14
BAB II KONSEP PEMBERIAN HADIAH DAN HUKUMAN DI PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Hadiah dan Hukuman di Pendidikan Islam Menurut M. Ngalim Purwanto hadiah merupakan alat pendidikan represif yang menyenangkan, diberikan kepada anak yang memiliki prestasi tertentu dalam pendidikan, memiliki kemajuan dan tingkah laku yang baik sehingga dapat dijadikan teladan bagi teman – temannya.2 Hadiah ini diberikan kepada siswa yang mempunyai prestasi pada pelajaran, keterampilan, maupun yang lain, begitu pula masalah akhlak, ini sengaja diberikan agar ia menjadi suri teladan bagi teman – temannya. Pendapat di atas dapat di ambil suatu definisi bahwa hadiah merupakan alat pendidikan yang menyenangkan diberikan kepada siswa yang telah menjalankan kegiatan positif yang selalu diharapkan oleh siswa, agar ia lebih giat lagi belajarnya dan mencapai prestasi yang lebih baik lagi dari apa yang telah dicapai saat ini, disamping itu untuk memotivasi teman – temannya yang mempunyai prestasi baik. Pada
dasarnya
metode
mengandung
implikasi
bahwa
proses
penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu pada manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Jadi penggunaan metode dalam proses kependidikan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik atau mengajar. Berkaitan dengan konsep hadiah dan hukuman sebagaimana Allah berfirman dalam Al Quran:
2
Ngalim Purwanto, MP. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosadakarya, 1995), hlm 182.
15
Artinya:”Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri,” (Q. S. Al Isra’ : 7) Menyimak bunyi Al Quran di atas dapat dipahami bahwasannya setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya, baik itu positif maupun negatif. Dan yang perlu dipahami, baik atau buruk yang dilakukan seseorang pasti akan mengenai dirinya sendiri. Hadiah di dalam al-Quran biasanya disebutkan dalam berbagai bentuk uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz ‘ajr ( )أﺟﺮdan tsawab
()ﺛﻮاب, seperti dalam surat al-Baqarah : 62, al-‘Ankabut : 58, dan al-Bayyinah: 8.3 4
Sedangkan al-Ghazali mengartikan Hadiah ialah :
ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ان ﻳﻜﺮم ﻋﻠﻴﻪ, ﺛﻢ ﻣﻬﻤﺎ ﻇﻬﺮ ﻣﻦ اﻟﺼﺒﻲ ﺧﻠﻖ ﺟﻤﻴﻞ وﻓﻌﻞ ﻣﺤﻤﻮد 5
وﻳﺠﺎزي ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﻔﺮح ﺑﻪ وﻳﻤﺪح ﺑﻴﻦ اﻇﻬﺮ اﻟﻨﺎس
Artinya :“sewaktu-waktu anak telah nyata budi pekerti yang baik dan perbuatan yang terpuji, maka seyogyanya ia dihargai dan dibalas dengan sesuatu yang menggembirakan dan dipuji di depan orang banyak (diberi hadiah)”. Hadiah identik dengan tujuan baik, sedang suap lebih identik dengan tujuan jelek. Meskipun beberapa studi menunjukkan, bahwa untuk meningkatkan motivasi, pemberian hadiah lebih efektif dibandingkan dengan cara lainnya; memberi sanksi, menasehati, memarahi dan lain sebagainya, tetapi sebagian orang tua kurang setuju dengan hal itu. Dikhawatirkan anak terlalu mengharap hadiah yang akan diberikan, sehingga hanya bekerja bila ada hadiah. Penjelasan di atas dapat diambil simpulan bahwa yang dimaksud hadiah dalam pendidikan Islam merupakan suatu pemberian yang bersifat 3
Muhammad Fuad Abdi al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an, (Beirut: Daar al-Fikr, 1992), hlm. 17-18, 205-206 5
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, (Beirut: Darr al-Kutub alIlmiyyah, t.th.), hlm. 78
16
menyenangkan anak didik.Yang mana hadiah tersebut diberikan sebab anak telah melakukan kebaikan.Hadiah juga merupakan pembinaan yang dipandang sebagai proses sosial yang dapat melahirkan anak berwatak sosial. Dengan melekatnya watak social pada diri anak maka ia dapat diharapkan menjadi manusia yang mempunyairasa solidaritas yang tinggi. Berkaitan dengan hukuman (punishment) ada beberapa pendapat yang membahas hal-hal yang terkait dengan hukuman. Berikut ini beberapa pandangan mengenai hukuman. Di dalam al-Quran hukuman biasanya disebutkan dalam berbagai bentuk uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz ‘iqab ()ﻋﻘﺎب, adzab ()ﻋﺬاب, rijz ()رﺟﺰ, ataupun berbentuk pernyataan (statement). Kata adzab seperti dalam surat at-Taubah : 74, Ali Imron : 21, kata rijz seperti dalam surat al-A’raf : 134 dan 165, dan kata ‘iqab seperti dalam surat alBaqarah : 61 dan 65, Ali Imron : 11.6 Hukuman di dalam istilah psikologi adalah cara yang digunakan pada waktu keadaan yang merugikan atau pengalaman yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja menjatuhkan orang lain. Secara umum disepakati bahwa hukuman merupakan ketidaknyamanan (suasana tidak menyenangkan) dan perlakuan yang buruk atau jelek.7 Elizabeth B. Hurlock mendefinisikan hukuman ialah : “punnishmant means to impose a penalty on a person for a fault offense or violation or retaliation”.8 Hukuman ialah menjatuhkan suatu siksa pada seseorang karena suatu pelanggaran atau kesalahan sebagai ganjaran atau balasannya. Abdullah Nasih Ulwan berpendapat hukuman ialah “hukuman yang tidak ditentukan oleh Allah untuk setiap perbuatan maksiat yang tidak ada had atau kafarat”.9 Sehingga dapat dibedakan antara hukuman yang putuskan oleh negara dengan hukuman yang diterapkan oleh kedua orang tua dalam keluarga 6
Muhammad Fuad abdi al-Baqi, Op. cit., hlm. 572-578 Abdurrahman Mas’ud, Reward and Punishment dalam Pendidikan Islam, Jurnal Media, (Edisi 28, Th. IV, November, 1999), hlm. 23 8 Elizabeth Bergner Hurlock, Op. cit., hlm. 396 9 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 308 7
17
dan para pendidik di sekolah. Sebab, hudud atau hukuman ta’zir keduanya sama bertujuan untuk memberi pelajaran baik bagi si pelaku ataupun orang lain, semua itu adalah sebagai cara yang tegas dan cepat untuk memperbaikinya.10 Berdasarkan pengertian di atas, adanya hukuman disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Jadi, yang dimaksud menghukum yaitu memberikan sesuatu yang tidak menyenangkan atau pembalasan dengan sengaja pada anak didik yang memiliki maksud supaya anak tersebut jera. Perlu dijelaskan bahwa, pembalasan bukan berarti balas dendam, sehingga anak benar-benar insyaf dan sadar kemudian berusaha untuk memperbaiki atas perbuatan yag tidak terpuji. Sedangkan Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa :
اﻹرﺷﺎد واﻹﺻﻼح ﻻ اﻟﺰّﺟﺮ. . . ن اﻟﻐﺮض ﻣﻨﻬﺎ ﻓﻲ اﻟﺘّﺮﺑﻴﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴّﺔ ّا 11
واﻹﻧﺘﻘﺎم
Artinya :“maksud hukuman dalam pendidikan Islam ialah … sebagai tuntunan dan perbaikan, bukan sebagai hardikan dan balas dendam.” Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman memiliki tujuan perbaikan, bukan menjatuhkan hukuman pada anak didik dengan alasan balas dendam. Dari itulah seorang pendidik dan orang tua dalam menjatuhkan hukuman haruslah secara seksama dan bijaksana, artinya ketika menjatuhkan hukuman tidak sekadar menyakiti atau membuat jera anak. Kalau dilihat secara ringkas mengenai kedudukan hukuman pada masyarakat Islam yang bersumber dari al-Quran, menurut Abdurrahman Shaleh Abdullah. Islam mengenal tiga kategori hukuman yaitu hudud, qishas dan ta’zir.12 Adapun pada pembahasan ini, hukuman yang dimaksud besifat 10
Ibid, hlm. 311 Muhamaad Athiyah al-Abrasyi, Tarbiyyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, (Mesir: AsSyirkham, 1975), hlm. 115 12 Abdurrahman Shaleh Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Quran serta Implementasinya, (Bandung : Diponegoro, 1991), hlm. 236 11
18
edukatif atau mendidik yang masyarakat Islam dikenal dengan sebutan hukuman ta’zir. Kata “ta’zir” menurut kamus istilah fiqih adalah bentuk masdar dari kata kerja “azzara” yang artinya menolak, sedang menurut istilah hukum syara’ berarti pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang tidak mempunyai hukum had, kafarat dan qishas.13 Maka dari itu hukuman haruslah mengandung unsur-unsur pendidikan baik diputuskan oleh hakim maupun yang dilakukan orang tua dan para pendidik terhadap anaknya. Dari beberapa uraian tentang pengertian hukuman tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukuman dalam pendidikan, khususnya pendidikan Islam sebagai tindakan edukatif berupa perbuatan orang dewasa atau pendidik yang dilakukan dengan sadar pada anak didiknya dengan memberi peringatan dan pelajaran kepadanya atas pelanggaran yang diperbuatnya sesuai prinsip-prinsip dan nilai-nilai keislaman. Sehingga anak didik menjadi sadar dan menghindari segala macam pelanggaran dan kesalahan yang tidak diinginkan atau berhati-hati dalam setiap melakukan sesuatu.
B. Dasar serta Tujuan Hadiah dan Hukuman Istilah hadiah dan hukuman sudah lama dikenal manusia, lantaran hal itu pada awalnya bukanlah ciptaan manusia, dan memang sudah ada sejak manusia pertama Adam as lahir ke dunia yang fana ini. Dengan adanya pergantian zaman dan peralihan dari satu generasi ke generasi lain, ditambah kegiatan dan kebutuhan manusia yang beraneka ragam, maka bentuk dari ganjaran dan hukuman berbeda. Istilah yang digunakan sama hanya penerapannya yang berbeda, namun demikian Islam telah memberikan dan menunjukkan batasan dan pengertian yang jelas dan umum antara hadiah dan hukuman tersebut, melalui berbagai dalil dan bukti.14
13
hlm. 384
14
Muhammad Abdul Mujib, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994),
Abdurrazak Husain, Hak dan Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Fikahati, 1992), hlm. 102-103
19
Hukuman pada dasarnya merupakan akibat dari suatu perbuatan manusia sendiri, sebagaimana firman Allah SWT:
Atinya :“Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka, dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat dan mereka sekalikali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (Q.S. at-Taubat : 74)15 Terkait
dengan
hukuman
Baginda
Rasulullah
Saw.
dalam
beberapahaditsnya beliau menjelaskan sekaligus memberikan suri teladan bagaimana menerapkan hukuman, di antaranya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ulama terkenal yaitu Imam Abu Daud ra., sebagai berikut ;
ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ: ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻗﺎل،ﻋﻦ ﻋﻤﺮ واﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ واﺿﺮﺑﻮهﻢ ﻋﻠﻴﻬﺎ وهﻢ،وﺳﻠﻢ" ﻣﺮوا اوﻻدآﻢ ﺑﺎﻟﺼﻼة وهﻬﻢ اﺑﻨﺎء ﺳﺒﻊ ﺳﻨﻴﻦ 16
" رواﻩ اﺑﻮ داود. ( وﻓﺮﻗﻮا ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻓﻲ اﻟﻤﻀﺎﺟﻊ،اﺑﻨﺎء ﻋﺸﺮ
Artinya :“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “suruhlah anak-anak kalian mengerjakan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika melalaikannya ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud) Berdasarkan ayat dan hadits di atas, dijelaskan bahwa barang siapa mengerjakan perbuatan dosa atau melakukan kesalahan, maka akan mendapatkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Secara rasional, ibadah (seperti shalat, shaum dan ibadah lainnya) berperan mendidik pribadi manusia yang kesadaran dan pikirannya terus-
15
Ahmad Toha Putra, Al Quran dan Terjemahnya (Ayat Pojok Bergaris),(Semarang: 1998) hlm. 158. 16 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Sunan Abu Daud, Juz I, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.), hlm. 133
20
menerus berfungsi dalam pekerjaannya.17 Hadits di atas memberikan pengertian bahwa anak harus diperintahkan mengerjakan shalat ketika berusia tujuh tahun, dan diberi hukuman pukul apabila anak menolak mengerjakan shalat jika sudah berusia 10 tahun, tujuan diberikannya hukuman pukul ini supaya anak menyadari kesalahannya. Makna dari kata ( )واﺿﺮﺑﻮdalam hadits tersebut adalah memberikan hukuman pukulan secara fisik, karena anak meninggalkan shalat. Di samping itu, pukulan yang diberikan harus mengenai badannya dan tidak boleh mengenai wajahnya. Sebab, pukulan tersebut harus diberikan kepada anak ketika sudah berumur 10 tahun, karena pada usia 10 tahun ke atas anak sudah dianggap mempunyai tanggung jawab (baligh).18 Hukuman dengan memukul merupakan hal yang diterapkan oleh Islam sebagaimana hadits Nabi di atas. Pukulan dilakukan pada tahap terakhir, setelah memberikan nasihat dan cara lain tidak bisa. Tata cara yang tertib ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat, sebab pukulan adalah hukuman yang paling berat dan tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain tidak bisa. Menurut Emile Durkeim di dalam dunia pendidikan ada teori pencegahan. Pada teori ini hukuman merupakan suatu cara untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap peraturan. Pendidikan menghukum si anak selain agar anak tidak mengulangi kesalahannya juga untuk mencegah agar anak lain tidak menirunya.19 Berdasarkan penjelasan tujuan hukuman di atas maka dapat diambil pengertian bahwa tujuan hukuman pada pendidikan Islam untuk perbaikan kesalahan yang dilakukan anak-anak yang sama serta membutuhkan motivasi 17
Muhammad Ali Quthb, Auladuna Fi Dlau-it Tarbiyah al-Islamiyah : Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, (Kairo : Maktabah Qur’an, 1993), hlm. 89 18 Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, A’unul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Daud, Juz II, (Beirut : Daar al-Fikr, t.th.), hlm. 161 19 Emile Durkheim, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : Erlangga, 1990), hlm. 116
21
berpikir dan bertindak sehingga akan tercapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan tujuan pokok hukuman pada syariat Islam merupakan pencegahan, pengajaran dan pendidikan, arti pencegahan ialah menahan si pembuat kejahatan supaya tidak ikut-ikutan berbuat kesalahan. Kata hadiah biasanya dikenal dengan istilah ‘ajr atau tsawab, sebagaimana terdapat di dalam al-Quran, yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau di akhirat kelak karena amal perbuatan yang baik.20 Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya :“Karena itu Allah memberikan mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Ali Imron : 148)21 Kelebihan hadiah di akhirat berasal dari sumbernya yang unggul. Hal ini diilustrasikan mengapa Nabi Muhammad Saw. hanya mengharap balasan dari Allah semata. Adanya kenyataan seperti ini pelajar menurut sistem pendidikan
Islam
harus
diberi
motivasi
sedemikian
rupa
dengan
hadiah/ganjaran.22 Hadiah bila diterapkan dalam pendidikan tentunya akan memiliki kesan positif, yaitu sebagai motivasi bagi anak didik, untuk itu perlu dibedakan antara hadiah dan suap. Sebab adanya hadiah anak didik akan terus melakukan pekerjaannya dengan baik dan tentunya ingin melakukan yang terbaik lagi. Karena dengan memberikan dorongan dan menyayangi anak adalah sangat penting. Hal ini, harus diperhatikan keseimbangan antara
20
Abdurrahman Shaleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Quran, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm. 221 21 Ahmad Toha Putra, Al Quran dan Terjemahnya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang: 1998), hlm. 54. 22 Abdurrahman shaleh, Op.cit., hlm. 223
22
dorongan yang berbentuk materi dengan dorongan yang spiritual, sebab tidaklah benar jika pemberian dorongan tersebut hanya terbatas hadiah-hadiah yang sifatnya materi saja. Hal ini dimaksudkan agar si anak tidak menjadi orang yang selalu meminta balasan atas perbuatannya. Sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan petimbangan ketika memberikan hadiah berupa benda yaitu : 1. Hadiah tersebut harus benar-benar berhubungan dengan prestasi yang dicapai. 2. Hadiah tersebut disesuaikan dengan kebutuhan siswa yag menerima. 3. Hadiah tersebut sebaiknya tidak terlalu mahal.23 Adapun tujuan diberikannya hadiah Allah SWT. telah banyak memberikan penjelasan baik yang tersurat da dalam al Quran maupun yang ada di dalam hadits Nabi Muhammad Saw. di antaranya ialah yang terdapat pada surat al Bayyinah ayat 7 dan 8 yaitu penjelasan yang terkait dengan hadiah yang diberikan untuk membalas orang yang beriman dan beramal shalih agar mereka mempertinggi keimanan dan ketakwaannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya :“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang-orang yang takut terhadap Tuhannya.”24 23
Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 165 24 Ahmad Toha Putra, Al Quran dan Terjemahnya (Ayat Pojok Bergaris), (Semarang:1998), hlm. 450.
23
Menurut ahli psikologi, seperti penganut teori kondisional mengatakan bahwa “ hadiah merupakan pendorong utama dalam proses belajar mengajar”. Teori empiristik juga memandang bahwa “ hadiah membantu anak pada belajarnya, sebab tatkala kita memberi hadiah kepada anak sesungguhnya kita membantu anak untuk berperilaku baik, lalu kita menarik anak pada pengalaman yang ingin kita ajarkan”. Teori-teori belajar menekankan bahwa berbagai hadiah dapat menimbulkan respon positif pada anak dan dapat menciptakan kebiasaan relatif kokoh dalam dirinya.25 Boleh dikata, anak didik menjadi lebih keras kemauannya untuk berbuat yang lebih baik lagi, jadi yang terpenting bukanlah karena hasil yang dicapai seseorang melainkan dengan hasil tersebut bertujuan membentuk kata hati dan kemauan yang lebih baik dan lebih keras pada anak.26 Untuk itu perlu dibedakan antara hadiah, suap dan upah. Suap yang berarti pemberian dengan terpaksa, sedangkan upah bersifat sebagai ‘ganti rugi’. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pemberian hadiah dalam pendidikan Islam adalah sebagai dorongan atau motivasi bagi anak didik untuk melakukan sesuatu, karena dengan pemberian hadiah akan terkesan posiif yang membekas dalam dirinya dan timbul suatu keinginan kuat untuk selalu melakukan sesuatu yang terbaik dan lebih baik tentunya. Sebab, hadiah mempunyai peran sebagai dorongan dalam meguatkan perilaku yang positif dalam diri anak didik.
C. Macam serta Fungsi Hadiah dan Hukuman Untuk menentukan hadiah apakah yang layak dan baik diberikan kepada anak merupakan sesuatu hal yang sangat sulit. Sebagaimana fungsi hadiah sebagai alat pendidikan banyak sekali macamnya, hadiah pada dasarnya dapat berupa materi dan non materi, yang berupa materi seperti
25
Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), hlm. 40 26 Ngalim Purwanto, MP., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 182
24
barang atau benda dan yang non materi tentunya lebih banyak lagi seperti pujian, perhatian, penghargaan dan lain sebagainya. 1. Macam Hadiah a. Pujian yang baik (memberi kata-kata yang menggembirakan) b. Berdoa c. Menepuk pundak d. Memberi pesan e. Menjadi pendengar yang baik f. Mencium buah hati dengan penuh cinta dan kasih sayang27 g. Hadiah dapat juga berupa benda yang menyenangkan dan berguna bagi anak-anak seperti: pensil, buku tulis, makanan ringan, permainan dan lain sebagainya.28 Hadiah yang berbentuk materi dalam penerapannya telah banyak dilakukan oleh pendidik atau guru yakni pemberian hadiah berupa barangbarang yang diperkirakan dapat mengandung nilai bagi siswa. Perlu diingat bahwa dalam memberikan hadiah yang berupa benda ini dari para pendidik atau guru dituntut pertimbangan yang lebih cermat dibandingkan dengan pemberian hadiah dalam bentuk lain. Untuk itu seorang guru harus sangat berhati-hati dan bijaksana sebab dengan benda-benda itu mudah benar berubah fungsi menjadi upah bagi siswa. Pada dasarnya anak dalam semua usia suka pada pujian yang ditujukan pada dirinya, pujian tidak hanya memberikan kepada perasaan puas akan tetapi yang lebih penting adalah menimbulkan perasaan aman, menolongnya untuk menerima kenyataan suatu kelompok. Sebab itulah, patokan yang paling penting ialah pujian, pujian hanya menyangkut usaha anak untuk melakukan sesuatu dan pujian hanya menyangkut hasil yang dicapai anak, bukan menyangkut watak dan kepribadiannya. Misalnya bila anak membersihkan lantai, komentar yang wajar ialah “betapa ia bekerja keras dan betapa lantai kini tampak menjadi bersih.” Sama sekali tidak 27
Muhammad bin Jamil Zainu, Solusi Pendidikan Anak Masa Kini, (Jakarta : Mustaqim, 2002), hlm. 142-144 28 Ngalim Purwanto, MP., Op.cit., hlm. 183
25
pada tempatnya untuk mengatakan kepadanya “kau anak yang baik”. Katakata pujian harus merupakan suatu cermin yang menampakkan pada anak berupa gambaran yang realistis tentang apa yang dibuatnya dan juga prestasinya, sebaliknya bukan menyajikan gambaran muluk-muluk tentang kepribadiannya. Untuk semua alasan ini pujian adalah hadiah yang paling baik yang bisa diberikan karena perbuatan baik. Durkheim mengatakan bahwa pada umumnya hadiah secara eksklusif berupa ucapan penghargaan dan pujian secara terbuka, sebagai ungkapan rasa hormat dan kepercayaan tinggi seorang yang telah berbuat sesuatu yang baik secara istimewa sekali.29 Selanjutnya perhatian, yang dimaksud hadiah berupa perhatian di sini ialah si pendidik senantiasa mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan aspek akidah dan moral anak, mengawasi dan memperhatikan. Kesiapan mental dan sosial, di samping selalu bertanya tentang
situasi
pendidikan
jasmani
dan
kemampuan
ilmiahnya,
hendaknyaa para pendidik selalu memperhatikan dan senantiasa mengikuti serta mengamati anak-anaknya dalam segala segi kehidupan dan pendidikan yang universal.30 Menurut Elizabeth, fungsi hadiah pada pendidikan ialah : a. Hendaknya hadiah mempunyai nilai mendidik. Sehingga anak merasa bahwa hal itu baik, hadiah mengisyaratkan bahwa perilaku mereka itu baik. b. Hadiah berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial. Karena anak akan bereaksi secara positif terhadap persetujuan yang dinyatakan dengan penghargaan, di masa mendatang mereka berusaha untuk berperilaku dengan cara yang akan lebih banyak memberikan hadiah. c. Hadiah berfungsi untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tiadanya hadiah melemahkan keinginan untuk mengulangi 29 30
Emile Durkheim, Op.cit., hlm. 148 Abdullah Nasih Ulwan, Op.cit., hlm. 275
26
perilaku itu. Hadiah harus digunakan untuk membentuk asosiasi yang menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan.31 Bagi para pendidik atau orang tua hendaklah di dalam memberikan hadiah harus benar-benar punya arti tersendiri atas apa yang telah diperbuat oleh anak didik dan harus memiliki fungsi untuk memperkuat pendapat/keyakinan individu bahwa perbuatan tersebut benar. Pada ilmu psikologi biasa dikenal dengan istilah “reinforcement” (penguatan). Sehingga dengan pemberian hadiah yang dilakukan secara terus menerus lama-kelamaan tidak akan berfungsi efektif lagi , untuk itu berilah hadiah dengan sewajarnya dan sebijaksana mungkin, supaya mempunyai nilai positif bagi anak didik maupun pendidik.
2. Macam Hukuman Menurut Elizabeth hukuman dapat dibedakan menjadi beberapa pokok bagian yaitu : a. Hukuman bersifat fisik seperti : menjewer telinga, mencubit dan memukul. Hukuman ini diberikan apabila anak melakukan kesalahan, terlebih mengenai hal-hal yang harus dikerjakan anak. b. Hukuman verbal seperti : memarahi, maksudnya mengingatkan anak dengan bijaksana dan bila para pendidik atau orang tua memarahinya maka pelankanlah suaranya. c. Isyarat non verbal seperti : menunjukkan mimik atau raut muka tidak suka. Hukuman ini diberikan untuk memperbaiki kesalahan anak dengan memperingatkan lewat isyarat.
31
Elizabeth Bergner Hurlock, Op.cit., hlm. 396
27
Seperti sabda Nabi :
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ، ﻋﻦ ﺳﻠﻴﻤﻦ ﺑﻦ ﻳﺴﺎر، ﻋﻦ اﺑﻦ ﺷﻬﺎب، ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ،ﺣﺪﺛﻨﺎ اﻟﻘﻌﻨﺒﻲ ﻓﺠﺄﺗﻪ: م.آﺎن اﻟﻔﻀﻞ ﺑﻦ ﻋﺒﺎس رد ﻳﻒ رﺳﻮل اﷲ ص: ﻗﺎل،اﷲ ﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻓﺠﻌﻞ رﺳﻮل اﷲ: إﻣﺮأة ﺧﺘﻌﻢ ﺗﺴﺘﻔﺘﻴﻪ ﻓﺠﻌﻞ اﻟﻔﻀﻞ ﻳﻨﻈﺮ اﻟﻴﻬﺎ وﺗﻨﻈﺮ اﻟﻴﻪ 32
م ﻳﺼﺮف وﺟﻪ اﻟﻔﻀﻞ اﻟﻰ اﻟﺸﻖ اﻷﺧﺮ( رواﻩ اﺑﻮ داود.ص
“Kami diberitahu oleh al-Qa’naby, dari Malik dia berkata, Fadhl bin Abbas pernah dibonceng Rasulullah, lalu ada seorang wanita dari Khutsum meminta fatwa kepada beliau, pada waktu itu Fadhl memandangnya, begitu juga sebaliknya wanita itu memandang Fadhl, dan Nabi memalingkan muka ke lain pihak”. (H.R. Abu Daud) d. Hukuman sosial seperti : mengisolasi dari lingkungan pergaulan agar kesalahan tidak terulang lagi dengan tidak banyak bicara dan meninggalkannya agar terhindar dari ucapan buruk. Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Saw. dalam haditsnya sebagai berikut:
ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ، ﺣﺪ ﺛﻨﺎ اﺳﻤﻌﻴﻞ ﺑﻦ ﻋﻠﻴﺔ ﻋﻦ اﻳﻮب،ﺣﺪ ﺛﻨﺎ اﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ اﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ إن رﺳﻮل اﷲ: ﻓﻨﻬﺎﻩ وﻗﺎل، أن ﻗﺮﻳﺒﺎ ﻟﻌﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﻐﻔﻞ ﺧﺬف،ﺑﻦ ﺟﺒﻴﺮ وﻟﻜﻨﻬﺎ،إﻧﻬﺎ ﻻﺗﺼﻴﺪ ﺻﻴﺪا وﻻﺗﻨﻜﺄ ﻋﺪوا: وﻗﺎل،م ﻧﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﺨﺬف.ص ﺛﻢ،م ﻧﻬﻰ ﻋﻨﻪ.أﺣﺪ ﺛﻚ أن رﺳﻮل اﷲ ص: ﻓﻘﺎل. ﺗﻜﺴﺮ اﻟﺴﻦ وﺗﻔﻘﺄ اﻟﻌﻴﻦ 33
رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ. (ﺗﺤﺬف !ﻻ أآﻠﻤﻚ اﺑﺪا
“Kami diberitahu oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, kami diberitahu oleh Ismail bin Ulaiyah dari Ayyub, dari Said bin Jubair, bahwasanya tetangga Abdullah bin Mughaffal melempar dengan kerikil, lalu dilarang oleh Abdullah katanya: “bahwa Rasul melarang orang yang membidik dengan kerikil (melempar dengan kerikil)”. Lalu ia tetap mengulanginya lagi, dan dikatakan kepadanya: “telah kukatakan kepadamu, bahwa Rasulullah melarang melempar dengan kerikil tetapi kamu masih tetap ngoto!, maka
32
Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abu Daud, Jilid I, (Beirut : Daar al-Fikr, t.th.,) hlm. 552 33 Abu al-Husain Muslim, Shahih Muslim, Bab Karoha al-Khadhaf, Juz III, (BeirutLibanon : Daar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th.,) hlm. 154
28
aku tidak akan mengajakmu berbicara (tidak menegur lagi)”. (H.R. Muslim) Menghukum merupakan sesuatu yang “tidak disukai” namun perlu diakui bersama bahwa hukuman itu memang diperlukan dalam pendidikan karena
berfungsi
menekan,
menghambat
atau
mengurangi
bahkan34
menghilangkan perbuatan yang menyimpang.35 Sebaiknya hukuman dijatuhkan
sesaat setelah kesalahan tersebut
dilakukan, bukan menundanya. Sebab, menunda memberikan hukuman hingga waktu lama atau sebentar dapat menghilangkan arti penting yang terkandung dibalik sanksi dan hukuman yang dijatuhkan tersebut. Uraian di atas tentang macam hukuman kiranya dapat disimpulkan bahwasanya hukuman itu dapat diterapkan dalam pendidikan, terutama hukuman yang bersifat pedagogis. Menghukum bilamana perlu dan jangan terus menerus serta hindarilah hukuman jasmani atau badan jikalau benarbenar tidak terpaksa. Adapun yang termasuk hukuman psikis antara lain; terlalu banyak perintah, larangan, teguran dan tidak mengindahkan keinginan anak, sehingga banyak menyebabkan gangguan terhadap ketegangan anak. Sedangkan dalam proses belajar itu perlu adanya motivasi untuk berbuat sesuatu, sedang bila kita untuk berbuat dengan cara tertentu, timbul kecenderungan yang kuat untuk memastikan tentang kebenaran dari keinginan kita tersebut. Selagi anak masih bisa dididik dengan lembut dan penuh kasih sayang, maka jangan sekali-kali orang tua melayangkan tangannya. Kita tahu bahwa hukuman dalam pendidikan anak merupakan metode terburuk yang sedapat mungkin kita hindari, akan tetapi dalam kondisi itu harus dipergunakan.
34
hlm. 119
35
Izzat Iwadh Khalifah, Kiat Mudah Mendidik Anak, (Jakarta : Pustaka Qlami, 2004), Suharsimi Arikunto, Op.cit., hlm. 168
29
D. Syarat Penerapan Hadiah dan Hukuman Di antara cara untuk membuat anak didik merasakan keberhasilannya adalah kita puji dia, atas perbuatan yang patut dipuji, dan di antara cara untuk mengingatkannya adalah dengan menggunakan hukuman, dan hukuman itupun harus dimulai dari yang paling ringan dulu, hukuman fisik baru boleh dilakukan sebagai alternatif terakhir. Dianjurkan bagi para pendidik, guru maupun orang tua yang percaya akan cara ini harus mengetahui tentang hakikat yang berhubungan dengan hadiah dan hukuman. Salah satu sarana untuk menghindarkan anak dari sifat jahat adalah dengan pendekatan psikologis, bersikap seperti anak dan mengajak bicara dengan bahasa yang mudah di pahami olehnya.36 Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai acuan dasar dalam memberikan hadiah, sehingga mampu memotivasi perilaku baik anak didik sebagai berikut : 1. Untuk memberi hadiah yang pedagogis perlu sekali guru mengenal betulbetul muridnya. 2. Hadiah yang diberikan anak jangan sampai menimbulkan cemburu atau iri hati anak yang lain. 3. Memberikan hadiah hendaklah hemat. 4. Jangan memberikan hadiah dengan menjanjikan terlebih dahulu sebelum anak melakukan sesuatu. 5. Pendidik harus berhati-hati memberikan hadiah, jangan sampai hadiah yang diberikan berubah fungsi menjadi upah.37 Demikian pula hadiah yang diterapkan para pendidik baik di rumah atau di sekolah berbeda-beda. Dari segi jumlah dan tata caranya, tidak sama dengan hadiah yang diberikan pada orang umum. Hukuman yang bersifat pendidikan (pedagogis), harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih dan saying. 36 37
Husain Mazhariri,Pintar Mendidik Anak, (PT. Lentera Basritama, 1999), hlm;260 Ngalim Purwanto, Op.cit., hlm. 184
30
b. Harus didasarkan pada alasan “keharusan”. c. Harus menimbulkan kesan di hati anak. d. Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik. e. Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.38 Adapun hukuman berupa fisik, Athiyah al-Abrasyi memberikan kriteria yaitu : a. Pemukulan tidak boleh dilakukan pada anak didik di bawah umur 10 tahun. b. Alat pemukulnya bukan benda-benda yang membahayakan, misalnya lidi, tongakt kecil dan lain sebagainya. c. Pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali, dan d. Hendaknya diberi kesempatan untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahan yang pernah mereka kerjakan.39 Sedangkan Rasulullah Saw. menetapkan hukuman sebagai metode memberikan batas-batas dan persyaratan sehingga tidak keluar dari maksud dan tujuan pendidikan Islam yaitu : 1. Pendidik tidak menggunakan hukuman kecuali setelah menggunakan semua metode 2. Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan 3. Menunjukkan kesalahan dengan kerahamatan 4. Menunjukkan kesalahan dengan isyarat dan kecaman 5. Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan40 Begitu juga yang dikatakan oleh Muhaimin dan Abdul Majid yang dikutip oleh Arma’i Arief dalam bukunya “Pengantar Ilmu dan Metodolgi Pendidikan Islam”. bahwa hukuman yang diberikan anak haruslah mengandung makna edukasi, merupakan jalan atau solusi terakhir dari beberapa pendekatan dan metode yang ada, dan diberikan setelah anak didik
38
Arma’i Arief, Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 131 39 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Tarbiyyah al Islamiyah wa Falsafatuha, (Mesir: As Syirkam, 1975), hlm. 116. 40 Abdullah Nasih Ulwan, Op.cit., hlm. 316-324
31
mencapai usia 10 tahun sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang perintah shalat.41 Sedangkan Abdullah Nasih Ulwan berpendapat bahwa metode yang dipakai Islam dalam upaya memberikan hukuman pada anak ialah : a. Lemah lembut dan kasih sayang adalah dasar pembenahan anak. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhari:
ﺳﻤﻌﺖ أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ رﺿﻲ: ﻋﻦ اﺑﻲ ﺗﻴﺎﺣﻦ ﻗﺎل، ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﺷﻌﺒﺔ،ﺣﺪ ﺛﻨﺎ أدم . ﻻ ُﺗ َﻨ ﱢﻔ ُﺮوْا َ ﺸ ُﺮوْا َو َو َﺑ ﱢ،ﺴ ُﺮوْا ﻻ ُﺗ َﻌ ﱢ َ ﺴ ُﺮوْا َو َﻳ ﱢ: م.ﻗﺎل اﻟﻨﺒﻲ ص: اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل 42
رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري
“Kami diberitahu Adam, kami diberitahu Syu’bah, dari Abi Tayyakh, ia berkata: saya mendengar Annas bin Malik ra berkata, Nabi SAW bersabda: Permudahkanlah dan jangan kalian persulit, dan berilah kabar gembira dan janganlah kalian berlaku tidak simpati”. (H.R. Bukhari) b. Menjaga tabi’at anak yang salah dalam menggunakan hukuman.
c.
Dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras.43
E. Urgensi Hadiah dan Hukuman Hadiah dan hukuman sangatlah urgen untuk disertakan dalam proses mendidik anak agar senantiasa termotivasi untuk melakukan kegiatan positif, dan meninggalkan hal-hal yang negatif. Oleh karena itu ada beberapa pendapat para tokoh pendidikan Islam tentang urgensi hadiah dan hukuman, yang di antaranya yaitu pendapat-pendapat yang telah dikemukakan sebagai berikut:
41 42
hlm. 31
43
Arma’i Arief, Op.cit., hlm. 132 Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, (Beirut-Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), Abdurrazak Husain, Op.cit., hlm. 102
32
1. Al Qabasi Al Qabasi juga mengakui adanya hukuman dengan pukulan. Namun dia menetapkan beberapa syarat supaya pukulan itu tidak melenceng dari tujuan preventif dan perbaikan kepada penindasan dan balas dendam. Syarat – syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, guru tidak boleh melakukan pukulan kecuali karena suatu dosa. Kedua, guru harus melakukan pukulan yang selaras dengan dosa yang dilakukan anak. Ketiga, pukulan berkisar dari satu hingga tiga kali. Jika orang yang diserahi untuk mendidik anak ingin memukul sebanyak satu hingga sepuluh kali, dia perlu minta izin kepada walinya. Keempat, boleh melakukan lebih dari sepuluh pukulan jika usia anak mendekati dewasa dan sulit dididik, berakhlak kasar, dan tidak dapat disadarkan dengan sepuluh pukulan. Kelima, guru sendiri yang melakukan pemukulan, tidak boleh ewakilkannya kepada anak yang lain, sebab hal itu akan menimbulkan pertengkaran atau sikap saling melindungi. Keenam, pukulan itu hanya sekedar menimbulkan rasa sakit dan tidak boleh menimbulkan luka yang berbahaya. Dari pemaparan di atas, kita mengetahui bahwa sebenarnya Al Qabasi tidak menyetujui hukuman dengan pukulan kecuali jika guru telah melaksanakan seluruh sarana pemberian nasihat, peringatan dan ancaman. Anak boleh dipukul jika seluruh sarana itu di upayakan. Jika guru memukul lebih dari tiga kali, dia perlu meminta izin kepada wali si anak. 2. Al Ghozali Menurut Imam Al Ghazali sebagaimana dikutip dari buku imbalan dan hukuman pengaruhnya bagi anak karangan Ahmad Ali Budaiwi berpendapat bahwa, apabila anak menampilkan akhlak terpuji dan perbuatan baik, selayaknya dia dihargai dan dibalas dengan sesuatu yang menyenangkannya serta di puji dihadapan orang lain.
33
Dalam hal ini , Al Ghazali mengikuti manhaj Nabi Saw. yang suka memuji para sahabatnya guna memotivasi mereka.Selain itu dia juga mengarahkan bahwasanya menegur dan mencela anak secara berkesinambungan dan mengungkit- ungkit kesalahan yang dilakukannya dapat membuat anak menjadi pembangkang. 3. Ibnu Jama’ah Menurut Ibnu Jama’ah sebagaimana yang dikutip dalam buku karangan Ali Budaiwi yang berjudul “Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak” menegaskan bahwa, pada waktu tertentu, guru dapat menuntut siswa mengukang mahfudzat dan menguji penguasaan mereka akan kaidah penting dan masalah pelik yang telah di ajarkan. Jika ada siswa yang menjawab dengan tepat, maka guru jangan sungkan – sungkan menperlihatkan kekaguman, pujian, dan sanjungan kepada siswa tersebut dihadapan teman – temannya supaya mereka pun terdorong untuk terus meningkatkan diri. Ibnu jama’ah memandang bahwa sanksi kependidikan itu dapat dibedakan dengan empat bentuk. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti tahap – tahap berikut ini ; Pertama, melarang perbuatan itu di depan siswa yang melakukan kesalahan
tanpa
menggunakansindiran,atau
menghinanya
tanpa
menyebutkannama pelakunya, atau menerangkan ciri – ciri yang mengarah ke individu tertentu. Kedua, jika anak tidak menghentikan perbuatannya, guru dapat melarangnya
secara sembunyi – sembunyi’ misalnya cukup dengan
isyarat tangan. Hal ini dilakukan kepada anak yang memahami isyarat. Ketiga, jika anak tidak juga meghentikannya , guru dapat melarangnya secara tegas dan keras, jika keadaannya enuntut drmikian, agar anak itu dan teman – temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu,dan setiap rang yang mendengai memperoleh pelajaran.
34
Keempat, jika anak tak kunjung menghentikannya, guru boleh megusirnya dan boleh tidak mempedulikannya hingga dia kenbali dari perilakunya yang salah, teritama jika guru mengkhawatirkan perbuatannya itu akan ditiru oleh teman – temannya. Dia juga menambahkan bahwa sanksi itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku
serta upaya pengendaliannya dengan kasih
sayang. Sanksi perlu diberikan dengan landasan pendidikan yang baik dan ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan dendam, kebencian dan pengarahan.44 4. Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun mengemukakan masalah hadiah dan hukuman dalam bukunya Al muqaddimah, yaitu pada bab “ kekerasan pada siswa dapat membahayakan “. Dia mengkritik para ulama Zamannya yang mendidik siswa dengan kasar dan keras. Ibnu Khaldun mengisyaratkan pentingnya kita memahami jiwa siswa dan mencermati dimensi psikologisnya, sehingga kita dapat mengarahkan mereka dan meluruskan kesalahannya. Dia juga mengingatkan bahwa perlakuan buruk terhadap siswa pasti akan membuahkan berbagai bentuk penyimpangan psikologis dan perilaku yang muncul sebagai akibat dari ketegasan, kekerasan, dan kekasaran dalam mendidik siswa. Menurutnya, barang siapa yang mendidik dengan kekerasan dan paksaan, siswa akan melakukan suatu perbuatan secara terpaksa pula, menimbulkan ketidak gairahan jiwa, lenyapnya aktivitas’ mendorong siswa untuk malas,berdusta, dan berkata buruk.45 Pedoman dan petunjuk praktis bagi para orang tua, guru dan para pendidik dalam memberikan pengajaran dan pendidikan yang benar dan lurus bagi anak-anaknya, sesungguhnya dapat mencontoh pada akhlak Rasulullah dan sikap serta tindakan para sahabat terhadap kaum Muslimin 44
A.Ali Budaiwi,Imbalan dan hukuman pengruhnya bagi pendidikan anak, (Jakarta : Gema Insani, 2002), Hlm. 28 45 Op cit, hlm.29
35
pada waktu itu, yang seharusnya memberi inspirasi kepada kita semua dalam mendidik dan mengajar anak-anak. Demikianlah kiranya tahapan yang harus diperhatikan bagi para pendidik. Sesungguhnya para pendidik tidak boleh melalaikan metode yang efektif dalam membuat anak menjadi jera. Sehingga para pendidik harus berlaku bijaksana dan sewajar mungkin dalam memberikan/ menerapkan hadiah dan hukuman pada anak didik. Islam mengakui bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tualah yang menjadikan ia sebagai nasrani dan majusi, demikian tergantungnya anak oleh para pendidik (orang tua). Perlu diingat, karena hadiah dan hukuman dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep tujuan pendidikan Islam itu sendiri.