BAB II AKAL DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Akal 1. Pengertian Akal Mengenai akal, sesungguhnya tidak jelas sejak kapan menjadi kosa kata bahasa Indonesia. Yang jelas, ia diambil dari bahasa Arab ﻌ ﹾﻘ ﹸﻞ ﹶﺍﹾﻟ, al-’aql atau ﻋ ﹶﻘ ﹶﻞ ‘aqala. Kata ‘aql sendiri sudah digunakan oleh orang Arab sebelum datangnya agama Islam, yaitu pada masa pra-Islam. Akal hanya berarti kecerdasan praktis yang ditunjukkan seseorang dalam situasi yang berubah-ubah. Akal menurut pengertian pra-Islam itu, berhubungan dengan pemecahan masalah.1 Lafadz ‘aql berasal dari kata ‘aqala-ya’qilu-’aqlan yang berarti habasa (menahan, mengikat), berarti juga ayada (mengokohkan); serta arti lainnya adalah fahima (memahami). Lafaz ‘aql juga disebut dengan alqalb (hati). Disebut ‘aql (akal) karena akal itu mengikat pemiliknya dari kehancuran, maka orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya.2 Karena dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapi. Istilah “akal” seringkali disamakan dengan istilah “otak” atau “ratio”. Meskipun keduanya merujuk adanya persamaan, tetapi juga mengandung perbedaan yang cukup mendasar. Pengertian “otak” misalnya adalah merujuk pada materi (jaringan saraf yang lembut) yang terdapat dalam tempurung kepala. Di samping terdapat pada manusia, otak juga terdapat pada binatang. Beda halnya akal hanya terdapat pada manusia, manusia bisa saja berotak tetapi tidak berakal seperti orang gila.
1
Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neuro Sain dan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 197. 2 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), hlm. 98.
14
15 Dalam al-Qur’an terdapat kurang lebih 49 kata yang muncul secara variatif. Dengan bentuk kata kerja (fi’il) dan tak pernah disebut dalam bentuk masdar ()ﻋﻘﻼ, tetapi semuanya berasal dari kata dasar ‘aql, yaitu ﻋﻘﻠﻮﻩsekali (QS. 11: 75), ﺗﻌﻘﻠﻮﻥ24 kali (QS. II: 44, 73, 76, 242; III: 66, 118,; IV: 32, 151; VII: 169; X: 16; XI: 51; XII: 2, 109; XXI: 10, 67; XXIII: 80; XXVI: 28; XXVIII: 60; XXXVI: 62, XXVII: 138; XL: 67; XLIII: 3; LVII: 17), ﻧﻌﻘﻠﻮﻥsekali (QS. LXVII: 10), ﻳﻌﻘﻠﻬﺎsekali (QS. XXIX: 43), dan ﻳﻌﻘﻠﻮﻥ 22 kali (QS. II: 164, 170, 171, V: 103; VIII: 22; X: 43, 100; XIII: 4; XVI: 12, 67; XII: 46; XXV: 44, XXIX: 35, 63; XXX: 24, 28; XXXVI: 68; XXXIX: 43; XLV: 5; XLIX: 4; LIX: 14).3 Kata-kata tersebut dijumpai sebanyak 49 kali yang tersebar dalam 30 surat dan 49 ayat. Di samping itu, dalam al-Qur’an juga dikenal dengan istilah ulu al-ba>b yang diartikan orang-orang yang berakal. Dalam kenyataan yang kita rasakan, akal bukanlah wujud yang berdiri sendiri, tetapi inheren dengan jati diri manusia. Akal merupakan rahmat Allah, khususnya untuk manusia, dan karena akal inilah manusia berbeda dengan makhluk lain. Sekedar untuk mengetahui kata akal dengan sinonimnya yang lain, Endang Saefuddin Anshori berpendapat bahwa dalam struktur manusia ada satu potensi yang dinyatakan dengan perkataan ratio (latin), ‘aql (Arab), budhi (Sanskerta), akal budi (satu perkataan yang tersusun dari bahasa Arab dan Sansekerta), nous (Yunani), reason (Perancis dan Inggris), verstand (Belanda) dan Vernunfi (Jerman).4 Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Izutsu menambahkan bahwa kata ‘aql masuk ke dalam filsafat Islam dan mengalami perubahan arti. Dengan pengaruh masuknya filsafat Yunani ke dalam filsafat Islam, kata al-’aql 3
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Lebanon: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 594-595. 4 Endang Saefuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 150.
16 mengandung arti sama dengan nous. Dalam filsafat Yunani, nous mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan demikian, kemampuan pemahaman dan pemikiran tidak melalui al-qalb yang berpusat di dada, tetapi melalui al-’aql yang berpusat di kepala.5 Endang Saefuddin Anshori mendefinisikan akal adalah suatu potensi ruhaniah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis realistis kosmis yang mengelilinginya, dalam mana ia sendiri juga termasuk, dan untuk secara praktis merubah dan mempengaruhinya.6 Dari kedua pengertian tersebut, akal diartikan sebagai potensi ruhaniah yang terdapat dalam manusia yang berkemampuan mengetahui, mengingat, berangan-angan dan memahami suatu realitas kosmis dan mampu merubahnnya. Akal dalam pandangan sufi sebagaimana pendapat al-Hakim alTirmidzi yang dikutip oleh Muhammad Abdullah asy-Syarqawi dalam buku Sufisme dan Akal berpendapat: …. Akal dibagi menjadi dua macam. Pertama, akal yang mengetahui persoalan dunianya, akal seperti ini berasal dari instink yang terdapat pada umumnya anak-anak Adam as., kecuali seseorang yang di dalamnya terdapat penyimpangan, semisal orang gila dan anak kecil. Pada mereka, kadar akal instink ini memiliki perbedaan tingkatan. Kedua, akal yang mengetahui persoalan akhiratnya. Akal seperti ini berasal dari cahaya hidayah dan kedekatan hubungan (dari Allah) yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengesakan Allah dan tidak dimiliki oleh mereka yang menyekutukan Allah. Dan akal seperti ini memiliki perbedaan tingkatan di antara kaum muwahiddin (orangorang yang mengesakan Allah). Dikatakan ‘aql (yang juga berarti bersinar) karena kebodohan adalah kegelapan, di mana ilmunya berada di dalam hati. Apabila cahaya dan penglihatan akal ini mampu mengalahkan kegelapan (kesesatan), maka kesesatan ini akan hilang dan yang ada hanyalah akal …7
5
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UII Press, 1986), hlm. 7. Endang Saefuddin Anshori, loc. cit. 7 Muhammad Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme dan Akal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hlm. 163. 6
17 Kecerdasan dari aktivitas akal pertama (akal instink) berasal dari argumentasi bahwa di antara manusia terdapat perbedaan keunggulan yang berdasarkan pada kecerdasan otak. Akal ini terbentuk dari petunjuk tabiat alamiah, sedangkan akal kedua (akal dari Allah) terbentuk dari petunjuk iman. Siapa yang terhalang dari akal pertama (akal instink atau fitrah) berarti disebut orang bodoh. Dengan sendirinya dia tidak memiliki petunjuk atau hidayah iman. Untuk memperjelas perbedaan karakteristik kedua akal di atas, Muhammad Abdullah asy-Syarqawi meringkasnya dalam bentuk tabel berikut ini:8
Akal Instink atau Akal Fitrah
Akal Iman atau Akal Dari Allah
a. Mengetahui persoalan dunia saja
a. Mengetahui persoalan akhirat
b. Terdapat
b. Hanya dimiliki kaum tauhid
pada
banyak
anak
dan tidak kaum musyrik
Adam c. Terbentuk dari hidayah alamiah
c. Terbentuk dari hidayah iman
d. Sebagian dari ilmunya adalah
d. Perbedaan derajat di antara
intelegensia (kecerdasan) e. Menjadi hujjah/argumentasi bagi pemiliknya
kaum tauhid terhadap akal ini adalah perbedaan yang tetap luhur
f. Siapa yang terhalang dari akal ini berarti dia seorang yang bodoh, gila dan sombong Dari penjelasan akal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud akal adalah potensi ruhaniah manusia sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa yang mempunyai kemampuan ilmu pengetahuan dan keahlian dengan cara berfikir, menyadari dan memahami hakikat sesuatu yang dimaksud dan dapat juga mendayagunakan potensi akliahnya untuk mengatasi berbagai problem kehidupan. 8
Ibid., hlm. 165.
18 Kemuliaan akal itu tidak lain karena kemampuan mengerti, memahami dan berfikir tentang hakikat sesuatu, memberi kekuatan mental, beradaptasi dengan alam realitas, dapat menghasilkan pemikiran, inovatif yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan kemampuan dan kecerdasan akal yang dimiliki manusia, maka dapat digunakan untuk merencanakan sebuah kurikulum pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kecerdasan akal pula manusia dapat menentukan cita-cita hidupnya dengan optimis dan bertanggung jawab. Jadi, dalam pandangan Islam yang dimaksud dengan akal bukanlah otak, tetapi merupakan daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang digambarkan oleh al-Qur’an memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan fenomena-fenomena alam sekitarnya.
2. Jenis-jenis Akal Manusia Berdasarkan objek penelitian, akal manusia yang terdapat dalam ayat 190 dan 191 yang titik tekannya pada kata ulul al-ba>b, yaitu orang orang yang mempunyai akal, maka akal manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut: a. Akal jasmani Akal jasmani yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Di mana akal ini menggunakan daya kognisi (al-mudrikah) dalam otak (al-dimagh) untuk proses berfikir. Objek pemikirannya adalah hal-hal yang bersifat sensoris dan empiris. b. Akal ruhani Akal ruhani yaitu akal abstrak yang mampu memperoleh pengetahuan abstrak, metafisika, seperti memahami proses penciptaan langit dan bumi.9 Akal ini selalu dihubungkan dengan qalb. Karena
9
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dan alQur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 167.
19 akal ruhani menjadi puncak kemampuan manusia di bidang kecerdasan, pengetahuan, penalaran dan lain sebagainya.10 Baik akal jasmani dan akal ruhani yang ada di dalam diri manusia. Pada waktu masih hidup di dunia adalah links (persambungan, berhubungan). Akal merupakan pemancar yang dapat mengirim sinyal makhluk kepada Allah dan sebaliknya juga dapat menerima sinyal dari Allah. Sinyal yang diterima dari Allah akan melahirkan sebuah kecerdasan. Bila kecerdasan akal jasmani dapat mengimbangi kecerdasan akal ruhani, maka berarti kecerdasan akal jasmani telah mengikuti kecerdasan ruhani yang sebenarnya.11 Inilah yang sebenarnya disebut dengan istilah kecerdasan spiritual (spritual quotient). Kecerdasan spiritual tidak semudah seperti yang dibayangkan. Pencahariannya adalah sepanjang hidup dengan selalu membersihkan akal dan hati. Jadi, pemahaman surat Ali Imran ayat 190-191 sesungguhnya adalah modal utama untuk memperoleh kecerdasan spirtitual. Al-Kindi
sebagaimana
dikutip
oleh
Mulyadi
Kartanegara
mengemukakan, bahwa dalam jiwa menusia terdapat tiga daya, yaitu daya bernafsu yang bertempat di perut, daya berani yang terdapat dalam dada dan daya berfikir yang terdapat dalam kepala. Oleh karena itu, para filosof muslim sepakat bahwa akal sebagai daya berfikir manusia yang terletak di kepala dibagi menjadi dua, yaitu akal praktis dan akal teoritis.12 Akal praktis adalah akal yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat, sedangkan akal teoritis adalah menangkap artiarti murni, yaitu arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan diri pada alam materi, sedangkan akal teoritis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian pada alam immateri.13 10
Ibid., hlm. 166. Azhari Aziz, Samudra dan Setia Budi: Hakikat Akal Jasmani dan Rohani, Bagian 1, (Bekasi: Yayasan Majlis Ta’lim HDH, 2004), hlm. 118. 12 Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 24. 13 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 98. 11
20 Sebagaimana yang dikutip oleh William C. Chittick dalam bukunya yang berjudul Jalan Cinta Sang Sufi mengemukakan bahwa akal manusia dibagi menjadi dua. Pertama adalah akal universal, yaitu akal yang dapat melihat dan memahami makna dari setiap bentuk, melihat hakikat segala sesuatu. Kedua adalah
akal parsial, yaitu akal yang tidak dapat
mengetahui sesuatu yang belum pernah dia. Akal universal pada hekikatnya adalah satu dan hanya terdapat pada para rasul, nabi dan orangorang suci. Manusia biasa tidak sampai pada tingkatan akal ini, karena akal mereka terselimuti oleh akal kegelapan nafs. Akal parsial memerlukan makanan dan minuman dari luar melalui belajar dan mengkaji kejadian alam sekitar. Akal universal mampu mencukupi dirinya sendiri, tidak memerlukan makanan dari luar.14 Yang dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru adalah akal universal. Akal parsial membutuhkan guru dan akal universal adalah guru, dia tidak memerlukan sesuatu.
3. Fungsi dan Manfaat Akal Manusia Dalam kehidupannya, manusia sering menghadapi berbagai masalah. Di mana masalah tersebut harus dipecahkan. Tanpa adanya pemikiran yang sehat dan jernih, manusia tidak akan meyelesaikan permasalahan tersebut. Manusia mempunyai akal yang dibuat berfikir untuk menyejahterakan kehidupannya. Akal sangat berfungsi dalam kehidupan ini, di antaranya sebagai khalifah Ilahi yang mengatur hidup dan kehidupan di dunia.15 Kesejahteraan manusia hanya akan terwujud bila dia mempergunakan akalnya. Menurut hemat penulis, akal adalah suatu kekuatan yang tersembunyi yang dengannya segala sesuatu dapat diserap. Karena akal
14
William C. Chittick, “The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi”, terj., Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 50-51. 15 A. Sadali dkk. (ed.), Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 13.
21 mempunyai fungsi membedakan sesuatu yang benar dan salah, bersih dan kotor, bermanfaat dan bermadlarat, baik dan buruk. Dengan akal pula kita bisa merancang sebuah kurikulum-kurikulum baru dalam pendidikan. Islam memerintahkan agar dengan kemampuan akalnya manusia mengamati kelakuan alam, melalui observasi yang kritis dan sistematis akan terkumpul data penelitian empirik.16 Dari pernyataan ini, akal manusia akan bermanfaat penuh, untuk mengoptimalkan daya pikirnya. Karena Allah SWT. tidak menciptakan sesuatu yang ada di dunia ini, kecuali ciptaan itu bermanfaat. Dengan demikian, bila manusia selalu berdzikir dan bertafakkur kepada Allah, maka akal manusia akan bermanfaat baginya. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat al-Nahl ayat 10-13 sebagai berikut:
ﻓِﻴ ِﻪﺠﺮ ﺷ ﻨﻪ ﻭ ِﻣ ﺍﺏﺷﺮ ﻨﻪ ﻢ ِﻣ ﺎ ًﺀ ﹶﻟ ﹸﻜﺎ ِﺀ ﻣﺴﻤ ﻦ ﺍﻟ ﺰ ﹶﻝ ِﻣ ﻧﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹶﺃ ﻫ
ﻦ ﻭ ِﻣ ﺏ ﺎﻋﻨ ﺍﹾﻟﹶﺄﻨﺨِﻴ ﹶﻞ ﻭﺍﻟﻮ ﹶﻥ ﻭﻳﺘﺰ ﺍﻟﻉ ﻭ ﺭ ﺰ ﻢ ِﺑ ِﻪ ﺍﻟ ﹶﻟ ﹸﻜﻨِﺒﺖ (ﻳ10)ﻮ ﹶﻥﺴِﻴﻤﺗ ﻴ ﹶﻞ ﺍﻟ ﱠﻠﺮ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﺨ ﺳ ﻭ (11)ﻭ ﹶﻥﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳ ﻮ ٍﻡ ﻳ ﹰﺔ ِﻟ ﹶﻘﻚ ﻟﹶﺂ ﺕ ِﺇ ﱠﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ ِ ﺍﻤﺮ ﹸﻛ ﱢﻞ ﺍﻟﱠﺜ ﺕ ٍ ﺎﻚ ﻟﹶﺂﻳ ﻣ ِﺮ ِﻩ ِﺇ ﱠﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ ِﺑﹶﺄﺍﺕﺨﺮ ﺴ ﻣ ﻡ ﻮﻨﺠﺍﻟﺮ ﻭ ﻤ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﺲ ﻭ ﻤ ﺸ ﺍﻟﺭ ﻭ ﺎﻨﻬﺍﻟﻭ
ﻣ ﺽ ِ ﺭ ﻢ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﺭﹶﺃ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺎ ﹶﺫﻭﻣ (12)ﻌ ِﻘﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻳ ﻮ ٍﻡ ِﻟ ﹶﻘ ﻚ ﻪ ِﺇ ﱠﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ ﻧﺍﺘ ِﻠﻔﹰﺎ ﹶﺃﹾﻟﻮﺨ (13 - 10:( )ﺍﻟﻨﺤﻞ13) ﻭ ﹶﻥﻳ ﱠﺬ ﱠﻛﺮ ﻮ ٍﻡ ﻳ ﹰﺔ ِﻟ ﹶﻘﻟﹶﺂ
10. Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. 11. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. 12. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya); 13. dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian
16
Imam al-Ghazali, Hikmah Berfikir, (Gresik: Putra Pelajar, 1998), hlm. 18.
22 itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. 17 Dengan akal, pikiran manusia yang tidak pernah berhenti meneliti alam semesta itu, manusia berhasil merubah wajah dunia dan struktur kehidupan di atasnya. Kalau tidak karena pikiran manusia yang aktif, maka manusia akan tetap berada dalam keterbelakangan. Dunia tidak akan pernah berubah seperti sekarang ini, andaikan manusia tidak mengaktifkan rasio/akal pikirannya. Manusia akan tetap statis, tinggal dalam kejumudan, beku tanpa perubahan dan tanpa kemajuan. Akal yang ada dalam diri manusia menurut ajaran Islam tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan, tanpa petunjuk. Petunjuk itu datangnya dari Allah berupa wahyu yang membetulkan akal dalam geraknya, kalau terjerumus ke lembah hitam. Dalam hal ini, akal berfungsi sebagai pengendali nafsu dan efisiensi dalam mencapai tujuan praktis seseorang.18 Karena manusia mempunyai sifat pelupa dan acuh tak acuh. Di samping itu, dalam diri manusia terdapat hambatan-hambatan yang menyebabkan ia tidak mampu mempergunakan akalnya dengan baik. Sifat acuh tak acuh dan pelupa yang ada pada manusia itu menyebabkan ia terlena dalam impian. Lupa diri dan lalai tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan di dunia ini.19 Maka Allah memberikan petunjuk pada manusia yang berupa untuk membangunkan manusia dari impiannya serta mengingatkan manusia itu akan arti eksistensinya sebagai makhluk di dunia.
17
Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 403-
404. 18
M. Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf Sufi: Studi Intelektualisme Tasawuf alGhazali, (Semarang: Lembkota, 2002), hlm. 184. 19 A. Sadali dkk. (ed.), op. cit., hlm. 18.
23 4. Cara Mengembangkan Akal Manusia Dengan potensi akal pikiran manusia, Allah menyuruh manusia untuk berfikir. Berfikir adalah kegiatan nafsiah memproses energi otak, atau menghubungkan kapasitas manusia dengan segala apa yang ingin manusia ketahui. Berfikir merupakan proses dialektis. Artinya selama kita berfikir dalam pikiran kita sendiri terjadi tanya jawab dalam upaya meletakkan hubungan antara ketahuan kita dengan objek yang ingin kita ketahui dengan jelas. Tanya jawab inilah yang akan mengembangkan pikiran kita dan selalu berfikir untuk mencari sebuah jawaban dari pertanyaan. Akal tidak akan berhenti berfikir sebelum ia menemukan jawaban. Pada umumnya, objek pikir adalah sesuatu yang bersifat empiris berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan dan pengamatan. Walaupun demikian, berfikir bukan hanya menjadi alat untuk menambah muatan intelektual, melainkan adalah pelangkap dari pendidikan seluruh kepribadian manusia.20 Manusia dalam kehidupannya sering menghadapi berbagai problem yang membutuhkan pemecahan. Semua persoalan hidup yang dihadapi manusia dan tidak diketahui jawabannya dipandang sebagai problem. Ini terjadi bila manusia mempunyai tujuan tertentu yang ingin direalisasikan. Namun tidak tahu caranya dan akhirnya gagal yang kemudian melahirkan sebuah problem dalam kehidupannya. Untuk bisa memecahkaan persoalan yang dihadapi, ada langkah-langkah tertentu (berfikir) dalam memecahkan problem.21 Pertama, kesadaran akan adanya problem. Agar manusia bisa sampai pada tujuan atau keinginan yang ingin dicapai, maka kesadaran akan adanya problem ini merupakan langkah awal dalam proses pemikiran. Kedua, penghimpunan data mengenai problem yang dihadapi. Agar manusia mudah untuk menghimpun data, maka data dan informasi yang sesuai dengan problemnya diambil dan data atau informasi yang 20
Sukanto, Dinamika Islam dan Humaniora, (Solo: Indika Press, 1994), hlm. 63. Muhammad Utsman Najati, “al-Qur’an wa Ilmu al-Nafs”, terj. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 152-153. 21
24 tidak relevan (sesuai) harus ditinggalkan. Penghimpunan data yang relevan dengan problem manusia, akan memudahkan membantunya dalam memperjelas, memahami dan membatasi problem itu dengan teliti. Ketiga, penyusunan hipotesis. Selama data dan informasi sedang dihimpun, pada benak yang bersangkutan terbesit beberapa kemungkinan jalan keluar atau hipotesa bagi problem tersebut. Keempat, penelitian terhadap hipotesa. Pendapat
sementara
(hipotesa)
dilakukan
beberapa
kali
supaya
mendapatkan jawaban yang baik dengan program tersebut. Kelima, pengujian kebenaran hipotesa. Setelah hipotesa-hipotesa yang tidak layak dijauhkan dan hipotesa yang layak didapatkan, biasanya manusia akan mengumpulkan berbagai data lain. Mengadakan pengamatan baru guna mengetahui sejauhmana kebenaran hipotesis tersebut. Inilah langkah-langkah berfikir yang biasanya diikuti dalam memecahkan suatu problem. Langkah-langkah ini sendiri kita ikuti dalam memecahkan semua problem dalam kehidupan kita sehari-hari. Langkahlangkah ini juga dipakai oleh para ilmuwan yang melakukan percobaan ilmiah dalam laboratorium. Menurut kajian para psikolog, manusia yang kreatif dengan pemikirannya akan mendapatkan ilham. Jenis ilham dalam pemikiran kreatif sesungguhnya timbul dari akal seseorang ketika ia melakukan aktivitas secara intens. Maksudnya, ketika seseorang sedang berfikir dan mengabstrasikan suatu permasalahan dalam waktu yang cukup lama dan belum menemukan jalan pemecahannya, maka lazimnya sesorang akan mengendapkan permasalahaan tersebut dalam beberapa waktu. Hal ini dimaksudkan untuk mengistirahatkan pikiran dan benak dengan maksud pada saat yang lain ia akan kembali mengeluh lagi problema yang belum terpecahkaan. Masa istirahat ini oleh para psikolog disebut dengan masa inkubasi, di mana pada masa ini akan terjadi perubahan-perubahan penting dalam ruang lingkup pemikiran seseorang.22 Pertama, pikiran akan terlepas dari sebagian beban penghambat yang 22
M. Amin Syukur, op. cit., hlm. 96.
25 dirasakan mengganjal dan menjadi penghalangnya. Kedua, pikiran akan terbebas (sementara) dari perasaan kegagalan yang menimpa dan dirasakan menghadang, sehingga tidak dapat melanjutkan pemikirannya untuk itu, setelah beristirahat dan kembali memikirkan permasalahan yang dihadapi, maka pikiran akan lebih jernih dan agar setelah sebelumnya mengalami
pengendoran.
Ketiga,
dalam
pikiran
akan
terjadi
pengorganisasian informasi-informasi yang membuat makin jelasnya hubungan konsep-konsep atau ide-ide yang sebelumnya tidak tampak. Demikian pula akan muncul pikiran-pikiran baru yang dapat membawa pada jalan pemecahan permasalahan yang dihadapi. Dari pernyataan di atas, penulis menangkap bahwa akal manusia bisa berkembang dengan baik, bila manusia selalu berfikir, kreatif dan mencari solusi-solusi permasalahan. Dari pemikiran itu, manusia akan menemukan sebuah ide, ide akan diabstraksikan atau direalisasikan dalam kehidupan, sehingga manusia akan mendapatkan kepuasan dalam hidup.
B. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Agama Islam adalah agama universal. Ia menganjurkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik dunia maupun ukhrawi. Salah satu di antara anjuran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan adalah kebutuhan manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dalam kehidupannya.23 Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina
masyarakat
dan
kepribadiannya
sesuai
kebudayaan.
Dengan
dengan
nilai-nilai
demikian,
dalam
bagaimanapun
sederhananya peradaban suatu masyarakat. Di dalamnya terjadi atau 23
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 98.
26 berlangsung suatu proses pendidikan. Oleh karena itu sering dinyatakan, bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan
pada
hakekatnya
merupakan
usaha
manusia
untuk
24
melestarikan hidupnya.
Pendidikan dalam konteks Islam mengacu pada tiga term yaitu altarbiyah, al-ta’lim dan al-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut term altarbiyah yang terpopuler digunakan dalam praktek pendidikan Islam. Sedangkan term al-ta’lim dan al-ta’dib jarang digunakan. Pada kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam, untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari pendapat ahli pendidikan.25 a. Istilah al-Tarbiyah Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan tumbuh, berkembang, memelihara, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Penggunaan
term
al-tarbiyah
untuk
menunjuk
makna
pendidikan Islam dapat dipahami dengan firman Allah SWT. dalam surat al-Isra’ ayat 24:
ﺎﺎ ﹶﻛﻤﻬﻤ ﻤ ﺣ ﺭ ﺏ ﺍ ﺭ ﻭ ﹸﻗ ﹾﻞ ﻤ ِﺔ ﺣ ﺮ ﻦ ﺍﻟ ﺡ ﺍﻟ ﱡﺬ ﱢﻝ ِﻣ ﺎﺟﻨ ﺎﻬﻤ ﺾ ﹶﻟ ﺧ ِﻔ ﻭﺍ (24 :ﺍ)ﺍﻹﺳﺮﺍﺀﺻ ِﻐﲑ ﺎﻧِﻲﺑﻴﺭ Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra’: 24)26
24
Ibid., hlm. 150. Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 25. 26 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 428. 25
27 Abdurrahman al-Nahlawi salah seorang pengguna istilah altarbiyah, berpendapat bahwa pendidikan berarti: 1) Memelihara fitrah 2) Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya 3) Mengarahkan fitrah dan seluruh bakatnya agar menjadi baik dan sempurna dalam proses.27 Menurut beberapa ulama tidak sepakat dengan pendapat alNahlawi, seperti Abdul Fatah Jalal, ahli pendidikan dari Universitas al-Azhar, mengatakan bahwa pendidikan yang berlangsung pada fase pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak. Masa anak sangat tergantung pada kasih sayang keluarga.28 b. Istilah al-Ta’li>m Istilah al-Ta’li>m telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Merupakan para ahli, kata lain ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun alTa’di>b. Rosyid Ridha, misalnya mengartikan al-Ta’li>m sebagai proses tranmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Argumentasinya didasarkan dengan merujuk pada ayat ini:
ﻜﹸﻢﻌ ﱢﻠﻤ ﻭﻳ ﻢ ﺰﻛﱢﻴ ﹸﻜ ﻳﻭ ﺎﻢ ﺃﻳِﺘﻨ ﻴ ﹸﻜ ﻋ ﹶﻠ ﺘﻠﹸﻮ ﻳ ﻢ ﻨ ﹸﻜ ﻮ ﹰﻻ ِﻣﺭﺳ ﻢ ﺎ ﻓِﻴ ﹸﻜﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺎ ﹶﺃﹶﻛﻤ (151 :ﻮﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻌ ﹶﻠﻤ ﺗ ﻮﺍﺗﻜﹸﻮﻧ ﻢ ﺎ ﹶﻟﻢ ﻣ ﻜﹸﻌ ﱢﻠﻤ ﻭﻳ ﻤ ﹶﺔ ﺤ ﹾﻜ ِ ﺍﹾﻟﺏ ﻭ ﺎﺍﹾﻟ ِﻜﺘ Sebagaimana (kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (AsSunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah 2:151).29
27
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1991), hlm. 5. Abdul Fatah Jalal, “Azaz Pendidikan”, terj. Hery Noer Aly, Minal Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hlm. 28-29. 29 Soenarjo, op. cit., hlm. 38 28
28 Kalimat wa yu’allima kum al-kitab wal al-hikmah dalam ayat tersebut menjelaskan
tentang aktivitas
Rasulullah
mengajarkan
tila>wat al-Qur’an kepada kaum Muslimin. Menurut Abdul Fatah Jalal, yang telah dikutip oleh Syamsul Nizar mengatakan bahwa apa yang dilakukan Rasul bukan hanya sekedar membuat umat Islam bisa membaca, melainkan
membawa kaum muslim
kepada nilai
pendidikan tazkiyah al-nafs (penyucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu, makna alTa’li>m tidak hanya terbatas pada pengetahuan teoritas, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keteampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berprilaku.30 Lafal ta’li>m ini dalam al-Qur’an disebut banyak sekali, ayat yang oleh para ahli pendidikan dijadikan dasar (rujukan) proses pengajaran (pendidikan) di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 31 dan 32:
ﻧِﺒﺌﹸﻮﻧِﻲﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﻢ ﺿﻬ ﺮ ﻋ ﻢ ﺎ ﹸﺛﺎ َﺀ ﹸﻛ ﱠﻠﻬﺳﻤ ﻡ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﺩ ﻢ ﺀَﺍ ﻋ ﱠﻠ ﻭ
ﺎﺎ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣﻢ ﹶﻟﻨ ﻚ ﻟﹶﺎ ِﻋ ﹾﻠ ﻧﺎﺒﺤ ﺳ (ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ31)ﲔ ﺎ ِﺩ ِﻗﻢ ﺻ ﺘﻨ ﺆﻟﹶﺎ ِﺀ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ ﻫ ﺎ ِﺀﺳﻤ ِﺑﹶﺄ (32 - 31 :( )ﺍﻟﺒﻘﺮﺍﺓ32)ﻢ ﺤﻜِﻴ ﻢ ﺍﹾﻟ ﻌﻠِﻴ ﺖ ﺍﹾﻟ ﻧﻚ ﹶﺃ ﻧﺎ ِﺇﺘﻨﻤ ﻋ ﱠﻠ
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman “Sebutlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”. Mereka menjawab “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 31-32) 31
30
Syamsul, Nizar, op.cit., hlm. 27-28. Sebenarnya lafal “al-Hakim” diterjemahkan dengan “Maha Bijaksana” itu kurang tepat, karena arti “al-Hakim” adalah sesuatu sesuai dengan sifat, guna faedahnya. Di sini diartikan dengan “makna bijaksana” karena dinggap arti tersebut hampir mendekati arti al-Hakim. Lihat, Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 14. 31
29 Ayat ini menunjukkan terjadi proses pengajaran (ta’li>m) kepada Adam sekaligus menunjukkan kelebihannya karena ilmu yang dimilikinya yang tidak diberikan Allah kepada para makhluk lainnya.32 Maka proses ta’li>m itu hanya pada makhluk berakal.33 Berdasarkan kedua ayat tersebut di atas, lafaz ta’li>m (dari term ’allama) itu condong pada aspek pemberian informasi. Karena pengetahuan yang dimiliki itu semata-mata akibat pemberitahuan. c. Istilah al-Ta’di>b Lafal ta’di>b setidaknya memiliki empat macam arti, yaitu: Pertama, education (pendidikan), Kedua, discipline (ketertiban), Ketiga, punishment, chastisement (hukuman), Keempat, disciplinary punishment (hukuman demi ketertiban). Nampaknya lafal ini lebih mengarah kepada perbaikan tingkah laku.34 Menurut al-Attas istilah yang tepat untuk menunjukkan pendidikan adalah al-Ta’di>b, konsep ini didukung atau didasarkan pada hadits Nabi saw.:
ﺎ ٍﻥﺣﻴ ﺑ ِﻦ ﺎِﻟﺢﺎ ﺻﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻰ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺎ ﹾﺍ ﹶﶈﹶﺎ ِﺭِﺑﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻼ ٍﻡ ﺳ ﹶ ﻦ ﺑﻮ ﺍ ﻫﻤﺪ ﺤ ﻣ ﺎﺮﻧ ﺒﺧ ﹶﺃ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ:ﻴ ِﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻦ ﹶﺃِﺑ ﻋ ﺩ ﹶﺓ ﺮ ﻮ ﺑ ﺑﻰ ﹶﺃ ﺪﹶﺛِﻨ ﺣ ﻲ ﻌِﺒ ﺸ ﺍﻟﺎ ِﻣﺮ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻋ:ﻗﹶﺎ ﹶﻝ
ﻦ ﺴ ﺣ ﺎ ﹶﻓﹶﺄﻤﻬ ﻋ ﱠﻠ ﻭ ﺎﺒﻬﻳﺗ ﹾﺄ ِﺩ ﻦ ﺴ ﺣ ﻬﺎ ﹶﻓﹶﺄ ﺑﺩ ﹶﻓﹶﺄ.. :ﻢ ﺳ ﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﷲ ِ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ 35
( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ...ﺎﻤﻬ ﻴ ﻌ ِﻠ ﺗ
Artinya: Muhammad (Ibnu Salam) telah menceritakan kepada kita, alMaharib telah menceritakan kepada kita, ia berkata: S{aleh 32
Karena telah mendapatkan pengajaran langsung dari Allah itu, Adam sebagai Bapak umat manusia (Abu al-Nas) dimintai syafa’at oleh umatnya. Selain itu, akibat pemberian pengajaran itu, Allah menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena pengetahuan akibat pengajaran itu menunjuk kelebihan.. 33 Adapun hewan atau binatang yang memiliki kecakapan atau ketrampilan untuk melakukan kegiatan tertentu itu bukanlah sebagai hasil dari proses ta’lim (pengajaran atau pendidikan). Sebab apa yang bisa dilakukan oleh binatang sebagai kemampuannya itu yang bersifat konstan jenis kapabilitas yang sejenis itu saja. Binatang itu hanya bisa melakukan aktivitas yang lebih tinggi nilai kualitasnya. Semua kemampuan itu merupakan hasil dari proses binatang disebut dressur, sedangkan bagi manusia disebut pengajaran (pendidikan). 34 Mustofa Rahman dkk., Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 61. 35 Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 29.
30 ibn Hayyan berkata: ‘Amir al-Sya’bi telah menceritakan kepadaku, yakni Abu Burdah dari bapaknya, ia berkata: Rasulullah saw. Bersada: ....Maka didiklah ia dengan didikan yang baik dan ajarlah ia dengan pengajaran yang baik.... (HR. Bukhari) Berdasarkan pada konsep adab tersebut, al-Atas mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: Pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat yang tepat dari sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dari apa yang diketahui.36 Pengenalan berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan yang dikenali, dan pengakuan berarti tindakan yang bertalian dengan itu (‘amal), yang lahir sebagai akibat menemukan tempat yang tepat dari apa yang diketahui.37 Syaikh Mus}tafa al-Ghulayani mengatakan bahwa pendidikan adalah :
ﺎ ِﺀﺑﻤ ﺎﻴﻬﺳ ﹾﻘ ﻭ ﻦ ﻴ ﺎ ِﺷِﺌﺱ ﺍﻟﻨ ِ ﻮ ﻔﹸﻰ ﻧ ﺿ ﹶﻠ ِﺔ ِﻓ ِ ﻕ ﺍﹾﻟﻔﹶﺎ ِﻼ ﺧ ﹶ ﹾﺍ ﹶﻻﺮﺱ ﻲ ﹶﻏ ﻴ ﹸﺔ ِﻫﺮِﺑ ﺘﺍﹶﻟ ﻮﻥﹸ ﺗﻜﹸ ﻢ ﺲ ﹸﺛ ِ ﻨ ﹾﻔﺕ ﺍﻟ ِ ﻣﻠﹶﻜﹶﺎ ﻦ ﻣ ﹶﻠ ﹶﻜ ﹰﺔ ِﻣ ﺢ ﺼِﺒ ﻰ ﺗﺣﺘ ﺤ ِﺔ ﻴ ﺼ ِ ﻨﺍﻟﺎ ِﺩ ﻭﺭﺷ ﹾﺍ ِﻹ 38
.ﻮ ﹶﻃ ِﻦ ﻨ ﹾﻔ ِﻊ ﺍﹾﻟﻤ ِﻞ ِﻟ ﻌ ﺐ ﺍﹾﻟ ﺣ ﻭ ﺮ ﻴ ﳋ ﻭﹾﺍ ﹶ ِ ﻠ ﹶﺔﺿﻴ ِ ﺎ ﺍﹾﻟﻔﹶﺎﺗﻬﺮ ﻤ ﹶﺛ
Artinya: “Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air”. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi 36
Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 10. Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, “Konsep Pendidikan Islam”, terj. Hadar Baqir dari The Concep of Education of Islam; an Frame Work for an Islamic Philoshophy of Education, (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 61-62. 38 Musthafa al-Ghulayani, Idhah al-Nasihin, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189. 37
31 tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).39 Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term di atas, secara terminology,
para
ahli
pendidikan
Islam
telah
mencoba
memformulasikan pengertian pendidikan Islam. Di antara batasan yang sangat variatif teresbut adalah : 1) Menurut Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil).40 2) Muhammad Fadhil al-Jamaly memberikan pengertian pendidikan Islam adalah sebagai upaya mengembangkan, mendorong dan mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tertinggi dan kehidupan yang lebih mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.41 3) Azyumardi
Azra
dengan
mengutip
pendapat
al-Qard}awi
menjelaskan tentang pendidikan Islam, yaitu pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilan, karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam damai dan perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Azra juga mengutip pendapat Hasan Langgulung, bahwa pendidikan Islam ialah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan
39 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 56. 40 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Alma’arif, 1962), hlm. 19. 41 Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Postmodern: Mencari Visi Baru Atas Realitas Baru Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCISOD, 2004), hlm. 268.
32 dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.42
2. Tujuan Pendidikan Islam Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki kejelasan tujuan yang ingin dicapai, sehingga sulit dibayangkan, jika ada suatu kegiatan tanpa memiliki kejelasan tujuan. Demikian pentingnya tujuan tersebut, tidak mengherankan jika dijumpai kajian yang sungguhsungguh di kalangan para ahli mengenai tujuan tersebut. Hal itu bisa dimengerti, karena tujuan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Ahmad D. Marimba sebagaimana yang di kutip oleh Abudin Nata, misalnya menyebutkan ada empat fungsi tujuan pendidikan. Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, dan keempat, fungsi dari tujuan ialah memberi nilai (sifat) pada usaha itu.43 Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, misalnya menjabarkan tujuan pendidikan Islam meliputi sebagai berikut: a. Tujuan yang berkaitan dengan individu yang mencakup perubahan, berupa pengetahun, tingkah laku, jasmani, rohani serta kemampuankemampua lain yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat. b. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, yang mencakup tingkah laku individu dalam masyarakat. c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai seni, ilmu, profesi dan kegiatan masyarakat.44 Sedangkan menurut Muhammad Atiyah al-Abrasy sebagaimana yang di kutip oleh Bustani A. Ghani, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas lima sasaran, yaitu:
42
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 5. 43 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Isla, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 4546. 44 Oemar M. al-Toumy al-Syaibany, op. cit., hlm. 399.
33 a. b. c. d. e.
Membentuk akhlak mulia Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat Persiapan mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya Menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan perserta didik Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.45 Sementara menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, bahwa tujuan
pedidikan Islam menurut al-Qur’an meliputi sebagai berikut: a. Menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini b. Menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat c. Menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta d. Menjelaskan hubungannya dengan khalik sebagai pencipta alam semesta. Menurut al-Ghazali, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ini sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu:
(56 :ﻭ ِﻥ )ﺍﻟﺬﺍﺭﻳﺎﺕﺒﺪﻌ ﻴﺲ ِﺇ ﱠﻻ ِﻟ ﻧﺍ ِﻹﻦ ﻭ ﺠ ِ ﺍﹾﻟﺧ ﹶﻠ ﹾﻘﺖ ﺎﻭﻣ Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku (QS. al-Dzariyah: 56)46 Ayat di atas menyatakan: Dan aku (Allah) tidak menciptakan Jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali pada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas mereka adalah beribadah kepada-Ku.47 Lebih jelasnya bahwa penciptaan manusia itu tiada lain kecuali supaya mereka tunduk kepada Allah, dan merendahkan diri. Yakni, bahwa setiap mahluk dari Jin dan manusia tunduk kepada keputusan Allah, patuh kepada kehendak-Nya, dan
45
Bustani A.Ghani, Dasa-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1984),
hlm.1-4. 46
Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 862. Quraisy Shihab, Tafisir Al-Misbah,Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 355 47
34 menuruti apa yang telah dia takdirkan atas-Nya.48 Atau dengan kata yang lebih singkat atau dan sering digunakan al-Qur’an untuk bertaqwa kepada-Nya. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk kongkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd. Pendidikan Islam juga harus menciptakan manusia muslim yang berilmu pengetahuan tinggi, di mana iman dan takwanya menjadi pengendali dalam penerapan atau pengamalannya dalam masyarakat. Bilamana tidak demikian, maka derajat dan martabat diri pribadinya selaku hamba Allah akan merosot, bahkan akan membahayakan umat manusia lainnya. Manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan cara hidup yang mensejahterakan diri dan masyarakat adalah manusia yang di dalam dirinya tidak bersinar iman dan takwa.49 Dan pendidikan Islam perlu menanamkan ma’rifat (kesadaran) dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki rasa tanggung jawab sosial
terhadap
pembinaan
masyarakatnya
serta
menanamkan
kemampuan manusia untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadahnya kepada Khalik pencipta alam itu sendiri. Pendidikan yang demikian tidak hanya akan melahirkan anak didik yang mempunyai komitmen terhadap ajaran agamanya, tetapi juga 48
Hery Noer Aly, dkk., Terjemahan Tafsir Al-Maraghi,Jilid, 27, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 21. 49 Samsul Nizar, op. cit.,, hlm. 22.
35 yang
mampu
mengoperasikan
dinul
Islam
dalam
kehidupan
bermasyarakat, dalam upaya mengaktualisasikan fungsi kekhalifahannya dengan memecahkan berbagai permasalahan kehidupan yang timbul dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan Islam bertugas di samping menginternalisasikan atau menanamkan dalam pribadi nilai-nilai islami, juga mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai-nilai itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas wahyu Tuhan. Hal ini berarti pendidikan Islam secara optimal harus mampu mendidik anak didik agar memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, sikap kritis dan peka terhadap persoalan sosial atau memiliki jiwa berkorban demi orang lain dan sekaligus memiliki kematangan dalam beriman,
bertakwa
dan
mengamalkan
hasil
pendidikan
yang
diperolehnya, sehingga menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus mampu menciptakan para mujtahid baru dalam bidang kehidupan dunia ukhrawi yang berkesinambungan secara interaktif tanpa pengkotakan antara kedua bidang tersebut. Di samping tujuan pendidikan Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagai Sang Pencipta, pendidikan Islam juga menghendaki peserta didik untuk bertingkah laku yang mulia, untuk menuju insan kamil sebagaimana yang dicontohkan dan diemban oleh nabi Muhammad saw., yaitu untuk memperbaiki akhlak. Hal ini sebagaimana sabda beliau:
ﺎﻧﻤ ِﺍ:ﻢ ﺳ ﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ:ﺮ ﹶﺓ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻳﺮ ﻰ ﻫ ﻦ ﹶﺍِﺑ ﻋ 50
(ﻕ )ﺭﻭﺍﻩ ﺃﲪﺪ ِﻼ ﺧ ﹶ ﺢ ﹾﺍ َﻷ ﺎِﻟﻢ ﺻ ﻤ ﺗ ُﻷ ِﻌ ﹾﺜﺖﺑ
Artinya: Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak”.(HR. Ahmad) 50
Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Juz II, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1993), hlm. 504.
36 Dari rumusan tujuan pendidkan Islam yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka terlihat bahwa mereka sepakat tentang tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim, yaitu pribadi yang taat kepada perintah Allah SWT. dan menjadi khalifah yang baik di bumi.
3. Dasar-dasar Pendidikan Islam Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasardasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan ini memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik ke arah yang pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (hadits).51 Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada kemauan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.52 Adapun dasar pelaksanaan pendidikan Islam terutama dalam alQur’an surat asy-Syura ayat 52:
ﺏ ﺎﺎ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘﺪﺭِﻱ ﻣ ﺗ ﺖ ﻨ ﺎ ﻛﹸﺎ ﻣﻣ ِﺮﻧ ﻦ ﹶﺃ ﺎ ِﻣﻭﺣﻚ ﺭ ﻴ ﺎ ِﺇﹶﻟﻴﻨ ﺣ ﻭ ﻚ ﹶﺃ ﻭ ﹶﻛ ﹶﺬِﻟ ﻚ ﻧﻭِﺇ ﺎﺎ ِﺩﻧﻦ ِﻋﺒ ﺎ ُﺀ ِﻣﻧﺸ ﻦ ﻣ ﻬﺪِﻱ ِﺑ ِﻪ ﻧ ﺍﻮﺭﻩ ﻧ ﺎﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﻦ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﺎﻥﹸﻳﻤﻭﻻﹶﺍ ِﻹ (52 :ﺘﻘِﻴ ٍﻢ )ﺍﻟﺸﻮﺭﻯﺴ ﻣ ﻁ ٍ ﺍﺻﺮ ِ ﻬﺪِﻱ ِﺇﻟﹶﻰ ﺘﹶﻟ Dan demikian Kami wahyukan kepadamu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menunjukkan al-Qur’an itu cahaya yang Kami beri petunjuk dengan 51
Syamsul Nizar, op. cit., hlm. 34. Ibid., hlm. 34-35.
52
37 dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. as-Syura’: 52) 53 Sunnah Rasul dalam pendidikan Islam yaitu mempunyai dua fungsi: 1) Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam alQur’an dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya. 2) Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama shahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya.
4. Materi Pendidikan Islam Sasaran dan tujuan pendidikan tidak mungkin akan tercapai kecuali materi pendidikan terseleksi dengan baik dan tepat. Istilah materi digunakan di sini untuk sejumlah disiplin. Ilmu yang mengembangkan basis kegiatan sekolah, dan biasanya diklasifikasikan dalam beberapa subjek materi yang berbeda-beda. Materi dalam hal ini, intinya adalah subtansi yang akan disampaikan dalam proses interaksi edukatif kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai. Bahan pelajaran atau materi pendidikan adalah merupakan unsur inti dalam kegiatan interaksi edukatif. Karena harus diupayakan untuk dapat dikuasai oleh anak didik54 dalam rangka memenuhi kebutuhan anak dalam pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan anak itu dijelaskan oleh Verna Hildebrand dalam bukunyta Introduction to Early Childhood Education sebagai berikut: a. The child needs to grow in independence b. The child needs to learn to give and share as well as recieve affection c. The child needs to learn to get along with others d. The child needs to develop self control e. The child needs to learn the appropriate sex role f. The child needs to begin understanding his body 53
Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 791. Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 18. 54
38 g. The child needs to learn many large and small motor skills h. The child needs to begin to understand and control his physical world i. The child needs to learns new words and how to use words in his social an intellectual activity j. The child needs to begin to develop a notion abaout his relationship to the word.55 Artinya: a. Anak membutuhkan perkembangan secara independen b. Anak membutuhkan untuk belajar memberi dalam berbagai hal untuk menerima kasih sayang c. Anak butuh belajar untuk bergaul akrab dengan orang lain d. Anak butuh mengembangkan pengendalian diri e. Anak membutuhkan untuk belajar sesuai jenis kelamin dan peran yang sesuai f. Anak butuh pemahaman terhadap badannya g. Anak butuh belajar banyak ketrampilan motorik dalam skala kecil dan besar h. Anak butuh untuk memahami dan mengendalikan dunia fisiknya i. Anak butuh belajar kata-kata baru dan bagaimana cara menggunakan kata-kata itu dalam hubungan sosialnya, yaitu suatu aktivitas intelektual j. Anak harus mulai untuk kembangkan suatu dugaan tentang hubungannya kepada kata. Materi pendidikan Islam yang dicanangkan al-Ghazali, baik itu di rumah maupun di Madrasah Ibtida’iyah pada dasarnya meliputi: pengetahuan yang menuntutnya adalah fard}u ‘ain bagi setiap muslim, yaitu meliputi rukun iman, cara melakukan perintah-perintah Allah dan prinsip-prinsip tingkah laku yang benar “dalam bentuknya yang paling sederhana”. Al-Ghazali memandang mata pelajaran-mata pelajaran ini menguntungkan, baik untuk pemenuhan praktis terhadap kewajibankewajiab agama maupun sebagai alat untuk memperkuat keimanan anakanak.56 Oleh karena itu, hal yang terpokok yang perlu diserap oleh anak
55
Verna Hildibrand, Introduction to Early Childhood Education, (New York: Macmillan Publishing, 1971), hlm. 24-26. 56 Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bungan Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 77.
39 adalah hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, keislaman dan akhlak,57 seperti yang dikatakan oleh pikiran, diamalkan dalam kehidupan dalam bentuk ibadah dan diungkapkan dalam bentuk perkataan, sikap, akhlak (perangai) pergaulan dan kehidupan pada umumnya. Untuk mewujudkan generasi yang kokoh iman dan islamnya, Abdullah Nasih Ulwan sebagaimana dikutip oleh Raharjo menekankan bahwa materi pendidikan yang bersifat mendasar dan universal. Materimateri pendidikan tersebut adalah pendidikan iman, akhlak, fisik, intelektual, psikis, sosial dan seksual.58 Sedangkan menurut Chabib Thoha memfokuskan materi pendidikan pada aspek pendidikan ibadah, pokokpokok ajaran Islam dan membaca al-Qur’an, pendidikan akhlak dan pendidikan akidah Islamiyah.59 Sejalan dengan pemikiran Thoha, M. Nipan Abdul Halim menambahkannya dengan pendidikan ekonomi dan kesehatan sebagai penunjang tegaknya akidah, ibadah dan akhlak anak.60 Adapun yang mendasar adalah: a. Pendidikan iman (akidah) Pendidikan akidah adalah inti dari dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Sedemikian mendasarnya pendidikan akidah ini bagi anak-anak, karena dengan pendidikan inilah anak akan mengenali siapa Tuhannya, bagaimana cara bersikap terhadap Tuhannya dan apa saja yang mesti mereka perbuat dalam hidup ini.61 Materi pendidikan keimanan ini adalah untuk mengikat anak dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah. Sejak 57
Zakiah Daradjat, “Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 Tahun”, dalam Ahmad Tafsir (ed.), Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 113. 58 Raharjo, “Dr. Abdullah Nasih Ulwan: Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 62. 59 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 105. 60 M . Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 91. 61 Ibid., hlm. 94.
40 anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu. Adapun tujuan mendasar dari pendidikan ini adalah agar anak hanya mengenal Islam mengenai dirinya. Al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah sebagai pemimpin dan teladannya.62 Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat Luqman ayat 13 sebagai berikut:
ﻙ ﹶﻟ ﹸﻈ ﹾﻠﻢ ﺮ ﺸ ﻙ ﺑِﺎﻟ ﱠﻠ ِﻪ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ ﺸ ِﺮ ﺗ ﻲ ﻟﹶﺎ ﻨﺑﺎ ﻳﻳ ِﻌﻈﹸﻪ ﻮ ﻭﻫ ﺑِﻨ ِﻪﺎ ﹸﻥ ﻟِﺎﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹸﻟ ﹾﻘﻤ (13 : )ﻟﻘﻤﺎﻥ.ﻋﻈِﻴﻢ Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya: “hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar. (QS. Luqman: 114)63 b. Pendidikan ibadah Materi pendidikan ibadah secara menyeluruh oleh para ulama telah dikemas dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan ilmu fikih dan fikih Islam. Karena seluruh tata peribadatan telah dijelaskan di dalamnya, sehingga perlu diperkenalkan sejak dini dan sedikit demi sedikit dibiasakan dalam diri anak, agar kelak mereka tumbuh menjadi insan-insan yang bertakwa.64 Pendidikan ibadah di sini, khususnya pada pendidikan shalat yang merupakan tiang dari segala amal ibadah sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah dalam surat Luqman ayat 17 sebagai berikut:
ﺎﻋﻠﹶﻰ ﻣ ﺮ ﺻِﺒ ﺍﻨ ﹶﻜ ِﺮ ﻭ ﻋ ِﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﻪ ﻧﺍﻑ ﻭ ِ ﻭﻌﺮ ﻤ ﺮ ﺑِﺎﹾﻟ ﻣ ﻭﹾﺃ ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ ﻲ ﹶﺃ ِﻗ ِﻢ ﺍﻟ ﻨﺑﺎﻳ (17 : )ﻟﻘﻤﺎﻥ.ﻮ ِﺭﺰ ِﻡ ﺍﹾﻟﹸﺄﻣ ﻋ ﻦ ﻚ ِﻣ ﻚ ِﺇ ﱠﻥ ﹶﺫِﻟ ﺑﺎﹶﺃﺻ Hai anakku! Dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. (QS. Luqman: 17)65
62
Raharjo, op. cit., hlm. 62. Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 654. 64 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 102. 65 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 655. 63
41 Pendidikan shalat dalam konteks ayat tersebut tidak hanya terbatas tentang tata cara untuk menjalankan shalat yang lebih bersifat fi’liyah, melainkan termasuk menanamkan nilai-nilai di balik ibadah shalat. Anak harus mampu tampil sebagai pelopor amar ma’ruf nahi munkar serta jiwanya teruji menjadi orang yang sabar. c. Pendidikan akhlak (moral) Pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak masa analisa hingga menjadi seorang mukallaf, seorang yang telah siap untuk mengarungi lautan kehidupan. Tujuan dari pendidikan akhlak ini adalah untuk membentuk benteng religius yang berakar pada hati sanubari. Benteng tersebut akan memisahkan anak dari sifat-sifat negatif, kebiasaan, dosa dan tradisi jahiliyah.66 Keluarga merupakan tempat pertama yang harus meletakkan pendidikan akhlak dalam diri anak dengan jalan melatih dan membiasakan hal-hal yang baik. Pendidikan akhlak tidak hanya dikemukakan secara teoritik, melainkan disertai contoh-contoh kongkrit untuk dihayati maknanya. Kemudian direfleksikan dalam kehidupan kejiwaannya.67 d. Pendidikan intelektual adalah pembentukan dan pembinaan berfikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu pengetahuan, peradaban ilmiah dan modernisme serta kesadaran berfikir dan berbudaya. Dengan demikian, ilmu rasio dan peradaban anak benarbenar dapat terbina.68 Pendidikan intelektual ini sangat erat hubungannya dengan pendidikan iman, moral dan fisik dalam rangka membentuk pribadi
66
Raharjo, op. cit., hlm. 63. Chabib Thoha, op. cit., hlm. 108. 68 Abdullah Nasih Ulwan, “Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam”, Juz I, terj. Saifullah Kamali dan Hery Noer Ali, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: asy-Syifa’, 1981), hlm. 270. 67
42 anak secara integral dan di dalam mendidik anak secara sempurna agar menjadi seorang insan yang konsisten dalam melaksanakan kewajiban, risalah dan tanggung jawabnya. Pelaksanaan pendidikan intelektual ini mencakup tiga masalah yang krusial dan saling terkait, yaitu kewajiban mengajar,
penyadaran
berfikir
dan
pemeliharaan
kesehatan
intelektual.69 Dengan diberikannya pokok-pokok pendidikan Islam tersebut diharapkan anak akan tumbuh dewasa menjadi insan mukmin yang benar-benar shaleh, insan yang kuat akidahnya, mantap ibadahnya, mulia akhlaknya dan cemerlang pemikirannya, sehingga kepribadian mereka terbentuk menjadi pribadi muslim yang kuat.
5. Metode Pendidikan Islam Metode pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam pendidikan, karena kenyataan materi pendidikan tidak akan dapat dipelajari dan diterima secara efektif dan efesien, kecuali disampaikan dengan cara-cara tertentu. Ketiadaan metode pendidikan yang efektif akan menghambat dan membuang secara sia-sia waktu dan upaya pendidikan. Istilah metode sebenarnya berarti jalan untuk mencapai tujuan. Jadi, jalan itu bermacam-macam, begitu juga dengan metode.70 Metode diartikan pula sebagai suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan.71 Sedangkan menurut Moh. Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Omar Muhammad alThoumy mendefinisikan metode sebagai suatu jalan yang kita ikuti untuk memberi faham kepada murid-murid segala macam pelajaran.72 Dalam konteks pendidikan Islam, tujuan untuk mengembangkan sikap, pengetahuan, daya cipta dan ketrampilan pada anak dapat dicapai 69
Raharjo, op. cit., hlm. 64. Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), hlm.183 71 Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., hlm. 19 72 Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani, “Falsafatut tarbiyah al-Islamiyah”, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 551 70
43 melalui berbagai metode, maka metode yang digunakan untuk pendidikan anak dalam Islam adalah melalui metode teladan, teguran, cerita, pembiasaan dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.73 Sedangkan menurut M. Fadhil al-Jamaly menyebutkan metode dari sudut pandang alQur’an, yaitu pemberi peringatan, pemberi pelajaran dan nasehat, historis, keteladanan ibarat yang historis.74 Dari uraian dan penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa metode merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pendidikan. Tidak ada metode satupun yang cocok untuk diterapkan, karena metode satu dengan metode yang lain memiliki keunggulan dan kelemahan. Di antara metode Pendidikan Islam tersebut sebagai berikut: a. Metode keteladanan Metode keteladanan berarti metode dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku sifat cara berfikir dan sebagainya.75 Keteladanan memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada omelan atau nasehat.76 Ini sejalan dengan pendapat Nashih Ulwan, sebagaimana dikutip oleh Raharjo yang menyatakan, bahwa metode keteladanan adalah metode yang paling menentukan keberhasilan dalam menentukan, mempersiapkan dan membentuk sikap dan prilaku moral, spiritual dan sosial anak. Metode keteladanan dalam pendidikan anak adalah metode yang
influitif
yang
paling
meyakinkan
keberhasilan
dalam
mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral spiritual dan sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak yang akan ditirunya dalam tindak tanduknya dan tata santunnya, didasari atau tidak bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan suatu
73 Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 324. 74 Muhammad Fadhil al-Jamaly, “Al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an”, terj. Judi al Falasani, Konsep Pendidikan Qur’ani, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 128-134 75 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 178. 76 Jaudah Muhammad Awwat, Manhaj Islam fi al-Tarbiyah al-Athfal, terj. Shihabuddin, Mendidik Anak secara Islami, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 13.
44 gambaran pendidik, baik dalam ucapan dan perbuatan yang bersifat material dan spiritual, yang diketahui atau tidak.77 Ini
menunjukkan
bahwa
pendidikan
dengan
metode
keteladanan merupakan metode yang berhasil guna. Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat yang menunjukkan kepentingan penggunaan bentuk keteladanan dalam pendidikan. Di antaranya terdapat dalam surat al-Ahza>b ayat 21 sebagai berikut:
ﻪ ﻮ ﺍﻟ ﱠﻠﺮﺟ ﻳ ﻦ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻤ ﻨﺔﹲ ِﻟﺴ ﺣ ﻮﺓﹲ ﺳ ﻮ ِﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ ﹸﺃﺭﺳ ﻢ ﻓِﻲ ﺪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟ ﹸﻜ ﹶﻟ ﹶﻘ (21 : )ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ.ﺍﻪ ﹶﻛِﺜﲑ ﺮ ﺍﻟ ﱠﻠ ﻭ ﹶﺫ ﹶﻛ ﺮ ﻡ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧ ﻮ ﻴﺍﹾﻟﻭ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullh itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. alAhzab: 21)78 Di antara faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dalam pendidikan dan dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah uswah hasanah (suri tauladan) yang diikuti oleh anak-anak dan orang dewasa.79 Ini menunjukkan pentingnya contoh teladan pergaulan yang baik dalam usaha membentuk kepribadian seseorang. Dan di sini, peran seorang guru berperan di mana ia harus bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak didiknya, karena dalam praktiknya anak didik cenderung meneladani pendidiknya. b. Metode pembiasaan Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama bagi anak-anak. Adapun pembiasaan yang harus dikembangkan dalam diri anak mencakup tingkah laku, ketrampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu.80 Menurut Ahmad Tafsir, pembiasaan merupakan teknik pendidikan yang jitu, walau ada kritik terhadap metode ini. Karena cara ini tidak mendidik anak untuk 77
Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 2. Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 670. 79 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 135. 80 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 185. 78
45 menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Oleh karena itu, pembiasaan ini harus mengarah kepada kebiasaan yang baik.81 Bentuk metode pembiasaan yang harus ditanamkan dalam diri anak adalah pembiasaan akidah, ibadah dan akhla>k al-kari>mah.82 Menanamkan kebiasaan itu sulit kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, kesulitan itu disebabkan pada mulanya seorang anak belum mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakan. Dalam pendidikan anak, metode ini dapat diterapkan dengan cara orang tua/guru, memberi atau melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik, seperti hidup rukun, tolong menolong, jujur dan lain-lain. Dengan sistem pengajaran semacam ini anak secara otomatis menjadi terbiasa baik di sekolah maupun di keluarga. Bertolak dari dasar-dasar yang Islami dan metode paedagogis ini, maka wajib bagi setiap orang tua, pendidik, masyarakat dan media masa berperan aktif untuk mencegah anak dari segala bentuk yang membahayakaan akidah dan mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan dan kehinaan.83 Semua ini dilakukan dalam rangka membantu untuk merealisasikan metode keteladanan supaya dapat berjalan dengan baik di dalam membentuk diri pribadi anak menuju yang lebih baik. c. Metode Nasehat Di antara metode pendidikan yang telah masyhur sejak berabad-abad
yang
silam
adalah
metode
pemberian
pembelajaran/nasehat. Metode ini digunakan dalam pendidikan untuk membuka
mata
anak-anak
pada
hakekatnya
sesuatu
yang
mendorongnya menuju situasi luhur menghiasinya dengan akhlak
81
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 144 82 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 187. 83 Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 128-129.
46 mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Metode ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan perasaan.84 Metode ini sangat penting, karena seseorang kadang-kadang lebih senang mendengarkan atau memperhatikan nasehat orang-orang yang ia cintai dan ia jadikan tempat untuk mengadu segala permasalahan.85 Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh jiwa melalui pintunya yang tepat. Bahkan dengan metode ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan anak didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan serta kemajuan masyarakat dan umat. Dalam metode ini, pendidik hendaknya berusaha menimbulkan kesan bagi anak didik, bahwa dia adalah yang mempunyai niat baik dan sangat peduli terhadap kebaikan anak didik.
84
Raharjo, op. cit., hlm. 69. Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 130-131.
85