17
BAB II KONSEP KASIH SAYANG DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Kasih Sayang 1. Pengertian Kasih Sayang Menurut Abdullah Nashih Ulwan, kasih sayang dapat diartikan kelembutan hati dan kepekaan perasaan sayang terhadap orang lain.1 Dalam Al-Qur`an, kasih sayang dipresentasikan dalam kata ArRahmah (kasih sayang). Kasih sayang merupakan sifat Allah yang paling banyak diungkapkan dalam al-Qur`an dalam bentuk kata yang berbeda yaitu Ar-Rahman yang biasanya dirangkaikan dengan kata Ar-Rahim yang berarti pengasih dan penyayang yang menunjukkan sifat-sifat Allah. Kata rahman dan rahim merupakan sifat Allah yang paling banyak diungkapkan dalam Al-Quran, yaitu sebanyak 114 kali.2 Menurut Jalaluddin, penyebutan sebanyak itu bermakna bahwa Allah memberikan kepada manusia sifat-sifat-Nya sendiri untuk menjadi potensi yang dapat dikembangkan. Kemudian dalam hubungannya dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang ini, Allah memerintahkan agar manusia bersifat pengasih dan penyayang, jika mereka ingin memperoleh kasih sayang dari Allah.3 Baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim pada dasarnya memiliki pengertian yang sama, akan tetapi Ar-Rahman cenderung pada sifat kasih sayang Allah di akhirat, sedangkan Ar-Rahim cenderung pada sifat kasih sayang Allah di dunia. Selain itu ada bentuk kata lain dalam Al-Quran yang mempunyai arti kasih sayang yaitu Mahabbah, Ar-rahmah dan mawaddah. Mahabbah merupakan bentuk kata yang berasal dari kata hubb yang artinya cinta atau 1
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam; Pendidikan Sosial Anak, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), Cet. 3, hlm. 11. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Quran, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. 21, hlm. 25. 3 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 2, hlm. 214.
17
18
mencintai, baik dalam konteks ke-Tuhanan (cinta Allah kepada makhlukNya dan cinta makhluk kepada Allah), maupun konteks kemanusiaan. Sedangkan Ar-rahmah dan mawaddah, keduanya memiliki arti yang sama, yaitu kasih sayang, namun Ar-rahmah cenderung pada kasih sayang yang bersifat ukhrawi, sedangkan
mawaddah cenderung pada
kasih sayang yang bersifat duniawi. Sedangkan dalam Asmaul Husna, banyak sekali nama-nama Allah yang menunjukkan sifat- sifat kasih sayang sayang-Nya, antara lain ArRahman, Ar-Rahim, Al-Latif, Al-Hakim, dan Al-Ghafur. Semuanya memiliki arti yang berbeda secara lughawi namun secara ma`nawi memiliki arti yang sama, yaitu menunjukkan sifat-sifat kasih sayang Allah. Baik secara umum maupun dalam Islam, tidak ada definisi yang baku tentang kasih sayang. Yang ada hanya contoh- contoh praktis tentang sifat kasih sayang ini. Barangkali ini merupakan sebuah seruan untuk terjun langsung dalam dataran praksis, bukan hanya sekedar teoritis.
2. Dasar Kasih Sayang Kasih sayang merupakan salah satu sifat mulia yang ditanamkan Allah kepada manusia, dan karena sifat inilah Allah akan mengampuni dosa manusia
yang mau bertaubat dengan sungguh- sungguh sebagai
wujud kasih sayangnya. Firman Allah:
(12: ﻪ ِ )ﺍﻻﺍﻧﻌﺎﻡﺐ ِﻓﻴ ﻳﺭ ﻣ ِﺔ ﹶﻻ ﺎﻮ ِﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ ﻳﻢ ِﺍﻟﹶﻰ ﻨﻜﹸﻌ ﻤَ ﺠ ﻴﻤ ﹶﺔ ﹶﻟ ﺣ ﺮ ﺴ ِﻪ ﺍﻟ ِ ﻧ ﹾﻔ ﻋﻠﹶﻰ ﺐ ﺘﹶﻛ "Dia allah telah menetapkan atas dirinya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya" (Q. S. Al- An’am:12).4 4
Soenarjo, Al- Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Thoha Putra, 1989), hlm. 188. Allah menerangkan sebagian dari sifat- Nya, dengan keterangan bahwa manusia akan senang taat kepada- Nya. Sesungguhnya Allah Ta`ala bahwa Dia adalah penguasa langit dan bumi, telah mewajibkan atas Dzat- Nya yang Maha Tinggi untuk memberikan kasih sayang kepada makhluk- Nya dengan melimpahkan nikmat- nikmat- Nya kepada mereka, baik yang lahir maupun yang batin. Di antara tuntutan kasih sayang ini adalah dia akan mengumpulkan manusia pada hari kiamat, hari yang tidak diragukan lagi kedatangannya karena dalil- dalilnya sangat jelas, untuk mengadakan perhitungan dan memberikan balasan atas segala amal. Lihat
19
Dalam ayat lain disebutkan:
ﻪ ﺢ ﻓﹶﺄﻧ ﺻﹶﻠ ﻭﹶﺍ ﻌ ِﺪ ِﻩ ﺑ ﻦ ﺏ ِﻣ ﺎ ﺗﻬﹶﺎﹶﻟ ٍﺔ ﹸﺛﻢﺀﹰﺍ ِﺑﺠﺳﻮ ﻢ ﻨ ﹸﻜﻋ ِﻤ ﹶﻞ ِﻣ ﻦ ﻣ ﻪ ﻤ ﹶﺔ ﹶﺍﻧ ﺣ ﺮ ﺴ ِﻪ ﺍﻟ ِ ﻧ ﹾﻔ ﻋﻠﹶﻰ ْ ﺑﻜﹸﻢّﺭ ﺐ ﺘﹶﻛ (54: ﻢ )ﺍﻻﺍﻧﻌﺎﻡ ﻴﺭ ِﺣ ﺭ ﻮ ﹶﻏﻔﹸ “Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang yaitu bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kebodohan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q. S. Al- An`am: 54).5 Allah telah menjadikan kasih sayang sebagai bagian dari penciptaan bumi dan segala isinya. Seperti yang terdapat dalam hadis Nabi saw.:
ﻤ ﹶﺔ ﺣ ﺮ ﷲ ﺍﻟ ُ ﻌ ﹶﻞ ﺍ ﺟ : ﻘﻮﻝﹸﷲ ﺻﻠﹼﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ ﻳ ِ ﺳﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﻌﺖ ﺳ ِﻤ : ﻦ ﺃﰉ ﻫﺮﻳﺮ ﹶﺓ ﻗﺎﻝ ﻋ ﻚ ﻦ ﺫﺍِﻟ ﹶﻓ ِﻤ, ﺍﺰﹰﺃ ﻭﺍ ِﺣﺪ ﺽ ﺟ ِ ﺭ ﺰ ﹶﻝ ﰱ ﺍ َﻷ ﻧﻭﹶﺃ , ﺰﹰﺃ ﲔ ﺟ ﺴ ِﻌ ﻌ ﹰﺔ ﻭِﺗ ﺴ ِﺗﺪﻩ ﻨﻚ ِﻋ ﺴ ﻣ ﺰ ٍﺀ ﹶﻓﹶﺄ ِﻣﹶﺌ ﹶﺔ ﺟ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﺒﻪﻴﺼ ِ ﻴ ﹶﺔ ﺃﻥ ﻧﺸ ﺟ ﺎﻭﹶﻟ ِﺪﻫ ﻦ ﻋ ﺎﺮﻫ ﺎِﻓ ﺣﺮﺱ ﻊ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﺮﹶﻓ ﺗ ﻰﺣﺘ ﻖ ﺨ ﹾﻠ ﺍﹾﻟﺣﻢ ﺍﺘﺮﻳ ﺰ ِﺀ ﺠ ﺍﹾﻟ “Dari Abi Hurairah, ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw. berkata: Allah menciptakan rasa kasih sayang itu menjadi seratus bagian. Sembilan puluh sembilan daripadanya disimpan di sisiNya, sedangkan satu bagian diturunkan ke bumi. Dengan kasih sayang yang satu bagian itulah para makhluk saling berkasih sayang, sehingga sehingga kuda pun mengangkat kakinya karena takut anaknya terinjak.” (H. R. Muslim).6 Rasulullah bersabda:
Ahmad Musthafa Al- Maraghi dalam Tafsir Al- Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar dkk, Juz 7, (Semarang: Toha Putra, 1987), Cet. 1, hlm. 142. 5 Ibid, hlm. 195. 6 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II, (Beirut: Dar Kutub al- Ilmiyah, t. th), hlm. 1809.
20
ﷲ ًُ ﺍﺣﻢ ﺮ ﻳ ﺱ ﹶﻻ ﺎﺣ ِﻢ ﺍﻟﻨ ﺮ ﻳ ﻦ ﹶﻻ ﻣ , ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ: ﻗﹶﺎ ﹶﻝ, ﷲ ِ ﺒ ِﺬ ﺍﻋ ﺑ ِﻦ ﻳ ِﺮﺟ ِﺮ ﻦ ﹶﺃﺑِﻰ ﻋ (ﺟﻞﱠ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻭ ﺰ ﻋ “Dari abu Jarir Ibnu Abdillah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, Barang siapa yang tidak mengasihi manusia maka tidak akan dikasihi oleh Allah azza wajalla.” (H. R. Muslim).7 Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. sangat menyayangi anak kecil, seperti salah satu hadis berikut:
ﻴﺎ ِﻥﺼﺒ ﻠﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﻘﺒ ﺗ: ﻴ ِﻪ ﻭﺳﱠﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝﻋﹶﻠ ﱮ ﺻﻠﱠﻰﺍﷲﻰ ﺇﱃ ﺍﻟﻨ ﺮِﺑ ﻋ ﻦ ﻋﺎ ﺋﺸ ﹶﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﺟﺎ َﺀ ﺃ ﻋ ﻤ ﹶﺔ ﺣ ﺮ ﻚ ﺍﻟ ﻦ ﹶﻗ ﹾﻠِﺒ ﻉ ِﻣ ﺰ ﻧ ﷲ ُ ﺇ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﻣِﻠﻚ ﻭ ﹶﺃ ﱮ ﺻﻠﹼﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ ﹶﺃ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨ, ﻢ ﻬ ﹸﻠﻧ ﹶﻘﺒ ﺎﹶﻓﻤ ()ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ “Dari Aisyah, beliau berkata: Ada seorang Arab dusun yang datang kepada Nabi saw., sambil berkata: engkau menciun anak-anak itu, sedangkan kami tidak pernah mencium mereka. Lalu Nabi saw. menjawab: Apakah dayaku, jika Allah telah mencabut kasih sayang dari hatimu.” (H. R. Muslim).8 Begitulah baik dalam Al-Quran maupun hadis, kasih sayang merupakan bagian terpenting dari diturunkannya Islam ke dunia, dan yang pasti karena kasih sayanglah risalah Islam sampai kepada kita. Selain dasar-dasar dari Al-Quran dan hadis di atas, kita bisa mengambil dasar filosofis, bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan atas dasar kasih sayang, dengan membawa potensi kasih sayang, dan membutuhkan kasih sayang. Potensi dan kebutuhan tersebut menjadikan manusia berusaha memberi dan memperoleh kasih sayang dengan berbagai cara. Di samping itu sebagai makhluk sosial, dan dalam 7 8
Ibid. Ibid.
21
berinteraksi sosial, kasih sayang merupakan dasar utama yang harus dipegang dalam pergaulan sehari-hari – baik antara individu dengan individu, ataupun individu dengan masyarakat.
B. Kasih Sayang Sebagai Fitrah Semua makhluk ciptaan Allah di dunia ini memiliki kondisi dan potensi masing- masing. Begitu juga manusia, dalam kapasitasnya sebagai makhluk yang paling sempurna – dengan akal, perasaan, dan nafsu yang dimilikinya. Manusia
adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang
mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Allah dan menjadikan adanya sejarah. Selain itu manusia juga makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan sebagai makhluk.9 Di sisi lain, manusia merupakan puncak ciptaan dan makhluk Allah yang paling tinggi, yang memiliki keistimewaan dengan status dan tanggungjawabnya sebagai khalifah Allah di bumi. Atas dasar itu manusia dipercaya untuk memikul amanat berupa tugas untuk menciptakan tata kehidupan yang bermoral dan berkebudayaan dengan akal dan perasaan yang dimilikinya. Dalam fitrah manusia sebagai makhluk yang mempunyai perasaan, salah satu potensi yang dimiliki oleh manusia adalah potensi rasa kasih sayang yang ada pada dirinya sejak lahir. Kasih sayang adalah fitrah karena merupakan bagian dari kebutuhan manusia. Fitrah ini merupakan kemuliaan yang ditanamkan oleh Allah dalam setiap hati manusia yang kadarnya sama. Hanya saja, berkembang atau tidaknya fitrah ini tergantung seberapa besar fitrah ini diasah dalam fase-fase berikutnya.
9
Syarat yang dimaksud menyatakan bahwa manusia sebagai kesatuan jiwa- raga dalam hubungan timbal balik dengan dunia dan antara sesama manusia. Di samping itu, ada unsur lain yang membuat dirinya dapat mengatasi dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, yaitu unsur jasmani dan jiwa. (lih. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), Cet. 2, hlm. 234.
22
Bagi orang tua, menyayangi dan mencintai anak merupakan fitrah yang agung dan mulia yang diberikan oleh Allah – terutama ibu – dalam mendidik anak-anak nya. Rasulullah saw. bersabda:
ﺎﺮﻧ ﻴﺻ ِﻐ ﻢ ﺣ ﺮ ﻳ ﻦ ﹶﻻ ﻣ ﺎﺲ ِﻣﻨ ﻴ ﹶﻟ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﹼﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﹼﻢ: ﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ ﻋ (ﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﺮﻧ ﻴﻖ ﹶﻛِﺒ ﺣ ﻑ ﻌ ِﺮ ﻳﻭ “Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak mengasihi (orang yang) lebih kecil, dan (orang yang) tidak mengetahui hak orang yang lebih besar.” (H. R. Muslim).10 Fitrah ini – seperti juga fitrah-fitrah yang lain – juga memerlukan bimbingan dan latihan. Jika tidak, maka akan mengalami salah penyesuaian. Sejak dini, jika anak telah diajarkan atas dasar kasih sayang, maka pada tahap berikutnya secara konsisten anak akan mengaplikasikannnya – bahkan tanpa disadarinya. Sedangkan sebaliknya, jika sejak dini anak tidak diajarkan bagaimana berinteraksi dengan dan atas dasar kasih sayang, maka sudah dapat diduga apa yang akan terjadi selanjutnya.
C. Bentuk- Bentuk Kasih Sayang dalam Islam. Islam dengan keuniversalannya merupakan agama yang paling lengkap menjelaskan tentang semua aspek dalam kehidupan - termasuk kasih sayang. Ada beberapa bentuk perwujudan kasih sayang yang dijelaskan dalam AlQur`an, yaitu shilaturrahim (silaturrahmi), ukhuwah (persaudaraan), dan akhlakul karimah (akhlak yang mulia).
1. Shilaturrahim (silaturrahmi).
10
Jalaluddin Abu Bakar As- Suyuthi, Al- Jami` Al- Shaghir, Juz 1-2 (Mesir: Darul Kutub Al- Ilmiyah, t. th.), hlm. 471.
23
Silaturrahmi, yang dalam Islam biasa disebut shilaturrahim, adalah kata majemuk yang diambil dari dua kata, shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washal, yang berarti menyambung dan menghimpun. Sedangkan kata rahim, pada mulanya berarti kasih sayang yang kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan), karena anak yang di kandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.11 Salah bukti yang paling konkret tentang shilaturrahim
yang berintikan rasa kasih
sayang adalah pemberian yang tulus tanpa mengharapkan balasan yang diberikan oleh orang tua, terutama ibu kepada anak. Menurut Azyumardi Azra, secara harfiyah silaturrahmi berarti menghubungkan kasih sayang. Hubungan kasih sayang yang sarat dengan nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan baik antara sesama muslim, maupun antara sesama manusia.12 Silaturrahmi merupakan keutamaan dalam Islam dan bagian penting dari agama Islam. Silaturrahmi merupakan sarana yang paling ampuh untuk mewujudkan persaudaraan menuju persatuan. Silaturrahmi mencakup hal-hal yang mendorong suatu pergaulan yang harmonis antara individu dengan individu, dan individu dengan masyarakat. Silaturrahmi merupakan unsur penting dalam membina ukhuwah Islamiyah. Seseorang yang mempraktekkan nilai silaturrahmi secara lebih luas, maka dengan sendirinya akan terbina persaudaraan. Dari silaturrahmi akan terjadi ta`aruf atau saling mengenal. Perkenalan dapat menciptakan suatu masyarakat yang damai, kerjasama dan toleransi, sehingga akan terbuka pergaulan yang saling membantu. Ada pepatah mengatakan, “tak kenal maka ta sayang”. Pepatah ini memang sangat benar bila dikaitkan dengan manfaat silaturrahmi. Dalam tradisi Islam, ada satu tradisi yang biasa dinamakan halal bihalal. Menurut pakar-pakar hukum Islam, halal bihalal dalam tinjauan
11
Quraish Shihab, Membumikan Al- Quran, hlm. 317. Tata Septayuda, Manfaat Bersilaturrahmi, Majalah Gontor Edisi 7, Nopember, (Gontor, 2004), hlm. 8. 12
24
hukum adalah adanya hubungan yang halal.
13
Dengan demikian, dalam
konteks ini halal bihalal akan menjadikan sikap yang tadinya haram atau berdosa, menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Namun jika kita lihat dari konteks ini, maka halal bihalal akan sedikit bergeser dari makna shilaturrahmi. Meskipun demikian, baik shilaturrahim maupun halal bihalal keduanya mengandung unsur maaf-memaafkan, untuk kemudian berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan. Halal bihahal bukan saja menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetaapi juga agar berbuat baik kepada siapapun. Itulah landasan filosofis dalam setiap aktivitas manusia yang dimaksud dalam Al- Quran, yang juga dijadikan sebagai landasan filosofis bagi siapa saja yang melakukan halal bihalal agar kembali pada tujuan semula, yakni menyambung tali silaturrahmi. Dalam tradisi kaum sufi, silaturrahmi ini disebut dengan ziarah.mereka sangat menganjurkan – bahkan menjadi ajaran utama bagi kaum sufi, sebab hakikat dari shilaturrahmi adalah menjalin dan menebarkan kasih sayang. Menebarkan kasih sayang itulah yang menjadi dari ajaran kaum sufi, baik kasih sayang kita kepada Allah, sesama manusia, maupun sesama makhluk.14 Silaturrahmi merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan. Sebagai amalan, shilaturrahmi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan bertemu dan saling mendoakan sesuai dengan maknanya yang berarti menghubungkan kasih sayang. Bagi orang mukmin silaturrahmi adalah keniscayaan, karena ia berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, masyarakat dan lingkungannya. 13 Sedangkan menurut tinjauan bahasa, kat halal diambil dari kata halla atau halala yang mempunyai beberapa bentuk dan makna sesui dengan rangkaian katanya. Makna- makna tersebut antara lain menyelesaikan masalah atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Dari sini dapat dipahami bahwa dalam tinjauan kebahasaan, kata halal bihalal ini memberikan pengertian bahwa seakan- akan ada keinginan untyuk mengubah hubungan yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dari yang terikat menjadi terlepas, dan dari yang putus menjadi tersambung kembali. Lihat Quraish shihab, Membumikan Al- Quran, hlm. 318. 14 Hamim Thohari, Shilarurrahmi dalam Perspektif Tasawwuf, (Gontor: Majalah Gontor, Edisi. 7, Nopember 2004), hlm. 10.
25
Banyak manfaat yang bisa kita peroleh dalam bersilaturrahmi. Rasulullah saw. Bersabda:
ﻓِﻰﻂ ﹶﻟﻪ ﺴﹶ ﺒﺐ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻳ ﺣ ﻦ ﹶﺃ ﻣ :ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺻﻠﱠﻰﺍﷲ ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺭﺳ ﹶﺃﻥﱠ,ﻚ ٍ ﺎِﻟﺑ ِﻦ ﻣ ﺲ ِ ﻧﻦ ﹶﺃ ﻋ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﻤﻪ ﺭ ِﺣ ﺼ ﹾﻞ ِ ﻴ ﹶﻓ ﹾﻠ, ﻓِﻰ ﹶﺃﹶﺛ ِﺮ ِﻩﺴﹶﺄ ﹶﻟﻪ ﻨﻭﻳ , ﺯِﻗ ِﻪ ِﺭ “Dari Anas Ibnu Malik, sesungguhnya Rasululah saw. telah bersabda: Barang siapa yang ingin diperbanyak rezekinya, dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia menyambung silaturrahmi.” (H. R. Muslim).15 Silaturrahmi merupakan salah satu pembuka rezeki. Artinya, dengan memperbanyak shilaturrahmi berarti memperbanyak kenalan dan teman. Dengan banyak kenalan, akan memudahkan jaringan bisnis (networking). Networking merupakan bagian penting dalam bisnis dan ternyata networking sendiri dalam Islam adalah shilaturrahmi. Selain itu, aktivitas silaturrahmi juga bisa mendatangkan rezeki yang tidak disangkasangka bagi siapapun yang melakukannya. Misalnya dari obrolan yang santai, bisa berlanjut pada urusan bisnis dan kerjasama. Inilah silaturrahmi yang berbuah memperluas rezeki, tentunya ini tidak lepas dari unsur niat yang ikhlas mengharap keridlaan Allah. Pada tahap selanjutnya, silaturrahmi dapat memperpanjang usia – tentu saja dalam arti luas. Orang yang banyak bersilaturrahmi adalah orang yang hidupnya optimis, karena mempunyai banyak teman dan saudara. Networking merupakan pengembangan makna luas dari silaturrahmi. Kalau sudah masuk dalam jaringan kerja, berarti akan menghasilkan rezeki.
Jadi,
sikap
optimisme
dengan
saling
mendoakan
bisa
menumbuhkan ketenangan hidup, dan selanjutnya memperpanjang usia. Tentu saja itu hanya sebuah dorongan, bukan berarti umur akan bertambah dari enam puluh tahun menjadi tujuh puluh tahun, dan 15
Abu Muslim Ibnu Hajjaj, hlm. 1981.
26
sebagainya. Tetapi maksudnya
ketika silaturrahmi sering memberikan
kebaikan pada orang lain, sebab tidak mungkin bersilaturrahmi kemudian tidak memberikan manfaat bagi diri kita dan bagi orang lain. Inilah pentingnya silaturrahmi dalam Islam, yaitu mengahapus permusuhan. Kontekstualisasi dari silaturrahmi ini bisa dilakukan kapanpun dan di manapun, baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat, bahkan dalam konteks berbangsa dan bernegara.
2. Ukuwah (persaudaraan). Ukhuwah pada mulanya berarti “persamaan dan keserasian dalam banyak hal”- baik persaudaraan karena keturunan maupun persaudaraan karena persamaan sifat- sifat.16 Ukhuwah berasal dari kata dasar akh yang berarti saudara, teman akrab atau sahabat. Bentuk jamak dari akh dalam Al- Quran ada dua macam. Pertama, ikhwan yang biasanya digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kedua, ikhwah yang digunakan untuk makna persaudaraan satu keturunan. Dalam Al- Quran, hubungan aantar kaum mukmin disebut ikhwah bukan ikhwan, yang berarti bahwa orang mukmin bukan sekedar teman bagi mukmin yang lain, namun lebih dari itu adalah saudara.
17
Namun dalam ayat lain juga
disebutkan sebagai ikhwan.18 Struktur kata uhuwah sama dengan kata bunuwah dari kata ibnun yang artinya anak laki-laki. Akh dapat berarti saudara, bentuk jamaknya ikhwah, dapat pula berarti
kawan, bentuk
jamaknya ikhwan. Sepengetahuan kita, ukhuwah sering di sandingkan dengan kata islamiyah yang berarti persaudaraan sesama muslim, yang merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang mengajarkan persamaan. Konsep ini merupakan satu tawaran bagi ummat manusia (dibedakan dari konsep 16
Persaudaraan karena sifat-sifat ini antara lain ditunjukkan dalam firman Allah dalam surat Al- Isra ayat 27 yang berbicara tentang persaudaraan (persamaan) sifat-sifat manusia yang boros dengan setan. (Lihat Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hlm. 357). 17 Kata ikhwah dalam Al-Quran semuanya digunakan untuk saudara seketurunan kecuali dalam sutat Al- Hujurat ayat 10. 18 Q. S. Al- Hujurat ayat 103.
27
ummah) untuk merujuk kemanusiaan. Konsep ukhuwah
yang dinukil
dalam Al-Quran ini mengandung perluasan makna sebagai persamaan dan keserasian dalam banyak hal.19 Kalau kita mengartikan ukhuwah dalam arti persamaan, maka paling tidak kita akan menemukan ukhuwah tersebut tercermin dalam beberapa hal yaitu:20 a. Ukhuwah fi al- Ubudiyyat, yang mengandung arti persamaan dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah sebagai Pencipta. Persamaan seperti ini mencakup persamaan antara sesama makhluk ciptaan Allah. b. Ukhuwah fi Al- Insaniyyat, yang mengandung pengertian bahwa manusia memiliki persamaan dalam asal keturunan (dari Adam dan Hawa).
Persamaan
ini
menjadikan
manusia
memiliki
dasar
persaudaraan kemanusiaan dalam ruang lingkup yang luas dan permanen. Luas dalam arti universal (tidak terbatas pada letak geografis, bahasa, suku dan sebagainya), dan permanen dalam arti berlaku sepanjang zaman selama masih hidup. c. Ukhuwah fi al- Wahdaniyyat wa an –Nasab, yang meletakkan dasar persamaan pada unsur bangsa dan hubungan pertalian darah. d. Ukhuwah fi Din al- Islam, yang mengacu pada persamaan keyakinan (agama) yang dianut, yaitu Islam. Dasar persamaan ini menempatkan kaum muslimin sebagai saudara, karena memiliki akidah yang sama. Komunitas muslim yang memiliki identitas sama atas dasar persamaan akidah seperti ini dikenal sebagai ummah. Jaadi, merekaa yang seiman, adalah bersaudara. Menurut Quraish Shihab, ukhuwah Islamiyah mengarah pada arti yang lebih luas dari sekadar persaudaraan sesama muslim. Konsep ukhuwah islamiyah lebih diartikan sebagai persaudaraan yang bersifat Islam, atau persaudaraan secara Islam.21 Tampaknya, apa yang diungkapkan oleh Quraish Shihab tersebut bisa lebih diterima, terutama 19
Jalaluddin, hlm. 210. Ibid, hlm. 212. 21 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hlm. 358. 20
28
dalam kaitannya dengan amanat yang dibebankan kepada manusia yang bertugas sebagai khalifah di bumi dan bertanggungjawab dalam pengelolaan kehidupan di bumi. Uhkuwah Islamiyah, seperti halnya hubungan persaudaraan antar anggota keluarga tertentu, sebagai suatu komunitas tentu mengandung nilai-nilai pengikat tertentu, yang tumbuh dari keyakinan dogmatis maupun yang tumbuh secara naluriah atau fitriyah. Tetapi meskipun ada pengikat yang kuat, masing-masing pasti memiliki ciri khas, watak, dan latar belakang yang berbeda. Seperti diketahui, perbedaan sudah merupakan kodrat manusia. Padahal dalam memelihara kehidupan, sebagai khalifah manusia dituntut untuk membina kerukunan. Dan kerukunan perlu ditopang oleh unsur persamaan dan persaudaran dalam arti luas. Keduanya hanya mungkin berjalan secara harmonis, bila didasarkan atas rasa kasih sayang yang sekaligus menjadi identitasnya. Dalam konteks inilah, kasih sayang sangat diperlukan bagi tugas kekhalifahan manusia dalam memakmurkan bumi. Persaudaraan antara sesama muslim merupakan ikatan kasih sayang. Kasih sayang antar sesama muslim merupakan indikator keimanan seseorang, seperti hadis Nabi “tidak sempurna iman seseorang hingga ia mau mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Selain kasih sayang, unsur pengikat yang dalam upaya menumbuhkan ukhuwah Islamiyah adalah keimanan atas Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. ikatan akidah inilah yang paling kuat daripada ikatan darah atau keturunan, dan merupakan pondasi yang kokoh dalam membangun ukhuwah Islamiyah. Rasa dan keyakinan satu Tuhan, satu Rasul dan sati iman, akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang kemudian diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.22 Ukhuwah yang benar akan melahirkan perasaan-perasaan mulia dan sikap positif untuk saling menolong antar satu dengan yang lain. Oleh 22
231.
MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), Cet. 1, hlm.
29
karena itu, Islam mewajibkan persaudaraan di jalan Allah. Ketentuanketentuan dan keharusannya telah dijelaskan dalam beberapa ayat dan hadis, antara lain:
(15 :ﻢ )ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ ﻳﻜﹸﻮ ﺧ ﻦ ﹶﺍ ﻴﺑ ﺍﺤﻮ ﺻِﻠ ﻮ ﹲﺓ ﹶﻓﹶﺎ ﺧ ﻮ ﹶﻥ ِﺍ ﻨﺆ ِﻣ ﻤ ﺎ ﺍﹾﻟﻧﻤِﺍ “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah di antara kedua saudaramu.” (Q. S. Al- Hujurat: 10).23
(35 :ﻚ )ﺍﻟﻘﺼﺺ ﻴﻙ ِﺑﹶﺎ ِﺧ ﺪ ﻋﻀ ﺪ ﻨﺸﺳ “Kami akan membantumu dengan saudaramu.” (Q.S. Al-Qashash: 35).24
ﺍﻧﹰﺎﺧﻮ ﻤِﺘ ِﻪ ﺇ ﻌ ﻢ ِﺑِﻨ ﺘﺤ ﺒﺻ ﻢ ﹶﻓﹶﺄ ﻮِﺑﻜﹸ ﻦ ﻗﹸﻠﹸ ﻴﺑ ﻒ ﺍ ًﺀ ﹶﻓﹶﺄﻟﱠﻋﺪ ﻢ ﹶﺍ ﺘﻨﻢ ِﺇ ﹾﺫ ﹸﻛ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﷲ ِ ﻤ ﹶﺔ ﺍ ﻌ ﻭ ِﻧﺍ ﹾﺫ ﹸﻛﺮﻭ (103 :)ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ “Dan ingatlah akan nikmat-nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu jadilah kamu, karena nikmat Allah sebagai orang-orang yang bersaudara.” (Q. S. Ali Imran: 103).25
ﺤﺐ ِ ﻳ ﻰﺣﺘ ﻢ ﻛﹸﺣﺪ ﹶﺍﺆ ِﻣﻦ ﹶﻻ ﻳ:ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ ﻨﺒِﻰﻋ ِﻦ ﺍﻟ ﻚ ٍ ﺎِﻟﺑ ِﻦ ﻣ ﺲ ِ ﻧﻦ ﹶﺃ ﻋ (ﺴ ِﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ِ ﻨ ﹾﻔ ِﻟﺤﺐ ِ ﻳ ﺎﻴ ِﻪ ﻣِ َﻷ ِﺧ “Dari Anas Bib Malik, Rasulullah saw. bersabda: Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H. R. Muslim).26
23
Soenarjo, hlm. 846. Ibid, hlm. 615. 25 Ibid, hlm. 93. 26 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, hlm. 67. 24
30
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa kasih sayang merupakan bagian dari keimanan seseorang. Orang yang tidak mengasihi saudaranya direpresentasikan sebagai orang yang tidak sempurna imannya – walaupun kuat ibadahnya. Rasulullah saw. mengibaratkan mukmin satu dengan yang lainnya bagaikan satu bangunan dan satu tubuh, yang saling menunjang antara satu bagian dengan baagian yang lainnya. Jika kehilangan satu bagian saja, maka tubuh atau bangunan tersebut tidak akan sempurna dan kokoh. Atau jika satu bagian dari tubuh menderita sakit, maka bagian tubuh yang lain juga akan merasakan sakit. Rasulullah saw. bersabda:
ﻢ ﺍ ِﺩ ِﻫﺗﻮ ﻦ ﻓِﻰ ﻴﺆﻣِﻨ ﻤ ﻣﹶﺜﻞﹸ ﺍﹾﻟ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ﺻﻠﱠﻰﺍﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ:ﻴ ٍﺮ ﹶﻗﺎ ﹶﻝﺸ ِ ﺑ ﺑ ِﻦ ﺎ ِﻥﻌﻤ ﻨﻋ ِﻦ ﺍﻟ ﻬ ِﺮ ﺴ ﺴ ِﺪ ﺑِﺎﻟ ﺠ ﺍﹾﻟﺎِﺋﺮ ﺳﻰ ﹶﻟﻪﺍﻋﺗﺪ ﻮ ﻀ ﻋ ﻨﻪﺘﻜﹶﻰ ِﻣﺷ ﺴ ِﺪ ِﺇﺫﹶﺍ ﺠ ﻤﹶﺜ ِﻞ ﺍﹾﻟ ﻢ ﹶﻛ ﺎﻃﹸ ِﻔ ِﻬﺗﻌﻭ ﻢ ِﻤ ِﻬﺍﺣﺗﺮﻭ (ﻰ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﺤﻤ ﺍﹾﻟﻭ “Dari Nu`man Ibnu Basyir, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Perumpamaan bagi orang-orang yang beriman dalam saling mencintati, saling mengasihi, dan saling tolong menolong seperti sebatang tubuh. Kalau ada salah satu anggota tubuh yang terkena penyakit, maka seluruh batang tubuh ikut menderita tidak dapat tidur dan menderita panas.” (H. R. Muslim).27 Dalam hadis lain disebutkan:
ﺎ ِﻥﻨﻴﺒﻮ ْﺀ ِﻣ ِﻦ ﻛﹶﺎﹾﻟ ِﻟ ﹾﻠﻤﻮ ْﺀ ِﻣﻦ ﺍﹾﻟﻤ, ﺳﻠﱠﻢ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﷲ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ: ﻗﹶﺎ ﹶﻝ, ﻰﻮﺳ ﻣ ﻦ ﹶﺃﺑِﻰ ﻋ (ﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﻌﻀ ﺑ ﻪﻌﻀ ﺑ ﺸﺬﱡ ﻳ “Dari Abu Musa, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Orang mukmin dengan mukmin yang lain bagaikan saatu bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lain.” (H. R. Muslim).28
27 28
Ibid, hlm. 1999. Ibid.
31
Di samping itu masih banyak lagi ayat dan hadis yang secara implisit menjelaskan tentang pentingnya ukhuwah dalam bersosialisasi di manapun dan dengan siapapun. Faktor lain yang juga bisa menunjang lahirnya ukhuwah – dalam arti luas maupun sempit, di antaranya adalah persamaan. Semakin banyak persamaan, semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam rasa dan cita merupakan faktor dominan yang menciptakan persaudaraan hakiki. Di samping itu, keberadaan manusia sebagai makhluk sosial juga berpengaruh dalam melahirkan persaudaraan. Manusia bisa memenuhi segala kebutuhannya bila mau hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan keinginannya. Persatuan, ikatan batin, saling membantu daan kebersamaan merupakan prasyarat dari timbulnya ukhuwah (persaudaraan) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.29 Memang harus diakui, bahwa realisasi ukhuwah Islamiyah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu telah yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang bisa menghambatnya. Faktor-faktor tersebut antara lain,30 adanya fanatisme buta dan rasa bangga diri yang berlebihan. Bahkan faktor ini terkadang sampai pada penilaian benar-salah yang mengakibatkan ketegangan ataupun kesenjangan. Faktor lain adalah sempitnya wawasan, ketertutupan, dan kurang adanya
silatirrahmi
dan
dialog-dialog
untuk
mencari
titik-titik
kemaslahatan yang diinginkan. Lebih dari itu, faktor penghambat utama adalah tingkat akhlak yang masih relatif rendah, sehingga sering timbul sikap tahasud, saling mencela, dan ghibah. Hambatan yang paling mendasar adalah lemahnya kesadaran dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Hal inilah yang memunculkan sikap
29 30
MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, hlm. 228. Ibid, hlm. 233.
32
tidak menghargai, mementingkan diri sendiri, dan pada gilirannya melahirkan kompetensi yang kurang sehat dan fanatisme kelompok. Upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut sebenarnya dapat dilakukan oleh semua pihak, untuk menjadikan ukhuwah sebagia potensi yang sangat bermanfaat, bukan saja bagi perseorangan maupun kelompok, tetapi bagi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagimana menghilangkan, atau paling tidak meminimalisir porsi sektarianisme dalam berbagai aspek kehidupan, bagaimana meningkatkan akhlakul karimah, dan bagaimana melembagakan silaturrahim dan dialog untuk mencari titik maslahah bagi semua pihak, merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, bukan hanya oleh kalangan tertentu (pemerintah dan sebagainya), tetapi juga merupakan tugas seluruh masyarakat. Menarik untuk dicermati, bahwa ternyata Al- Quran dan hadis tidak pernah menjelaskan secara eksplisit tentang definisi ukhuwah Islamiyah, tetapi metode yang digunakan adalah dengan memberikan contoh- contoh yang nyata tentang ukhuwah itu.31 Ini berarti, Islam lebih menekankan ukhuwah Islamiyah pada persoalan praksis daripada sekedar teoritis. Dengan demikian, praktik yang sebenarnya dari ukhuwah Islamiyah akan menunjukkan pada manusia hasil- hasil yang konkret dalam kehidupan. Dan untuk memantapkannya, yang dibutuhkan bukan sekadar ukhuwah yang menyangkut perbedaan persepsi, tetapi lebih dari itu bagaimana langkah- langkah bersama yang dilakukan sebagai tindakan yang lebih reflektif dari makna ukhuwah Islamiyah yang sebenarnya. Demikian juga ukhuwah yang menimbulkan sikap saling pengertian, saling melengkapi kekurangan dengan dasar keikhlasan demi kemaslahatan, merupakan potensi yang selalu didambakan oleh semua ummat. Tentu saja dalam hal ini masing-masing harus berada pada porsinya sesuai dengan potensi yang dimiliki, dengan segala kelebihan dan
31
Baca surat Al- Hujurat ayat 11-12.
33
kekurangannya. Dengan demikian, ukuwah – secara universal - akan berjalan selaras, serasi, dan seimbang.
2. Akhlakul Karimah (akhlak yang mulia) Konsep Akhlak dalam Islam Satu lagi ajaran Islam yang tidak kalah penting, yaitu akhlak. Akhlak merupakan realisasi dari ajaran Islam. Terminologi ini dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan moral atau ethic.32 Baik moral, akhlak maupun etika merupakan segmen yang terpenting bagi manusia pada umumnya, sebab manusia merupakan makhluk yang mempunyai tata krama, sopan santun, dan beradab dalam setiap aktivitasnya selama manusia itu masih hidup. Oleh karena itu, akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan. Al-Ghazali memberikan pengertian tentang akhlak, yaitu sifat dan perilaku
yang konstan dan meresap dalam jiwa, darinya tumbuh
perbuatan- perbuatan yang wajar dan mudah tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.33 Dari pengertian di atas, akhlak menurut Al-Ghazali harus mencakup dua syarat, yaitu: a. Perbuatan itu harus konstan. Artinya, harus dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan. b. Perbuaatan yang konstan itu harus tumbuh dengan sendirinya, sebagai wujud reflektif dari jiwa tanpa pertimbangan dan pemikiran – seperti tekanan-tekanan, pengaruh, ajakan, dan sebagainya. Sedangkan F. Gabriele dalam Ensiklopedia of Islam sebagaimana dikutip M. Abdurrahman, menyebutkan bahwa akhlak atau moral yang sering kita sebut dengan adab, berasal dati terminologi arab yang berarti adat istiadat, kebiasaan, etika atau sopan santun. Inilah tatanan yang 32
Muhammad Abdurrahman, Pendidikan di Alaf Baru; Rekontruksi Atas Moralitas Pendidikan, Edisi 7, (Yogyakarta: Prismasophie, 2002), hlm. 75 33 Zainuddin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al- hazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet. 1, hlm. 102.
34
seringkali digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Istilah tersebut dalam bahasa Latin disebut urbanitas yang berarti “kehalusan” atau “kebaikan” yang digunakan sebagai tata krama dalam bergaul.34 Nilai-nilai akhlak sangat diperlukan untuk membina manusia agar dapat membedakannya dengan makhluk yang lain. Dalam terminologi Islam, sebenarnya tidak ada istilah moral, yang ada hanya akhlak. Dalam ajaran Islam, akhlak tidak bisa dipisahkan dari keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati, sementara akhlak adalah refleksi dari iman yang berupa perilaku, ucapan atau sikap. Dengan kata lain, akhlak adalah abstraksidari keimanan yang tercermin dari sikap dan perilaku sebagai bukti keimanan yang dilakukan dengan kesadaran dan hanya karena Allah. Senada dengan hal tersebut, dalam Al-Quran juga sering disebutkan setelah ada pernyatan “orang-orang yang beriman”, sering diikuti dengan kata “beramal saleh”. Dalam hal ini dapat kita ambil pengertian bahwa amal saleh adalah manifestasi dari akhlak yang merupakan perwujudan dari keimanan seseorang. Persoalan iman akan berpengaruh pada setiap persoalan manusia yang erat kaitannya dengan keimanan.35. Mukmin yang berbuat baik, digambarkan sebagai manusia yang sempurna keimanannya. Namun, bagi orang-orang yang hanya menggunakan simbol muslim, belum tentu mencapai arah ketinggian akhlak yang Islami. Inilah yang membedakan antara muslim dan mukmin dalam segala hal. Dalam pemahaman tentang akhlak, ada dua istilah yang sering kita dengar yaitu akhlakul karimah atau
akhlakul mahmudah (Keduanya
memiliki pemahaman yang sama, yaitu akhlak yang terpuji dan mulia), dan akhlakul madzmumah (akhlak yang buruk).
34
Muhammad Abdurrahman, hlm. 74. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.” (H. R. Turmudzi). Di samping itu, Allah juga berfirman “Sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai akhlak yang amat tinggi. 35
35
Dalam rangka menghayati akhlak yang sudah dipahami, diperlukan pengalaman- pengalaman melalui aplikasi dalam berbagai keadaan dan kesempatan ketika berinteraksi dengan makhluk yang lain. Semakin banyak pengalaman, maka semain banyak pula dorongan- dorongan untuk lebih banyak lagi berbuat kebaikan, dan pada gilirannnya akan terjadi internalisasi akhlak dalam diri individu secara otomatis. Perlu kita ketahui, bahwa akhlak adalah persoalan awal yang dibenahi oleh Rasulullah saw. Beliau telah banyak memberikan contoh akhlak yang mulia dalam berbagai kesempatan. Dalam hal ini rasulullah saw adalah contoh pemilik akhlak terbaik bagi umatnya, sebagaimana hadis:
ﺧﹸﻠﻘﹰﺎ ﺵ ِ ﺎﻦ ﺍﻟﻨ ﺴ ﺣ ﺳﻠﱠﻢ ﹶﺃ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﷲ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ: ﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ٍ ﺎِﻟﺑ ِﻦ ﻣ ﺲ ِ ﻧﻦ ﹶﺃ ﻋ ()ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ “Dari Anas Ibnu Malik, ia berkata: bahwasanya Rasulullh saw. adalah sebaik-baik manusia dalam akhlaknya.” (H.R. Muslim).36 Ini merupakan bukti bahwa agama Islam yang dibawa Rasulullah saw. benar-benar mementingkan masalah akhlak sebagai faktor utama bagi setiap muslim sebelum mempelajari dan memahami kewajiban-kewajiban yang lain. Dalam pandangan Islam, akhlakul karimah adalah tingkah laku yang mulia, yang dilakukan oleh manusia dengan kemauan dan niat yang mulia, dan untuk tujuan yang mulia. Prinsip-prinsip akhlak yang dibawa oleh Islam bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup perilakunya dalam berinteraksi dengan individu maupun dengan kelompok masyarakat. Persoalan akhlak merupakan persoalan yang sudah dibawa manusia sejak lahir dan menjadi ukuran bagi perilaku manusiayang menjadi pembenar bagi sifat-sifat tertentu, dan mencela sifat-sifat yang lain. Akan 36
Abu Muslim Ibnu Hajjaj, hlm. 1805.
36
tetapi kemampuan sifat pembawaan ini berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Dalam hal ini, yang kemudian berbicara adalah kesadaran
dari
masing-masing
manusia
dalam
menilai
dan
menginterpretasikan tingkat kebenaran akhlak tertentu, baik atau buruk. Akhlak yang baik akan mendapat pujian, dan akhlak yang tidak baik akan mendapat cercaan. Kebaikan akhlak seseorang merupakan cerminan dari tingkat keimanannya. Akhlak berkaitan dengan ajaran, sekumpulan peraturan dan ketetapan baik secara lisan maupun tulisan yang berkaitan dengan bagaimana manusia harus hidup dan bersikap. Lebih dari itu, akhlak bukan saja tindakan yang nyata, tetapi meliputi perasaan, pemikiran, dan niat yang baik dalam membangun interaksi yang berhubungan dengan bain dan buruk, benar dan salah, serta apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. M. Abdullah Darraz mengklasifikasikan akhlak dalam beberapa kategori, yaitu:37 a. Akhlak Fardliyyah (individu) b. Akhlak Usariyah (kekeluargaan) c. Akhlak Ijtimaiyah (kemasyarakatan) d. Akhlak Daulah (negara) e. Akhlak Diniyah (agama). Semua kategori ini menjadi bidang dan ruang lingkup akhlak Islam yang dimulai dari pembinaan pribadi keluarga, masyarakat, sampai pada pembentukan sebuah negara, peradaban, dan sebagainya. Oleh karena itu, adalah tugas setia orang mukallaf untuk menjaga akhlaknya yang akan membedakannya dengan makhluk yang lain.
37
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Cet. 3.
37
Pendidikan Akhlak dalam Islam Pendidikan akhlak merupakan dimensi pendidikan Islam yang paling penting, karena merupakan tujuan akhir dari tujuan pendidikan agama Islam itu sendiri, yaitu terciptanya generasi muslim yang berakhlakul karimah. M. Omar Toumy Asy-Syaibani menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlakul karimah.38 Tujuan ini sama dengan tujuan yang ingin dicapai oleh misi kerasulan, yaitu membimbing manusia agar berakhlak mulia. Kemudian akhlak mulia yang dimaksud tercermin dalam sikap dan tingkah laku individu – baik dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk, serta lingkungannya. Manusia secara fitrah memiliki potensi yang mengacu pada tiga kecenderungan utama, yaitu yang benar, yang baik, dan yang indah. Maksudnya, manusia pada dasarnya cenderung untuk menyukai hal-hal yang benar, yang baik, dan yang indah.39 Atas dasar sudut pandang ini, terlihat bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang memiliki nilai- nilai akhlak (senang yang baik dan membenci yang buruk). Kecenderungan
ini
merupakan
bawaan,
sehingga
sewaktu-waktu
kecenderungan itu akan muncul. Walaupun demikian, oleh karena pengaruh lingkungan terkadang kecenderungan itu sering tidak tampak. Dalam hal ini, media yang paling tepat dalam rangka mengasah kecenderungan tersebut adalah pendidikan. Pendidikan ditujukan pada upaya pembentukan manusia sebagai pribadi yang ber- akhlakul karimah. Tujuan pendidikan dititikberatkan pada upaya pengenalan nilai- nilai yang baik kemudian menginternalisasikannya, serta mengaplikasikannya dalam sikap dan perilaku melalui pembiasaan, tentu saja dengan Al-Quran sebagai pijakan dan sumber utamanya.
38 39
Jalaluddin, hlm. 92. M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Quran, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 69.
38
Dimensi moral dan spiritual merupakan salah satu dimensi pendekatan yang efektif dalam upaya pembentukan akhlak dan kepribadian peserta didik. Diharapkan melalui pendekatan ini, akhlak dan kepribadian peserta didik dapat selaras dengan fitrahnya. Melalui pendekatan yang didasarkan pada nilai- nilai moral- spiritual, peserta didik disadarkan akan nilai-nilai asasi kemanusiaan yang dimilikinya, yatu sebagai makhluk yang bermoral, makhluk yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, serta mampu mempertahankan nilai-nilai tersebut secara konsisten. Pembinaan akhlak merupakan faktor penting dalam pendidikan. Keutamaan akhlak dinilai sebagai sebagai sasaran utama pendidikan Islam. Agar arah sasaran tersebut sesuai dengan target, ada beberapa prinsip yang perlu dipahami tentang akhlak yang dijadikan sebagai acuan dasar, yaitu:40 a. Akhlak merupakan faktor yang diperoleh dan dapat dipelajari. b. Akhlak akan lebih efektif jika dipelajari dan dibentuk melalui teladan dan pembiasaan yang baik. c. Akhlak sejalan dengan fitrah dan akal sehat (common sense) manusia, yaitu cenderung kepada yang baik. d. Akhlak dipengaruhi oleh faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi lingkungan. e. Akhlak merupakan tujuan akhir dari ajaran Islam, yaitu mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. f. Akhlak yang mulia (akhlakul karimah) merupakan realisasi dari ajaran Islam. g. Akhlak brintikan tanggungjawab terhadap amanta Allah, terutama dalam hubungannya dengan tugas manusia sebagai khalifah di bumi. Sejalan dengan prinsip-prinsip di atas, maka pendidikan akhlak seharusnya dikembalikan pada tujuan awal Islam diturunkan, yaitu sebagai rahmatan lil alamin.
40
Muhammmad Abdurrahman, hlm. 78.
39
Dalam upaya pendidikan akhlak ini, orang tualah pihak pertama yang harus bertanggung jawab memasukkan pendidikan akhlak sejak dini kepada anak-anaknya. Kemudian guru – dalam batas-batas tertentu – juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam upaya menanamkan akhlak kepada anak didiknya di sekolah.41 Persoalan
akhlak
merupakan
persoalan
praktis
artinya,
berhubungan langsung dengan nilai baik-buruk dan benar-salah dari sikap dan tingkah laku manusia. Barangkali indikator yang nyata dari berhasil atau tidaknya pendidikan akhlak, dapat kita lihat dalam fenomenafenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Diakui atau tidak, akhlak dan moralitas merupakan solusi terhadap masalah- masalah sosial yang muncul dalam masyarakat. Oleh karena itu, akhlak merupakan bagian yang signifikan dan tidak dapat dipisahkan dari semua aspek kehidupan manusia. Itulah sebabnya lembaga pendidikan sekolah memiliki otoritas dan peran penting dalam membentuk manusia yang memilki sense of social yang tinggi. Paling tidak, orang yang memilki latar belakang pendidikan tidak turut ambil bagian dalam menciptakan masalah sosial. Untuk itu, sekolah harus mempunyai komitmen yang tinggi, istiqamah, dan ikhlas dalam mendidik akhlak anak- anak didiknya. Demikian pentingnya pendidikan akhlak, sehingga Islam-pun menempatkan akhlak sebagai tujuan utama pendidikan Islam.
41
Tanggungjawab itu didasarkan pada pandangan bahwa sekolah merupakan salah satu tempat yang strategis dalam upaya pembentukan akhlak individu (Ghazali Darussalam, 2000), di sekolah pula individu diberi peluang untuk membentuk sebuah komunitas kecil yang menjadi embrio sebuah masyarakat yang sebenarnya (John Dewey, 2000). Sekolah juga merupakan tempat berlangsungnya proses pemupukan norma-norma, sikap, dan nilai-nilai kepada masyarakat (Robert Dreeben, 2000). Lihat M. Abdurrahman, hlm. 124.