BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Bentuk-Bentuk Program Penanggulangan Kemiskinan 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan tiga konsep yaitu kemiskinan itu sendiri (poverty) yang menggambarkan ketidakmampuan seseorang atau suatu kelompok
masyarakat
dalam
memenuhi
kebutuhan
dasar
hidupnya,
ketidakmerataan, dan ketidakadilan (inequality) dalam sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta kerentanan (vulnerability) seseorang atau sekelompok orang dapat menjadi miskin atau menjadi lebih parah kemiskinannya (Krisnamurthi 2006). Mereka yang menghadapi masalah kemiskinan dapat dikategorikan antara lain seperti yang di gambarkan pada Gambar 1.
Garis Kemiskinan “Struktural” Hampir miskin dan rentan untuk A menjadi miskin
B
C
D
Garis Kemiskinan ‘institusional’
Miskin dan aktif E secara ekonomi
F
G
H
Miskin dan tidak I aktif secara ekonomi
J
K
L
Accidental
Struktual
Lanjut Usia
Anak
Usia Kerja Sumber: Khrisnamurthi (2006)
Gambar 1 Matriks "Peta" Kemiskinan Indonesia
Gambar 1 merupakan “peta” hipotetik rakyat miskin di Indonesia. Diantara orang miskin terdapat mereka yang “miskin tidak aktif secara ekonomi’ (I, J, K, dan L). Mereka adalah kelompok masyarakat yang benar-benar miskin. Kelompok
masyarakat
ini
membutuhkan
dukungan
bahkan
untuk
6
mempertahankan kebutuhan hidupnya. Bagi kelompok ini, salah satu program yang diperlukan adalah yang serupa Jaringan Pengaman Sosial (JPS) atau bentukbentuk bantuan langsung. Kelompok kedua adalah mereka yang termasuk kategori miskin tetapi masih memiliki kegiatan ekonomi aktif (E, F, G, dan H). Pada kelompok ini aspek dukungan, stimulasi dan proteksi ekonomi, termasuk dalam hal pembiayaan, menjadi faktor yang penting. Kelompok ketiga adalah mereka yang berada ‘dekat’ dengan garis kemiskinan, kelompok yang hampir miskin (A, B, C, dan D). Kelompok ini sering tidak dimasukkan dalam sasaran program penanggulangan kemiskinan, tetapi sebenarnya mereka sangat rentan terhadap guncangan yang akan menyebabkan mereka berada dibawah garis kemiskinan. Merekapun membutuhkan dukungan, stimulasi, dan proteksi ekonomi. Muttaqien (2006) menyatakan bahwa kemiskinan di wilayah pedesaan dapat dijabarkan dalam indikator sebagai berikut: 1. Kurangnya kesempatan memiliki lahan pertanian (mata pencaharian paling utama penduduk pedesaan). 2. Kurangnya modal bagi penduduk pedesaan. 3. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat desa. 4. Terbatasnya lapangan pekerjaan, biasanya hanya tergantung pada pertanian dan kelautan. 5. Rendahnya kualitas kesehatan masyarakat. 6. Kurangnya kesempatan memperoleh kredit usaha. 7. Kurangnya produktivitas usaha. 8. Kurangnya pendidikan yang berkualitas. 9. Kurang terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan). 10. Sistem pertanian bertumpu pada cara tradisional. 11. Sistem pemerintahan yang buruk, terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. 12. Kurangnya akses terhadap informasi. 13. Kurangnya akses terhadap air bersih. 14. Lingkungan yang kurang mendukung, seperti kekeringan berkepanjangan. 15. Kurangnya partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan publik pada tingkat yang lebih tinggi.
7
16. Kurangnya budaya menabung, investasi, dan disiplin dalam masyarakat. 2.1.2 Penyebab Kemiskinan Secara konseptual, kemiskinan dapat diakibatkan oleh empat faktor, yaitu: 1. Faktor individual. Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis orang miskin yang disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari sisi mereka sendiri dalam menghadapi kehidupannya. 2. Faktor sosial. Kondisi-kondisi sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin, misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, jender, etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin, bahkan kondisi sosial dan ekonomi keluarga yang menyebabkan kemiskinan antar generasi. 3. Faktor kultural. Kondisi atas kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjukkan pada konsep “kemiskinan kultural” atau “budaya kemiskinan” yang menghubungkan kemiskinan dengan kebiasaan hidup. 4. Faktor struktural. Menunjukkan pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin (Suharto 2009) Krisnamurthi (2006) menjelaskan beberapa penyebab kemiskinan yang telah dikelompokkan agar sesuai dengan pemahaman atas kondisi kemiskinan yang dihadapi, yaitu: 1. Kemiskinan absolut. Terjadi bila seseorang, keluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatannya atau pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan. 2. Kemiskinan relatif. Terjadi jika seseorang, keluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatannya atau pengeluarannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan atau pengeluaran masyarakat sekitarnya. 3. Kemiskinan kronis atau struktural. Terjadi jika kondisi kemiskinan berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama. 4. Kemiskinan sementara atau ‘accidental’. Terjadi akibat adanya perubahan atau ‘shock’ yang mengakibatkan seseorang atau keluarga atau masyarakat berubah dari tidak miskin menjadi miskin.
8
5. Kemiskinan massal. Terjadi jika sebagian besar dari masyarakat mengalami kemiskinan. 6. Kemiskinan individual. Terjadi jika hanya beberapa orang atau sebagian kecil masyarakat mengalami kemiskinan. Krisnamurthi (2006) juga menjelaskan penyebab kemiskinan jika dilihat dari konsep dan teori, diantaranya: 1. Teori lingkaran setan kemiskinan. Teori ini menegaskan bahwa kemiskinan terjadi karena suatu kondisi yang dihadapi oleh masyarakat miskin sehingga membuat kemiskinan tersebut tetap berada dalam masyarakat tersebut. 2. Teori eksploitasi. Kemiskinan dapat pula dipandang sebagai hasil dari eksploitasi suatu kelompok masyarakat atas masyarakat lain. 3. Teori kemiskinan struktural. Kemiskinan juga dapat dikonsepkan sebagai kondisi logis dari persaingan yang tidak ‘fair’. Persaingan yang tidak sehat ini akhirnya akan membuat kegiatan masyarakat miskin semakin miskin. 4. Teori ketidakmampuan mengatasi kemiskinan. Kemiskinan yang berkembang juga disebabkan oleh ketidakmampuan para pengambil keputusan dalam mengatasi kemiskinan yang sudah ada. Ketidakmampuan tersebut timbul baik karena kurangnya komitmen dalam penanggulangan kemiskinan maupun tertinggal
berbagai
keterbatasan
dalam
kemampuan
menanggulangi
kemiskinan atau gabungan dari keduanya.
2.1.3 Ukuran Kemiskinan Menurut
Sayogyo
(1977),
kemiskinan
(poverty)
pada
dasarnya
menggambarkan kondisi kesejahteraan yang buruk. Indikator yang digunakan yaitu dengan pendekatan konsumsi atau pengeluaran. Pendekatan ini lebih baik dari pendekatan pendapatan, karena: dalam survei lebih tepat dilaporkan (daripada angka penghasilan), selain itu pendekatan pengeluaran sudah mencakup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu, dan pinjaman. BPS (2009b) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) untuk mengukur kemiskinan. Melalui pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
9
pengeluaran. Adapun 14 kriteria keluarga miskin yang dikeluarkan oleh BPS dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Sosial oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2008) sebagai berikut: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bamboo/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal dari bamboo/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp600.000,00 per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500.000,00 seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
2.1.4 Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 15 tahun 2010, mengenai percepatan penanggulangan kemiskinan pasal 1 pada poin 1 dan 2, dijelaskan bahwa penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan program
10
pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat. Sedangkan program penanggulangan kemiskinan yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
miskin
melalui
bantuan
sosial,
pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi. Priyarsono et al. (2006) secara umum upaya penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama yang ditempuh. Pertama, melakukan berbagai upaya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara akibat negatif krisis ekonomi dan kemiskinan struktural. Kedua, melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, antara lain, memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha dan mencegah terjadinya kemiskinan baru. Sebagai upaya menanggulangi kemiskinan perlu dilakukan pendekatan multisektor yang saling terkait. Kebijakan pengendalian stabilitas moneter dan fiskal juga harus diperhatikan, guna menghindari adanya goncangan ekonomi secara mendadak, sehingga upaya penanggulangan kemiskinan di pedesaan maupun di perkotaan, baik melalui kebijakan perbaikan produksi, harga, investasi, dan kebijakan lainnya bisa berjalan dengan baik (Daryanto 2006). Menurut Muttaqien (2006) beberapa kebijakan secara umum yang dijalankan oleh pemerintah pusat untuk menanggulangi kemiskinan pedesaan adalah (1) mengusahakan pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar seperti sembako gratis kepada rakyat miskin di pedesaan, (2) memberikan kredit usaha tani, penyaluran kredit sebagai modal usaha, jaminan usaha serta KUD, (3) mengadakan sarana dan prasarana di pedesaan terutama yang menunjang pertanian, (4) pelayanan kesehatan dengan mendirikan Puskesmas dan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan seperti dokter, bidan, dan perawat, (5) pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah Inpres, (6) Listrik Masuk Desa
11
(LMD), dan (7) melengkapi sarana kesehatan yang lain seperti sanitasi dan air bersih.
2.1.5 Program Keluarga Harapan Pedoman Program Keluarga Harapan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial (2007) menjelaskan pengertian Program Keluarga Harapan (PKH), yaitu program yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), yaitu melalui pendidikan dan kesehatan. Tujuan utama PKH yaitu untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada kelompok masyarakat miskin dan tujuan tersebut sekaligus sebagai upaya mempercepat pencapaian target MDGs. Sedangkan tujuan khusus dari PKH sebagai berikut: 1. Meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM. 2. Meningkatkan taraf pendidikan anak RTSM. 3. Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas dan anak di bawah 6 tahun dari RTSM. 4. Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan , khususnya bagi RTSM. Adapun manfaat dari PKH yaitu: 1. Untuk jangka pendek memberikan income effect kepada rumah tangga miskin melalui pengurangan beban pengeluaran rumah tangga miskin. 2. Untuk jangka panjang dapat memutus rantai kemiskinan antar generasi melalui: a. Peningkatan
kualitas
kesehatan/nutrisi,
pendidikan
dan
kapasitas
pendapatan anak dimasa depan (price effect anak keluarga miskin). b. Memberikan kepastian kepada anak keluarga miskin dimasa depan. 3. Merubah perilaku keluarga miskin yang relatif kurang mendukung peningkatan kesejahteraan akibat antara lain: a. Kurangnya
informasi
mengenai
hak,
manfaat,
keuntungan,
dan
kesempatan. b. Tingginya biaya tidak langsung.
12
c. Opportunity Cost (anak bekerja lebih “menguntungkan” daripada bersekolah). 4. Mengurangi pekerja anak. 5. Peningkatan kualitas pelayanan dan barang publik melalui complementary perbaikan akses pendidikan dan kesehatan keluarga miskin, penyempurnaan sistem perlindungan sosial dan pelaksanaan desentralisasi. 6. Mempercepat pencapaian MDGs. Program ini bukan dimaksudkan sebagai kelanjutan program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang diberikan dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. PKH lebih dimaksudkan sebagai upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin. Keikutsertaan daerah dilakukan melalui dua tahap, yaitu: a. Tahap pertama, pemilihan provinsi yang dilakukan atas dasar kesediaan pemerintah provinsi pada saat Musrenbang tahun 2006. Sebanyak tujuh provinsi telah dipilih sebagai daerah uji coba pelaksanaan PKH, yaitu Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. b. Tahap kedua, pemilihan kabupaten/kota dan kecamatan. Dari ke tujuh provinsi yang telah terpilih, selanjutnya dipilih sejumlah kabupaten/kota dan dengan kriteria: (i) tingginya angka kemiskinan, (ii) angka gizi buruk dan angka transisi dari SD/MI ke SMP/MTs, (iii) ketersediaan sarana dan prasarana baik pendidikan maupun kesehatan, serta (iv) adanya komitmen daerah. Keikutsertaan daerah dalam PKH ditentukan juga oleh kesediaan pemerintah daerah untuk melaksanakan PKH. Hal ini dimaksud untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang merupakan salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan program. Untuk itu, sebelum pelaksanaan dimulai, pimpinan daerah (Bupati) harus menandatangani surat pernyataan menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang dibutuhkan dalam program PKH termasuk segala aspek yang berkaitan didalamnya.
13
2.2 Kinerja Nawawi (2006), Kinerja bukan sifat atau karakterisrik individu, melainkan kemampuan kerja yang ditunjukkan melalui proses atau cara bekerja dan hasil yang dicapai. Secara praktis kinerja dapat diartikan sebagai upaya yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas pokoknya. 2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Program Penanggulangan Kemiskinan Kinerja program penanggulangan kemiskinan yang telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, swasta maupun LSM, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor itu adalah persiapan institusi yang memberikan program. Persiapan yang tidak matang akan mempengaruhi jalannya program yang dijalankan. Sebagai contoh Hermanto et al. (1995), menyatakan bahwa terdapat beberapa kendala yang diakibatkan oleh kurang matangnya persiapan institusi pada program penanggulangan kemiskinan melalui sub sektor perikanan, seperti koordinasi perencanaan yang lemah, yaitu hanya dilakukan dengan dinas perikanan saja dan kurang dilakukan dengan instansi terkait dan Pemda. Koordinasi yang lemah kurang mendapat dukungan dari instansi terkait lainnya dan jika akhirnya ada permasalahan yang muncul tidak dapat segera ditangani secara koordinatif. Selain masalah koordinasi, terbatasnya waktu perencanaan, menjadi salah satu faktor pelemah, yang menyebabkan melemahnya perencanaan dan pelaksanaan bantuan. Permasalahan lainnya yaitu perencanaan yang bersifat “top down”, karena akan sulit dilakukan suatu perencanaan yang rinci dan spesifikasi lokasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketidakmatangan institusi tersebut yaitu melalui persiapan sosial yang memadai seperti pada penelitian Sarman dan Sajogyo (2006a). Melalui persiapan ini diharapkan perencanaan program yang dijalankan benar-benar telah dirancang secara matang, sehingga dapat mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan sewaktu pelaksanaannya. Selain itu karena kemiskinan merupakan masalah pembangunan diberbagai bidang, sehingga untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan pendekatan multisektor antar pihak yang terkait.
14
Institusi harus mendesain program yang memberikan kemudahan kepada kelompok sasaran untuk memanfaatkan dan menikmati program tersebut. Seperti kasus Unit Pengelolaan Keuangan (UPK) di Jawa Timur pada penelitian Hariri (2009), program UPK yang dijalani memberikan modal secara mudah tanpa banyak syarat, sehingga banyak warga miskin dapat memanfaatkan. Faktor kemudahan pengaksesan program menjadi penting, karena jika hal ini tidak terpenuhi akan berdampak buruk pada keberhasilan program seperti pada kasus BPR Parasahabat di Desa Cibarusah dalam penelitian Burhan (2004) memiliki ketentuan atau aturan kredit yang ketat, yaitu mengharuskan peminjam memiliki tempat tinggal dan usaha tetap, padahal banyak warga miskin di Desa Cibarusah yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Sehingga banyak warga miskin yang tidak dapat memanfaatkan program yang ada. Berbeda pada kasus PPSTN di Desa Pamongkong diperlukan kesepakatan bersama dalam mekanisme yang dijalankan terkait program antar aktor yang berkepentingan. Sehingga tidak ada pihak yang dimungkinkan melakukan protes apabila ada yang merasa dirugikan oleh aturan main yang telah disepakati bersama. Sumber daya manusia yang memadai menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi kinerja penanggulangan kemiskinan yang ada. Baik sumber daya manusia yang dimiliki oleh pendamping, pengurus maupun kelompok sasaran. Pada kasus BPR Parasahabat misalnya, kendala yang dihadapi dalam pencapaian keberhasilan program salah satunya keterbatasan sumber daya manusia. Dari penelitian di lapangan ditemukan bahwa banyak diantara staf/pelaksana program tidak memiliki latar belakang ilmu yang berhubungan dengan program yang dijalankan, hal ini akan sangat berpengaruh pada pelaksanaan program dan akhirnya berdampak pada keberhasilan program. Kasus lainnya terjadi pada program IDT di Sulawesi Selatan pada penelitian Sarman dan Sajogyo (2000b) mengalami kendala dalam pelaksanaan program yaitu dikarenakan pendampingan yang kurang intensif dan kapasitas pendamping yang sangat terbatas, khususnya pendamping lokal. Hal ini diperkuat dengan temuan lainnya oleh Sarman dan Sajogyo (2000a) di NTB berdasarkan pengalaman LSM lokal di sana, suatu program akan berlangsung dengan baik jika diberikan pendampingan yang intensif secara terus menerus. Karena disadari oleh banyak aparat di lapangan
15
bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan program pembangunan untuk warga miskin itu adalah fungsi peran yang optimal dari petugas atau kelompok pendamping yang profesional. Untuk mencapai tersebut perlu dilakukan pelatihan kepada pendamping, pengurus, bahkan anggota kelompok sasaran. Adanya pelatihan ini diharapkan tumbuh pemahaman yang sama atas tujuan program, kapasitas yang memadai dalam pelaksanaan program, sehingga program akan berjalan dengan efektif. Kondisi tempat dimana program tersebut dijalankan perlu diperhatikan juga. Sebagai contoh pada Program Penanggulangan Berpendapatan Rendah (PPBR) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peternakan, bahwa kesesuaian komoditas dengan karakteristik masyarakat setempat serta kondisi agroekosistem yang mendukung dalam menjalankan program mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan program, dimana semakin sesuai kondisi tersebut semakin baik perkembangan program. Contoh lainnya pada kasus IDT di NTB, kalangan aparat pelaksana mengeluhkan bahwa yang menjadi kendala dalam pengembangan usaha masih ada usaha yang tidak didukung oleh potensi lingkungan setempat serta masih terdapatnya pemilihan jenis usaha yang tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki anggota. Hal tersebut mengakibatkan sulitnya mengembangkan usaha alternatif yang dapat dijadikan sebagai gantungan hidup karena peluang usaha belum dikaitkan dengan peluang pasar. Pada kasus BPR Parasahabat juga mengalami kendala dalam pelaksanaan program di lapangan, bahwa peningkatan pendapatan anggota peserta program sangat bergantung dari hasil usaha yang dijalankan dan juga tergantung pada situasi pasar. Seperti kasus IDT di Sulawesi Selatan, pemasaran menjadi permasalahan dalam pengembangan usaha, karena selama ini kegiatan masih sangat tergantung pada pesanan konsumen lokal. Selain itu permasalahan lainnya ada pemberi modal lain (rentenir) yang akhirnya mengganggu pengkreditan yang ada, sehingga terjadi kredit macet yang seperti yang ditemui pada kasus BPR Parasahabat. Kegagalan proyek dialami juga oleh usaha Yayasan Swadaya Membangun
(YSM)
Mataram
di
Desa
Pamongkong
yang
mencoba
mengembangkan keswadayaan masyarakat di sektor simpan pinjam. Salah satu alasan umum yang menjadikan macetnya angsuran simpan pinjam adalah
16
kebangkrutan usaha yang diperoleh dari dana simpan pinjam tersebut. Bahkan ada beberapa kasus lain yang mengakibatkan macetnya simpan pinjam tersebut yaitu beroperasinya lembaga-lembaga keuangan liar yang disebut “bank rontok” atau “bank beseang”. Menanggapi permasalahan tersebut, hal yang dapat dilakukan seperti melakukan survei, pertemuan umum, dan uji kelayakan yang dilakukan pada kasus BPR Parasahabat. Hal ini dilakukan agar program yang akan dilaksanakan dapat diimplementasikan dapat berjalan dengan baik ditempat tersebut. Selain itu adanya kepastian pasar agar modal yang dikelola oleh kelompok binaan dapat diputar. Kapastian pasar ini selain dapat menjamin keberhasilan dari usaha, dapat membangun kepercayaan diri kelompok binaan tersebut dalam menekuni usaha yang sedang digelutinya secara sungguh-sungguh. Salah satu faktor yang paling krusial adalah ketepatan kelompok sasaran dari program penanggulangan kemiskinan yaitu masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan. Namun kenyataan di lapangan, terdapat banyak ketidaktepatan sasaran yang dituju. Sebagai contoh pada kasus PPBR, yang seharusnya masyarakat miskin yang mendapatkan bantuan ternyata dari 26 kelompok, hanya 14 kelompok yang sesuai dan 12 kelompok lainnya tidak termasuk orang miskin. Hal ini dikarenakan ada faktor subyektifitas dari pemilihan kelompok sasaran oleh kepala desa maupun PPL yang lebih berorientasi keberhasilan program, bukan pada upaya untuk membantu masyarakat berpendapat rendah. Hal serupa pun terjadi pada kasus JPS di Kelurahan Keparakan pada penelitian Ismail (2000) salah satu kelemahan program yaitu rendahnya tingkat profesionalisme dari para petugas dalam melakukan seleksi atas warga yang perlu mendapat bantuan. sehingga banyak warga yang tidak tepat sasaran dalam pemanfaatan program tersebut. Faktor kurang tepat sasaran ini pun ditemui pada kasus proyek P4K sehingga proyek mengalami berbagai hambatan. Adapun faktor tersebut diakibatkan oleh tiga hal, pertama, dilokasi proyek P4K sudah tidak ada petani miskin sementara PPL masih dibebani oleh target penumbuhan KPK yang harus dipenuhi, sehingga untuk memenuhi target, terpaksa mengambil petani yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat. Kedua, ada semacam ketentuan bahwa proyek dapat berjalan dengan baik, jika pengembalian kredit berjalan dengan
17
lancar, maka untuk menjadi anggota KPK dipilih petani miskin yang pengeluaran keluarganya sedikit di bawah atau mendekati garis kemiskinan dan bukan petani sangat miskin, karena petani yang sangat miskin dikhawatirkan dapat menghambat kelancaran pengambilan kredit proyek P4K. Ketiga, proses pembentukan KPK tidak sesuai dengan petunjuk rancangan P4K. Tabel 1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Program Penanggulangan Kemiskinan No
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja program penanggulangan kemiskinan
1
Koordinasi perencanaan antar pihak terkait.
2
Kecukupan waktu perencanaan.
3
Desain program.
4
Mekanisme program yang disepakati oleh pengurus, pendamping dan kelompok sasaran.
5
Sumber daya manusia pendamping, pengurus, dan kelompok sasaran
6
Intensifitas pendampingan
7
Kondisi tempat pelaksanaan program
8
Ketepatan kelompok sasaran
Terkait dalam meningkatkan peluang keberhasilan, beberapa hal perlu mendapat
perhatian
terutama
yang
berkaitan
dengan
kebijakan
dalam
pelaksanaanya. Pihak-pihak yang ikut terlibat di daerah dari tingkat propinsi sampai dengan desa perlu diberi peran yang lebih besar, sesuai dengan kondisi di masing-masing daerah dengan kapasitas yang memadai. Contoh pada kasus PPBR dalam menentukan kelompok sasaran, wewenang sepenuhnya berada pada instansi setempat, berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dalam pedoman PPBR pusat. Kepala Desa dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) adalah pihakpihak yang banyak berperan dalam hal ini. Besarnya keterlibatan mereka dalam menentukan sasaran memiliki keuntungan dan kerugian. Mereka memang yang paling tahu kondisi petani di wilayahnya sehingga dapat memilih sasaran dengan tepat, namun terkadang pemilihan sasaran ditujukan kepada peternak yang tidak miskin. Untuk mengurangi hal seperti ini, Dinas Peternakan Tk.II atau Cabang Dinas Peternakan tingkat kecamatan dapat diikutsertakan dalam memilih
18
kelompok sasaran. Berbagai faktor tersebut jika disimpulkan dapat dilihat pada Tabel 1.
2.4 Dampak Program Penanggulangan Kemiskinan Kinerja program penanggulangan kemiskinan mempengaruhi dampak yang didapat dari implementasi program tersebut. Sebagai contoh, dampak dari program PPSTN yang dilaksanakan di Desa Pemongkong dalam kurun waktu dua tahun sejak 1994 sekitar 28 KK nelayan telah mampu diberdayakan menjadi nelayan mandiri. Kesuksesan ini tidak hanya terjadi di sektor perikanan laut saja, pada kelompok petani binaan PPSTN pun terjadi keberhasilan. Kelompok tani diberikan satu buah traktor tangan dengan status pinjaman angsuran, dalam tempo dua tahun dari semula delapan traktor yang telah digulirkan kepada petani binaan, menjadi 14 buah traktor tangan. Contoh lainya pada kasus UPK Gerdutaskin di Jawa Timur, kehadiran UPK ini menjadi salah satu solusi dalam menanggulangi kemiskinan yang ada, saat berbagai kebijakan program penanggulangan kemiskinan sulit menjangkau sasaran secara tepat dan efektif sehingga keberadaan UPK dimaknai sebagai modal dan potensi dasar bagi usaha penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan. Walaupun dalam pelaksanaannya banyak kendala yang dihadapi seperti adanya kredit macet pada program, kelembagaan yang belum independen, atau administrasi keuangan yang belum dilaksanakan secara konsisten. Kinerja BPR Parasahabat di Desa Cibarusah, mempunyai dampak terhadap hasil yang diperoleh antara lain bagi warga atau kelompok binaan yang mampu mengakses program dapat merasakan peningkatan usaha dan pendapatan, adapun manfaat sosial yang dirasakan seperti adanya perubahan sikap para anggota khususnya dalam bentuk solidaritas antar sesama dan adanya kebiasaan dalam menabung. Contoh lainnya
pada kasus P4K, program ini dapat memberikan
dampak positif terhadap kelompok binaan yaitu adanya peningkatan pendapatan, pemupukan modal, peningkatan konsumsi gizi keluarga, penyerapan tenaga kerja, pendalaman dan perluasan usaha serta terampil teknis dan manajemen. Disamping dampak terhadap peserta proyek, P4K juga memberikan dampak terhadap kelompok antara lain berupa usaha bersama secara kelompok, kemampuan
19
manajemen pengurus, kesadaran tentang manfaat berkelompok. Selain itu KPKKPK yang terbentuk menjadi suatu wahana pendidikan masyarakat pedesaan, yaitu dapat meningkatkan taraf kehidupannya. Namun dalam pelaksanaan program terkait pemilihan kelompok sasaran cenderung tidak tepat sasaran, sehingga masih banyak warga miskin yang belum diberdayakan, terlebih dengan penerapan aturan yang memberatkan menjadikan mereka semakin sulit untuk merasakan manfaat dari program tersebut. Dampak yang dirasakan pada kasus penanggulangan kemiskinan nelayan dan petani ikan di laut, antara lain: bagi peserta, adanya program ini dapat meningkatkan konsumsi ikan bagi keluarga nelayan, adanya perbaikan gizi keluarga, terjadinya peningkatan pendapatan nelayan 10-100 persen, bahkan ada beberapa nelayan bersedia melakukan modifikasi perahu dan alat tangkap. Dampak program terhadap pendapatan nelayan peserta sangat bervariasi. Semakin tingginya pemanfaatan paket maka makin tinggi pula hasil yang diperoleh. Bagi bukan peserta, manfaaat yang dirasakan seperti adanya adopsi teknologi, peluang atau pilihan kesempatan kerja, serta perahu yang dimiliki dapat digunakan untuk alat transportasi. Selain itu kasus IDT di Sulawesi Selatan terkait penelitian Sarman dan Sajogyo (2000b), program ini ternyata cukup efektif untuk memberikan penguatan kepada anggota pokmas, khususnya kelompok ibu-ibu yang bergiat dalam usaha menjual ikan asap. Dari dana tersebut, mereka praktis melepaskan diri dari ketergantungan pada “bandar” ikan yang sebelumnya berperan mirip pelepas uang dan cukup semena-mena menentukan harga penjualan ikan segar yang dibutuhkan ibu-ibu untuk diasap. Jika dilihat dari implementasi program ini, mengalami kendala seperti pendampingan yang kurang intensif dan kapasitas pendamping yang sangat terbatas, khususnya pendamping lokal. Program PPBR ini memberikan manfaat terhadap peserta program antara lain dapat memenuhi konsumsi sendiri, adanya peningkatan bahan pangan, penambahan pendapatan, dan peningkatan pengetahuan dalam hal peternakan. Bagi non-peserta, manfaat proyek cenderung masih kurang dirasakan. Kalaupun ada dalam jumlah kecil mereka menyatakan dapat belajar memelihara ternak lebih
20
baik. Namun beberapa menyatakan terganggu oleh bau dan menduga ternak program sumber penyakit bagi ternak yang sudah ada. Tabel 2 Dampak Impelementasi Program Penanggulangan Kemiskinan No
Dampak Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan
1
Adanya peningkatan usaha peserta program
2
Adanya peningkatan pendapatan peserta
3
Terbangunnya solidaritas antar peserta
4
Adanya peningkatan gizi peserta
5
Terbukanya kesempatan kerja
6
Peningkatan keterampilan dan pengetahuan peserta
7
Tumbuhnya kesadaran peserta atas manfaat berkelompok
8
Ketidaktepatan sasaran
9
Adanya adopsi teknologi Pada
pelaksanaannya
PPBR
mengalami
permasalahan
seperti
ketidaktepatan sasaran yang dituju. Hal ini dipengaruhi oleh faktor subyektifitas dari pemilihan kelompok sasaran oleh kepala desa maupun PPL yang lebih berorientasi keberhasilan program, bukan pada upaya untuk membantu masyarakat berpendapat rendah. Pelaksanaan program ini terlihat tidak sungguhsungguh dalam menanggulangi kemiskinan, terbukti telah melenceng dari tujuan umum yang ingin dicapai oleh Direktorat Jenderal Peternakan yaitu upaya penanggulangan kemiskinan melalui penyebaran ternak yang disertai dengan pembinaan pada masyarakat berpendapatan rendah, sehingga secara bertahap dapat meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa dampak yang dirasakan atas implementasi beberapa program penanggulangan tersebut, dapat disimpulkan seperti yang tertera pada Tabel 2.
2.5 Kerangka Pemikiran Baik pemerintah, swasta, maupun LSM telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan yang menjadi kajian penelitian ini yaitu Program Keluarga Harapan (PKH) yaitu
21
merupakan suatu program yang memberikan bantuan langsung tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin, yang berlokasi di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. PKH ini telah berjalan dari tahun 2007 dan akan berakhir tahun 2015. Tujuan utama dari PKH adalah untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama pada kelompok masyarakat miskin khususnya dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
Faktor Internal 1. Kemampuan pendamping PKH dalam menjalankan tugas 2. Kriteria peserta PKH 3. Koordinasi perencanaan dan pelaksanaan PKH
Faktor Eksternal 1. Kondisi tempat pelaksanaan PKH (Desa Petir) 2. Tingkat pendidikan peserta PKH
Kinerja PKH 1. Ketepatan pemilihan peserta PKH 2. Jumlah anak peserta PKH yang bersekolah 3. Persentasi Kehadiran Anak Sekolah 4. Persentase Balita Pergi ke Posyandu
Taraf hidup peserta PKH di Desa Petir 1. Peningkatan taraf pendidikan 2. Peningkatan kesehatan 3. Kemudahan mengakses bidang pendidikan 4. Kemudahan mengakses bidang kesehatan
Keterangan: Memiliki hubungan
Gambar 2 Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Program Keluarga Harapan dan Dampaknya terhadap Taraf Kesejahteraan Peserta Program di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
22
Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dipaparkan lebih rinci dalam Gambar 2. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kinerja program dikelompokkan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja program yang berasal dari institusi pemberi program dalam hal ini PKH yaitu meliputi: (1) Koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program PKH, (2) Kemampuan pendamping PKH dalam menjalankan tugas, dan (3) Kriteria peserta PKH. Faktor eksternal ialah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja program yang berasal dari luar institusi pemberi program dalam hal ini PKH yang meliputi: (1)
Kondisi tempat
pelaksanaan PKH dan (2) Tingkat pendidikan peserta PKH. Berdasarkan kerangka pemikiran sebagaimana tertera pada Gambar 2, kinerja PKH yang terpengaruh faktor-faktor tersebut akan mempunyai pengaruh atas dampak terhadap taraf hidup peserta program, yaitu rumah tangga sangat miskin di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan hubungan antar faktorfaktor tersebut.
2.6 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1.
Koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program PKH, kemampuan pendamping, dan kriteria peserta PKH diduga memiliki hubungan positif terhadap kinerja PKH.
2.
Kondisi tempat pelaksanaan PKH dan tingkat pendidikan peserta PKH memiliki hubungan positif terhadap kinerja PKH
3.
Tingginya kinerja PKH diduga memiliki hubungan positif terhadap peningkatan taraf hidup peserta PKH.
2.7 Definisi Operasional Rumusan definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Faktor Internal
23
Faktor internal adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja program yang berasal dari institusi pemberi PKH, terdiri dari: a. Kemampuan pendamping adalah kemampuan yang dimiliki pendamping PKH dalam menjalankan tugasnya yaitu: 1. Menyelenggarakan pertemuan awal dengan seluruh peserta PKH. 2. Memberikan informasi mengenai PKH kepada peserta PKH. 3. Mengelompokkan peserta ke dalam kelompok yang terdiri dari 20-25 orang/kelompok. 4. Melakukan pemilihan ketua kelompok. 5. Membantu peserta PKH dalam mengisi formulir klarifikasi data dan menandatangani surat persetujuan PKH. 6. Mengkoordinasikan kunjungan awal ke puskesmas dan pendaftaran sekolah. 7. Melakukan pertemuan dengan seluruh peserta setiap enam bulan sekali. 8. Melakukan pertemuan insidentil kepada peserta PKH yang tidak memenuhi komitmen. 9. Melakukan koordinasi dengan aparat setempat dan pemberi pelayanan kesehatan dan pendidikan. 10. Melakukan pendampingan rutin. 11. Menerima segala pengaduan dari peserta. 12. Memberikan sanksi bagi peserta yang tidak mematuhi aturan. Skor 3: Semua tugas dijalankan Skor 2: Satu sampai tiga tugas tidak dijalankan Skor 1: lebih dari tiga tugas tidak dijalankan b. Kriteria peserta PKH yaitu sejumlah persyaratan yang harus terpenuhi oleh peserta PKH untuk mendapatkan manfaat program. Hal tersebut dapat diukur melalui1: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 1
14 kriteria yang dipergunakan untuk menentukan keluarga/ rumah tanggadikategorikan miskin oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
24
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp600.000,00 per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500.000,00 seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Skor 3: minimal 10 kriteria kemiskinan terpenuhi (RTSM) Skor 2: 6 sampai 9 kriteria kemiskinan terpenuhi (RTM) Skor 1: kurang dari 6 kriteria kemiskinan terpenuhi (Non RTM) B. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja program yang berasal dari luar institusi pemberi PKH, terdiri dari: a. Kondisi tempat pelaksanaan PKH adalah kesesuaian kegiatan program dengan keadaan tempat tinggal peserta dilihat dari adanya fasilitas kesehatan seperti puskesmas, puskemas pembantu (pustu), polindes, posyandu, atau praktek bidan yang mudah dijangkau oleh peserta yang menjadi mitra PKH, adanya
25
sekolah SD maupun SLTP yang mudah dijangkau oleh peserta program untuk menyekolahkan anggota keluarganya yang berusia 6-18 tahun, adanya kantor pos yang mudah dijangkau oleh peserta untuk pengambilan uang tunai langsung. Skor 3: Memiliki semua fasilitas yang mendukung pelaksanaan PKH. Skor 2: Tidak terdapat salah satu fasilitas yang mendukung pelaksanaan PKH. Skor 1: Tidak memiliki semua fasilitas yang mendukung pelaksanaan PKH. b. Tingkat pendidikan peserta PKH yaitu jenjang sekolah formal terakhir yang pernah dilaksanakan oleh peserta PKH, antara lain tidak bersekolah, Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah, SMP Umum/Kejuruan, Madrasah Tsanawiyah, SMA, Madrasah Aliyah, SMK, Program D.I/D.II, Program D.III, dan Program D.IV/S1. Skor 3: Lulus program D.I/D.II/DIII/S1 Skor 2: Lulus SMP sampai SMA Skor 1: Tidak bersekolah atau tamat SD
C. Kinerja Program 1. Ketepatan memilih peserta PKH yaitu seluruh peserta PKH memenuhi persyaratan dari 14 kriteria peserta PKH. Skor 2: Peserta PKH memenuhi minimal 9 kriteria kemiskinan Skor 1: Peserta PKH memenuhi kurang dari 9 kriteria kemiskinan 2. Jumlah anak yang bersekolah yaitu banyaknya anak peserta PKH yang memiliki usia 6-18 tahun terdaftar pada lembaga pelayanan pendidikan. Diukur memalui anak peserta PKH yang memiliki usia sekolah dan terdaftar di sekolah. Skor 2: Anak peserta PKH yang memiliki usia sekolah terdaftar di sekolah. Skor 1: Anak peserta PKH yang memiliki usia sekolah tidak terdaftar di sekolah. 3. Persentase kehadiran anak sekolah yaitu kehadiran anak peserta PKH yang bersekolah yang memiliki persentasi kehadiran minimal 85 persen setiap bulannya.
26
Skor 2: Kehadiran anak peserta PKH yang bersekolah lebih dari 85 persen setiap bulannya. Skor 1: Kehadiran anak peserta PKH yang bersekolah kurang dari 85 persen setiap bulannya. 4. Kunjungan ke puskemas atau posyandu adalah rutinitas peserta PKH untuk memeriksakan kesehatan setiap bulan ke puskesmas atau posyandu terdekat. Skor 3: Peserta PKH, baik ibu hamil, nifas, maupun balitanya memeriksa kesehatannya ke lembaga pelayanan kesehatan setiap bulan. Skor 2: Peserta PKH, baik ibu hamil, nifas, maupun balitanya tidak memeriksa kesehatannya ke lembaga pelayanan kesehatan setiap bulan secara rutin. Skor 1: Peserta PKH, baik ibu hamil, nifas, maupun balitanya tidak memeriksa kesehatannya ke lembaga pelayanan kesehatan setiap bulan.
D. Taraf Hidup Peningkatan taraf hidup peserta program adalah suatu perubahan yang dirasakan oleh peserta terhadap setelah adanya program PKH. Diukur melalui: 1. Peningkatan taraf pendidikan peserta PKH yaitu banyaknya anak peserta PKH yang berada pada usia 6-18 tahun telah terdaftar di lembaga pelayan pendidikan dan memiliki persentase kehadiran minimal 85 persen setiap bulannya. Skor 3: Anak peserta PKH usia sekolah terdaftar di sekolah dan memiliki persentase kehadiran minimal 85 persen setiap bulan. Skor 2: Anak peserta PKH usia sekolah terdaftar di sekolah tetapi memiliki persentase kehadiran minimal 85 persen setiap bulan. Skor 1: Anak peserta PKH usia sekolah tidak terdaftar di sekolah. 2. Peningkatan akses pendidikan yaitu anak peserta PKH usia sekolah dapat mengunjungi lembaga pelayanan pendidikan yang ada dan peserta PKH merasa terbantu dalam pembiayaan anak bersekolah. Skor 3: Peserta PKH merasa terbantu dengan adanya PKH dalam pembiayaan anak bersekolah dan anak peserta PKH dapat mengunjungi lembaga pelayanan pendidikan.
27
Skor 2: Peserta PKH merasa terbantu dengan adanya PKH dalam pembiayaan anak bersekolah namun anak peserta PKH tidak dapat mengunjungi lembaga pelayanan pendidikan atau kebalikannya. Skor 1: Peserta PKH tidak merasa terbantu dengan adanya PKH dalam pembiayaan anak bersekolah dan anak peserta PKH tidak dapat mengunjungi lembaga pelayanan pendidikan. 3. Peningkatan taraf kesehatan yaitu riwayat kesehatan yang dialami oleh peserta PKH. Skor 2: satu bulan terakhir tidak pernah mengalami sakit. Skor 1: Satu bulan terakhir pernah mengalami sakit 4. Peningkatan akses kesehatan yaitu kemudahan peserta PKH untuk berkunjung ke lembaga pelayan kesehatan untuk mengecek kesehatannya setiap bulannya dan merasa terbantu dalam pembiayaan pengobatan. Skor 3: Peserta PKH merasa terbantu dengan adanya PKH dalam pembiayaan pengobatan dan dapat mengunjungi lembaga pelayanan kesehatan. Skor 2: Peserta PKH merasa terbantu dengan adanya PKH dalam pembiayaan pengobatan namun peserta PKH tidak dapat mengunjungi lembaga pelayanan kesehatan atau kebalikannya. Skor 1: Peserta PKH tidak merasa terbantu dengan adanya PKH dalam pembiayaan pengobatan dan tidak dapat mengunjungi lembaga pelayanan pendidikan.