang pengertian hukuman tersebut, dapatlah penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukuman dalam pendidikan, khususnya pendidikan Islam sebagai tindakan edukatif berupa perbuatan orang dewasa atau pendidik yang dilakukan dengan sadar pada anak didiknya dengan memberi peringatan dan pelajaran kepadanya atas pelanggaran yang telah diperbuatnya sesuai dengan prinsi-prinsip dan nilai-nilai keislaman. Sehingga anak didik menjadi sadar dan menghindari segala macam pelanggaran dan kesalahan yang tidak diinginkan atau dengan berhati-hati dalam setiap melakukan sesuatu. B. Dasar dan Tujuan Ganjaran dan Hukuman Istilah ganjaran dan hukuman sudah lama dikenal manusia, lantaran hal itu pada awalnya bukanlah ciptaan manusia, dan memang sudah ada sejak manusia pertama Adam as lahir ke dunia yang fana ini. Hanya dengan adanya pergantian zaman dan peralihan dari satu generasi kegenerasi lain, ditambah dengan kegiatan dan kebutuhan manusia yang beraneka ragam, maka bentuk dari ganjaran dan hukuman berbeda. Istilah yang digunakan sama hanya penerapannya yang berbeda, namun demikian Islam telah memberikan dan menunjukan batasan dan pengertian yang jelas dan umum antara ganjaran dan hukuman tersebut, melalui berbagai dalil dan bukti.17 Hukuman pada dasarnya merupakan akibat dari suatu perbuatan manusia sendiri, sebagaimana firman Allah SWT berfirman :
17
Abdurrazak Husain, Hak dan Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Fikahati, 1992), hlm. 102-103
19
L W:"
O XY N Z0" [ XY
Q\B" N
" @]5 ^_ Z0@`] (a"(M 8 & $!@(M" /Q
“Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan menghazab mereka, dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (Q.S. At-Taubah: 74) 18 Sedangkan dalam hadits diterangkan sebagai berikut :
ZP,K 4,5 _ dP,T _ (K c$ c3 -BS 5 34@ 5 3b @ 5 5 3 j5 g=@ Zh 0,5 Zh(@k 3? =K f
Soenarjo, dkk., op.cit., hlm. 291 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Sunan Abu Daud, Juz I, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t. th), hlm. 133 20 Muhammad Ali Quthb, Auladuna Fi Dlau-it Tarbiyah al-Islamiyah; Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, (Kairo: Maktabah Qur’an, 1993), hlm. 89 19
20
jika sudah berusia 10 tahun, tujuan diberikannya hukuman pukul ini supaya anak menyadari kesalahannya. Makna dari kata (
) dalam hadits tersebut adalah memberikan pukulan
secara fisik, karena anak meninggalkan shalat. Di samping itu, pukulan yang diberikan harus mengenai badannya dan tidak boleh mengenai wajahnya.Oleh karena itu, pukulan tersebut harus diberikan kepada anak ketika sudah berumur 10 tahun, karena pada usia 10 tahun ke atas ini seorang anak sudah dianggap mempunyai tanggung jawab (baligh).21 Hukuman dengan memukul adalah hal yang diterapkan oleh Islam sebagaimana hadis Nabi di atas. Dan ini dilakukan pada tahap terakhir, setelah nasehat dan cara lain tidak bisa. Tata cara yang tertib ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat, sebab pukulan adalah hukuman yang paling berat dan tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain tidak bisa dan perlu diketahui pula bahwa Rasulullah SAW sama sekali belum pernah memukul seorangpun dari istri-istrinya. Adapun tujuan hukuman dalam pendidikan ialah : a.
Untuk memperbaiki individu yang yang bersangkutan agar menyadari kekeliruannya, dan tidak akan mengulanginya lagi.
b. Melindungi pelakunya agar dia tidak melanjutkan pola tingkah laku yang menyimpang, buruk dan tercela. c.
Sekaligus juga melindungi masyarakat luar dari perbuatan dan salah (nakal, jahat, asusila, kriminial, abnormal dan lain-lain) yang dilakukan oleh anak atau orang dewasa.22
21
Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, A’unul Ma’bud; Syarah Sunan Abi Daud, Juz II, (Beirut : Daar al-Fikr, t. th), hlm. 161 22 Kartini Kartono, Pengantar Mendidik Ilmu Teoritis (Apakah Pendidikan masih Diperlukan), (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 261
21
d.
Menurut Emile Durkeim dalam dunia pendidikan ada teori pencegahan. Dalam teori ini hukuman merupakan suatu cara untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap peraturan. Pendidikan menghukum si anak selain agar anak tidak mengulangi kesalahannya juga untuk mencegah agar anak lain tidak menirunya.23 Sedangkan Asma Hasan Fahmi mengungkapkan tujuan hukuman dalam
Pendidikan Islam sebagi berikut : “tujuan hukuman mengandung arti positif, karena ia ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan semata-mata untuk membalas dendam, oleh karena itu orang Islam sangat ingin mengetahui tabi’at dan perangai anak-anak sebelum menghukum mereka, sebagaimana mereka ingin sekali mendorong anak-anak ikut aktif dalam memperbaiki kesalahan mereka sendiri, dan untuk ini mereka melupakan kesalahan anak-anak dan tidak membeberkan rahasia mereka”.24 Berdasarkan penjelasan tujuan hukuman di atas maka dapat diambil pengertian bahwa tujuan hukuman dalam pendidikan Islam untuk perbaikan kesalahan yang dilakukan anak-anak yang sama serta membutuhkan motivasi dalam berfikir dan bertindak sehingga akan tercapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan tujuan pokok hukuman dalam syariat Islam ialah pencegahan, pengajaran dan pendidikan, arti pencegahan ialah menahan si pembuat kejahatan supaya tidak ikut-ikutan berbuat kesalahan. Kata ganjaran biasanya dikenal dengan istilah ‘ajr atau tsawab, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an, yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau di akhirat kelak karena amal perbuatan yang baik.25 Allah SAW berfirman :
23
Emile Durkeim, Pendidikan Moral (Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan), (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 116 24 Asma Hasan Fahmi, Sejarah Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 140 25 Abdurrahman Shaleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 221
22
=pu " \b u ^_
d,c
L r (s pq Q\B" r (s^_ Z[t &
$8 5
”Karena itu Allah memberikan mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Al-Imron: 148)26 Kelebihan ganjaran di akhirat berasal dari sumbernya yang unggul. Hal ini diilustrasikan mengapa Nabi Muhammad SAW hanya mengharap balasan dari Allah semata. Maka dengan adanya kenyataan seperti ini pelajar menurut sistem pendidikan Islam harus diberi motivasi sedemikian rupa dengan ganjaran.27 Dan dalam surat yang sama pula al-Imron : 159 bertemulah pujian yang tinggi dari Tuhan terhadap Rasulnya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah pada umatnya yang tengah dituntun dan didiknya iman mereka agar sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa orang yang meninggalkan tugasnya karena tamak akan harta, tetapi Rasulullah tidak langsung marah-marah, melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini Tuhan menegaskan sebagai pujian kepada Rasulnya bahwasnya sikap lemah lembut itu dikarenakan dalam dirinya telah dimasukkan Tuhan berupa rahmat, rasa belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Tuhan ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itulah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin. Tentunya masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang pujian baik secara khusus ditujukan kepada beliau atau untuk seluruh umat manusia.28 Ganjaran bila diterapkan dalam pendidikan tentunya akan memiliki kesan positif, yaitu sebagai motivasi bagi anak didik, untuk itu perlu dibedakan antara ganjaran dan suap. Dengan adanya ganjaran anak didik akan terus melakukan pekerjaannya dengan baik dan tentunya ingin melakukan yang terbaik lagi. 26
Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 100 Abdurrahman Shaleh, op. cit., hlm. 233 28 Hamka, Tafsir al–Azhar, Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. 129 27
23
Karena dengan memberikan dorongan dan menyayangi anak adalah sangat penting. Dalam hal ini, harus diperhatikan keseimbangan antara dorongan yang berbentuk materi dengan dorongan yang spirituil, sebab tidaklah benar jika pemberian dorongan tersebut hanya terbatas pada hadiah-hadian yang sifatnya materi saja. Hal ini dimaksudkan agar si anak tidak menjadi orang yang selalu meminta balasan atas perbuatannya. Sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan ganjaran berupa benda yaitu : 1. Hadiah tersebut harus benar-benar berhubungan dengan prestasi yang dicapai. 2. Hadiah tersebut disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang menerima. 3. Hadiah tersebut sebaiknya tidak perlu terlalu mahal.29 Adapun tujuan diberikannya ganjaran telah dijelaskan dalam al-Qur’an, yaitu tentang ganjaran yang diberikan untuk membalas orang beriman dan beramal shaleh agar mereka mempertinggi keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana firman Allah SWT :
8B5 x -=S Z0y@ B=5 Zhz#S o! <" Zh v w"[x u,-/ "([, 5 (=9 ]a" a8 :j "v " 4=5(k Z0=5^_ :k 3 B@9 0{ B, 0QXY 0Mu| F }| & % $!=-<" o4@ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka disisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadapNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.30
29
Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 165 30 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 1085
24
Dalam pemberian ganjaran belum tentu selalu diberikan pada anak terpandai terutama di sekolah, karena memang anak yang pandai selalu menunjukkan hasil yang baik dan hal tersebut tidak perlu selalu diberi ganjaran, sebab jika begitu ganjaran akan berubah fungsi menjadi upah. Di satu sisi ada anak yang biasa-biasa saja tapi mau berusaha meningkatkan prestasinya itulah yang perlu diberikan ganjaran, karena dengan begitu ia akan semakin giat untuk selalu meningkatkan prestasi dan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Menurut para ahli psikologi, seperti penganut teori kondisional mengatakan bahwa “ganjaran merupakan pendorong utama dalam proses belajar”. Teori empiristik juga memandang bahwa “ganjaran membantu anak dalam belajar, sebab tatkala kita memberi ganjaran kepada anak sesungguhnya kita membantu anak untuk berperilaku baik, lalu kita menarik anak pada pengalaman yang ingin kita ajarkan”. Teori-teori belajar menekankan bahwa berbagai ganjaran dapat menimbulkan respon positif pada anak dan dapat menciptakan kebiasaan relatif kokoh dalam dirinya. 31 Dengan kata lain, anak didik menjadi lebih keras kemauannya untuk berbuat yang lebih baik lagi, jadi yang terpenting disini bukanlah karena hasil yang dicapai seseorang melainkan dengan hasil tersebut bertujuan membentuk kata hati dan kemauan yang lebih baik dan lebih keras pada anak.32 Untuk itu perlu dibedakan antara ganjaran, suap dan upah. Suap yang berarti pemberian dengan terpaksa sedangkan upah bersifat sebagai ‘ganti rugi’. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pemberian ganjaran dalam pendidikan sebagai dorongan atau motivasi bagi anak didik untuk melakukan sesuatu, karena dengan pemberian ganjaran akan terkesan positif yang membekas 31 Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 40 32 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Praktis dan Teoritis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 182
25
dalam dirinya dan timbul suatu keinginan kuat untuk selalu melakukan sesuatu yang terbaik dan lebih baik tentunya. Karena ganjaran mempunyai peran sebagai dorongan dalam menguatkan perilaku yang positif dalam diri anak didik. C. Macam dan Fungsi Ganjaran dan Hukuman Untuk menentukan ganjaran apakah yang layak dan baik diberikan kepada anak merupakan suatu hal yang sangat sulit. Karena ganjaran sebagai alat pendidikan banyak sekali macamnya, ganjaran pada dasarnya dapat berupa materi dan non materi, yang berupa materi seperti barang atau benda dan yang non materi tentunya lebih banyak lagi seperti pujian, perhatian, penghargaan dan lain sebagainya. 1. Macam ganjaran a.
Pujian yang baik (memberi kata-kata yang menggembirakan)
b.
Berdo’a
c.
Menepuk pundak
d.
Memberi pesan
e.
Menjadi pendengar yang baik
f.
Mencium buah hati dengan penuh cinta dan kasih sayang33
g.
Ganjaran dapat juga berupa benda yang menyenangkan dan berguna bagi anak-anak seperti : pensil, buku tulis, makanan ringan, permainan dan lain sebagainya.34 Ganjaran yang berbentuk materi dalam prakteknya telah banyak
dilakukan oleh pendidik atau guru yakni pemberian hadiah berupa barangbarang yang diperkirakan mengandung nilai bagi siswa. Perlu diingat bahwa dalam memberikan ganjaran yang berupa benda ini dari para pendidik atau
33
Muhammad Bin Jamil Zainu, Solusi Pendidikan Anak Masa Kini, (Jakarta: Mustaqim, 2002), hlm. 142-144 34 Ngalim Purwanto, op. cit., hlm. 183
26
guru dituntut pertimbangan yang lebih cermat dibandingkan dengan pemberian ganjaran dalam bentuk lain. Untuk itu seorang guru harus sangat berhati-hati dan bijaksana sebab dengan benda-benda itu mudah benar berubah fungsi menjadi upah bagi siswa. Pada dasarnya anak dalam semua usia suka pada pujian yang ditujukan pada dirinya, pujian tidak hanya memberikan kepada perasaan puas akan tetapi yang lebih penting adalah menimbulkan perasaan aman, menolongnya untuk menerima kenyataan suatu kelompok. Oleh karena itu patokan yang paling penting ialah pujian, pujian hanya menyangkut usaha anak untuk melakukan sesuatu dan pujian hanya menyangkut hasil yang dicapai anak, bukan menyangkut watak dan kepribadiannya. Misalnya bila anak membersihkan lantai, komentar yang wajar ialah “betapa ia bekerja keras dan betapa lantai kini tampak menjadi bersih”. Sama sekali tidak pada tempatnya untuk mengatakan kepadanya “kau anak yang baik“. Kata-kata pujian harus merupakan suatu cermin yang menampakkan pada anak berupa gambaran yang realistis tentang apa yang dibuatnya dan juga prestasinya, sebaliknya
bukan
menyajikan
gambaran
muluk-muluk
tentang
kepribadiannya. Untuk semua alasan ini pujian adalah hadiah yang paling baik yang bisa diberikan karena perbuatan baik. Durkheim mengatakan, pada umumnya ganjaran secara eksklusif berupa ucapan penghargaan dan pujian secara terbuka, sebagai ungkapan rasa hormat dan kepercayaan tinggi seorang yang telah berbuat sesuatu yang baik secara istimewa sekali. 35 Selanjutnya perhatian, yang dimaksud ganjaran berupa perhatian di sini ialah si pendidik senantiasa mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan aspek aqidah dan moral anak, mengawasi dan memperhatikan.
35
Emile Durkheim, op. Cit., hlm. 148
27
Kesiapan mental dan sosial, di samping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan kemampuan ilmiahnya, hendaknya para pendidik selalu memperhatikan dan senantiasa mengikuti serta mengamati anakanaknya dalam segala segi kehidupan dan pendidikan yang universal.36 Menurut Elizabeth, fungsi ganjaran dalam pendidikan ialah : 1)
Hendaknya ganjaran mempunyai nilai mendidik. Dan anak merasa bahwa hal itu baik, ganjaran mengisyaratkan bahwa perilaku mereka itu baik.
2)
Ganjaran berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial. Karena anak akan bereaksi dengan positif terhadap persetujuan yang dinyatakan dengan ganjaran, di masa mendatang mereka berusaha untuk berperilaku dengan cara yang akan lebih banyak memberikan hadiah.
3)
Ganjaran berfungsi untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tiadanya ganjaran melemahkan keinginan untuk mengulangi perilaku itu. Ganjaran harus digunakan untuk membentuk asosiasi yang menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan.37 Dengan demikian hendaklah para pendidik atau orang tua dalam
memberikan ganjaran harus benar-benar punya arti tersendiri atas apa yang sudah diperbuat oleh anak didik dan harus memiliki fungsi untuk memperkuat pendapat/ keyakinan individu bahwa perbuatan tersebut benar. Yang dalam psikologi dikenal dengan istilah “reinforcement” (penguatan). Sehingga dengan pemberian ganjaran yang dilakukan secara terus-menerus lama-kelamaan tidak akan berfungsi efektif lagi, untuk itu berilah ganjaran dengan sewajarnya dan sebijaksana mungkin, supaya mempunyai nilai positif bagi anak didik maupun pendidik.
36 37
Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 275 Elizabeth Begner Hurlock, op. cit., hlm. 396
28
2. Macam hukuman Hukuman yang dapat diterapkan pada anak dapat dibedakan menjadi beberapa pokok bagian yaitu : a.
Hukuman bersifat fisik seperti : menjewer telinga, mencubit dan memukul. Hukuman ini diberikan apabila anak melakukan kesalahan, terlebih mengenai hal-hal yang harus dikerjakan anak.
b.
Hukuman verbal seperti : memarahi, maksudnya mengingatkan anak dengan bijaksana dan bila para penddidik atau orang tua memarahinya maka pelankanlah suaranya.
c.
Isyarat non verbal seperti : menunjukkan mimik atau raut muka tidak suka. Hukuman ini diberikan untuk memperbaiki kesalahan anak dengan memperingatkan lewat isyarat. Seperti sabda Nabi :
_ B<5 53 p @8 ,K 5 3r 0 @ 5 3v " 5 3.= " =s-Bq 9 €4|•} $6 o~ _ (K • ' > -<5 @ lD" 8 i $ c 3> <5 @ 6o~ _ (K } $4"€ ‚=| 0"€ ‚= lD" } 4MDMp| Z M …I &' '(@ o Y -+-j" ƒ€ lD" 4S „ / “Kami diberitahu oleh al-Qa’naby, dari Malik dia berkata, Fadhl bin Abbas pernah dibonceng Rasulullah, lalu ada seorang wanita dari Khutsum meminta fatwa kepada beliau, pada waktu itu Fadhl memandangnya, begitu juga sebaliknya wanita itu memandang Fadhl, dan Nabi memalingkan muka ke lain pihak”.(H.R. Abu Daud) d.
Hukuman sosial seperti : mengisolasi dari lingkungan pergaulan agar kesalahan tidak terulang lagi dengan tidak banyak bicara dan meninggalkannya agar terhindar dari ucapan buruk.
38
Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abu Daud, jilid I, (Beirut: Daar alFikr, t. th), hlm. 552
29
@B K 5 3r (- 5 !,5 @ ‡€ =s-Bq 3!< † @ 7@(@ =s-Bq :‰ 6o~ _ (K P8€$ c 0= 3„ ] D; @_ B<" < cP893ˆ<S --p" p7| 0-=7" o -B5 •7=|L BT B/|L 0-Q€$ c 3„ ]Š 5 L Œ „ ]‹ 2 34=5 d‰ 6o~ _ (K P89 v s -Bq9 $ o? " •D| …• &Z,p o B@9v ,i9 “Kami diberitahu oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, kami diberitahu oleh Ismail bin Ulaiyah dari Ayyub, dari Sa’id bin Jubair, bahwasannya tetangga Abdullah bin Mughaffal melempar dengan kerikil, lalu dilarang oleh Abdullah katanya:”bahwa rasul melarang orang yang membidik dengan kerikil (melempar dengan kerikil)”. Lalu ia tetap mengulanginya lagi, dan dikatakan kepadanya:”telah kukatakan padamu, bahwa Rasulullah melarang melempar dengan kerikil, tapi kamu masih tetap ngotot!, maka aku tidak akan mengajakmu berbicara (tidak menegur lagi)”. (H.R. Muslim) Menghukum merupakan sesuatu yang “tidak disukai” namun perlu diakui bersama bahwa hukuman itu memang diperlukan dalam pendidikan karena
berfungsi
menekan,
menghambat
atau
mengurangi
bahkan
menghilangkan perbuatan yang menyimpang.40 Dari uraian di atas tentang macam hukuman kiranya dapat disimpulkan bahwasanya hukuman itu dapat diterapkan dalam pendidikan, terutama hukuman yang bersifat pedagogis. Menghukum bilamana perlu dan jangan terus-menerus serta hindarilah hukuman jasmani atau badan jikalau benar-benar tidak terpaksa. Hukuman pukulan berupa psikis antara lain ; terlalu banyak perintah, larangan, teguran dan tidak mengindahkan keinginan anak, sehingga banyak menyebabkan gangguan terhadap ketegangan anak. Menjadikan anak kurang 39
Abu al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Bab Karoha al-Khadhaf, juz III, (BeirutLibanon: Daar al-Kitab al-Ilmiyyah, t. th), hlm. 154
30
mempunyai inisiatif dan spontanitas, tidak percaya diri sendiri dan dipilihnya selalu tanggung jawab.41 Sedangkan dalam proses belajar itu perlu adanya motivasi untuk berbuat sesuatu, sedang bila kita menghindari untuk berbuat dengan cara tertentu, timbul kecenderungan yang kuat untuk memastikan tentang kebenaran dari keinginan kita tersebut. Ingat bahwa perbuatan salah mencerminkan kekurangtrampilan dan kelemahan. Untuk itu, ini masih bisa disembuhkan selama anak masih mempunyai percaya diri terhadap kemampuannya, jangan langsung menghukum akibat kesalahan yang diperbuatnya. Justru anda sebagai pendidik dituntut untuk memusatkan perhatian terhadap minat anak terhadap sesuatu yang telah dikerjakan dengan baik. Fungsi hukuman dalam pendidikan hendaknya meliputi tiga peran penting dalam perkembangan moral anak. 1.
Menghalangi, hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
2.
Mendidik, sebelum anak mengerti peraturan, maka dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah, dengan mendapatkan hukuman karena melakukan tindakan yang salah, dan tidak menerima hukuman bila melakukan tindakan yang diperbolehkan. Dan dengan meningkatnya usia, mereka belajar peraturan terutama lewat pengajaran verbal. Tetapi mereka juga belajar dari pengalaman bahwa jika mereka gagal mematuhi peraturan sudah barang tentu mereka akan mendapatkan hukuman. Aspek edukatif lain dari hukuman yang sering kurang dipehatikan adalah membedakan besar kecilnya kesalahan yang diperbuat mereka.
40 41
Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 168 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 84
31
3.
Memberi motivasi untuk menghindari dari perilaku yang tidak diterima masyarakat. Dengan demikian selagi anak masih bisa dididik dengan lembut dan
penuh kasih sayang, maka jangan sekali-kali orang tua melayangkan tangannya. Kita tahu bahwa hukuman dalam pendidikan anak merupakan metode terburuk yang sedapat mungkin kita hindari, akan tetapi dalam kondisi itu harus dipergunakan. Oleh karena itu, hukuman harus dianggap sebagai metode kuratif yang bertujuan untuk memperbaiki anak yang melakukan kesalahan. D. Syarat Penerapan Ganjaran dan Hukuman Masalah ganjaran dan hukuman berhubugan erat dengan topik menimbulkan minat anak didik terhadap proses belajar. Banyak para pendidik atau guru yang menggunakan ganjaran dan hukuman sebagai cara untuk mendorong anak didik untuk belajar. Alasan mereka dalam hal ini adalah bahwa anak memerlukan rasa harga diri dan keberhasilan untuk melanjutkan kemajuannya, dan untuk menjadikannya mengetahui bahwa kelengahan dan keburukan hasil perbuatan ada akibatnya.42 Di antara cara untuk membuat anak didik merasakan keberhasilannya adalah kita puji dia, atas perbuatan yang patut dipuji, dan di antara cara untuk mengingatkannya adalah dengan menggunakan hukuman, dan hukuman itupun harus dimulai dari yang paling ringan dulu, hukuman fisik baru boleh dilakukan sebagai alternatif terakhir. Dianjurkan bagi para pendidik, guru maupun orang tua yang percaya akan cara ini harus mengetahui tentang hakekat yang berhubungan dengan ganjaran dan hukuman. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai acuan dasar dalam memberikan ganjaran, sehingga mampu memotivasi perilaku baik anak didik sebagai berikut : 42
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. 2, hlm. 30
32
1)
Untuk memberi ganjaran yang pedagogis perlu sekali guru mengenal betulbetul muridnya.
2)
Ganjaran yang diberikan anak jangan sampai menimbulkan cemburu atau iri hati anak yang lain.
3)
Memberikan ganjaran hendaklah hemat
4)
Jangan memberikan ganjaran dengan menjanjikan terlebih dahulu sebelum anak melakukan sesuatu .
5)
Pendidik harus berhati-hati memberikan ganjaran, jangan sampai ganjaran yang diberikan anak berubah fungsi menjadi upah.43 Ganjaran tidak harus berupa barang, maka dari itu pujian, perhatian,
penghargaan dan lainnya itu akan lebih berkesan. Dengan keberhasilan anak didik dalam proses belajar mengajar itupun sudah merupakan hadiah, sehingga anak didik merasa puas dan lega terhadap dirinya. Hal itu akan membawa kemajuan yang berkelanjutan. Dan dalam memberikan hadiah hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari aspek yang menunjukkan keistimewaan prestasi.44 Sehingga dapat dikatakan, pemberian ganjaran yang berbentuk materi haruslah sesuatu yang menarik dan digemari anak, hadiah haruslah secukupnya, bersifat wajar dalam batas-batas tertentu serta tidak berlebih-lebihan, tidak terus menerus, karena dengan seringnya memberi ganjaran akan berakibat tidak baik yang menjadikan anak manja dan hanya bekerja untuk suatu ganjaran. Hendaknya ganjaran langsung diberikan setelah melakukan perbuatan itu, sehingga terjadi hubungan jelas antara perbuatan dan ganjaran yang diperoleh karenanya. Demikian pula hukuman yang diterapkan para pendidik baik di rumah atau sekolah berbeda-beda. Dari segi jumlah dan tata caranya, tidak sama dengan hukuman yang diberikan pada orang umum.
43 44
Ngalim Purwanto, op. cit., hlm. 184 Zakiah Daradjat, op. cit., hlm. 30-31
33
Hukuman yang bersifat pendidikan (pedagogis), harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang. b. Harus didasarkan pada alasan “keharusan”. c. Harus menimbulkan kesan di hati anak. d. Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik. e. Diikuti dengan pemberiam maaf dan harapan serta kepercayaan.45 Adapun Hukuman Berupa Fisik, Athiyah al-Abrasyi Memberikan Kriteria Yaitu : a. Pemukulan tidak boleh dilakukan pada anak didik dibawah umur 10 tahun b. Alat pemukulnya bukan benda-benda yang membahayakan, misalnya lidi, tongkat kecil dan lain sebagainya. c. Pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali, dan d. Hendaknya diberi kesempatan untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahan yang pernah mereka kerjakan.46 Sedangkan Rasulullah menetapkan hukuman sebagai metode memberikan batas-batas dan persyaratan sehingga tidak keluar dari maksud dan tujuan pendidikan Islam yaitu: 1.
Pendidik tidak menggunakan hukuman kecuali setelah menggunakan semua metode.
2.
Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan
3.
Menunjukkan kesalahan dengan kerahmatan
4.
Menunjukkan kesalahan dengan isyarat dan kecaman
5.
Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan47
45
Arma’i Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat pers, 2002), hlm. 131 46 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Loc. cit. 47 Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm.316-324
34
Begitu juga yang dikatakan oleh Muhaimin dan Abdul Majid yang dikutip oleh Arma’i Arief dalam bukunya “Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam”. bahwa hukuman yang diberikan anak haruslah mengandung makna edukasi, merupakan jalan atau solusi terakhir dari beberapa pendekatan dan metode yang ada, dan diberikan setelah anak didik mencapai usia 10 tahun sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang perintah sholat.48 Sedangkan Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa metode yang dipakai Islam dalam upaya memeberikan hukuman pada anak ialah : a. Lemah lembut dan kasih sayang adalah dasar pembenahan anak. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhari
4=5 _ :k v " @Ž Q9x ‡ $ c3A -|†9 5 3!< =s-Bq 36'9 =s-Bq V• &• •<" PD=|L -j@ 3 -p |L -p $6o~ .-=" c$ c “Kami diberitahu Adam, kami diberitahu Syu’bah, dari Abi Tayyakh, ia berkata: saya mendengar Anas bin Malik ra berkata, Nabi Saw bersabda: Permudahkanlah dan jangan kalian persulit, dan berilah kabar gembira dan janganlah kalian beraku tidak simpati”. (H.R. Bukhari) b. Menjaga Tabi’at anak yang salah dalam menggunakan hukuman. c. Dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras.50 Pedoman dan petunjuk praktis bagi para orang tua, guru dan para pendidik dalam memberikan pengajaran dan pendidikan yang benar dan lurus bagi anakanaknya, sesungguhnya dapat mencontoh pada akhlak Rasulullah dan sikap serta
48 49
hlm. 31
50
Arma’i Arief, op. cit., hlm. 132 Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, (Beirut-Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), Abdurrazak Husain, op. cit., hlm. 102
35
tindakan para sahabat terhadap kaum muslimin pada masa itu, yang seharusnya memberi inspirasi kepada kita semua dalam mendidik dan mengajar anak-anak.51 Demikianlah kiranya tahapan yang harus diperhatikan bagi para pendidik. Sesungguhnya para pendidik tidak boleh melalaikan metode yang efektif dalam membuat anak menjadi jera. Sehingga para pendidik harus berlaku bijaksana dan sewajar mungkin dalam memberikan/menerapkan ganjaran dan hukuman pada anak didik. Islam mengakui bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tualah yang menjadikan ia sebagai nasrani dan majusi, demikian tergantungnya anak oleh para pendidik (orang tua). Perlu diingat, karena ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep tujuan pendidikan Islam itu sendiri.