23
BAB II MCDONALISASI DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. McDonaldisasi I. Pengertian McDonaldisasi Istilah McDonaldisasi pertama kali dikemukakan oleh George Ritzer, seorang sosiolog Amerika dalam tulisannya yang terkenal di Journal of American Culture tahun 1983.1 Pengertian ini kemudian merebak dengan terbitnya buku Ritzer yang berjudul The McDonalization of Society (1993) serta publikasi lainnya yang berkenaan dengan itu. McDonaldisasi merupakan pelaksanaan prinsip-prinsip dan sistem franchising makanan cepat saji (fast food) dari McDonald’s. Seperti kita ketahui dewasa ini outlet-outlet McDonald’s terdapat hampir di seluruh dunia. Bermula restoran kecil drive in yang menjual hamburger di SAN Berbadino, California, tahun 1954 oleh McDonald bersaudara, seorang inovator yang bernama Ray Crock pada tahun 1995 memodernisasi serta merasionalisasi restoran kecil tersebut menjadi restoran raksasa makanan cepat saji yang mendunia.2 Roy Crock si jenius yang mengilhami lahirnya restoran waralaba McDonald, memang sosok beride besar dengan ambisi luar biasa. Sayang, bahkan Crock sendiri tak mampu mengantisipasi dampak dahsyat dari kreasinya itu. McDonald bisa menjelma sebagai tonggak perkembangan penting yang berpengaruh pada kehidupan Amerika di abad 20. Dampak ini sampai pada tataran luas yang begitu mendalam pada berbagai porsi, bahkan sudah menyangkut pola hidup yang mengglobal. Terus meluas pada tingkatan akselerasi.3
1
Konsep McDonaldisasi diambil dari George Ritzer, The Mcdonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life, (London: Pine Forge Press, 1993), hlm. 1. 2 H.A.R TILAAR, Multikulturalisme, (Jakarta : Grasindo, 2004), hlm 269. 3 Untuk pandangan yang sama namun lebih dangkal dengan yang diekspresikan disini, Lihat Benjamin R. Barber, Jihad Vs McWorld, (The Atlantic Monthly, 1992), hlm. 53-63
24
Berilham
institusi
bisnis
Amerika
ini,
beberapa
negara
mengembangkan variasinya sendiri. Bisnis kudapan ini menjamur di Paris, kota yang sebelumnya dikenal kebal atas serbuan fast food, terciptalah sebuah
trend.
India
memiliki
jaringan
restoran
Nirula’s
yang
menghidangkan burger daging kambing cincang (seperti kita ketahui bahwa 80 persen rakyat India merupakan pemeluk hindu yang mengharamkan makan daging sapi) serat menu khas lokal.4 McDonald dan kepanjangan jaringannya menjelma di mana-mana dan kemudian menjadi simbol yang bisa diterima diseluruh penjuru Amerika dan belahan lain dunia. Kehadiran McDonald benar-benar telah menempati posisi sentral dalam masyarakat. Saat sebuah McDonald baru dibuka di kota kecil, ia mampu menciptakannya sebagai even besar. Dalam even seperti itu, seorang siswa di SMA di Maryland pernah berkata, “Belum pernah ada yang semeriah ini di Dele Citry”.5 Selama
bertahun-tahun
McDonald
terus
berusaha
menyapa
masyarakat dengan beragam cara. Restoran mereka diklaim sebagai yang terapi dan terbersih, menunya di sebut sebagi yang paling lezat dan bergizi, karyawan yang ditampilkan muda-muda dan cekatan, manajer tampak tegas dan pandai mengelola, serba suasana santap yang menyenangkan. Berkunjung ke sana, orang bahkan percaya bahwa secara tidak langsung mereka telah menyumbang ke institusi amal seperti Ronald McDonald House yang membantu ank-anak sakit. Proyek kecil, kolat atau outlet pelosok yang dibuka di wilayah yang belum menyokong penuh operasi-operasi restoran fast food, terus berkembang pesat. Di Indonesia bisnis ini sudah mulai nampak di pajangan toko-toko kecil di perkotaan dan di beberapa tempat belanja non tradisional seperti toko serba ada, beberapa pusat layanan, bahkan sekolah. Umumnya
4
Valerie Reitman, India Anticipates the Arrival of the Beefless Big Mac, (Wall Street Journal, 20 Oktober 1993), hlm. B1-B2. 5 John F Harris., McMilestone Restaurant Open door in Dele City (Washington 7 April 1999), hlm. D1
25
mereka menyajikan menu terbatas dan bergabung pada stok outlet yang lebih besar. Dominasi restoran fast food juga telah menyerbu berbagai kampus. Restoran fast food pertama di buka di Universitas Cincinnati pada tahun 1973. Saat ini, hampir semua kafetaria kampus tampak sebagai ajang belanja makanan. Di universitas Gadjah Mada, belakangan telah dibuka outlet McDonald di kampus, tidak ketinggalan POM bensin dan pusat perbelanjaan.6 Hal ini di lakukan demi menggali sumber-sumber finansialnya sendiri. Sebagai konsekuensi di terapkannya UGM sebagai badan hukum milik negara (BHMN). McDonald menjadi model ampuh bagi bisnis lain yang kemudian memulai mereknya dengan “Mc”. Sebut saja “McDentist” dan “McDoctors” bagi klinik drive in bagi penyembuhan cepat dan efisien atas gangguan pada gigi dan masalah kesehatan lainnya. Pusat perawatan “McChild” bagi pusat perawatan anak, “McStables” untuk pelatihan kuda pacuan di segenap pelosok negeri, serta “McPaper’ bagi perusahaan Koran di Jakarta.7 2. Dimensi McDonaldisasi Mengapa bisnis model McDonald terbukti tidak bisa di tangkal? Ada empat pemikat yang bersarang pada inti sukses model yang lazim disebut McDonaldisasi ini. Keberhasilan McDonald meraih sukses karena ia melayani konsumen, pekerja, serta efisiensi pengelola, daya hitung, daya prediksi dan kontrol. Pertama, McDonald menawarkan efisiensi atau metoda optimal bagi perolehan dari satu ke lain poin. Prinsip ini dikenal secara luas di dalam bisnis. Berdasarkan prinsip Fordism (assembly line), scientific management dan management birokrasi, dan prinsip birokrasi maka restoran McDonald dikelola secara sangat efisien. Pada prinsipnya restoran tersebut telah melaksanakan prinsip uniformitas, menu standar, porsi yang sama dengan
19
6
Heru Nugroho (ed), McDonaldisasi Pendidikan Tinggi, (Yogyakarta: Kanisius 2002), hlm.
7
Kompas, 15 Februari 2004. hlm. 17.
26
harga yang sama serta kualitas yang sama di setiap restoran McDonalds.8 Bagi konsumen, itu berarti McDonald menawarkan pilihan terbaik atas pemenuhan rasa lapar. Dalam masyarakat di mana orang selalu sibuk lalu lalang, biasanya bermobil dari satu tempat ke tempat yang lain, efisiensi makanan fast food tanpa harus memutar balik kemudi atau meninggalkan landasan pacu, membuktikan sebagai tawaran yang tidak mungkin di tolak. Efisiensi berarti mencari cara yang terbaik untuk mencari tujuan, dalam restoran cepat saji, mengulurkan sajian melalui jendela adalah contoh yang baik dari usaha mempertnggi efisiensi dalam mendapatkan pesanan makanan. Laiknya
pelanggan,
pekerja
disistem
yang
telah
di
McDonaldisasikan akan berfungsi secara efisien. Pengelola melatihnya demikian, dan mengawasinya agar mereka yakin atas apa yang di kerjakan. Hukum dan aturan organisasinya juga berperan mendorong terciptanya kerja yang sangat efisien itu.9 Kedua, McDonald menawarkan daya hitung (kalkutabilitas), atau penekanan pada aspek kuantitatif atas produk yang di jual ukuran porsi, ongkos-ongkos serta layanan yang di tawarkan. Bisnis yang diadakan haruslah dapat dihitung untung dan ruginya. Apabila tidak memungkinkan maka dicari jalan pemecahan agar bisnis tetap memberi keuntungan. Demikian pula keseragaman (uniformitas) tidak menghalangi adanya inovasi-inovasi, oleh sebab itu McDonalds Indonesia mempunyai rasa yang cocok dengan lidah Indonesia karena menyertakan nasi di samping French Fries atau kentang goreng. Restoran cepat saji adalah contoh yang baik dari penekanan pada kuantitas ketimbang kualitas dari pada kualitas manusia seorang koki. Restoran cepat saji tergantung pada teknologi non manusia seperti koki yang
8
H.A.R Tilaar, Op.Cit, hlm. 269 Max Weber, Ekonomi kemasyarakatan, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 145
9
27
tidak terampil yang mengikuti petunjuk rinci dan metode garis perakitan yang di terapkan dalam memasak.10 Beberapa
institusi
yang
di
McDonaldisasi
menggabungkan
penekanan pada waktu dan uang. Domino menjanjikan pengantaran pizza dalam tempo setengah jam dan bebas biaya. Pizza Hut mampu menyajikan pesanan pizza berporsi cukup dalam lima menit, juga kadang di gratiskan. Pekerja di sistem yang di McDonaldisasikan juga cenderung aspek kuantitatif dalam pekerjaanya. Karena kualitas kerja hanya diterjemahkan dalam ranah kerja yang sempit, mereka memfokuskan dengan menekankan pada seberapa cepat tugas-tugas bisa terselesaikan. Analog ini ditentukan dengan situasi pembeli, pekerja, juga diharapkan mampu mengerjakan beragam pekerjaan secara cepat dengan sedikit pengorbanan. Ketiga, McDonald menawarkan daya prediksi (prediktabilitas), rasa yakin bahwa produk dan layanannya akan tetap sepanjang waktu dan diseluruh lokasi. Menilik maksud dan tujuannya, EGG McMuffin di New York akan identik dengan yang ada di Indonesia. Juga apa yang akan disanpat pekan atau tahun depan akan identik dengan yang disantap hari ini. Dengan adanya kalkulabilitas maka dengan sendirinya dapat diprediksikan keuntungan yang diperoleh outlet McDonald, setiap outlet telah memprediksikan tempat-tempat yang strategis di mana orang akan mencari makanan secara cepat, misalnya di lingkunagn-lingkungan perkantoran dimana orang-orang tergesa-gesa untuk makan dan bekerja kembali. Pekerja disistem yang di McDonadisasi juga berperilaku dalam caracara yang bisa diprediksikan. Mereka mematuhi aturan perusahaan dan juga penugasan pengelola tidak hanya pada apa yang harus dikerjakan tetapi apa pula yang harus di katakan.11 Semuanya bisa di prediksi.
10
Paul Kurtz, Sidney Hook; Sosok Filsuf Humanis Demokrat dalam Tradisi Pragmatisme, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. 238. 11 Robin Leidner telah mengembangkan suatu pemikiran skrip dalam bukunya, Fast food Fast Talk: Service Work ang the Routinization of Everyday Life, (Berkeley: University of California Press, 1993), hlm. 18
28
Keempat, kontrol dari kontrol manusia menuju kontrol robot yang mekanistik. Orang bersantap direstoran fast food akan terkontrol, meskipun biasanya tidak kentara. Lajur, menu terbatas, sedikit pilihan dan tempat duduk yang tidak nyaman semuanya menggiring penyantap melakukan apa yang di inginkan pengelola cepat saji makanan dan pergi.12 Pekerja diorganisasi yang di McDonaldsasi juga berada pada tingkat kontrol tertinggi, biasanya lebih mencolok dan langsung mengena. Mereka dilatih mengerjakan sejumlah pekerjaan sesuai jatah waktu yang diberikan. Teknologi yang dipakai dan cara-cara yang diterapkan perusahaan akan memperkokoh kontrol ini. McDonald juga berusahaa mengontrol pekerjan dengan macam pemakaian teknologi non manusia untuk menggantikan pekerjaan manusia. Tidak pandang seberapa besar mereka merasa terprogram dan terkontrol, pekerja dipaksa tunduk pada operasi sistem. 3. Keuntungan McDonaldsiasi Pembahasan
empat
karakteristik
mendasar
McDonaldisasi
menjelaskan adanya berbagai alasan menarik dan kuat atas suksek fenomenal McDonald, serta mengapa proses McDonaldisasi bisa bergerak sedramatis itu. Kita juga memaknai bahwa masih ada mereka yang “menolak makanan itu dan menilai McDonald tidak lebih sekedar kemasan atas segala makanan itu dan menilai McDonald tidak lebih atas segala kevulgaran yang dikandung kultur massa Amerika. Tidak diragukan lagi, McDonaldisasi juga menghasilkan berbagai perubahan positif.13 Berikut ini beberapa contoh spesifikasinya: 1. Orang bisa memperoleh apa yang di inginkan atau diperlukan secepatnya.
12
Penulis beberapa kali melakukan wawancara dengan konsumen penggemar makanan fast food tentang persepsi mereka terhadap bisnis ini. Jawaban yang diperoleh cenderung sama, yaitu pengetahuan tentang makan dengan cepat dan dinikmati. 13 Saya ingin mengucapkan terima kasih pada rekan saya, M Rikza Chamami, atas sarannya agar saya menyebutkan macam-macam keuntungan McDonaldisasi untuk dicantumkan dalam penelitian ini.
29
2. Tersedianya barang jasa yang cepat dan efisien bagi populasi dengan jam kerja lebih panjang dan sedikit meluangkan waktu. 3. Karena
kuantifikasi,
pembeli
bisa
lebih
mudah
membandingkan produk yang bersaing. 4. Orang cenderung ingin diperlakuakan seragam, tanpa memandang arus, jenis kelamin mapun kelas sosial. 5. Inovasi organisasi dan teknologi berlangsung cepat dan mudah melalui jaringan dengan operator. 4. Sebuah Kritik McDomnaldisasi: Irrasionalitas Atas Rasionalitas Meskipun McDonaldisasi memberikan berbagai keuntungan yang begitu berpengaruh, namun ia memiliki pula kelemahan, efisiensi, kalkutabilitas, prediktabilitas dan kontrol melalui teknologi non manusia bisa dipandang sebagai komponen dasar sistem rasional.14 Sistem rasional formal seperti ini menimbulkan berbagai macam ketakrasionalan, dan yang paling menonjol adalah demistifikasi dan dehumanisasi pengalaman makan. Contohnya, McDonaldisasi telah menghasilkan berbagai dampak yang merugikan lingkungan, kebutuhan keseragaman tanaman kentang untuk memenuhi standar kualitas kentang goreng yang selalu disajikan pada restoran fast food telah berdampak merugikan pada ekologi di daerah Tugu, Malang Jawa timur. Sejumlah luas area pertanian terpacu menghidupkan kentang jenis itu dengan pemanfaatan zat kimia secara ekstensif.15 Efek lain yang tidak rasional dari restoran fast food adalah dehumanisasi yang berlangsung ditempat makan dan kerja. Pembeli dipaksa antri hanya untuk mendapatkan burger, sementara pekerja kerap merasa 14 Perlu ditunjukkan bahwa kata-kata rasional, rasionalitas, dan rasionalisasi di gunakan secara berbeda didalam penelitian ini ketimbang yang biasa digunakan. Satu hal, orang biasanya berpikir bahwa istilah-istilah tersebut sangat positif, sesuatu yang rasional biasanya dianggap baik. Meski demikian, kaat-kata tersebut di sini di pakai secara umum negatif, hal positif dalam analisa ini adalah alasan manusiawi murni (misalnya, kemampuan beraksi dan bekerja secar kreatif), yang nampaknya diingkari oleh sistem-sistem yang tidak manusiawi, rasional semacam restoran fast food. Hal lain, istilah rasionalisasi biasanya dikaitkan dengan teori Freud sebagai cara menjelaskan beberapa perilaku, tapi di sini istilah tersebut menggambarkan peningkatan perembesan rasionalitas kesegenap masyarakat. 15 Jawa Post, 28 Januari 2005. hlm. 13.
30
tidak ubahnya bagian alur perakitan. Situasi saat makan hampir tidak bisa di terima, sementara alur perakitan merupakan tempat kerja yang tidak manusiawi. McDonaldisasi bukan proses menyeluruh
tanpa makna. Ada
beberapa tingkatan McDonaldisasi. Restoran Fast Food, misalnya telah mantap ter-McDonaldisasi, secara moderat Universitas di Indonesia telah ter-McDonaldisasi dengan munculnya peraturan pemerintah mengenai otonomi perguruan tinggi (PP 61/1999) yang di mulai dengan empat universitas yaitu universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai badan hukum milik negara (BHMN). Pemerintah membuat kurikulum untuk kesetaraan dan keadilan bagi siswa didik. Diskriminasi dihindarkan dengan membuat kebijakan seragam. Tapi konformitas membuat ulah dengan dalih pengujian kompetensi. Siswa dididik dengan metode McDonaldisasi yang bermodalkan kalkulasi. Daya hitung, daya prediksi, efisiensi, dan kontrol menjadi indikator baru bagi stabilitas.
B. Pendidikan Islam Pendidikan sebagai usaha membina dan membangun pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmaniah juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan atau pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung suatu proses demi proses ke arah tujan akhir perkembangan atau pertumbuhan.16 1. Pengertian Pendidikan Islam Istilah pendidikan Islam pada umumnya mengacu kepada term altarbiyah, al-ta’lim dan al-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut term al-tarbiyah yang terpopuler digunakan dalam praktek pendidikan Islam. Sedangkan term
16
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 11.
31
al-ta’lim dan al-ta’dib jarang digunakan. Pada kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.17 Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan tumbuh, berkembang, memelihara, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Penggunaan term al-tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat dipahami dengan firman Allah SWT. dalam surat al-Isra’ ayat 24:
☺ ☺ ☺
⌧
☺⌧
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra’: 24)18 Abdurrahman al-Nahlawi salah seorang pengguna istilah alTarbiyah, berpendapat bahwa pendidikan berarti: 1. Memelihara fitrah 2. Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya 3. Mengarahkan fitrah dan seluruh bakatnya agar menjadi baik dan sempurna dalam proses.19 Menurut beberapa ulama tidak sepakat dengan pendapat al-Nahlawi, seperti Abdul Fatah Jalal, ahli pendidikan dari Universitas al-Azhar, mengatakan bahwa pendidikan yang berlangsung pada fase pertama
17
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 25. 18
Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 428.
19
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1991), hlm. 5.
32
pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak. Masa anak sangat tergantung pada kasih sayang keluarga.20 Syaikh Musthafa al-Ghulayani mengatakan bahwa pendidikan adalah:
ﻲ َاﻟ ﱠﺘ ْﺮ ِﺑ ﱠﻴ ُﺔ َ س ِه ُ ﻏ ْﺮ َ ق ِﻼ َﺧ ْﻻ َ ﺿَﻠ ِﺔ ْا ِ ﻰ ْاﻟ َﻔﺎ ْ س ِﻓ ِ ﻦ ُﻧ ُﻔ ْﻮ َ ﺷ ِﺌ ْﻴ ِ ﺳ ْﻘ ُﻴ َﻬﺎ اﻟ ﱠﻨﺎ َ ﺷﺎ ِد َﺑ َﻤﺎ ِء َو َ ﻹ ْر ِ ْا ﺤ ِﺔ َ ﺼ ْﻴ ِ ﺣ ﱠﺘﻰ َواﻟ ﱠﻨ َ ﺢ َ ﺼ ِﺒ ْ ﻦ َﻣَﻠ َﻜ ًﺔ ُﺗ ْ ت ِﻣ ِ ﺲ َﻣَﻠﻜَﺎ ِ ن ُﺛ ﱠﻢ اﻟ ﱠﻨ ْﻔ ُ ﺿ ْﻴﻠ َﺔ َﺛ ْﻤ َﺮ ُﺗ َﻬﺎ َﺗ ُﻜ ْﻮ ِ ﺨ ْﻴ َﺮ ْاﻟ َﻔﺎ َ ِ َو ْاﻟ ﺐ ﺣ ﱠ ُ ﻞ َو ِ ﻃﻦ ِﻟ َﻨ ْﻔ ِﻊ ْاﻟ َﻌ َﻤ َ ْاﻟ َﻮ21ِ Artinya: “Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air”. Namun, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).22 2. Format Pendidikan Islam dalam Perspektif Global Dewasa ini, umat manusia tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham pasar bebas yang di kenal dengan zaman globalisasi. Tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan ternyata bagi sebagian manusia dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan. Visi pendidikan sebagai strategi untuk eksistensi
20 Abdul Fatah Jalal, “Azaz Pendidikan”, terj. Hery Noer Aly, Minal Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hlm. 28-29. 21 Musthafa al-Ghulayani, Idhah al-Nasihin, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189. 22
Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 56.
33
manusia yang telah di reproduksi berabat-abat selama ini diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditi.23 Sejak krisis ekonomi melanda bangsa Indonesia pada paruh tahun 1997 dan berlanjut dengan krisis multidimensi membawa dampak kepada bangunan sistem kehidupan masyarakat, disatu pihak pemerintah harus mampu memenuhi kebutuhan hidup rakyat dan pada pihak lain resesi ekonomi bangsa memang menuntut pemerintah tidak mampu berbuat banyak bahkan “takluk” kepada kepentingan global.24 Pendidikan sebagai bagian dari sistem sosial juga mengalami dampak yang sama. Pendidikan yang semula sebagai aktivitas sosial budaya berubah menjadi komunitas budaya yang siap diperjual belikan. Biaya pendidikan menjadi mahal sehingga tidak terjangkau oleh rakyat miskin dan hanya terjangkau oleh orang kaya, gelar dalam atau luar negeri pun siap diperdagangkan kepada yang mampu membelinya. Inilah babak baru kapitalisme pendidikan global yang melucuti makna pendidikan. Pendidikan yang semula dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju tataran ideal, yang menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)25, yang dilakukan melalui aktivitas sosial budaya, telah hilang makna prennial-nya. Pendidikan kini telah menjadi ajang mencari laba dan aktivitas mencari keuntungan. Secara sederhana dapat dibedakan pendidikan sebagai aktivitas sosial budaya dengan pendidikan sebagai aktivitas bisnis dan berorientasi keuntungan.26
23
Pendidikan di perlakukan sebagai komoditi di perkuat sejak ditandatanganinya kesepakatan GATT, dimana dunia secara global telah memihak pada kepentingan pasar. Lihat: Francis X. Wahono., Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Insist Press, 2001), hlm. XI-XII. 24 Imam Machali (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar; Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm. 125. 25 Moh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta: Penerbit Jembatan, 2000), hlm. 3. 26 Tabel diolah dari Margiono dari Menghadapi Globalisasi Pendidikan dan Muh. Hanif Dhakiri, Mengurai Hegemoni Negara, makalah lokakarya nasional “Menggagas Pendidikan Kritis di Indonesia” 17 Oktober 2001.
34
Pendidikan sebagai aktivitas sosial- budaya Proses pendewasaan manusia menuju tataran ideal, yang menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) Peserta didik Peserta didik dilihat sebagai sasaran pendidikan yang harus dikembangkan potensi sumber daya manusia untuk membangun peradaban/masyarakat Fungsi Sebagai pendidik dan guru/pendidik bersama-sama siswa/mahasiswa mengembangkan ilmu pengetahuan Mengembangkan dan Pengelola pendidikan/pejabat meningkatkan mutu pendidikan sesuai lembaga dengan kebutuhan pendidikan masyarakat Mengabdi kepada Yayasan masyarakat (public pendidikan, servant) menayalurkan sekolah/PT idelisme dan gagasan SPP Sebagai sumberdana untuk mengembangkan pendidikan Kurikulum Berangkat dari kebutuhan riil masyarakat Ijazah atau gelas Sebagai tanda bukti kelulusan dan penghargaan Negara Membiayai atau mensubsidi pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya
NO 1 Tujuan sekolah
2
3
4
5
6 7 8 9
Pendidikan sebagai aktivitas bisnis Proses pembentukan manusia siap pakai untuk mengisi ruang-ruang usaha publik
Peserta didik dilihat sebagai konsumen pembeli produk pendidikan sebagai syarat memasuki dunia kerja Sebagai pekerja
Menjadi manager bisnis pendidikan
Investor, menanamkan modal usaha dalam pendidikan Income dan sumber penghasilan Peasanan dari pemilik modal Komoditas, “jimat”, untuk meningkatkan status sosial Negara memfasilitasi, mendukung dan menyediakan
35
manusia bangsa
kondisi yang kondusif untuk bisnis pendidikan
Dengan harus bersikap kritis terhadap dampak yang diakibatkan globalisasi, perlu dipersiapkan suatau konsep paradigma pendidikan sebagai respon dan counter terhadap globalisasi. Arus globalisasi memang tidak dapat dibendung karena keharusan sejarah dalam evolusi peradaban manusia, namun mengatur stategi dan mensiasati agar tidak menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan manusia adalah keharusan. Kemajuan teknologi dan canggihnya sistem sosial, ekonomi-politik adalah untuk manusia yang harus digunakan secara manusiawi bukan sebaliknya kehidupan manusia diwakafkan untuk kepentingan teknologi, sistem sosial, ekonomi dan politik. Jika terjadi pengagungan terhadap teknologi akan merebut peran akal sehat (rasio), nurani dan kemanusiaan, di sinilah menjadi usaha rasional manusia modern mrnjadi mitos karena apa yang dilakukan itu menjadi irasional.27 Dalam pendidikan reparadigmatisasi adalah pergeseran paradigma (shifting paradigm)28 secara mendasar terhadap pokok persoalan pendidikan nasional dan bidang sosial dan politik sebagai amanat reformasi. Dalam era globalisasi ini pendidikan Islam berada dalam kondisi delematis. Namun demikian pendidikan Islam secara konseptual dan secara realitas selalu aktif dan mendapatkan posisi yang stategis dalam percaturan masyarakat global beserta segala persoalan yang melingkupinya. Sebab perkembangan
pendidikan
Islam
sesungguhnya
memiliki
potensi
fleksibilitas dan relevansi sesuai dengan tuntutan zaman. Memang perlu diakui globalisasi yang telah membawa kemakmuran ekonomi dan 27
Jabaran tentang dilema usaha manusia rasional diulas dengan sangat apik oleh Sindhunata. Lihat Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern oleh Max Hoekheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt (Jakarta: Gramedia, 1982) 28 Istilah ini mula-mula dikenalkan oleh Thomas Kuhn untuk menjelaskan perbedaan perkembangan ilmu sosial dan alam. Baginya ilmu sosial dikuasai oleh suatu paradigma, kemudian paradigma itu merosot dan digantikan oleh paradigma baru yang tidak ada kaitannya dengan paradigma lama yang digantikannya. Itulah sebabnya perkembangan ilmu sosial terjadi secara revolusi. Lihat, Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970).
36
kemajuan iptek, telah pula membawa dampak krisis spiritual dan kepribadian, sehingga lebih memunculkan kesenjangan dan kekerasan sosial, ketidakadilan, dan demokrasi.29 Dari sini tampak bahwa pendidikan Islam memiliki ruang dalam aspek spiritualitas, karena kondisi masyarakat global yang memiliki kecenderungan melalaikan aspek spiritual-keagamaan, mereka lebih bersifat sekular, sehingga secara manusiawi akan asing dalam dunianya sendiri. Berdasarkan pandangan di atas, pendidikan Islam secara tegas memiliki tujuan tidak hanya mengurusi persoalan profan atau keduniawian, akan tetapi pendidikan Islam juga memperhatikan nuansa agamis (religiusitas) yang sejak dini ditanamkan pada peserta didik. Untuk menciptakan format pendidikan Islam dalam konteks global perlu diadakan berbagai hal, antara lain: 1.Rekonstruksi paradigma pendidikan Islam berbasis kontekstual-kritis Perlunya melakukan rekonstruksi paradigma pendidikan menuju paradigma pendidikan yang berbasis kontekstual-kritis adalah karena melihat realitas pendidikan Islam yang sarat dengan problem. Posisi pendidikan
Islam
dalam
kondisi
dipersimpangan
jalan
antara
mempertahankan tradisi lama dan mengadopsi perkembangan baru. Upaya mempertahankan sepenuhnya tradisi lama berarti status quo. Yang menjadi terbelakang meskipun memuaskan secara emosional dan romantisme dengan identitas pendidikan Islam masa lalu. Sementara itu, mengadopsi perkembangan baru begitu saja berarti mengesampingkan akar sejati dan autentik dari sejarah pendidikan Islam, walaupun berhasil memenuhi keperluan pragmatis untuk menjawab tantangan sesaat dari lingkungan sekitarnya. Situasi ini tercermin dalam kebingungan maju-mundur, dan ketidakjelasan arah dan tujuan modernisasi pendidikan Islam selama ini.30 Sedangkan dalan konteks globalisasi sekarang ini pendidikan Islam harus 29
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 129. 30 Ibid, hlm. 17
37
meletakkan sebuah paradigma yang jelas dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang belum sempat terjawab. Paradigma kontekstual-kritis bukanlah satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan persoalan diatas, akan tetapi, dengan melihat sekian rangkaian dan agenda masyarakat global pendidikan Islam sangat penting meletakkan pola pikirnya yang lebih konteks dengan realitas disekitarnya. Masyarakat global memang mengalami masalah yang cukup banyak. Baik tentang spiritualitas, kemanusiaan, kesenjangan social dan lain sebagainya, merupakan kondisi empirik sosial yang harus dicarikan solusi. Sehingga pendidikan Islam memiliki orientasi yang jelas. Dengan segala perangkat yang bersifat lunak dan tetap berpegang pada visi utama pendidikan Islam yakni kesemuanya itu bermuara untuk menciptakan kesempurnaan insani baik didunia maupun diakhirat. Paradigma kontekstual-kritis tersebut sangat berbeda dengan apa yang selama ini menjadi isu hangat dalam strategi pembelajaran yaitu pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL). CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa yang mendorong siswa membuat
hubungan
antara
pengetahuan
yang
dimilikinya
dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.31 Sedangkan paradigma ini lebih menekankan pada penekanan pola pikir atau cara pandang yang lebih konteks, realis dan solutif, tentunya dengan kesadaran kritis. Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah mealakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology kearah transformasi social. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap struktur dan sistem ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem social yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa dersikap netral, bersikap obyektif atau berjarak 31
Nurhadi, Pendekatan Kontekstual: Contextual Teaching and Learning/CTL (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003) hlm. 2
38
dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi Pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru dan lebih adil.32 Dalam perspektif kritis, pendidikan Islam harus bisa menganalisis secara kritis dan bebas serta mengidentifikasi persoalan-persoalan yang melingkupi masyarakat global untuk transformasi sosial. Atau dengan bahasa lain dsapat diakatan bahwa upaya memanusiakan kembali manusia harus menjadi landasan utama dalam setiap pelaksanaan pendidikan Islam. Karena melihat kondisi masyarakat yang secara manusiawi realitas kemanusiaannya telah hanyut dalam percaturan global tersebut. 2. Reorientasi tujuan dan kurikulum pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam kalua dicermati secara kritis lebih berupaya menciptakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, melayani kebutuhan umat Islam, menjaga keutuhan umat Islam dan menanamkan akhlak dan lain sebagainya. Hal ini tampak jelas bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam masih bersifat umum dan tidak konteks dengan masyarakat dan perkembangan zaman. Dalam era globalisasi sekarang tujuan pendidikan harus diadakan sebuah re-orientasi. Merperjelas orientasi ini bukan berarti menghilangkan semangat tujuan pendidikan Islam yang semula telah di idealkan. Untuk hal tersebut tujuan pendidikan dan kurikulum harus diarahkan menjadi satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan yang akan di idealkan. Maka disini rumusan tujuan pendidikan Islam diharapkan lebih bersifat konstruktif, strategis dan solutif, yang menyentuh persoalan yang dihadapi masyarakat. pendidikan Islam harus diupayakan untuk membangun kesempurnaan insani yang secara utuh dalam setiap aspek kehidupan yang memiliki budaya Islami dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari, berkemampuan inovatif dalam mengakses perkembangan zaman serta 32
Toto Rahardjo, Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis (Yogyakarta: Read & Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 22
39
mampu berfikir cooperatif
dalam era global dan tetap berpijak pada
karakter yang dimiliki yang kesemuanya itu untuk menyeimbangkan komunikasi vertikal dan horizontal manusia sebagai khalifatullah dan tetap dalam upaya memberikan solusi atas problem yang dihadapi masyarakat sekarang.33 Rumusan tujuan di atas memang cukup global dan sangat bernuansa idealis. Akan tetapi, penulis tetap bersifat optimistik terhadap tujuan di atas, asalkan ada kerjasama yang sinergis atas segala komponen dan perangkat pendidikan. Sehingga untuk mendukung terciptanya tujuan tersebut dibutuhkan sebuah kurikulum yang realistis dan solutif yang berbasis kerakyatan. Maksudnya di sini adalah kurikulum yang memang benar-benar menjadi tuntutan dan kebutuhan masyarakat sekarang ini. Karena tidak adanya kurikulum yang realistis dan memberikan solusi atas problem masyarakat, sehingga pendidikan akhirnya menjadi sebuah aspek kehidupan manusia yang pheriferal karena dunia pendidikan yang menggodok manusia untuk lebih cerdas dan memiliki kualitas SDM yang baik, ternyata tidak mampu melaksanakan amanat tersebut. Terlebih berkaitan dengan pengelolaan pendidikan, yang dikelola secara komersil akan menciptakan kesenjangan yang luar biasa dalam struktur sosial kemasyarakatan. Pendidikan Islam harus benar-benar meciptakan kurikulum yang mengkonstruksi peserta didik akhirnya berkarakter dan memiliki moral yang baik. Karena kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam pendidikan, khususnya pendidikan formal. Bahkan, kurikulum dijadikan tolak ukur dan arah dari sebuah lembaga pendidikan. Karena itu, pembahasan tentang kurikulum penting dilakukan khususnya kurikulum dalam lembaga pendidikan Islam. Sebenarnya, kurikulum yang dimaksud di sini tidak sekadar dalam pengertian sekumpulan mata pelajaran/kuliah yang sarat dengan silabi dan berorientasi kognitif saja, namun kurikulum dalam arti sejumlah pengetahuan dan 33
Imam Machali (ed), Op. Cit,. hlm. 155.
40
pengalaman yang harus diberikan kepada dan dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat menjadikan outcome yang diharapkan.34 Maka di sini diperlukan kontekstualisasi kurikulum pendidikan Islam dalam setiap jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pada perguruan tinggi Islam. 3. Reorientasi manajemen dan pengembangan SDM yang Islami Manajemen adalah salah satu persoalan penting dalam pendidikan Islam. Karena kemunduran pendidikan Islam atau pun terpuruknya output pendidikan Islam tidak terlepas dari proses manajemen yang kurang tepat. Sikap etos kerja tinggi, jujur dan penuh tanggung jawab memang sangat susah ditemukan, hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini diajarkan oleh pendidikan Islam. Maka sebagai upaya perbaikan kedepan manajemen lembaga pendidikan Islam/madrasah dan sejenisnya harus diadakan perubahan-perubahan yang berarti. Untuk kepentingan ini, paradigma manajemen perguruan tinggi harus mengalami pergeseran dari paradigma lama ke paradigma baru: 1. Dari posisi subordinatif ke posisi otonom 2. Dari strategi sentralistik ke strategi desentralistik 3. Dari pengambilan otoritatif menuju pengambilan keputusan partisipatif 4. Dari pendekatan birokratik ke pendekatan profesional 5. Dari model penyeragaman ke model keragaman 6. Dari langkah praktis kaku ke langkah praktis lunak 7. Dari kebiasaan diatur ke kebiasaan berinisiatif 8. Dari serba regulasi ke deregulasi 9. Dari kemampuan mengontrol ke kemampuan memengaruhi 10. Dari kesukaan mengawasi ke kesukaan menfasilitasi 11. Dari ketakutan dengan risiko ke keberanian dengan risiko 12. Dari pendelegasian ke pemberdayaan 34
Muqowim, Mencari Format Lembaga Pendidikan Islam Alternative, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam Vol.4. No.2, Juli 2003 Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 185
41
13. Dari organisasi hierarkis ke organisasi egaliter.35 Dalam pengelolaan dan implementasi visi manajemen pendidikan di atas memang di butuhkan sumber daya yang berkualitas, sehingga usaha untuk perbaikan tidak sia-sia. Dan dibutuhkan sebuah team kerja yang solid yang memiliki komitmen terhadap perkembangan pendidikan Islam yang kemudian di transformasikan ke segala sendi, jalur dan komponen pendidikan Islam. Gambar I Fungsi Lembaga-Lembaga dalam Pelaksanaan Otonomi di Bidang Pendidikan.36
PEMERINTAH PUSAT
PERGURUAN TINGGI DI DAERAH
Akuntabilitas vertikal Hubungan Konsultatif PEMDA PROPINSI DINAS DIKNAS PROVINSI
Hubungan Konsultatif
Hubungan Koordinatif
PEMDA KABUPATEN DINAS DIKNAS KABUPATEN
Sekolah Madrasah PLS
Sebagai bentuk komitmen pendidikan Islam dalam mengawal sikap kemanusiaan, populis (kerakyatan), kebersamaan dan keadilan, pendidikan Islam jangan sampai dikelola secara komersial. 35
Husni Rahim, Op.Cit, hlm.21-22 Melihat kepada fungsi perguruan tinggi di daerah sebagai pusat yang mempunyai kemampuan dan kedudukan yang otonom maka lembaga perguruan tinggi di daerah dapat dijadikan pusat jaringan kerja sama untuk masing-masing profinsi. Perguruan tinggi di daerah tersebut berfungsi bukan hanya sebagai clearing house dari hasil uji-coba dan pusat informasi, tetapi juga dapat dijadikan sebagai mitra penarik dari gerbong reformasi pendidikan di daerah. Lihat, HAR. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 107-108.ss 36
42
Dalam pendidikan Islam pun harus dikelola secara adil dan merata sehingga seluruh masyarakat dari segala lapisan dan penjuru dapat mengenyamnya dengan baik. Meskipun selama ini bermunculan berbagai lembaga pendidikan Islam atau lembaga pendidikan milik orang Islam yang mengklaim berkualitas, terpadu, unggulan, favorit yang sesungguhnya hal tersebut akan menciptakan kesenjangan yang membahayakan. Karena untuk menuju ke sana pun harus mengeluarkan biaya yang mahal dan tidak semua orang Islam dapat mengenyam pendidikan ke sana. 4.Demokratisai pendidikan Islam dan penciptaan lembaga-lembaga pendidikan Islam alternative Proses demokratisasi dalam pendidikan Islam menjadi sangat penting, karena mengingat pendidikan Islam, merupakan sebagai subsistem pendidikan nasional digaharapkan dapat ikut serta melakukan demokratisasi pendidikan. Sebab dengan demokratisasi pendidikan, proses pendidikan Islam dapat menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat dan turut bertanggung jawab (melu angrungkebi) terbiasa terdengar dengan baik dan menghargai pendapat dan pandangan orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki (melu handarbeni), sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakat (padhasarana), dan mempelajari kehidupan masyarakat.37 Dalam proses pembelajaran pun harus dikelola secara demokratis, sehingga peserta didik merasa senang ketika proses belajar sedang berlangsung. Faktor keberhasilan pendidikan termasuk salah satunya ditentukan oleh suasana kelas yang demokratis, yang ditentukan oleh berbagai faktor, termasuk kualitas perjumpaan siswa dan guru. Semakin baik kualitas perjumpaan tersebut maka semakin tinggi kemungkinan untuk mencapai keberhasilan. Jika suasana kelas menyenangkan, maka kelas akan terkesan hidup. Kelas yang hidup umumnya ditandai keaktifan antara guru 37
Suwadi, Demokratisasi Pendidikan dalam Pengajaran Pragmatic Sastra Sebagai Wahana Penciptaan Masyarakat Madani, Cakrawala Pendidikan edisi khusus, Mei 1999, hlm. 57.
43
dan murid dalam proses pembelajaran, serta meningkatnya keharmonisan hubungan di antara kedua belah pihak. Kelas yang ideal adalah kelas yang demokratis. Dalam hal ini, siswa adalah guru dan guru adalah siswa. Suasana kelas tidak menonjolkan pada senioritas, tetapi memberikan kesempatan yang sama kepada siswa maupun guru untuk menuntut ilmu. Suasana kelas yang egaliter akan mendukung terciptanya kelas yang demokratis. Dalam upaya pembentukan pendidikan Islam yang demokratis tentunya harus didukung berbagai komponen seperti guru itu sendiri, siswa dilingkungan sekolah dan bahkan kondisi lembaga pendidikan Islam. Apabila
lembaga
pendidikan
hanya
mengedepankan
aspek
pembentukan keterampilan intelektual, dan pembentukan nalar spiritual semata tanpa ada penekanan karakter, keimanan yang tangguh serta akhlak mulia maka generasi masa depan akan gamang dalam menghadapi tantangan globalisasi. Lembaga pendidikan Islam memiliki peran yang cukup signifikan dalam membangun manusia-manusia yang memang benar-benar memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni, kritis dalam merespon problem masyarakat dan siap menghadapi tantangan dalam era globalisasi.
C. Posisi McDonaldisasi dalam Pendidikan Tinggi Islam Diakui atau tidak globalisasi telah membawa dampak perubahan bagi suatu negara, tidak terkecuali pada pendidikan. Globalisasi bukan saja merupakan gejala kontemporer tetapi bersifat longue duree dan berlangsung sejalan dengan evolusi peradaban manusia. Bedanya, globalisasi saat ini memiliki intensitas, cakupan waktu, dan kecepatan yang luar biasa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.38 Pendidikan sebagai bagian dari sistem sosial telah mengalami perubahan. Barawal dari dikeluarkannya PP No.61/1999 di era pemerintahan B.J. Habibi yang mengatur tentang perubahan Perguruan Tinggi Negeri 38
Ronald Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, (London: Sage, 1992), hlm. 8-31.
44
(PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Mulik Negara (PT BHMN), dan sebagai implikasinya adalah otonomi kampus, hal ini menjadi legitimasi pemerintah untuk menyerahkan pendidikan kepada mekanisme pasar (privatisasi). Pendewasaan terhadap mekanisme pasar adalah ruh dari gagasan neoliberalisme dan anak kandung globalisasi dengan liberalisme ekonominya.39 Implikasi lebih jauh adalah privatisasi lembaga-lembaga pendidikan terutama yang sekarang digalakkan adalah perguruan tinggi negeri (PTN) dengan perubahannya BUMN menjadi BHMN adalah contoh riil arah privatisasi ini. Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggung jawab utama pemerintah diserahkan kepada pihak swasta. Karena motif utama swasta adalah mencari keuntungan, didaklah mengherankan jika privatisasi kemudian merosot menjadi komersialisasi pendidikan.40 Dunia pendidikan disulap menjadi lahan bisnis dan investasi ekonomi semata. Akibatnya, pendidikan menjadi ‘barang’ mewah yang sulit dijuangkau masyarakat bawah. Biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT) semakin mahal dan cenderung tidak terkendali. Keberadaan
privatisasi
lembaga
pendidikan
tinggi
telah
mengakibatkan terjadinya McDonaldisasi pendidikan tinggi, baik negeri atau swasta. Dengan adanya peran swasta dalam mengelola sektor pendidikan justru semakin menyengsarakan rakyat. Efek secara langsung adalah pembengkakan biaya pendidikan, yang disebabkan subsidi dari pemerintah berkurang dan mengingat biaya operasional pendidikan semakin bertambah. Sehingga muncullah fenomena McDonaldisasi pendidikan,41 39
Imam Machali (ed), Op.Cit., hlm. 125. Ibid, hlm. 126. 41 Yang lebih parah lagi adalah stereotype yang kemudian muncul adalah “untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas memang dibutuhkan biaya yang mahal”. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana nasib mereka yang berada pada garis perekonomian menengah kebawah, masyarakat pinggiran, petani, nelayan dan buruh, karena tidak mampu membiayai pendidikan? dalam UU RI no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal lima poin (1) dijelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dalam konteks ini pemerintah memang harus responsif dan mencarikan solusi terbaik 40
45
yang menjadikan pendidikan bisnis paling empuk untuk mengeruk keuntungan dengan menaikkan biaya pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik. Penetapan PTN sebagai BHMN kini diganti dengan undang-undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (SISDIKNAS) dan lembaran negara tahun 2003 No.76, tambahan lembaran negara No.4301 sebagai
undang-undang
Badan
Hukum
Pendidikan
(UU
BHP).42
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen.43 Dari APBN 2005 hanya 5,82 persen yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25 persen belanja dalam APBN.44 Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS), RUU Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib
agar supaya seluruh rakyat Indonesia dapat mengenyam pendidikan yang bermutu secara bersamasama. (Lihat, UU RI No. 20 tahun 2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional. 42 Jurnal Nuansa Universitas Negeri Semarang edisi 114, 2005. hlm. 6. 43 Kompas, 10 Mei 2005. 44 Lihat http://www.kau.or.id
46
Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.45 Alasan yang mendasari pemerintah melakukan privatisasi pendidikan adalah: Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya agar dunia pendidikan lebih efisien dan kompetitif. Pemerintah seringkali dianggap kurang mampu mengelola pendidikan sebagai sektor publik dengan baik. Akibatnya lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang (mandek).46 Kedua, privatisasi adalah anak kandung liberalisme yang semakin mengglobal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan,Privatisasi pendidika adalah
konsekuensi
logis
dari
‘McDonaldisasi
masyarakat’
(McDonaldization of Society) yang menjunjung prinsip teknologisasi, kuantifikasi, terprediksi dan efisiensi dalam setiap sendi kehidupan. Dalam masyarakat seperti ini, pendidikan dipandang sebagai public goods, melainkan
private
goods.
Sebagaimana
barang
konsumsi
lainnya,
pendidikan tidak lagi harus disediakan oleh pemerintah secara massal untuk menjamin harga murah. Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai sektor pendidikan Keadaan ini bisa real, dalam arti memang benar pemerintah kekurangan dana, misalnya akibat krisis ekonomi. Namun, bisa juga palsu. Artinya, pemerintah bukan tidak mampu melainkan tidak mau atau tidak memiliki visi untuk berinvestasi di bidang pendidikan Bahaya sosial Secara teoretis, privatisasi pendidikan sesungguhnya tidak 45 46
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Media Indonesia, 18 Februari 2004.
47
selalu bersifat negatif. Privatisasi pendidikan dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan sehingga anggaran yang tersedia bisa digunakan untuk membiayai aspek lain yang lebih mendesak. Misalnya, untuk membiayai ' pendidikan alternatif', seperti pendidikan nonformal untuk kalangan miskin, anak jalanan atau suku terasing. Privatisasi pendidikan juga dapat memberi peluang lebih besar kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi mencerdaskan bangsa. Tingkat partisipasi dan semangat kompetisi yang dilahirkan privatisasi dapat mendorong lembaga pendidikan berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer
satisfaction
oriented)
yang
senantiasa
menjaga
kualitas
kurikulum, fasilitas penunjang dan kemampuan para pendidik (dosen/guru). Kondisi ini pada gilirannya dapat menjadi faktor pendorong bagi proses belajar mengajar dan pencerdasan anak didik. Namun demikian, tanpa agenda jelas dan perangkat kebijakan strategis, privatisasi pendidikan hanya akan menjadi gerakan komersialisasi pendidikan yang mendistorsi tujuan mulia pendidikan. Tanpa regulasi yang jelas dan etika sosial yang benar, privatisasi pendidikan dapat menimbulkan bahaya sosial yang serius. Pertama, biaya pendidikan jelas menjadi mahal. Pendidikan menjadi 'barang mewah' yang sulit dijangkau oleh masyarakat luas, khususnya kelas bawah. Kondisi ini terutama terjadi pada lembaga pendidikan yang tidak memiliki kreativitas dan inovasi dalam melakukan fund raising, sehingga hanya mengandalkan siswa dan orang tuanya sebagai target sumber dana. Kedua, memperlebar gap dalam kualitas pendidikan. Privatisasi dapat meningkatkan kompetisi. Sisi lain dari kompetisi adalah menciptakan polarisasi lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang menang dalam persaingan dan perburuan dana akan menjadi sekolah unggulan. Lembaga yang kalah akan semakin terpuruk menjadi sekolah 'kurang gizi'. Ketiga, melahirkan diskriminasi sosial. Kesempatan memperoleh pendidikan semakin sempit dan diskriminatif. Orang kaya dapat memperoleh pendidikan relatif lebih mudah ketimbang orang miskin. Orang
48
kaya dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas. Orang miskin hanya memperoleh pendidikan alakadarnya. Keempat, menimbulkan stigmatisasi. Segregasi kelas sosial antara orang kaya dan miskin menimbulkan pelabelan sosial. Sekolah bagus dan ternama diidentikkan dengan sekolahan orang kaya. Sebaliknya, sekolah sederhana adalah sekolahan kaum miskin. Kelima, menggeser budaya akademik menjadi budaya ekonomis. Para guru akan memiliki mentalitas 'pedagang' ketimbang mentalitas pendidik.
Mereka
mengembangkan
lebih
tertarik
pengetahuan.
mencari
Mereka
pendapatan
lebih
terdorong
daripada untuk
mengumpulkan 'kredit koin' daripada 'kredit poin'. Di PT, fenomena ini melahirkan dua kategori dosen yaitu 'dosen luar biasa' dan 'dosen biasa di luar'. Keenam, memacu konsumerisme dan gaya hidup 'besar pasak daripada tiang'. Banyak anak-anak sekolah gedongan yang membawa mobil mahal (milik orang tuanya) ke sekolah. Guru dan dosen dapat terobsesi oleh gaya hidup mewah. Ini dapat melahirkan mental 'diktator' pada pengajar yaitu 'menjual diktat untuk beli sepeda motor'. Ketujuh, memperburuk kualitas SDM dan kepemimpinan masa depan. Didorong oleh misi untuk meningkatkan akumulasi kapital sebesarbesarnya, lembaga pendidikan akan lebih banyak menerima pelajar-pelajar gedongan meski memiliki IQ pas-pasan. Pelajar yang berprestasi tetapi miskin, tidak dapat sekolah atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mobilitas sosial vertikal hanya akan menjadi milik orang kaya yang mampu sekolah tinggi, meskipun secara intelektual diragukan. Kedelapan, mereduksi fungsi pendidikan sebagai pemutus rantai kemiskinan. Pendidikan sebagai alat pemberdayaan yang dapat memutus rantai kemiskinan (vicious circle of poverty) semakin kehilangan fungsinya.
49
Dalam
konteks
ini,
privatisasi
pendidikan
pelanggengan poverty trap (jebakan kemiskinan).
dapat
mengarah
pada
47
Kalau upaya-upaya memasyarakatkan Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) dianggap sama dengan memasyarakatkan pendidikan tinggi umum dengan tujuan semata-mata mencari profit, maka sama artinya pendidikan tinggi agama Islam menjadi sekadar komoditi yang mirip McDonald. Menjual pendidikan tinggi agama Islam sama artinya juga dengan menjual McDonald, sehingga gejala ini dapat dinamakan sebagai “komoditisasi pendidikan tinggi Islam”. Memasyarakatkan sebuah hasil pendidikan tanpa mengerti pririt pendidikan tersebut sama artinya membeli teknologi tanpa mengerti filsafat teknologinya. Maka sangat dimungkinkan terjadi penonjolan salah satu bentuk pendidikan yang dapat di-McDonaldisasikan tanpa orang mengerti seluk beluk dan arah yang akan dicapai dalam pendidikan tersebut. Namun demikian di negeri Muslim, privatisasi pendidikan yang bersifat kapitalistik sejatinya merupakan pelanggaran terhadap hukum syariat, sebab dalam pandangan Islam belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah SAW bersabda:
:ﻢ ﺺ اﷲ ﺮﺴﻮﻞ ﻗﺎﻞ:ﻗﺎﻞ ﻋﻧﻪ أﷲ ﺮﻀﻲ ﻤﺎﻟﻚ إﺒن أﻨﺎﺲ ﻋﻦ (ﻃﻼﺐ)ﻋﻟﻰ إﺒﻦ اﻟﺣﺴﻳﻦ ﻤن واﻟﺨﺎطﺐ أﻟﻂﺒﺮﻧﻰ ﺮواﻩ
ﻮﻣﺳﻟﻣﺔ ﻤﺳﻟﻢ ﻜﻞ ﻋﻟﻰ ﻓﺮﻳﻀﺔ اﻟﻌﻟﻢ
Artinya: Dari Anas Ibn Malik r.a berkata: bersabda Rasulullah SAW: "Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim" (H.R AthThabrani dan al-Khatib dari al-Husain bin 'Ali) Islam adalah sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk pendidikan yang merupakan kebutuhan pokok -hajat asasiyah- yang harus terpenuhi. Sesungguhnya terdapat pembeda yang jelas antara sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan Kapitalis. Aspek pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat,
47
Ibid.
50
pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya pendidikan tersebut kepada rakyat.Rasulullah SAW bersabda:
ﻋﻧﻬﻢ ﻤﺴﺆﻞ وهو ﺮأع اﻟﻧﺎﺲ ﻋﻟﻰ ﻓﺎﻷﻣﻳراﻟﺬﯼ ﺮﻋﻳﺗﻪ ﻋﻦ ﻤﺳﺆل ﻮﻜﻟﻜﻢ ﺮأع ﻜﻟﻜﻢ ()ﻋﻟﻳﻪ اﻟﻤﺘﻓﻖ ﺮوأﻩ
Artinya: "Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya" (HR al-Bukhari dan Muslim). Otonomi kampus tidak boleh diartikan sebagai cuci tangan pemerintah
dari
pembiayaan
pendidikan
dan
pengembangan
ilmu
pengetahuan. Kalau ini terjadi, berarti telah menghianati amanat konstitusi. Otonomi harus diartikan sebagai pembebasan PTAI dari belenggu kehendak pemerintah yang berniat mendikte bagaimana PTAI harus mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendidik anak muridnya.48
48
Heru Nugroho (ed), Op.Cit., hlm. 28.