BAB II LANDASAN TEORITIS A. Landasan Teori 1. Toeri Keseimbangan (Trade-off Theory) Menurut trade-off teory yang diungkapkan oleh Myers (2001), “Perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress)” (p.81). Biaya kesulitan keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan (bankruptcy costs) atau reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Trade-off theory dalam menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa faktor antara lain pajak, biaya keagenan (agency costs) dan biaya kesulitan keuangan (financial distress) tetapi tetap mempertahankan asumsi efisiensi pasar dan symmetric information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. Tingkat hutang yang optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax shields) mencapai jumlah yang maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan (costs of financial distress). Trade-off theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur modal. Perusahaan-perusahaan 9
10
dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan rasio hutangnya, sehingga tambahan hutang tersebut akan mengurangi pajak. Dalam kenyataannya jarang manajer keuangan yang berpikir demikian. Donaldson (1961) melakukan pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut
menunjukkan
bahwa
perusahaan-perusahaan
dengan
tingkat
profitabilitas yang tinggi cenderung rasio hutangnya rendah. Hal ini berlawanan dengan pendapat trade-off theory. Trade-off theory tidak dapat menjelaskan korelasi negatif antara tingkat profitabilitas dan rasio hutang. 2. Teori Keagenan (Agency Theory) Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara prinsipal dengan agen. Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak pihak yang bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda, pemilik modal menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal, sedangkan manajer juga menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer. Dengan demikian muncullah konflik kepentingan antara pemilik (investor)
dengan
manajer
(agen).
Pemilik
lebih
tertarik
untuk
memaksimumkan kompensasinya. Kontrak yang dibuat antara pemilik dengan manajer diharapkan dapat meminimumkan konflik antar kedua kepentingan tersebut (Setyapurnama dan Norpratiwi 2004) dalam Indahningrum dan Handayani (2009).
11
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Indahningrum dan Handayani (2009) menyatakan bahwa agency problem akan terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari 100% sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasarkan maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan. Kondisi tersebut merupakan konsekuensi dari pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi kepemilikan, manajemen tidak menanggung risiko atas kesalahan dalam mengambil keputusan, risiko tersebut sepenuhnya ditanggung pemegang saham (Prinsipal). Oleh karena itu manajemen cenderung melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak produktif untuk kepentingan pribadinya, seperti peningkatan gaji dan status. Dalam pengambilan keputusan pendanaan bagi perusahaan manajer harus berhati-hati karena keputusan ini dapat berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Meningkatkan pendanaan dengan utang, peningkatan utang akan menurunkan besarnya konflik antara pemegang saham dan manajemen (Agency Problem). Keputusan pendanaan ini berkaitan dengan kebijakan manajer dalam menentukan proporsi yang tepat antara jumlah utang dan jumlah modal sendiri di dalam perusahaan sehingga dapat memaksimalkan nilai perusahaan (Rustendi, 2008).
12
Adanya kepemilikan manajerial menjadi hal yang menarik jika dikaitkan dengan agency theory (Christiawan, 2007). Konflik keagenan bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan. Manajer yang sekaligus pemegang saham akan berusaha meningkatkan nilai perusahaan, karena dengan meningkatnya nilai perusahaan maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat pula (Sulistiono, 2010). B. Kinerja keuangan perusahaan 1. Pengertian Kinerja Keuangan Perusahaan Kinerja adalah
suatu gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan perusahaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu perusahaan. Sedangkan menurut Harmono (2009:79) Kinerja adalah umumnya diukur berdasarkan penghasilan bersih (laba) atau sebagai dasar bagi ukuran yang lain seperti imbalan investasi (return on investment) atau penghasilan persaham (earning per share). Kinerja keuangan mencerminkan tingkat pencapaian hasil atau tujuan dari pengelolaan keuangan. Dengan demikian kinerja keuangan perusahaan menunjukan ukuran keberhasilan manajemen perusahaan di dalam mengelola
13
modal atau keuangan perusahaan dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan yang bersangkutan. Kinerja keuangan merupakan salah satu aspek yang berkaitan dengan pengambilan suatu keputusan. Keputusan dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diterima secara rasional apabila ada indikasi yang ditunjukan oleh suatu analisis keuangan yang sifatnya akurat dan tepat. Ada beberapa alat ukur kinerja keuangan yang berkaitan dengan pengambilan suatu keputusan, diantaranya adalah ukuran yang bersifat keuangan dan non keuangan. Penilaian kinerja keuangan perusahaan merupakan suatu keharusan karena dapat memperoleh gambaran tentang perkembangan financial suatu perusahaan kemudian menganalisisnya hal apa yang dicapai diwaktu lalu dan waktu yang sedang berjalan. Pengukuran kinerja merupakan analisis data serta pengendalian bagi perusahaan. Pengukuran kinerja digunakan perusahaan untuk melakukan perbaikan diatas kegiatan operasionalnya agar dapat bersaing dengan perusahaan lain. Menurut Arief Sugiono (2009:65) dari segi manajemen keuangan, perusahaan dikatakan mempunyai kinerja yang baik atau tidak dapat diukur dengan : a. Kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban (utang) yang akan jatuh tempo ( liquidity) .
14
b. Kemampuan perusahaan untuk menyusun struktur pendanaan yaitu perbandingan antara utang dengan modal ( laverage ). c. Kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan (profitability). d. Kemampuan perusahaan untuk berkembang (growth), dan e. Kemampuan perusahaan untuk mengelola asset secara maksimal (activity). Kinerja keuangan menjadi fokus analisis perusahaan karena kinerja keuangan dapat mendeskripsikan kondisi perusahaan secara nyata dan adanya hubungan kinerja perusahaan dengan aspek strategi yang lain. Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja perusahaan merupakan prestasi yang dicapai perusahaan sebagai hasil dari keputusan yang dibuat secara terus-menerus oleh manajemen. 2. Tujuan pengukuran kinerja keuangan perusahaan a. Untuk mengetahui tingkat likuiditas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memperoleh kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi keuanganya pada saat ditagih. b. Untuk mengetahui tingkat solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuanganya apabila perusahaan tersebut dilikuidasi baik kewajiban keuangan jangka pendek maupun jangka panjang.
15
c. Untuk mengetahui tingkat rentabilitas atau profitabilitas, yaitu menunjukan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. d. Untuk mengetahui tingkat stabilitas usaha, yaitu kemampuan perusahaan melakukan usahanya dengan stabil, yang diukur dengan memprtimbangkan kemampuan perusahaan untuk membayar beban bunga atas hutang-hutang nya temasuk membayar kembali pokok hutangnya tepat pada waktu serta kemmapuan membayar deviden secara teratur kepada pemegang saham tanpa mengalami hambatan atau krisis keuangan. 3. Rasio Keuangan Sebagai Alat Ukur Kinerja Keuangan perusahaan Untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan rasiorasio keuangan, dapat dilakukan dengan beberapa rasio keuangan. Setiap rasio keuangan memiliki tujuan, kegunaan, dan arti tertentu. Kemudian, setiap hasil dari rasio yang di ukur di interprestasikan sehingga menjadi berarti bagi pengambilan keputusan. Berikut ini adalah bentuk-bentuk rasio keuangan menurut Munawir ( 2010 ). a. Rasio Likuiditas Yaitu menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya saat ditagih. Likuiditas yang umumnya digunakan antara lain :
16
1) Current Ratio, merupakan alat ukur bagi kemampuan likuiditas ( solvabilitas jangka pendek ) yaitu kemampuan untuk membayar hutang yang segera harus dipenuhi dengan aktiva lancar. 2) Quick Ratio, merupakan alat ukur bagi kemampuan perusahaan untuk membayar hutang yang segera harus dipenuhi dengan aktiva lancar yang lebih likuid. b. Rasio Solvabilitas Yaitu kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan apabila perusahaan tersebut di likuidasi, baik kewajiban keuangan jangka pendek maupun jangka panjang. Rasio tersebut antara lain : 1) Debt to Asset Ratio (Debt Ratio), merupakan rasio utang yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total utang dengan total aktiva. 2) Debt to Equity Ratio, merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas. c. Rasio Profitabilitas Yaitu kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu dari penggunaan modalnya. Rasio tersebut antara lain : 1) Net Profit Margin, merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk margin laba atas penjualan 2) Return On Investment, merupakan rasio yang menunjukan hasil atas jumlah aktiva yang digunakan untuk perusahaan
17
3) Return On Equity, merupakan rasio untuk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. d. Rasio Aktivitas Yaitu kemampuan alat ukur sejauh mana efektifitas perusahaan dalam menggunakan sumber dayanya. Rasio tersebut antara lain : 1) Receivable turn over, merupakan rasio yang di gunakan berapa lama penagihan piutang selama satu periode. 2) Inventory turnover, yaitu rasio untuk mengukur efisiensi penggunaan persediaan-persediaan atau rasio untuk mengukur kemampuan dana yang tertanam dalam persediaan untuk berputar dalam suatu periode tertentu. 3) Total Assets Turnover, yaitu untuk mengukur efisiensi penggunaan aktiva secara keseluruhan. Beberapa rumus perhitungan analisa rasio yaitu a. Rasio Likuiditas 1) Rasio Lancar (Current Ratio) =
Aktiva Lancar x 100 %
Hutang Lancar 2) Rasio Cepat (Quick Ratio) =
Aktiva Lancar-Persediaan x 100 % Hutang Lancar
b. Rasio Solvabilitas 1) Debt to Asset Ratio =
Total Hutang Total Aktiva
18
2) Debt to Equity Ratio =
Total Hutang Modal
c. Rasio Profitabilitas 1) Net Profit Margin =
Laba Bersih (sesudah Pajak) X 100 % Penjualan
2) Return on Investment (ROI) = Laba Bersih (sesudah Pajak) X 100 % Total Aktiva 3) Return on Equity ( ROE ) =
Laba Bersih (sesudah Pajak) X 100 % Total Modal
d. Rasio Aktivitas 1) Inventory Turn Over (ITO) =
Harga Pokok Penjualan Persediaan Rata-Rata
2) Account Receivable Turn Over =
Penjualan Rata-rata Tertimbang
3) Total Asset Turn Over (TATO) =
Penjualan Netto Total Aktiva
19
C. Ukuran Perusahaan 1. Pengertian Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva, log size,nilai pasar saham, dan lain-lain. Pada dasarnya menurut Edy Suwito dan Arleen Herawaty (2005:138) ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori yaitu: “perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium-size) dan perusahaan kecil (small firm). Ukuran perusahaan dapat didasarkan pada jumlah aktiva, jumlah tenaga kerja,volume penjualan, dan kaptalisasi pasar. Penentuan ukuran perusahaan ini didasarkan kepada total asset perusahaan”. Menurut Edy Suwito dan Arleen Herawaty (2005:138) yang mengambil pendapat Moses (1987) menemukan bukti bahwa: perusahaan-perusahaan yang lebih besar memiliki dorongan yang lebih besar pula untuk melakukan peralatan laba dibandingkan dengan perusahaanperusahaan yang lebih kecil karena perusahaan-perusahaan yang lebih besar menjadi subyek pemeriksaan (pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah dan masyarakat umum/general public) 2. Indikator Ukuran Perusahaan Salah satu ukuran kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba yang maksimal dapat dilihat dari rasio-rasio yang menunjukan perkembangan atau kemunduran dari operasional normal perusahaan tersebut, hal ini dapat dilihat salah satunya dari rasio pertumbuhan, dimana rasio pertumbuhan
20
menunjukan ukuran kenaikan atau penurunan kinerja keuangan suatu perusahaan yang dapat dilihat dari perbandingan tahun sebelum dan sesudah maupun sedang berjalan untuk beberapa pos akuntansi keuangan perusahaan. Dalam
rasio
pertumbuhan
ini akan
dihitung
seberapa
jauh
pertumbuhan dari beberapa pos penting dalam laporan keuangan. Variabel ini diukur dengan rata-rata jumlah nilai kekayaan yang dimiliki suatu perusahaan (total aktiva). Skala pengukuran yang digunakan adalah rasio. Ukuran (size) perusahaan bisa diukur dengan menggunakan total aktiva, pejualan, atau modal dari perusahaan tersebut. Salah satu tolak ukur yang menunjukan besar kecilnya perusahaan adalah ukuran aktiva dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total asset yang kecil (Ismu Basuki:2006), D. Good Corporate Governance (GCG) 1. Pengertian Good Corporate Governance Dalam bahasa Indonesia corporate governance diterjemahkan sebagai tata kelola atau tata pemerintahan perusahaan. Ada beberapa definisi
21
corporate governance
yang digunakan oleh perusahaan menurut Kissane
seperti yang dikutip oleh Ridwan dan Camellia (2007:63) adalah definisi corporate governance sebagai: The legal and participal system for the exercise of power and control in the conduct of the business of a corporation, including in particular the relationship among the shareholders, the board directors, and its committees, the executive officer, and other constituencies ( such as employees, local communities and major customers and suppliers). Dengan demikian definisi corporate governance yang umum digunakan adalah corporate governance sebagai sistem hukum dan praktik untuk menjalankan kewewenangan dan kontrol dalam kegiatan bisnis perusahaan. Kegiatan itu meliputi hubungan khusus antara pemegang saham, komisaris dan komite-komitenya, direksi, pejabat eksekutif, dan konstituen lainya (seperti pegawai,masyarakat lokal,dan pelanggan dan pihak supplier). Pengertian corporate governance menurut Turnbull Report di Inggris yang dikutip oleh Tsuguoki Fujinuma dalam Arief Effendi (2009:1) adalah sebagai berikut: Corporate governance is a company’s system of internal control, which has its principal aim the management of risk that are significant to the fulfillment of its business objectives, with a view to safeguarding the company’s assets and enhanching overtime the value of the shareholders investment. Berdasarkan pengertian diatas, corporate governance didefinisikan sebagai suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya
22
melalui pengamanan asset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang. 2. Tujuan dan Kebijakan Good Corporate Governance Adapun tujuan akhirnya adalah menaikan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainya. Kebijakan tata kelola perusahaan merupakan pihak-pihak yang berperan dalam menjalankan perusahaan memahami dan menjalankan fungsi dan peran sesuai wewenang dan tanggung jawab. Pihak yang berperan meliputi pemegang saham, dewan komisaris, komite, direksi, pimpinan unit dan karyawan. Ada beberapa prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk terselenggaranya praktik GCG yaitu keadilan, transparansi/keterbukaan, akuntabilitas dan responsibilitas. Dengan demikian, GCG adalah seperangkat peraturan yang membagi hak dan kewajiban baik shareholders maupun stakeholders dalam mengatur dan mengawasi jalanya pengelolaan
perusahaan
yang
didalamnya
terdapat
unsur
keadilan,
transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban. 3. Manfaat Good Corporate Governance GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efesien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang – undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu Negara
23
dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Penerapan system GCG diharapkan dapat meningkatkan nilai tambha bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut: a. Meningkatkan efesiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahtraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan b. Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan c. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para shareholders dan stakeholders 4. Mekanisme Penerapan Good Corporate Governance Ada dua aspek (mekanisme) dalam penerapan corporate governance, yaitu: a. Mekanisme internal Mekanisme Internal dari corporate governance membahas hubungan antara manajemen dengan pemilik saham atau pihak internal perusahaan (manajemen dan pemegang saham pengendali) dengan pemilik saham
24
bukan pengendali. Mekanisme ini berkaitan dengan sistem pengendalian internal perusahaan. Faktor penting yang bisa dijadikan tolak ukur dalam penerapan mekanisme ini antara lain: ii. Keefektifan dewan komisaris dalam pengawasan terhadap manajemn iii. Perlakuan antara pemegang saham minoritas dan mayoritas iv. Penunjukan anggota dewan komisaris dan dewan direksi independen. Direktur independen harus orang dari luar perusahaan yang tidak memiliki hubungan afiliasi maupun jasa konsultasi, serta tidak memiliki hubungan kekeluargaan dari pihak manajemn. v. Ketersediaan fungsi komite audit dan fungsi corporate secretary dalam perusahaan b. Mekanisme Eksternal Mekanisme ini didefinisikan sebagai mekanisme yang membahas hubungan antara perusahaan dengans emua perangkat yang ada diluar perusahaan (baik ekonomi, hokum dan social) untuk mengawasi jalanya perusahaan agar sesuai dengan keinginan pemegang saham dan stakeholders lainya. Unsur-unsur penting mekanisme eksternal antara lain: 1) Adanya peraturan pasar modal yang menyangkut anggaran perusahaan dalam hubunganya dengan merger, prinsip pengungkapan dan
25
peraturan pencatatan yang ditetapkan oleh pengawas pasar modal dinegara yang bersangkutan. 2) Keterseediaan pasar uang dan pasar modal yang kompetitif. 3) Ketersediaan hukum dan perundang-undangan yang lengkap dan didukung dengan penegakanya dalam aktivitas dunia usaha. 4) Pasar barang dan jasa (termasuk pasar tenaga kerja yang profesional) yang aktif adan terbuka. 5) Konsumen yang aktif, tanggap dan sadar akan hak dan kewajibanya. Melalui penerapan good corporate governance tersebut diharapkan: a. Perusahaan mampu meningkatkan kinerjanya melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efesiensi operasional perusahaan, serta mampu meningkatkan pelayananya kepada stakeholders b. Perusahaan lebih muda memperoleh dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value c. Mampu
meningkatkan
modalnya di Indonesia
kepercayaan
investor
untuk
menanamkan
26
d. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen. E. Dividen 1. Pengertian Dividen Dividen merupakan sebagian dari laba atau pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan yang akan dibagikan kepada pemegang saham sesuai dengan persentase kepemilikanya pada saham perusahaan yang diumumkan oleh Dewan Direksi selain Capital Gain. Capital Gain merupakan suatu keuntungan yang diperoleh pemegang saham dari hasil jual beli saham, yaitu berupa selisih antara nilai jual yang lebih tinggi daripada nilai beli saham. Hanafi (2006) dividen merupakan kompensasi yang diterima oleh pemegang saham, disampling capital gain. Dividen ini untuk dibagikan kepada para pemegang saham sebagai keuntungan dari laba perusahaan. 2. Jenis-Jenis Dividen Berdasarkan bentuk dividen yang dibayarkan, dividen dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu dividen tunai (cash dividend) dan dividen saham (stock dividend). Dividen tunai merupkan dividen yang dibagikan dalam bentuk uang tunai, nilai suatu dividen tunai tentunya sesuai dengan nilai tunai yang diberikan. Sedangkan dividen saham merupakan dividen yang diberikan
27
dalam bentuk saham dengan proporsi tertentu dan nilai suatu dividen saham dapat dihitung dengan rumus harga wajar dividen saham dibagi dengan rasio dividen saham (Latiefasari, 2011) 3. Rasio Pembayaran Dividen ( Dividen Payout Ratio ) Dividen Payout Ratio adalah suatu keputusan untuk menentukan seberapa besar bagian dari pendapatan perusahaan yang akan dibagikan kepeda pemegang saham dan yang akan di investasikan kembali atau ditahan di dalam perusahaan (Martono dan Harjito, 2005). Rasio pembayaran dividen (Dividen Payout Ratio) menentukan jumlah laba yang dibagi dalam bentuk dividen kas dan laba yang ditahan sebagai sumber pendanaan. Rasio ini menunjukan persentase laba perusahaan yang dibayarkan kepada pemegang saham yang berupa dividen kas. Apabila laba perusahaan yang ditahan untuk keperluan operasional perusahaan dalam jumlah besar, berarti laba yang akan dibayarkan sebagai dividen menjadi lebih kecil. Sebaliknya jika perusahaan lebih memilih untuk membagikan laba sebagai dividen, maka hal tersebut akan mengurangi porsi laba ditahan dan mengurangi sumber pendanaan intern. Namun, dengan lebih memilih membagikan laba sebagai dividen tentu sajaakan meningkatkan kesejahtraan para pemegang saham, sehingga para pemegang saham akan terus menanamkan sahamnya untuk perusahaan tersebut.
28
4. Kebijakan Dividen Kebijakan dividen (dividend policy) adalah suatu keputusan untuk menentukan berapa besar bagian dari pendapatan perusahaan yang akan diinvestasikan kembali (re-investmen) atau ditahan (re-tained) di dalam perusahaan (Riyanto, 2006). Semakin besar laba ditahan semakin sedikit laba yang dialokasikan untuk pembayaran dividen. Alokasi penentuan laba sebagai laba ditahan dan pembayaran dividen merupakan aspek utama dalam kebijakan dividen. Kebijakan dividen yang optimal dalam suatu perusahaan ialah kebijakan dividen yang menciptakan keseimbangan di antara dividen saat ini dan pertumbuhan di masa mendatang. Sehingga memaksimalkan harga saham perusahaan. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen, antara lain adalah peluang investasi yang tersedia bagi perusahaan, sumber – sumber modal yang ada, dan preferensi pemegang saham untuk pendapatan saat ini dibanding dengan pendapatan di masa mendatang. Kebijakan perusahaan membagikan dividen kepada para investor adalah kebijakan yang sangat penting. Kebijakan pembagian dividen (dividend policy) tidak saja membagikan keuntungan yang diperoleh perusahaan kepada para investor tetapi harus selalu diikuti dengan pertimbangan adanya kesempatan investasi kembali (re-investment). Apabila
29
dividen dibayarkan secara tunai makin meningkat, maka makin sedikit dana yang tersedia untuk re-invetasi. Hal ini dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan perusahaan di masa mendatang menjadi rendah, sehingga akan menekan harga saham. Ada dua asumsi yang mendasari kebijakan dividen ( Boedie, et.al 2008) antara lain: 5. Kebijakan dividen pada perusahaan yang tidak sedang tumbuh (a low investment rate plan). Pada perusahaan-perusahaan yang termasuk katagori ini mampu membayarkan dividen lebih tinggi pada awal periode, tetapi pertumbuhan dividen pada tahun-tahun berikutnya menjadi rendah. 6. Kebijakan dividen pada perusahaan yang sedang tumbuh (a high reinvestment rate plan). Perusahaan yang sedang tumbuh akan memberikan dividen yang relatif rendah pada awalnya. Hal ini dikarenakan adanya rencana reinvestasi dari sebagian laba yang diperoleh untuk membiayai aktivitas ekspansi (re-investment). Tetapi
perusahaan-perusahaan
yang
termasuk
kelompok
perusahaan yang sedang tumbuh akan mampu menghasilkan tingkat pertumbuhan dividen yang lebih tinggi pada tahun-tahun berikutnya.
Walaupun
sebagian
besar
kelompok
ini
mempertahankan rasio pembayaran dividen (dividend payout)
30
yang tetap. Namun pertumbuhan laba yang lebih besar akhirnya memberikan dividen lebih besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi penetapan kebijakan dividen pada perusahaan ( Weston dan Brigham 2005) : 1. Peraturan Hukum Terdapat tiga hal yang ditekankan berkaitan dengan pembayaran dividen yaitu: a. Peraturan mengenai laba bersih yaitu menentukan bahwa dividen dapat dibayar dari laba dahulu dan laba sekarang. b. Peraturan mengenai tindakan yang merugikan pemodal. Peraturan tersebut akan melindungi para kreditur, caranya dengan melarang pembayaran dividen dari dana modal yang berarti
membagikan
investasinya
bukan
membagikan
keuntunganya. c. Peraturan mengenai hak mampu bayar (insolvency) yaitu menentukan bahwa perusahaan tidak membayar dividen jika tidak mampu (perusahaan bangkrut). 2. Posisi likuiditas, yaitu apabila laba ditahan telah diinvetasikan dalam bentuk aktiva tetap, seperti mesin dan peralatan, bahan dan persediaan dan barang-barang lainya, dan bukan disimpan dalam bentuk uang tunai, maka hal tersebut dapat menunjukkan posisi
31
likuiditas perusahaan yang rendah dan terdapat kemungkinan perusahaan tidak mampu lagi membayar dividenya. 3. Perlunya membayar kembali pinjaman. Disini perusahaan perlu menyisihkan laba sebelum jatuh tempo hutang, agar keuntungan perusahaan pada saat jatuh temponya hutang dibebani dengan pembayaran seluruh hutang. 4. Keterbatasan karena kontrak hutang. Dalam perjanjian hutang terdapat larangan-larangan bagi debitur sehubungan dengan pembayaran dividen. Hal ini dilakukan untuk melindungi pihak kreditur sehubungan dengan dana yang dipinjamkan. Pembatasan tersebut dilakukan dengan cara dividen yang akan dating hanya boleh
dibayar
dari
keuntungan
yang
diperoleh
sesudah
ditandatanganinya. Kontrak hutang atau dividen tidak dibayarkan jika modal kerja bersih jumlahnya lebih kecil dari suatu jumlah tertentu. 5. Tingkat perluasan perusahaan. Semakin cepat tingkat pertumbuhan semakin besar kebutuhanya untuk mebiayai pengembangan harta perusahaan tersebut, dan semakin banyak dana yang dibutuhkan dikemudian hari, semakin banyak pula keuntungan yang harus ditahan dan bukan untuk dibayarkan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen (dividen relatif kecil)
32
6. Tingkat keuntungan (tingkat hasil pengembalian atas aktiva yang diharapkan). Hal ini menentukan perusahaan untuk membayar dividen atau menggunakannya di dalam perusahaan. 7. Stabilitas perusahaan. Perusahaan yang keuntunganya relatif stabil dapat memperkirakan bagaimana keuntunganya di masa depan, sehingga kemungkinan besar perusahaan akan membagikan keuntunganya dalam persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang keuntunganya berfluktuasi. 8. Kemampuan memasuki pasar modal. Perusahaan besar yang sudah mempunyai profitabilitas yang tinggi dan keuntungan yang stabil akan lebih mudah memasuki pasar modal atau memperoleh dana dari luar untuk pembiayaanya. Karena itu perusahaan yang sudah mantap akan mempunyai tingkat dividen yang lebih tinggi dibanding dengan perusahaan kecil atau masih baru. 9. Kontrol.
Kekhawatiran
berkurangnya
kekuasaan
kelompok
dominan dalam mengendalikan perusahaan cenderung mendorong perusahaan perusahaan untuk memperbesar laba ditahan demi keprluan ekspansinya, yang berarti akan memperkecil pembayaran dividenya. 10. Kedudukan pajak para pemegang saham. Pada umumnya para pemilik perusahaan yang memegang sebagian besar sahamnya
33
tergolong
kelompok
berpendapatan
tinggi
dan
merupakan
pembayar pajak yang tinggi, sehingga menyebabkan perusahaan akan membayar dividen yang rendah. 11. Pajak atas penghasilan yang diperoleh dengan tidak wajar. Seringkali
perusahaan
menahan
keuntungan
hanya
untuk
menghindari tarif pajak perusahaan yang tinggi, maka dikeluarkan peraturan yang membebani pajak tambahan terhadap keuntungan atas penghasilan yang diperoleh dengan tidak wajar. 12. Tingkat inflasi. Kecenderungan kenaikan harga termasuk harga aktiva tetap menyebabkan akumulasi penyusutan tidak lagi mencukupi untuk mengganti aktiva tetap. Oleh karena itu perusahaan memperbesar porsi laba ditahan sehingga porsi untuk dividen menjadi berkurang. Kebijakan dividen penting karena dua alasan yaitu pertama, pembayaran dividen akan mempengaruhi harga saham,
dengan demikian
akan berpengaruh pula dengan perdagangan saham. Kedua, pendapatan yang ditahan (retained earning) biasanya merupakan sumber tambahan modal sendiri (equity capital) yang terbesar dan terpenting untuk pertumbuhan perusahaan. Kedua alasan tersebut merupakan dua sisi kepentingan perusahaan yang agak kontroversial. Agar kedua kepentingan itu dapat terpenuhi secara
34
optimal, manajemen perusahaan seharusnya memutuskan secara hati-hati dan teliti kebijakn dividen yang harus dipilih
F. Kerangka Pemikiran, Pengembangan Hipotesis dan Metode Konseptual 1. Hubungan Return On Asset (ROA) dengan Kebijakan Dividen Return On Asset (ROA) merupakan pengukuran yang sering digunakan dalam mengukur seberapa besar tingkat profitabilitas yang dihasilkan suatu perusahaan. ROA juga dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam memanfaatkan aktivanya untuk memperoleh laba (Dwi, 2007). Keuntungan perusahaan merupakan faktor pertama yang biasanya menjadi pertimbangan direksi dalam kebijakan deviden. Profitabilitas diukur dari laba bersih setelah pajak (earning after tax) terhadap total aktivanya yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam penggunaan aktiva yang digunakan
untuk
operasi
perusahaan.
Perusaaan
yang
memperoleh
keuntungan cenderung akan membayar porsi keuntungan yang lebih besar sebagai deviden. Olehkarena itu, semakin tinggi laba perusahaan semakin besar deviden yang akan dibayarkan. Profitabilitas merupkan faktor terpenting yang dipertimbangkan oleh manajemn laba dalm dividend payout ratio. Semakin besar ROA maka akan menunjukan semakin besar tingkat
35
proftabilitas, sehingga menunjukan kinerja perusahaan semakin baik, karena tingkat kembalian investasi (return) semakin besar (Rais, 2009) Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Partington (1989), Chang dan Ree (1990), Susilo (2006), dan indarta (2007), menyebutkan bahwa profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap Dividend Payout Ratio. Ha1 : Return On Asset (ROA) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen 2. Hubungan Debt to Equity Ratio (DER) dengan Kebijakan Dividen Debt to Equity Ratio (DER) merupakan perbandingan antara total hutang dengan total aktiva. Hutang merupakan salah satu sumber eksternal untuk mebiayai ekspansi perusahaan. Hutang digunakan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan pembayaran dividen, apabila perusahaan tidak mempunyai dana internal untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut. Semakin tinggi tingkat hutang, maka semakin banyak dana yang tersedia untuk membayar dividen yang lebih tinggi karena menyebabkan nilai perusahaan naik (Yuningsih, 2007). Debt to Equity Ratio (DER)
menunjukan besarnya hutang yang
digunakan untuk mebiayai aktiva yang digunakan oleh perusahaan dalam rangka menjalankan aktivitas operasionalnya. Semakin besar rasio hutang
36
menunjukan semakin besarnya tingkat ketergantungan perusahaan terhadap pihak eksternal (kreditor) dan semakin besar pula biaya beban hutang atau biaya bunga yang harus dibayar oleh perusahaan. Semakin meningkatnya rasio hutang (beban hutang semakin besar) maka hal tersebut berdampak terhadap profitabilitas yang diperoleh perusahaan karena sebagian besar digunakan untuk mebayar bunga pinjaman. Dengan biaya bunga yang semakin besar, maka tingkat profitabilitas (earning after tax) akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh karena sebagian besar keuntunganyan digunakan untuk membayar bunga, dan ini akan menjadikan hak dari pemegang saham juga akan berkurang. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ditya (2012) menyatakan leverage tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen sama dengan yang dinyatakan oleh I Putu Budi Sanjaya (2009) dan Fira (2009) dalam penelitiannya kebijakan hutang dengan indikator DER tidak berpengaruh secara signifikan terhadap DPR sedangkan Tarigan (2008), menyatakan Leverage memiliki hubungan negatif/tidak searah dengan kebijakan dividen Ha2 : Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen
37
3. Hubungan Ukuran perusahaan dengan Kebijakan Dividen Ukuran perusahaan adalah skala besar kecilnya perusahaan, suatu perusahaan besar yang sudah mapan akan memiliki akses muda menuju pasar modal, kemudahan ini cukup berarti untuk fleksibilitas dan kemampuanya untuk memperoleh dana yang lebih besar, sehingga perusahaan mampu memiliki rasio pembayaran deviden yang lebih tinggi dari pada perusahaan kecil, sehingga antara ukuran perusahaan dan pembayaran dividen memiliki hubungan positif. Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh firm size terhadap dividend payout ratio (DPR) yang dilakukan Puspita (2009) dan Handayani (2010) menunjukan bahwa firm size berpengaruh positif dan signifikan terhadap DPR. Hasil ini berbeda dengan penelitian Damayanti dan Achyani (2006) yang menunjukan firm size memiliki pengaruh yang negatif namun tidak signifikan terhadap DPR. Sedangkan Syahbana (2006) menyatakan ukuran perusahaan tidak signifikan terhadap DPR Ha3 : Terdapat pengaruh positif ukuran perusahaan terhadap kebijakan dividen 4. Hubungan Good Corporate Governace dengan Kebijakan Dividen Corporate Governance merupakan mekanisme yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan dan prilaku pihak manajemen. Beberapa mekanisme GCG meliputi keberadaan komisaris independen,
38
keberadaaan komite audit, tidak terdapatnya CEO duality, tidak terdapatnya Top share (controlling shareholder), dan keberadaan koalisi pemegang saham lainnya dalam rangka menghadapi controlling shareholder GCG dalam suatu perusahaan tercermin pada pertanggungjawaban manajer kepada stakeholder perusahaan tersebut. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), manajer selaku pengambil keputusan memberikan pertanggungjawabannya dalam mengelola perusahaan kepada pemegang saham. Salah satu pertanggungjawaban yang diberikan manajer kepada pemegang saham adalah mengenai pembagian keuntungan atau dikenal dengan kebijakan dividen. Berkaitan dengan karateristik kepemilikan sebagian besar perusahaan emiten di Indonesia yang lebih terkonsentrasi, menyebabkan pemegang saham mayoritas akan mengambil peranan penting dalam pengambilan keputusan khususnya mengenai kebijakan dividen. Dengan proporsi kepemilikan saham yang sangat besar, pemegang saham mayoritas dapat mengambil keputusan mengenai kebijakan dividen tanpa memerlukan pendapat dari pemegang saham minoritas. Oleh karena itu keputusan yang diambil dapat bertentangan dengan kepentingan pemegang saham minoritas. Terlebih lagi apabila pemegang saham mayoritas tersebut dimiliki oleh manajemen, yang secara umum memiliki kecenderungan menggunakan laba yang dicapai untuk investasi perusahaan sebagai perluasan usaha, serta memenuhi kewajiban perusahaan, sehingga akan membagikan
39
dividen dalam jumlah lebih sedikit. Di sisi lain, pemegang saham minoritas dikatakan lebih menyukai proporsi dividen yang dibagikan atas laba yang dicapai lebih besar. Hal ini dapat terjadi apabila CG perusahaan kuat, yang berarti ada perlindungi atas hak-hak pemegang saham minoritas. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kowalewski et al. (2007) mengambil sampel perusahaan non-keuangan yang listed di Warsaw Stock Exchange tahun 1998-2004 di Polandia. Penelitian ini menggunakan CG sebagai variabel independen dengan indikator Transparency and Disclosure Index (TDI) dan dividen kas sebagai variabel dependennya. Penelitian ini diantaranya menggunakan variabel kontrol ukuran perusahaan, tingkat hutang, dan profitabilitas. Variabel-variabel ini diduga juga menjadi bahan pertimbangan besarnya dividen yang akan dibagikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sunarto & Kartika (2003) bahwa selain faktor CG masih terdapat beberapa faktor yang juga mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan antara lain rasio hutang, total aktiva, dan profitabilitas perusahaan. Makin besar ukuran perusahaan dan profitabilitasnya, makin besar dividen yang akan dibagikan. Sebaliknya makin besar tingkat hutang perusahaan, makin rendah dividen yang akan dibagikan. Hasil penelitian Kowalewski et al. (2007) menemukan bahwa CG merupakan faktor penting penentu kebijakan dividen di Polandia. Perusahaan yang memiliki CG kuat akan membayar dividen lebih tinggi, sebaliknya
40
perusahaan yang memiliki CG lemah akan membayar dividen lebih rendah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perusahaan besar dengan profitabilitas tinggi dan memiliki CG kuat, akan membayar dividen lebih tinggi dibandingkan perusahaan dengan tingkat hutang tinggi dan memiliki CG yang lemah. Selanjutnya dikatakan bahwa perusahaan dengan praktek CG kuat mencerminkan hak pemegang saham dalam perusahaan tersebut kuat. Demikian sebaliknya apabila praktek CG lemah, maka hak pemegang saham dalam perusahaan tersebut juga lemah. Kekuatan hak pemegang saham tampak dalam RUPS, pemegang saham yang haknya kuat akan memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan perusahaan. Sedangkan dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Parulian (2004) dalam Siregar dan Utama (2008)
mengemukakan terdapatnya hubungan
negatif antara
discretionary accrual dengan adanya komite audit. Klein (2002) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki komite audit akan menghambat perilaku earnings management oleh pihak manajemen. Hal ini didukung pula oleh penelitian lain yang dilakukan Jaggi dan Leung (2007) menunjukkan bahwa komite audit sangat berperanan dalam mengurangi earnings management pada perusahaan dengan kepemilikan yang terkonsentrasi. Ha4: Corporate Governance berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen
41
5. Model Konseptual Berdasarkan pembahasan di atas maka kerangka konsep dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
ROA ( X1)
DER (X2)
Kebijakan dividen (Y)
Ukuran perusahaan (X3)
Good corporate governance (X4)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran