5
BAB II LANDASAN TEORITIS A.
Definisi Bank Dalam pasal 1 undang-undang No. 21 Tahun 2008, disebutkan bahwa bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank terdiri dari atas dua jenis, yaitu Bank konvensional dan Bank syariah. Bank konvensional adalah banyak yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional yang terdiri atas Bank umum konvensional dan Bank perkreditan rakyat. Sedangkan Bank syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas banak umum syaiah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
B.
Fungsi Bank Syariah Berdasarkan pasal 4 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah,
disebutkan bahwa Bank syariah wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Bank syariah juga dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmaal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, hibah atau dana sosial lainnya (antara lain denda terhadap nasabah atau ta’zir) dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu bank syariah juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari
6
wakaf uang, dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). Dalam beberapa literatur perbankan syariah, bank syariah dengan beragam skema transaksi yang dimiliki dalam skema non riba memiliki setidaknya 4 fungsi : (1) fungsi manajer investasi, (2) Fungsi investor, (3) Fungsi sosial, dan (4) Fungsi jasa keuangan. Fungsi keempat tersebut akan dibahas secara detail sebagai berikut. 1.
Fungsi Manajer Investasi Fungsi ini dapat dilihat pada segi penghimpunan dana oleh bank syariah,
khususnya dana mudharabah. Dengan fungsi ini, bank syariah bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dalam hal dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyaluran yang produktif, sehingga dana yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang akan dibagihasilkan antara bank syariah dan pemilik dana. Berbeda dengan bank konvensional, imbalan yang diberikan kepada para deposan bank konvensional memiliki sifat tetap tanpa dipengaruhi oleh kinerja bank dan jumlahnya dapat ditentukan dimuka karena hanya didasarkan pada persentase tertentu terhadap jumlah uang yang disimpan di bank konvensional. Sebaliknya, bank syariah kepada deposan sangat bergantung pada pendapatan yang diperoleh oleh bank sebagai Mudharib dalam mengelola dana mudharabah. Makin besar pendapatan bank yang dapat dibagihasilkan, makin besar pula imbalan yang akan diberikan kepada pemilik dana yang mempercayakan uangnya dikelola oleh bank syariah. Sebaliknya makin kecil pendapatan bank yang dapat
7
dibagihasilkan, makin kecil pula imbalan yang yang akan diberikan kepada pemilik dana, kendati nominal uang yang ditempatkana oleh nasabah dibank syariah tersebut adalah sama dengan jumlah uang yang ditempatkan pada bulan atau periode sebelumnya. Dalam hal bagi hasil kepada nasabah, bank syariah menggunakan konsep nisbah bagi hasil atau persentase pendapatan yang diperoleh. Hal ini menyebabkan besar atau kecilnya imbalan bagi pemilim dana tidak semata ditentukan oleh makin besarnya porsi bagi hasil oleh nasabah, melainkan juga oleh kualitas penyaluran dana oleh bank. Salah satu implikasi dari mekanisme ini adalah bank syariah tidak disarankan untuk menerima dana apabila tidak mampu menyalurkan dana tersebut pada hal yang produktif. Ini disebabkan karena keterbatsan hasil yang diperoleh juga akan dibagi kepada pemilik dana yang baru, yang danya belum bisa disalurkan. Hal ini tentu akan merugikan pemilik dana yang lama, yang sekiranya pemilik dana baru tidak ada, mereka akan memperoleh imbalan bagi hasil lebih besar. 2.
Fungsi Investor Dalam penyaluran dana, bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik
dana). Sebagai investor penanaman dana yang dilakukan oleh bank syariah harus dilakukan pada sektor-sektor yang produktif dengan resiko yang minim dan tidak melanggar ketentuan syariah. Selain itu dalam menginvestasikan dana bank syariah harus menggunakan alat investasi yang sesuai dengan syariah. Investasi yang sesuai dengan syariah meliputi akad jual beli (murabahah, salam, dan istishna), akad investasi (mudharabah dan Musyarakah), akad sewa menyewa
8
(Ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik).dan akad lainnya yang dibolehkan oleh bank syariah. 3.
Fungsi Sosial Fungsi sosial bank syariah merupakan sesuatu yang melekat pada bank
syariah. Setidaknya ada dua instrumen yang digunakan oleh bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf (ZISWAF) dan instrumen Qardhul hasan. Instrumen ZISWAF berfungsi untuk menghimpun ZISWAF dari masyarakat, pegawai bank, serta bank sendiri sebagai lembaga milik para investor. Dana yang dihimpun melalui instrumen ZISWAF selanjutnya disalurkan kepada yang berhak dalam bentuk bantuan atau hibah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Instrumen Qardhul hasan
berfungsi
menghimpun dana dari penerimaan yang tidak memenuhi kriteria halal serta dana infaq dan shadaqah yang tidak ditentukan peruntukannya secara spesifik oleh yang memberi. Selanjutnya dana Qardhul hasan disalurkan untuk (1) Pengadaan atau perbaikan kualitas fasilitas sosial dan fasilitas umum masyarakat (terutama bagi dana yang berasal dari penerimaan yang tidak memenuhi kriteria halal, (2) sumbangan atau hibah kepada yang berhak, dan (3) pinjaman tanpa bunga yang diprioritaskan pada masyarakat golongan ekonomi lemah, tetapi memiliki potensi dan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman tersebut. 4.
Fungsi Jasa Keuangan Fungsi jasa keuangan yang dijalankan oleh bank syariah tidaklah berbeda
dengan bank konvensional, seperti memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran gaji, letter of guarantee, letter of credit, dan lain sebagainya. Akan
9
tetapi, dalam hal mekanisme mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut, bank syariah tetap harus menggunakan skema yang sesuai dengan prinsip syariah.
C.
Tujuan Bank Syariah Terkait dengan asas operasional bank syariah, berdasarkan pasal 2 UU No.
21 Tahun 2008, disebutkan bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehatihatian. Selanjutnya, terkait dengan tujuan bank syariah, pada pasal 3 dinyatakan bahwa perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
D.
Asas Bank Syariah Prinsip Syariah adalah : prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. BUS adalah bank syariah yang kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BPRS adalah bank syariah yang dalam melaksanakan kegiatan usahanya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat Bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja dikantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan diluar negeri yang melaksankan kegiatan usaha secara
10
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu dan /atau unit syariah. E.
Tinjauan Umum Tentang Bank Syariah
1.
Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil Bagi seorang muslim, sumber nilai dan sumber hukum adalah Al-Quran dan
Sunnah Nabi. Konsekuensinya, apapun nilai yang dibutuhkan dalam analisis dan perilaku ekonomi harus bersandar pada kedua sumber nilai tersebut. Ini tercermin dari pandangan Islam mengenai bunga. Uniknya, di kalangan ulama dan cendekiawan Islam masih terjadi polemik apakah bunga sama dengan riba. Riba menurut bahasa arab berarti tambahan, peningkatan, ekspansi atau pertumbuhan. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan (premium) sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman selain pinjaman pokok. Dalam hal ini, riba memiliki arti yang sama dengan bunga sebagaimana konsensus para fuqaha (Kuncoro 2002:588). Antonio (2004) menjelaskan bahwa menurut Al-Quran, pandangan Islam mengenai riba dapat dilihat pada kutipan 4 surat dengan beberapa ayat, yang diturunkan dalam empat tahap berikut ini, surat Ar-Rum ayat 39 menyatakan : Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
11
Tahap pertama ini menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati taqarrub kepada Allah. Masih menurut Antonio (2004), ia menyatakan bahwa dalam tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 160-161: Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman dalam surat Ali imran ayat 130: “Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu (Antonio,2004).
12
Antonio (2004) mengemukakan bahwa pada tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba yaitu Surat Al-Baqarah 278-279: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
13
Tabel 2.1 Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil Bunga
Bagi Hasil
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu da Penentuan besarnya rasio/nisbah akad dengan asumsi harus selalu bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada untung kemungkinan untung rugi.
b. Besarnya persentase berdasarkan b. Besarnya rasio bagi pada jumlah uang (modal) yang berdasarkan pada jumlah dipinjamkan. Keuntungan yang diperoleh
hasil
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang c. Bagi hasil bergantung pada dijanjikan tanpa pertimbangan keuntungan proyek yang dijalankan. apakah proyek yang dijalankan oleh Bila usaha merugi, kerugian akan pihak nasabah untung atau rugi. ditanggung bersama oleh kedua belah pihak d. Jumlah pembayaran bunga tidak d. Jumlah pembagian laba meningkat meningkat sekalipun jumlah sesuai dengan peningkatan jumlah keuntungan berlipat atau keadaan pendapatan. ekonomi sedang “booming”
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau e. Tidak ada yang meragukan tidak dikecam) oleh semua agama, Keabsahan bagi hasil. termasuk Islam. Sumber: M. Syafi’i Antonio (2004) 2.
Hubungan Bank Syariah dengan Nasabah Secara umum hubungan lembaga bisnis konvensional dengan para nasabah,
contohnya adalah hubungan antara bank konvensional dengan para deposan atau penabung, juga kepada para debitur adalah hubungan simpan pinjam, tidak perlu tahu keadaan atau risiko yang dialami oleh masing-masing pihak, penabung tidak tahu menahu tentang masalah yang dihadapi oleh bank, begitu sudah waktunya
14
untuk dikembalikan dan dibayar bunga bank konvensional harus membayar kepada deposan atau penabung, begitu sebaliknya hubungannya dengan debitur bank tidak mau tahu risiko atau masalah yang dihadapi oleh debitur, begitu jatuh tempo pembayaran, nasabaha harus membayar. Hal tersebut sangat berbeda dalam bank syariah, hubungan bank syariah dengan para nasabah, baik nasabah pemilik dana yang dihimpun (deposan) atau nasabah dalam penyaluran dana (debitur), merupakan hubungan kemitraan, bukan hubungan pinajam meminjam sebagaimana
yang dilakukan oleh bank
konvensional. Dalam kaitannya penghimpunan dana hubungan bank syariah dengan nasabah penghimpunan dana (deposan), juga merupakan hubungan kemitraan, karena sesuai dengan prinsipnya semua pekerjaan dalam pengelolaan dan diserahkan sepenuhnya kepada bank syariah, sehingga bank syariah sebagai pemegang amanah harus ada keterbukaan, kepercayaan, keadilan, dan transparasi, terutama hal-hal yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha, karena nasib para deposan sangat tergantung pada hasil usaha pengelolaan dana yang dilakukan oleh bank syariah, sehingga apa yang dialami oleh bank syariah dapat diketahui oleh para deposan. Sesuai dengan mudharabah, pekerjaan sepenuhnya diserahkan kepada mudharib, pemilik dana (Shahibul maal) tidak diperkenankan ikut campur dalam pengelolaan dana, hal ini sangat seperlukan kejujuran, keterbukaan, keadilan dan semua ini dapat diperoleh secara kemitraan.
15
Hubungan kemitraan antara Bank syariah dan nasabah ini sangat dirasa dalam penyaluran dana, bank syariah dituntut untuk mengetahui dengan jelas dan pasti keadaan nasabahnya, hal ini sangat dirasakan dan sebagai salah satu bukti adalah dalam kaitannya pengenaan denda kepada para mitra yang “mampu tetap tidak mau”, bagaimana bank syariah mengetahui nasabahnya mampu tetapi tidak mau kalau tidak mengetahui dengan jelas dan pasti keadaan nasabah yang bersangkutan. Hubungan kemitraan ini juga sangat penting, dalam hal nasabah mengetahui kesulitan keuangan dan perlu adanya pembinaan sehingga dapat kembali normal dan menguntungkan. Dalam penyaluran dana dengan prinsip bagi hasil bagi mudharabah dan musyarakah, harus diperoleh kejujuran, transparasi dan keadilan dari debitur, tidak ada hal yang harus disembunyikan dan hal ini hanya dapat diperoleh apabila diterapkan sistem hubungan kemitraan antara bank dan nasabah. Begitu juga dalam melakukan jual beli, bank syariah harus memberitahukan dengan jujur harga peroleh barang yang diperjualbelikan, bahkan harus diberitahukan tentang keadaan barang yang sebenarnya. Dengan adanya Bagi hasil akan cenderung mempererat hubungan anatara bank dan pengusaha yang merupakan tinggak bank multi tujuan. Langkah ini diharapkan memperkenalkan keahlian nansial pada aperusahaan-perusahaan non keuangan dan juga menjadikan bank-bank mampu berperan sebagai konsultan teknis dan penasihat pemasaran dan bertindak sebagai katalisator dalam proses industrialisasi dan pembangunan. Bank akan berhati-hati dalam melihat kebutuhan ansial yang disepakati dari klien mudharabhnya sehingga mengurangi ketegangan mereka terhadap keperluan untuk memutar dana demi menutupi
16
kekurangan likuiditas normalnya. Sepertihalnya dengan bank konvensional, mereka mungkin saja memiliki “ unit gawat darurat “ untuk merawat perusahaan yang memiliki tngkat kesehatan yang buruk agar bisa hidup sehat lagi. Walaupun begitu, evaluasi yang hati-hati lewat bagi hasil, diikuti dengan hubungan yang akrab yang berkesinambungan, mungkin cenderung meminimalkan kasus-kasus yang memerlukan perawatan demikian. 3.
Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki
persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi
komputer
yang
digunakan,
syarat-syarat
umum
memperoleh
pembiayaan, dan sebagainya. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan-perbedaan itu dapat disimpulkan dalam tabel di bawah ini:
17
Tabel 2.2 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Permasalahan Bank syariah Risiko akad 1. akad jual-beli al murabahah 2. akad bagi hasil al musyarakah al mudharabah 3. akad sewa ijaroh mutlaq ijaroh muntahiyah bittamlik. Sesuai dengan akadnya sehingga angsuran akan selalu tetap, sesuai dengan kesepakatan di muka Landasan • tidak bebas nilai operasional (berdasarkan prinsip syariah islam) • uang sebagai alat tukar bukan komoditi • bunga dalam berbagai bentuknya dilarang • menggunakan prinsip bagi hasil dan keuntungan atas transaksi riil Fungsi peran
dan • • • • •
Risiko usaha
•
•
Bank konvensional 1. akadnya adalah kredit /pinjam uang sehingga anggusaran tidak bisa dijamin akan tetap.
• • •
• agen investasi/manajer investasi investor penyediaan jasa lalu lintas pembayaran (tidak bertentangan syariah) pengelola dana kebajikan, • ZIS hubungan dengan nasabah • adalah hubungan kemitraan dihadapi bersama antara • bank dengan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran • tidak mengenal
bebas nilai (berdasarkan prinsip materialistis) uang sebagai komoditi yang dipertahankan bung sebagai instrument imbalan teradap pemilik uang yang ditetapkan dimuka
penghimpun dana masyarakat dan meminjamkan kembali kepada masyarakat dalam kredit dengan imbalan bunga penyedia jasa/lalu lintas pembayaran hubungan dengan nasabah adalah hubungan debitur kreditur risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur, dan sebaliknya kemungkinan terjadi selisih negatif
18
kemungkinan terjadinya antara pendapatan dan selisih negatif (negative beban bunga spread) karena sistem yang digunakan Sistem Adanya Dewan Pengawas Aspek moralitas seringkali pengawasan Syariah untuk memastikan terlanggar karena tidak operasional bank tidak adanya nilai-nilai religius Menyimpang dari syariah yang mendasari operasional disamping tuntutan moralitas pengelola bank dan nasabah sesuai dengan akhlakul karimah Sumber: The Sharia Banking Training Center Yogyakarta
F.
Pembiayaan Bank Syariah
1.
Pembiayaan Berdasarkan Jual Beli (Murabahah) a.
Definisi dan Penggunaan Murabahah Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar
biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102 Paragraf 5). Definisi ini menunjukkan bahwa transaksi murabahah tidak harus dalam bentuk pembayaran tangguh (kredit), melainkan dapat juga dalam bentuk tunai setelah menerima barang, ditangguhkan dengan mencicil setelah menerima barang ataupun dengan ditangguhkan dengan membayar sekaligus dikemudian hari(PSAK 102 Paragraf 8). Jual
spesifik
yang
diperuntukkan
bagi
skema
pembayaran
ditangguhkan biasa disebut dengan Bai’Bithaman’Ajil atau disingkat dengan BBA. Kendati menggunakan istilah berbeda dalam praktiknya, kedua istilah pada dasarnya mengacu pada transaksi yang sama, yaitu dengan jual beli pembayaran ditangguhkan. Transaksi Murabahah, kendati memiliki fleksibilitas dalam hal waktu pembayaran, dalam praktik perbankan di Indonesia adalah tidak umum menggunakan skema pembayaran langsung setelah barang diterima oleh pembeli (nasabah). Praktik yang paling banyak
19
digunakan adalah skema pembayaran dengan mencicil setelah menerima barang. Adapun praktik dengan pembayaran sekaligus setelah ditangguhkan beberapa lama, diterapkan secara selektif pada nasabah pembiayaan dengan karakteristik penerimaan pendapatan musiman, seperti nasabah yang memiliki usaha pemasok barang dengan pembeli yang membayar secara periodik. b.
Ketentuan Syar’i, Rukun Transaksi, dan Pengawasan Syariah Transaksi Murabahah 1)
Ketentuan Syar’i Transaksi Murabahah Pembolehan penggunaan Murabahah didasarkan pada Alquran
surat Al- Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa ALLAH telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Selain itu, ada pula hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi : Dari Shuaib Ar Rumi R.A. bahwa Rasullah SAW bersabda: tiga hal yag didalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah. Ketentuan Syar’i dengan transaksi murabahah, digariskan oleh fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa tersebut membahas tentang ketentuan umum murabahah dalam bank syariah, ketentuan murabahah kepada nasabah, jaminan, hutang dalam bentuk murabahah, penundaan pembayaran, dan kondisi bangkrut pada nasabah murabahah. Secara spesifik. 2)
Rukun Transaksi Murabahah Rukun transaksi Murabahah meliputi transaktor, yaitu adanya
pembeli (nasabah) dan penjual (bank syariah), objek akad murabahah yang didalamnya terkandung barang dan harga, serta ijab dan kabul berupa pernyataan kehendak masing-masing pihak, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
20
a)
Transaktor Adanya pihak yang betransaksi (transaktor) merupakan
rukun
transaksi
murabahah
murabahah
terdiri
atas
Transaktor
pembeli
dalam
(yaitu
transaksi
nasabah
yang
memerlukan barang) dan penjual (yaitu bank syariah). Dalam fikih muamalah, transaktor diisyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dan kemampuan memilih optimal, seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa, dan lainnya. Adapun untuk transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan
dari
walinya.Terkait
dengan
jual
beli,
DSN
membolehkan bank meminta nasabah untuk membayar uang muka
(urbun)
saat
menandatangani
kesepakatan
awal
pemesanan. Pada umumnya, nilai uang muka yang diterpakn adalah 30% dari harga perolehan. Penerapan uang muka pada dasarnya adalah untuk menguji kemampuan finansial nasabah pada saat transaksi murabahah diadakan. Adanya uang muka juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kerugian bank akibat pembatalan nasabah membeli barang yang sudah dipesan dan diperoleh bank. Sekiranya terdpat kerugian bank akibat pembatalan pembelian, bank dapat mengurangi uang muka sebesar kerugian yang ditangguhkan oleh bank. Adapun jika uang muka tidak mencukupi untuk menutupi kerugian bank, DSN membolehkan bank meminta sisa kerugiannya kepada nasabah. Berdasakan fatwa DSN No. 17, nasabah tidak dibenarkan menunda-nunda pembayaran, termasuk dalam pembayaran piutang murabahah. penundaan pembayaran oleh nasabah pembiayaan disatu sisi dapat menggangu bank syariah dalam operasinya dan dilain sisi merugikan nasabah penabung karena tidak jadi mendapatkan keuntungan bagi hasil yang semstinya
21
mereka terima. Atas pertimbangan ini, DSN MUI membolehkan bank syariah menerapkan sanksi berupa denda sejumlah uang tertentu kepada nasabah yang menunda-nunda menunaikan kewajibannya padahal memiliki kemapuan untuk melunasi kewajbannya. Sanksi yang dikenakan atas penundaan pembayaran didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Dengan demikian, nasabah yang tidak atau belum mampu membayar karena kondisi force majeur tidak boleh dikenai sanksi. Bagi bank syariah, dana denda yang diterima harus diperuntukkan sebagai dana sosila (fatwa DSN Nomor 17 Tahun 2000). b)
Objek Murabahah Rukun objek akad transaksi murabahah meliputi barang
dan harga barang yang diperjualbelikan. Terkait dengan barang, Fatwa DSN Nomor 4 menyatakan bahwa dalam jual beli murabahah, barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang diharamkan oleh syariah islam. DSN mensyaratkan bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembeli kepada nasabah, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Menurut Fatwa DSN, bank harus memiliki terlebih dahulu aset yang akan dijualnya kepada nasabah. Pemilikan barang dapat dilakukan sebelum adanya pesanan maupun setelah pesanan (PSAK 102 mengenai Akuntansi Murabahah paragraf 6). Pemilikan barang oleh bank sebelum adanya pesanan disebut dengan murabahah tanpa pesanan, sedangkan pemilikan barang oleh bank setelah adanya pesanan terbagi atas dua, yaitu bersifat
22
mengikat dan bersifat tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesan (PSAK 102 paragraf 7). Selanjutnya, bank menjual barang dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam hal ini, fatwa DSN Nomor 4 mensyaratkan bank memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah, berikut biaya yang diperlukan. Selanjutnya, nasabah membayar harga barang tersebut berdasarkan jangka waktu dan metode pembayaran yang telah disepakati. Berdasarkan pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI), metode pengakuan pendapatan margin murabahah yang dianjurkan adalah metode proporsional atas jumlah piutang yang berhasil ditagih (PSAK 102 Paragraf 24). Akan tetapi, pada kenyataannya, sebagian bank ada yang menggunakan metode anuitas. Perbedaan pilihan pendekatan yang digunakan oleh bank lebih terkait dengan kebijakan insentif bagi hasil kepada nasabah oihak ketiga. Sekiranya bank cenderung memberikan bahi hasil yang lebih tinggi kepada nasabah phak ketiga atau berorientasi pada penghimpunan, penggunaan tabel anuitas merupakan pilihan yang tepat. Akan tetapi jika banktidak dalam kondisi ekspansi penghimpunan dana pihak ketiga, maka penggunaan secara proporsional relatif lebih teoat untuk digunakan. Oleh karena kedua pendekatan tersebut pada prinsipnya tidak berbeda untuk jangka panjang, bank syariah hampir tidak mengubah kebijakan perhitungan margin yang sudah ditetapkan kebdati dapat memiliki implikasi jangka
pendek
terhadap
penghimpunan dana.
bagi
hasil
kepada
nasabah
23
Jumlah angsuran piutang oleh nasabah biasanya adalah sama
setiap
bulan.
Dalam
administrasi
bank,
adanya
pembayaran angsuran piutang berarti adanya pengakuan pendapatan margin murabahah dala bentuk kas yang selanjutnya pendapatan tersebut akan dibagi antara bank dan nasabah pemilk dana (penabung dan deposan yang menempatkan dana di bank dengan akad mudharbahah). Sesuai dengan fatwa DSN Nomor 17 Tahun 2000, bank syariah diperbolehkan mengenakan denda pada nasabah yang sengaja menunda-nunda pembayaran kewajibannya. Dlam hal ini,
pengenaan
denda
lebih
bertujuan
untuk
mendidik
kedisiplinan dan tanggung jawab nasabah, karena denda yang di terima tidak boleh masuk dalam pendapatan bank syariah. Denda yang dikenakan selanjutnya dijadikan sebagai penambah dana qrdhul hasan untuk disalurkan kepada masyarakat. Dalam praktik, terdapat beragam kebijakan penentuan besaran denda. Sebagian bank menentukan besaran denda sebesar persentase tertentu terhadap pendapatan margin yang tertunggak tanpa dikaitkan dengan jumlah hari aketerlambatan, sedang sebagian lagai menentukan besaran denda dengan persentase yang sangat kecil terhadap total kewajiban yang tertunggak
dan
mengaitkannya
dengan
jumlah
hari
keterlambatan. Kendati demikian, dalam praktiknya bank syariah sangat hati-hati menerapkan ketentuan denda. Sejauh ini, bank lebih mengedepankan pendekatan persuasif dengan mengingatkan nasabah untuk memenuhi kewajibannya. Oleh karenanya, beberapa bank syariah hampir tidak menerapkan kebijakan dendanya kepada nasabah. Dalam situasi nasabah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank menunda tagihan pembiayaan sampai menjadi sanggup kembali.
24
c)
Ijab dan Kabul Ijab dan kabul merupakan pernyataan kehendak para pihak
yang bertransaksi, baik secara lisan, tertulis atau secara diamdiam. Akad murabahah memuat semua hal yang terkait dengan posisi serta hak dan kewajiban bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Akad ini bersifat mengikat bagi kedua pihak dan mencantumkan berbagai hal, antara lain sebagai berikut : 1.
Nama notaris serta informasi tentang waktu dan tempat penandatanganan akad.
2.
Identitas pihak pertama, dalam hal ini pihak yang mewakili bank syariah (biasanya kepala cabang).
3.
Identitas pihak kedua, dalam hal ini nasabah yang akan membeli barang dengan didampingi oleh suami/istri yang bersangkutan sebagai ahli waris.
4.
Bentuk akad beserta penjelasan akad. Beberapa hal yang dijelaskan terkait akad murabahah adalah definisi perjanjian pembiayaan murabahah, syariah, barang, pemasok, pembiayaan, harga beli, margin keuntungan, surat pengakuan pembayaran, masa berlakunya surat pembayaran, dokumen jaminan, jangka waktu perjanjian, hari kerja bank, pembukuan pembiayaan, surat penawaran (offering letter), surat permohonan realisasi pembiayaan, cedera janji, dan pengginaan fasilitas pembiayaan.
5.
Kesepakatan-kesepakatan kesepakatan
tentang
yang fasilitas
disepekati,
meliputi
pembiayaan
dan
penggunaannya, pembayaran dan jangka waktu, realisasi fasilitas pembiayaan, pengutamaan pembayaran, biaya dan pengeluaran, jaminan, syarat-syarat penarikan fasilitas pembiayaan, peristiwa cedera janji, pernyataan dan
25
jaminan, kesepakatan untuk tidak berbuat sesuatu, penggunaan
fasilitas
pembiayaan,
pajak-pajak,
dan
penyelesaian sengketa.
3)
Pengawasan Syariah Transaksi Murabahah Dalam memastikan kesesuain praktik jual beli murabahah ynag
dilakukan bank syariah dengan ketentuan syariah yang ditetapkan oleh DSN, Dewan Pengawas Syariah (DPS) biasanya melakukan pengawasan secara periodik. Pengawasan tersebut dilaksanakan berdasarkan surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/19/DPBs Tahun 2006 tentang pedoman pengawasan syariah dan Tata cara pelaporan hasil pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah berupa sebagai berikut : 1.
Memastikan barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syariah islam.
2.
Memastikan bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus margin. Dalam hal nasabah membiayai sebagian dari harga barang tersebut, maka akan mengurangi tagihan bank kepada nasabah.
3.
Meneliti apakah akad wakalah telah dibuat oleh bank secara terpisah dari akad murabahah, apabila bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dari pihak ketiga. Akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank yang dibuktikan dengan
faktur
atau
kuintansi
jual
beli
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 4.
Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah dilakukan setelah adanya permohonan nasabah dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
26
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS, menuntut bank syariah untuk hati-hati dalam melakukan transaksi jual beli murabahah dengan para nasabah. Disamping itu, bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.
c.
Alur Transaksi Murabahah 1)
Dimulai dari pengajuan pembelian barang oleh nasabah. Pada saat itu, nasabah menegosiasikan harga barang, margin, jangka waktu pembayaran, dan besar angsuran perbulan.
2)
Bank sebagai penjual selanjutnya mempelajari kemampuan nasabah dalam membayar piutang murabahah. Apabila rencana pembelian barang tersebut disepakati oleh kedua belah pihak, maka dibuatlah akad murabahah. Isi akad murabahah setidaknya mencakup berbagai hal agar rukun murabahah dipenuhi dalam transaksi jual beli yang dilakukan.
3)
Setelah akad disepakati pada murabahah dengan pesanan, bank selanjutnya melakukan pembelian barang kepada pemasok. Akan tetapi, pada murabahah tanpa pesanan, bank dapat langsung menyerahkan barang kepada nasabah karena telah memilikinya terlebih dahulu. Pembelian barang kepada pemasok dalam murabahah dengan pesanan dapat diwakilkan kepada nasabah atas nama bank. Dokumen pembelian barang tersebut diserahkan oleh pemasok kepada bank.
4)
Barang yang diinginkan oleh pembeli selanjutnya diantar oleh pemasok kepada nasabah pembeli.
5)
Setelah
menerima
barang,
nasabah
pembeli
selanjutnya
membayar kepada bank. Pembayaran kepada bank biasanya dilakukan dengan cara mencicil sejumlah uang tertentu selama jangka waktu yang disepakati.
27
d.
Cakupan Standar Akuntansi Murabahah Standar Akuntansi tentang jual beli Murabahah mengacu pada PSAK
102 tentang akuntansi murabahah yang mulai berlaku efektif sejak 1 januari 2008. PSAK ini menggantikan PSAK 59 yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan murabahah. PSAK 102 dapat diterapkan untuk lembaga keuangan syariah seperti bank, asuransi, lembaga pembiayaan, dana pensiun, koperasi, dan lainnya yang menjalankan transaksi murabahah. Disamping itu, PSAK 102 juga diterpakn oleh pihak-pihak yang melakukan transaksi murabahah dengan lembaga keuangan syariah tersebut (PSAK 102 paragraf 2 dan 3). Akan tetapi, secara eksplisit disebutkan oleh IAI, standar ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah (sukuk) yang menggunakan akad murabahah. Standar ini juga memuat berbagai definisi terkait
transaksi
murabahah
dan
memberikan
penjelasan
tentang
karakteristik transaksi murabahah sebagaimana yang terdapat fatwa DSN. Berbagai transaksi yang perlu diakui dalam transaksi ini oleh penjual antara lain penerimaan uang muka murabahah, pengakuan dan pengukuran terkait aset murabahah pada saat perolehan, aset murabahah setelah perolehan jika terjadi penurunan nilai aset atau diskon pembelian. Adapun saat akad dilakukan, standar ini memberikan panduan tentang pengakuan dan pengukuran piutang murabahah, keuntungan murabahah, denda jika pembeli lalai dalam melakukan kewajibannya, potongan pelunasan piutang murabahah dan potongan angsuran murabahah. PSAK juga memberikan panduan bagi pembeli akhir. Beberapa hal yang secara khusus diatur dalam standar ini antara lain adalah utang yang timbul dari transaksi, aset yang diperoleh, beban murabahah diskon pembelian yang diterima yang diterima dari penjual, denda yang dibayar akibat kelalaian, dan potongan uang muka akibat pembatalan pembelian.
28
e.
Pembayaran Angsuran dan Pengakuan Keuntungan Murabahah Pengakuan keuntungan murabahah dibedakan berdasarkan waktu
pelunasan piutang murabahah, yaitu dalam masa satu tahun atau lebih. Jika murabahah dilakukan secara tunai atau tangguh yang tidak melebihi satu tahun, maka keuntungan murabahah dilakukan secara tunai (PSAK 102 Paragraf 23 (a)). Jika murabahah dilakukan dengan transaksi tangguh lebih dari satu tahun, terdapat beberapa alternatif metode pengakuan yang sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahahnya (PSAK 102 paragraf 23 (b)). Beberapa metode tersebut adalah sebagai berikut : 1)
Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini diterapkan untuk murabahah tangguh yang risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya relatif rendah.
2)
Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasil dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari piutang murabahah. Metode ini diterapkan untuk transaksi murabahah tangguh yang risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan /atau beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga.
3)
Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini diterapkan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktik metode ini jarang dipakai karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.
Pada praktik di bank untuk penerapan PSAK 102 paragraf 23 (b) butir diatas terkait dengan risiko adalah dengan melakukan pengukuran risiko pembiayaan sejak awal pembiayaan diberikan. Secara umum, risiko
29
pembiayaan dapat dinilai dari mitigasi yang dilakukan bank, yaitu credit scoring dan agunan. Credit scoring merupakan instrumen standar (best practices) dan diatur dalam surat Edaran Bank Indonesia tentang manajemen risiko kredit. Credit scoring mengukur risiko dari profil nasabah dan dibuat spesifik sesuai produk bank yang bersangkutan. Agunan tertentu seperti deposito atau emas dapat menjadi mitigasi risiko yang mengurangi risiko pembiayaan menjadi nihil. Pertimbangan lain yang ekonomi yanga diperbaharui (update) berkala. Untuk pembiayaan dengan kualitas memburuk (dari lancar menjadi non perform), bank melakukan switching skedul pengakuan pendapatan dengan mengakui margin dibelakang. Semua hal ini dilakukan untuk menyelamatkan aset bank sehingga rasio non performing financing (NPF) dapat ditekan. Dalam perbankan, praktik akuntansi yang cenderung digunakan dalam hal pengakuan keuntungan adalah alternatif yang terdapat pada paragraf 23 (b) butir (b), yaitu pengakuan keuntungan proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih. Hal ini disebabkan karena nasabah cenderung melunasi piutang dalam jangaka waktu lebih satu tahun. Selain itu, dengan menggunakan prinsip konservatisme, bank cenderung menilai tinggi terhadap resiko piutang murabahah tidak tertagih. f.
Penyajian Transaksi Murabahah dalam Laporan Keuangan Penyajian transaksi murabahah dilaporan keuangan bergantung pada
rekening yang terpengaruh oleh transaksi murabahah. Berikut adalah rekening yang terpengaruh oleh transaksi murabahah. 1)
Rekening Nasabah Rekening ini disajikan dalam neraca dibagian pasiva. Rekening ini terpengaruh karena dalam praktik perbankan, penerimaan angsuran oleh bank dilakukan dengan mendebit rekening nasabah Dalam hal ini rekening yang didebit dapat berupa rekening giro maupun rekening tabungan, sesuai dengan yang
30
dimiliki oleh nasabah dan disepakati untuk didebit secara otomatis setiap bulan oleh bank. 2)
Piutang Murabahah Piutang murabahah jatuh tempo dan margin yang ditangguhkan ketiga rekening ini disajikan dineraca pada bagian aset dengan nama rekening piutang murabahah. Piutang murabahah yang disajikan dineraca dapat dihitung dengan rumus : Piutang Murabahah = Saldo piutang murabahah belum jatuh tempo + Saldo piutang murabahah jatuh tempo – saldo margin murabahah yang ditangguhkan
Berdasarkan PSAK 102 paragraf 38, margin murabahah tangguhan disajikan sebagai pengurang (contra account) piutang murabahah. Piutang murabahah belum jatuh tempo terdiri atas piutang murabahah lancar. Adapun piutang murabahah jatuh tempo terdiri atas piutang murabahah dalam perlakuan khusus, piutang
murabahah
kurang
lancar,
piutang
murabahah
diragukan, dan piutang murabahah macet. Berdasarkan PSAK 102 paragraf 37, piutang murabahah disajikan sebesar nihil bersih
yang dapat
direalisasikan,
yaiutu
saldo
piutang
murabahah dikurangi penyisihan kerugian piutang. 3)
Persediaan Aset Murabahah Rekening ini hampir tidak pernah disajikan neraca, mengingat persediaan murabahah dalam praktik perbankan selalu memiliki saldo nol karena setelah didebit, bank langsung mengkreditnya dengan jumlah yang sama untuk pengakuan penyerahan aset murabahah kepada nasabah pembeli.
4)
Pendapatan Margin Murabahah Akrual dan Pendapatan Mrgin Murabahah kas Rekening ini disajikan dilaporan laba rugi pada bagiaaan pendapatan murabahah.
dengan
nama
Rekening
rekening
pendapatan
pendapatan margin
margin
murabahah
merupakan gabungan total saldo murabahah akrual dan total
31
saldo
murabahah
kas.
Adanya
pemisahan
pendapatan
murabahah akrual dengan pendapatan murabahah kas adalah untuk memudahkan bank dalam mengidentifikasi bagian pendapatan yang sudah berwujud kas. Hal ini diperlukan karena pendapatan margin murabahah
kas akan digunakan dalam
perhitungan bagi hasil kepada penabung atau deposan mudharabah. Walau tidak menjadi laporan keuangan yang wajib dipublikasikan
kepada
publik,
bank
syariah
umumnya
menyampaikan laporan bagi hasil, baik secara tahunan maupun secara bulanan kepada nasabah. 2.
Pembiayaan Berdasarkan Bagi Hasil (Mudharabah) a.
Definisi dan Penggunaan Mudharabah Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola
dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Antonio (2004) mendefinisikan al-mudharabah sebagai akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Apabila terjadi kerugian, hal tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.
32
b.
Ketentuan Syar’i, Rukun Transaksi, dan Pengawasan Syariah Transaksi Mudharabah 1)
Ketentuan Syar’i Mudharabah Produk pendanaan yang dapat menggunakan prinsip al-
mudharabah adalah tabungan dan deposito berjangka. Selanjutnya, Siamat (2004) mengemukakan bahwa berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak pemilik dana (penabung), prinsip al-mudharabah dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. a)
Mudharabah Muthlaqah kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dan mudharib (bank) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan wilayah bisnis. Artinya, pemilik dana memberikan bank kekuasaan yang sangat besar dalam penggunaan dana simpanannya kepada mudharib. Dalam kegiatan penghimpunan dana, prinsip mudharabah mutlaqah dapat diterapkan untuk pembukaan rekening tabungan dan deposito berjangka.
b)
Mudharabah Muqayyadah Jenis mudharabah al-muqayyadah merupakan simpanan dana khusus dimana pemilik dana menetapkan syaratsyarat tertentu yang harus diikuti oleh bank. Mudharabah al-muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah
33
mutlaqah dimana mudharib (bank) dibatasi jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Implementasi konsep al-mudharabah muthlaqah dalam perbankan syariah diatur sebagai berikut: 1.
Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus berupa uang tunai. Apabila modal diserahkan secara bertahap, tahapannya harus jelas dan disepakati bersama.
2.
Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah diperhitungkan dengan cara:
3.
a.
Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
b.
Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana.
4.
Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban, atau menunda pembayaran administrasi.
kewajiban,
dapat
dikenakan
sanksi
34
Karakteristik
mudharabah
muqayyadah
dalam
penerapannya di dalam perbankan syariah pada dasarnya sama dengan persyaratan mudharabah mutlaqah ,bagi perbankan syariah
yang telah dijelaskan di atas.
Perbedaannya adalah penyediaan modal yang hanya untuk kegiatan tertentu dan dengan syarat yang sepenuhnya ditetapkan oleh bank sebagai shahibul maal. 2)
Rukun Transaksi Mudharabah Rukun transaksi mudharabah meliputi dua pihak transaktor
(pemilik modal dan pengelola) objek akad mudaharabah (modal dan usaha), dan ijab dan kabul atau persetujuan kedua belah pihak. a)
Transaktor Kedua pihak transaktor disini adalah investor dan
pengelola modal. Investor biasa disebut dengan istilah shahibul maal atau rabbul maal, sedang pengelola modal biasa disebut dengan istilah mudharib. Kedua pihak diisyaratkan memilki kompetensi beraktivitas. Kriteria kompetensi tersebut antara lain mampu membedakan yang baik dan yang buruk (baligh) dan tidak akan dalam keadaan tercekal seperti pailit. b)
Objek Mudharabah Objek mudharabah meliputi modal dan usaha. Pemilik
modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah,
35
sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada Mudharib, baik secara bertahap maupun tidak sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Sementera itu, kerja yang diserahkan dapat berbentuk keahlian menghasilkan barang atau jasa, keahlian mengelola, keahlian menjual, dan keahlian maupun keterampilan lainnya. Tanpa dua objek ini, mudharabah tidak dibenarkan. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 7 Tahun 2000 tentang investasi mudharabah menyatakan bahwa kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib) sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana harus memperhatikan hal-hal berikut : 1.
Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa
campur
tangan
penyedia
dana,
tetapi
mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. 2.
Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
3.
Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam kativitas itu.
36
Nisabah keuntungan mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang terikat akad mudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntunga. Syarat pembagian keuntungan dalam investasi mudharabah meliputi hal-hal sebagai berikut : a.
Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh diisyaratkan hanya untuk satu pihak.
b.
Bagian keuntungan harus diketahui masing-masing pihak dan bersifat proporsional atau dinyatakan dalam angka persentase (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Sekiranya terdapat perubahan nisbah, harus berdasarkan kesepakatan.
c.
Penyedia dana menanggung semua kerugian dari mudharabah dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apa pun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
d.
Sekiranya terjadi kerugian yang disebabkan oleh kelalaian mudharib, maka mudharib wajib menangggung segala kerugian tersebut.
Kelalaian
antara
lain
ditunjukkan
oleh
tidak
terpenuhinya persyaratan yang ditentukan didalam akad, mengalami kerugian tanpa adanya kondisi diluar kemampuan
37
(force majeur) yang lazim dan/atau yang telah ditentukan dalam akad dan hasil putusan dari badan arbitrase atau pengadilan. c)
Ijab dan Kabul Ijab dan kabul atau persetujuan kedua belah pihak dalam
mudharabah yang merupakan wujud dari prinsip sama-sama rela (an-taraddin minkum). Dalam hal ini, kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk meningkatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan peranannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha setuju dengan peranannya untuk mengkontribusikan kerja. Akad mudharabah pada dasarnya sama dengan akad-akad yang lain dalam aspek yang bersifat umum. Aspek yang bersifat umum tersebut antara lain tentang identitas kedua pihak yang bertransaksi, besar pembiayaan, jangka waktu pembiayaan, prasyarat pengambilan pembiayaan, jaminan, ketentuan denda, pelanggaran atas syarat-syarat perjanjian, dan penggunaan badan arbitrase syariah. Adapun hal spesifik dalam akad mudharabah antara lain kesepakatan tentang dasar bagi hasil (revenue sharing atau profit sharing), besar nisbah bagi hasil, pernyataan bank sebagai shahibul maal untuk menanggung kerugian kecuali yang disebabkan oleh kelalaian mudharib, pernyataan hak bank untuk memasuki tempat usaha dan tempat lainnya untuk mengadakan pengawasan terhadap pembukuan, catatan-catatan,
38
transaksi mudharib yang berhubungan dengan pembiayaan mudharabah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain akad yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dalam prktik juga dilampiri dengan proyeksi pendapatan dan jadwal pembayaran angsuran pokok maupun bagi hasil. 3)
Pengawasan Syariah Transaksi Mudharabah Untuk memastikan kesesuain syariah pada praktik transaksi
mudharabah yang dilakukan bank, DPS melakukan pengawasan syariah secara periodik. Pengawasan tersebut berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dilakukan hal-hal sebagai berikut : a)
Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap telah disampaikan oleh bank kepada nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan investasi mudharabah telah dilakukan.
b)
Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai prinsip syariah.
c)
Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian investasi mudharabah.
d)
Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat mudharabah.
39
e)
Memastikan bahwa kegiatan investasi yang dibiayai tidak termasuk jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank
syariah
untuk
berhati-hati
dalam
melakukan
transaksi
mudharabah dengan para nasabah. Selain itu, bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat tersedia setiap saat pengawasan dilakukan. c.
Alur Transaksi Mudharabah 1)
Dimulai dari pengajuan permohonan pembiayaan oleh nasabah dengan mengisi formulir permohonan pembiayaan. Formulir tersebut diserahkan kepada Bank syariah beserta dokumen pendukung. Pihak bank selanjutnya melakukan evaluasi kelayakan investasi mudharabah yang diajukan nasabah dengan menggunakan
analisis
5c
(character,
capacity,
capital,
commitment, dan collateral). Analisis diikuti kemudian dengan verifikasi. Bila nasabah dan usaha dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam bentuk penandatanganankontrak mudharabah dengan mudharib dihadapan notaris. Kontrak yang dibuat setidaknya memuat berbagai hal untuk memastikan terpenuhinya rukum mudharabah.
40
2)
Bank
mengkontribusikan
modalnya
dan
nasabah
mulai
mengelola usaha yang disepakati berdasarkan kesepakatan dan kemampuan terbaiknya. 3)
Hasil usaha dievaluasi pada waktu yang ditentukan berdasarkan kesepakatan. Keuntungan yang diperoleh akan dibagi antara bank sebagai shahibul maal dengan nasabah sebagai mudharib sesuai dengan porsi yang telah disepakati. Seandainya terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai mudharib, maka kerugian ditanggung oleh bank. Adaoun kerugian yang disebabkan oleh kelalaian nasabah sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah.
4)
Bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-masing berdasarkan metode perhitungan yang telah disepakati.
5)
Bank menerima pengembalian modalnya dari nasabah. Jika nasabah telah mengembalikan semua modal milik bank, selanjutnya usaha menjadi milik nasabah sepenuhnya.
d.
Cakupan Standar Akuntansi Mudharabah bagi Bank Syariah Ketentuan tentang akuntansi mudharabah diatur dalam PSAK 105
Tahun 2007 tentang Akuntansi mudharabah. Standar ini mengatur pengakuan dan pengukuran transaksi, baik dari sisi pemilik dana maupun dari sisi pengelola dana. Bebarapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengakuan dan pengukuran transaksi adalah mengenai dana mudharabah yang disalurkan, jenis investasi berupa kas maupun non kas, penurunan nilai
41
investasi sebelum usaha dimulai, dana, penghasilan usaha, kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pengelola, hak pihak ketiga atas bagi hasil dana syirkah, penyertaan dana syirkah. e.
Penyajian Transaksi Mudharabah dalam Laporan Keuangan Investasi mudharabah atau transaksi mudharabah disajikan dalam
laporan keuangan (pada bagian aset) sebesar nilai tercatat (PSAK 105 Paragraf 36). G.
Rasio Non Performing Financing Pembiayaan menurut kualitasnya pada hakikatnya didasarkan atas resiko
kemungkinan terhadap kondisi dan kepatuhan nasabah pembiayaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban untuk membayar bagi hasil, serta melunasi pembiayaannya. Sehingga dapat menimbulkan pembiayaan bermasalah. Menurut Siamat (2005), pembiayaan bermasalah adalah pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal diluar kemampuan kendali nasabah peminjam. Rasio Non Performing Financing adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola pembiayaan bermasalah yang ada dapat dipenuhi dengan aktiva produktif yang dimiliki oleh suatu bank. (Teguh Pudjo Mulyono, 1995). Ali (2004) menyatakan bahwa apabila porsi pembiayaan bermasalah membesar maka hal tersebut pada akhirnya berpengaruh pula pada kemungkinan terjadinya penurunan besarnya keuntungan/pendapatan yang diperoleh bank. H.
Profitabilitas Profitabilitas merupakan dasar dari adanya keterkaitan antara efisiensi
operasional dengan kualitas jasa yang dihasilkan oleh suatu bank. Tujuan analisis profitabilitas sebuah bank adalah untuk mengukur tingkat efisiensi usaha yang
42
dicapai oleh bank yang bersangkutan (Kuncoro, 2002). Menurut Weygandt et al. (2008), rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efektivitas manajemen perusahaan secara keseluruhan, yang ditunjukkan dengan besarnya laba yang diperoleh perusahaan. Return on Asset (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas. Kuncoro (2002) menyatakan bahwa ROA menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva yang tersedia untuk mendapatkan net income. Sedangkan Siamat (2005) mengemukakan bahwa ROA merupakan rasio yang memberikan informasi seberapa efisien suatu bank dalam melakukan kegiatan usahanya, karena rasio ini mengindikasikan seberapa besar keuntungan yang dapat diperoleh rata-rata terhadap setiap rupiah asetnya. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena return semakin besar. Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian atas harga barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahanannya. Berdasarkan statistik Bank Indonesia bulan September tahun 2011, akad yang paling banyak digunakan pada prinsip jual beli adalah murabahah yaitu sekitar 54,98% dari total pembiayaan yang diberikan bank syariah di Indonesia. Sedangkan pembiayaan salam dan istishna’ hanya sebagian kecil yaitu 0,07% dan 0,51% dari total pembiayaan. Karim (2008) menyatakan bahwa murabahah merupakan transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin). Sedangkan salam adalah transaksi
43
jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan secara tunai. Dalam transaksi ini, kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Untuk akad istishna’’ menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’ pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Melalui pembiayaan jual beli yang disalurkan, bank syariah akan mendapatkan pendapatan berupa mark up atau margin keuntungan. Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian atas harga barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahanannya. Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu: musyarakah, mudharabah, muzara’ah,dan musaqah. Meskipun demikian, prinsip yang paling banyak digunakan adalah musyarakah dan mudharabah(Antonio, 2001). Nurhayati dan Wasilah (2011) menyatakan bahwa secara teknis mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana. Karim (2006) menyatakan bahwa musyarakah merupakan semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
44
Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan sebelumnya. Melalui pembiayaan bagi hasil yang disalurkan, bank syariah akan memperoleh pendapatan berupa bagi hasil yang menjadi bagian bank. Pembiayaan menurut kualitasnya pada hakikatnya didasarkan atas resiko kemungkinan terhadap kondisi dan kepatuhan nasabah pembiayaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban untuk membayar bagi hasil, serta melunasi pembiayaannya. Sehingga dapat menimbulkan pembiayaan bermasalah. Menurut Siamat (2005), pembiayaan bermasalah adalah pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal diluar kemampuan kendali nasabah peminjam. Non Performing Financing adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola pembiayaan bermasalah yang ada dapat dipenuhi dengan aktiva produktif yang dimiliki oleh suatu bank. (Teguh Pudjo Mulyono, 1995). Ali (2004) menyatakan bahwa apabila porsi pembiayaan bermasalah membesar maka hal tersebut pada akhirnya berpengaruh pula pada kemungkinan terjadinya penurunan besarnya keuntungan/pendapatan yang diperoleh bank.
45
I.
Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti 1. Mardhiyyah Fitria Ekawati (2010)
2.Muhammad Rahmat (2012)
3. Dewi (2010)
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu Judul Skripsi Kesimpulan Pengaruh Pembiayaan, Pembiayaan berpengaruh Penempatan Dana pada positif dan signifikan BI, Penempatan Dana terhadap laba Bank syariah. pada Bank lain, Modal Dikarenakan pembiayaan Disetor dan Dana Pihak yang diterima oleh pihak Ketiga Terhdap Laba ketiga merupakan modal Bank Umum Syariah di kerja dan modal investasi Indonesia yang kemudian akan menghasilkan return, return yang diterima pada akhirnya akan dipakai oleh pihak ketiga untuk melunasi pembiayaan kepada Bank syariah.
Pengaruh CAR, FDR, dan NPF, terhadap profitabilitas Bank Syariah Mandiri Pengaruh ROA, CAR, FDR, NPF, dan REO terhadap profitabilitas Bank syariah di Indonesia
NPF berpengaruh secara negatif dan signifikan terhada tingkat profitabilitas. NPF Berpengaruh signifikan negatif terhadap ROA pada Bank Syariah di Indonesia.
Sumber : Dewi (2010), Mardhiyyah (20120), dan Rahmat (2012)
46