BAB II KONSEP DAKWAH DAN JIHAD DALAM ISLAM
2.1. Konsep Dakwah dalam Islam 2.1.1. Pengertian Dakwah Pengertian dakwah dapat ditinjau dari dua segi; secara bahasa (etimologi), dan secara istilah (terminologi). Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab da’wah yang asal katanya adalah da’a, yad’u, yang berarti panggilan, ajakan, seruan (M. Ali Aziz, 2004: 2). Sedangkan secara istilah (terminologi) dakwah dapat diartikan sebagai sisi positif dari ajakan untuk menuju keselamatan dunia dan akhirat. Para ulama sendiri memberikan definisi
berbeda-beda mengenai dakwah,
sebagai berikut: Hamzah Ya’qub sebagaimana dikutip Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safi’i (2002: 28) mendefinisikan dakwah sebagai aktivitas mengajak ummat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Asep Muhyiddin mengartikan dakwah adalah segala rekayasa dan rekadaya untuk mengubah segala bentuk penyembahan kepada selain Allah menuju keyakinan tauhid, mengubah semua jenis kehidupan yang timpang ke arah kehidupan yang lempang, yang penuh dengan ketenangan batin dan kesejahteraan lahir berdasarkan nilai-nilai Islam.
13
14
Asmuni Syukir (1983: 20) memberikan definisi bahwa dakwah adalah suatu usaha mempertahankan, melestarikan dan menyempurnakan umat manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah, dengan menjalankan syariat-Nya sehingga mereka menjadi manusia yang hidup bahagia di dunia maupun akhirat. Sedangkan Amrullah Ahmad (1983: 17) memberikan definisi bahwa dakwah adalah mengadakan dan memberikan arah perubahan. Mengubah struktur masyarakat dan budaya dari kedhaliman ke arah keadilan, kebodohan kearah kemajuan/kecerdasan, kemiskinan ke arah kemakmuran, keterbelakangan ke arah kemajuan yang semuanya dalam rangka meningkatkan
derajat
manusia
dan
masyarakat
ke
arah
puncak
kemanusiaan. Pemakaian kata dakwah dalam masyarakat Islam, terutama di Indonesia merupakan suatu yang tidak asing. Arti dari kata dakwah yang dimaksudkan adalah seruan dan ajakan. Kalau kata dakwah diberi arti “seruan”, maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam atau seruan Islam. Demikian juga halnya kalau diberi arti “ajakan”, maka yang dimaksud adalah ajakan kepada Islam atau ajakan Islam. Karenanya, Islam disebut sebagai agama dakwah, maksudnya agama yang disebarluaskan melalui dakwah. Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dakwah merupakan himbauan untuk melakukan perubahan dari kedhaliman
15
menuju keadilan, dari kebodohan kepada kemajuan, menuju keselamatan dunia dan akhirat.
2.1.2. Dasar Hukum Dakwah Pijakan dasar pelaksanaan dakwah adalah Al-Quran dan Hadits. Dua landasan normatif tersebut memberikan dalil naqli yang ditafsirkan sebagai bentuk perintah untuk berdakwah yang di dalamnya juga memuat tata cara dan pelaksanaan kegiatan dakwah. Perintah untuk berdakwah pertama kali ditujukan kepada para utusan Allah, kemudian kepada umatnya baik secara umum, berkelompok atau berorganisasi. Ada pula yang ditujukan kepada individu maupun keluarga dan sanak famili. Dasar hukum pelaksanaan dakwah tersebut adalah: Pertama, perintah dakwah yang ditujukan kepada para utusan Allah tercantum pada Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 67:
ﻚ ﺼﻤ ِ ﻌ ﻳ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﺘﻪﺎﹶﻟﺖ ِﺭﺳ ﻐ ﺑﻠﱠ ﺎﻌ ﹾﻞ ﹶﻓﻤ ﺗ ﹾﻔ ﻢ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﹶﻟ ﻚ ﺑﺭ ﻦ ﻚ ِﻣ ﻴﻧ ِﺰ ﹶﻝ ِﺇﹶﻟﺎ ﺃﹸﺑﱢﻠ ﹾﻎ ﻣ ﻮ ﹸﻝﺮﺳ ﻬﺎ ﺍﻟ ﻳﻳﺎﹶﺃ ﻦ ﻡ ﺍﹾﻟﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ ﻮ ﻬﺪِﻱ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ﻳ ﻪ ﻟﹶﺎ ﺱ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ِ ﻨﺎﻦ ﺍﻟ ِﻣ “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Q.S. al-Maidah: 67) Kedua, perintah dakwah yang ditunjukkan kepada umat Islam secara umum tercantum dalam Al-Quran Surat Nahl ayat 125.
ﻮ ﻚ ﻫ ﺑﺭ ِﺇﻥﱠﺴﻦ ﺣ ﻲ ﹶﺃ ﻢ ﺑِﺎﱠﻟﺘِﻲ ِﻫ ﻬ ﺎ ِﺩﹾﻟﻭﺟ ﻨ ِﺔﺴ ﺤ ﻮ ِﻋ ﹶﻈ ِﺔ ﺍﹾﻟ ﻤ ﺍﹾﻟﻤ ِﺔ ﻭ ﺤ ﹾﻜ ِ ﻚ ِﺑﺎﹾﻟ ﺑﺭ ﺳِﺒﻴ ِﻞ ﻉ ِﺇﹶﻟﻰ ﺩ ﺍ .ﻦ ﺘﺪِﻳﻬ ﻤ ﺑِﺎﹾﻟﻋﹶﻠﻢ ﻮ ﹶﺃ ﻭﻫ ﺳﺒِﻴِﻠ ِﻪ ﻦ ﻋ ﺿﻞﱠ ﻦ ﻤ ِﺑﻋﹶﻠﻢ ﹶﺃ
16
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berbantahlah kepada mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. al-Nahl: 125) Ketiga, perintah dakwah yang ditunjukkan kepada muslim yang sudah berupa panduan praktis tercantum dalam hadits yang artinya:
ﻣﻦ ﺭﺃﻯ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻨﻜﺮﺍ ﻓﻠﻴﻐﲑﻩ ﺑﻴﺪﻩ ﻓﺎﻥ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻠﺴﺎﻧﻪ ﻭﺍﻥ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﺒﻘﻠﺒﻪ ﻭﺫﺍﻟﻚ .ﺃﺿﻌﻒ ﺍﻻﳝﺎﻥ “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, apabila tidak mampu (mencegah denagn tangan) maka hendaklah ia merubah dengan lisannya, dan apabila (dengan lisan) tidak mampu maka hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman”. (H.R. Muslim). Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa dasar hukum pelaksanaan dakwah sangat kuat, yaitu al-Qur’an dan hadits. Selain ayatayat dan hadits di atas, masih banyak pula ayat atau hadits lain.
2.1.3. Fungsi dan Tujuan Dakwah Sejak Rasulullah secara resmi diangkat sebagai Nabi dan Rasul, maka sejak itulah timbul dakwah, kemudian bergeraklah juru-juru dakwah menyebarkan ajaran Islam ke penjuru dunia. Nabi sendiri tidak ingin dinamika dakwah berhenti sepeninggalnya. Sebelum ia meninggal di hadapan umat ia menyerahkan estafet dakwah kepada umatnya. Islam sendiri menghendaki tatanan masyarakat yang ideal baik akidahnya, ibadah, maupun akhlaknya. Namun dalam sejarah kemanusiaan, masyarakat demikian belum pernah terwujud secara utuh. Karenanya,
17
dakwah selalu diperlakukan untuk meningkatkan kualitas spiritual manusia secara perorangan maupun masyarakat. Penyebaran dakwah sendiri setidaknya memiliki tiga fungsi sebagai berikut: 1.
Dakwah berfungsi untuk menyebarkan Islam kepada manusia sebagai individu dan masyarakat sehingga mereka merasakan rahmat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
2.
Dakwah berfungsi melestarikan nilai-nilai Islam dari generasi ke generasi kaum muslimin berikutnya sehingga kelangsungan ajaran Islam beserta pemeluknya dari generasi ke generasi berikutnya tidak putus.
3.
Dakwah berfungsi korektif, artinya meluruskan akhlak yang bengkok, mencegah kemungkaran dan mengeluarkan manusia dari kegelapan rohani (M. Ali Aziz, 2004: 59-60).. Sedangkan
mengenai
tujuan
dakwah
adalah
sebagaimana
diturunkannya Islam bagi umat manusia sendiri, yaitu untuk membuat manusia memiliki kualitas akidah, ibadah serta akhlak yang tinggi (M. Ali Aziz, 2004: 61). Menurut Bisri Afandi (1984: 3) bahwa yang diharapkan oleh dakwah adalah terjadinya perubahan dalam diri manusia, baik kelakuan adil maupun aktual, baik pribadi maupun keluarga masyarakat, cara berpikirnya berubah, cara hidupnya berubah menjadi lebih baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud adalah nilai-nilai agama sedangkan kualitas
18
adalah bahwa kebaikan yang bernilai agama itu semakin dimiliki banyak orang dalam segala situasi dan kondisi. Dakwah
merupakan
element
vital
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangan Islam. Oleh sebab itu, dakwah sebagaimana dikemukakan oleh Moh. Ali Aziz memiliki tujuan sebagai berikut: 1.
Mengajak orang-orang bukan Islam untuk memeluk agama Islam (mengislamkan non muslim).
2.
Mengislamkan orang Islam artinya meningkatkan kualitas iman, Islam, dan ihsan kaum muslim sehingga mereka menjadi orang-orang yang mengamalkan Islam secara keseluruhan (kaffah).
3.
Menyebarkan kebaikan dan mencegah timbul dan tersebarnya bentukbentuk kemaksiatan yang akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan individu dan masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang tentram dengan penuh keridhaan Allah.
4.
Membentuk individu dan masyarakat agar menjadikan Islam sebagai pegangan dan pandangan hidup dalam segala segi kehidupan baik politik, ekonomi, sosial dan budaya (M. Ali Aziz, 2004: 68-69).. Dari keterangan di atas dapat ditegaskan bahwa fungsi dakwah adalah
untuk menyebarkan Islam dan melestarikannya, dan juga melakukan koreksi terhadap penyimpangan akhlak. Adapun mengenai tujuan dakwah ialah sebagaimana diturunkannya Islam yaitu untuk membuat manusia memiliki akidah, ibadah dan akhlak.
19
2.1.4. Metode (Thariqah) Dakwah Metode dakwah merupakan jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran atau materi dakwah Islam. Pemilihan metode yang tepat sangat penting peranannya dalam menyampaikan pesan dakwah. Sebab, suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan. Karenanya, kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih metode penyampaian dakwah sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah. Menurutnya M. Yunan Yusuf (2003: vii), bahwa persoalan prinsip yang harus diperhatikan dalam berdakwah, yaitu pilihan metode yang digunakan. Penggunaan metode ini dapat dianalogikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai kenyataan bahwa tata memberikan sesuatu lebih penting dari sesuatu yang diberikan itu sendiri. Semangkuk teh pahit dan sepotong ubi goreng yang disajikan dengan cara sopan, ramah dan tanpa sikap yang dibuat-buat, akan lebih terasa enak disantap ketimbang seporsi makanan lezat, mewah dan mahal harganya, tetapi disajikan dengan cara kurang ajar dan tidak sopan. Analogi ini mensiratkan bahwa tata cara atau metode lebih penting dari materi yang dalam bahasa Arab dikenal alThariqah ahammu min al-maddah. Ungkapan ini sangat relevan dengan kegiatan dakwah, sehingga dapat memilih metode dakwah yang efektif, simpatik dan empatik. Pada umumnya, para ulama dalam membahas metode dakwah merujuk pada al-Qur’an surat al-Nahl ayat 125:
20
ﻮ ﻚ ﻫ ﺑﺭ ِﺇﻥﱠﺴﻦ ﺣ ﻲ ﹶﺃ ﻢ ﺑِﺎﱠﻟﺘِﻲ ِﻫ ﻬ ﺎ ِﺩﹾﻟﻭﺟ ﻨ ِﺔﺴ ﺤ ﻮ ِﻋ ﹶﻈ ِﺔ ﺍﹾﻟ ﻤ ﺍﹾﻟﻤ ِﺔ ﻭ ﺤ ﹾﻜ ِ ﻚ ﺑِﺎﹾﻟ ﺑﺭ ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﻉ ِﺇﻟﹶﻰ ﺩ ﺍ ﻦ ﺘﺪِﻳﻬ ﻤ ﺑِﺎﹾﻟﻋﹶﻠﻢ ﻮ ﹶﺃ ﻭﻫ ﺳﺒِﻴِﻠ ِﻪ ﻦ ﻋ ﺿﻞﱠ ﻦ ﻤ ِﺑﻋﹶﻠﻢ ﹶﺃ “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. al-Nahl: 125). Ayat di atas menyebutkan bahwa metode dakwah ada tiga, yaitu; dengan hikmah (bijaksana), dengan mau’idzah hasanah (nasihat yang baik) dan dengan mujadalah (diskusi). Pertama, metode hikmah. Hikmah sendiri menurut pengertian seharihari
adalah
bijaksana.
Metode
hikmah
yaitu
berdakwah
dengan
memperhatikan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam, tidak merasa terpaksa atau keberatan. Sukses dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad ialah karena merupakan manusia sempurna dalam bidang hikmah ini, artinya orang sangat bijaksana. Kedua, metode mau’idhah hasanah, yaitu berdakwah dengan cara memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan rasa kasih sayang kepada masyarakat luas sehingga bisa menyentuh. Mau’idhah hasanah dapat dikembangkan pelaksanaannya dalam lembagalembaga formal seperti lembaga pendidikan dan sebagaimana dengan mengajarkan al-Qur’an dengan arti yang luas. Ketiga, metode mujadalah, yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak
21
memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula dengan menjalankan yang menjadi sasaran dakwah.
Di antara manusia ada golongan yang tidak
mudah menerima panggilan dan keterangan hikmah, ilmiah, juga tidak mudah dipanggil dengan seruan mau’idhah hasanah. Mereka ini harus dihadapi dengan mujadalah atau diskusi dan bertukar pikiran. Kepadanya harus ditunjukkan argumentasi yang meyakinkan. Pintu kalbunya harus dibuka dengan cara yang bijaksana untuk menerima nilai-nilai baru sebagai suatu kebenaran yang harus ia yakini dan diamalkan. Karenanya, setiap pembawa risalah harus menggunakan ilmu dan diskusi (M. Ali Aziz, 2004: 135-136). Ketiga metode di atas merupakan metode pokok dalam berdakwah yang dapat dapat dikembangkan dan dirinci menjadi metode-metode lain yang lebih luas dan disesuaikan dengan perkembangan lingkungan
2.1.5. Media dan Efek Dakwah Media
dakwah
merupakan
peralatan
yang
digunakan
untuk
menyampaikan materi dakwah, seperti televisi, radio, surat kabar dan film. Media dakwah merupakan salah satu unsur penting yang harus diperhatikan dalam aktivitas dakwah. Sebab sebaik apapun metode, materi, dan kapasitas seorang da’i jika tidak menggunakan media yang tepat seringkali hasilnya kurang maksimal. Media itu sendiri memiliki relativitas yang sangat bergantung dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
22
Media merupakan alat obyektif yang menghubungkan ide dengan audien, atau dengan kata lain suatu elemen yang menghubungkan urat nadi dalam totaliter (Hamzah Ya’kub, 1998: 47-48). Berdasarkan hal itu, media dakwah dapat diklasifikasikan sebagai berikut; 1) Dakwah melalui saluran lisan, yaitu dakwah secara langsung di mana da’i menyampaikan ajakan dakwahnya kepada mad’u. 2) Dakwah melalui saluran tertulis, yaitu kegiatan dakwah yang dilakukan melalui tulisan-tulisan. 3) Dakwah melalui alat visual, yaitu kegiatan dakwah yang dilakukan dengan melalui alat-alat yang dapat dilihat dan dinikmati oleh mata manusia. 4) Dakwah melalui alat audio, yaitu alat yang dapat dinikmati melalui perantaraan pendengaran. 5) Dakwah melalui alat audio visual, yaitu alat yang dipakai untuk menyampaikan pesan dakwah yang dapat dinikmati dengan mendengar dan melihat. 6) Dakwah melalui keteladanan, yaitu bentuk penyampaian pesan dakwah melalui bentuk percontohan atau keteladanan dari da’i (Aminudin Sanwar, 1986: 77-78). Sedangkan mengenai efek dakwah, bahwa setiap aksi dakwah akan menimbulkan reaksi. Demikian jika dakwah telah dilakukan oleh seorang da’i dengan materi dakwah, wasilah, thariqah tertentu, maka akan timbul respons dan efek (atsar) pada ma’du (mitra atau penerima dakwah). Atsar sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti bekasan, sisa, atau tanda. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu ucapan atau perbuatan yang berasal dari sahabat atau
23
tabi’in yang pada perkembangan selanjutnya dianggap sebagai hadits, karena memiliki ciri-ciri sebagai hadits (Abuddin Nata, 1998:363). Atsar (efek) sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses dakwah ini sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i. Kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan, maka selesailah dakwah. Padahal, efek sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis efek dakwah maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya, dengan menganalisis efek dakwah secara cermat dan tepat maka kesalahan strategis dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya (correctiveaction) demikian juga strategi dakwah termasuk di dalam penentu unsur-unsur dakwah yang dianggap baik dapat ditingkatkan (M. Ali Aziz, 2004: 138-139). Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa media dakwah merupakan peralatan yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah. Peralatan dalam penyampaian dakwah sendiri bermacam-macam jumlahnya, dan peralatan dakwah ini merupakan unsur penting yang harus diperhatikan dalam dakwah. Sedangkan efek (atsar) dakwah merupakan akibat dari pelaksanaan proses dakwah yang terjadi pada obyek dakwah. Efek tersebut bisa berupa efek positif bisa pula negatif. Efek negatif ataupun positif dari proses dakwah berkaitan dengan unsur-unsur dakwah lainnya. Efek dakwah menjadi ukuran berhasil atau tidaknya sebuah proses dakwah.
24
2.2. Konsep Jihad dalam Islam 2.2.1. Pengertian Jihad Konsep jihad sendiri dapat dilihat secara kebahasaan dan secara teologis, yakni pengertian jihad dalam konsep hukum Islam baik yang didasarkan pada al-Qur’an maupun hadits. Secara bahasa (etimologi), kamus al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alam lebih lanjut menyebutkan lafad اﻟﻌﺪوا- ﺟﻬﺪ artinya ﻗﺘﻠﻪ ﻣﻐﻤﺔ ﻋﻦ اﻟﺪﻳﻦyang artinya "Memerangi musuh dalam rangka membela agama" (Abu Luwis Ma’luf, 1986: 106) . Kamus
Arab-Indonesia
al-Munawir
karangan
Ahmad
Warson
Munawir mengartikan lafad jihad sebagai "Kegiatan mencurahkan segala kemampuan". Jika dirangkai dengan kata fi sabilillah, berarti "Berjuang, berjihad, berperang di jalan Allah". Jadi kata jihad artinya perjuangan (Ahmad Warson Munawir, 1984: 66). Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab sebagaimana dikutip Muhammad Chirzin menyebutkan bahwa jihad ialah "Memerangi musuh, mencurahkan segala kemampuan dan tenaga berupa kata-kata, perbuatan atau segala sesuatu semampunya". Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic mengartikan jihad sebagai "Fight, battle, holy war (against the infidles as a religious duty)". Artinya, jihad ialah perjuangan, pertempuan, perang suci melawan musuh-musuh sebagai kewajiban agama (Muhammad Chirzin, 2004: 12). Sedangkan secara terminologis, para pemikir Islam memberikan pengertian berbeda mengenai konsep jihad. Misalnya, Wahbah al-Zuhaili menyebutkan bahwa jihad adalah "Pengerahan segala kemampuan dan
25
potensi dalam memerangi musuh". Jihad diwajibkan bagi kaum muslim demi membela agama Allah, baik secara fisik maupun pemikiran (Wahbah al-Zuhaili, 1987: 8). Muhammad
Ismail
dalam
Bunga
Rampai
Pemikiran
Islam
menyebutkan; jihad adalah "Upaya mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan peperangan di jalan Allah, baik secara langsung atau dengan cara membantu dalam sektor keuangan, menyampaikan pendapat (tentang jihad), atau menggugah semangat". Menurutnya bahwa jihad pengertiannya khusus untuk perang atau yang berkaitan langsung dengan urusan peperangan (M. Ismail, 1998: 117). Hasan al-Bana, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Chirzin, menyebutkan jihad adalah sebagai suatu kewajiban muslim yang berkelanjutan hingga akhir kiamat, tingkat terendahnya berupa penolakan hati atas keburukan atau kemungkaran dan yang tertinggi berupa perang di jalan Allah. Di antara keduanya adalah perjuangan dengan lisan, pena, tangan berupa pernyataan tentang kebenaran di hadapan penguasa yang zalim (M. Chirzin, 1997: 12). Sayyed Husen Nasr menyebutkan bahwa makna pokok jihad adalah "Pengerahan tenaga atau usaha dan di antaranya hanya sebagian saja yang berarti perang. Bahkan, dalam pengertian perang, jihad berarti berperang di jalan Allah melawan kekuatan-kekuatan jahat dengan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk membuat jalan Allah berjaya di muka bumi dan bukan berperang untuk tujuan duniawi" (Sayyid Hossen Nasr, 2002: 168).
26
Azyumardi Azra memberikan pengertian bahwa jihad berarti "Mengerahkan kemampuan diri sendiri dengan sungguh-sungguh". Di dalam bahasa Inggris disebut sebagai to exert oneself yaitu 'melakukan usaha keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan disetujui agama yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama seperti membangun kesejahteraan bagi umat manusia'. Lebih lanjut Azra menyebutkan bahwa jihad dapat dilakukan dalam bidang apa saja seperti menuntut ilmu ke negeri yang jauh atau di negeri sendiri dengan bersungguh-sungguh. Orang yang menuntut ilmu itu pun disebut orang yang berjihad di jalan Allah, disebut jihad fi sabilillah (Azyumardi Azra, 2000: 14). Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa para pemikir Islam memberikan pengertian berbeda mengenai jihad, mulai dari aktivitas yang berhubungan dengan peperangan melawan musuh, melawan hawa nafsu, sampai pengertian sebagai usaha yang dilakukan secara serius untuk tujuantujuan yang baik.
2.2.2. Dasar Hukum Jihad Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa awal-awal perkembangan Islam hingga masa kontemporer. Pembicaraan tentang jihad dan konsep-konsep yang dikemukakan sedikit atau banyak mengalami pergeseran dan perubahan sesuai dengan konteks dan lingkungan masingmasing pemikir (Azyumardi Azra, 1996: 127). Demikian sentralnya jihad
27
dalam Islam hingga cukup beralasan jika kalangan Khawarij menetapkannya sebagai “rukun Islam keenam” (Hamid Enayat, 1988: 2). Menurut M. Ismail (1998: 117) bahwa hukum jihad dalam arti perang di jalan Allah adalah fardhu kifayah yang didasarkan pada nash-nash alQur’an maupun hadits Nabi. Namun jika kondisi umat Islam dalam bahaya atau dalam ancaman serangan musuh, maka hukum jihad menjadi fardhu a’in.. Ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan pentingnya jihad antara lain dapat ditemukan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 218 yang menyebutkan:
.ﻢ ﺭﺣِﻴ ﺭ ﹶﻏﻔﹸﻮﺍﻟﻠﱠﻪﻤ ﹶﺔ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻭ ﺣ ﺭ ﻮ ﹶﻥﺮﺟ ﻳ ﻚ ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﹸﺃﻭﹶﻟِﺌ ﻭﺍ ﻓِﻲﻫﺪ ﺎﻭﺟ ﻭﺍﺟﺮ ﺎﻦ ﻫ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻮﺍ ﻭﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﱠﻟ ِﺬﻳ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan orang-orang yang berjuang di jalan Allah, mereka itu mengharap ridha Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. alBaqarah [2]: 218). Surat al-Baqarah (2) ayat 244 menyebutkan:
.ﻢ ﻋِﻠﻴ ﻊ ﺳ ِﻤﻴ ﻪ ﻮﺍ ﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻋﹶﻠﻤ ﺍﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﻭ ﻭﹶﻗﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ِﻓﻲ “Dan berperanglah di jalan Allah, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(Q.S. al-Baqarah [2]: 244). Selain itu, surat al-Nisa’(4) ayat 74 menyebutkan:
ﻭ ﺘ ﹾﻞ ﹶﺃ ﹾﻘﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓﻴ ﻳ ﹶﻘﺎِﺗ ﹾﻞ ِﻓﻲ ﻦ ﻣ ﻭ ﺮ ِﺓ ﺎ ﺑِﺎﻟﹾﺂ ِﺧﻧﻴﺪ ﻴﺎ ﹶﺓ ﺍﻟﺤ ﻭ ﹶﻥ ﺍﹾﻟﺸﺮ ﻳ ﻦ ﺳِﺒﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﹶﻘﺎِﺗ ﹾﻞ ﻓِﻲﹶﻓ ﹾﻠﻴ ﻤﺎ ﻋﻈِﻴ ﺍﺟﺮ ﺆﺗِﻴ ِﻪ ﹶﺃ ﻧ ﻑ ﻮ ﺴ ﺐ ﹶﻓ ﻐِﻠ ﻳ “Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”(Q.S. al-Nisa’ [4]: 74).
28
Surat al-Nisa’ (4) ayat 84 menyebutkan:
ﻦ ﺱ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺑ ﹾﺄ ﻳ ﹸﻜﻒ ﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻰ ﺍﻟﱠﻠﻋﺴ ﲔ ﺆ ِﻣِﻨ ﺽ ﺍﹾﻟﻤ ِ ﺮ ﺣ ﻭ ﻚ ﺴ ﻧ ﹾﻔ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﻜﻠﱠﻒﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ﻟﹶﺎ ﺗ ﹶﻓ ﹶﻘﺎِﺗ ﹾﻞ ِﻓﻲ .ﻨﻜِﻴﻠﹰﺎﺗ ﺪ ﺷ ﻭﹶﺃ ﺎﺑ ﹾﺄﺳ ﺪ ﺷ ﻪ ﹶﺃ ﺍﻟﻠﱠﻭﺍ ﻭﹶﻛ ﹶﻔﺮ “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mu'min (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orangorang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya)”(Q.S. al-Nisa’ [4]: 84). Di samping ayat-ayat di atas, masih berpuluh-puluh ayat lain yang secara khusus dijadikan sandaran mengenai pentingnya jihad. Sedangkan hadits-hadits yang dijadikan rujukan pentingnya jihad dalam Islam, misalnya dapat dilihat pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang kesahihannya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
ﺳﺌﻞ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻱ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺃﻓﻀﻞ؟ ﻗﺎﻝ ﺍﳝﺎﻥ ﺑﺎﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻗﻴﻞ ﰒ ﻣﺎﺫﺍ؟ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ...ﻗﺎﻝ ﺍﳉﻬﺎﺩ ﰲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ “Rasulullah saw ditanya,“Amal apa yang paling utama?” Jawab beliau, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Ditanya lagi, “Kemudian amal apa lagi?” Jawab Nabi, “Berjihad di jalan Allah”(H.R. al-Bukhari dan Muslim). Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud yang keshahihannya disepakati pula oleh al-Bukhari dan Muslim: )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ
.ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺃﻱ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺃﺣﺐ ﺍﱃ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ؟ ﻗﺎﻝ ﺍﳉﻬﺎﺩ ﰲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ
(ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ
“Saya bertanya kepada Rasul saw, “Wahai Rasul Allah, amalan apakah yang lebih utama?” Beliau bersabda,“Beriman kepada Allah dan berjihad di jalan Allah” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
29
Selanjutnya hadits yang diriwayatkan oleh Anas dan keshahihannya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim: ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻧﺲ
.ﻟﻐﺪﻭﺓ ﰱ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ ﺃﻭ ﺭﻭﺣﺔ ﺧﲑ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ
Ghudwah (pergi di awal siang untuk berjuang) di jalan Allah atau Rauhan (pulang dari bepergian dalam rangka berjuang di jalan Allah) lebih baik dari dunia dan isinya”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Dari beberapa kutipan ayat al-Qur’an maupun hadits di atas dapat diketahui tentang pentingnya jihad dalam Islam. Nash di atas dapat dijadikan rujukan jihad, baik dalam pengertian aktivitas yang berhubungan dengan perang maupun pengertian sebagai usaha yang serius di jalan Allah.
2.2.3. Macam-macam Jihad Sebagaimana telah disebutkan bahwa secara teologis para pemikir Islam memberikan pengertian berbeda mengenai konsep jihad. Cakupannya sangat luas, sejak dari berjuang melawan hawa nafsu, mengangkat senjata ke medan perang sampai pengertian sebagai suatu usaha dengan sungguhsungguh untuk tujuan yang baik. Namun, ada substansi jihad yang bisa dibenarkan, yaitu jihad berinti suatu seruan kepada agama yang hak. Karenanya, jika jihad dikaitkan dengan kata fi sabilillah berarti berjuang atau berperang di jalan Allah, suatu perjuangan yang bisa dilakukan dengan tangan ataupun lisan (Kacung Marijan, 2003: 202-203). Cakupan makna jihad yang luas tersebut sebenarnya dapat dikerucutkan pada dua klasifikasi, yaitu jihad dalam pengertian aktivitas perang dan jihad dalam cakupan universal.
30
Pertama, konsep jihad sebagai aktivitas perang. Jihad dalam cakupan ini sebagaimana stereotipe pandangan Barat, jihad fi sabilillah yaitu perang suci (holy war) untuk menyebarluaskan agama Islam. Bernard Shaw, seperti dikutip Muhammad Husein Fadullah, menyatakan bahwa “Islam disebarkan melalui ketajaman pedang” (M. Hasan Fadhullah, 1995: 158). Istilah the holy war itu sebenarnya tidak dikenal dalam perbendaharaan Islam klasik. Ia berasal dari sejarah Eropa dan dimengerti sebagai perang karena alasan-alasan keagamaan. Pandangan Barat tersebut memberi corak bahwa Islam merupakan agama yang melegitimasi cara-cara kekerasan, dan disebarkan dengan cara kejam dan sebagai agama yang menjauhkan manusia dari kebebasan. Dari kalangan Islam sendiri, muncul sejumlah orang yang mengartikan jihad hanya dengan satu makna; perjuangan senjata yang menawarkan alternatif hidup mulia atau mati syahid. Bagi mereka perjuangan senjata merupakan langkah pertama dan utama. Dimensi perjuangan lainnya, misalnya menyampaikan pendapat atau pemikiran yang benar tidak dihitung sebagai jihad. Di sisi lain, sejumlah orang berpendapat bahwa karena yang disebut jihad akbar, adalah perjuangan melawan hawa nafsu, maka perjuangan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan apalagi militer, tidak perlu diprioritaskan (Abu Fahmi, 1992: 8). Murtadha Muthahari juga menitikberatkan jihad dalam arti perang. Bahwa perang yang sifatnya defensif itu sah bagi individu, satu suku atau
31
satu bangsa, untuk membela diri dan harta benda. Hal itu merupakan salah satu dari tuntutan hidup manusia (Murthada Muthahari, 1987: 27). Sedangkan Ali bin Nafayyi’ al-Alyani juga merumuskan langkahlangkah atau tahapan yang ditempuh dalam jihad, yaitu: pertama, melawan orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kedua, menghilangkan fitnah dari umat manusia, sehingga mereka mau mendengarkan dalil-dalil tauhid tanpa ada penghalang. Ketiga, melindungi negeri-negeri Islam dari kejahatan
orang-orang
kafir.
Keempat,
membunuh
orang
kafir,
mencelakakan dan membinasakan mereka. Kelima, membuat orang-orang kafir ketakutan, hina dan marah (M. Chirzin, 1997: 14). Terjemahan jihad menjadi “perang suci”, yang dikombinasikan dengan pemikiran Barat yang keliru tentang Islam sebagai “agama pedang”, mengurangi arti batini dan spiritualnya serta mengubah konotasinya. Karena kehidupan pada hakikatnya mengimplikasikan gerak, maka untuk tetap berada
dalam
equilibrium
(keseimbangan),
diperlukan
upaya
berkesinambungan, dengan melaksanakan jihad batini pada setiap tahap kehidupan dalam menuju Realitas Ilahi. Melalui jihad batini, manusia spiritual mengakhiri semua mimpi, menuju Realitas yang merupakan sumber semua realitas (Sayyed Hossen Nasr, 2002: 168-169). Kedua, konsep jihad secara universal. Menurut Azyumardi Azra, konsep jihad Islam yang dipahami sebagai aktivitas perang semata seperti yang dikemukakan oleh pemikir Barat maupun pemikir muslim sendiri tidaklah benar. Menurutnya, jihad secara harfiah berarti bersungguh-
32
sungguh, karenanya orang yang bersungguh-sungguh itu disebut mujtahid. Jihad dilakukan dalam bidang apa saja, misalnya menuntut ilmu dan mengajar dengan sungguh-sungguh. Aktivitas keilmuan juga disebut sebagai orang yang berjihad di jalan Allah. Karenanya, pengertian jihad menurut Azra sangat luas, mulai dari menuntut dan mengajarkan ilmu, mencari nafkah, menghidupi anak istri, dan sebagainya (Azyumardi Azra, 2000: 14). Jihad juga bisa dalam lingkup diri sendiri dalam arti mengontrol emosi, hawa nafsu. Bahkan, itulah yang disebut jihad akbar, jihad paling besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu diri sendiri. Karenanya, ketika memasuki bulan suci Ramadhan, umat Islam dikatakan Nabi Muhammad akan memasuki jihad besar, yaitu jihad melawan godaan, hawwa nafsu, dan diri sendiri. Banyak nilai universal yang terkandung dalam jihad. Jihad dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh menciptakan kebaikan bagi lingkungan, alam, dunia secara keseluruhan. Karenanya, dalam konteks ini jihad berarti mengerahkan kemampuan diri sendiri dnegan sungguhsungguh seperti membangun kesejahteraan bagi umat manusia, menegakkan disiplin nasional, membangun negara yang lebih demokratis, lebih berkeadilan adalah nilai-nilai jihad yang universal, yang bisa berlaku untuk siapa saja, baik Islam maupun non-Islam. Menjelaskan nilai-nilai seperti keadilan, demokrasi, penghormatan terhadap pluralisme, baik pluralisme keagamaan, suku, maupun tradisi budaya, menurut Azyumardi Azra (2000: 15) itu adalah bagian dari jihad.
33
Karenanya, jihad adalah bersungguh-sungguh mencapai tujuan yang bermanfaat untuk kepentingan, tidak hanya kepentingan umat Islam, tetapi juga kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Apalagi Islam itu dipercaya oleh kaum muslim menjadi rahmat bagi alam semesta. Jadi kalau umat Islam mau menjadi rahmat bagi alam semesta, dia harus bersungguhsungguh menegakkan nilai-nilai yang accaptable, dan universal bagi umat manusia. Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa cakupan aktivitas jihad sangat luas, mulai dari berjuang melawan hawa nafsu, mengangkat senjata ke medan perang sampai segala usaha untuk tujuan yang baik. Namun, sebenarnya cakupan konsep jihad tersebut dapat dikerucutkan pada dua klasifikasi, yaitu konsep jihad sebagai aktivitas perang, dan konsep jihad yang universal.
2.3. Hubungan Dakwah dengan Jihad Apabila ditelusuri dalam sejarah Islam, bahwa Nabi Muhammad dalam menyebarkan Islam dapat dipilah dalam dua fase, yaitu fase Makkah dan fase Madinah. Setiap fase memiliki watak dan bentuk masing-masing. Jihad fase Makkah berfokus pada cara membentuk pribadi muslim secara utuh dan mengokohkannya untuk menghadapi gelombang tantangan yang dilancarkan kaum kafir Quraisy (Muhammad Chirzin, 2004: 71-73). Garis-garis besar jihad pada fase Makkah yaitu; Pertama, menguatkan akidah. Kedua, memantapkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu dari Allah.
34
Ketiga, menegaskan bahwa Rasulullah Muhammad adalah Nabi terakhir. Keempat, menanamkan keimanan terhadap hari kebangkitan. Tahap-tahap ini dilakukan oleh Rasulullah karena perlawanan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terutama dalalam dimensi teologis ini (Ahmad Satori Ismail, 2006: 22). Untuk memantapkan jihad di fase ini, dakwah Islam menentukan caracara yang berfokus pada tiga hal. Pertama, mengarahkan risalah atau misi dakwah untuk meghadapi para tokoh kekufuran. Kedua, memberikan teladan yang baik, dan ketiga, berusaha menampilkan eksistensi dakwah di hadapan musuh dengan cara lapang dada untuk memberi maaf dan menguatkan kesabaran. Dengan kecerdasan dan kehebatan strategi Rasulullah, ketika fase Makkah berakhir, dakwah di Madinah sudah memiliki pendukung inti yaitu para sahabat yang ikut Bai’at Aqabah II, sehingga jihad pada fase Madinah tidak lagi hanya mengarah pada kesabaran dalam menanggung beban perjuangan, tetapi sudah disyari’atkan berupa peperangan fisik. Jihad dengan cara ini sudah pasti memerlukan persiapan yang sangat besar, terutama yang berkaitan dengan pembentukan kekuatan sosial berupa masyarakat Islam yang kokoh. Dengan begitu, Islam terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada kaum yang ingin memusuhinya untuk melihat, memperhitungkan dan menentukan sikap terhadap komunitas baru ini.
35
Pada fase ini, ada beragam cara jihad yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. Kadang-kadang Rasulullah mengambil jalan diplomasi dengan cara mengirim duta ke berbagai negara. Terkadang pula Rasulullah mengambil cara perang (qital) yang terdiri dari tiga bentuk; Pertama, qital ta’diby, yaitu perang untuk memberikan pelajaran kepada musuh yang melanggar perjanjian damai. Kedua, qital difa’ay, yaitu perang untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Ketiga, qital wiqa’aiy, yaitu perang preventif untuk melemahkan kekuatan musuh yang menyerang sebelum mereka mejadi kuat (Ahmad Satori Ismail, 2006: 22). Islam diturunkan ke bumi dengan membawa nilai-nilai kebaikan, mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik dan menghiasi dirinya dengan kebaikan. Bersamaan dengan itu, Islam menganjurkan
pula
umatnya untuk menyebarkan kebaikan sehingga segala bentuk keburukan dan kejahatan lenyap di muka bumi. Namun semua itu baru dapat terlaksana manakala ada upaya yang sungguh-sungguh, terencana dan sistematis. Upaya yang seperti itu dalam Islam disebut dengan jihad (Hamim Tohari, 2006: 20). Tanpa jihad, kebanaran akan dikalahkan oleh kebatilan. Kebatilan selamanya akan tetap ada di muka bumi bila tidak ada jihad. Padahal Allah menghendaki agar kebenaran menghancurkan kebatilan sehingga kebatilan terhapuskan. Faktor yang dipercaya untuk memainkan peran itu adalah kaum muslimin. Seharusnya bumi ini menjadi lahan berdakwah bagi kaum muslimin untuk menyebarkan Islam dan menegakkannya.
36
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa jihad dalam pengertian perang membela Islam merupakan bagian dari dakwah. Sebaliknya, dakwah dalam upaya menyebarkan Islam merupakan bagian dari jihad dalam pengertian yang lebih luas.