BAB II AJARAN JIHAD DALAM ISLAM
A. Pengertian Jihad Dewasa ini agaknya tidak ada isu tentang Islam yang sesensitif dan sering diperdebatkan selain jihad. Ia diperbincangkan dalam media massa dan buku-buku akademis, baik di Timur maupun di Barat. Ia juga merupakan salah satu konsep Islam yang paling sering disalahpami, khususnya oleh kalangan para ahli dan pemikir Barat. Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa-masa awal muslim hingga kontemporer. Pembicaraan tentang jihad dan konsep-konsep yang dikemukakan sedikit atau banyak mengalami pergeseran dan perubahan sesuai dengan konteks dan lingkungan masing-masing pemikir. Konsep jihad sendiri dapat dilhat secara kebahasaan dan secara teologis, yakni pengertian jihad dalam konsep hukum Islam baik yang didasarkan pada al-Qur’an maupun hadits. Secara bahasa (etimologi), kata jihad berasal dari bahasa Arab, bentuk isim masdar kedua yang berasal dari jaahada, yujaahidu, mujaahadatan dan hihaadan yang artinya "Bekerja sepenuh hati".1 Kamus alMunjid fi Lughah wa al-‘Alam lebih lanjut menyebutkan lafad jahada al‘aduwwa, artinya qatalahu muhamatan ‘aniddin yang artinya "Menyerang musuh dalam rangka membela agama".2 Kamus Arab-Indonesia al-Munawir karangan Ahmad Warson Munawir mengartikan lafad jihad sebagai "Kegiatan mencurahkan segala kemampuan". Jika dirangkai dengan kata fi sabilillah, berarti "Berjuang, berjihad, berperang di jalan Allah". Jadi kata jihad artinya perjuangan.3 Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab menyebutkan bahwa jihad ialah "Memerangi musuh, mencurahkan
1
H.A.R. Sutan Mansur, Jihad, (Jakarta: Panji Masyarakat, 1982), hlm. 9.
2
Abu Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, (Beirut-Libanon: Daar al-Wasyriq, 1986), hlm. 106. 3
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak, 1984), hlm. 66
11
12
segala kemampuan dan tenaga berupa kata-kata, perbuatan atau segala sesuatu semampunya".4 Sedangkan secara terminologis, para pemikir Islam memberikan pengertian berbeda mengenai konsep jihad. Misalnya, Wahbah al-Zuhaili menyebutkan bahwa jihad adalah "Pengerahan segala kemampuan dan potensi dalam memerangi musuh". Jihad diwajibkan bagi kaum muslim demi membela agama Allah, baik secara fisik maupun pemikiran.5 Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic mengartikan jihad sebagai "Fight, battle, holy war (against the infidles as a religious duty)".6 Artinya, jihad ialah perjuangan, pertempuan, perang suci melawan musuh-musuh sebagai kewajiban agama. Muhammad
Ismail
dalam
Bunga
Rampai
Pemikiran
Islam
menyebutkan; jihad adalah "Upaya mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan peperangan di jalan Allah, baik secara langsung atau dengan cara membantu dalam sektor keuangan, menyampaikan pendapat (tentang jihad), atau menggugah semangat". Menurutnya bahwa jihad pengertiannya khusus untuk perang atau yang berkaiatan langsung dengan urusan peperangan.7 Hasan al-Bana, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Chirzin, menyebutkan
jihad
adalah
sebagai
suatu
kewajiban
muslim
yang
berkelanjutan hingga akhir kiamat, tingkat terendahnya berupa penolakan hati atas keburukan atau kemungkaran dan yang tertinggi berupa perang di jalan Allah. Di antara keduanya adalah perjuangan dengan lisan, pena, tangan berupa pernyataan tentang kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.8 Al-Raghib al-Asfahani memberikan definisi bahwa jihad adalah mencurahkan kemampuan dalam menahan serangan musuh. Menurutnya, 4
Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, (Mesir: Dâr al-Ma’arif, t.th.), hlm. 198.
5
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Beirut: Daar al-Fikr, 1987), hlm. 8.
6
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (London: Greenwood, 1988), hlm. 142.
7
Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hHlm. 117. 8
Muhammad Chirzin, Jihad dalam al-Qur’an; Telaah Normatif, Historis, dan Prospektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 12.
13
jihad ada tiga macam tingkatan, yakni "Berjuang menghadapi atau melawan musuh yang tampak, berjuang menghadapi syaitan dan berjuang menghadapi hawa nafsu. Perjuangan tersebut dilakukan dengan tangan dan lisan".9 Sayyed Husen Nasr menyebutkan bahwa makna pokok jihad adalah "Pengerahan tenaga atau usaha dan di antaranya hanya sebagian saja yang berarti perang. Bahkan, dalam pengertian perang, jihad berarti berperang di jalan Allah melawan kekuatan-kekuatan jahat dengan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk membuat jalan Allah berjawa di muka bumi dan bukan berperang untuk tujuan duniawi".10 Kamil Salamah al-Duqs menyebutkan bahwa dalam al-Qur’an terdapat kata jihad yang bermakna mencurahkan kemampuan sepenuh kekuatan secara mutlak. Jihad cakupannya sangat luas, tidak hanya perang. Jihad meliputi "Pengertian perang dan membelanjakan harta dan segala upaya dalam rangka mendukung agama Allah, berjuang menghadapi nafsu dan menghadapi syaitan".11 Azyumardi
Azra
memberikan
pengertian
bahwa
jihad
berarti
"Mengerahkan kemamuan diri sendiri dengan sungguh-sungguh". Di dalam bahasa Inggris disebut sebagai to exert oneself yaitu 'melakukan usaha keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan disetujui agama yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama seperti membangun kesejahteraan bagi umat manusia'. Lebih lanjut Azra menyebutkan bahwa jihad dapat dilakukan dalam bidang apa saja seperti menuntut ilmu ke negeri yang jauh atau di negeri sendiri dengan bersungguh-sungguh. Orang yang menuntut ilmu itu pun disebut orang yang berjihad di jalan Allah, disebut jihad fi sabilillah.12
9
Raghib al-Asfahani, al-Mufradat li Gharib al-Qur’an, (Beirut: Daar al-Ilmiah, t.th.), hlm. 45-46. 10
Sayyed Hossen Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 168. 11
Kamil Salamah al-Duqs, Ayat al-Jihad fi al-Qur’an al-Karim: Dirasah Mawdluiyah wa Tarikhiyyah wa Bayaniyah, (Kuwait: Daar al-Bayan, 1972), hlm. 11. 12
Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 14.
14
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa para pemikir Islam memberikan pengertian berbeda mengenai jihad, mulai dari aktivitas yang berhubungan dengan peperangan melawan musuh, melawan hawa nafsu, sampai pengertian sebagai usaha yang dailakukan secara serius untuk tujuantujuan yang baik.
B. Dasar Rujukan Jihad Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa awal-awal muslim hingga masa kontemporer. Pembicaraan tentnag jihad dan konsepkonsep yang dikemukakan sedikit atau banyak mengalami pergeseran dan perubahan sesuai dengan konteks dan lingkungan masing-masing pemikir.13 Demikian sentralnya jihad dalam Islam hingga cukup beralasan jika kalangan Khawarij menetapkannya sebagai “rukun Islam keenam”.14 Mayoritas umat Islam menganggap jihad sebagai fardhu kifayah yang didasarkan pada nash-nash al-Qur’an maupun hadits Nabi.15 Ayat-ayat alQur’an yang menyebutkan pentingnya jihad antara lain dapat ditemukan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 218 yang menyebutkan:
ﺭ ﹶﻏﻔﹸﻮﺍﻟﻠﱠﻪﻤ ﹶﺔ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻭ ﺣ ﺭ ﻮ ﹶﻥﺮﺟ ﻳ ﻚ ﺳِﺒﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺃﹸﻭﹶﻟِﺌ ﻭﺍ ﻓِﻲﻫﺪ ﺎﻭﺟ ﻭﺍﺟﺮ ﺎﻦ ﻫ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻮﺍ ﻭﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ِﺇﻥﱠ ﺍﱠﻟﺬِﻳ .ﻢ ﺭﺣِﻴ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan orang-orang yang berjuang di jalan Allah, mereka itu mengharap ridha Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 218).16 Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman yang tetap pada pada keimanannya dan ikut hijrah berasama Rasulullah s.a.w. atau 13
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 127. 14
Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah; Pemikiran POlitik Islam Modern Menghadapi Abad ke-20, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 2. 15
Muhammad Ismail, loc. cit.
16
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Medinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H). hlm.53.
15
melakukan jihad bersama Rasulullah untuk membela agama Islam, meninggikan kalimatullah, dan melawan orang-orang kafir dengan sekuat tenaga, mereka itulah orang-orang pantas mengharapkan rahmat dan ridha dari Allah.17 Surat al-Baqarah (2) ayat 244 menyebutkan:
.ﻢ ﻋﻠِﻴ ﻊ ﺳﻤِﻴ ﻪ ﻮﺍ ﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻋﹶﻠﻤ ﺍﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻭ ﻭﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﻓِﻲ “Dan berperanglah di jalan Allah, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”(Q.S. al-Baqarah [2]: 244).18 Berperang fi sabilillah, ialah beperang dengan niat meninggikan kalimatullah, mengamankan lancarnya dakwah dan tersiarnya agama Islam. Tujuannya ialah agar para pemeluknya tidak diganggu dan tidak ada yang mencegah tersiarnya agama atau perintah-perintah agama. Selain itu, juga untuk mempertahankan negara dari serangan musuh yang hendak menjajah, mengeruk kekayaannya, dan mengingjak-injak kemerdekaannya.19 Selain itu, surat al-Nisa’(4) ayat 74 menyebutkan:
ﻭ ﺘ ﹾﻞ ﹶﺃﻴ ﹾﻘﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓ ﻳﻘﹶﺎِﺗ ﹾﻞ ﻓِﻲ ﻦ ﻣ ﻭ ﺮ ِﺓ ﺎ ﺑِﺎﻟﹾﺂ ِﺧﻧﻴﺪ ﺎ ﹶﺓ ﺍﻟﺤﻴ ﻭ ﹶﻥ ﺍﹾﻟﺸﺮ ﻳ ﻦ ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﻴﻘﹶﺎِﺗ ﹾﻞ ﻓِﻲﹶﻓ ﹾﻠ ﺎﻋﻈِﻴﻤ ﺍﺟﺮ ﺆﺗِﻴ ِﻪ ﹶﺃ ﻧ ﻑ ﻮ ﺴ ﺐ ﹶﻓ ﻐِﻠ ﻳ “Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”(Q.S. al-Nisa’ [4]: 74).20 Ayat ini menunjukkan pada kemuliaan berperang di jalan Allah, karena ia dilakukan dalam rangka menegakkan yang hak, keadilan dan kebaikan, bukan dalam rangka menuruti hawa nafsu dan ketamakan. Ayat ini juga menunjuk, bahwa hendaknya orang yang beperang itu menetapkan 17
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Juz II, (Semarang: Toha Putra, 1984), hlm. 257. 18
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hlm. 60.
19
Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit.,Juz II, hlm. 389
20
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hlm. 130.
16
dirinya pada salah satu dari dua perkara; apakah musuh akan membunuhnya dan dia memuliakan dirinya dengan mati syahid, ataukah dia akan dapat mengalahkan musuhnya sehingga dia menjayakan kalimat yang hak dan agama Islam. Jangan ada di dalam hatinya bisikan-bisikan untuk lari dari peperangan, karena jika dia melakukan hal yang demikian, maka dia akan segera masuk ke dalam perangkap yang telah dibuat oleh dirinya sendiri.21 Surat al-Anfal (8) ayat 15 dan ayat 16 juga menyebutkan:
ِﺇﻟﱠﺎﺮﻩ ﺑﻣِﺌ ٍﺬ ﺩ ﻮ ﻳ ﻢ ﻮﱢﻟ ِﻬ ﻦ ﻳ ﻣ ﻭ ,ﺎﺭﺩﺑ ﻢ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻫ ﻮﻟﱡﻮ ﺗ ﺣﻔﹰﺎ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﺯ ﻭﺍﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ ﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺘﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍ ﹶﻟﻘِﻴﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﻳﺎﹶﺃ .ﺼﲑ ِ ﻤ ﺲ ﺍﹾﻟ ﻭِﺑﹾﺌ ﻢ ﻬﻨ ﺟ ﻩ ﺍﻣ ﹾﺄﻭ ﻭ ﻦ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺐ ِﻣ ٍ ﻀ ﻐ ﺎ َﺀ ِﺑﺪ ﺑ ﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ِﻓﹶﺌ ٍﺔ ﹶﻓ ﹶﻘﻴﺰﺤ ﺘﻣ ﻭ ﺎ ٍﻝ ﹶﺃﺮﻓﹰﺎ ِﻟ ِﻘﺘ ﺤ ﺘﻣ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”(Q.S. al-Anfal [8]: 15-16).22 Ayat di atas secara global menjelaskan bahwa Allah S.W.T. memberikan hukum umum dari peristiwa-peristiwa dan peperanganpeperangan yang bakal terjadi sepanjang zaman, meski keterangan-Nya ini disampaikan dalam kaitannya dengan kisah tentang perang Badar. Sebab, begitu pentingnya memperhatikan hukum tersebut di atas dan sebagai anjuran kepada kaum muslimin agar tetap memeliharanya. Ayas tersebut sekaligu memberi petunjuk bahwa lari dari peperangan merupakan dosa besar.23 Surat al-Taubah (9) ayat 44 juga menyebutkan:
ﻢ ﻋﻠِﻴ ﻪ ﺍﻟﱠﻠﻢ ﻭ ﺴ ِﻬ ِ ﻧﻔﹸﻭﹶﺃ ﻢ ﺍِﻟ ِﻬﻣﻮ ﻭﺍ ِﺑﹶﺄﺎ ِﻫﺪﻳﺠ ﻮ ِﻡ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧ ِﺮ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻴﺍﹾﻟﻮ ﹶﻥ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ ﻭﺆ ِﻣﻨ ﻳ ﻦ ﻚ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺘ ﹾﺄ ِﺫﻧﺴ ﻳﻻ
.ﲔ ﺘ ِﻘﺑِﺎﹾﻟﻤ “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri 21
Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit., Juz V, hlm. 150.
22
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hlm. 262.
23
Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit., Juz IX, hlm. 345-346.
17
mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.”. (Q.S. al-Taubah [9]: 44).24 Ayat ini menjelaskan bahwa bukan perbuatan orang beriman kepada Allah yang telah mewajibkan berperang atas mereka, dan kepada hari kemudian yang pada hari itu setiap amal akan mendapatkan balasannya, untuk meminta izin kepada Rasul dalam masalah jihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, jika keadaan menutut mereka untuk itu. Orang-orang beriman ialah mereka yang maju ke medan perang ketika datang kewajiban untuk itu, tanpa meminta izin.25 Di samping ayat-ayat di atas, masih berpuluh-puluh ayat lain yang secara khusus dijadikan sandaran mengenai pentingnya jihad. Sedangkan hadits-hadits yang dijadikan rujukan pentingnya jihad dalam Islam, misalnya dapat dilihat pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang kesahihannya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
ﺳﺌﻞ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻱ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺃﻓﻀﻞ؟ ﻗﺎﻝ ﺍﳝﺎﻥ ﺑﺎﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻗﻴﻞ ﰒ ﻣﺎﺫﺍ؟ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ...ﻗﺎﻝ ﺍﳉﻬﺎﺩ ﰲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ “Rasulullah saw ditanya,“Amal apa yang paling utama?” Jawab beliau, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Ditanya lagi, “Kemudian amal apa lagi?” Jawab Nabi, “Berjihad di jalan Allah”(H.R. al-Bukhari dan Muslim).26 Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud yang keshahihannya disepakati pula oleh al-Bukhari dan Muslim: )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ
.ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺃﻱ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺃﺣﺐ ﺍﱃ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ؟ ﻗﺎﻝ ﺍﳉﻬﺎﺩ ﰲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ (ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ
24
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hlm. 286.
25 26
Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit., Juz X, hlm. 214-215.
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz II, (Kairo: Daar al-Ihya al-Kitab al-Arabiyah, t.th.), hlm. 243..
18
“Saya bertanya kepada Rasul saw, “Wahai Rasul Allah, amalan apakah yang lebih utama?” Beliau bersabda,“Beriman kepada Allah dan berjihad di jalan Allah” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).27 Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghifari yang keshahihannya disepakati pula oleh Bukhari dan Muslim: )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ.ﺍﷲ
ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺃﻱ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺃﻓﻀﻞ؟ ﻗﺎﻝ ﺍﻻﳝﺎﻥ ﺑﺎﷲ ﻭﺍﳉﻬﺎﺩ ﰱ ﺳﺒﻴﻞ (ﻋﻦ ﺍﰊ ﺩﺍﺭ
“Saya bertanya kepada Rasul saw,“Wahai Rasul Allah, amalan apakah yang lebih utama?” Beliau menjawab,“Beriman kepada Allah dan berjihad di jalan Allah”(H.R. al-Bukhari dan Muslim).28 Selanjutnya hadits yang diriwayatkan oleh Anas dan keshahihannya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim: (ﻓﻴﻬﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻧﺲ
ﻟﻐﺪﻭﺓ ﰱ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ ﺃﻭ ﺭﻭﺣﺔ ﺧﲑ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻣﺎ
Ghudwah (pergi di awal siang untuk berjuang) di jalan Allah atau Rauhan (pulang dari bepergian dalam rangka berjuang di jalan Allah) lebih baik dari dunia dan isinya”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).29 Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri yang Bukhari dan Muslim ikut menyepakati keshahihannya:
ﺃﺗﻰ ﺭﺟﻞ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﻱ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻓﻀﻞ؟ ﻗﺎﻝ ﻣﺆﻣﻦ ﳚﺎﻫﺪ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﻗﺎﻝ ﰒ ﻣﻦ؟ ﻗﺎﻝ ﻣﺆﻣﻦ ﰲ ﺷﻌﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻌﺎﺏ ﻳﻌﺒﺪ ﺍﷲ ﻭﻳﺪﻉ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ.ﻭﻣﺎﻟﻪ ﰱ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ .( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻮﺳﻌﻴﺪ.ﺷﺮﻩ “Seorang laki-laki datang menemui Nabi saw. dan berkata, “Manusia yang bagaimana yang lebih utama?” Rasulullah saw bersabda,“Seorang mukmin yang berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah”. Orang itu bertanya lagi,“Kemudian siapa?” Rasul saw menjawab, “Seorang mukimin yang berada di Syi’ab (jalan di perbukitan; semacam tempat pengungsian), menyembah Allah dan meninggalkan manusia dari kejahatannya”(H.R. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri).30 27
Ibid., hlm. 238.
28
Ibid.
29
Ibid., hlm. 239.
30
Ibid.
19
Dari beberapa kutipan ayat al-Qur’an maupun hadits di atas dapat diketahui tentang pentingnya jihad dalam Islam. Nash di atas dapat dijadikan rujukan jihad, baik dalam pengertian aktivitas yang berhubungan dengan perang maupun pengertian sebagai usaha yang serius di jalan Allah.
C. Jihad dalam Tinjauan Sejarah Apabila ditelusuri dalam sejarah Islam, bahwa Nabi Muhammad dalam menyebarkan Islam dapat dipilah dalam dua fase, yaitu fase Makkah dan fase Madinah. Setiap fase memiliki watak dan bentuk masing-masing. Jihad fase Makkah berfokus pada cara membentuk pribadi muslim secara utuh dan mengokohkannya untuk menghadapi gelombang tantangan yang dilancarkan kaum kafir Quraisy.31 Garis-garis besar jihad pada fase Makkah yaitu; Pertama, menguatkan akidah. Kedua, memantapkan bahwa al-Qur’an adalah wahyu dari Allah. Ketiga, menegaskan bahwa Rasulullah Muhammad adalah Nabi terakhir. Keempat, menanamkan keimanan terhadap hari kebangkitan. Tahap-tahap ini dilakukan oleh Rasulullah karena perlawanan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terutama dalalam dimensi teologis ini.32 Untuk memantapkan jihad di fase ini, dakwah Islam menentukan caracara yang berfokus pada tiga hal. Pertama, mengarahkan risalah atau misi dakwah untuk meghadapi para tokoh kekufuran. Kedua, memberikan teladan yang baik, dan ketiga, berusaha menampilkan eksistensi dakwah di hadapan musuh dengan cara lapang dada untuk memberi maaf dan menguatkan kesabaran. Dengan kecerdasan dan kehebatan strategi Rasulullah, ketika fase Makkah berakhir, dakwah di Madinah sudah memiliki pendukung inti yaitu para sahabat yang ikut Bai’at Aqabah II, sehingga jihad pada fase Madinah
31 32
M. Chirzin, op.cit., hlm. 71-73.
Ahmad Satori Ismail, “Berjihad Mengikuti Rasulullah”, dalam Majalah Hidayatullah, Edisi Januari, 2006, hlm. 22.
20
tidak lagi hanya mengarah pada kesabaran dalam menanggung beban perjuangan, tetapi sudah disyari’atkan berupa peperangan fisik. Jihad dengan cara ini sudah pasti memerlukan persiapan yang sangat besar, terutama yang berkaitan dengan pembentukan kekuatan sosial berupa masyarakat Islam yang kokoh. Dengan begitu, Islam terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada kaum yang ingin memusuhinya untuk melihat, memperhitungkan dan menentukan sikap terhadap komunitas baru ini. Pada fase ini, ada beragam cara jihad yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. Kadang-kadang Rasulullah mengambil jalan diplomasi dnegan cara mengirim duta ke berbagai negara. Terkadang pula Rasulllah mengambil cara perang (qital) yang terdiri dari tiga bentuk; Pertama, qital ta’diby, yaitu perang untuk memberikan pelajaran kepada musuh-musuh yang melanggar perjanjian damai. Kedua, qital difa’ay, yaitu perang untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Ketiga, qital wiqa’aiy, yaitu perang preventif untuk melemahkan kekuatan musuh yang menyerang sebelum mereka mejadi kuat.33 Jika diteliti, perjalanan jihad dalam fase Makkah dan Madinah oleh Rasulullah, maka jihad memiliki beberapa bidang, yaitu: Pertama, jihad terhadap hawa nafsu, yaitu memerangi godaan setan dengan cara berpegang teguh pada ajaran Islam dan berkomitmen pada syari’at Islam. Hal ini sebagaimana tertuang dalam surat al-Naziat ayat 37-41 dan hadits dari Abu Dzar yang menyatakan: ”jihad paling utama adalah memerangi hawa nafsumu dalam menjaga keimanan kepada Allah S.W.T.”. Kedua, jihad keluarga, yakni jihad untuk menjaga keluarga agar jangan sampai terpengaruh oleh pemurtadan dan hal-hal yang bisa merusak keislaman mereka. Hal ini sesuai dengan surat Luqman ayat 15 tentang Sa’ad bin Abu Waqash yang masuk Islam, tetapi ibunya tidak ridha dan mengancam mogok makan sampai mati.
33
Ibid.
21
Ketiga, jihad melawan penyimpangan masyarakat yaitu berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan di masyarakat agar kehidupan berjalan dengan penuh kedamaian. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110. Keempat, jihad melawan penguasa dzalim dengan cara; memberi nasihat, meluruskan kesalahannya dan mendorongnya ke arah yang lebih baik, sebagaimana sabda Nabi: ”jihad paling utama adalah (menyampaikan) kalimat yang hak di hadapan penguasa dzalim”. Kelima, jihad fisik, yakni qital (berperang) melawan orang-orang yang memusuhi Islam, baik kerena mereka merusak perjanjian yang telah disepakati, ataupuan karena mengganggu jalannya dakwah Islamiyah, atau karena mereka menyerang umat Islam. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 190.34 Islam sendiri diturunkan ke bumi dengan membawa nilai-nilai kebaikan, mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik dan menghiasi dirinya dengan kebaikan. Bersamaan dengan itu, Islam menganjurkan pula umatnya untuk menyebarkan kebaikan sehingga segala bentuk keburukan dan kejahatan lenyap di muka bumi. Namun semua itu baru dapat terlaksana manakala ada upaya yang sungguh-sungguh, terencana dan sistematis. Upaya yang seperti itu dalam Islam disebut dengan jihad.35 Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tanpa adanya jihad, kebanaran akan dikalahkan oleh kebatilan. Kebatilan selamanya akan tetap ada di muka bumi bila tidak ada jihad. Padahal Allah menghendaki agar kebenaran menghancurkan kebatilan sehingga kebatilan terhapuskan. Faktor yang dipercaya untuk memainkan peran itu adalah kaum muslimin.
34 35
Ibid.
Hamim Tohari, “Jihad Memang Jatidiri Muslim”, dalam Majalah Hidayatullah, Edisi Januari, 2006, hlm. 20.
22
D. Klasifikasi Jihad Di atas telah disebutkan bahwa secara teologis para pemikir Islam memberikan pengertian berbeda mengenai konsep jihad. Cakupannya sangat luas, sejak dari berjuang melawan hawa nafsu, mengangkat senjata ke medan perang sampai pengertian sebagai suatu usaha dengan sungguh-sungguh untuk tujuan yang baik. Namun, ada substansi jihad yang bisa dibenarkan, yaitu jihad berinti suatu seruan kepada agama yang hak. Karenanya, jika jihad dikaitkan dengan kata fi sabilillah berarti berjuang atau berperang di jalan Allah, suatu perjuangan yang bisa dilakukan dengan tangan ataupun lisan.36 Cakupuan-cakupan konsep jihad yang luas tersebut sebenarnya dapat dikrucutkan pada dua klasifikasi, yaitu jihad dalam pengertian aktivitas perang dan jihad dalam cakupan universal. 1. Konsep Jihad sebagai Aktivitas Perang Konsep jihad dalam cakupan ini sebagaimana stereotip pandangan Barat, jihad fi sabilillah yaitu perang suci (holy war) untuk menyerbluaskan agama Islam. Bernard Shaw, seperti dikutip Muhammad Husein Fadullah, menyatakan bahwa “Islam disebarkan melalui ketajaman pedang”.37 Istilah the holy war itu sebenarnya tidak dikenal dalam perbendaharaan Islam klasik. Ia berasal dari sejarah Eropa dan dimengerti sebagai perang karena alasan-alasan keagamaan. Pandangan Barat tersebut memberi corak kepada Islam sebagai agama yang meyakini cara-cara kekerasan dan bergerak dalam kehidupan dalam landasan kekejaman untuk menjauhkan manusia dari kebebasan.38 Dari kalangan Islam sendiri, muncul sejumlah orang yang mengartikan jihad hanya dengan satu makna; perjuangan senjata yang 36
Kacung Marijan, “Terorisme dan Pesantren; Suatu Pengantar”, dalam Muhammad Asfar (ed), Islam Lunak Islam Radikal; Pesantren, Terorisme dan Bom Bali, (Surabaya: Pusdeham dan JP Press, 2003), hlm. 202-203. 37
M. Husain Fadhullah, Islam dan Logika Kekuatan, terj. Afifi Muhammad dan Abdul Adhiem, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 158. 38
Ibid.
23
menawarkan alternatif hidup mulia atau mati syahid. Bagi mereka perjuangan senjata merupakan langkah pertama dan utama. Dimensi perjuangan lainnya, misalnya menyampaikan hujjah, tidak dihitung sebagai jihad. Di sisi lain, sejumlah orang berpendapat bahwa karena yang disebut jihad akbar, adalah perjuangan melawan hawa nafsu, maka perjuangan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan apalagi militer, tidak perlu diprioritaskan. 39 Murtadha Muthahari juga menitikberatkan jihad dalam arti perang. Bahwa perang yang sifatnya defensif itu sah bagi individu, satu suku atau satu bangsa, untuk membela diri dan harta benda. Hal itu merupakan salah satu dari tuntutan hidup manusia.40 Hal ini sebagaimana yang disebutkan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 190:
ﻦ ﺘﺪِﻳﻌ ﻤ ﺍﹾﻟﺤﺐ ِ ﻳ ﻪ ﻟﹶﺎ ﻭﺍ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﺘﺪﻌ ﺗ ﻭﻟﹶﺎ ﻢ ﻧﻜﹸﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﻦ ﻳ ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﻭﻗﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﻓِﻲ ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas". (Q.S. al-Baqarah: 190).41 Begitu juga Salman al-Audah yang menyatakan bahwa jihad adalah memerangi orang yang diisyaratkan untuk diperangi, dari kalangan orangorang kafir. Fase-fase berjenjang berlakunya hukum jihad menurutnya adalah: pertama, Fase “tahanlah tanganmu”, yang mencakup seluruh periode Makkah. Ketika itu orang mukmin tidak diperkenankan memerangi orang-orang kafir, melainkan mereka berjihad dengan alQur’an, dan dakwah dalam keadaan damai. Kedua, fase “telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi”. Ketiga, fase “dan perangilah di jalan Allah orang-orang
39
Abu Fahmi (ed), Himpunan Telaah Jihad, (Bandung: Yayasan fi Zilal al-Qur’an, 1992), hlm. 8. 40
Murthada Muthahari, Jihad, terj. M. Hasem, (Bandar Lampung: YAPI, 1987), hlm. 27.
41
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hlm.. 98.
24
yang memerangi kamu”. Keempat, fase “ dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana merekapun memerangimu semuanya”.42 Sedangkan Ali bin Nafayyi’ al-Alyani juga merumuskan langkahlangkah atau tahapan yang ditempuh dalam jihad, yaitu: pertama, melawan orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kedua, menghilangkan fitnah dari uamt manusia, sehingga mereka mau mendengarkan dalil-dalil tauhid tanpa ada penghalang. Ketiga, melindungi negeri-negeri
Islam
dari
kejahatan
orang-orang
kafir.
Keempat,
membunuh orang kafir, mencelakakan dan membinasakan mereka. Kelima, membuat orang-orang kafir ketakutan, hina dan marah.43 Terjemahan jihad menjadi “perang suci”, yang dikombinasikan dengan pemikiran Barat yang keliru tentang Islam sebagai “agama pedang”, mengurangi arti batini dan spiritualnya serta mengubah konotasinya. Karena kehidupan pada hakikatnya mengimplikasikan gerak, maka untuk tetap berada dalam equilibrium (keseimbangan), diperlukan upaya berkesinambungan, dengan melaksanakan jihad batini pada setiap tahap kehidupan dalam menuju Realitas Ilahi. Melalui jihad batini, manusia spiritual mengakhiri semua mimpi, menuju Realitas yang merupakan sumber semua realitas.44 2. Konsep Jihad Secara Universal Menurut Azyumardi Azra, konsep jihad Islam yang dipahami sebagai aktivitas perang semata seperti yang dikemukakan oleh pemikir Barat maupun pemikir muslim sendiri tidaklah benar. Menurutnya, jihad secara harfiah berarti bersungguh-sungguh, karenanya orang yang bersungguh-sungguh itu disebut mujtahid. Jihad dilakukan dalam bidang apa saja, misalnya menuntut ilmu dan mengajar dengan sungguh-sungguh. 42
Salman al-Audah, Jihad; Sarana Menghilangkan Ghurbah Islam, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), hlm. 14-21.. 43
Taufiq Ali Wahbah, Jihad dalam Islam, terj. Abu Ridha, (Jakarta: Media Dakwah, 1985), hlm. 1-21. 44
Sayyed Hosein Nasr, op. cit., hlm. 168-169.
25
Aktivitas keilmuan juga disebut sebagai orang yang berjihad di jalan Allah. Karenanya, pengertian jihad menurut Azra sangat luas, mulai dari menuntut dan mengajarkan ilmu, mencari nafkah, menghidupi anak istri, dan sebagainya.45 Jihad juga bisa dalam lingkup diri sendiri dalam arti mengontrol emosi, hawa nafsu. Bahkan, itulah yang disebut jihad akbar, jihad paling besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu diri sendiri. Karenanya, ketika memasuki bulan suci Ramadhan, umat Islam dikatakan Nabi Muhammad akan memasuki jihad besar, yaitu jihad melawan godaan, hawwa nafsu, dan diri sendiri. Hal ini sebagaimana yang disebutkan al-Qur’an surat alNazi’at ayat 40:
.ﻯﻤ ﹾﺄﻭ ﻲ ﺍﹾﻟ ﻨ ﹶﺔ ِﻫﺠ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍﹾﻟ,ﻯﻬﻮ ﻋ ِﻦ ﺍﹾﻟ ﺲ ﻨ ﹾﻔﻰ ﺍﻟﻧﻬﻭ ﺑ ِﻪﺭ ﻡ ﻣﻘﹶﺎ ﻑ ﺎﻦ ﺧ ﻣ ﺎﻭﹶﺃﻣ "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (Q.S. al-Nazi’at: 40).46 Banyak nilai universal yang terkandung dalam jihad. Jihad dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh menciptakan kebaikan bagi lingkungan, alam, dunia secara keseluruhan. Karenanya, dalam konteks ini jihad berarti mengerahkan kemampuan diri sendiri dnegan sungguhsungguh
seperti
membangun
kesejahteraan
bagi
umat
manusia,
menegakkan disiplin nasional, membangun negara yang lebih demokratis, lebih berkeadilan adalah nilai-nilai jihad yang universal, yang bisa berlaku untuk siapa saja, baik Islam maupun non-Islam.47 Nilai-nilai seperti keadilan, demokrasi, penghormatan terhadap pluralisme, baik pluralisme keagamaan, suku, maupun tradisi budaya, itu adalah bagian dari jihad. Karenanya, jihad adalah bersungguh-sungguh mencapai tujuan yang bermanfaat untuk kepentingan, tidak hanya 45
Azyumardi Azra, Islam Subtantif …, op. cit., hlm. 14.
46 47
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, op.cit., hlm. 658.
Azyumardi Azra, Islam Subtantif …, op. cit. hlm. 15.
26
kepentingan umat Islam, tetapi juga kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Apalagi Islam itu dipercaya oleh kaum muslim menjadi rahmat bagi alam semesta. Jadi kalau umat Islam mau menjadi rahmat bagi alam semesta, dia harus bersungguh-sungguh menegakkan nilai-nilai yang accaptable, dan universal bagi umat manusia.48 Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman Mas’ud bahwa Islam pada dasarnya merekomendasikan persaudaraan kemanusiaan tanpa pandang bulu, ras, kulit, agama dan nasionalitas. Islam tidak mentolelir prasangka-prasangka, arogansi-arogansi, apalagi kekerasan berdasarkan perbedaan-perbedaan itu. Inilah yang menjadi tugas bersama untuk melembagakan jihad damai dalam tubuh umat Islam dan pada seluruh umat manusia.49 Aktivitas pendidikan juga dapat dimasukkan sebagai jihad. Jihad pendidikan dan pengajaran yang dimaksud di sini menurut Hilmy Bakar Almascaty adalah proses perjuangan menegakkan kalimat Allah dengan menggunakan sarana pendidikan dan segala perlengkapannya. Pendidikan diartikan sebagai proses transformasi pengetahuan secara sempurna dan menyeluruh, termasuk teladan moral sang pendidik. Jadi, bukan hanya pemberian keilmuan saja, melainkan menyangkut segala aspek yang diperlukan dalam rangka membentuk pribadi-pribadi muslim yang komite pada ajaran Islam, berwawasan luas, dan memiliki ilmu yang bermanfaat menurut spesialisasinya, baik secara formal di lembaga-lembaga pendidikan dnegan kurikulum yang tersusun secara terinci maupun secara informal di majelis-majelis keilmuan yang diadakan untuk memenuhi keperluan kaum muslimin.50 Perlu ditegaskan, bahwa sistem pendidikan Islam yang dapat dikategorikan telah menjalankan jihad fi sabilillah adalah apabila seluruh 48
Ibid.
49
Abdurrahman Mas’ud, “Membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat; Telaah TeologisHistoris”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam, Semarang, 20 Maret 2004, hlm. 2. 50
Hilmy Bakar Almascaty, Panduan Untuk Aktivis Gerakan Jihad, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 185
27
sistemnya berlandaskan ajaran Allah dan Rasul-Nya secara sempurna, sistem pendidikan yang akan melahirkan pribadi-pribadi muslim yang akan memperjuangkan tegaknya Islam dalam segala spek kehidupan dengan spesialisasi keilmuahnya, kejayaan Islam dan umatnya senantiasa menjadi tujuan tertingginya melebihi segala bentuk tujuan duniawi. Mereka sanggup mengorbankan apa pun yang dimilikinya demi terciptanya kedamaian abadi di bawah ridha Allah Swt. Juga sistem pendidikan yang melahirkan pribadi-pribadi agung yang senantiasa mencintai pengetahuan, mempelajari dan mengembangkannya demi kebaikan diri dan generasi sesudahnya. Aktivitas pendidikan yang dapat dikategorikan jihad bukanlah sistem pendidikan yang melahirkan para penentang Islam secara langsung dan tidak langsung, atau pribadi-pribadi yang ragu dan bimbingan dengan keIslamannya. Walaupun sistem pendidikan tersebut menyebut dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dan mencantumkan label Islam di antara namana perguruannya, namun tetap tidak dapat diakui sebagai sistem pendidikan yang Islami. Banyak lembaga pendidikan yang mengkalim dirinya sebagai lembaga Islam, namun isinya tidak lebih dari sekularisme yang mengajarkan sistem pendidikan yang jelas-jelas menentang Islam.51 Tidak disangsikan lagi bahwa peranan pendidikan yang tersusun rapi dan menyeluruh sangat penting untuk mengangkat martabat suatu kaum agar menjadi kaum yang manju dan berperadaban. Dari sinilah awal pembentukan manusia-manusia berkualitas yang mampu mengembangkan peradaban masa lalu untuk menggapai kemajuan dan kejayaan di masa depannya. Bangsa-bangsa besar dan maju mengawali kebesaran dan kemajuannya dari proses pendidikan yang benar dan kontinu. Mereka membangkitkan ghirah cinta ilmu pengetahuan di kalangan generasinya
51
Ibid.
28
sehingga mereka berlomba-lomba mencari dan mengembangkan ilmu menurut bidang spesialisasinya. Itulah sebabnya, Islam dengan ajarannya yang sempurna, senantiasa menyeru dan memerintahkan agar umatnya terlebih secara langsung dalam proses pendidikan, baik sebagai guru maupun murid. Dengan caranya yang khas, Islam memberikan sentuhan-sentuhan kepada fitrah manusia, memberikan semangat dan kekuatan khusus kepada penganutnya sehingga mereka
berlomba-lomba
menuntut
dan
mengembangkan
ilmu
pengetahuan. Sejak awal kebangkitannya, kaum muslim terkenal sangat mencintai pengetahuan, sehingga kecintaan terhadap pengetahuan itu mengantarkan mereka mercusuar peradaban dunia.52 Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa cakupan aktivitas jihad sangat luas, mulai dari berjuang melawan hawa nafsu, mengangkat senjata ke medan perang sampai segala usaha untuk tujuan yang baik. Namun, sebenarnya cakupan konsep jihad tersebut dapat dikrucutkan pada dua klasifikasi, yaitu konsep jihad sebagai aktivitas perang, dan konsep jihad yang universal.
52
Ibid., hlm. 186.