Rakhil Fajrin
URGENSI REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PENDIDIKAN ANAK PERSPEKTIF PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Rakhil Fajrin1 Abstract : We often meet children with different character everyday. There are easy to be learned and so difficult to be learned, most of them are so diligent and the other so lazy to study. Sometimes, they want to study to get good knowledge or just to go a way from punishment. Actually, the bad characteristic that rise from the children are not born from their fitrah. It rise cause less warning since they still children from their parents or the generally teacher. So that, the big mistake if we let eveything about our action children, it is about small mistake or good action that they did it without give them reward or punishment balance. Exactly, there is no educator want to give punishment in education except if they need it. While reward has to be given to children in education process. When their actions are suitable to be continued. Using reward and punishment in education is very important. We have to know that giving punishment and reward have good thing and less thing depend on the subject and how do they do it. In education, this method is called by give appreciation. This method is hoped to be able to give them motivation to do progressive action, positive action, be the best more and more and also leave the bad action and the other. Keywords: children, reward dan punishment 1
Penulis adalah dosen tetap STAI Darussalam Krempyang Nganjuk.
31
Urgensi Reward Dan Punishment Dalam Pendidikan ...
Pendahuluan Substansi pembinaan dan pendidikan anak sesungguhnya bersandar kepada hati nurani para pendidik. Keikhlasan, kegelisahan, kemurungan hati, kebahagiaan dan kesenangan hati menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan suatu tindakan dalam pendidikan diterapkan, begitu pula pengetahuan, pengalaman dan kematangan emosi pendidik merupakan unsur terpenting yang perlu diperhatikan. Keunikan karakter yang lahir dan tumbuh pada diri anak merupakan bentuk awal dari perilaku yang bisa diamati. Mereka datang dari keluarga yang berbeda-beda dan membawa hasil pendidikan keluarga yang berbeda pula. Sebagian dari mereka memperoleh pendidikan layak dan muncul dengan karakter baik, sementara lainnya muncul dengan karakter kurang baik oleh sebab latar belakang pendidikan orang tua yang minim, sehingga seringkali orang tua mereka memilih cara instant untuk mendisiplinkan mereka dengan tidak memperhatikan dampaknya di masa depan. Dalam proses pendidikan, menyeragamkan perilaku anak dan membawa mereka ke arah yang lebih baik bukan hal mudah. Untuk itu perlu adanya caracara khusus yang bisa membantu proses pendidikan ke arah perubahan yang lebih baik. Di antaranya adalah dengan menggunakan ganjaran (reward) dan hukuman (punishment) dalam proses pendidikan. Seorang pendidik akan merasa kesulitan untuk membangkitkan kesadaran anak melakukan hal baik secara terus menerus, karena bagi anak tidak akan ada keuntungan yang mereka peroleh dengan melakukan hal tersebut. Sementara meminta mereka untuk tidak berbuat kesalahan atau sesuatu tidak baik dan bisa merugikan juga terasa sulit, dikarenakan mereka tidak mendapat contoh benar untuk memperbaiki kesalahan mereka, hanya keluh-kesah dan larangan saja yang umum dan akrab di telinga mereka. Untuk itu, dalam proses pendidikan adanya reward dan punishment mampu menjadi jalan tengah yang mengantarkan proses pendidikan menjadi lebih baik, berarti dan layak diuji. Reward diposisikan secara eksternal sebagai sumber motivasi bersama dengan punishment. Penggunaan kedua metode ini harus disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan anak pada masa32
Rakhil Fajrin
nya. Sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya:
Artinya: Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya (masanya). Jika anak dibesarkan dalam suasana serba konflik, jauh dari kasih sayang dan dengan pola asuh yang tidak sesuai dengan perkembangan usianya, secara teoritis maka akan terjadi suatu kecenderungan buruk. Anak mengalami keresahan jiwa dan identik melakukan tindakan-tindakan yang negatif dan desdruktif. Begitu juga sebaliknya jika anak hidup dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mengajarkan kebaikan, memberikan perhatian proporsional dan penuh kasih saying, maka dia akan tumbuh menjadi pribadi terarah, lebih bijak, jiwanya tenteram dan jauh dari perilaku-perilaku menyimpang. Oleh sebab itu, pembahasan ini memposisikan reward dan punishment sebagai dua bentuk metode pendidikan yang sangat urgent untuk dikaji lebih mendalam. Urgensi kajian ini dipetakan dalam beberapa substansi yang akan diuraikan melalui beberapa fungsi, kelebihan dan kekurangan reward dan punishment dalam pendidikan dari perspektif psikologi perkembangan. Pembahasan Reward adalah ganjaran atau hadiah yang dalam bahasa Arab diistilahkan tsawab, yang berarti pahala, upah dan balasan. Secara umum reward dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada seseorang dan merupakan bagian dari upaya untuk menyenangkan atau membahagiakan seseorang dengan tujuan tertentu. Tujuan pemberian ganjaran kepada seorang dalam konteks apapun berguna sebagai penguatan dalam membenarkan perilaku positif mereka. Selain itu, reward juga sebagai stimulus anak, untuk kembali melakukan perilaku positif dengan sepenuh hati dan berusaha berbuat lebih baik. Ini sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 82 berikut ini:
33
Urgensi Reward Dan Punishment Dalam Pendidikan ...
Artinya : Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah : 82)2 Pada sisi lain, punishment diartikan sebagai hukuman. Dalam literatur hukum Islam, punishment diistilahkan dengan ‘iqab, jaza’ dan ‘uqubah.3 Tujuan dari pemberian hukuman ini sebagai efek jera. Dalam hal ini Islam juga membenarkan pemberian hukuman untuk perilaku pelanggaran dan tidak dibenarkan, sebagaimana dipaparkan dalam QS. al-Baqarah: 257 berikut ini:
Artinya : Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah : 257).4 Ayat di atas menegaskan bahwa orang yang melakukan kebaikan sesuai dengan aturan, tatanan hukum dan tuntunan, akan mendapatkan balasan kebaikan berupa surga sebagai bentuk penghargaan kepada orang tersebut atas usahanya. Begitu juga dengan sebaliknya, setiap orang yang ingkar, melanggar dan berbuat dzalim atas ketentuan yang telah ditetapkan, akan mendapat ganjaran atas perilakunya tersebut yaitu neraka. Dalam perspektif pendidikan, keduanya merupakan reaksi dari seorang pendidik terhadap produktivitas dan kreativitas serta motivator kinerja. Punishment diberikan untuk perbuatan negative 2
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006), 15. http://pembelajaranpai.wordpress.com/2012/04/02/penerapan-reward-danpunishment-dalam-pembelajaran-pai. 4 Ibid, 53. 3
34
Rakhil Fajrin
atau jahat, sedangkan reward diperuntukkan perbuatan positif (hasanah). Berdasarkan fungsi, reward dan punishment tampak berlawanan, tetapi pada hakikatnya keduanya sama, yaitu bertujuan mendidik agar seseorang menjadi lebih baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukuman diartikan dengan (1) siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada pihak yang melanggar undang-undang dan sejenisnya, (2) keputusan yang dijatuhkan oleh hakim, (3) hasil atau akibat menghukum dan sebagai suatu bentuk sanksi yang diberikan pada anak, baik sanksi fisik maupun psikis jika anak melakukan kesalahan-kesalahan atau pelanggaran yang sengaja dilakukan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan.5 Reward merupakan bentuk reinforcement yang positif. Reward dan punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasi serta merupakan cara ampuh untuk membuat jera seseorang melakukan tindakan merugikan. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam segala bidang keilmuan, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan, mengingat reward dan punishment sering digunakan untuk memobilisasi proses dalam mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Meskipun demikian, penerapan reward sebagai alat untuk mendidik tidak boleh bersifat sebagai upah, mengingat upah merupakan sesuatu yang memiliki nilai sebagai ganti rugi dari suatu pekerjaan atau suatu jasa yang telah dilakukan oleh seseorang. Jika hadiah itu sudah berubah sifat menjadi upah, hadiah itu tidak lagi bernilai mendidik karena anak akan bersedia bekerja giat dan berlaku baik karena mengharapkan upah. Sedangkan punishment sebagai bentuk reinforcement negatif, tetapi jika digunakan atau diterapkan secara tepat dan bijak, akan menjadi sebuah alat motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang atau kapok kepada seseorang supaya mereka tidak berbuat atau mengulangi sesuatu perbuatan buruk lagi. Jadi, hukuman yang dilakukan harus bersifat pedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik. 5 Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), 219.
35
Urgensi Reward Dan Punishment Dalam Pendidikan ...
Dalam konsep pendidikan, punishment digunakan sebagai suatu tindakan preventif dan represif terhadap anak yang melakukan kesalahan atau pelanggaran, dengan tujuan agar anak sadar dan insaf dari keburukan dan berusaha untuk tidak mengulangi dan memperbaiki diri menjadi lebih baik. Penggunaan punishment ini tentu harus dengan cara-cara dan bentuk-bentuk yang patut, efektif dan efisien serta tidak bertentangan dengan bidang keilmuan dan agama. Meskipun demikian, penggunaan reward dan punishment harus memperhatikan prinsip-prinsip dan bentuk-bentuknya. Pemberian punishment harus dipertimbangkan secara cermat tentang kesesuaian dengan perbuatannya dan harus diprioritaskan efektivitas dan efisiensinya jika digunakan, karena ketidaktepatan punishment bisa berakibat fatal. Hukuman tidak harus berpusat kepada fisik seseorang, tetapi mempertimbangkan terlebih dahulu konsekuensinya jika menghukum bagian fisik. Sebagai contoh menjewer telinga, mencubit, menggunting rambut gondrong anak laki-laki karena tidak taat kepada aturan lembaga dan sudah mendapat peringatan atau teguran sebelumnya. Hal ini wajar dilakukan oleh seorang guru, selama dalam batas kewajaran dan tidak berlebihan. Perlu diperhatikan bahwa dalam memberikan punishment seorang pendidik harus menyampaikan maksud dan tujuan yang baik dan memberi tahu atau menunjukkan perilaku yang seharusnya dilakukan serta memberikan contoh yang layak dalam kehidupan sehari-hari. Reward dan punishment sama-sama diperlukan untuk memotivasi seseorang, terutama dalam bidang pendidikan, baik formal, informal maupun non-formal. Tujuan pemberian reward dan punishment dalam penerapannya akan menciptakan keseimbangan hukum dan fasilitator tercapainya suatu tujuan pendidikan. Oleh karena itu, khususnya kepada para guru, harus lebih memperhatikan bentuk-bentuk reward dan punishment yang variatif efektif dan efisien dalam pendidikan, karena tidak menutup kemungkinan penggunaan reward dan punishment secara tidak tepat bisa berakibat buruk kepada out put pendidikan itu sendiri. Prinsip Pemberian Reward dan Punishment Dalam memberikan reward, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para guru, yaitu (1) penilaian didasarkan kepada 36
Rakhil Fajrin
perilaku, bukan pelaku, (2) pemberian hadiah atau penghargaan harus ada batasnya, reward tidak bisa menjadi metode yang digunakan selamanya, proses ini cukup difungsikan hingga tahapan penumbuhan kebiasaan saja, saat proses pembiasaannya dirasa cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri, karena metode yang monoton atau variatif akan menyebabkan kejenuhan anak dalam proses belajar mengajar dan berpengaruh pada motivasi mereka, (3) dimusyawarahkan kesepakatannya, artinya setiap anak ditanya tentang hadiah yang layak diberikan, sehingga guru dituntut pandai dan sabar dalam mendiskusikan hadiah tersebut dan memberikan pengertian kepada anak bahwa selalu berusaha menjadi terbaik akan memperoleh kebaikan jauh lebih berharga dari sekarang, (4) memiliki standar pada proses bukan hasil, mengingat proses lebih penting daripada hasil. Proses pembelajaran merupakan usaha yang dilakukan anak untuk hasil terbaik, sedangkan hasil yang akan diperoleh nanti tidak bisa dijadikan patokan keberhasilannya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemberian punishment adalah ketika seorang guru memberikan hukuman kepada anak tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang menurut kehendak sendiri. Oleh karena itu, terdapat beberapa prinsip yang perlu diketahui para guru dalam memberikan punishment, yaitu (1) kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman, metode terbaik yang harus tetap diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak, memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya, memberikan pengakuan bahwa mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf atau mendapat pengaruh dari luar, (2) menghukum tanpa emosi, kesalahan yang paling sering dilakukan orang tua dan guru adalah saat menghukum anak disertai dengan emosi, bahkan emosi itu yang menjadi penyebab utama timbulnya keinginan untuk menghukum, dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman menjadi tidak efektif, (3) hukuman sudah disepakati, mendialogkan peraturan dan hukuman dengan anak memiliki arti yang sangat besar bagi anak, selain untuk kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga sebagai suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain karena anak merasa dihargai orang 37
Urgensi Reward Dan Punishment Dalam Pendidikan ...
tua, (4) harus melalui beberapa tahapan, yaitu mulai dari yang paling ringan hingga menjadi yang terberat dan membawa efek jera kepada anak. Bentuk Pemberian Reward dan Punishment Setiap perilaku yang dilakukan seorang pendidik kepada peserta didik harus memiliki tujuan jelas dan mendukung pendidikan. Demikian juga reward, tujuan pemberian reward kepada seseorang adalah sebagai penguat terhadap perilaku positif yang telah dilakukan. Terdapat beberapa bentuk reward yang dapat diberikan, yaitu komunikasi non-verbal, seperti pujian, imbalan materi, hadiah dan bentuk pengakuan, seperti dedikasi kepada peserta didik lain tentang peserta didik yang mendapat pengakuan lebih baik sebagai uswah untuk lainnya. Saat pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas, bentuk-bentuk reward yang dapat diterapkan oleh seorang pendidik, yaitu ekspresi verbal atau memberikan pujian, memberikan imbalan berupa materi atau hadiah yang mendukung kegiatan pendidikan, memandang dan tersenyum, menuliskan namanya di papan tulis, menunjukkan kebaikan, mengganggap pendidik bagian dari peserta didik dan memberikan wejangan dan motivasi di dalamnya. Sedangkan bentuk-bentuk punishment yang dapat digunakan oleh pendidik adalah (1) peringatan dengan pemberian nasihat dan bimbingan disesuaikan tingkat kesalahannya, (2) wajah masam atau bahasa tubuh yang menunjukkan ketidakberkenannya pendidik atas sikap peserta didik yang tidak patut, (3) teguran keras, (4) menghentikan perbuatan anak saat itu juga, (5) memalingkan wajah dan mendiamkan, (6) cercaan atau ucapan tegas yang identik dengan marah namun dalam batas kewajaran, bukan ucapan yang menyakitkan dan mengandung unsur untuk memperburuk keadaan, (7) hukuman orang tua yang umumnya membuat anak jera dan masih dalam batas kewajaran, dan memberi pukulan ringan sebagai alternatif terakhir.6 Bentuk hukuman lain juga bisa digunakan para pendidik untuk pembinaan perilaku anak, seperti (1) hukuman dalam 6 http://pembelajaranpai.wordpress.com/2012/04/02/penerapan-reward-danpunishment-dalam-pembelajaran-pai/
38
Rakhil Fajrin
bentuk kegiatan tidak menyenangkan, misalnya berdiri di depan kelas, dikeluarkan dari kelas, didudukkan atau diberdirikan di samping guru, jika pendidikan ini di lingkungan madrasah, (2) mengurangi fasilitas anak, seperti mengurangi jam menonton televisi, mengurangi uang saku dan sejenisnya, untuk pendidikan di lingkungan keluarga, (3) mengurung anak di dalam ruang kosong dalam beberapa waktu, agar muncul perenungan dan penyesalan atas kesalahannya, untuk pendidikan di lingkungan keluarga, (4) hukuman yang sifatnya mendidik berupa pembiasaan baik, namun juga membuat anak jenuh dan akan berpikir ulang jika mengulangi kesalahannya lagi, misalnya membaca al-Qur’an, membaca istighfar atau menulisnya dengan batas tertentu sesuai kondisional, (5) hukuman fisik, misalnya mencubit, menampar, memukul dengan rotan, namun tidak sampai membuat cidera anak, hanya cukup untuk membuat jera anak. Berdasarkan beberapa bentuk hukuman di atas, ternyata hukuman tidak identik dengan sentuhan fisik saja. Pemberian hukuman fisik dilakukan jika semua tahapan sudah dilakukan dan tidak ada perubahan signifikan pada perilaku anak, disertai dengan kata-kata motivasi dan memberikan penjelasan tentang tujuan pemberian hukuman, agar tidak muncul kesan menghukum itu menyakiti anak. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa anak dengan kecenderungan desduktrif tidak boleh terus menerus diberi punishment, sesekali dengan cara memberikan reward berupa pujian atau perilaku verbal yang menunjukkan rasa simpatik dan senang terhadap perilakunya yang baik dan benar. Sebagai agama yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia, Islam menyarankan penggunaan kedua metode tersebut sebagai alternatif dalam mendidik anak. Selain berupa konseptual, ajaran Islam juga telah memberikan penjelasan tentang teknik penerapan reward dan punishment dalam upaya pembentukan perilaku. Berbagai teknik penggunaan reward yang diajarkan Islam di antaranya adalah (1) dengan ungkapan kata, penggunaan teknik ini dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw ketika memuji cucunya, al-Hasan dan al-Husain, yang menunggangi punggung saat sedang shalat, guru diharapkan mengikuti makna-makna untuk memberikan reward atau pujian yang akan bermanfaat dan lebih menarik 39
Urgensi Reward Dan Punishment Dalam Pendidikan ...
perhatian, (2) dengan memberikan suatu materi, selain untuk menunjukkan perasaan cinta, tetapi juga dapat menarik cinta dari anak, terutama jika hal itu tidak diduga sebelumnya oleh anak, dengan syarat benda yang diberikan terdapat relevansi dengan kebutuhan pendidikan, (3) dengan memberikan senyuman atau tepukan, sebagai sebuah sedekah. Pelaksanaan punishment harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan anak dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Agar teknik ini tidak dilaksanakan seenaknya, maka setiap pendidik harus memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian hukuman, yaitu pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta dan kasih sayang, harus didasarkan kepada alasan keharusan, harus menimbulkan kesan di hati anak, harus menimbulkan kesadaran dan penyesalan kepada anak dan harus diikuti dengan pemberian maaf serta harapan dan kepercayaan. Pemberian punishment seperti ini juga sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk teguran langsung ataupun melalui pukulan yang mendidik dan tidak berbahaya bagi anak.7 Perspektif Psikologi Perkembangan Kedudukan reward dan punishment dalam kajian psikologi perkembangan pada konteks pendidikan memiliki implikasi beragam. Hal ini bergantung kepada individu bersangkutan, baik subyek maupun obyek. Menurut psikologi perkembangan, untuk memenuhi kebutuhan seseorang sebagai anak didik, para pendidik memiliki kemampuan memberikan hadiah atau penghargaan (reward). Dalam psikologi perkembangan, hadiah merupakan segala sesuatu yang diberikan pendidik kepada anak didik dengan tujuan tertentu guna kelancaran proses pendidikan. Para pendidik dengan beragam cara dapat membuat perasaan jiwa anak didik senang, ataupun tidak senang, baik dengan memberi kejutan sebagai motivator untuk lebih maju (reward) ataupun melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa jera atau tidak senang sebagai 7 http://uin-malang.ac.id:8080/index.php?option=com_content&view=article&id= 1 3 3 7 :m emuji-atau- menghukum-m ana-yang-l ebih-efekti f-dalam-men didikanak&catid=35:artikel&Itemid=210
40
Rakhil Fajrin
bentuk punishment. Pakar psikologi perkembangan menyebut punishment sebagai lawan dari reward. Reward adalah segala sesuatu yang diberikan atau dilakukan dalam hasil penerimaan, ini bisa kembali kepada suatu abstrak ataupun kongkrit. Reward dapat berupa situasi atau daftar verbal yang menghasilkan kepuasan atau meningkatkan kemungkinan mempelajari tindakan. Ini menunjukkan bahwa terdapat sinyalemen reward dan tidak selamanya berupa materi. Doktrin reward identik dengan hadiah berupa benda atau barang, diberikan dengan tujuan tertentu, seperti kado, parsel, bingkisan atu lainnya. Elizabeth B. Hurlock memposisikan reward sebagai salah satu pilar dari disiplin. Reward, lanjutnya, berarti setiap bentuk penghargaan untuk suatu hasil baik, penghargaan tidak perlu berbentuk materi, tetapi berupa kata-kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung8 yang berarti bangga. Pendapat ini senada dengan Thomson, yang menyatakan bahwa reward, sebagai penguatan positif, dapat diberikan dengan dua model. Pertama pemberian hadiah kasih, berupa memuji, menepuk punggung, memeluk atau menyentuh dengan penuh kasih. Kedua pemberian hadiah materi, seperti pergi ke restoran untuk makan es krim, memberi permen atau cokelat, menambah waktu untuk menonton televisi, mengijinkan menonton acara khusus atau membawanya untuk rekreasi.9 Menurut Durkheim, reward secara eksklusif berupa ucapan penghargaan dan pujian secara terbuka, sehingga ungkapan rasa hormat dan kepercayaan bagi seseorang yang telah berbuat baik terasa istimewa sekali. Namun, Durkheim mengingatkan bahwa sangat kecil peran dalam reward terhadap kesadaran moral, karena reward adalah instrumen budaya intelektual, bukan budaya moral.10 Meskipun demikian, jika seseorang sering mendapatkan 8 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, terj. Med. Meitasari Tjandrasa (Jakarta: Erlangga, 1990), 90. Abdurrahman Mas’ud lebih senang menggunakan kata prestasi, yang harus diberikan penghargaan dalam arti luas dan fleksibel tanpa terfokus kepada materi. Baca Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28 November 1997, 23. 9 Mary Go Setiawani, Menembus Dunia Anak (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 57 . 10 Emile Durkheim, Pendidikan Moral, terj. Lukas Ginting (Jakarta: Erlangga, 1990), 14 8.
41
Urgensi Reward Dan Punishment Dalam Pendidikan ...
reward dalam lingkungan pendidikan formal, dan pada suatu ketika tinggal dalam suatu lingkungan masyarakat yang tidak mengenal reward, maka akan menyebabkan seseorang itu harus berusaha membangun bagian hidup moralnya sendiri dan mengalami adanya ketidakpedulian yang tidak dipelajarinya di lembaga pendidikan formal seperti sebelumnya. Hal ini bukan berarti bahwa reward tidak memuat nilai manfaat sama sekali, tetapi sering penerima reward menghitung-hitung dan menumpuk-numpuknya secara membabi buta, sehingga sekilas reward identik dengan suap. Jika reward lebih diidentikkan dengan budaya intelektual yang lebih menekankan ilmu pengetahuan, berarti masih terkait dengan moral itu sendiri. Reward yang baik, bijak dan mengarah kepada kebajikan akan berimbas kepada ketenteraman batin, rasa penghargaan diri dan simpati bagi penerima, akan tetapi cukup banyak alasan untuk percaya bahwa prestise (pengaruh) dalam lingkungan pendidikan akan selalu berkaitan secara eksklusif kepada manfaaat intelektual, sehingga hal ini mengharuskan bagi pendidik agar lebih banyak memperhatikan sifat-sifat sekarang ini, yaitu sesuatu yang sering dianggap sebagai suatu hal sekunder. Reward pada dasarnya digunakan dalam arti luas dan fleksibel, tidak terbatas kepada sesuatu pemberian bersifat materi semata, tetapi inti darinya menimbulkan efek rasa senang, kepuasan batin dan simpatik terhadap hal yang telah diperbuat, sehingga muncul sesuatu bersifat positif. Reward jauh dari nilai suap. Di sisi lain, punishment dipahami sebagai suatu gambaran dari tindakan menghukum terhadap suatu kesalahan. Menurut Hanafi Anshari, punishment dikategorikan ke dalam tiga batasan. Pertama, perubahan rasa sakit atau tidak suka terhadap subyek karena kegagalan perbuatan untuk menyesuaikan diri terhadap batasan dalam eksperimen. Kedua, suatu rangsangan dengan valensi negatif atau rangsangan yang sanggup untuk mengubah rasa sakit atau ketidaksenangan. Ketiga, gangguan terhadap periode pengurangan pada orang yang resmi bersalah, lawan dari pada reward.11 Pada titik tertentu, Elizabeth mensejajarkan punishment dengan konsep disiplin, di samping punishment juga merupakan salah satu 11
42
M. Hafi Anshari, Kamus Psikologi (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), 537.
Rakhil Fajrin
pilar dari disiplin itu sendiri.12 Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya jika terjadi suatu pelanggaran peraturan dan perintah, karena pengaruh punishment lebih tegas dan terdapat unsur pencegahan terhadap perilaku dari pihak pelanggar. Durkheim juga berpendapat bahwa setiap punishment identik dengan resiko kesusahan yang harus dihitung pelanggar, sehingga dapat menghindari kesukaran tersebut dengan mempertimbangkan masih banyaknya kombinasi lingkungan.13 Dengan kemampuan menghitung resiko jika melakukan perbuatan melanggar, kemungkinan seseorang dapat memilih perbuatan lain lebih baik dan tidak melanggar. Sebagai hasil akhir, akan menimbulkan kesadaran diri atas bantuan dari resiko yang ditimbulkan oleh punishment. Psikologi perkembangan meninjau ulang tentang bentuk punishment, yang sering digambarkan sebagai bentuk perlakuan fisik. Hukuman oleh kebanyakan orang diartikan sebagai hukuman badan, yaitu menimbulkan rasa sakit dengan menempeleng, memukul, merajam dan sejenisnya. Anggapan ini terbentuk sebagai satu-satunya cara efektif untuk mencegah terulangnya perilaku anak yang tidak dikehendaki dan dianggap salah. Bahkan banyak orang tua dan pendidik merasa bahwa hukuman badan merupakan cara ampuh untuk membuat anak didik jera.14 Hukuman badan muncul pada awal peradaban. Jika tidak ada sebab lain mempengaruhi, orang menganggap bahwa penerapan hukuman badan akan kehilangan dasar, karena jika kesadaran moral suatu bangsa menjadi semakin halus jika tingkah laku menjadi semakin lemah lembut, maka kekerasan seperti itu akan menjadi menjijikkan. Namun pada periode perkembangan, sistem represif ini bukan menurun, tetapi semakin meningkat dan meluas selama berabad-abad dengan bentuk bervariatif sesuai masanya. Kesimpulan ini diambil dari sampel penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat. Hukuman berubah bentuk menjadi lebih permisif dan lunak akan tetapi populer, seperti mengisolasi anak dari lingkungan sosial jika berperilaku buruk, melarang anak 12
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, 82. M. Hafi Anshari, Kamus Psikologi,137. 14 Nur’aeni, Intervensi Dini Bagi Anak Bermasalah (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 13 8. 13
43
Urgensi Reward Dan Punishment Dalam Pendidikan ...
menikmati kesenangan tertentu, manakut-nakuti, mempermalukan, mengancam, membandingkan dengan lainnya, mengomel dan berulang-ulang mengungkit pelanggarannya. Menurut psikologi perkembangan, cara menghukum fisik sangat dilarang dan harus ditinggalkan karena dianggap primitif. Dalam lingkungan keluarga, dampak negatif dari hukuman fisik masih bisa dinetralisasi dengan hubungan kelembutan dan cinta yang tidak henti-hentinya antara orang tua dan anak-anaknya, dan dengan keakraban hidup yang bisa mengurangi arti kekerasan semacam itu. Namun tidak demikian dengan lingkungan pendidikan formal, tidak dijumpai cara apapun yang dapat memperlunak atau menetralisasi kekerasan tersebut, sebab hukuman dikenakan secara impersonal. Di samping itu, punishment bersifat fisik secara umum tidak membawa dampak positif, justeru membawa kesan negatif terhadap anak. Inti dari punishment akan lebih baik jika menimbulkan sense of guilty, yaitu rasa bersalah dalam diri sehingga membangkitkan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan sama dengan berbuat lebih baik. Punishment, secara umum, adalah upaya untuk mengajak anak memperbaiki kesalahan yang dalam pelaksanaannya bisa berbentuk fisik ataupun non-fisik. Terdapat empat alasan hukuman fisik tidak dapat diterima. Pertama, secara tidak sadar memberi pukulan mengajarkan pada anak untuk memukul. Kedua, jika orang tua kehabisan akal atau kurang pengetahuan untuk membuat jera anak, maka dengan emosi dan kekerasan pukulan akan diberikan. Ketiga, dari hasil penyelidikan terhadap seekor tikus yang tidak tersesat lalu diberikan makanan hasilnya akan lebih baik dibandingkan jika tersesat lalu diberi aliran listrik. Hal ini artinya anak akan mencoba menghindar dari pukulan atau hukuman fisik dengan perilaku buruk yang menguntungkan, seperti berbohong dan sejenisnya. Keempat, memukul dapat melukai harga diri anak, mengurangi kepercayaan terhadap pendidik, bahkan menghindari dan membencinya. Reward dan Punishment Dalam Pendidikan Dalam dunia pendidikan, reward merupakan salah satu alat motivasi yang bisa mengasosiasikan perbuatan seseorang dengan perasaan bahagia, senang dan akan membuat rela melakukan suatu perbuatan lebih baik secara berulang-ulang. Selain sebagai moti44
Rakhil Fajrin
vator, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi lebih giat dalam berusaha untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi sehingga seseorang tidak cepat puas dengan prestasi atau kebaikannya. Terdapat tiga fungsi penting dari reward dalam dunia pendidikan, yaitu (1) memiliki nilai pendidikan, karena hadiah merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang membuat anak segera tahu bahwa tingkah lakunya itu baik, (2) memotivasi anak untuk rela mengulangi tingkah laku baik secara kontinyu, karena anak secara umum akan bereaksi positif terhadap penerimaan lingkungan yang diekspresikan lewat hadiah, hal ini mendorong mereka bertingkah laku baik agar mendapat hadiah lebih banyak, (3) memperkuat tingkah laku yang dapat diterima lingkungan. Dalam konteks pemberian punishment, terdapat tiga fungsi penting bagi perkembangan moral anak, yaitu fungsi reskriptif, pendidikan dan motivasi. Fungsi restriktif berarti bahwa hukuman dapat menghalangi terulangnya kembali perilaku yang tidak diinginkan pada anak. Jika seorang anak pernah mendapat hukuman karena telah melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran, maka akan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang serupa di masa datang. Fungsi pendidikan berarti bahwa hukuman yang diterima anak merupakan pengalaman bagi anak dan dapat dijadikan pelajaran berharga. Anak mampu belajar tentang salah dan benar melalui hukuman kepadanya. Hal ini menyadarkan anak tentang suatu aturan, sehingga bisa menuntunnya untuk memastikan boleh atau tidaknya suatu tindakan dilakukan. Fungsi motivasi berarti bahwa hukuman dapat memperkuat motivasi anak untuk menghindarkan diri dari tingkah laku salah. Dari pengalaman hukuman yang pernah diterima anak, maka anak merasakan bahwa menerima hukuman merupakan suatu pengalaman kurang menyenangkan, dengan demikian anak bertekad tidak mengulangi kesalahan sama dan akhirnya timbul dorongan untuk berperilaku wajar, yaitu perilaku yang diinginkan dan dapat diterima oleh kelompoknya. Pemberian reward dan punishment, sebagai sebuah teknik, juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari reward perlu diperhatikan sebagai acuan para pendidik untuk menerapkan re45
Urgensi Reward Dan Punishment Dalam Pendidikan ...
ward dalam dunia pendidikan, seperti (1) memberikan pengaruh cukup besar terhadap jiwa seseorang untuk melakukan perbuatan positif dan bersikap progresif, (2) dapat menjadi pendorong bagi seseorang untuk mengikuti orang lain yang telah memperoleh reward, baik dalam tingkah laku, sopan santun atau semangat dan motivasinya untuk berbuat yang lebih baik. Proses ini sangat besar kontribusinya dalam memperlancar pencapaian tujuan pendidikan. Di samping memiliki kelebihan, pemberian reward juga memiliki kekurangan, seperti (1) dapat menimbulkan dampak negatif jika seorang pendidik melakukannya secara berlebihan, sehingga mungkin bisa mengakibatkan anak didik merasa bahwa dirinya lebih tinggi dari teman-temannya, (2) umumnya hadiah membutuhkan alat tertentu, ini bisa diartikan dengan biaya untuk penerapan reward, sehingga terkadang perlu adanya pengorbanan materi untuk mewujudkan reward dalam struktur tertentu. Punishment memiliki kesamaan dengan reward dalam hal memiliki kelebihan jika dilaksanakan dengan benar, di antaranya (1) merasakan akibat perbuatannya sehingga akan menghormati dirinya, (2) anak didik berupaya tidak lagi melakukan kesalahan yang sama, (3) punishment akan menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan anak didik. Sedangkan kekurangan pemberian punishment yang diberikan tidak efektif, kurang patut, membahayakan anak didik, baik psikis maupun fisik dan berlebihan, maka akan timbul beberapa kelemahan, antara lain (1) akan membangkitkan suasana rusuh, takut dan kurang percaya diri, (2) anak didik akan selalu merasa sempit hati, bersifat pemalas dan akan menyebabkan suka berdusta, karena takut dihukum, (3) mengurangi keberanian anak didik untuk bertindak dan mengurangi keberaniannya untuk mencoba. Penutup Reward merupakan alat pendidikan preventif dan represif yang menyenangkan dan bisa menjadi pendorong atau motivator belajar bagi seseorang, sedangkan punishment dapat diartikan sebagai suatu bentuk sanksi yang diberikan kepada seseorang, baik sanksi fisik maupun psikis jika melakukan kesalahan-kesalahan atau pelanggaran yang sengaja dilakukan terhadap aturan-aturan yang 46
Rakhil Fajrin
telah ditetapkan. Reward dan punishment adalah dua jenis metode yang bisa digunakan dalam praktik pendidikan, baik formal, informal maupun non-formal, keduanya harus difungsikan sesuai dengan prinsip dan bentuk-bentuknya. Punishment berupa hukuman fisik, boleh digunakan ketika alternatif lain sudah tidak mampu memecahkan persoalan yang dihadapi. Penggunaan reward dan punishment akan menunjang kelancaran proses pendidikan jika sesuai dengan aturannya. Dalam ajaran Islam, penggunaan kedua metode tersebut sangat disarankan dalam upaya pembentukan perilaku anak.*
DAFTAR PUSTAKA Anshari, M. Hafi. Kamus Psikologi. Surabaya: Usaha Nasional, 1996. Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006. Departemen Pendidikan Nasional RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Durkheim, Emile. Pendidikan Moral, terj. Lukas Ginting. Jakarta: Erlangga, 1990. Go Setiawani, Mary. Menembus Dunia Anak. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. http://pembelajaranpai.wordpress.com/2012/04/02/penerapan-reward-dan-punishment-dalam-pembelajaran-pai. h ttp://ui n _ma l an g.ac .i d:8080/i n dex.ph p?opti on =c om_ content&view=article&id=1337:memuji-atau-menghukummana-yang-lebih-efektif-dalam-mendidik-anak&catid= 35:artikel&Itemid=210 Hurlock, Elizabeth B. Perkembangan Anak, terj. Med. Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga, 1990.
Mas’ud, Abdurrahman. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28 November 1997. Nur’aeni. Intervensi Dini Bagi Anak Bermasalah. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
47