BAB II ISLAM DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN
A. Hakekat Manusia Dalam Islam Pembahasan mengenai manusia merupakan kajian yang selalu menarik. Sejak dulu sampai sekarang manusia senantiasa menjadi obyek pemikiran dan obyek dari berbagai macam kalangan, baik itu para filosofis maupun kaum cendikiawan
dari berbagai macam disiplin ilmu. “Hal ini
dikarenakan, manusia merupakan makhluk yang berfikir, berbicara, dan berbudaya”. 1 “Karena keberadaan manusia ini sehingga para sarjana barat telah memandang manusia dengan penuh kecurigaan dan takut, dengan penuh pandangan asam, dan kadang kala memang dengan antusias terhadap kemampuannya".2 Keberadaan manusia yang membingungkan itu sedikit terobati apabila kita memangkas semua pertanyaan yang ada pada diri kita, bahwa itulah manusia. Dan kita yakin bahwa pertanyaan siapakah atau apakah menusia itu tidak akan terjawab secara tuntas. Manusia tidak hanya sebatas berkaitan dengan badan dan ruh, tetapi lebih dari itu manusia mempunyai dimensidimensi lain yang lebih luas. Namun demikian usaha untuk mempelajari manusia tidak berarti harus berhenti. Lembaran-lembaran kitab suci Al-Qur’an yang memuat sejumlah informasi baik yang tersurat (jelas namanya) maupun yang tersirat (perlu penafsiran) tentang hakekat mahluk manusia ini. Dari pemikiran diatas penulis akan membahas tentang kemuliaan manusia dan tugas kekhalifahan dalam Islam, serta fungsi fitrah dan manuia.
1
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan , (yogyakarta: Aditya Media, 1992),
hlm. 27 2
Muhammad al-Buraey, Islam : Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, terj. Ahmad nashir Budiman, (Jakarta: Rajawali, 1986) hlm. 98-99
15
16
1. Manusia Sebagai Makhluk Termulia Manusia merupakan karya Allah SWT. Yang paling istemewa, bila dilihat dari sosok dirinya. Serta beban dan tanggung jawab yang di amanatkan kepadanya. “Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Allah yang mampu menjadi sejarah dan mendapatkan kemenangan selain itu manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan san syarat-syarat yang diperlukan”. 3 Syarat itu bahwa manusia sebagai kesahihan jiwa dan raga dalam hubungan timbal balik dengan dunia dan sesamanya. Manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Firman Allah dalam al-Qur’an surat at-Tin: 4
( 4 :ﻳ ٍﻢ )ﺍﻟﺘﲔﺗ ﹾﻘ ِﻮ ﺴ ِﻦ ﺣ ﻲ ﹶﺃ ﺎ ﹶﻥ ِﻓﻧﺴﺎ ﹾﺍ ِﻹﺧﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﺪ ﹶﻟ ﹶﻘ Sesungguhnya telah kami ciptakan manusia itu dalam sebaik-baik nya bentuk. (QS: At-Tin:4). 4 Keistemewaan ini menyebabkan manusia jadi “khalifah” di muka bumi ini, yang kemudian dipercaya untuk memikul amanah berupa tugas diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling mulia karena kesempurnaan bentuk dan kelebihan akal dan pikiran yang ikut membedakan dengan yang lainnya. “Sebagai konsekuensinya, manusia dituntut untuk berbakti kepada Allah dengan memafaatkan kesempurnaan dan
kelebihan
keistemewaan
yang dan
dianugrahkan
kelebihan
yang
kepadanya”.5 dimilikinya
Sejalan itu
maka
dengan Allah
mengikrarkan dalam al-Qur’an “bahwasanya tujuan pokok diciptakan manusia di alam ini adalah untuk mengenal dan menyembah kepada-Nya” firman Allah: 3
Ismail Raji’ al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Anas muhyidin, (Bandung: Pustaka Pres, 1986) hlm. 37 4 Soenarjo, al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Thoha Putra, 1989), hlm. 1076 5 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, cet. III), hlm. 13
17
(56: ﻭ ﹶﻥ )ﺍﻟﺬﺭﻳﺎﺕ ﺪﻌﺒﺲ ﺇ ﱠﻻ ِﻟﻴ ﻧﻭﺍﹾﻹ ﻦ ﺠ ِ ﺍﹾﻟﺧﹶﻠ ﹾﻘﺖ ﺎﻭﻣ Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan mereka supaya menyembah Ku (QS.Al-Dzariyat:56). 6 Tujuan ini ditempakan sebagai bagian yang terpenting dalam hubungan dengan penciptaan manusia selaku makhluk (yang diciptakan). Dengan demikian alur kehidupan manusia yang serasi sebagai makhluk adalah apabila ia dapat mengemban tugas dan tanggung jawabnya dengan tujuan untuk berbakti kepada sang pencipta semata. Bukan untuk kepentingan diluar itu secara lebih jelas, keistimewaan dan kelebihan manusia, di antaranya terbentuk daya dan bukan sebagai potensi yang memiliki peluang begitu besar untuk dikembangkan. “Dalam kaitan dengan pertumbuhan fisiknya, manusia dilengkapi dengan potensi berupa kekuatan fisik, fungsi organ tubuh dan panca indera. Kemudian dari aspek mental, manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fantasi maupun gagasan. Potensi ini dapat mengantarkan manusia memiliki peluang untuk bisa menguasai serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sekaligus menempatkannya sebagai makhluk berbudaya”. 7 Di luar itu manusia juga dilengkapi juga unsur lain, yaitu kalbu. Dengan kalbunya ini terbukti kemungkinan manusia untuk menjadi dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual. Sebagaiman firman Allah:
(7 :ﻢ )ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ ﻮِﺑﻜﹸ ﻲ ﻗﹸﻠﹸ ِﻓﻨﻪﻳﺯ ﻭ ﺎ ﹶﻥﻳﻤ ﹾﺍﻹﻴﻜﹸﻢﺐ ِﺍﹶﻟ ﺒﺣ Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menghiasinya keindahan dalam kalbunya. (QS: al-Hujurat, 7) 8 Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT pada dasarnya telah dilengkapi dengan perangkat yang dibutuhkan untuk menopang tugastugas pengabdiannya. Perpaduan daya-daya tersebut membentuk potensi,
6
Soenarjo, Op. Cit. hlm. 857 Jalaluddin, Op. Cit, 841 8 Soenarjo, Op. Cit. hlm. 846 7
18
yang menjadikan manusia mampu menyesuaikan dengan lingkungannya, serta mampu menghadapi tantangan yang mengancam kehidupannya. Dan dengan menggunakan kemampuan akalnya, menusia dapat berkreasi membuat berbagai peralatan guna mempertahankan diri dari gangguan musuh dan alam lingkungannya. Selain itu manusia juga mampu berinovasi, berkarya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
2. Manusia Sebagai Khalifah Di Muka Bumi Sebelum manusia diciptakan, Allah telah mengemukakan rencana penciptaan tersebut pada para malaikat. Pernyataan Allah ini terangkum dalam surat al-Baqarah ayat 30:
(30 :ﻴﻔﹶﺔ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺧِﻠ ﺽ ِ ﺭ ﺎﻋِﻞ ﻓِﻰ ﺍﹾﻷﻧِﻰ ﺟﻤﹶﻠِﺌ ﹶﻜ ﹶﺔ ِﺇ ﻚ ِﻟ ﹾﻠ ﺑﺭ ﻭِﺍﺫﹾﻗﹶﺎ ﹶﻝ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “ Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi ini”. (QS: al-Baqarah,30) 9 Untuk melakukan tugas-tugas kekhalifahan itu, Allah tidak membiarkan makhluk ciptaannya itu dalam keadaan kosong manusia dilengkapi oleh Allah dengan berbagai potensi, antara lain: bekal pengetahuan. “Sebagai khalifah, manusia mempunyai peranan ideal yang harus dijalankan, yaitu memakmurkan bumi: mendiami dan memelihara serta mengembangkan demi kemaslahatan hidup mereka sendiri bukan mengadakan kerusakan di dalamnya”.
10
Kedudukan dan peran itu
diberikan Allah kepada manusia bukan karena Allah lemah, melainkan dia memuliakan manusia.
9
Ibid. hlm. 13 Hery Noor Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 62
10
19
M. Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah mencakup dua pengertian: 1. “Orang yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luar maupun terbatas. 2. Khalifah mempunyi potensi, bakat dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu”.11 Selanjutnya ia menyadur pendapat Muhammad Baqir al-Shadr, “bahwa khalifah mempunyai tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu; manusia, alam raya dan hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia”. 12 Beranjak dari pemahaman makna khalifah di atas, barangkali akan jelas bagaimana peran yang harus dilaksanakan manusia menurut statusnya selaku khalifah Allah setidak-tidaknya peran yang harus dilaksanakan manusia terdiri dari peran vertikal dan horizontal. 1. Sikap manusia terhadap diri sendiri Manusia sebagai khalifah Allah tidak mungkin dapat menjalankan peran ideal nya tanpa memiliki cukup pengatahuan yang berkaitan dengan peranan serta kemampuan untuk menjalankannya. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan berbagai potensi yang ada di dalam dirinya, dan untuk itu ia perlu mengetahui asal kejadiannya. Allah menyuruh manusia untuk mencari tahu tentang asal kejadiaanya.
(5: ﻖ )ﺍﻟﻄﺮﻕ ِﻠﻢ ﺧ ﺎ ﹶﻥ ِﻣﻧﺴﻨﻈﹸ ِﺮ ﹾﺍْﻹﻴﹶﻓ ﹾﻠ “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. (QS: At-Thariq:5) 13
11
M Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 158 Ibid 13 Soenarjo, Op. Cit, hlm. . 1048 12
20
Asal kejadian manusia di dalam al-Qur’an terdiri dari dua unsur. Pertama: manusia dijadikan dari tanah, yaitu ketika Allah menciptakan nabi Adam, As. Yang disebut sebagai “Bapak Manusia”. Kedua:
manusia
dijadikan
dari Nutfah, yaitu:
ketika Allah
menciptakan “Bani Adam” (anak cucu Adam atau manusia setelah Adam). Namun, pada asal pertama maupun pada asal kedua, Allah meniupkan ruh kepada manusia. Dua asal kejadian manusia ini bisa dilihat dalam (Qs. Al-Sajadah: 7-8) Hal di atas menunjukkan bahwa pada diri manusia terdapat dua unsur yang membentuk kejadiannya, yaitu tubuh atau badan atau jasad dan ruh. Tubuh bersifat material, ia berasal dari tanah dan menjadi tanah setelah manusia mati. Sementara itu, ruh bersifat immaterial, ia berasal dari substansi immaterial di alam gaib dan akan kembali kealam gaib setelah manusia mati. Unsur
badan
(jasmani)
dan
rohani
bisa
mengalami
perkembangan, dan perkembangan unsur-unsur jasmani dan rohani manusia banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama karena hubungan dengan pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer manusia bersumber pada aspek-aspek biologis atau organis manusia, seperti kebutuhan akan makanan dan minuman, buang air besar atau kecil, perlindungan dari iklim, istirahat dan tidur pelepasan dorongan seksual dan reproduksi serta kesehatan yang baik. Sedangkan
kebutuhan
sekunder
manusia
meliputi:
berkomunikasi dengan seksama, kegiatan bersama, sistem pendidikan serta kontrol sosial. Manusia tidak akan bisa berkembang dengan sendirinya. Karena perkambangan manusia banyak bergantung pada pengaruh lingkungan. Pendidikan merupakan lingkungan yang paling penting dalam membantu manusia untuk mencapai perkembangannya. Oleh
21
sebab itu, dalam Islam, penyelenggaraan pendidikan merupakan suatu keharusan. Dalam pendidikan Islam, dua unsur (jasmani dan rohani) yang membentuk
manusia
dengan
segala
potensinya
sama-sama
mendapatkan perhatian. “Unsur rohani tidak lebih diutamakan atas unsur jasmani, demikian pula sebaliknya, karena unsur-unsur itu saling mempengaruhi”. 14 2. Sikap Manusia Terhadap Alam dan Sesamanya “Allah telah melengkapi manusia dengan potensi-potensi ruhaniah dan jasmaniah yang lebih dari makhluk hidup lainnya, terutama potansi akal, maka pada manusia juga dibebani tugas, disamping tugas untuk memelihara dan melestarikan alam ini dan dilarang merusaknya”. 15 Firman Allah:
ﻪ ﻭﺍ ﺍﻟﻠﱠﺍ ﹾﺫ ﹸﻛﺮﻀ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻭ ﻦ ﹶﻓ ﻮﺍ ِﻣﺘﻐﺑﺍﺽ ﻭ ِ ﺭ ﻭﺍ ﻓِﻲ ﺍ َﻷﺸﺮ ِ ﺘﻧﻠﻮ ﹸﺓ ﻓﹶﺎﺖ ﺍﻟﺼ ِ ﻴﻀ ِ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﻗﹸ (10:ﻮ ﹶﻥ )ﺍﳉﻤﻌﺔﺗ ﹾﻔِﻠﺤ ﻢ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﹶﻛﺜِﲑﹰﺍ ﹶﻟ Maka apabila telah selesai mengerjakan shalat, hendaklah kamu bertebaran di muka bumi dn carilah karunia Allah sebanyakbanyaknya, mudah-mudahan kamu memperoleh kemenangan. (QS: Al-Jumat:10) 16 Manusia di samping harus menjaga dan melestarikan alam, dia juga harus menempatkan diri dan berperan sesuai dengan statusnya dalam masyarakat san lingkungan tempat ia berada. Di setiap lingkungan tentunya ada tata aturan masing-masing yang harus dipenuhi agar dalam hubungan antar individu dengan kelompok lingkungannya terjalin hubungan dengan baik, lancar dan harmonis. Dalam konteks ini maka potensi manusia perlu dibina dan dibimbing
14
Herry NoorAly, Op. Cit. hlm. 67-73 Zuhaerini Dkk. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Akssara, 1995), cet. II, hlm. 85 16 Soenarjo, Op. Cit. hlm. 933 15
22
agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan sosial masingmasing. Secara konkret, pembinaan dan bimbingan potensi menusia berdasarkan pendekatan sosial ini secara, secara berjenjang harus di arahkan sejalan dengan potensi masing-masing, dengan penjelasan bahwa: 1. Potensi seksual dibina dan dibimbing sesuai dengan ketentuan penciptanya, yaitu melalui pernikahan yang sah, agar terbina rumah tangga yang langgeng, tentram dan harmonis. 2. Potensi sosial berdasarkan tingkat usia dan kebutuhan dibina secara bertahap: a. Dalam lingkungan keluarga pembinaan dilakukan melalui bimbingan akhlak dalam hubungan suami istri, tanggung jawab orang tua terhadap anak, sikap anak terhadap orang tua serta sikap terhadap sesama saudara dalam keluarga. b. Dalam lingkungan kekerabatan pembinaan dilakukan melalui bimbingan akhlak dalam hubungan antaar keluarga maupun antar kerabat. c. Dalam lingkungan tetangga pembinaan dilakukan melalui bimbingan akhlak dalam bertetangga dengan cara memenuhi serta menghargai hak dan kewajiban antar sesama tetangga. d. Dalam lingkungan masyarakat bangsa maupun masyarakat manusia secara menyeluruh, bimbingan dilakukan melalui pembinaan dan penumbuhan rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk, baik yang organik maupun an-organik. Pembinaan di titik beratkan pada upaya menjaga diri dari tindakan pembasmian dan perusakan terhadap makhluk Allah, sehingga keseimbangan alam terpelihara. Pengelolaan alam didasarkan pada prinsip pemeliharaan dan pelestariannya.
23
Melalui pendekatan sosial, manusia dibina dan dibimbing sehinga potensi yang dimilikinya, yaitu sebagai makhluk sosial dapat tersalurkan dan sekaligus terarah pada nilai-nilai yang positif. Melalui pembinaan dan bimbingan yang berpedoman pada prinsip akhlak, diharapkan potensi yang dimiliki setiap individu dapat bermanfaat dalam pembinaan hubungan sosialnya. Dengan demikian hubungan sosial antar sesama manusia, maupun antar sesama makhluk senantiasa terpelihara secara harmonis, Karena landasan dasarnya adalah keimanan dan kemaslahatan. Hubungan baik antar sesama manusia dalam kehidupan sosial yang didasarkan pada prinsip keimanan ini, diharapkan akan terbentuk suatu yang baru, bahwa segala bentuk aktifitas harus bernilai manfaat lebih jauh manfaat tersebut dikaitkan dengan tuntutan Allah, hingga setiap aktifitas merupakan ibadah makhluk sosial yang bernilai Ilahiyah. 17 3. Sikap Manusia Terhadap Allah Manusia
adalah
makhluk
Allah
yang
istimewa
dan
diistimewakan oleh Allah, sebagai makhluk, manusia telah diberkahi oleh Tuhan dengan berbagai macam kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia dalam kehidupannya menjumpai dan menghadapi dua aspek kehidupan nyata dan berbeda, dua kenyataan ini hidup yang bertentangan, yaitu sebagai: sebagai makhluk, manusia mendapati dirinya sepenuhnya terikat dan diatur oleh hukum-hukum Tuhan
secara
ketat,
yang
ia
tidak
dapat
mengelak
atau
menyimpanginya dengan jalan dan bentuk apapun. Menghadapi aspek ini,
sebagaimana
makhluk-makhluk
lainnya,
ia
menjumpai
cengkraman hukum-hukum alam yang mengikat dan diikutinya dan ketundukan dan kepatuhan.
17
Jalaluddin, Op. Cit. hlm. 46
24
Dengan kata lain bahwa semua kegiatan manusia, baik dalam bidang budaya maupun mu’amalah harus dikerjakan dalam rangka penyembahan kepada Allah dan mencari keridhaannya. 18 B. Ideologi Pendidikan 1. Pengertian Ideologi Dalam kamus ilmiah populer, Ideologi berarti sesuatu yang dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur menangani bermacam-macm masalah politik, ekonomi dan sosial; asas dan pandangan hidup. 19 “Istilah ideologi digunakan dalam dua cara yang sangat berbeda. Di satu sisi, “Ideologi” digunakan oleh beberapa penulis sebagai sebuah istilah yang murni deskriptif: sebagai “sistem berfikir”, “sistem kepercayaan”, “praktik-praktik simbolik” yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Penggunaan istilah ini telah memunculkan apa yang disebut dengan konsepsi netral tentang ideologi. Tidak ada upaya, pada konsepsi basis ini, untuk untuk memisahkan antara jenis-jenis tindakan dengan animasi ideologi; ideologi hadir dalam setiap program politik, mengabaikan program yang dimaksudkan sebagai pemeliharaan dan transformasi tatanan sosial”. 20 Namun
bagaimanapun,
terdapat
pemahaman
lain
tentang
“ideologi” yang dibuktikan di beberapa literatur lain. Dalam beberapa tulisan, ideologi sering dikaitkan dengan dua pemikir besar: Karl Marx dan Karl Mannheim. Bagi Marx: ideologiideologi politikpun tak pelak lagi sebagian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi ekonomi masyarakat. “Sementara konsep Manheim tentang sebuah ideologi total (sebagai lawan dari konsepsinya tentang sebuah ideologi tertentu) yang intinya sama dengan Marx”. 21
18
Lihat Qs. Az-Zariyat Widodo, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Absolut, 2002), hlm. 24 20 John B. Thomson, Analisis Ideologi Kritik wacana Ideologi-Ideologi Dunia, (Yogyakarta: IRCISOD, 2003), hlm. 17 21 Wiliam F, Oneil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2001), hlm 31 19
25
Dari pemahaman ideologi ini, kita bisa menemukan definisi yang telah dikembangkan lebih lanjut dan kemudian banyak dipakai. Sebagian perkembangan gagasan Yang pertama bisa ditemukan dalam definisi Raymound Aron, pemikir politik Perancis yang dikenal beraliran kanan. Konsep kedua lebih dekat dengan yang dipahami oleh Karl Marx, yang ketiga lebih terwakili pada definisi ideologi oleh Paul Ricoeur. Raymon Eron mendefinisikan ideologi dengan dua model: Pertama: ideologi merupakan “sistem global penafsiran dan tindakan” dan, kedua: ideologi disamakan dengan apa yang disebut sebagai agama sekuler. Dengan istilah “agama sekuler” dimaksudkan “ suatu perumusan semi sistematis tentang suatu visi global dunia nyata visi yang memberikan makna sekaligus pada masa lalu dan sekarang. Visi itu menunjukan kewajiban-kewajiban manusia, dan menunjukkan masa depan yang direncanakan dan didasarkan pada realitas sekarang. Devinisi ini mengaitkan visi menyeluruh tentang dunia, tetapi masih dalam tingkat politik. Dan dengan istilah semi-sistematik, sebetulnya mau dipertanyakan otentitas dari rasionalitas ideologi dan hubungannya dengan realitas. 22 Pada umumnya ideologi merupakan salah satu bentuk varian dari pola-pola keyakinan moral dan kognitif yang komprehensif mengenai manusia, masyarakat dan semesta dalam kaitannya dengan manusia dan masyarakat, yang subur dalam masyarakat manusia. Pandangan dan kepercayaan, sistem dan gerakan pemikiran, dan program merupakan contoh lain dari pola komprehensif yang berbeda dari ideologi. Pola komprehensif ini berbeda satu dari yang lainnya dalam tingkat, (a) formulasi explisit, (b) integrasi sistemik yang dimaksudkan di seputar keyakinan moral khusus dan kognitif; (c) keterikatan dengan polapola lain di masa lain dan sejaman yang diakuinya; (d) tertutup terhadap unsur-unsur baru atau variasi; (e) keharusan manivestasi dalam tingkah laku; (f) akibat-akibat serta (g) tuntutan persetujuan dari mereka yang menerimanya; (h) kekuasaan pengundangan; (i) asosiasi dengan suatu badan yang dimaksudkan untuk mewujudkan pola keyakinan. 23 Sedangkan untuk tujuan-tujuan kita sekarang, istilah ideologi digunakan secara agak bebas, namun umunya mengikuti arah yang 22
Harjatmoko, Mekanisme Ideologi Dalam Strukturasi Tindakan Sosial, dalam makalah Pelatihan Sekolah Filsafat pada tanggal 31 Januari-5 Februari 2005 di UGM Yogyakarta, hlm. 1-2 23 Edward Shils, Ideologi: Konsep Dan Fungsinya, dalam makalah Pelatihan Sekolah Filsafat pada tanggal 31 Januari-5 Februari 2005 di UGM Yogyakarta, hlm. 1
26
ditunjukkan Alastoir C. Macintyre dalam pandangan bahwa sebuah ideologi mempunyai tampilan kunci: Pertama: adalah bahwa ideologi berupaya untuk menggambarkan karakteristik-karakteristik umum tertentu alam atau masyarakat, atau kedua-duanya, karakteristik-karakteristik yang tidak hanya ada di tampilan-tampilan tertentu dari dunia yang sedang berubah. Yang bisa diselidiki lewat pengkajian empiris, yang kedua perhitungan tentang hubungan antara apa yang dilakukan dengan apa yang seharusnya dilakukan, keterkaitan antara hakekat dunia dan hakekat moral, politik dan panduan-panduan prilaku lainnya. Artinya sebuah alat perumus dalam sebuah ideologi (adalah) bahwa ia tidak hanya sekedar memberitahu kita tentang dunia ini sebenarnya, dan bagaimana musti kita berprilaku, melainkan ia berkenaan dengan arah yang diberikan satu terhadap yang lain. Ia melibatkan sebuah kepedulian, entah itu tersirat atau terangterangan, terhadap status pernyataan-pernyataan tentang aturan-aturan moral serta pernyataan-pernyataan yang mengungkapkan penilaian. Ketiga: ideologi tidak hanya dipercayai oleh anggota-anggota kelompok sosial tertentu, melainkan diyakini sedemikian rupa sehingga ia setidaktidaknya merumuskan sebagian keberadaan sosial mereka. 24 Atau sebagaimana Sargent, mengindikasikan “sebuah ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat. Ia menyediakan sebuah potret dunia sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya dunia itu bagi mereka yang meyakininya dan dengan melakukan itu, ia mengorganisir kerumitan atau kompleksitas yang besar di dunia menjadi sesutau yang cukup sederhana dan bisa dipahami”. 25
C. Ideologi Pendidikan Kontemporer Pendidikan merupakan hak setiap manusia di dunia. Di Indonesia hak tersebut dicantumkan dalam UUD 1945 pasa 31 yang berbunyi pendidikan adalah hak bagi setiap warga Negara. UUD 45 secara jelas menjadi bahwa Negara berkewajiban memenuhi pendidikan tiap-tiap warga Negara.
24 25
William F. Oneil, Op. Cit, hlm.. 32 Ibid. hlm. 33
27
Pendidikan
diperlukan manusia, agar secara fungsional manusia
diharapkan mampu memiliki kecerdasan (intelegence, spiritual, mosional) untuk menjalani kehidupannya dengan
bertanggungjawab, baik secara
pribadi, sosial maupun profesioanl. Dalam bahasa pedagogis, pendidikan betujuan guna memenuhi tiga aspek, yatiu: aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari sini manusia diharapkan mampu memenuhi kehidupan secara bahagia dan sejahtera. Pendidikan
bisa berjalan baik bila pendidikan
berperan secara
professional, konstektual dan komprehensif. “Untuk mencapai hal itu, tentu semestinya ditopang oleh perangkat pendidikan yang dibutuhkan, baik lunak (soft ware) maupun perangkat keras (hard were)”.
26
Pendidikan yang seperti
ini akan mampu menjawab sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman seiring kehidupan yang terus berubah. Membicarakan pendidikan bukan sesuatu yang bisa disederhanakan, sebab terkait erat dengan bagaimana konteks sosial, budaya, ekonomi, politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Namun demikian, pendidikan saat ini tengah diuji untuk mampu memberikan jawaban yang menyulitkan, yakni antara melegitimasi atau melanggengkan sistem atau struktur sosial yang ada, ataupun pendidikan yang harus berperan kritis yang dalam malakukan perubahan sosial dan transformasi sosial dan transformasi menuju dunia yang lebih adil dan makmur. Kedua peran pendidikan yang dilematik tersebut hanya bisa dijawab melalui pemilihan paradigma dan ideologi yang mendasarinya. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Henny Girouk dan Aronowits, Ideologi pendidikan dibagi menjasi 3 (tiga) aliran yakni pendekatan konservatif, liberal serta kritis.27
26
Darmaningtyas, Dkk. Membongkar ideologi pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm. 15-16 27 Mansur Fakih, Ideolog Dalam Pendidikan dalam “Ideologi-Ideologi Pendidikan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001), hlm.xii
28
Pertama: paradigma konservatif. Bagi mereka ketidaksederajatan merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan YME. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah sutau hal yang diperjuangkan, Karena perubahan akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik atau paradigma konservatif dibangun atas dasar keyakinan bahwa masyarkat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan sosial atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhan YME yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. “Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyak memiliki kekuatan kekuasaan untuk merubah kondisi mereka”.28 Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma konservatif lebih cenderung menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dari mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Banyak orang yang sekolah dan belajar untuk berprilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah bersabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran yang datang, karena pada akhirnya kelak orang semua akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi. Kedua: Pandangan paradigma liberal. Golongan ini berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, tetapi bagi meraka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan sangkut-pautnya
dengan
persoalan
politik
dan
ekonomi
tidak ada masyrakat.
Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar pendidikan, dengan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan suatu reformasi. 28
Ibid. hlm. xiii
29
Umumnya yang dilakukan adalah seperti: Perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih, dan laboratorium serta berusaha untuk menyehatkan rasio murid dan guru. “Selain itu juga untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif. Usaha peningkatan tersebut terisolasi dengan sistem dan struktur ketidak adilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat”.29 Kaum liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa berpendidikan adalah “a-politik” dan “excellent” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum liberal beranggpan bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang bebeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan
dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta
diskriminasi gender di masyarakat luas. Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non formal seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari pendidikn ini adalah liberalis, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara instrumental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita-cita barat tentang individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan
dapat dianalisa dengan melihat
kompoenen-komponennya. Komponen utama adalah komponen pengaruh filsafat barat tentang manusia universal yakni model manusia Amerika dan Eropa. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rasionalist liberalist” seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, kedua baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap
29
Ibid. hlm. xvi
30
oleh akal. Ketiga adalah “individualist” yakni adanya anggapan bahwa manusia adalah atomistic dan otonomi. Yang ketiga, adalah paradigma kritis. Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi konservatif pendidikan untuk menjaga satus Quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. “Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal dimana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam masyrakat.”30 Dalam prespektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap, “The dominant ideology” kearah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidak adilan, serta melakukan dekontruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan
tidak mungkin dan tidak bisa
bersikap netral, bersikap obyektif maupun beranjak dengan masyarakat dengan masyarakat seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan
adalah
melakukan kritis terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru yang lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengindentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritik untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami de-humanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Peta Ideologi pendidikan Giroux ini sejalan dengan analisis Freire tentang kesadaran ideologi masyarakat. Freire menggologkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis, kesadaran naïf dan kesadaran kritis. Yang dimaksud kesadaran magis, yakni tingkat keasadaran yang tidak mampu 30
Ibid. hlm.xvii
31
mengetahui kaitan antara satu faktor dan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan miskin mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Proses pendidikan
yang
menggunakan logika ini tidak memberikan kamampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap satu permasalahan masyarakat. Yang kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang dikategorikan kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadarn ini masalah etika, kreatifitas, dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni meraka malas, tidak memiliki jiwa kewirausahaan, atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya. Kesadaran ketiga disebut sebagai kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan aspek struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktur lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat. Paradigma
kritis
dalam
pendidikan,
melatih
murid
untuk
mampu
mengidentifikasi ketidak adilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu menganalisis bagaimana sistem dan struktur
itu bekerja. Serta
bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis ini adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. D. Ideologi Pendidikan Islam Islam menganggap bahwa tidak ada pemisahan antara masalah agama dan masalah dunia karena Islam sesungguhnya bukan hanya suatu sistem teologi semata tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap. Islam berarti penyerahan diri kepada Allah. Dan kita sebagai umat Islam bukan saja berkewajiban menjauhkan diri dari kemungkaran dan lalu
32
berbuat kebajikan melainkan orang lain agar melakukan kewajiban dan mencegah kemungkaran itu. “Pendidikan Islam merupakan usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fithrah kebersamaan dan ditekankan untuk lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam”.
31
Pendidikan Islam mempunyai dasar ideologis yang identik dengan dasar tujuan Islam. “Keduanya berasal dari al-Qur’an dan al-Hadist itu menjadi fondamenya. Al-Qur’an mencakup segala masalah baik yang mengenai peribadatan maupun kemasyarakatan atau pendidikan”. 32 Pemikiran yang serupa juga di anut oleh para pemikir mengenai pendidikan Islam. Atas dasar pemikiran tersebut, maka para ahli didik dan pemikir pendidikan Muslim mengembangkan pemikiran pendidikan Islam dengan merujuk kedua sumber utama ini, dengan bantuan berbagai metode dan pendekatan. “Berangkat dari sini kemudian diperoleh suatu rumusan pemahaman yang komprehensif tentang alam semesta, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan dan akhlak”. 33 Pendidikan Islam menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian manusia sebagai objek dan sekaligus sebgai subjek pendidikan yang tidak bebas nilai. Hidup dan kehidupannya diikat oleh nilainilai yang terkandung dalam hakekat penciptaanya. Maka apabila dalam menjalani kehidupan yang bahagia dan bermakna. “Sebaliknya jika tidak sejalan atau bertentangan dengan prinsip tersebut, manusia akan menghadapi berbagai masalah yang rumit, yang apabila tidak terselesaikan akan membawa pada keharusan”. 34 Penghargaan Islam terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan sangat tinggi. Ayat-ayat al-Qur’an yang mula-mula diturunkan Allah kepada Nabi
31
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: aditya Media, 1992)
hlm. 20 32
Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka, 2001), hlm. 63 Al- Syaiban, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), hlm. 18 34 Jalaluddin, Teologi pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 82 33
33
Muhammad adalah merupakan perintah “Iqra” yang berarti bacalah.
35
Disadari, bahwa melalui kegiatan membaca ternyata menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan, dan peradaban manusia dapat diwujudkan secara spektakular. Selain itu keunggulan manusia akan ilmu pengetahuan terkait dengan tanggungjawabnya sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi. Sebagai khalifah ia memiliki tanggung jawab moral dalam merealisasikan amanah Allah untuk memelihara kehidupan dan seluruh potensi alam ini secara adil dan lestari. “Karean itu proses pendidikan
tidak hanya
berlangsung di dalam sekolah saja, tetapi juga di lingkungan rumah tangga, masyarakat dan bahkan di alam bebas. Dimanapun hidup, pendidikan berlangsung secara nyata. Bahkan kehidupan itu sendiri merupakan proses pendidikan”.36 Keunggulan ilmu pengetahuan yang dikuasai manusia harus didasarkan pada kekauatan moral, agar ia tidak menjadi hidup tersesat. Untuk itu penguasaan ilmu pengetahuan harus tumbuh di atas landasan keimanan dan akhlak. Hanya demikian inilah seseorang akan mampu menemukan profil dirinya sebagai manusia yang mempunyai derajat yang mulia. Dalam kaitan ini keimanan dimaksudkan sebagai refleksi teologi yang mempersatukan keseluruhan aktifitas manusia kepada unitas (tauhid). Sebab dalam kenyataannya menurut Header Nagui, ilmu bermanfaat hanya jika ilmu tersebut menyatukan kegiatan duniawi dengan kemungkinankemungkin pengangkatan martabat ruhaniah. 37 Ini menunjukkan kedudukan kaum terpelajar sangat penting dalam menggali
dan
mengembangkan
potensi
ruhaniah
masyarakat
dalam
mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan beradab. Ini berarti pula bahwa pemeliharaan dan pemanfaatan ilmu secara benar dan beradab akan membantu dalam mempercepat terwujudnya harapan semua pihak dalam menata terwujudnya realitas kehidupan yang manusiawi.
35
Untuk lebih jelasnya tentang makna “Iqra” Lihat Abdur Rahman Mas’ud dalam menggagas format Pendidikan Non Dikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 22 36 Irsjad, Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Ciputat: Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998) hlm. 5 37 Ibid. hlm. 6
34
Pendidikan Islam senantiasa memelihara dan mengembangkan nilainilai dasar keimanan sebagai sumber dasar motivasi dalam menanggapi masalah-masalah lingkunagan duniawi, bukan atas dasar kepentingan individualnya sendiri. Tapi semua merefleksikan terpelihara kepentingan dan hak-hak orang lain yang saling bertautan. Karena itu praktek pendidikan dalam tradisi Islam mengembangkan kemampuan berdialog, tidak hanya dengan sesama, tetapi juga dengan lingkungan dan Tuhannya. Kondisi pendidikan seperti ini mendorong anak didik bersikap terbuka dan kritis. 38
38
Ibid, hlm. 7