KONTEKSTUALISASI METODE REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PEMBELAJARAN Rasimin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
Abstract Human personality is influenced by three domains namely family, school, and society. The three of which deal with and complete among others to affect and motivate independency in learning. The use of Reward and punishment in learning is a form of response of one’s behavior. Reward as a positive reinforcement is used when one achieves satisfactorily achievement. Reward can be in a form of admiring words, symbols (stars, pictures, interesting objects) and scholarships. Punishment as negative reinforcement is given to students because of failure and false. The implication of reward and punishment can be identified from two points of view namely: Firstly, the existence of students: 1) those receiving reward who are pressured by reward, who are lullabied by reward, and who are motiveted by the reward; and 2) those who do not receive the reward. Secondly, the types of reward and punishment; the implication can be: 1) admiring words decreasing motivation, 2) giving stars increasing selfconfidence and actualization, 3) giving star stamps and giving pictures of laughing idols building self-belief and self-potential development, and 4) giving objects increasing motivation and achievement. The punishment can be in a form of cleaning classroom, memorizing short chapters of Al Qur’an, and giving religious tax to friends. Punishment functions to create disciplines and motivation to self-learning and to build self confidence and responsibility.
Keywords:
reward & punishment, learning
Pendahuluan Proses belajar mengajar (PBM) dalam pendidikan formal melibatkan peran aktif pendidik (guru) dan anak didik. Mereka merupakan variabel penting dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Mereka berupaya untuk mengkomunikasikan permasalahan transfer of knowlegde dan transfer of value. Dalam proses ini, seorang pendidik (guru) secara langsung akan mempengaruhi setiap karakter, mental bahkan kualitas belajar anak dengan beragam latar belakang yang berbeda. Metode belajar yang strategis dan penting bagi perkembangan psikologia anak, salah satunya dengan menggunakan reward (penghargaan) dan punishment (hukuman). Metode belajar ini lebih ideal bila digunakan pada anak yang masih duduk dibangku pendidikan dasar. Mereka masih membutuhkan rangsangan belajar yang kuat untuk mengembangkan potensi diri agar mampu menyerap dan termotivasi serta memahami setiap materi yang telah disampaikan oleh pendidik (guru). Perilaku menyimpang yang terjadi pada anak baik dikelas maupun lingkungan sekolah adalah sebuah persoalan yang harus ditangani secara bijak oleh pendidik (guru) atau BK. Penanganan dengan menggunakan fisik akan lebih berdampak negatif bagi perkembangan psikologis mereka. Perkembangan anak adalah sebuah keniscayaan sebagai wujud proses pendewasaan yang harus dijaga. Pendidik, keluarga dan lingkungan adalah faktor yang secara langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan karakteristik anak didik. Peran aktif pendidik (guru)
sebagai figur pribadi yang utuh harus mampu menciptakan anak yang percaya diri sebagai penunjang kemandirian belajar. Penerapan metode pembelajaran reward dan punishment, dalam perkembangannya, telah mengalami kontekstualisasi yang menjadikan metode ini semakin banyak digunakan, meslipun dipandang sebagai metode klasik. Hampir setiap pendidik (guru) dalam melaksanakan proses pembelajaran telah menggunakan metode ini. Pandangan-pandangan baru tentang metode pembelajaran selalu berkembang, sebagaimana mengikuti perkembangan teknologi pendidikan. Subtansi reward dan punishment dalam metode pembelajaran sebenarnya adalah sebuah bentuk respon seseorang karena perbuatannya. Pemberian ganjaran merupakan respon yang positif, sedangkan pemberian hukuman adalah respon negatif, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin mengubah tingkah laku anak ke arah yang lebih baik sebagai motivasi belajar (Djamarah, 2000:100). Sekolah merupakan tempat kedua setelah keluarga. Sekolah merupakan sarana yang sangat strategis dalam pembentukan karakter sehingga dalam penerapan metode pembelajaran diharapkan mampu menciptakan rasa kepercayaan diri yang tinggi. Penerapan metode reward dan punishment - sebagai bentuk dorongan positif dan negatif – bertujuan agar anak terangsang untuk belajar mandiri yang melibatkan peran aktif pendidik (guru) untuk mampu mensinergiskan dengan beberapa metode belajar yang lain berdasarkan kondisi anak di sekolah. Dalam hal ini peran pendidik (guru) harus menyatu dengan tugas guru bimbingan konseling (BK) sehingga mampu menciptakan anak didik yang mau belajar dengan baik untuk meraih prestasi. Pembahasan Pengertian Reward dan Punishment Reward dan punishment sebagai metode pembelajaran akan sangat ideal dan strategis bila digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip belajar untuk merangsang belajar dalam kerangka mengembangkan potensi anak didik. Pendidik (guru) hendaknya menguasai metode ini secara benar agar tidak berimplikasi buruk, misalnya seorang pendidik menggunakan kekerasan dalam menegakkan kedisiplinan, sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang menjadikan anak trauma dan depresi. Dalam kamus bahasa Inggris, reward diartikan sebagai ganjaran atau penghargaan (Echols,1992:485). Pengertian reward secara umum biasa diartikan sebagai hadiah yang diberikan atau didapatkan dengan mudah, misalnya kuis. Pengertian pemberian reward dalam pendidikan atau metode pembelajaran dimaksudkan sebagai sebuah penghargaan yang didapatkan melalui usaha keras anak melalui belajar, baik melaui kelompok maupun individu yang menghasilkan prestasi belajar. Penghargaan atas prestasi anak biasa diberikan dalam bentuk materi dan non materi yang masing-masing sebagai bentuk motivasi positif. Teori awal istilah
reward dan punishment merupakan satu rangkaian yang dihubungkan dengan pembahasan reinforcement yang diperkenalkan oleh Thorndike dalam observasinya tentang trial-and eror sebagai landasan utama reinforcement (dorongan, dukungan). Dengan adanya reinforcement tingkah laku atau perbuatan individu semakin menguat, sebaliknya dengan absennya reinforcement tingkah laku tersebut semakin melemah (Sumanto, 1990:117). Dalam dunia pendidikan, reward digunakan sebagai bentuk motivasi atau sebuah penghargaan untuk hasil atau prestasi yang baik, dapat berupa kata-kata pujian, pandangan senyuman, pemberian tepukan tangan serta sesuatu yang menyenangkan anak didik, misalnya pemberian beasiswa bagi yang telah mendapat nilai bagus (Hurlock,1978:86). Penerapan reward di bangku pendidikan dasar adalah bentuk motivasi yang berorientasi pada keberhasilan belajar atau prestasi anak. Suharsimi Arikunto menjelaskan bahwa penghargaan merupakan sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena sudah mendapatkan prestasi dengan yang dikehendaki, yakni mengikuti peraturan sekolah yang sudah ditentukan (Arikunto,1990:182). Penghargaan tidak selalu bisa dijadikan sebagai motivasi, karena penghargaan untuk suatu pekerjaan tertentu, mungkin tidak akan menarik bagi orang yang tidak senang dengan pekerjaan tersebut (Sardiman,1990:91). Dalam dunia pendidikan, reward diarahkan pada sebuah penghargaan terhadap anak yang dapat meraih prestasi sehingga reward tersebut bisa memberikan motivasi untuk lebih baik lagi. Menurut Suharsimi Arikunto ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pendidik (guru) dalam memberikan penghargaan kepada anak, yaitu : 1. Penghargaan hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari aspek yang menunjukkan keistimewaan prestasi. 2. Penghargaan harus diberikan langsung sesudah perilaku yang dikehendaki dilaksanakan. 3. Penghargaan harus diberikan sesuai dengan kondisi orang yang menerimanya. 4. Penghargaan yang harus diterima anak hendaknya diberikan. 5. Penghargaan harus benar-benar berhubungan dengan prestasi yang dicapai oleh anak. 6. Penghargaan harus diganti (bervariasi). 7. Penghargaan hendaknya mudah dicapai. 8. Penghargaan harus bersifat pribadi. 9. Penghargaan sosial harus segera diberikan. 10. Jangan memberikan penghargaan sebelum siswa berbuat. 11. Pada waktu menyerahkan penghargaan hendaknya disertai penjelasan rinci tentang alasan dan sebab mengapa yang bersangkutan menerima penghargaan tersebut (Arikunto, 1990:163). Pemberian penghargaan tidak selamanya bersifat baik, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pemberian penghargaan merupakan satu hal yang bernilai positif. Armai Arief berpendapat pada implikasi pemberian penghargaan yang bersifat negatif apabila
pelaksanaan pemberian penghargaan dipakai sebagai berikut : Pertama, menganggap kemampuannya lebih tinggi dari teman-temannya atau temannya dianggap lebih rendah; Kedua, dengan pemberian penghargaan membutuhkan alat tertentu dan biaya (Arief, 2002:128). Selain itu diungkapkan juga bahwa pemberian penghargaan akan bersifat positif apabila pelaksanaan penghargaan dipakai sebagai berikut: Pertama, anak akan berusaha mempertinggi prestasinya; Kedua, memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak yang dididik untuk melakukan perbuatan yang positif dan bersifat progresif; Ketiga, menjadi pendorong bagi anak lainnya (teman) untuk mengikuti anak yang memperoleh penghargaan dari gurunya, baik dalam tingkah laku, sopan santun, semangat dan motivasinya dalam berbuat yang lebih baik (Arikunto, 1990:129). Pemberian reward pada anak akan menimbulkan perbuatan baik. Oleh karena itu, reward yang diberikan hendaknya memiliki tiga peranan penting untuk mendidik anak dalam berperilaku: 1. Reward mempunyai nilai mendidik. 2. Reward berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi berbuat baik. 3. Reward berfungsi untuk memperkuat perilaku yang lebih baik. Dari ketiga peran di atas, reward diharapkan mampu memberikan reinforcement pada anak untuk lebih dihargai atas perilaku atau prestasi yang telah diraihnya. Islam mengajarkan bahwa barang siapa yang beramal baik, maka Allah swt akan membalas dengan setimpal. Tetapi bagi yang tidak melakukan perintah-Nya akan diberikan peringatan dan siksaan. Dalam mencapai tujuan pendidikan, setiap lembaga pendidikan memiliki peraturan-peraturan untuk ditaati bersama, baik bagi pendidik maupun anak didik sehingga tercipta kedisiplinan. Pendidik (guru) dan bimbingan konseling (BK) harus tegas terhadap anak yang tidak taat pada peraturan tersebut dengan diberikan sebuah punishment. Menurut Ngalim Purwanto, punishment adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh pendidik (guru) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (Purwanto, 1955:186). Hukuman juga dapat diartikan pemberian sesuatu yang tidak menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa yang diharapkan. Pemberian hukuman akan membuat seseorang menjadi kapok dan tidak akan mengulangi yang serupa lagi. Punishment merupakan siksaan atas perilaku yang telah diperbuat (Echols,1992:456). Punishment ersebut dapat berupa ancaman, larangan, pengabaian dan pengisolasian, hukuman badan sebagai bentuk hukuman yang diberikan pada seseorang karena kesalahan, pelanggaran hukum dan peraturan dalam perbaikan dan pembinaan umat manusia. Dalam Islam, apabila seseorang mendapat hukuman, termasuk ta’zir, maka hukuman berkisar antara peringatan, kecaman, pukulan, kurungan dan rampasan (Miller, 2002:170). Dalam rekayasa paedogogik, reward dan punishment merupakan sebuah metode belajar yang dimaksudkan sebagai tindakan
disiplin atau motivasi pada anak. Reward dan punishment ini dihubungkan dengan reinforcement yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901) Dalam jaringan rekayasa paedagogis, reward dan punishment merupakan upaya membuat anak untuk mau dan dapat belajar atas dorongan sendiri dalam mengembangkan bakat, pribadi dan potensi secara optimal. Sehingga pemberian reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) telah dijadikan sebagai strategi metode pendidikan dalam proses pembelajaran yang diharapkan anak didik berkembang sesuai dengan fitrahnya. Al-Qur’an menjelaskan bahwa penghargaan atau ganjaran menunjukkan balasan terhadap apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau di akherat kelak karena amal perbuatan yang baik. Dalam al Qur’an disebutkan : ― Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hambahamba-Nya.” (Q.S. Fushilat : 46) Dari ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian reward merupakan suatu bentuk penghargaan atas prestasi yang telah diraih seseorang atau bentuk motivasi terhadap apa yang telah diperbuatnya. Dalam proses belajar mengajar, reward diberikan pendidik (guru) kepada anak sebagai pendorong, penyemangat dan motivasi sehingga akan membentuk rasa percaya diri pada mereka. Pendidik (guru) yang baik adalah mereka yang mampu menguasai kelas hingga terciptanya suasana pembelajaran yang menyenangkan. Dalam mewujudkannya, pendidik (guru) haruslah menjadi orang yang berwibawa, kharismatik, menguasai materi pelajaran dan mampu memahami psikologis anak. Ia harus disiplin, tak membuat kesalahan, mengetahui dan mampu menjawab atas setiap masalah yang dialami anak didik. Peran pendidik (guru) sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun kegiatan-kegiatan yang menunjang prestasi. Proses pembelajaran akan berjalan baik bila ditopang dengan beberapa hal, termasuk di dalamnya tata tertib siswa di sekolah sebagai tatanan, etika, dan norma yang harus dijunjung tinggi untuk mensukseskan tujuan pembelajaran diantaranya adalah penerapan punishment. Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, punishment atau hukuman merupakan suatu perbuatan, di mana kita secara sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain, baik dari segi kejasmanian maupun dari segi kerohanian karena orang lain itu mempunyai kelemahan bila dibandingkan dengan diri kita. Oleh karena itu, kita mempunyai tanggung jawab untuk membimbing dan melindunginya (Ahmadi, 2001:150). Sedangkan menurut Ngalim Purwanto, hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang pendidik sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (Purwanto, 1955:186). Kamus besar bahasa Indonesia menjelaskan ada tiga macam bentuk hukuman. 1. Siksa yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang.
2. Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim. 3. Hasil atau akibat menghukum (Poerwadarminta,1989:333). Secara harfiah, hukuman dapat diartikan sebagai pemberian sesuatu yang tidak menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa yang diharapkan. Dalam proses pembelajaran, punishment harus menjadi reinforcement (penguatan) bagi anak agar tidak mengulangi kembali atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Dorongan negatif akan memberikan efek yang baik untuk tidak mengulang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat anak. Pemberian hukuman akan membuat anak menjadi kapok (jera), artinya sebuah upaya pendidik (guru) dalam memberikan sanksi agar anak tidak akan melakukan kesalahan yang serupa lagi. Sekalipun setelah diberi ulasan agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sebagian anak masih saja ada yang melakukan perbuatan yang dilarang. Dalam hadis telah dijelaskan bahwa hukuman harus diterapkan untuk memberi petunjuk terhadap tingkah laku manusia. Sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan atas orang yang melakukan pelanggaran yang sifatnya badaniyah, Rasulullah saw bersabda :
, :
.
: (
, )
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat bila mereka telah berusia tujuh tahun, dan pukullah jika meninggalkannya bila mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim yang mengatakan hadis ini shohih.‖ (Sabiq, 1974:169) Mengenai hukuman, ada beberapa pandangan filsafat atau kepercayaan yang menganggap bahwa hidup ini termasuk sebagai suatu hukuman, karena kehidupan ini identik dengan penderitaan. Pandangan hidup yang demikian menganjurkan agar manusia menghindari diri dari hukuman atau penderitaan yang ada dalam kehidupan ini. Sebaliknya, ada penganut agama dan filsafat yang berbeda dengan pendapat tersebut. Mereka menganggap bahwa hidup ini sebagai suatu kebahagiaan yang tiada hentinya dan beranggapan kematianlah yang merupakan hukuman yang perlu ditakuti (Purwanto, 1955:185). Dari beberapa pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman adalah pemberian penderitaan atau penghilangan stimulasi oleh pendidik (guru) sesudah terjadi pelanggaran, kejahatan atau kesalahan yang dilakukan anak. Hukuman juga dapat dikatakan sebagai penguat yang negatif, tetapi dalam pemberian hukuman harus diberikan secara tepat dan bijak sehingga dapat menjadi alat motivasi. Oleh karena itu, pemberian hukuman tidak serta merta sebagai suatu tindakan balas dendam pendidik (guru) terhadap anak didiknya yang tidak bisa mencapai harapan yang diinginkan. Dalam hal ini pendidik (guru) harus memahami segala bentuk prinsip-prinsip pemberian hukuman sebagai sanksi kependidikan.
Tujuan Reward dan Punishment Secara subtansi, reward dan punishment mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebagai reinforcement (penguatan) demi tercapainya kemandirian belajar anak. Tujuan pemberian penghargaan sama dengan tujuan pemberian hukuman, yaitu sama-sama membangkitkan perasaan dan tanggung jawab. Penghargaan bertujuan agar anak lebih bersemangat dalam memperbaiki dan mempertinggi prestasinya (Arifin, 1996:217). Teknik reward (penghargaan) merupakan teknik yang dianggap berhasil menumbuhkembangkan minat anak. Pemberian penghargaan dapat membangkitkan minat anak untuk mempelajari atau mengerjakan sesuatu, di mana tujuan pemberian penghargaan adalah membangkitkan atau mengembangkan minat. Jadi, penghargaan berperan untuk membuat pendahuluan saja. Penghargaan adalah alat, bukan tujuan, hendaknya diperhatikan jangan sampai penghargaan ini menjadi tujuan. Tujuan pemberian penghargaan dalam belajar adalah bahwa setelah seseorang menerima penghargaan karena telah melakukan kegiatan belajar dengan baik, ia akan terus melakukan kegiatan belajarnya secara mandiri di luar kelas atau sekolah (Hamalik, 2000:184). Sebaliknya, apabila anak belajar untuk mencari penghargan berupa hadiah, penghargaan, dan sebagainya, ia didorong oleh motivasi ekstrinsik, oleh sebab tujuan-tujuan itu terletak di luar perbuatan itu, yakni tidak terkandung di dalam perbuatan itu sendiri. “The goal is artificially introduced”. Tujuan itu bukan sesuatu yang wajar dalam kegiatan. Anak-anak didorong oleh motivasi intrinsik, bila mereka belajar agar lebih sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, agar memperoleh pengertian, pengetahuan, sikap yang baik, dan penguasaan kecakapan hidup. Hasil-hasil itu sendiri telah merupakan penghargaan. “The reward of a thing well done is to have done it” (Emerson). Dalam membangkitkan motivasi anak tidaklah mudah, pendidik (guru) perlu mengetahui secara mendalam tentang kondisi psikologis anak dan memiliki kreativitas untuk menghubungkan materi pelajaran dengan kebutuhan dan minat anak (Nasution, 2000:78). Adapun kriteria pemberian hukuman yang diberikan pendidik (guru) dengan tujuan sebagai berikut: Pertama, punishment dilakukan untuk menciptakan kedisiplinan anak didik agar anak didik belajar dengan baik; Kedua, untuk melindungi anak didik dari perbuatan yang tidak wajar; Ketiga, untuk menakuti si pelanggar, agar meninggalkan perbuatannya yang melanggar itu. (Ahmadi, 2001:151). Dalam proses pembelajaran, hukuman merupakan salah satu metode untuk mencapai tujuan pendidikan sehingga pemberian hukuman harus sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu: Pertama, hukuman diadakan karena pelanggaran, dan kesalahan yang diperbuat oleh anak didik. Kedua, hukuman diadakan dengan tujuan agar tidak terjadi pelanggaran yang telah dilakukan anak didik (Ahmadi, 2001:153). Tujuan hukuman menurut Gunning sebagaimana dikutip Ngalim Purwanto, tidak lain adalah pengasuhan kata hati atau membangkitkan kata hati (Purwanto,1955:193). Artinya, hukuman yang diterapkan harus bertujuan untuk membangkitkan kesadaran yang timbul dari dalam diri anak terhadap kesalahan yang telah diperbuatnya,
sehingga berusaha bertobat dan menyadari tentang kesalahan yang telah diperbuatnya. Tujuan tersebut dipandang paling tepat sesuai dengan tujuan pendidikan, karena mengarahkan anak untuk menyadari kesalahan yang diperbuatnya sehingga ia menyesal dan dengan penuh kesadaran berusaha untuk memperbaiki atau menghindarinya bahkan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Dalam pemberian hukuman ini, pendidik harus mengetahui kondisi psikologis anak sehingga tidak terjadi traumatis atau gangguan mental pada masa mendatang setelah hukuman diberikan. Macam-macam Reward dan Punishment Dalam memberikan dan menentukan reward (penghargaan), secara ideal pendidik (guru) harus menggunakan prinsip keadilan antara anak yang satu dengan anak lainnya agar tidak terjadi kecemburuan. Pemberian reward yang demikian akan mampu memotivasi anak yang belum berkesempatan mendapatkan, yaitu disesuaikan dengan apa yang telah menjadi prestasi. Penghargaan sebagai salah satu metode pembelajaran mempunyai beberapa bentuk, yaitu berupa materi dan non materi. Bentuk materi berupa benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi anak, misalnya pemberian pensil, buku tulis, pemberian gambar bintang, beasiswa dll. Penghargaan berbentuk non materi berupa kata-kata yang menggembirakan (pujian), ucapan selamat atas prestasi, pemberian tepuk tangan, pendidik (guru) mengangguk-ngangguk tanda senang dan membenarkan suatu jawaban yang diberikan oleh anak didik (Purwanto,1955:183). Pemberian penghargaan tersebut walaupun terkesan sederhana tetapi bisa menjadi motivasi tersendiri bagi anak. Pemberian reward yang representatif meliputi : 1. Pemberian kepercayaan Dalam diri anak membutuhkan pengakuan bagi eksistensinya di mata orang lain (temantemannya). Pemberian kepercayaan membuat diri anak merasa diakui dan dihargai oleh pendidik (guru). Dengan diberikan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya, anak mulai menghargai keberadaan diri dan orang lain. Hal ini akan memunculkan responsibility untuk mampu menjaga dan mewujudkan amanat yang ada. Pemberian kepercayaan lebih berimplikasi positif pada diri anak daripada pemberian materi maupun kata-kata pujian yang tidak realistik. Kepercayaan menjamin kesenangan seseorang untuk mengurangi tekanan jiwa. 2. Senyuman, Pandangan, Tepukan Punggung Pemberian kasih sayang oleh pendidik (guru) yang diwujudkan melalui ekspresi wajah dan tindakan jasmaniah akan lebih mengena. Keadaan emosional anak yang labil akan sering menimbulkan sikap menolak, mencela bahkan merombak ketentuan apapun yang dirasa mempersempit kebebasannya, karena anak pada masa pendidikan dasar ingin mendapatkan kebebasan dari ketergantungan. Adanya tekanan-tekanan dan kungkungan akan menimbulkan ketegangan yang menjadikan anak semakin marah. Oleh karena itu, adanya sikap penerimaan
positif dari pendidik (guru) sebagai wujud persetujuan mereka pada perilaku anak, akan diimbangi pula oleh penerimaan positif anak. M. Cholim membagi reward atau penghargaan menjadi lima bagian, yaitu: ucapan, pujian lisan, pujian tertulis, piagam dan lain-lain (Cholim,1992:20). Cara yang dapat dilakukan dalam pemberian penghargaan, yaitu pujian yang indah dengan tujuan agar anak lebih giat belajar, atau imbalan materi atau penghargaan karena tidak sedikit anak termotivasi dengan pemberian penghargaan berupa materi, do’a yang diucapkan dengan kata: ―semoga Allah SWT menambahkan kebaikan padamu‖, tanda penghargaan dengan tujuan menjadikan kenang-kenangan anak atas prestasi yang diperolehnya. Dalam pelaksanaannya, bentukbentuk penghargaan tersebut harus diberikan kepada mereka yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik. Penghargaan yang berupa kegiatan dapat diberikan kepada anak yang dapat menyelesaikan tugas di dalam kelas secara cepat, dan penghargaan yang berupa benda diberikan kepada anak yang berprestasi (Arikunto,1990:18). Sedangkan bentuk punishment yang masih relevan bagi anak, sesuai dengan tingkat perkembangannya, antara lain : a. Pandangan Sinis, Peringatan dan Ancaman Konsistensi pemberian punishment bentuk ini akan memunculkan kesadaran dalam diri anak. Anak tidak akan menganggap punishment sebagai bentuk pendektean yang mempersempit otonomi dan pribadinya. Anak pada masa ini akan merombak dan bersikap berontak terhadap semua yang dirasa mengurangi dan mempersempit kebebasannya. Pemberian hukuman dalam bentuk ini harus diimbangi dengan penjelasan atau rasionalitas si pemberi hukuman (guru) serta perlu adanya tindak lanjut (follow up) sebagai wujud perhatian pendidik (guru) pada anak. Dalam situasi ini, karena anak sudah mulai menghargai nilai-nilai moral yang ada, mereka akan melakukan penyadaran diri secara perlahan-lahan menuju perbaikan. Ketidaksesuaian dalam pemberian hukuman ini, sebagaimana penjelasan sebelumnya, dapat diasumsikan oleh anak sebagai anjuran untuk mengulangi kesalahan yang sama, karena mereka merasakan hukuman tersebut sebagai tantangan dan pukulan terhadap diri dan pribadinya, mengingat kehidupan emosi anak mengalami pergolakan hebat. b. Pemberian Alfa Pada masa ini, anak sudah mampu menghargai kejujuran, kedisiplinan, keadilan, sehingga untuk periodesasi ini pemberian sanksi alfa mampu meresap dan dihayati dalam jiwa anak. Sanksi ―alfa‖ berhubungan dengan penerimaan diri anak oleh masyarakat lingkungan sosialnya, akan kebutuhan harga diri anak, sekalipun masih ada beberapa anak yang tetap keras dan hanya mempan dengan hukuman fisik. Pemberian sanksi ini lebih menekankan pada pemahaman secara rasional tanpa melibatkan fisik, yaitu seorang anak
harus mampu menilai sejauhmana pentingnya kehadiran suatu materi pelajaran bai pencapaian prestasi dan kebutuhan hidupnya di masa mendatang. c. Membersihkan Kelas Membersihkan kelas merupakan pemberikan punishment yang mendidik bagi anak untuk belajar tentang mahalnya sebuah kesehatan. Hal ini juga sesuai dengan nilai-nilai Islami, yaitu kebersihan adalah sebagian iman. Dalam pemberian hukuman, pendidik (guru) harus mampu menghindari sejauh mungkin hal-hal yang akan berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis anak. Beberapa jenis hukuman yang harus diketahui oleh pendidik (guru) adalah sebagai berikut: 1) Hukuman membalas dendam: orang yang merasa tidak senang karena anak berbuat salah, anak lalu dihukum. 2) Hukuman badan/jasmani: hukuman ini memberi akibat yang merugikan anak, karena bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi anak. 3) Hukuman jeruk manis (sinaas appel): menurut tokoh yang mengemukakan teori hukuman ini, Jan Ligthart, anak yang nakal tidak perlu dihukum, tetapi didekati dan diambil hatinya. 4) Hukuman alam: dikemukakan oleh J.J. Rousseau dari aliran Naturalisme, berpendapat, kalau ada anak yang nakal, jangan dihukum, biarlah kapok/jera dengan sendirinya (Ahmadi, 2001:157). Setiap sekolah memiliki peraturan yang harus ditaati bersama, baik kepala sekolah, staf administrasi, pendidik (guru) maupun anak didik, dan semua yang terlibat dalam proses pembelajaran (lingkungan sekolah). Aturan tersebut dapat berupa tata tertib sekolah, misalnya aturan tentang keharusan masuk kelas tepat waktu, mematikan HP waktu di kelas, kedisiplinan dalam mengerjakan tugas individu maupun kelompok. Bentuk-bentuk hukuman tersebut diberikan kepada anak sesuai dengan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuatnya. Peran bimbingan konseling (BK) di sekolah sangat penting untuk memberikan pengarahan bagi anak yang sering melanggar peraturan sekolah. BK hendaknya mampu merasionalkan dan menjelaskan mengapa adanya sebuah peraturan sekolah dan pentingnya sebuah hukum. Dalam proses pembelajaran anak yang suka ramai hendaknya dipisahkan tempat duduknya di pojok kelas atau disuruh keluar kelas, anak yang tidak mengerjakan tugas dapat diberikan tugas berlipat dan pengurangan nilai, anak yang terlambat mengumpulkan tugas dikenakan denda, dan anak yang sering kali melanggar peraturan dan tidak dapat diampuni kesalahannya, maka diberikan hukuman diskors (Arikunto,1990:177). Setiap pemberian punishment harus berorientasi pada penguatan belajar anak. Pemberian hukuman yang Islami hendaknya mendidik anak agar mampu berpikir sejauhmana kesalahan yang telah dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Islami. Reward dan Punishment dalam Metode Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran sebaiknya seorang pendidik (guru) harus mampu menguasai beberapa metode pembelajaran agar anak tidak mengalami kejenuhan dalam menerima pelajaran. Metode merupakan kunci keberhasilan dalam melakukan transfer of knowlegde dan transfer of value. Reward dan punishment sebagai bagian dari metode pembelajaran digunakan sebagai bentuk reinforcement (dorongan) dalam proses pembelajaran. Dalam memberikan reward perlu adanya pengklasteran konsepsi reward yang ada. Hakekat reward dalam pembelajaran adalah tiap bentuk penghargaan untuk hasil yang baik atau prestasi yang diberikan oleh pendidik (guru) kepada anak didik yang berupa kata pujian, gambar bintang, stempel cap bintang dan boneka tersenyum, serta sesuatu yang berbentuk materi (beasiswa). Pemberian sesuatu yang menyenangkan sebagai wujud tanda kasih sayang, penghargaan atas prestasi, bentuk dorongan, sebagai bentuk penguatan positif, maka dalam penempatannya, reward diberikan kepada anak yang berprestasi, bukan diberikan kepada anak yang gagal dalam belajar atau berperilaku menyimpang dari ketentuan yang disepakati bersama. Pemberian reward dilakukan dengan sewajarnya agar tidak terjadi kedengkian antara anak satu dengan yang lain atau menjadikan permusuhan sesama anak didik. Pemberian reward hendaknya disesuaikan dengan nilai-nilai yang mendidik sebagai bentuk motivasi belajar. Pendidik (guru) yang bersifat hangat, pandai bergaul, ramah dan sabar lebih mementingkan penyeimbangan reward dan punishment. Adapun dalam pemberian reward yang mengarah pada motivasi diri, minat belajar serta menjadikan anak untuk tetap berada dalam perilaku yang disepakati secara sosial. Ada beberapa prinsip dalam pemberian reward dan punishment, antara lain: 1. Reward diberikan berkaitan dengan responsibility anak didik. 2. Pemberian reward dilakukan tidak dalam bentuk pujian yang muluk-muluk. 3. Reward diberikan secara langsung setelah anak sukses atau berhasil dalam tugas dan berperilaku sesuai kesepakatan sosial karena reward merupakan bentuk reaksi setelah adanya aksi yang dilakukan mereka. 4. Reward diberikan secara wajar dan realistis, sehingga dapat dihayati anak. Artinya reward hanya menyangkut usaha anak untuk melakukan sesuatu serta menyangkut hasilhasil yang dicapai anak, bukan menyangkut watak dan kepribadiannya. Pemberian reward harus mampu menjadikan cermin diri yang menampakkan kepada anak gambaran realistis tentang apa yang diperbuat, mengenai prestasi. Pemberian reward yang berlebihan berdampak pada anak menjadi manja dan sombong. Secara umum, bentuk reward adalah kata-kata pujian, pemberian kepercayaan, senyuman dan tepukan punggung, sesuatu yang bersifat materiil (beasiswa, piagam penghargaan). Dalam setiap pemberian reward di sekolah diarahkan pada:
1. Reward mempunyai arti mendidik, yaitu mengajarkan kepada anak untuk berperilaku sesuai dengan cara yang disepakati masyarakat. Dalam konteks ini adanya penghargaan mengisyaratkan pada anak bahwa perilaku itu baik dan disetujui secara sosial. 2. Reward berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial. Artinya, peran reward positif dalam memotivasi anak untuk melakukan apa yang dianggap sesuai secara sosial. Pada fungsi ini anak bereaksi positif terhadap persetujuan yang dinyatakan dalam penghargaan. 3. Berfungsi untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial adanya reward yang diberikan digunakan untuk membentuk asosiasi yang menyenangkan dengan perilaku yang diinginkan. 4. Dalam kerangka pendidikan formal, guru adalah pendidik yang berperan dalam jaringan rekayasa paedagogis. Oleh karena itu, sebagai bentuk penguatan positif sekaligus motivasi ekstrinsik dalam jaringan rekayasa paedagogis, pendidik (guru) memberikan reward untuk memperbaiki disiplin diri dan membangkitkan semangat belajar. Dari uraian di atas, pada hakekatnya dalam reward terdapat suatu kekuatan yang dapat mendorong anak untuk melakukan perbaikan. Dengan reward anak merasa bahwa perbuatan baik yang dilakukannya membuatnya dihormati, disayangi orang lain sebagai bentuk penghargaan diri, atas usaha tindakan yang telah dilakukan. Dalam memberikan punishment hendaknya seperti konsepsi hukuman atau punishment yang berasal dari kata kerja latin “punire” yang berarti menjatuhkan hukuman pada seseorang karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan (Hurlock, 1978:86). Hukuman atau punishment dipakai sebagai upaya peningkatan kedisiplinan diri, memotivasi belajar dan perbaikan perilaku. Dari pengertian tersebut, nampak dengan jelas bahwa punishment tidak sebatas pada menjatuhkan hukuman pada anak karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran, melainkan juga untuk peningkatan kedisiplinan anak, memotivasi belajar dan perbaikan perilaku (moralitas). Jadi, maksud metode punishment dalam pembelajaran sebenarnya sebagai bentuk penguatan negatif yang diberikan kepada anak untuk perbaikan dan penghindaran perilaku menyimpang secara sosial atau peningkatan kedisiplinan serta sebagai stimulus pembangkit semangat motivasi belajar. Dalam praktiknya, pemberian punishment setidaknya memperhatikan dua hal berikut: 1. Berkaitan dengan pelanggaran atas tindakan yang menyimpang dari norma sosial atau perbaikan tingkah laku dari tindakan amoral yang dilakukan di masyarakat sebagai proses interaksi antara anak dengan lingkungan masyarakat, maka punishment diberikan secara langsung oleh pendidik (guru), BK dan pihak sekolah. 2. Berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) merupakan wilayah jaringan paedagogis pendidik (guru), yang didalamnya ia bertindak mendidik atau mengajar anak. Dalam pencapaian tujuan untuk membentuk anak yang berakhlakul karimah dan
diimbangi dengan kualitas intelektual yang mumpuni, maka semua pendidik (guru) dalam menggunakan metode ini dalam rangka mengarahkan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik serta peningkatan kedisilpinan anak serta sebagai motivator yang menjadikan anak belajar, karena pada intinya setiap pendidik (guru) adalah BK bagi setiap anak didik. Pemberian punishment sering diinterpretasikan secara berbeda dalam bagi anak. Punishment yang ada lebih menggugah minat diri untuk tetap disiplin dan sebagai bentuk imbalan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama atau bertindak yang tidak disetujui secara sosial, dan juga bisa sebagai salah satu bentuk motivasi untuk belajar. Sebagai upaya menjembatani adanya persepsi yang berbeda terhadap punishment, baik antara pendidik (guru) versus pendidik (guru), pendidik (guru) versus anak didik, dan anak didik versus anak didik, maka ada beberapa hal yang dijadikan pijakan sebagai prinsip dalam pemberian punishment, antara lain: 1. Punishment harus disesuaikan dengan permasalahan dan kondisi anak. 2. Besar kecilnya pelanggaran serta perbedaan individual mempengaruhi bentuk punishment yang diberikan anak. 3. Hukuman yang diberikan bersifat konsisten. Hal ini dimaksudkan agar anak mengetahui bahwa kapan saja peraturan itu dilanggar, hukuman itu tidak dapat dihindarkan. 4. Hukuman harus diimbangi dengan penjelasan dari sang pemberi hukuman. Anak memiliki persepsi yang berbeda terhadap pendidik (guru) serta penerimaan yang berbeda pula, sehingga sering dijumpai pendidik (guru) dengan metode pembelajaran yang sama, akan mendapat respon yang berbeda dari anak yang sama pula. Pendidik (guru) dalam memberikan punishment harus menjelaskan kesalahan anak agar bisa diterima dan berhasil dalam tugas edukatifnya. Demikian halnya dalam pemberian hukuman, kewibawaan dan keseriusan pendidik (guru) ikut berperan dalam menentukan efektivitas hukuman yang diberikan. Dalam hal ini, bentuk hukuman yang diberikan harus bersifat impersonal, sehingga anak tidak menginterpretasikan sebagai ―kejahatan‖ si pemberi hukuman, serta ada tindak lanjut dari setiap pemberian hukuman dan follow up berkaitan dengan pemberian pengertian dan penjelasan tentang wujud hukuman serta alasan mengapa hukuman diberikan. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan diri anak didik dan menghilangkan rasa dendam dalam diri anak. Pemakaian metode ini berdampak positif dalam meningkatkan kedisiplinan anak. Tetapi perlu diperhatikan bahwa hukuman tidak berhenti pada hukuman itu sendiri, perlu ada tindak lanjut (follow up) pasca pemberian hukuman secara impersonal untuk menghilangkan rasa takut, minder serta penghapusan rasa dendam dalam diri anak. Bentuk punishment secara umum yang digunakan oleh para pendidik (guru) adalah pandangan sinis, peringatan dan ancaman, pemberian alfa, berdiri di depan kelas, hukuman badan dll. Namun dalam pemberian punishment
tersebut justru akan menjadikan mereka menjadi takut atau syndrome sehingga ia menjadi rendah diri. Secara umum, dalam pemberian punishment dilakukan dengan pengklasteran sebagai berikut: 1. Pendidik (guru) yang bersifat rutinitas dan eksak cenderung menggunakan hukuman dalam bentuk peringatan, ancaman dan pengisolasian diri anak sebagai langkah terakhir untuk memperbaiki perilaku anak didik. Kelompok pendidik (guru) ini akan bersikap apatis, masa bodoh terhadap kondisi objektif anak baik dari segi belajar maupun minat belajar. Penyampaian materi dalam KBM menjadi titik fokus sehingga menafikan kondisi psikis dan jasmani anak. 2. Pendidik (guru) yang bersifat hangat. Pendidik (guru) dalam kelompok ini lebih memilih penggunaan semua bentuk punishment sesuai dengan perbedaan individual anak. Dengan melihat latar belakang permasalahan akan ditentukan bentuk hukuman anak mulai dari peringatan (hukuman ringan) sampai pada hukuman badan. 3. Pendidik (guru) yang bersifat dingin. Adanya sikap kurang sabar dan tidak bersahabat menjadikan pendidik (guru) dalam kelompok ini lebih memilih tindakan hukuman yang bersifat praktis, misalnya melempar penghapus, memukul bahkan menempeleng. Pemberian hukuman fisik digunakan sebagai salah jalan penyelesaian untuk mengarahkan dan memperbaiki kesalahan anak serta wujud motivator bagi mereka untuk belajar. Dalam hal ini, seorang pendidik (guru) harus melakukan kontekstualisasi punishment yang setiap pemberiannya akan diorientasikan pada sikap dan perilaku yang mendidik secara baik, yaitu dapat berbentuk fisik dan non fisik, misalnya membersihkan kelas, memberikan infak pada teman dll. Secara teknis pemberian hukuman ini diberikan setelah dilakukan pendekatan kepada anak dengan mengetahui latar belakang permasalahannya. Setiap pemberian punishment pendidik (guru) harus bersifat kreatif, imajinatif dan senang eksperimen karena sikap inovatif yang melekat pada pendidik (guru) berpengaruh dalam penempatan punishment. Pendidik (guru) juga harus berusaha semaksimal mungkin mencari cara yang terbaik untuk mengatasi segala bentuk pelanggaran anak. Satu hal yang menjadi titik perbedaan adalah pendidik(guru) kreatif akan menggunakan cara lain sebagai langkah awal sebelum memberlakukan peringatan ancaman dan pengisolasian kepada anak. Kontekstualisasi Reward dan Punishment dalam Pembelajaran Kontekstualisasi reward dan punishment merupakan konsekuensi metode pembelajaran yang harus mengalami kemajuan, namun tetap memiliki nilai-nilai norma. Nabi Muhammad saw adalah insan kamil yang dijadikan sebagai suri teladan bagi umat manusia. Dalam pelaksanaan tugas kenabian, menyeru ke jalan Allah swt, Nabi Muhammad saw menggunakan cara yang baik
dan bijaksana, sekalipun dengan orang kafir, bukan dengan jalan kekerasan, violence. Hal ini bukan berarti Nabi Muhammad berdiam diri, ketika orang kafir menyerangnya, sehingga akhirnya Nabi Muhammad saw mampu menjadi warner, pengingat dan revolusioner. Dalam memberikan guidance, bimbingan kepada manusia untuk tetap berada pada jalan yang lurus, Allah swt tidak langsung memberikan azab, akan tetapi peringatan, ancaman atau hukuman. Ancaman atau hukuman tidak memperoleh restu-Nya (Q.S. Al-Hadid :16), ancaman perang dari Allah swt dan rasul-Nya (Q.S. Al-Baqarah : 278-298), hukuman di dunia dan akhirat (Q.S. At-Taubah : 39, 74) & (Q.S. An-Nur : 24). Dari sini berarti ada tingkat hukuman yang berbeda, sesuai dengan tingkat perbuatan manusia. Ada orang yang cukup dengan isyarat, hatinya sudah bergetar sehingga segera memperbaiki kesalahannya, akan tetapi ada pula yang baru tergerak oleh peringatan keras, ancaman bahkan hukuman badan. Demikian halnya dalam pendidikan, ibarat seorang dokter dalam memberikan terapi (obat) kepada pasien, ia harus mengetahui dengan benar tentang penyakit yang diderita pasien, maka seorang pendidik (guru) harus bijaksana dalam memberikan punishment pada anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Oleh karena itu, dalam pemberian reward dan punishment, pendidik (guru) harus mampu melihat dengan benar situasi dan kondisi anak dengan tingkat perkembangan intelektual, emosional, moral, fisik, keagamaan. Karena tidak semua bentuk reward dan punishment akan diberikan pada anak. Dalam mewujudkan kualitas pembelajaran perlu adanya kontekstualisasi terhadap reward dan punishment sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Artinya, reward dan punishment yang diberikan pada anak harus mampu memotivasi anak sesuai dengan potensi kualitas khas insani yang dimilikinya serta mampu membentuk kepercayaaan diri menuju aktualisasi diri. Pendidikan dasar merupakan awal dari perkembangan psikologis anak, maka penerapan reward dan punishment harus dikontektualisasikan. Kontekstualisasi reward dan punishment pada masa pendidikan dasar adalah sebagai berikut: Pertama, kontekstualisasi reward pada masa sekolah dasar (berumur tujuh sampai empat belas tahun) ditandai dengan tingkat perkembangan intelektual yang sudah mampu berpikir abstrak hipotetikel-logik, pergolakan emosional, kemampuan menghargai nilai-nilai moral, keinginan untuk tetap dihargai keberadaannya di mata orang lain, pencarian dan pembentukan jati diri, identitas; Kedua, kontekstualisasi punishment merupakan kemampuan seorang pendidik (guru) dalam memberikan sebuah hukuman beserta penjelasan sehingga tidak terjadi pengulangan kesalahan yang telah diperbuat oleh anak. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 1997. Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta ————————. 1990. Teknik Belajar yang Efektif, Jakarta: PT Rineka Cipta Ancok Jamaluddin. 1994. Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta: PT Si Press
Arifin Sayy H.M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Kritis dan Praktis Berdasarkan Interdisipliner, Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet III Arif Hadipranata. 2000. Peran Psikologi di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM. Daradjat Zakiyah. 1990. Ilmu Jiwa Agama, Cet. III, Jakarta: PT Bulan Bintang ————————. 1975. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta: PT Bulan Bintang Djamarah, B Syaiful. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: PT Reneka Cipta —————-———. 2002 Psikologi Belajar, Jakarta: PT Rineka Cipta Hadipranata Arif. 2000. Peran Psikologi di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM Hamalik Oemar. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar, Bandung: PT Sinar Baru Algesindo Hurlock B Elizabet. 1978. Perkembangan Anak, Alih Bahasa Med, Maitasari Tjandra, Dalam Child Development, Jakarta: PT Erlangga M. Arifin. 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara Nasution. 2000. Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta: PT Bumi Aksara Purwanto Ngalim,.1997. Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosda Karya Sardiman, A.M. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sumanto, Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet 3