6
BAB II LANDASAN TEORITIS
Salah satu alasan mendasar pendirian kawasan lindung adalah agar keberadaan kawasan tetap utuh selama-lamanya untuk melestarikan nilai-nilai biologi dan budaya yang dimilikinya (Hockings et al. 2000). Namun, di banyak negara berkembang, kawasan konservasi formal (cagar alam, suaka alam, taman nasional, cagar biosfer, hutan lindung) gagal mencapai tujuan pengelolaan sesuai dengan penetapannya karena mengadopsi konsep konservasi dan pencagaran berdasarkan budaya barat (a western-based) yang asing bagi budaya non-barat (Soedjito 2007). Pengakuan akan skala masalah yang dihadapi kawasan konservasi mendorong
timbulnya
kebutuhan
untuk
melakukan
penilaian
terhadap
pengelolaan kawasan dan juga kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik mengenai status dan efektivitas pengelolaan kawasan (Hockings et al. 2000). Evaluasi pengelolaan sangat bermanfaat untuk menilai perubahan dalam hal efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan memungkinkan untuk melakukan pengukuran dan penilaian kinerja pengelolaan. Pengukuran kinerja adalah proses penilaian terhadap kemajuan yang telah dilakukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, termasuk informasi mengenai efisiensi sumberdaya yang digunakan untuk menghasilkan barang/jasa, kualitas output yang dihasilkan, outcomes, dan efektifitas pelaksanaan dalam arti berapa kontribusi setiap kegiatan terhadap hasil tujuan yang tercapai (Ditjen PHKA 2004). Rivai dan Basri (2005) mendefinisikan kinerja sebagai kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja juga berarti serangkaian proses mengenai apa dan bagaimana suatu pekerjaan dilakukan serta hasil atau capaian prestasi yang dapat diperoleh dari proses tersebut (Wibowo 2008). Hersey at al. (1996) dalam Wibowo (2008) menggambarkan hubungan kinerja dengan faktor yang mempengaruhi dalam bentuk Satelit Model sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2 di bawah ini.
7
Performance Structure Organisasi, Sistem Manajemen, Sistem Organisasi dan Fleksibilitas
Knowledge
Integration
Human Process Process Integration Nilai, sikap, norma, dan interaksi
Teknis Administratif, Proses Kemanusiaan dan Sistem
Non Human Process Process Integration
Strategic Positioning Pasar, kebijakan social, SDM dan perubahan lingkungan
Peralatan, pabrik, lingkungan kerja, teknologi, capital, dan dana
Gambar 2 Model satelite kinerja organisasi (Sumber: Hersey et al. 1996 dalam Wibowo 2008) Sebuah organisasi yang dibentuk memiliki tujuan yang merupakan penjabaran dari visi dan misi organisasi. Kinerja suatu organisasi dinilai dari pencapaian/target. Tujuan yang ada dapat menentukan/menilai ketercapaian tujuan berupa ukuran kinerja (Wibowo 2008). Penilaian kinerja (performance evaluation) merupakan: (1) alat yang paling baik untuk menentukan apakah individu telah memberikan hasil kerja yang memadai dan melaksanakan aktivitas kinerja sesuai dengan standar kinerja; (2) Suatu cara untuk penilaian kinerja dengan melakukan penilaian mengenai kekuatan dan kelemahan karyawan; dan (3) alat yang baik untuk menganalisis kinerja karyawan dan membuat rekomendasi perbaikan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penilaian kinerja, yaitu: (1) penetapan indikator kinerja yang akan diukur, harus memenuhi karakteristik indikator kinerja yang baik, yaitu: terikat pada tujuan program dan menggambarkan pencapaian hasil, terbatas pada hal-hal yang perlu mendapat prioritas, terpusat pada hal-hal yang vital dan penting bagi pengambilan keputusan, terkait dengan sistem pertanggungjawaban yang memperlihatkan hasil; (2) indikator kinerja yang ditetapkan harus menggambarkan hasil atau usaha
8 pencapaian hasil, merupakan indikator dalam kewenangannya, mempunyai dampak negatif yang rendah, digunakan untuk menghilangkan insentif yang sudah ada, ada pengganti atau manfaat yang lebih besar jika menghilangkan insentif dan penekanan indikator kinerja harus tetap mengacu pada visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan Rivai dan Basri (2005). Pendapat tentang persyaratan indikator kinerja yang baik ini cukup beragam, namun pada intinya mengedepankan efektivitasnya dalam menilai kinerja. Leverington et al. (2008); Stern (2006) merumuskan beberapa karakteristik dari indikator yang baik, yaitu: terukur (measurable), dipersepsikan sama sehingga tidak terjadi kesalahan interpretasi (Precise), terkait langsung dengan kriteria (relevant), dan tidak berubah-ubah setiap saat karenanya selalu dapat digunakan untuk mengukur sesuatu hal yang sama (consistent). Sejumlah metodologi penilaian kinerja untuk melihat keefektifan pengelolaan kawasan konservasi telah dikembangkan (Leverington et al. 2008), mulai dari sistem pemantauan secara detail sampai dengan sistem penilaian cepat (Rapid assessment) yang dikembangkan oleh World Wide Fund (WWF) for Nature untuk memprioritaskan kawasan-kawasan lindung yang sedang mengalami ancaman dalam suatu sistem kawasan konservasi. Sebagian metode yang dikembangkan berada diantara dua ekstrim ini dan dimaksudkan untuk menggambarkan secara cepat dan layak kekuatan dan kelemahan suatu kawasan konservasi. Setiap kawasan konservasi memiliki kondisi dan situasi berbeda satu dengan lainnya oleh karenanya membutuhkan tingkat penilaian, pendekatan dan penekanan yang berbeda pula sehingga sistem penilaian global tidak sesuai untuk setiap situasi (Hockings et al. 2000). Akan ada perbedaan besar dalam hal jumlah, waktu dan dana yang tersedia untuk melakukan penilaian di masing-masing kawasan yang berbeda di dunia dan isu yang dinilai cenderung akan berubah dari satu tempat dengan tempat yang lain. Pengalaman CIFOR dalam menyusun Acuan Generik Perangkat Kriteria dan Indikator (K & I) pada tahun 1999, menunjukkan bahwa perangkat kriteria dan indikator yang disusun sebagai acuan yang bersifat umum terkadang sulit diterapkan pada kondisi yang spesifik lokasi, oleh karenanya harus dilakukan
9 terlebih dahulu penyesuaian terhadap kondisi lokal sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Acuan generik K & I yang disesuaikan dengan kondisi lokal (Sumber: CIFOR 1999) Bertolak dari kondisi tersebut, dapat dipahami bahwa setiap negara, termasuk Indonesia, hendaknya memiliki rumusan standar kinerja bagi pengelolaan kawasan konservasi sesuai kondisi spesifiknya sebagai kaidah untuk mengevaluasi kinerjanya. Standar adalah ukuran yang secara eksplisit dibutuhkan dalam sebuah rencana dan pengelolaan. Standar ditentukan untuk menunjukkan pencapaian suatu keadaan yang diinginkan dan tujuan yang ditetapkan dalam sebuah rencana atau pengelolaan serta berkesesuaian dengan hukum, regulasi, dan kebijakan yang diberlakukan. Standar harus dapat diadaptasikan dan merupakan penilaian ukuran kinerja (Ditjen PHKA 2004). Standar kinerja merupakan pernyataan tentang situasi yang terjadi ketika segmen pekerjaan dikerjakan dengan cara yang efektif dan dapat diterima. Standar kinerja akan membantu manajer dan staf agar lebih mudah memonitor kinerja dan digunakan sebagai dasar evaluasi. Sebuah organisasi harus mempunyai standar kinerja yang jelas dan dapat diukur (Wibowo 2008). Standar kinerja yang efektif didasarkan pada pekerjaan yang tersedia, difahami, disetujui, spesifik dan terukur, berorientasi waktu, tertulis, terbuka untuk berubah (Wibowo 2008). Standar kinerja yang efektif dipengaruhi oleh delapan karakteristik, yaitu: (1) standar didasarkan pada pekerjaan, (2) standar
10 dapat dicapai, (3) standar dapat difahami, (4) standar disepakati, (5) standar spesifik dan sedapat mungkin terukur, (6) standar berorientasi waktu, (7) standar harus tertulis dan (8) standar dapat berubah (Kirckpatrick, 2006 dalam Wibowo 2008). Standar kinerja dapat dibangun melalui kajian best practices di tiap wilayah dan dapat diadaptasi dalam konteks kebutuhan yang lebih spesifik (Appleton et al. 2003). Standar kinerja kawasan konservasi yang baik memiliki 8 ciri, yaitu (1) Berguna dan relevan dalam peningkatan pengelolaan kawasan konservasi, (2) Logik dan sistematik, (3) Disusun berdasar indikator yang baik (measurable, precise, relevant dan consistent), (4) Akurat: menghasilkan kebenaran, objektif, konsisten dan terkini (up to date), (5) Methodologi secara praktek dapat diimplementasikan, (6) Methodologi merupakan bagian dari siklus pengelolaan yang efektif, terkait dengan tujuan dan kebijakan, (7) Methodologi hasil kerjasama, disusun dengan komunikasi yang baik, kerja tim dan partisipatif dan (8) Memberi manfaat positif, dapat dikomunikasikan dan dapat digunakan (Leverington et al. 2007; Hockings et al. 2006).