BAB II KONSEP DAKWAH DAN EKONOMI ISLAM
A. Dakwah Islam 1. Pengertian Dakwah Kata dakwah berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar (infinitif) dari kata kerja fa'ala ( ) ﻓﻌﻞda'aa ( ) دﻋﺎyad'u ( ) ﻳﺪﻋﻮdimana kata dakwah ini sekarang sudah umum dipakai oleh pemakai Bahasa Indonesia, sehingga menambah perbendaharaan Bahasa Indonesia. Kata da'wah (دﻋﻮة
) secara harfiyah bisa diterjemahkan menjadi:
"seruan, ajakan, panggilan, undangan".17 Moh.Natsir menterjemahkan-nya dengan: "panggilan".18 Zafry Zamzam menterjemahkan dengan: "Panggilan, ajakan, atau seruan ke arah tujuan tertentu".19 Mahmud Yunus menterjemahkan kata
dakwah dengan: "menyeru,
mengajak, menghasung, menganjurkan dan memanggil".20 Sedangkan Toha yahya Umar, di samping menterjemahkan dengan kata "ajakan, seruan, panggilan, undangan", juga menjelaskan bahwa kata yang hampir sama dengan dakwah ialah penerangan, pendidikan, pengajaran, indoktrinasi dan
17
H. Masdar Helmy, 1970, Problematika Dakwah Islam dan Pedoman Mubaligh, Semarang, Thoha Putra. hlm.16 18 Moh. Natsir, tth, Dakwah dalam Praktek, Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, Kalimantan Selatan, Banjarmasin, hlm. 56 19 Zafry Zamzam, 1963, Pengantar Ilmu Dakwah Etika, Fakultas Publistik UNISAN, Banjarmasin, hlm.3 20 H.Mahmud Yunus, 1986, Pedoman Dakwah Islamiyah, Padang Panjang al-Maktabah Sa’diyah, hlm.5.
20
21 propaganda".21 Sedangkan menurut ahli bahasa, maka kata dakwah diambil dan perkataan: ( ) اﻟﺪﻋﺎءاﻟﻰ ﺷﺊyang artinya: menyeru/mengajak kepada sesuatu.22 Dakwah dalam pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an antara lain Qur’an surat Yunus ayat 25 dan al-Baqarah ayat 221. Sedangkan orang yang melakukan seruan atau ajakan tersebut disebut da'i (isim fa'il) artinya orang yang menyeru. Tetapi karena proses memanggil atau menyeru tersebut juga merupakan suatu proses penyampaian (tabligh) atas pesan-pesan tertentu maka pelakunya dikenal juga dengan istilah muballigh. Dengan demikian secara etimologi pengertian dakwah dan tabligh itu merupakan suatu proses penyampaian (tabligh) pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan atau seruan dengan tujuan agar orang lain memenuhi ajakan tersebut. Sedangkan secara terminologi, banyak pendapat tentang definisi dakwah, antara lain: pendapat Syekh Ali Makhfuz dalam kitabnya Hidayat alMursyidin bahwa dakwah mendorong manusia agar memperbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akherat.23 Sementara Muhammad Natsir menegaskan dakwah adalah usaha menyeru dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat 21
Toha Yahya, 1967, Ilmu Dakwah, Jakarta, Wijaya, hlm.1 Salahuddin Sanusi, 1964, Pembahasan Sekitar Prinsip-prinsip Dakwah Islam , Semarang, CV.Ramadhani, hlm.1 23 Syekh Ali Makhfuz, Hidayat al-Mursyidin, Terj. Khodijah Nasution,(Yogyakarta, 3A, 1970), hlm. 17 22
22 tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini yang meliputi amar makruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam pri kehidupan perseorangan, rumah tangga (usrah) bermasyarakat dan bernegara.24 Sedangkan Thoha Yahya Umar mendefinisikan dakwah yakni mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akherat.25 Dari berbagai definisi tersebut meskipun nampak adanya perbedaan dalam perumusan, namun esensinya dapat dipadukan dalam kesimpulan sebagai berikut, bahwa dakwah adalah mengajak umat manusia dengan hikmat kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian dakwah merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim, di mana intinya berada pada ajakan dorongan (motivasi, rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi keuntungan dirinya dan bukan untuk kepentingan pengajaknya. Jadi berbeda (bertolak belakang) dengan propaganda. Di sisi lain, agama Islam sebagai suatu ajaran tidaklah berarti manakala ia tidak diwujudkan dalam action amaliah. Ini merupakan aspek konsekuensial dari keberadaan Islam yang bukan semata-mata menyoroti satu
24
Muhammad Natsir, 1971, Fiqh al-Dakwah Dalam Majalah Islam, (Kiblat Jakarta, 1971), hlm. 7 25 Thoha Yahya Umar, 1981, Ilmu Dakwah, (Jakarta, Wijaya), hlm. 1
23 sisi saja dari kehidupan manusia, melainkan menyoroti semua persoalan hidup manusia secara total dan universal. 2. Dasar-Dasar Hukum Dakwah Ada pandangan yang menyatakan bahwa dakwah hukumnya fardu 'ain didasarkan hadits Nabi saw:
ﻚ ﻭ ﹶﺫِﻟ ﻊ ﹶﻓِﺒ ﹶﻘ ﹾﻠِﺒ ِﻪ ﺘ ِﻄﺴ ﻳ ﻢ ﺎِﻧ ِﻪ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﻟﻊ ﹶﻓِﺒِﻠﺴ ﺘ ِﻄﺴ ﻳ ﻢ ﻴ ِﺪ ِﻩ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﻟ ِﺑﺮﻩ ﻐﻴ ﺍ ﹶﻓ ﹾﻠﻴﻨ ﹶﻜﺮﻣ ﺭﺃﹶﻯ ﻦ ﻣ (ﺎ ِﻥ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ ﺍﹾﻟِﺈﳝﻌﻒ ﺿ ﹶﺃ 26
Artinya: "Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran, hendaklah merubahnya dengan tangan, jika tidak mampu dengan lisan, jika tidak mampu dengan hati dan itu selemah-lemah daripada iman" (HR. Ahmad). Kata "man" dalam hadits tersebut adalah kata yang bermakna umum yang meliputi setiap individu yang mampu untuk merubah kemunkaran dengan tangan, lisan atau hati, baik itu kemunkaran secara umum atau secara khusus. Dengan demikian, merubah kemunkaran adalah perintah yang wajib dilaksanakan
sesuai
dengan
kadar
kemampuan.
Jika
tidak
mampu
melaksanakan salah satu dari tiga faktor tersebut maka dosa baginya dan dia keluar dari predikat iman yang hakiki. Perintah ini disampaikan Rasulullah kepada umatnya agar mereka menyampaikan dakwah meskipun hanya satu ayat. Ajakan mi berarti bahwa
26
Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Fikr, 1978M/1398H), Juz II, Cet. Kedua, hlm. 20.
24 setiap
invidu
wajib
menyampaikan
dakwah
sesuai
dengan
kadar
kemampuannya.27 Sementara itu, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hukum dakwah adalah wajib kifayah. Apabila dakwah sudah dilakukan oleh sekelompok atau sebagian orang maka gugurlah segala kewajiban dakwah atas seluruh kaum muslimin, sebab sudah ada yang melaksanakan walaupun oleh sebagian orang. Hal ini didasarkan pada kata "minkum" yang diberikan pengertian lit'tab'id (sebagian).28 Yang dimaksud "sebagian" di sini sebagaimana dijelaskan oleh Zamakhsyari, bahwa perintah itu wajib bagi yang mengetahui
adanya
kemungkaran
dan
sekaligus
mengetahui
cara
melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar. Sedangkan terhadap orang yang bodoh, kewajiban berdakwah tidak dibebankan kepadanya. Sebab dia (karena ketidaktahuannya) mungkin memerintahkan pada kemunkaran dan melarang kebaikan atau mengetahui hukum-hukum di dalam madzhabnya dan tidak mengetahui madzhab-madzhab yang lain.29 Rasyid Ridha, mengatakan bahwa surat al'Taubah ayat 122 menjelaskan kewajiban dakwah bagi orang yang sempurna ilmunya, faqih di bidang agama dan siap untuk mengajarkan kepada seluruh manusia.30
27
Abdullah Nasih 'Ulwan, Wujub Tabligh al-Da'wah: Fazhlu Da'wah wa al-Da'iyah (Kairo: Dar al-Salam, 1406H/1986M), Cet. ke-2, hlm. 7-21. dan Muhammad Amin Husain, Khasha'ish al- Da'wah, hlm. 18-19. 28 Ibnu Katsir, 1410 H/1990 M, Tafsir al-Qur'an al-'Adhim, Beirut: Dar al-Jayl, Juz I, Cet. ke-2, hlm. 368. 29 Zamakhsyari, op. cit., Juz I, hlm. 452. 30 Muhammad Rasyid Ridha, 1975, Tafsir al-Manar, Kairo: AI-Hayat al-Mishriyah al'Amah lilkita, Juz 11, hlm. 62-65.
25 Dari kedua pendapat tersebut di atas, bahwa jumhur ulama menganggap berdakwah hukumnya wajib kifayah, karena berdakwah harus memiliki ilmu dan ma'rifah agar terealisir tujuan dakwah dan sampai kepada obyek dakwah secara sempurna, jauh dari keraguan dan kesalahan. Sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah, orang yang wajib berdakwah adalah yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana dalam hadits yang dikutipnya: "Seyogyanya bagi siapa yang amar ma'rufdan nahi munkar agar dia mengetahui apa yang telah diperintahkan dan apa yang telah dilarangnya, lembut dalam memerintah dan melarang, dan bijaksana memerintah dan melarang".31 Para ulama telah menjelaskan bahwa dakwah itu Hukumnya fardlu kifayah. Karena itu, apabila di suatu tempat sudah ada para da'i yang telah menegakkan ; dakwah, maka kewajiban dakwah bagi yang lain akan gugur dengan sendirinya. Jika di suatu tempat (daerah) membutuhkan dakwah secara kontinyu, maka dalam keadaan seperti ini dakwah menjadi fardlu kifayah, artinya apabila dakwah telah dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dan keahlian, maka beban kewajiban itu akan gugur bagi yang lain. Dalam kondisi yang demikian itu, dakwah bagi yang lain menjadi sunnah muakad dan merupakan amal shalih. Sebaliknya, apabila di suatu tempat atau daerah tertentu tidak ada yang melaksanakan dakwah sama sekali, maka dosanya ditanggung oleh seluruh umat dan beban kewajiban ditanggung oleh semuanya. Dalam kondisi semacam ini, setiap pribadi umat Islam diharuskan berdakwah menurut kadar kemampuannya.
31
Ibnu Taimiyah, op. Cit., hlm. 159.
26 Dengan demikian, dakwah bisa menjadi fardlu 'ain apabila di suatu tempat tidak ada seorang pun yang melakukan dakwah dan dakwah bisa menjadi fardlu kifayah apabila di suatu tempat sudah ada orang yang melakukan dakwah. Demikian juga, ketika jumlah da'i masih sedikit, sementara tingkat kemunkaran sangat tinggi dan kebodohan merajalela, maka dakwah menjadi wajib 'ain bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya.
3. Unsur-unsur Dakwah Unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen yang selalu ada dalam setiap kegiatan dakwah. Unsur-unsur tersebut adalah da'i (pelaku dakwah), mad'u (obyek dakwah), materi dakwah, wasilah (media dakwah), thariqah (metode), dan atsar (efek dakwah). a. Da'i (pelaku dakwah) Kata da'i ini secara umum sering disebut dengan sebutan mubaligh (orang yang menyempurnakan ajaran Islam) namun sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat sempit karena masyarakat umum cenderung mengartikan sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti penceramah agama, khatib (orang yang berkhutbah), dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para pakar dalam bidang dakwah, yaitu: 1. Hasyimi, juru dakwah adalah Penasihat, para pemimpin dan pemberi ingat, yang memberi nasihat dengan baik yang mengarah dan berkhotbah, yang memusatkan jiwa dan raganya dalam wa'ad dan wa'id (berita gembira dan
27 berita siksa) dan dalam membicarakan tentang kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia.32 2. Nasaraddin Lathief mendefinisikan bahwa da'i itu ialah Muslim dan Muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliah pokok bagi tugas ulama. Ahli dakwah ialah wa'ad, mubaligh mustamain (juru penerang) yang menyeru mengajak dan memberi pengajaran dan pelajaran agama Islam.33 3. M. Natsir, pembawa dakwah merupakan orang yang memperingatkan atau memanggil supaya memilih, yaitu memilih jalan yang membawa pada keuntungan.34 Namun pada dasarnya semua pribadi Muslim itu berperan secara otomatis sebagai mubaligh atau orang yang menyampaikan atau dalam bahasa komunikasi dikenal sebagai komunikator. Untuk itu dalam komunikasi dakwah yang berperan sebagai da'i atau mubaligh ialah:35 Secara umum adalah setiap Muslim atau Muslimat yang mukallaf (dewasa) di mana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah; "Sampaikan walaupun hanya satu ayat."
162. 20
32
A. Hasyimi, 1974, Dustur dakwah Menurut Al-Qur'an, Jakarta: Bulan Bintang, hlm.
33
HMS. Nasaruddin Lathief, tth, Teori dan Praktek Dakwah, Jakarta: Firma Dara, hlm.
34
M. Natsir, tth, Fiqhud Dakwah, Jakarta: Dengan Islamiah Indonesia, hlm. 125. Toto Tasmara, 1997, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pertama, hlm. 41-42.
35
28 Secara khusus adalah mereka yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal panggilan dengan ulama. Dalam kegiatan dakwah peranan da'i sangatlah esensial, sebab tanpa da'i ajaran Islam hanyalah ideologi yang tidak terwujud dalam kehidupan masyarakat. "Biar bagaimanapun baiknya ideologi Islam yang harus disebarkan di masyarakat, ia akan tetap sebagai ide, ia akan tetap sebagai citacita yang tidak terwujud jika tidak ada manusia yang menyebarkannya.36 Di antara sifat da'i yang disebutkan dalam al-Qur'an adalah: b. Mad'u (Obyek dakwah) Unsur dakwah yang kedua adalah mau, yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam maupun tidak; atau dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah QS. Saba' 28:
(28 :ﻮ ﹶﻥ )ﺳﺒﺄﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﺱ ﻟﹶﺎ ِ ﺎﺮ ﺍﻟﻨ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻧﺬِﻳﺮﹰﺍﻭ ﺑﺸِﲑﹰﺍ ﺱ ِ ﺎﻙ ِﺇﻟﱠﺎ ﻛﹶﺎﻓﱠ ﹰﺔ ﻟﱢﻠﻨ ﺎﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺎ ﹶﺃﻭﻣ Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba: 28) Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama Islam; sedangkan kepada orang-orang
36
Hamzah Ya'qub, 1981, Publistik Islam, Bandung: cet II, hlm. 37
29 yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman, Islam, dan ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat disebut mad'u dakwah daripada sebutan objek dakwah, sebab sebutan yang kedua lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain sebagai kawan berpikir tentang keimanan, syari'ah, dan akhlak kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama. Al-Qur'an mengenalkan kepada kita beberapa tipe mad'u. Secara umum mad'u terbagi tiga, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik.37 Dan dari tiga klasifikasi besar ini mad'u masih bisa dibagi lagi dalam berbagai macam pengelompokan. Orang mukmin umpamannya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: dzalim linafsih, muqtashid, dan sabiqun bilkhairat.38 Kafir bisa dibagi menjadi kafir zimmi dan kafir harbi.39 Di dalam al-Qur 'an selalu digambarkan bahwa, setiap Rasul menyampaikan risalah, kaum yang dihadapinya akan terbagi dua: mendukung dakwah dan menolak. Cuma kita tidak menemukan metode yang mendetail di dalam al-Qur'an bagaimana berinteraksi dengan pendukung dan bagaimana
37
Lihat al-Qur'an surah al-Baqarah: 2-20. Allah berfirman: "Kemudian Kitab ini Kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lain di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar". 39 lihat surat al-Mumtahanah: 8-9.. 38
30 menghadapi penentang. Tetapi, isyarat bagaimana corak mad'u sudah tergambar cukup signifikan dalam al-Qur'an.40 Mad'u (mitra dakwah) terdiri dari berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu, menggolongkan mad'u sama dengan menggolongkan manusia itu sendiri, profesi, ekonomi, dan seterusnya. Penggolongan mad'u tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Dari segi sosiologis, masyarakat terasing, pedesaan, perkotaan, kota kecil, serta masyarakat di daerah marjinal dari kota besar. 2. Dari struktur kelembagaan, ada golongan priyayi, abangan dan santri, terutama pada masyarakat Jawa. 3. Dari segi tingkatan usia, ada golongan anak-anak, remaja, dan golongan orang tua. 4. Dari segi profesi, ada golongan petani, pedagang seniman, buruh, pegawai negeri. 5. Dari segi tingkatan sosial ekonomis, ada golongan kaya, menengah, dan miskin. 6. Dari segi jenis kelamin, ada golongan pria dan wanita. 7. Dari segi khusus ada masyarakat tunasusila, tunawisma, tuna-karya, narapidana, dan sebagainya.41 c. Wasilah (media dakwah) Wasilah (media) dakwah, yaitu alat yang dipergunakan untuk menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad'u. 40 41
Lihat al-Qur'an surah al-Kahfi: 57, surah Fushilat: 5. H.M, Arifin, 1977, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 13-14.
31 Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Hamzah Ya'qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak: 1. Lisan, inilah wasilah dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya. 2. Tulisan, buku majalah, surat kabar, surat menyurat (korespondensi) spanduk, flash-card, dan sebagainya. 3. Lukisan, gambar, karikatur, dan sebagainya. 4. Audio visual, yaitu alat dakwah yang merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, televisi, film, slide, ohap, internet, dan sebagainya. 5. Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad'u. Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Media (terutama media massa) telah meningkatkan intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi dilakukan umat manusia begitu luas sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan
32 sebagainya. Bahkan dapat dikatakan alat-alat tersebut telah melekat tak terpisahkan dengan kehidupan manusia di abad ini. Dari segi pesan penyampaian dakwah dibagi tiga golongan yaitu: 42 a. The Spoken Words (yang berbentuk ucapan) Yang termasuk kategori ini ialah alat yang dapat mengeluarkan bunyi. Karena hanya dapat ditangkap oleh telinga; disebut juga dengan the audial media yang biasa dipergunakan sehari-hari seperti telepon, radio, dan sejenisnya termasuk dalam bentuk ini. b. The Printed Writing (yang berbentuk tulisan) Yang termasuk di dalamnya adalah barang-barang tercetak, gambargambar tercetak, lukisan-lukisan, buku, surat kabar, majalah, brosur, pamplet, dan sebagainya. c. The Audio Visual (yang berbentuk gambar hidup); Yaitu merupakan penggabungan dari golongan di atas, yang termasuk ini adalah film, televisi, video, dan sebagainya. Pembahasan media dakwah ini akan dibahas dalam bab tersendiri. d. Thariqah (metode) Hal yang sangat erat kaitannya dengan metode wasilah adalah metode dakwah thariqah (metode) dakwah. Kalau wasilah adalah alat-alat yang dipakai untuk mengoperkan atau menyampaikan ajaran Islam maka thariqah adalah metode yang digunakan dalam dakwah.
42
Moh. Ali Aziz, 2004, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media, hlm. 121
33 Sebelum kita membicarakan metode dakwah, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang pengertian metode. Kata metode berasal dari bahasa Latin methodus yang berarti cara. Dalam bahasa Yunani, methodhus berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahas Inggris method dijelaskan dengan metode atau cara.43 Kata metode telah menjadi bahasa Indonesia yang memiliki pengertian "Suatu cara yang bisa ditempuh atau cam yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencana sistem, tata pikir manusia.44 Abdul Kadir Munsyi, mengartikan metode sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu.45 Sedangkan dalam metodelogi pengajaran ajaran Islam disebutkan bahwa metode adalah "Suatu cara yang sistematis dan umum terutama dalam mencari kebenaran ilmiah".46 Dalam kaitannya dengan pengajaran ajaran Islam, maka pembahasan selalu berkaitan dengan hakikat penyampaian materi kepada peserta didik agar dapat diterima dan dicerna dengan baik. Metode adalah cara yang sistematis dan teratur untuk pelaksanaan suatu atau cara kerja.47 Dakwah adalah cara yang digunakan subjek dakwah untuk menyampaikan materi dakwah atau bias diartikan metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da'i untuk menyampaikan
17.
43
Soejono Soemargono, 1983, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Nur Cahaya, hlm.
44
M. Syafaat Habib, 1992, Buku Pedoman Dakwah, Jakarta: Wijaya, Cet 1, hlm. 160. Abd. Kadir Munsy, 1982, Metode Diskusi dalam Dakwah, Surabaya: Al-Ihlash, Cet ,
45
hlm. 29.
46
Soeleman Yusuf dan Slamet Soesanto, 1981, Pengantar Pendidikan Sosial, Surabaya: Usaha Nasional, hlm.38. 47 Paus A. Partanto, M. Dahlan Al Barri, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka, hlm.461.
34 materi dakwah yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu dalam komunikasi metode dakwah ini lebih dikenal sebagai approach, yaitu cara-cara yang dilakukan oleh seorang da'i atau komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang.48 Dengan kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pada satu pandangan human oriented menetapkan penghargaan yang mulia pada diri manusia. Hal tersebut didasari karena Islam sebagai agama salam yang menebarkan rasa damai menempatkan manusia pada prioritas utama, artinya penghargaan manusia itu tidaklah dibeda-bedakan menurut ras, suku, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang tersirat dalam QS. al-Isra' 70; "Kami telah muliakan Bani Adam (manusia) dan Kami bawa mereka itu di daratan dan di lautan. Kami juga memberikan kepada mereka dan segala rezeki yang baikbaik. Mereka juga Kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhluk yang lain". Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, suatu pesan walaupun balk, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan. Dalam "Ilmu Komunikasi" ada jargon "the Methode is message."49 Maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dalam memakai metode sangat memengaruhi kelancaran dan keberhasilan 48
Toto Tasmara, Ibid, h. 43. Syarif Anwar dan Amin Maki, 2004, Islam Agama Dakwah Materi Dakwah Yang Merakyat, Yogyakarta: UII Press, hlm. 15. 49
35 dakwah. Ketika membahas tentang metode dakwah pada umumnya merujuk pada surah an-Nahl (QS.16:125)
ِﺇﻥﱠﺴﻦ ﺣ ﻲ ﹶﺃ ﻢ ﺑِﺎﱠﻟﺘِﻲ ِﻫﺎ ِﺩﹾﻟﻬﻭﺟ ﻨ ِﺔﺴ ﺤ ﻮ ِﻋ ﹶﻈ ِﺔ ﺍﹾﻟ ﻤ ﺍﹾﻟﻤ ِﺔ ﻭ ﺤ ﹾﻜ ِ ﻚ ﺑِﺎﹾﻟ ﺑﺭ ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﻉ ِﺇﻟِﻰ ﺩ ﺍ (125 :ﻦ )ﺍﻟﻨﺤﻞ ﺘﺪِﻳﻬ ﻤ ﺑِﺎﹾﻟﻋﹶﻠﻢ ﻮ ﹶﺃ ﻭﻫ ﺳﺒِﻴِﻠ ِﻪ ﻦﺿﻞﱠ ﻋ ﻦ ِﺑﻤﻋﹶﻠﻢ ﻮ ﹶﺃ ﻚ ﻫ ﺑﺭ Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: a) hikmah b) mau'izah al-hasanah c) mujadalah billati hiya ahsan e. Atsar (efek dakwah) Setiap aksi dakwah akan menimbulkan reaksi.50 Demikian jika dakwah telah dilakukan oleh seorang da'i dengan materi dakwah, wasilah, thariqah tertentu maka akan timbul respons dan efek (atsar) pada mad'u, (mitra/penerima dakwah). Atsar itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti bekasan/sisa, atau tanda. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu ucapan atau perbuatan yang berasal dari sahabat
50
Moh. Ali Aziz, op, cit.,hlm. 138
36 atau tabi'in yang pada perkembangan selanjutnya dianggap sebagai hadits, karena memiliki ciri-ciri sebagai hadits. 51 Atsar (efek) sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses dakwah ini sering kali dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da'i. Kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan maka selesailah dakwah. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya, dengan menganalisis atsar dakwah secara cermat dan tepat maka kesalahan strategis dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya (corrective action) demikian juga strategi dakwah termasuk dalam penentuan unsur-unsur dakwah yang dianggap balk dapat ditingkatkan. Evaluasi dan koreksi terhadap atsar dakwah harus dilaksanakan secara radikal dan komprehensif, artinya tidak secara parsial atau setengah-setengah. Seluruh komponen sistem (unsur-unsur) dakwah harus dievaluasi secara komprehensif. Sebaliknya, evaluasi itu dilakukan oleh beberapa da'i, para tokoh masyarakat, dan para ahli. Para da'i harus memiliki jiwa inklusif untuk pembaruan dan perubahan di samping bekerja dengan menggunakan ilmu. Jika proses evaluasi ini telah menghasilkan beberapa konklusi dan keputusan, maka segera diikuti dengan tindakan korektif (corrective action). Kalau yang demikian dapat terlaksana dengan baik, maka terciptalah suatu mekanisme 51
363.
Abuddin Nata, 1998, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm.
37 perjuangan dalam bidang dakwah. Dalam bahasa agama inilah sesungguhnya disebut dengan ihtiar insani. Bersama dengan itu haruslah diiringi dengan doa mohon taufik dan hidayah Allah untuk kesuksesan dakwah.52 Apa saja yang seharusnya dievalusi dari pelaksanaan dakwah tidak lain adalah seluruh komponen dakwah yang dikaitkan dengan tujuan dakwah yang ingin dicapai. Dalam upaya mencapai tujuan dakwah maka kegiatan dakwah selalu diarahkan untuk memengaruhi tiga aspek perubahan diri objeknya, yakni perubahan pada aspek pengetahuannya (knowledge), aspek sikapnya (attitude) dan aspek perilakunya (behavioral). Berkenaan dengan hal tersebut, Jalaluddin Rahmat, menyatakan: Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak, yang meliputi segala yang berhubungan dengan emosi, sikap, serta nilai. efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku.53 Sedangkan
dalam
buku
Strategi
Komunikasi
Anwar
Arifin
memperjelas efek di atas sebagai berikut: Sesungguhnya suatu ide yang menyentuh dan yang merangsang individu dapat diterima atau ditolak ... dan pada umumnya melalui proses: 1. Proses mengerti (proses kognitif) 2. Proses menyetujui (proses objektif) 52
Nasruddin Razak, Ibid., hlm. 6-7 Jalaluddin Rahmat, 1982, Retorika Modern, Sebuah Kerangka Teori dan Praktik Berpidato, Bandung: Akademika, hlm. 269. 53
38 3. Proses pembuatan (proses sencemotorik) Atau dapat dikatakan melalui proses: 1. Terbentuknya suatu pengertian atau pengetahuan (knowledge) 2. Proses suatu sikap menyetujui atau tidak menyetujui (attitude) 3. Proses terbentuknya gerak pelaksanaan (prectice)54 4. Hubungan Dakwah Dengan Ekonomi Islam Bisri Afandi mengatakan bahwa yang diharapkan oleh dakwah adalah terjadinya perubahan dalam diri manusia, baik kelakuan adil maupun aktual, baik pribadi maupun keluarga masyarakat, way of thinking atau cara berpikirnya berubah, way of life atau cara hidupnya berubah menjadi lebih baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud adalah nilainilai agama sedangkan kualitas adalah bahwa kebaikan yang bernilai agama itu semakin dimiliki banyak orang dalam segala situasi dan kondisi.55 Ketika
merumuskan
pengertian
dakwah,
Amrullah
Ahmad
menyinggung tujuan dakwah adalah untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran individual dan sosiokultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan.56 Kedua pendapat di atas menekankan bahwa dakwah bertujuan untuk mengubah sikap mental dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi 54
Anwar Arifin, 1984, Strategi Komunikasi, Bandung: Amico, Cet II, hlm. 41. Bisri Affandi, 1984, Beberapa Percikan Jalan Dakwah, Surabaya, Fak Dakwah Surabaya, hlm.3. 56 Amrullah Ahmad, 1983, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Primaduta, hlm. 2. 55
39 lebih baik atau meningkatkan kualitas iman dan Islam seseorang secara sadar dan timbul dari kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa oleh apa dan siapa pun. Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa mission sacre (amanah suci) dengan menanamkan akhlak yang mulia bagi manusia. Akhlak yang dimaksudkan tidak lain adalah al-Qur 'an itu sendiri. Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik individu maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan sesuai dengan ajaran Islam.57 Sedangkan dalam konteksnya dengan ekonomi Islam, bahwa ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur'an dan as-sunah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas dasar-dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masanya.58 Dalam berbagai pengertian ekonomi, baik yang dikemukakan oleh para pakar ekonomi Barat maupun oleh para pakar ekonomi Islam sendiri menempatkan individu (manusia) sebagai obyek kajian ekonomi. Namun demikian, konsep ekonomi Islam tidak hanya mengkaji individu sebagai makhluk sosial, sebagaimana yang menjadi kajian ekonomi Barat, tapi lebih dari itu. Konsep ekonomi Islam juga menempatkan individu sebagai mahluk yang mempunyai potensi religius.59 Oleh sebab itu, dalam pemenuhan kebutuhannya, atau aktifitas ekonomi lainnya, ekonomi Islam menempatkan 57
Toto Tasmara, 1997, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Baru Pertama, hlm. 47. Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Ab al-Karim, 1999, Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, terj. Imam saefudin, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 17 59 M. A. Mannan, 1986, Islamic Economic: Theory an Practice Cambridge: The Islamic Academy, Edisi Revisi, hlm. 20 58
40 nilai-nilai Islam sebagai dasar pijakannya. Berbeda dengan konsep ekonomi Barat yang menempatkan kepentingan individu sebagai landasannya. Nilai-nilai Islam tidak hanya berkaitan dengan proses ekonomi tapi juga berkaitan dengan tujuan dari kegiatan ekonomi. Islam menempatkan bahwa tujuan ekonomi tidak hanya kesejahteraan duniawi saja, tapi juga untuk kepentingan yang lebih utama yaitu kesejahteraan ukhrawi. Dengan demikian ekonomi Islam dan dakwah bertujuan agar manusia memperoleh kebahagaan dunia dan akhirat. Ekonomi Islam dan dakwah merupakan sarana untuk menyeru manusia agar dalam tindak tanduknya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. B. Konsep Ekonomi Islam 1. Ruang Ekonomi Islam Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi Islam sebagai suatu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas di dalam kerangka Syariah. Ilmu yang rnempelajari perilaku seorang muslim dalam suatu masyarakat Islam yang dibingkai dengan syariah. Definisi tersebut mengandung kelemahan karena menghasilkan konsep yang tidak kompetibel dan tidak universal. Karena dari definisi tersebut mendorong seseorang terperangkap dalam keputusan yang apriori (apriory judgement), benar atau salah tetap harus diterima.60
60
Imamudin Yuliadi, 2001, Ekonomi Islam, Yogyakarta: LPPI, hlm. 6
41 Definisi yang lebih lengkap musti mengakomodasikan sejumlah prasyarat yaitu karakteristik dari pandangan hidup Islam. Syarat utama adalah memasukkan nilai-nilai syariah dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu sosial yang tentu saja tidak bebas dari nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral merupakan aspek normatif yang harus dimasukkan dalam analisis fenomena ekonomi serta dalam pengambilan keputusan yang dibingkai syariah. Imamudin Yuliadi menginventarisir enam definisi ekonomi Islam sebagai berikut: 1. Ekonomi Islam adalah : ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumberdaya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat. 2. Ekonomi Islam adalah: "Ilmu sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai Islam. 3. Ekonomi Islam adalah: "Suatu upaya sistematik untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia yang berkaitan dengan masalah itu dari perspektif Islam 4. Ekonomi Islam adalah: "Tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada jamannya. Di mana dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al-Qur'an dan Sunnah disertai dengan argumentasi dan pengalaman empirik
42 5. Ekonomi Islam adalah "Suatu upaya memusatkan perhatian pada studi tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumberdaya di bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi 6. Ekonomi Islam adalah : "Cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka yang sejalan dengan syariah Islam tanpa membatasi kreativitas individu ataupun menciptakan suatu ketidakseimbangan ekonomi makro atau ekologis.61 Dari beberapa definisi ekonomi Islam di atas yang relatif dapat secara lengkap menjelaskan dan mencakup kriteria dari definisi yang komprehensif adalah yang dirumuskan oleh Hasanuzzaman yaitu "Suatu pengetahuan dan aplikasi dari perintah dan peraturan dalam syariah yaitu untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumberdaya material agar memberikan
kepuasan
manusia,
sehingga
memungkinkan
manusia
melaksanakan tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat (Islamic economics is the knowledge and application of injunctions and rules of the shari'ah that prevent injustice in the acquition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to human beings and enable them to perform their obligations to Allah and the society).62 Hal penting dari definisi tersebut adalah istilah "perolehan" dan "pembagian" di mana aktivitas ekonomi ini harus dilaksanakan dengan menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber-sumber 61 62
Ibid, hlm. 7 Ibid, hlm. 8
43 ekonomi.
Prinsip-prinsip
dasar
yang
digunakan
untuk
menghindari
ketidakadilan tersebut adalah syariah yang di dalamnya terkandung perintah (injunctions) dan peraturan (rules) tentang boleh tidaknya suatu kegiatan. Pengertian "memberikan kepuasan terhadap manusia" merupakan suatu sasaran ekonomi yang ingin dicapai. Sedangkan pengertian "memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat" diartikan bahwa tanggungjawab tidak hanya terbatas pada aspek sosial ekonomi saja tapi juga menyangkut peran pemerintah dalam mengatur dan mengelola semua aktivitas ekonomi termasuk zakat dan pajak. Namun perlu ditegaskan di sini perbedaan pengertian antara ilmu ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Islam. Ilmu ekonomi Islam merupakan suatu kajian yang senantiasa memperhatikan rambu-rambu metodologi ilmiah. Sehingga dalam proses perkembangannya senantiasa mengakomodasikan berbagai aspek dan variabel dalam analisis ekonomi. Ilmu ekonomi Islam dalam batas- batas metodologi ilmiah tidak berbeda dengan ilmu ekonomi pada umumnya yang mengenal pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Namun berbeda halnya dengan sistem ekonomi Islam yang merupakan bagian dari kehidupan seorang muslim. Sistem ekonomi Islam merupakan suatu keharusan dalam kehidupan seorang muslim dalam upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam aktivitas ekonomi. Sistem ekonomi Islam merupakan salah satu aspek dalam sistem nilai Islam yang integral dan komprehensif. Suatu pertanyaan akan muncul yaitu bagaimana kaitan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional? Sebagai suatu cabang ilmu sosial yang
44 mempelajari perilaku ekonomi yang memuat pernyataan positif, ekonomi konvensional tidak secara eksplisit memuat peranan nilai (value) dalam analisa ekonomi. Bagi seorang muslim persoalan ekonomi bukanlah persoalan sosial yang bebas nilai (value free). Dalam perspektif Islam semua persoalan kehidupan manusia tidak terlepas dari koridor syariah yang diturunkan dari dua sumber utama yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.63 2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam Para pemikir ekonomi Islam berbeda pendapat dalam memberikan kategorisasi terhadap prinsip-prinsip ekonomi Islam. Khurshid Ahmad mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam pada: Prinsip tauhid, rubbiyyah, khilafah, dan tazkiyah.
64
Mahmud Muhammad Bablily menetapkan
lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam Islam, yaitu: alukhuwwa (persaudaraan), al-ihsan (berbuat baik), al-nasihah (memberi nasihat), al-istiqamah (teguh pendirian), dan al-taqwa (bersikap takwa).65 Sedangkan menurut M. Raihan Sharif dalam Islamic Social Framework, struktur sistem ekonomi Islam didasarkan pada empat kaidah struktural, yaitu: (1) trusteeship of man (perwalian manusia); (2) co-operation (kerja sama); (3) limite 'private property (pemilikan pribadi yang terbatas); dan (4) state enterprise (perusahaan negara).45
63
Ibid, hlm. 8-10 Muslimin H. Kara, 2005, Bank Syariah Di Indonesia Analisis Terhadap Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, hlm 37-38 65 Mahmud Muhammad Bablily, 1990, Etika Bisnis: Studi Kajian Konsep Perekonomian Menurut al-Qur'an dan as-Sunnah, terj. Rosihin A. Ghani, Solo: Ramadhani, hlm. 15 64
45 Prinsip ekonomi Islam juga dikemukakan Masudul Alam Choudhury, dalam bukunya, Constributions to Islamic Economic Theory. Ekonomi Islam menurutnya didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: (1) the principle of tawheed and brotherhood (prinsip tauhid dan persaudaraan), (2) the principle of work and productivity (prinsip kerja dan produktifitas), dan (3) the principle of distributional equity (prinsip pemerataan dalam distribusi).66 Menurut Adiwarman Karim Bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni tauhid, keadilan, kenabian, khilafah, dan Ma'ad (hasil).67 Menurut Metwally yang dikutip Zainul Arifin,68 prinsipprinsip ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpentirig adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti. (2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
66
Muslim H.Kara, op. cit, hlm. 38 Adiwarman Karim, 2002, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: III T Indonesia, hlm. 17 68 Zainul Arifin, 2003, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah, Jakarta: Alvabet, hlm. 67
13.
46 (3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Seorang Muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur'an:
ﻦ ﻋ ﺭ ٍﺓ ﺎﻥ ِﺗﺠﺗ ﹸﻜﻮ ﺎ ِﻃ ِﻞ ِﺍﻻﱠ ﹶﺍ ﹾﻥﻢ ﺑِﺎﹾﻟﺒ ﻨ ﹸﻜﻴﺑ ﻢ ﺍﹶﻟ ﹸﻜﻣﻮ ﺄ ﹸﻛﻠﹸﻮ ﹶﺍﺍ ﹶﻻ ﺗﻨﻮﻣ ﻦ ﹶﺍ ﻳﺎﺍﻟﱠ ِﺬﻳﻬﺂﹶﺍﻳ (29 : )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ... ﻢ ﻨ ﹸﻜﺽ ِﻣ ٍ ﺍﺗﺮ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kalian...' (QS 4:29).69 (4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang, akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur'an mengungkapkan bahwa "Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian..," (QS:57:7). Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis, di mana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.
69
Yayasan Penyelenggara/Penterjemah, op. cit, hlm. 122
47 (5) Islam
menjamin
kepemilikan
masyarakat,
dan
penggunaannya
direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, "Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api." Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan, harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dtkuasai oleh individu. (6) Seorang Muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur'an:
ﻢ ﹶﻻ ﻫ ﻭ ﺖ ﺒﺴ ﺎ ﹶﻛﺲ ﻣ ٍ ﻧ ﹾﻔ ﻮﻓﱠﻰ ﹸﻛﻞُﱡ ﺗ ﷲ ﹸﺛﻢ ِ ﻴ ِﻪ ِﺍﻟﹶﻰ ﺍﻮ ﹶﻥ ِﻓ ﺟﻌ ﺮ ﺎ ﺗﻮﻣ ﻳ ﺍﺗ ﹸﻘﻮﺍﻭ (281 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﻮ ﹶﻥ ﹾﻈﹶﻠﻤﻳ Artinya: Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi padas hari yang padsa waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian maing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidask dianiaya (dirugikan).(QS 2:281).70 Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan. (7) Seorang Muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut),
70
Yayasan Penterjemah/pentafsir, op. cit, hlm 70.
48 yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (idle assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (net earning from transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi (8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur'an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur'an secara berturut-turut sebagai berikut: Pada tahap pertama dalam Surat (30) Ar Rum ayat 39. Allah berfirman:
ﻦ ﻢ ِﻣ ﺘﻴﺗﺎ ﹶﺍﻭﻣ ﷲ ِ ﺪ ﺍ ﻨﺍ ِﻋﺑﻮﺮ ﻳ ﻼ ﺱ ﹶﻓ ﹶ ِ ﺎﺍ ِﻝ ﺍﻟﻨﻣﻮ ﺍ ﻓِﻰ ﹶﺍﺑﻮﺮ ﻴﺎ ِﻟﻦ ِﺭﺑ ﻢ ِﻣ ﺘﻴﺗﺎ ﹶﺍﻭﻣ .(39 :ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺮﻭﻡ ﻀ ِﻌ ﹸﻔ ﻤ ﻢ ﺍﹾﻟ ﻫ ﻚ ﷲ ﻓﹶﺎﻭﻟِﺌ ِ ﻪ ﺍ ﺟ ﻭ ﻭ ﹶﻥ ﺪ ﻳﺗ ِﺮ ﺯﻛﹶﻮ ِﺓ Artinya: Dan suatu riba tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya. Tahap kedua Allah berfirman dalam surah (4) An Nisa' ayat 160-161 sebagai berikut:
ﻴ ِﻞﺳِﺒ ﻦ ﻋ ﻢ ﺪ ِﻫ ﺼ ﻭِﺑ ﻢ ﻬ ﺖ ﹶﻟ ﺕ ﺍﹸ ِﺣﻠﱠ ٍ ﺎﻴﺒﻢ ﹶﻃ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺎﻣﻨ ﺮّ ﺣ ﻭ ﺩ ﺎﻦ ﻫ ﻳﻦ ﺍﻟﱠ ِﺬ ﹶﻓِﺒﻈﹸ ﹾﻠ ٍﻢ ِﻣ (160 : )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ.ﺍﻴﺮﷲ ﹶﻛِﺜ ِﺍ
49
ﻦ ﻳﺎ َِﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎِﻓ ِﺮﺪﻧ ﺘﻋ ﻭﹶﺍ ﺎ ِﻃ ِﻞﺱ ﺑِﺎ ﺍﹾﻟﺒ ِ ﺎﺍ ﹶﻝ ﺍﻟﻨﻣﻮ ﻢ ﹶﺍ ﺍ ﹾﻛِﻠ ِﻬ ﻭﻨﻪﻋ ﻮﺍﻬﺪﻧ ﻭﹶﻗ ﻮﺍﺮﺑ ﺍﻟﺧ ِﺬ ِﻫﻢ ﻭﹶﺍ (161 : )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ.ﺎﻴﻤﺎ ﹶﺍِﻟﻋﺬﹶﺍﺑ ﻢ ﻬ ﻨِﻣ Artinya: "Maka disebabkan karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta manusia dengan jalan yang batil. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. Tahap ketiga diturunkan oleh Allah melalui surat (3) Al-Imran ayat 130 sebagai berikut:
ﻮ ﹶﻥ ﹾﻔِﻠﺤﻢ ﺗ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﷲ ﹶﻟ َ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﺍﺎ ِﻋ ﹶﻔﺔﹸ ﻭﻣﻀ ﺎﻓﹰﺎﺿﻌ ﻮﺍ ﹶﺍﺮﺑ ﻮ ﹶﻥ ﺍﻟ ﺗ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﺍ ﹶﻻﻨﻮﻣ ﻦ ﺍ ﻳﺎ ﺍﻟﱠ ِﺬﻳﻬﻳﺂﹶﺍ .(130 :)ﺍﻟﺮﻭﻡ Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan Tahap terakhir larangan riba terdapat dalam Surat (2) Al Baqarah ayat 278-279:
.ﻦ ﻴﺆ ِﻣِﻨ ﻢ ﻣ ﺘﻨﻮﺍ ِﺍ ﹾﻥ ﹸﻛﺮﺑ ﻦ ﺍﻟ ﻰ ِﻣ ﺑ ِﻘ ﺎﻭﺍ ﻣﻭ ﹶﺫﺭ ﷲ َ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻮﺍ ﺍﻣﻨ ﻦ ﹶﺍ ﻳﺎ ﺍﻟﱠ ِﺬﻳﻬﺎﺍﻳ (278 :)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻢ ﹶﻻ ﺍِﻟ ﹸﻜﻣﻮ ﺱ ﹶﺍ ﺅ ﺭ ﻢ ﻢ ﹶﻓﹶﻠﻜﹸ ﺘﺒﺗ ﻭِﺍ ﹾﻥ ﻮِﻟ ِﻪ ﺭﺳ ﻭ ﷲ ِ ﻦ ﺍ ﺏ ِﻣ ٍ ﺮ ﺤ ﺍ ِﺑﻧﻮﻌﻠﹸﻮﺍ ﹶﻓ ﹾﺄ ﹶﺫ ﺗ ﹾﻔ ﻢ ﻧﹶﻠﹶﻓِﺎ (279 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﻮ ﹶﻥ ﹾﻈﹶﻠﻤﻭ ﹶﻻ ﺗ ﻮ ﹶﻥ ﺗ ﹾﻈِﻠﻤ
50
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (perintah itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan me merangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk praktek bunga.71 Dalam Perjanjian Lama, larangan riba tercantum dalam Leviticus 25:27, Deutronomi 23:19, Exodus 25:25 dan dalam Perjanjian Baru dapat dijumpai dalam Lukas 6:35.
3. Ekonomi Islam Dalam Realitas Sosial Pada dasarnya sistem ekonomi Islam berbeda dari sistem- sistem ekonomi kapitalis dan sosialis; dan dalam beberapa hal, merupakan pertentangan antara keduanya dan berada di antara kedua ekstrim tersebut. Sistem ekonomi Islam memiliki kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, tetapi bebas daripada kelemahan yang terdapat pada kedua sistem tersebut. Hubungan antara individu dalam sistem ekonomi Islam cukup tersusun sehingga saling membantu dan kerjasama diutamakan dari persaingan dan permusuhan sesama mereka. Untuk tujuan tersebut, sistem
71
Eko Suprayitno, 2005, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm. 2-3.
51 ekonomi Islam bukan saja menyediakan individu kemudahan dalam bidang ekonomi dan sosial bahkan juga memberikan mereka juga pendidikan moral dan latihan tertentu yang membuat mereka merasa bertanggungjawab untuk membantu rekan-rekan sekerja dalam mencapai keinginan mereka atau sekurang-kurangnya tidak menghalangi mereka dalam usahanya untuk hidup.72 Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis yang memberikan kebebasan serta hak pemilikan kepada individu dan menggalakkan usaha secara perseorangan. Tidak pula dari sudut pandang komunis, yang " ingin menghapuskan semua hak individu dan menjadikan mereka seperti budak ekonomi yang dikendalikan oleh negara. Tetapi Islam membenarkan sikap mementingkan diri sendiri tanpa membiarkannya merusak masyarakat. Pemilihan sikap yang terlalu mementingkan diri sendiri di kalangan anggota masyarakat dapat dilakukan dengan melalui pengadaan moral dan undang-undang. Di satu sisi pemahaman konsep ekonomi di kalangan masyarakat berubah dan diperbaiki melalui pendidikan moral serta di sisi yang lain, beberapa langkah tertentu yang legal diambil untuk memastikan sifat mementingkan diri golongan kapitalis tidak sampai ke tahap yang menjadikan mereka tamak serta serakah; dan bagi si miskin, tidak merasa iri hati, mendendam dan kehilangan sikap toleransi. Bagian yang terpenting dari prinsip-prinsip tersebut yang perlu bagi organisasi ekonomi dalam masyarakat untuk mencapai tujuan yang telah dinyatakan tadi ialah hak pemilikan 72
Afzalur Rahman, 1995, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soerojo dan Nastangin, Jilid Ī Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, hlm. 10
52 individu, yang perlu untuk kemajuan manusia bukan saja senantiasa dijaga dan terpelihara tetapi terns didukung dan diperkuat. 73
73
Ibid, hlm. 11