BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Akuntansi Transaksi Valuta Asing 1. Mata Uang Pelaporan Berdasar PSAK No 52 (paragraph 3) dijelaskan bahwa terdapat beberapa jenis mata uang : a. Mata uang fungsional Adalah mata uang utama dalam arti substansi ekonomi yaitu mata uang utama yang dicerminkan dalam kegiatan operasi perusahaan. b. Mata uang pelaporan Adalah mata uang yang digunakan dalam menyajikan laporan keuangan. c. Mata uang pencatatan Adalah
mata
uang
yang
digunakan
oleh
perusahaan
untuk
membukukan transaksi. Pada umumnya, penyajian laporan keuangan di Indonesia digunakan mata uang pelaporan Rupiah. Perusahaan yang menggunakan mata uang asing (selain rupiah) sebagai mata uang pelaporannya maka mata uang pelaporannya ditentukan berdasarkan mata uang fungsionalnya. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan mengenai penentuan mata uang fungsional suatu perusahaan antara lain : indikator arus kas, 4
5
harga jual, pasar penjualan, biaya, pendanaan, transaksi dan perjanjian dengan perusahaan afiliasi. Jika mata uang fungsional telah ditentukan, maka mata uang ini harus digunakan sebagai mata uang pelaporan secara konsisten. Keputusan untuk merubah mata uang fungsional dilakukan jika memang ada perubahan substansi ekonomik perusahaan. Perubahan harus dilakukan pada awal tahun dan tidak diperbolehkan dilakukan ditengah – tengah tahun pembukuan. Setelah adanya perubahan tersebut, mata uang fungsional yang baru akan menjadi base currency pada pembukuan tahun berjalan sedangkan mata uang selain mata uang fungsional yang baru akan menjadi mata uang asing. Namun jika penyajian dalam laporan keuangan sudah terlanjur menggunakan mata uang pelaporan lama (sebelum adanya perubahan mata uang pelaporan) maka yang harus dilakukan untuk melakukan perubahan laporan keuangan dapat digunakan metode restatement dan translation. Dalam metode restatement yang selalu dimulai dari neraca, selisih yang muncul disebut “rugi/laba pegukuran kembali” dan disajikan dalam laporan laba rugi. Metode ini digunakan apabila mata uang fungsional perusahaan tidak berubah, tetapi dalam penyajian laporan keuangan (sebelum perubahan) perusahaan menggunakan mata uang pelaporan Rupiah sedangkan pada tahun berjalan perusahaan menggunakan mata uang fungsional.
6
Sedangkan untuk metode translation, selalu dimulai dari laporan laba rugi. Dalam metode ini, selisih yang muncul dinamakan “rugi/laba penjabaran kembali” dan disajikan pada bagian ekuitas pada neraca. Metode inin digunakan apabila mata uang perusahaan berubah dan perusahaan memilih untuk menyajikan laporan keuangan sesuai dengan mata uang fungsional pada periode tersebut. 2. Pengertian Transaksi Valuta Asing Transaksi valuta asing adalah suatu transaksi yang didenominasi dalam mata uang selain mata uang pelaporan entitas (mata uang asing). Transaksi mata uang asing akan timbul jika perusahaan melakukan transaksi – transaksi sebagai berikut : a. Membeli atau menjual barang atau jasa yang harganya didenominasi dalam suatu mata uang asing. b. Meminjam atau meminjamkan dana yang didenominasi dalam suatu mata uang asing. c. Menjadi suatu pihak untuk suatu perjanjian daam valuta asing yang belum terlaksana. d. Memperoleh atau melepaskan aktiva, menimbulkan atau melunasi kewajiban, yang didenominasi dalam suatu mata uang asing. 3. Jenis Transaksi Yang Melibatkan Kurs Valuta Asing Jenis transaksi yang melibatkan kurs valuta asing terbagi dalam beberapa jenis antara lain :
7
a. Spot Transaction Dilakukan melalui penyerahan valuta dalam dua hari kerja setelah tanggal transaksi. Penyerahan valuta spot dalam dua hari kerja dimaksudkan sebagai penghilang pembatas perbedaan waktu secara geografis, sehingga valuta asal dan valuta asing dapat diperjuabelikan dengan tanggal valuta yang sama. b. Forward Transaction Dilakukan dengan jangka waktu penyerahan lebih dari tujuh hari kerja, dengan menggunakan kurs yang telah disepakati pada tanggal transaksi. Kontrak yang mempunyai tanggal valuta lebih dari tujuh hari disebut forward contract dimana akan dijumpai kurs transaksi pada penutupan selalu lebih tinggi dari kurs spot. Perbedaan ini merupakan antisipasi pergerakan kurs valuta asing yang dapat dilihat dari perbedaan tingkat suku bunga masing – masing Negara. c. Swap Transaction Dilakukan melalui pertukaran dua valuta secara tunai dengan cara penjualan kembali secara berjangka atau sebaliknya. Transaksi ini merupakan sebuah kontrak arbitrage, artinya pembelian valuta asing dilakukan dengan penjualan valuta asing lainnya. Dengan demikian dalam hal ini akan dilakukan dua kontrak, yaitu pembelian valuta asing dengan mata uang local yang sama. Secara singkat dapat dikatakan bahwa transaksi ini merupakan perkiraan dua mata uang melalui pembelian tunai (spot Buy) dan penjualan kembali secara berjangka
8
(Forward Sell) atau penjualan tunai (Spot Sell) dan pembelian kembali berjangka (Forward Buy). B. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro (Edisi Revisi 2008): “Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum”
C. Asas dan Dasar Pemungutan Pajak Dalam bukunya berjudul An Inquiri into the Nature and cause of the wealth of
Nations karangan Adam Smith dinyatakan bahwa pemungutan pajak
hendaknya berdasarkan pada asas : 1. Equalilty Pemungutan pajak harus bersifat final adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. 2. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
9
3. Convenience Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak. Sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn. 4. Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminim mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak. D. Kedudukan Hukum Pajak Wewenang dalam hal pemungutan pajak berada ditangan pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 (pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undangundang dimaksudkan bahwa pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat ke pemerintah, untuk membiayai pengeluaran Negara dengan tidak mendapatkan prestasi langsung). Hukum pajak termasuk dalam hukum publik karena keseluruhan pengaturan pajak ini menyangkut kepada hubungan antar Negara dengan orang pribadi atau badan yang mempunyai kewajiban membayar pajak. Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana dapat dilihat dari adanya sanksi kepada mereka yang alpa atau sengaja melanggar ketentuan perpajakan. Sedangkan hubungannya dengan hukum perdata adalah bahwa hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan, dan perbuatan-
10
perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata, seperti penghasilan, kekayaan, perjanjian penyerahan hak, dan sebagainya. E. Jenis Pajak 1. Pembagian Jenis Pajak Pajak dapat digolongkan menjadi beberapa jenis (Mardiasmo; 5) a. Menurut Sifatnya 1) Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan. 2) Pajak Tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. b. Menurut Sasaran / Objeknya Pembagian pajak menurut sasaran / objeknya dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip. 1) Pajak Subyektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. 2) Pajak Obyektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
11
c. Menurut Pemungutnya 1) Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, PAjak Pertambahan Nilai dan PAjak Penjualan Atas BArang Mewah, Pajak Bumi dan BAngunan, dan Bea Materai. 2) Pajak Daerah, adalah pajak yangdipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Reklame, Pajak Hiburan dan lain-lain. F. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi : a. Official assessment System Adalah suatu system pemungutan pajak member wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang. Ciri-ciri Official Assesment System : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus. 2) Wajib pajak bersifat pasif. 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
12
b. Self assessment System Adalah suatu system pemungutan yang member wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib paja untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Withholding System Adalah suatu system pemungutah pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. G. Subjek Pajak Penghasilan Badan Pengertian badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak elakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan koanditer, perseroan lainnya, BUMN, BUMD dengan nama dan bentuk apapun. Subjek Pajak Badan dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri Subjek Pajak Badan Dalam Negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. 2. Subjek Pajak Badan Luar Negeri Subjek Pajak Badan Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh atau menerima
13
penghasilan di Indonesia melalui BUT maupun tidak melewati BUT. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima dan memperoleh penghasilan. Sedangkan berakhirnya adalah pada saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia. H. Objek Pajak Penghasilan Badan Secara prinsip, objek PPh Badan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak. Obyek PPh bagi Wajib Pajak Badan dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Penghasilan Badan Dalam Negeri Objek Pajak Badan Dalam Negeri adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoeh oleh badan tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang diterima baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan. 2. Penghasilan Badan Luar Negeri (BUT maupun WP LN bukan BUT) Penghasilan WP Badan Luar Negeri ada 2 macam yaitu : a. Penghasilan WP BAdan Luar Negeri BUT Objek pajak BUT diatur dalam pasal 5 UU PPh yaitu : i.
Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
ii.
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang
14
sejenis dengan yang dilakukan atau dijalankan oleh BUT di Indonesia iii.
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 UU PPh, yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubugan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
b. Penghasilan WP Badan Luar Negeri bukan BUT Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT adalah Penghasilan-penghasilan yang diterima atau diperoleh badan luar negeri yang bukan berasal dari usaha atau kegiatan di Indonesia tetapi berupa peghasilan modal (passive income). I. Ketentuan Undang – undang tentang objek pajak Berdasarkan Rancangan Undang-undang tentang perubahan Undangundang Pajak Penghasilan yang kemudian diundangkan sebagai Undang-undnga nomor 10 Tahun 1994, Rancangan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tersebut menambahkan sebagai contoh dari jenis penghasilan yang dikenakan pajak adalah keuntungan karena selisih kurs mata uang asing atau valuta asing. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf I Undang-undang Pajak Penghasilan membagi keuntungan karena selisih kurs tersebut menjadi dua berdasarkan sebabnya : i.
Keuntungan karena selisih kurs yang disebabkan oleh flutuasi kurs mata uang asing.
15
ii.
Keuntungan selisih kurs sebagai akibat dari adanya kebijakan pemerintah di bidang moneter. Atas keuntungan selisih kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya
dikaitkan dengan system pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak, asalkan dipenuhi syarat, bahwa sistem pembukuan yang dianut oleh WP tersebut diterapkan secara taat asas. Jenis-jenis penghasilan yang diberi perlakuan khusus melalui penerbitan PP atau keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Direktur Jenderal Pajak : 1) Bunga Deposito dan tabungan-tabungan lainnya 2) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lain di bursa efek 3) Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan 4) Penghasilan tertentu lainnya. J. Ketentuan Undang – undang tentang Perlakuan Pajak atas Selisih Kurs Dari Lima unsur penghasilan yang dikenakan pajak, salah satunya adalah unsure realisasi, yaitu bahwa tambahan kemamouan ekonomis wajib pajak dikenakan pajak pada waktu tambahan kemampuan ekonomis itu diterima atau diperoleh. Pengenaan pajak memperhatikan dasar akuntansi yang dipakai wajib pajak secara taat asas. Bagi wajib pajak yang memakai dasar akuntansi penerimaan pembayaran tunai, maka pengenaan pajak atas suatu penghasilan akan dilakukan atas dasar penerimaan pembayaran peghasilan tersebut. Pasal 4 ayat (1) Undangundang Pajak Penghasilan sebagai ketentuan materiil hanya menyebutkan dua dasar akuntansi yang boleh dipakai oleh wajib pajak untuk menghitung penghasilan yang menjadi objek pajak, yaitu :
16
1) Dasar akuntansi penerimaan pembayaran tunai (cash basis) dan, 2) Dasar akuntansi perolehan penghasilan (accrual basis) Apabila dalam penyelenggaraan akuntansinya wajib pajak memakai dasar akuntansi lain, maka akuntansi semaacam itu tidak boleh dipakai untuk menghitung penghasilan yang dikenakan pajak. Dalam akuntansi perpajakan dikenal juga suatu dasar akuntansi yang lain, yaitu yang disebut dasar akuntansi nilai pasar atau “mark-to-market basis” yang enghitung besarnya penghasilan yang akan dikenakan pajak atas dasar nilai pasar ketika laporan keuangan wajib pajak disusun. Dalam penjelasan Undang-undang Pajak Penghasilan berkenaan dengan pasal 4 ayat (1) huruf I yang menyebut keuntungan karena selisih kurs valuta asing, dijelaskan bahwa pengenaan pajak atas keuntungan selisih kurs valuta asing itu dikaitkan dengan system pembukuan wajib pajak yang diterapkan secara taat asas. Jadi apabila system pembukuan wajib pajak menerapkan pemakaian kurs berdasarkan pasar, maka wajib pajak telah harus membayara pajak atas dasar kenaikan nilai tukar mata uang asing yang belum dijual. Oleh karena tariff PPh itu dinyatakan dalam mata uang rupiah, maka tambahan kemampuan ekonomis yang merupakan penghasilan yang dikenakan pajak itu harus diukur dengan rupiah. K. Perlakuan Selisih kurs menurut Undang – undang pajak penghasilan Perlakuan perpajakan atas selisih kursatau perlakuan perpajakan atas perubahan nilai tukar merupakan perlakuan perpajakan yang menyangkut Objek pajak,, karena perubahan nilai tukar mata uang asing itu dapat mengakibatkan
17
diterimanya atau diperolehnya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan ekmamouan ekonomis ditentukan oleh Undang-undang Pajak Penghasilan sebagai penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan. Perlakuan perpajakan atas perubahan nilan tukar atau kurs mata uang asing yang dapat menjadi tambahan kemamouan ekonmis bagi wajib pajak diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Pajak penghasilan. Ketentuan pokok yang penting diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUP Penghasilan antara lain : 1. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan 2. Penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsure-unsur sebagai berikut : a. Penghasilan pada hakekatnya adalah tambahan kemampuan ekonomis. b. Penghasilan itu dikenakan pajak apabila telah menjadi realiasasi,, yaitu diterima atau diperoleh wajib pajak. c. Penghasilan yang dikenakan pajak meliputi semua penghasilan, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun yang berasal dari umbersumber penghasilan diluar di Indonesia. d. Penghasilan yang dikenakan pajak tanpa menghiraukan penggunaanya, baik yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, maupun yang ditabung atau dibelanjakan sebagai investasi. 3. Jenis penghasilan sebagaimana yangrtermasuk penghasilan yang dikenakan pajak : 1) Penghasilan dari usaha atau kegiatan a) Laba usaha
18
b) Premi asuransi (yang diterima perusahaan asuransi) c) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. d) Hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan (yang diterima badan). 2) Penghasilan dari modal awal atau investasi a) Keutungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1) Keuntungan
karena
pengalihan
harta
kepada
perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. 2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota. 3) Keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha. 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan pada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan kegamaan atau badan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
19
b) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. c) Deviden, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polios, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. d) Royalti e) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 3) Penghasilan lain-lain a) Hadiah dari undian b) Penerimaan kembali pembayaran pajak yangtelah dibebankan sebagai biaya. c) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. d) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. e) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. f) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. Berkenaan dengan tiga ketentuan pokok yang penting berkenaan dengan kewajiban pajak objektif tersebut diatas, sepanjang berhubungan dengan perlakuan perpajakan selisih atas keuntungan karena selisih kurs, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : 1. Keuntungan karena selisih kurs merupakan salah satu jenis penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan.
20
2. Keuntungan karena selisih kurs sebagai suatu jenis penghasilan yang dikenakan pajak juga sebagaimana jenis penghasilan yang dikenakan pajak lainnya memounyai unsure sebagai berikut : a. Keuntungan karena selisih kurs merupakan tambahan kemampuan ekonomis. b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing baru dikenakan pajak apabila telah menjadi realisasi, yaitu telah diterima atau diperoleh wajib pajak. c. Untuk wajib pajak dalam negeri Indonesia, keuntungan karena selisih kurs mata uang asing itu meliputi seluruh keuntungan selisih kurs, baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari Negara-negara lain diluar Indonesia. d. Semua keuntungan selisih kurs mata uang asing itu dikenakan pajak tanpa memperhatikan dipergunakan untuk apa, baik untuk memenuhi kebutuhan ataupun ditabung lalu disalurkan untuk investasi. e. Untuk mengenakan pajak atas keuntungan selisih kurs, nama yangdiberikan dan bentuk yuridis yang dipilih adalah kurang penting. Yang menentukan adalah kenyataan ekonominya, yaitu apa wajib pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh tambahan kemampuan ekonomis, ataukah wajib pajak mengalami pengurangan kemampuan ekonomis. L. Biaya Ditinjau Dari Sudut Perpajakan 1. Pengertian biaya Biaya adalah pengorbanan ekonomis untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Dalam rangka menghitung penghasilankena pajak (taxable income) suatu badan usaha perseorangan.
21
Ketentuan yangmengatur perlakuan perpajakan atau kerugian karena selisih kurs mata uang asing adalah Pasal 6 UUP penghasilan, yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut : 1. Besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : a. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi dan pajak kecuali pajak penghasilan. b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. c. Iuran kepada dana pension yang pendiriannya tekah disahkan Menteri Keuangan. d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing. f. Biaya penelitian dan oengambangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
22
2. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. 3. Kepada orang pribadi sebagai wajib pajka dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. M. Selisih Kurs Definisi kurs menurut Dominick Salvatore (1997:10) adalah : “Kurs merupakan salah satu harga yang terpenting dalam perekonomian yang terbuka mengingat pengaruhnya yang demikian besar bagi neraca transaksi berjalan maupun variabel – variabel makro ekonomi yang lainnya. Olh karena itu kurs merupakan sebuah harga aktiva atau harga asset, sehingga prinsip – prinsip pengaturan harga asset – asset lainnya juga berlaku dalam pengaturan harga kurs”. Selain definisi kurs diatas juga terdapat definisi kurs menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) No. 10 antara lain : “ Kurs adalah rasio pertukaran dua mata uang”. Beberapa pengertian tentang kurs di atas menjelaskan bahwa kurs merupakan perbandingan suatu mata uang dengan mata uang lainnya. N. Masalah selisih kurs dalam peraturan pajak penghasilan 1. Transaksi Perdagangan luar negeri Praktek pembukuan transaksi dalam valuta asing dapat dilaksanakan dengan dual currency atau multiple currency system. Sistem pertama langsung membukukan transaksi dengan functional currency (dalam hal ini rupiah). Sedangkan pada
23
system kedua, transaksi valuta asing dicatat untuk setiap valuta. Translasi (konversi) satu mata uang ke mata uang yang lain dapat menimbulkan selisih kurs valas. Nilai tukar valuta, dalam pembukuan meliputi : a. Kurs transaksi yaitu riil, yang terjadi pada saat terjadinya transaksi jual-beli, pembayaran ataupun penutupan kontra. b. Kurs neraca yaitu kurs yang terjadi pada saat pembukuan neraca. PSAK No. 10 dalam buku SAK 1994 menyatakan transaksi dalam mata uang asing dijabarkan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi. PSAK tersebut menyatakan aktiva dan kewajiban moneter dalam mata uang asing dijabarkan ke dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tanggal neraca. Dengan adanya isi pernyataan tersebut, system pembukuan multiple currency tampak kurang diikuti secara meluas dalam praktek akuntansi. Untuk tujuan perpajakan ekspor dan impor dapat dilakukan dengan cara : a. Pembayaran dimuka (advance payment) b. Pembayaran kemudian (open account) c. Konsinyasi (Consigment basis) d. Letter of credit (L/C) e. Inkaso (collection basis) f. Barter dan tunai 2. Utang Piutang dengan valuta asing Buku SAK 1994 menghendaki penilaian piutang moneter valas dengan nilai tukar pada tanggal neraca. Ketentuan ini berlaku baik untuk hak dan
24
kewajiban lancar maupun jangka panjang. Selisih nilai tukar yang terjadi antartiap tanggl neraca dihitung sebagai rugi-laba beda kurs. Untuk tujuan pajak, wajib pajak dapat melakukan pembukuan dengan menggunakan kurs tetap dan kurs tanggal neraca. Persyaratan untuk kedua teknik pembukuan tersebut adalah konsistensi. Jadi, bila perusahaan untuk tujuan komersial membukukan utang piutang valasnya dengan nilai tukar pada tanggal neraca dengan pengakuan laba-rugi selisih nilai tukar setiap akhir tahun dan tentunya saat pelunasan, hal itu dapat diterima untuk tujuan perpajakan. Begitu pula jika perusahaan memakai metode nilai tukar tetap (dalam hal ini berbeda dengan praktek akuntansi komersial), hal ini dapat diterima untuk tujuan perpajakan. Karena tarif pajak penghasilan progresif dengan konsekuensi semakin besar penghasilan maka semakin tinggi pula tarif pajaknya. Untuk tujuan efisiensi dan kesederhanaan pelaksanaan pembukuan dan penghematan biaya serta tenaga, rasanya perusahaan akan lebih baik mencatat berdasarkan nilai tukar pada akhir tahun yang dapat dipakai sekaligus untuk tujuan ganda, yaitu praktek akuntansi komersial dan perpajakan. 3. Perlakuan pajak atas selisih kurs Pasal 4 ayat (1) huruf I Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan bahwa keuntungan karena selisih kurs mata uang asing merupakan objek PPh. Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (1) huruf e, kerugian yng diakibatkan oleh selisih kurs mata uang asing merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible). Keuntungan tersebut dapat disebabkan adanya fluktuasi kurs mata uang asing atau kebijakan dibidang moneter. Hal pengenaan
25
pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan perusahaan yang dilakukan dengan taat asas (konsistensi). Demikian pula dengan fluktuasi kurs sehari-hari yang menyebabkan kerugian. Apabila wajib menggunakan sistem pembukuan berdasar kurs tetap, pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing tersebut. Apabila wajib pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, maka pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun. Contoh kasus adanya perlakuan selisih kurs atas transaksi adalah sebagai berikut : PT. ABC bergerak dibidang asuransi dengan sumber utama penghasilan adalah premi yang diterima dari tertanggung. Dana yang dikumpulkan dari premi dinvestasikan dalam bentuk deposito dalam mata uang asing maupun rupiah. PT. ABC menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia yang ditetapkan secara taat azas. Sehubungan dengan deposito dalam mata uang asing, terdapat 2 (dua) jenis penghasilan yang berbeda, yaitu : 1. Bunga deposito (telah dipotong PPh final oleh bank) 2. Keuntungan / kerugian selisih kurs akibat fluktuasi mata uang asing terhadap pokok deposito
26
Sehubungan dengan selisih kurs yang timbul karena fluktuasi kurs atas pokok deposito dalam valas, yang menjadi pertanyaan adalah sebagai berikut: 1. Apakah dalam hal terjadi kerugian selisih kurs akibat fluktuasi kurs, kerugian selisih kurs tersebut dapat dikurangkan sebagai biaya ? Mengingat bahwa kerugian selisih kurs tidak ada kaitannya dengan bunga deposito yang telah dikenakan PPh final 2. Apakah keuntungan selisih kurs tersebut merupakan objek pajak ? 3. Kapan pengakuan / pembebanan selisih kurs tersebut ? Dari contoh kasus tersebut, dapat berikan penjabaran sebaagai berikut : 1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf I UU PPh Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa : keuntungan selisih kurs mata uang asing termasuk penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan dan pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak secara taat azas. 2. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh Nomor 17 Tahun 2000 diatur bahwa : kerugian dari selisih kurs mata uang asing merupakan unsur pengurang penghasilan bruto. 3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia : atas penghasilan berupa bunga yang berasal dari deposito dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
27
4. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-03/PJ.31/1997 tanggal 13 Agustus 1997 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Selisih kurs antara lain ditegaskan hal-hal sebagai berikut: a. Kerugian selisih kurs, mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan: 1. Kurs tetap, pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan mata uang asing tersebut. 2. Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun. b. Kerugian yang terjadi karena selisih kurs, dapat diakui sebagai pengurang penghasilan sepanjang Wajib Pajak tersebut mempunyai sistem pembukuan yang diselenggarakan secara taat asas, sesuai dengan bukti dan keadaan yang sebenarnya, dan dalam rangka kegiatan usahanya atau berkaitan dengan usahanya. Sehingga dapat ditarik kesimpulaan sebagai berikut : Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Kerugian selisih kurs yang melekat pada pokok simpanan deposito dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan.
28
2. Keuntungan selisih kurs yang melekat pada pokok simpanan deposito perlakuannya sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf I Undangundang Pajak Penghasilan yakni diperhitungkan dalam Penghasilan Kena Pajak yang dikenakan tarif sesuai Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan dan didasarkan atas metode pembukuan yang dianut Wajib Pajak secara taat azas. 3. PT. ABC, sesuai dengan pembukuan yang dilakukannya, maka pengakuan / pembebanan selisih kurs tersebut dilakukan setiap akhir tahun. O. Ketentuan Pelaksanaan Berkenaan dengan dua ketentuan tersebut diatas, yaitu Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan, pada tanggal 13 Agustus 1997 Direktur
Jendral
Pajak
menerbitkan
SE-03/PJ.31/1997
yang
berbunyi
selengkapnya sebagai berikut : Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai perlakuan Pajak Penghasilan terhadap selisih kurs, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : 1. Berdasarkan Undang-undang nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1994 : a. Pasal 4 ayat (1) huruf I, keuntungan selisih kurs mata uang asing termasuk penghasilan yang menjadi objek pjak penghasilan, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh wajib pajak dengan syarat dilakukan secara taat asas. Oleh karena itu keuntungan selisih kurs
29
yang diperoleh wajib pajak badan mauoun orang pribadi harus dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan. b. Pasal 6 ayat (1) huruf e, kerugian selisih kurs mata uang asing merupakan unssur pengurangan penghasilan bruto. Kerugian selisih kurs mata uang asing akibat flukstuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan pembukuan yang dianut oleh wajib pajak dan dilakukan secara taat azas. Apabila wajib pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan : 1) Kurs tetap, pembebanan selsih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan mata uang asing tersebut. 2) Kus tengah Bank Indonesia atau Kurs yang sebenarnya berlaku akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun. 2. Kerugian yang terjadi karena selisih kurs, dapat diakui sebagai pengurangan penghasilan sepanjang wajib pajak tersebut mempunyai sistem pembukuan yang diselenggarakan secara taat asas, sesuai dengan bukti dan keadaan yang sebenarnya, dan dalam rangka kegiatan usahanya atau beraitan dengan usahanya. 3. Bagi wajib pajak orang pribadi yang memilih mempergunakan norma perhitungan pernghasilan netto sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9
30
Tahun 1994, kerugian karena selisih kurs tidak dapat diakui sebagai pengurangan penghasilan. Oleh karena masih banyak pertanyaan yang diajukan kepada Dirjen Pajak tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan berupa keuntungan dari seliih kurs, khususnya berkenaan dengan penghasilan tidak teratur, pada tanggal 5 Agustus 1998 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SE-24/PJ.42/1998 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Sehubungan dengan masih banyaknya pertanyaan dari Wajib Pajak khusunya mengenai pernghasilan tidak teratur atas keuntungan dari selisih kurs dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : 1. Berdasarkan butir 1 huruf a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-03/PJ.31/1997 tanggal 13 Agustus 1997 ditetapkan bahwa keuntungan selisih kurs mata uang asing termasuk penghasilan yang menjadi Objek Pajak Penghasilan. Pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dengan syarat dilakukan secara taat azas. Oleh karena itu keuntungan selisih kurs yang diperoleh Wajib Pajak badan maupun orang pribadi harus dilaporkan dala SPT Tahunan Pajak Penghasilan. 2. Berdasarkan penjelasan diatas dan mengingat dalam jangka panjang kurs selalu mengalami kenaikan /penurunan, maka keunungan selisih kurs tersebut harus diperlakukan sebagai penghasilan teratur dan harus dimasukkan sebagai penghasilan dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25.
31
3. Apabila sesudah 4 (empat) bulan atau lebih berjaalnnya suatu tahun pajak, wajib pajak dapat menunjukkan bahwa Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan kuraang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari pajak penghasilan yang terutang yang menjadi dasar perhitungan besarnya pajak penghasilan pasal 25, Wajib Pajak dapat mengajukan pemohonan pengurangan besarnya pajak penghasilan pasal 25 kepada KPP tempat wajib pajak terdaftar sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-03/PJ./1995 tanggal 9 Januari 1995. Direktur Jenderal Pajak kembali memberi penegasan lebih lanjut mengenai perlakuam PPh terhadap selisih kurs valuta asing dalam SE-46/PJ.43/1998 tanggal 31 Desember 1998 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Sehubungan dengan masih banyaknya pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan perlakuan PPh terhadap selisih kurs valuta asing, maka dengan ini diberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut : 1. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 597/KMK.04/1997 tanggal 21 November 1997 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 16/PJ.43/1997 tanggal 27 November 1997 (keduanya tentang perlakuan pajak penghasilan terhadap selisih kurs valuta asing dalam tahun 1997) hanya berlaku untuk tahun pajak 1997. 2. Untuk tahun pajak 1998 dan seterusnya demikian juga tahun pajak 2006 dan tahun-tahun pajak sebelumnya, ketentuan perpajakan yang menyangkut perlakuan PPh atas selisih kurs yang sampai saat ini masih berlaku adalah :
32
a. Surat edaran Direktu Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.31/1997 tanggal 1 Agustus 1997 yang mengatur perlakuan Pajak Penghasilan dalam hal wajib pajak memperoleh keuntungan atau kerugian karena selisih kurs. b. Surat edaran Direktu Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ.42/1998 tanggal 5 Agustus 1998 yang mengatur tentang perlakuan pajak penghasilan dalam hal wajib pajak memperoleh keuntungan karena selisih kurs dan dalam kaitannya dengan penghitungan besarnya angsuran pajak penghasilan pasal 25. SE-03/PJ.31/1997 dijelaskan lebih lanjut dalam SE-04/PJ.42/1999 yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut : Sehubungan dengan masih adanya pihak-pihak yang menanyakan tentang penggunan nilai kurs tetap buku tahub pajak 1997 berkenaan dengan dikeluarkannya nilai kurs tengah oleh Bank Indonesia pada tanggal 31 Desember 1997 dan adanya kurs yang sebenarnya berlaku, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Berdasarkan penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf I dan pasal 1 huruf e Undangundang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1994, antara lain diatur bahwa pengakuan keuntungan maupun kerugian selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan harus dilakukan secara taat azas.
33
2. Wajib Pajak dapat menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap maupun menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun. 3. Dalam hal wajib pajak telah menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, maka wajib pajak harus menggunakan kurs tengah Bank Indonesia per tanggal 31 Desember, karena pada tanggal tersebut Bank Indonesia telah mentapkan kurs konversi.