BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Kinerja Mengajar Guru 2.1.1 Pengertian Kinerja Mengajar Guru Smith (1982) menjelaskan “Performance is output derives from processes human or otherwise” atau kinerja itu merupakan hasil suatu proses yang telah dilakukan. Menurut Bernardin dan Russel (1993), dikutip dari Ruky (2002), “Performance is defined as the record of cutcomes produced on a specified job function or activity during a special time period. Prestasi adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Kinerja mengajar guru dapat terefleksi dalam tugasnya sebagai seorang pengajar, dan sebagai seorang pemimpin kegiatan pembelajaran atau dengan kata lain kinerja mengajar guru dapat terlihat pada kegiatan merencanakan, melaksanakan dan menilai proses belajar mengajar yang intensitasnya dilandasi etos kerja, dan disiplin profesional guru (Uno dkk. 2001). Kinerja mengajar guru adalah kegiatan-kegiatan yang diukur (dinilai) untuk mengetahui kinerja mengajar seorang guru dalam merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran. 13
Pasimanjeku (2003) menyatakan bahwa kinerja mengajar adalah penilaian prestasi guru terhadap pelaksanaan tugas pokoknya dalam kurun waktu tertentu dengan format penilaian tertentu. Hal ini terkait dengan kemampuan dan kemauan seorang guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di sekolah. Biggs (2004) merumuskan kinerja mengajar guru sebagai hasil suatu aktivitas yang dilakukan guru kepada siswanya dalam proses belajar. Aktivitas yang dimaksud adalah persiapan, pelaksanaan dan mengevaluasi pembelajaran. Perencanaan
pembelajaran
harus
dilakukan
guru dengan sebaik-baiknya. Dalam mempersiapkan pembelajaran merupakan kegiatan awal yang dilakukan guru dalam mempersiapkan proses pembelajaran meliputi: mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar, mengidentifikasi materi pokok, mengembangkan pengalaman belajar, merumuskan indikator keberhasilan
belajar,
menentukan
alokasi
waktu,
menentukan sumber belajar, merencanakan penilaian dan mengembangkan silabus berkelanjutan (Masjid, 2005). Berikut uraian dari masing-masing unsur tersebut: 1. Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang tercantum pada standar isi dengan memperhatikan tingkat kesulitan materi, keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran;
14
2. Mengidentifikasi materi pokok Mengidentifikasi materi pokok yang menunjang pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan spiritual peserta didik, kebermanfaatan bagi peserta didik, struktur keilmuan, kedalaman dan keluasan materi relevan dengan kebutuhan peserta didik dan alokasi waktu; 3. Mengembangkan pengalaman belajar Mengembangkan pengalaman belajar merupakan kegiatan mental dan fisik yang dilakukan peserta didik dalam berinteraksi dengan sumber belajar dan mengaktifkan peserta didik; 4. Merumuskan indikator keberhasilan belajar Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menunjukkan tanda-tanda, perbuatan atau respon yang dilakukan oleh peserta didik. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian; 5. Menentukan alokasi waktu Penentuan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran perminggu dengan mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasaan, kedalaman tingkat kesulitan; 6. Menentukan sumber belajar Sumber belajar adalah rujukan objek atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, bisa berupa media cetak, elektronik, narasumber, lingkungan fisik, alam, sosial dan budaya. Berdasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, materi pokok, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi;
15
7. Merencanakan penilaian Merencanakan penilaian menciptakan tolok ukur keberhasilan pencapaian tujuan; 8. Pengembangan silabus berkelanjutan Dalam implementasinya silabus dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, dilaksanakan, dievaluasi dan ditindak lanjuti. Silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan memperhatikan masukan hasil evaluasi, hasil belajar, evaluasi proses dan evaluasi rencana pembelajaran.
Unsur utama yang merupakan refleksi kinerja mengajar guru diukur dari seberapa besar atau bagaimana tindakan seorang guru mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran guru. Tugas pokok yang berkaitan dengan kinerja mengajar guru telah dirumuskan dalam lokakarya Pendidikan Nasional (Candiasa dalam Lassa, 2005) yang meliputi: 1. Merencanakan kegiatan pembelajaran, yang terdiri dari (1) merencanakan bahan pelajaran, (2) merencanakan pengolahan kegiatan pembelajaran, (3) merencanakan pengelolahan kelas, (4) merencanakan media dan sumber belajar, (5) menentukan teknik evaluasi dan (6) membuat perangkat pembelajaran; 2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran yang terdiri dari (1) membuka kegiatan pembelajaran, (2) mengelola kegiatan inti, (3) mengorganisasi waktu, siswa dan fasilitas belajar, (4) kegiatan penilaian proses dan hasil pembelajaran; 3. Mengevaluasi kegiatan pembelajaran, terdiri dari: (1) melaksanakan evaluasi dalam proses pembelajaran, (2) membuat kisi-kisi untuk penyusunan soal dalam rangka evaluasi pembelajaran, (3) melaksanakan evaluasi pembelajaran, dan (4) melaksanakan analisis hasil evaluasi pembelajaran.
16
Mengevaluasi pembelajaran merupakan usaha untuk memperoleh informasi tentang perolehan belajar siswa secara menyeluruh. Penilaian merupakan tolok ukur keberhasilan pencapaian tujuan. Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran. Evaluasi dimaksudkan untuk menentukan tercapai tidaknya tujuan pembelajaran. Dengan kata lain evaluasi adalah membandingkan hasil pembelajaran dengan tujuan pembelajaran. Melalui evaluasi ini dapat dilihat bagaimana kemampuan belajar siswa dalam hal penguasaan materi pengajaran yang telah dicapai sesuai dengan tujuan yang telah diterapkan Usman (dalam Sumardi, 2003) menemukan fungsi evaluasi dalam pembelajaran sebagai berikut: 1. Sebagai umpan balik dalam rangka memperbaiki proses pembelajaran. Artinya umpan balik bagi guru sehingga merupakan dasar memperbaiki proses pembelajaran. Hasil evaluasi sebagai dasar membuat remedial; 2. Mengukur prestasi belajar siswa, data hasil prestasi dapat digunakan sebagai laporan kepada orang tua siswa; 3. Mencari data tingkat kemampuan siswa, bukan dan minat yang mereka miliki yang dapat digunakan untuk program pemilihan jurusan; 4. Mengetahui latar belakang siswa tertentu yang memerlukan bahwa khusus karena mengalami kesulitan belajar.
Evaluasi secara umum dapat diartikan sebagai proses sistematik untuk menentukan sesuatu (tujuan, 17
kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, maupun objek) berdasarkan kriteria tertentu (Masjid, 2005). 2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Mengajar Guru Menurut
Biggs
(2004)
untuk
meningkatkan
kinerja mengajar seorang guru diperlukan pemahaman faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru yang meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Berikut diuraikan masing-masing faktor tersebut: 1. Faktor internal Yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri guru dan mempengaruhi kinerja mengajar guru mencakup aspek fisiologis dan psikologis guru. Fisiologis berhubungan dengan kondisi fisik seorang guru dalam melakukan aktivitas proses pembelajaran. Apabila kondisi fisik seseorang tidak mempengaruhi syarat seperti cacat, sakit TBC maka kinerja mengajar guru dapat terganggu. Sedangkan aspek psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses mengajar seperti: kecerdasan atau intelegensi guru yang merupakan kemampuan otak dalam mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Kecerdasan ini bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga berhubungan organorgan tubuh lainnya; 2. Faktor eksternal Yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri guru dan mempengaruhi kinerja mengajar guru mencakup lingkungan sosial dan lingkungan non sosial. Lingkungan sosial seperti lingkungan sesama guru dan teman-teman se-
18
kerja yang dapat memberi pengaruh pada proses mengajar guru. Kondisi lingkungan guru, masyarakat, tempat tinggal guru dapat mempengaruhi aktivitas mengajar. Lingkungan sosial keluarga dapat mempengaruhi kegiatan seorang guru dalam mengajar. Hubungan yang harmonis antar guru akan membantu guru melakukan aktivitas mengajar dengan baik. Sedangkan lingkungan sosial seperti: lingkungan alam, suasana yang sejuk, tenang merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas mengajar. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung proses mengajar dapat menghadapi hambatan.
2.1.3 Pengukuran Kinerja Mengajar Guru Dalam pengukuran kinerja mengajar seseorang terutama guru dibutuhkan standar yang dapat dijadikan acuan dalam proses penilaian. Kinerja mengajar guru dapat diukur dengan memakai alat ukur tes, inventori, skala Likert, observasi, dan angket/kuesioner. Tes adalah teknik pengukuran dan sekaligus evaluasi yang digunakan untuk mengukur kinerja mengajar guru. Inventori merupakan alat ukur untuk mengukur peningkatan keterampilan mengajar dan kemampuan menampilkan kinerjanya secara konsisten. Skala Likert dapat digunakan observasi pengamatan terhadap subjek yang diteliti. Observasi adalah teknik yang digunakan sebagai pelengkap untuk mengetahui kondisi kinerja mengajar guru berdasarkan visitasi kinerja oleh guru pengamat yang dipilih dan dilakukan pada saat pelaksanaan. Kuesioner adalah seperangkat pertanyaan yang disusun untuk 19
diajukan kepada responden untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden sebagai objek, berkaitan dengan tujuan mengukur instrumen pengukuran (Basori, 2011). Dalam penelitian ini untuk mengukur kinerja mengajar guru peneliti menggunakan kuesioner yang diukur meliputi: (1) persiapan pembelajaran, (2) pelaksanaan pembelajaran, dan (3) evaluasi pembelajaran (Uno dkk, 2001).
2.2 Kepuasan Kerja 2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja Salah satu tanda memburuknya kondisi dalam suatu organisasi adalah rendahnya kepuasan kerja (Keith, 1993). Menurut Kumar (2007), kepuasan kerja guru merupakan gejala kompleks yang memiliki berbagai faktor yang berhubungan, yaitu personal, sosial, budaya dan ekonomi. Kepuasan kerja guru juga merupakan hasil dari berbagai sikap seorang guru terhadap pekerjaannya dan terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan tugasnya. Kepuasan kerja guru adalah perasaan guru tentang menyenangkan atau tidak mengenai pekerjaan berdasarkan atas harapan guru dengan imbalan yang diberikan oleh sekolah. Menurut Lester (dalam Hughes, 2006) kepuasan kerja guru adalah sejauh mana penerimaan dan nilai-nilai seorang guru terhadap aspek-aspek yang ada dalam suatu 20
pekerjaan seperti evaluasi, hubungan rekan kerja, tanggung jawab, pengakuan dan evaluasi. 2.2.2 Faktor Kepuasan Kerja Menurut Lester (dalam Ritz, 2009), ada sembilan faktor kepuasan kerja guru, yaitu: a. Supervisi Menurut Ahuja (dalam Rao, 2004), ketidakpuasan seorang guru meningkat ketika seseorang bekerja di bawah ketidakmampuan, ketidakefisienan dan ketidakacuhan dari seorang kepala sekolah. Kepuasan kerja guru juga dipengaruhi oleh gaya supervisi kepala sekolah yang task oriented dan person oriented. b. Rekan kerja (Colleagues) Terdiri dari pengajaran, kelompok kerja dan aspek sosial dalam seting sekolah. Menurut Neeraja (Ramatulasamma, 2007), teman, rekan kerja, anggota keluarga dan tetangga dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Ramakrishnaiah (dalam Ramatulasamma, 2007) menemukan bahwa 93% guru yang puas dengan pekerjaan mereka memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja mereka. c. Kondisi kerja (work condition) Merupakan kondisi fisik dari lingkungan kerja. Rohila (dalam Ramatulasamma, 2007), ketika seseorang bekerja di lingkungan yang tidak sehat, maka dapat menghasilkan rasa tidak nyaman ketika bekerja dan ketika seseorang bekerja dalam kondisi yang tidak baik dalam waktu yang lama dapat menghasilkan ketidakpuasan dalam bekerja. Menurut Englhardt (dalam Rao, 2004), kepuasan kerja dari seorang guru menurun ketika ukuran dari suatu kelas semakin besar. d. Imbalan (Pay) Pendapatan tahunan yang dapat berfungsi sebagai indikator dan pengakuan atas prestasi
21
atau kegagalan. Anjaneyulu (dalam Rao, 2004) menemukan bahwa pendapatan yang tidak memadai sering menjadi faktor penyebab ketidakpuasan kerja guru. Sementara itu Ramakrishnaiah (dalam Rao, 2004) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kepuasan kerja diantara kelompok yang pandapatannya berbeda-beda. e. Tanggung jawab (Responsibility) Keinginan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan seorang guru, membantu siswa belajar dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik atau membuat keputusan dapat mempengaruhi kepuasan kerja guru. f. Pekerjaan itu sendiri (Work itself) Yaitu pekerjaan mengajar itu sendiri atau tugas yang berhubungan dengan pekerjaan dapat membuat seorsang guru merasakan kepuasan dalam bekerja atau tertekan/stres. g. Kenaikan Jabatan (Advancement) Merupakan perubahan dalam status atau posisi, yang berdampak pada peningkatan pendapatan. Herzberg (dalam Rao, 2004) menyatakan bahwa kenaikan jabatan sangat kondusif dalam memenuhi kebutuhan psikologis seorang pekerja dan kepuasan kerja seseorang. h. Keamanan (Security) Keamanan kerja meliputi kebijakan sekolah tentang masa jabatan, senioritas, pergantian jabatan dan pensiun. Keamanan dalam bekerja merupakan salah satu dari lima faktor penting berhubungan dengan kepuasan kerja seseorang i. Penghargaan (Recognition) Yaitu perhatian, penghargaan, prestise dan penghargaan dari supervisor, rekan kerja, siswa dan orangtua merupakan faktor signifikan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja guru (Ramatulasamma, 2007).
Dari Job Descriptive Index/yang mengukur kerja seseorang diungkapkan bahwa penyebab kepuasan 22
kerja ialah: bekerja pada tempat yang tepat, gaji yang sesuai, organisasi dan manajemen, supervisi pada pekerjaan yang tepat dan orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat. Salah satu cara untuk menentukan apakah pekerja puas dengan pekerjaannya adalah dengan membandingkan pekerjaan mereka dengan beberapa pekerjaan ideal tertentu (Ololube, 2005). 2.2.3 Pengukuran Kepuasan Kerja Kepuasan kerja guru dapat dirumuskan sebagai respons umum guru berupa perilaku yang ditampilkan sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tugas mengajar. Seorang guru yang masuk dan bergabung dalam suatu sekolah mempunyai seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat dipenuhi di tempat bekerjanya. Kepuasan kerja akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan guru dengan kenyataan yang ditemui dan didapatkannya dari tempat bekerjanya. Persepsi guru mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepuasan kerja melibatkan rasa aman, rasa adil, rasa menikmati, rasa bergairah, status dan kebanggaan. Dalam persepsi guru juga dilibatkan situasi kerja guru yang bersangkutan meliputi interaksi kerja, kondisi kerja, pengakuan, hubungan dengan atasan, 23
dan kesempatan promosi. Selain itu di dalam persepsi ini juga tercakup kesesuaian antara kemampuan dan keinginan guru dengan kondisi sekolah tempat mereka bekerja yang meliputi jenis pekerjaan, minat dan bakat, penghasilan serta intensif. Pengukuran kepuasan kerja guru dalam penelitian ini mengacu pada Lester (1987) dalam Ritz (2009) yang dikembangkan dari Teori Dua Faktor Herzberg baik yang faktor motivator maupun faktor higiene menjadi sembilan faktor yaitu: (1) pengakuan orang lain, (2) pekerjaan itu sendiri, (3) tanggung jawab, (4) kesempatan untuk maju, (5) keamanan, (6) penyeliaan, (7) hubungan dengan rekan kerja, (8) kondisi kerja, (9) gaji.
2.3 Kepemimpinan Melayani Kepala Sekolah 2.3.1 Pengertian Kepemimpinan Melayani Teori tentang pemimpin yang melayani dimulai sejak tahun 1970, ketika R.K. Greenleaf (1904-1990) menulis sebuah essay yang berjudul “The Servant as Leader”. Essay tersebut dikembangkan oleh Greenleaf menjadi sebuah buku yang diterbitkan tahun 1977 berjudul “Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness”. Ide mengenai pemimpin yang melayani diperoleh Greenleaf tahun 1960-an ketika membaca novel karya Herman Hessee, “Journey to the East”. 24
Setelah membaca cerita ini, Greenleaf et al (2002) menyimpulkan bahwa pemimpin yang hebat diawali dengan bertindak sebagai pelayan bagi orang lain. Kepemimpinan yang sesungguhnya timbul dari motivasi utama untuk membantu orang lain. Kedua kata “melayani” dan “pemimpin” biasanya dianggap sebagai hal yang berlawanan. Ketika kedua hal yang bertolak belakang disatukan dengan cara yang kreatif dan berarti, sebuah paradoks muncul. Jadi, kedua hal tersebut telah disatukan untuk menciptakan ide paradoksial tentang kepemimpinan yang melayani. Greenleaf
et
al
(2002)
menyatakan
bahwa
pemimpin yang melayani diawali dengan perasaan alami untuk melayani terlebih dahulu. Setelah itu, dengan kesadaran, seseorang ingin memimpin. Kepemimpinan yang melayani didefinisikan sebagaiseorang pemimpin yang sangat peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut dan komunitasnya dan karenanya ia mendahulukan hal-hal tersebut dibandingkan dengan pencapaian ambisi pribadi atau pola dan kesukaannya saja. Impiannya ialah agar orang yang dilayani tadi akan menjadi pemimpin yang melayani juga. Ditekankan bahwa, bila seseorang ingin menjadi pemimpin yang efektif dan berhasil, ia harus lebih dulu memiliki motivasi dan hasrat yang besar untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Dalam hal ini, pemimpin
harus
mampu
mendorong
pengikutnya
untuk mencapai potensi optimalnya. 25
Tuhan Yesus adalah contoh terbaik dalam soal kepemimpinan yang menghamba (Yohanes 13:1-17). Ketika Yesus dan para murid mengadakan pertemuan ini adalah ketika mereka baru saja tiba di Yerusalem beberapa hari sebelumnya. Skenarionya adalah: Hari itu adalah hari Paskah orang Yahudi; Yesus dan murid-murid akan merayakannya, mereka baru tiba di sebuah tempat; jalanan di Israel waktu itu sangat berdebu; mereka memakai sandal; biasanya di setiap rumah Yahudi ada seorang hamba khusus untuk menyambut dan membasuh kaki tamu yang baru masuk. Yesus membasuh kaki para murid dan memberi contoh yang terbaik ketika dia mengorbankan diriNya di kayu salib. Dia menjadi pemimpin yang memberikan hidupNya bagi mereka yang percaya kepadaNya, dan akibatnya lebih banyak lagi yang menyerahkan hidupnya kepada Kristus. Perkataan Yesus kali ini mengingatkan kita semua mengenai citra ‘pelayan Kristus’ yang harus merendahkan diri dan juga mampu melakukan apa yang mereka katakan karena itu adalah ciri seorang pemimpin yang melayani (Pakpahan, 2010). 2.3.2 Karakteristik Kepemimpinan Melayani Menurut Spears (1995), mengacu pada pemikiran Greenleaf, karakteristik pemimpin yang melayani adalah:
26
1. Kesediaan untuk mendengarkan (listening) Biasanya, seorang pemimpin dinilai berdasarkan kemampuannya dalam berkomunikasi dan mengambil keputusan. Kemampuan ini juga penting bagi pemimpin yang melayani, pemimpin ini perlu dikuatkan dengan komitmen yang kuat untuk mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh. Pemimpin yang melayani mencoba untuk mengidentifikasikan keinginan dari sebuah kelompok dan membantu mengklarifikasikan keinginan tersebut, dengan cara mendengarkan aktif; 2. Kuat dalam empati (empathy) Pemimpin yang melayani berusaha untuk mengerti dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Manusia perlu untuk merasa diterima dan diakui atas semangat mereka yang khusus dan unik; 3. Melakukan pemulihan (healing) Salah satu kekuatan terbesar seorang pemimpin yang melayani adalah kemampuannya untuk melakukan pemulihan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 4. Penyadaran/peningkatan kesadaran (awareness) Kesadaran umum, dan terutama kesadaran diri, memperkuat pemimpin yang melayani. Kesadaran juga membantu seseorang dalam memahami persoalan yang berhubungan dengan etika dan nilai. 5. Memiliki sifat persuasif (persuasion) Karakteristik lain dari pemimpin yang melayani adalah mengandalkan persuasi dalam pengambilan keputusan, bukan posisi sebagai otoritas. Pemimpin yang melayani mencoba untuk meyakinkan orang lain, bukan memaksa orang lain untuk patuh. 6. Mampu membuat konsep (conceptualization) Pemimpin yang melayani mengembangkan kemampuannya untuk “memimpikan hal-hal besar.” Kemampuan untuk melihat permasalahan (atau sebuah organisasi) dari perspektif konseptualisasi berarti bahwa seseorang harus
27
berpikir melebihi realitas sehari-hari. Pemimpin yang melayani menyeimbangkan antara pemikiran konseptual dengan pendekatan dengan fokus harian. 7. Mampu membuat perkiraan yang tepat (foresight) Foresight adalah sebuah karakteristik yang memungkinkan pemimpin yang melayani untuk memahami pelajaran dari masa lalu, realitas saat ini dan kemungkinan konsekuensi dari sebuah keputusan untuk masa depan. Hal ini juga berakar di dalam pikiran intuitif. 8. Penatalayanannya baik (stewardship) Block (1996) telah mendefinisikan stewardship sebagai “memegang sesuatu yang dipercayakan kepadanya oleh orang lain”. Pemimpin yang melayani, seperti stewardship, mengasumsikan komitmen utama untuk melayani kebutuhan orang lain. Hal ini juga menekankan pada penggunaan keterbukaan dan persuasi dibandingkan dengan pengendalian. 9. Memiliki komitmen untuk menghasilkan proses pembelajaran (commitment to the growth of people) Pemimpin yang melayani percaya bahwa orang lain mempunyai nilai intrinsik melebihi kontribusi nyata mereka sebagai karyawan atau pekerja. Sebagai hasilnya, pemimpin yang melayani berkomitmen secara mendalam pada pengembangan dari masing-masing individu dalam institusi. Pemimpin yang melayani menyadari tanggung jawab yang luar biasa untuk melakukan semua hal yang memungkinkan untuk membantu pembelajaran sumber daya manusia. 10. Serius dalam upaya pembentukan dan pengembangan komunitas (building community) Pemimpin yang melayani merasakan bahwa banyak hal yang telah hilang dalam sejarah manusia belakangan ini sebagai hasil dari pergeseran dari komunitas lokal menjadi institusi besar sebagai pembentuk utama dalam hidup manusia. Hal ini menyebabkan pemimpin yang
28
melayani untuk mencoba mengidentifikasikan beberapa sarana untuk membangun komunitas di antara mereka yang bekerja di institusi tersebut.
2.3.3 Pengukuran Kepemimpinan Melayani Kepala Sekolah Pengukuran
kepemimpinan
melayani
kepala
sekolah dalam penelitian ini mengacu pada Spears (1995) yang meliputi: (1) kesediaan untuk mendengarkan (listening), (2) kuat dalam empati (empathy), (3) melakukan pemulihan (healing), (4) peningkatan kesadaran (awareness), (5) memiliki sifat persuasif (persuasion), (6) mampu membuat konsep (concepttualization), (7) mampu membuat perkiraan yang tepat (foresight), (8) penatalayanannya baik (stewardship), (9) memiliki komitmen untuk menghasilkan proses pembelajaran (commitment to the growth of people), (10) serius dalam upaya pembentukan dan pengembangan komunitas (building community).
2.4 Kerangka Pikir 2.4.1 Hubungan antara Kepemimpinan Melayani Kepala Sekolah dengan Kinerja Mengajar Guru Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin di satuan pendidikan yang merupakan pemimpin formal, artinya
dia
diangkat
secara
formal
(Formally
Designated Leader) oleh organisasi yang bersangkutan 29
atau
organisasi
yang
menjadi
atasannya.
Kepala
sekolah sebagai pemimpin menjadi mediator untuk mewujudkan adanya kemampuan untuk menggerakkan, membimbing, memimpin dan memberi kegairahan kerja terhadap orang lain. Kepala sekolah adalah orang yang dapat mempengaruhi, menggerakkan, menumbuhkan perasaan ikut serta dan tanggung jawab, memberikan fasilitas, teladan yang baik serta kegairahan kerja terhadap orang lain. Kepala sekolah yang menerapkan kepemimpinan melayani dengan baik dapat mendorong kinerja bawahannya sesuai tugas dan perannya masing-masing. Kepemimpinan yang melayani memiliki kelebihan karena hubungan antara pemimpin (leader) dengan pengikut (followers) berorientasi pada sifat melayani dengan standar moral spiritual. Dengan adanya kepemimpinan yang melayani maka para pengikut memiliki komitmen penuh dalam bekerja untuk mencapai tujuan organisasi dan keberhasilan pemimpin (Musakabe, 2009). Temuan penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Hsu (2007) menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kepemimpinan melayani dan efisiensi mengajar guru sekolah dasar. Demikian halnya dengan temuan Metzcar (2008) yang menemukan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kepemimpinan melayani dan efektivitas mengajar di ruang kelas. 30
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1
: Ada hubungan yang positif dan signifikan antara
kepemimpinan
melayani
kepala
sekolah dengan kinerja mengajar guru. 2.4.2 Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Kinerja Mengajar Guru Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang
(pegawai)
terhadap
pekerjaannya,
hal
ini
nampak dari sikap pegawai terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Kepuasan kerja memiliki dampak yang penting dalam meningkatkan kinerja pegawai (Kanina, 2005). Pegawai yang mempunyai tingkat kepuasan kerja yang tinggi biasanya akan memperlihatkan kinerja yang juga tinggi sebaliknya pegawai yang tingkat kepuasan kerjanya rendah umumnya akan memperlihatkan kinerja yang rendah. Temuan penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Haryono (2008) menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dan kinerja mengajar guru SMK Bantul. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 :
Ada hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan kinerja mengajar guru.
31
2.5 Model Penelitian Berdasarkan kajian teoritis maka model penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Model Hubungan antara Variabel Penelitian
X1 Y X2
Keterangan:
32
X1
= Kepemimpinan Melayani Kepala Sekolah
X2
= Kepuasan Kerja Guru
X1 X2
= Kepemimpinan Melayani Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja Guru
Y
= Kinerja Mengajar Guru