BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1 Media Massa Perkembangan media massa tidak terlepas dari seluk beluk ilmu komunikasi yang pada hakekatnya bertujuan untuk menyampaikan pesan, dan akan menjadi komunikasi yang efektif apabila hingga ketahap merubah perilaku, ada beberapa pakar psikologi memandang bahwa pesan-pesan yang diterima pancaindera manusia selanjutnya diproses dalam pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap
sesuatu,
sebelum
dinyatakan
dalam
tindakan
(Cangara
2012:122). Media massa juga merupakan institusi yang berperan sebagai
agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan (Bungin 2008: 85), dan media massa dalam kinerjanya menggunakan peralatan teknis atau mekanis/mekanik seperti radio, televisi, surat kabar dan lain – lain (Cangara:134). Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Dan juga media kerap menjadi sumber yang cukup dominan bahkan sumber yang akurat bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat secara kolektif (Mcquail 2011:27). Kemudian dari hal tersebut dapat terlihat media massamampuuntuk memberikan dampak kedalam ranah kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya (Wiryanto:2005:15). Setelah itu media massa dalam setiap penyampaian pesannya, melalui sebuah proses komunikasi, sehingga membuatnya lazim disebut sebagai komunikasi massa. Komunikasi massa adalah penyebaran pesan dengan menggunakan media yang ditujukan kepada massa yang abstrak, yakni sejumlah orang yang tidak tampak oleh si penyampai pesan. Semisal, penikmat informasi melalui media cetak surat kabar tidak tampak oleh si komunikator. Dengan demikian bisa ditekankan mengenai
komunikasi massa, bahwa komunikasi melalui media massa sifatnya “satu arah” (one way trafic) (Efendy 2005:22-25). Serta McQuail menyebutkan
pula komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang melainkan sebuah organisasi formal. Komunikasi massa menciptakan pengaruh secara luas dalam waktu singkat kepada banyak orang serentak (Mcquail 2011:32). Secara umum, media massa bisa disimpulkan sebagai perangkat komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, luas dan cepat kepada khalayak yang dilatar belakangi dengan sebuah kepentingan ataupun agenda tertentu sehingga dapat menimbulkan dampak tertentu dalam ranah politik,ekonomi, sosial dan budaya di dalam sebuah masyarakat. Adapun bentuk media massa antara lain media elektronik, media cetak dan internet. Secara lebih spesifik media massa dalam konteks jurnalistik pada dasarnya terbatas pada tiga jenis media, pertama media cetak, yang terdiri dari surat kabar, tabloid, majalah, buletin/jurnal dan sebagainya. Kedua media elektronik, yang terdiri dari radio dan televisi. Ketiga media online, yaitu media internet seperti website, blog dan lain sebagainya (Yunus, 2010: 27). 2.2 Berita Dalam pandangan Maeseneer, berita didefinisikan sebagai sebuah informasi baru tentang kejadian yang baru, penting dan bermakna (significant), yang berpengaruh pada para pendengarnya serta relevan/penting dan layak dinikmati oleh mereka, dengan mengandung beberapa unsur seperti, bermakna dan berpengaruh, menyangkut hidup orang banyak, dan menarik (Olii, 2007: 27). Walter Lippman memfokuskan hakikat suatu berita pada proses pengumpulan berita, yang dipandang sebagai upaya menemukan isyarat jelas yang objektif yang memberikan arti pada suatu peristiwa (McQuail, 2011: 190). Setelah itu bagi Assegaf
berita berkaitan dengan sebuah informasi yang menarik perhatian
masyarakat yang disusun sedemikian rupa dan disebarluaskan secepatnya, sesuai periode yang ditentukan oleh media yang bersangkutan (Assegaf dalam Mondry,2008:83). Dengan adanya media massa yang menyebarkan berita kepada masyarakat secara cepat, media secara tidak langsung juga mengajarkan kepada
khalayak tentang apa yang mereka butuhkan melalui informasi tersebut. Hampir senada dengan pernyatan Spencer bahwa berita merupakan kenyataan atau ide yang benar dan dapat menarik perhatian sebagian besar pembaca. Dalam kerja media, peristiwa tidak dapat langsung disebut sebagai berita, tetapi dia harus dinilai terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut mempunyai nilai berita. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai sebuah berita, meliputi : (Lihat dalam Sumadiria, 2005:80-84)
Keluarbiasaan (unusualness), dalam pandangan jurnalistik, berita bukanlah suatu peristiwa biasa. Berita adalah suatu peristiwa luar biasa (news is unusual). Lord menegaskan (Mot, 1958 dalam Sumadiria, 2005:81), apabila ada orang digigit anjing maka itu bukanlah berita, tetapi sebaliknya apabila orang menggigit anjing maka itulah berita. Prinsip seperti itu hingga kini masih berlaku dan dijadikan acuan para reporter dan editor.
Kebaruan (newness), Suatu berita akan menarik perhatian apabila informasi yang dijadikan berita itu merupakan sesuatu yang baru. Semua media akan berusaha memberitakan informasi tersebut secepatnya, sesuai dengan periodesasinya.
Memiliki akibat (impact), berita merupakan segala sesuatu yang berdampak luas. Suatu peristiwa tidak jarang menimbulkan dampak besar dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh ialah berita kenaikan BBM yang akan berakibat pada kenaikan harga sembako dan kecenderungannya akan diikuti oleh kenaikan harga yang lain-lain.
Aktual (timeliness), berita merupakan peristiwa yang sedang atau baru terjadi. Secara sederhana aktual berarti menunjuk pada peristiwa yang baru atau yang sedang terjadi. Sesuai dengan definisi jurnalistik, media massa haruslah memuat atau menyiarkan berita-berita aktual yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Kedekatan (proximity), kedekatan yang mengandung dua arti yaitu kedekatan geogarfis dan kedekatan psikologis. Kedekatan geografis
menunjuk pada suatu peristiwa yang terjadi di sekitar tempat tinggal khalayak. Semakin dekat suatu peristiwa yang terjadi dengan domisili suatu khalayak, maka akan semakin tertarik khalayak itu untuk menyimak dan mengikutinya, semisal, khalyak/orang-orang yang berada di sekeliling kota Solo (Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Kartosuro) akan lebih tertarik untuk menikmati berita yang berkaitan dengan peristiwa besar dikota Solo ketimbang menikmati berita peristiwa dari daerah lain. Sedangkan kedekatan psikologis lebih banyak ditentukan oleh tingkat keterikatan pikiran, perasaan, atau kejiwaan seseorang dengan suatu objek peristiwa atau berita.
Informasi (information) Menurut
Wilbur
Schramm,
informasi
adalah
segala
yang
bisa
menghilangkan ketidakpastian. Tidak setiap informasi mengandung dan memiliki nilai berita. Setiap informasi yang tidak memiliki nilai berita, menurut pandangan jurnalistik tidak layak untuk dimuat, disiarkan atau ditayangkan media massa. Hanya informasi yang memiliki nilai berita atau memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media.
Konflik (conflict), konflik atau segala sesuatu yang mengandung hal yang sarat dengan dimensi pertentangan. Konflik atau pertentangan merupakan sumber berita yang tak pernah kering dan tak akan pernah habis. Selama orang menyukai dan menganggap penting olah raga, perbedaan pendapat dihalalkan, demokrasi dijadikan acuan, kebenaran masih diperdebatkan, peperangan masih terus berkecambuk di berbagai belahan bumi, dan perdamaian masih sebatas perbincangan, selama itu pula konflik masih akan tetap menghiasi halaman surat kabar, radio dan televisi maupun berita online.
Orang Penting (news maker, prominence),berita sangat identik dengan orang penting, orang-orang ternama, pesohor, selebriti, publik figur. Baik ucapan ataupun tingkah lakunya bisa menjadi berita, bahkan hanya namanya saja bisa dijadikan berita. Nama dari orang penting bisa untuk
menciptakan berita (names makes news). Di Indonesia, apa saja yang dikatakan dan dilakukan bintang film, bintang sinetron, penyanyi, pembawa acara, pejabat, dan bahkan para koruptor sekalipun, selalu dikutip pers. Kehidupan para publik figur memang dijadikan ladang emas bagi pers dan media massa terutama televisi.
Kejutan (suprising), kejutan berkaitan terhadap sesuatu yang datangnya tiba-tiba di luar dugaan, tidak direncanakan, di luar perhitungan, tidak diketahui sebelumnya. Kejutan bisa menunjuk pada ucapan dan perbuatan manusia. Bisa juga menyangkut binatang dan perubahan yang terjadi pada lingkungan alam, benda-benda mati,semuanya bisa mengundang dan menciptakan informasi.
Ketertarikan manusiawi (human interest), terkadang sebuah peristiwa yang diberitakan tak menimbulkan efek berarti pada seseorang, sekelompok orang, atau bahkan lebih jauh lagi pada suatu masyarakat tetapi telah menimbulkan getaran pada suasana hati, suasana kejiwaan, dan alam perasaannya. Hanya karena naluri, nurani dan suasana hati kita merasa tersentuh, maka peristiwa itu tetap mengandung nilai berita.
Seks (sex), hal yang berkaitan dengan kaum Hawa memiliki fetisisme tersendiri sehingga membuatnya menarik dan menjadi sumber berita. Di berbagai belahan dunia, perempuan dengan segala aktifitasnya selalu layak muat, layak siar, layak tayang. Segala macam berita tentang perempuan, tentang seks, memiliki banyak peminat, dinanti dan bahkan dicari.
Kemudian didalam sebuah informasi yang memiliki nilai-nilai berita dan siap untuk disebarkan/pemberitaan biasanya terdapat unsur-unsuryang terkait (Mondry, 2008: 141) :
Keakuratan/akurat, Suatu berita harus ditulis dengan cermat, baik data seperti angka dan nama maupun pernyataan.
Kelengkapan/lengkap,penulisan berita sudah seharusnya lengkap, utuh, serta tidak meninggalkanfaktor penting dalam sebuah peristiwa sehingga
pihak lain dapat memahami tentang informasi yang disampaikan dengan sahih.
Kronologis/runtut, suatu berita sebaiknya ditulis berdasarkan waktu peristiwa agar urutannya jelas dan lancar, tidak membingungkan penikmat berita.
Magnitude(daya tarik), berita lazim ditulis dengan mempertimbangkan unsur daya tariknya. Bila daya tarik informasi yang diperoleh sedikit, makan kecenderungannya ialah informasi itu tidak layak dijadikan sebuah berita.
Balance (berimbang), penulisan berita dalam konten isi biasanya dituntut untuk tetapseimbang. Artinya, dalam penyajian berita tidak ada unsur keberpihakan pada satu pihak tertentu. Sehingga berkaitan dengan keobjektifitasan sebuah media massa dalam memberitakan suatu hal.
Dari beberapa penjabaran diatas mengenai berita, memungkin untuk disimpulkan secara umum bahwa berita merupakan sebuah bagian dari media massa yang telah disusun secara sistematis yang disebarkan dengan cepat dalam periode waktu tertentu baik dalam bentuk surat kabar, radio, televisi maupun online. Yang didalamnya memiliki informasi penting mengenai sebuah peristiwa ataupun kejadian, dengan bentuk penyajian secara aktual, menarik, dan akurat, serta berita mampu untuk memberikan arti/maknaterhadap suatu peristiwatertentu, sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap para penikmatnya.
2.3 Bahasa Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana,2008:24). Serta menurut pernyataan Spradley, (dalam Sobur, 2006:273), bahasa juga dapat menjadi alat untuk menyusun realitas. Sehingga dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalahunsur utama, bagi Berger dan Luckmann realitas sosial dapat dibentuk melalui sebuah kata-kata, atau konsep,
atau bahasa sertakonstruksi sosial dan tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Sobur,2009:91). Selanjutnya bahasa dipandang sebagai alat konseptualitas, terutama dalam media massa,dan membuat bahasa yang digunakan dalam media massa bukan lagi sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas semata, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) yang akan muncul di dalam di benak/persepsi
khalayak
(Sudibyo, 2001:70). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah "cerita". Sebuah media massa juga mempunyai peluang untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya. Selain itu dalam mengkonstruksi sebuah realitas, media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realitas (Fiske, 1990 dalam Sobur, 2009 : 93). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan secara ringkas bahwa didalam sebuah sistem komunikasi,bahasa merupakan instrumen yang signifikan, dimana bahasa memiliki peran sentral pada di setiap tahapan antara komunikator dan komunikan, atau antara pengirim pesan dan penerima pesan sehingga sebuah proses komunikasi bisa terjalin. Dan bahasa dalam konteks kemediaan bisa dipandang sebagai sebuah alat untuk menggambarkan realitas, menentukan citra yang mungkin muncul di masyarakat sehingga membentuk kontruksi realitas. Serta konstruksi realitas yang muncul, semisal dalam berita, pada tahap prosesnya itu merupakan sebuah upaya “menceritakan” (konseptualisasi) dari sebuah peristiwa, atau keadaan yang bisa memberikan efek berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial maupun budaya terhadap masyarakat. Sehingga hal tersebut membuat berita yang disampaikan oleh media dapat membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Jadi dengan demikian isi media adalah realitas yang dikonstruksikan dalam bentuk wacana yang memiliki makna. 2.4. Kekerasan Dari masa ke masa, perubahan-perubahan masyarakat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kekerasan sering kali pula tidak mudah diidentifikasi
karena mungkin ada struktur organisasi penggeraknya yang bermain di belakang layar. Dalam kata lain, kekuatan penggeraknya tidak berada di lapangan sehingga kekerasan yang terjad tampak seperti spontan belaka. Biasanya, sebabnya selalu didominasi oleh faktor konflik atau persaingan kepentingan di sektor politik (kekuasaan) dan ekonomi, selain karena ditimbulkan juga dari faktor ketidak mampuan negara menegakkan keadilan sosial. Kekerasan seakan sudah mengakar, bahkan kadang kekerasan dipandang sebagai sebuah alternatif terbaik untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Tanpa menyadari bahwa satu kekerasan, akan memunculkan kekerasan yang lain (Camara 2000:30-38). Kekerasan diartikan sebagai “suatu sifat atau hal yang keras; kekerasan diartikan; paksaan,”. Sedangkan “paksaan” berarti suatau tekanan, desakan yang amat keras. Moore dan Fine (lihat dalam Koeswara, 1988:5), menjelaskan kekerasan sebagai tindakan sengaja untuk mencederai secara fisik ataupun secara verbal.Ruang lingkup kekerasan nonfisik tidak mempunyai batasan yang jelas seperti kekerasan fisik yang bisa kita lihat secara visual. Nitibaskara mengartikan kekerasan (violence) sebagai serangan secara fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, pengerusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang berpotensi menjadi milik seseorang. Selain itu menurut Nitibaskara, selain kekerasan fisik, juga ada kekerasan psikologis; salah satunya melalui rekayasa bahasa berbentuk stigma-stigma (Nitibaskara, 2001:90-91). Mungkin sebagai contoh ialah semisal pelaku A berbicara dengan kata yang mengandung makna tertentu yang mungkin menyakitkan kepada B, dan B kemudian merasa tersakiti perasaanya, maka A dapat dikatakan telah melakukan kekerasan nonfisik, walaupun A tidak merasa telah melakukan kekerasan atau menyakiti B. Kemudian apabila melihat penyebab kekerasan menurut bahasa Erich Fromm, kekerasan memilki akar utama yang erletak pada manusia secara individual. Kekerasan tidak berakar dari sebuah insting selayaknya yang terdapat pada hewan. Kekerasan identik dengan agresi, Berkowitz (1987), berpendapat bahwa agresi adalah suatu bentuk perilaku yang mempunyai niat tertentu untuk melukai secara fisik atau psikologis pada diri orang lain (dalam Koeswara
1988:1). Lalu Fromm mengungkapkan tentang agresi yang merupakan segala tindakan yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan kerugian pada orang lain, binatang, atau benda mati yang bertujuan untuk mempertahankan hidup. Agresi tersebut dapat muncul akibat frustasi, yang dimaksudkan frustasi disini ialah penolakan atau bentuk penolakan yang terjadi terhadap situasi tertentu (Fromm 2010: 82-84). Dengan contoh, misalnya seorang yang rakus, dia akan marah bila dia tidak mendapat semua makanan yang dia inginkan. Kemudian setelah itu agresi dibedakan menjadi dua, berdasarkan faktor pendorongnya, antara lain ialah agresi lunak dan agresi jahat (Fromm 2010 : 260-385). 1. Agresi lunak bersifat adaptif biologis, merupakan respon terhadap bahaya yang mengancam kepentingan hayati, terprogram secara filogenetik, tidak bersifat spontan namun reaktif dan defensif bertujuan menghilangkan ancaman, baik dengan menghindari maupun dengan menghancurkan sumbernya. Dengan beberapa sifat dan pengaruh kondisi yaitu :
Agresi semu, merupakan wujud tindakan-tindakan yang dapat, namun tidak dimaksudkan untuk, menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Agresi permainan, bertujuan mempraktekan kemahiran, tidak bertujuan menghancurkan/melukai, serta tidak didorong oleh faktor kebencian. Seperti permainan memanah atau pertarungan pedang yang dulunya beresensi untuk membinasakan musuh, kini hanya sebatas sebuah olahraga dan seni.
Agresi penegasan diri, berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan tanpa perasaan segan, ragu ataupun takut berkaitan dengan eksistensi. Dan konsep agresi ini didukung dengan pengamatan kaitan antara hormon jantan dengan agresi yang mana hormon jantan memiliki stimulasi kuat untuk berkelahi, namun bukan syarat mutlak untuk timbulnya perilaku ini.
Agresi defensif, berkaitan dengan stimulus mempertahankan diri, dengan tujuan menghilangkan bahaya untuk tetap menjaga kelangsungan hidup dan tidak untuk menghancurkan. Bila tujuan
ini dicapai, agresi tersebut berserta emosinya akan lenyap. Semisal, terkait di dalam hasrat untuk mencari makan atau tempat tinggal. Dalam prakteknya, agresi ini bertanggung jawab atas sebagian besar dorongan agesif manusia. Serta agresi ini memiliki beberapa sumber yang mempengaruhi yaitu : Kebebasan, ancaman terhadap kebebasan dianggap penting dan paling membahayakan baik secara individu ataupun sosial. Dan ada banyak bukti bahwa hasrat akan kebebasan merupakan reaksi biologis dari organisme manusia. Narsisme, terlukainya perasaan narsistik. Konsep yang dirumuskan Freud berdasarkan teori libido, narsisme berkaitan dengan libido yang tidak berhasil diarah ke dunia luar telah diarahkan balik kepada ego, sehingga muncul sikap narsisme. Atau segala hal yang diorientasikan ke dalam diri sendiri. Sebagai contoh dikalangan pemuka politik, narsisme kerap dijumpai, sikap ini boleh dianggap sebagai kelemahan atapun kelebihan bagi mereka yang mendapatkan atau memperoleh kekuasaan berdasarkan kharismanya di mata khalayak ramai. Perlawanan, ialah sumber lain agresi defensif yang diaangap penting ialah agresi sebagai reaksi terhadap segala upaya untuk memunculkan perlawanan dan cita-cita terpendam ke dalam kesadaran.
Agresi kompromis, terdiri dari berbagai tindakan agresi, tindakan agresi yang dilakukan oleh si pelaku bukan terdorong oleh nafsu destruktif
melainkan
karena
si
pelaku
diperintah
untuk
melakukannya serta ia merasa wajib menaati perintah itu. Sebagai contoh, perilaku para geng motor ataupun tentara dalam kesatuan militer banyak didapati tindak destruktif yang dilakukan demi menaati perintah.
Agresi instrumental, tentang agresi yang berkaitan dengan mendapatkan segala sesuatu yang diperlukan atau yang diinginkan, dan
yang
menjadi
tujuan
bukanlah
penghancuran
karena
penghancuran itu sendiri hanya menjadi sarana (instrumen) untuk mencapai tujuan yang sebenarnya. 2. Agresi Jahat bersifat non adaptif biologis, yakni kedestruktifan dan kekejaman, bukan merupakan pertahanan terhadap suatu ancaman, tidak terprogram secara filogenetik, ia menjadi hanya menjadi ciri khas manusia, dan secara biologis merugikan karena dapat mengacaukan tatanan sosial; perwujudan utamanya ialah pembunuhan dan penyiksaan, dalam prakteknya cenderung bisa dinikmati dan tanpa membutuhkan tujuan tertentu. Serta agresi jahat, meskipun bukan insting merupakan kecenderungan manusia yang berakar dari kehidupan sosialnya. Fromm juga menyatakan bahwa kedestruktifan manusia meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan peradaban, dan bukan sebaliknya. Selanjutnya apabila dilihat dalam tingkatan yang lebih luas dan lebih sistematis mengenai kekerassan, terjadinya berbagai tindak kekerasan di tengah suatu masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari peran negara didalamnya karena memahami definisi negara serperti yang diungkap Miriam Budiarjo, bahwan egara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) yang dimonopoli dari kekuasaan yang sah. Berkaitan dengan negara yang memiliki peran dalam sebuah praktik kekerasan negara tokoh yang membenarkan akan adanya kekerasan negara ialah Thomas Hobbes (1588-1679) yang menganjurkan negara harus tampil sebagai kekuatan raksasa yang bersikap keras terhadap warganya. Negara Hobbesian menjelmakan diri sebagai Sang Leviathan yang hanya dengan pengerahan
teknik
teror
yang
sistematis,
negara
bisa
menundukkan
warga,berkaitan dengan menjaga ketertiban sosial yang ada (dalam Windhu, 1992: 31).Dan Max Weber negara adalah komunitas manusia yang (sukses) mengklaim memonopoli penggunaan kekerasan fisik yang sah dalam wilayah tertentu. Weber
mengutip pernyataan yang dikemukakan Leon Trotsky (1879-1940): “Setiap negara didirikan di atas paksaan”. Apabila tidak ada lembaga-lembaga sosial yang bereksistensi tanpa kekerasan, maka konsep negara tereliminasi (dalam Windhu, 1992: 32). Lalu setelah itu masih mengenai kekerasan negara, Johan Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga) yaitu :(Galtung 2003:435)
Kekerasan langsung, kekerasan langsung cenderung mewujud dalam perilaku (misal : permbunuhan, penyiksaan, intimidasi).
Kekerasan struktural, kekerasan struktur atau kekerasan yang melembaga mewujud dalam sebuah konteks, sistem, dan struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan.
Kekerasan kultural, kekerasan kultural mewujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat misalnya, perspektif akan kebencian, ketakutan, rasisme, ketidak toleranan.
Yang dimana ketiga kekerasan tersebut bisa saling berkaitan antara kekerasan langsung menjadi sebuah peristiwa, kekerasan struktural adalah sebuah proses, sedangkan kekerasan kultural adalah sebuah sesuatu yang bersifat permanen. Serta Johan Galtung juga membagi kekerasan berdasarkan sifatnya, Menurut sifatnya kekerasan ada dua yaitu kekerasan personal dan kekerasan struktural. Kekerasan
personal
memiliki
atau
bersifat
dinamis,
mudah
diamati,
memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Kekerasan struktural mengambil bentuk-bentuk seperti eksploitasi, fragmentasi masyarakat, rusaknya solidaritas, penetrasi kekuatan luar yang menghilangkan otonomi masyarakat, dan marjinalisasi masyarakat sehingga meniadakan partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan nasib mereka sendiri. Kekerasan struktural ini juga menimbulkan kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, ketidakadilan sosial, dan alienasi atau peniadaan individual karena proses penyeragaman warga negara (Galtung 2003:438) Dan dari penjabaran diatas, teori yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah teori milik Erich Fromm mengeai akar kekerasan berkaitan dengan agresi
lunak dan agresi jahat. Serta teori tipologi kekerasan milik Johan Galtung yang didalamnya ada istilah kekerasan struktural supaya dapat menjelaskan mengenai kekerasan negara dalam penelitian ini. 2.5Analisis Wacana Kritis Menurut Douglas dalam Mulyana (2005:3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana. Hampir serupa dengan pendapat Douglas, menurut KBBI kata wacana berasal dari kata vacana ‘bacaan’ dalam bahasa Sansekerta. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru wacana atau vacana atau’ bicara, kata, ucapan’. Serta Analisis wacana berkaitan erat dengan isi pesan komunikasi. Analisis wacana berfungsi untuk melacak variasi cara yang digunakan oleh komunikator dalam upaya mencapai tujuan atau maksud tertentu melalui pesan berisi wacana tertentu yang disampaikan. Hal ini mencakup berbagai hal misalnya, bagaimana proses simbolik digunakan khususnya terkait dengan kekuasaan, ideologi dan lambanglambang bahasa serta apa fungsinya (Pawito, 2007: 175). Analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa; batasanbatasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis (AWK) (Eriyanto, 2001:7). Serta terdapat lima karakteristik penting dari analisis wacana kritis (Eriyanto, 2001:8-14)
Tindakan, prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tidakan (action). Dengan pemahaman semacam ini wacana ditempatkan sebagai bentuk interaksi, wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup internal. Bahwa seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Selain itu wacana dipahami sebagai sesuatu bentuk ekspresi sadar dan terkontrol, bukan sesuatu diluar kendali ataupun ekspresi diluar kesadaran.
Konteks, analasis wacana kritis memperhatikan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Lalu wacana dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Wacana dianggap dibentuk sehingga harus ditafsirkan dalam situasi dan kondisi yang khusus. Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu, bahwa wacana berada dalam situasi sosial tertentu.
Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana dalam konteks historis tertentu.
Kekuasaan, analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam analisisnya. Bahwa setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat.
Ideologi, ideologi juga konsep yang penting dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis
wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks yang mencerminkan suatu pandangan akan realitas sosial. Serta AWK memiliki agenda untuk mengungkap ‘yang tersembunyi’ di balik sebuah wacana/diskursus tertentu. 2.5.1 Analisis Wacana Kritis Model Teun Van Djik
Analisis wacana model Van Dijk merupakan salah satu analisis wacana kritis yang menggabungkan elemen-elemen wacana sehingga bisa dimanfaatkan secara praktis. Model Van Dijk ini sering disebut sebagai kognisi sosial. Menurut Van Dijk penelitian analisis wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi (Sobur 2009: 75). Pemahaman akan produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan berkaitan dengan sebab sebuah teks bisa demikian, disini Van Dijk juga melihat bagaimana tatanan sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentukdan berpengaruh terhadap teks-teks tertentu (Eriyanto 2001 : 220-222). Dalam analisis wacana yang digambarkan Van Dijk ada tiga dimensi/ bangunan yaitu teks, kognisi sosial dan analisis sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi tersebut dalam satu kesatuan analisis (Eriyanto 2001 : 225). Dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu atau teks terdiri dari beberapa struktur atau tingkatan yang masing-masing saling mendukung. Ia membanginya pada beberapa elemen wacana. Yang didalamnya berkaitan dengan struktur wacana, merupakan cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. Kata-kata tertentu mungkin dipilih untuk tujuan tertentu atau mempertegas pilihan dan sikap, dan bahkan membentuk kesadaran politik. Berikut uraian lengkap elemen wacana Van Dijk.
TABEL 2.5.1.1 Elemen Wacana Van Dijk Struktur wacana
Struktur makro
Hal Yang Diamati Tematik Tema/ topik yang dikedepankan dalam berita
Elemen
Topik
Superstruktur
Skematik Bagaimana bagian dan
Skema
urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh Semantik Makna yang ingin ditekankan, misal dengan memberikan detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi detil sisi lain. Struktur mikro
Sintaksis Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih. Stilistik Bagaimana pilihan kata
Latar, detil, maksud, pra-anggapan, nominalisasi
Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti
Leksikon
yang dipakai dalam teks berita Retoris Bagaimana cara
Grafis, metafora, ekspresi
penekanan dilakukan. (Sumber dari Eriyanto 2001:225)
Dalam pandangan Van Dijk, segala teks bisa dianalisis dengan menggunakan elemen tersebut. Meski terdiri dari berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lain. Menurut Littlejohn (Eriyanto,2001:226) antara bagian teks dalam model Van Dijk dilihat saling mendukung, dan mengandung arti yang koheren satu sama
lain, karena semua teks dipandang Van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Prinsip ini untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan satu persatu elemen wacana Van Dijk tersebut : 1. Tematik, ialah gagasan inti, ringkasan utama teks dan menggambarkan apa yang ingin diungkapkan wartawan dalam berita. Topik menunjukkan konsep dominan, sentral dan paling penting dari teks. 2. Skematik, skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti. 3. Latar, bagian yang dapat mempengaruhi arti yang ingin disampaikan. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa dan bisa menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam teks. Lewat latar dapat dibongkar apa maksud yang hendak disampaikan dan menganalisis maksud tersembunyi yang sesungguhnya ingin dikemukakan dalam teks. 4. Detil, berkaitan dengan kontrol informasi yang disampaikan. Komunikator atau penulis akan menyampaikan informasi yang menguntungkan pihaknya dan sebaliknya akan menyembunyikan atau meminimalkan informasi yang merugikan. Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan atau reporter mengeskpresikan sikapnya secara implisit. 5. Maksud, menunjukkan bagaimana kebenaran tertentu ditonjolkan secara eksplisit dan secara implisit mengaburkan kebenaran yang lain. 6. Koherensi, pertalian atau jalinan antar kata atau antar kalimat dalam teks, dua fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak berhubungan. Koherensi melihat bagaimana sseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa, apakah dipandang sebagai peristiwa terpisah, berhubungan atau justru sebagai sebab akibat. 7. Koherensi kondisional, antara lain ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Kalimat kedua merupakan penjelas dari kalimat pertama yang dihubungkan dengan kata hubung (konjungsi) seperti “yang” dan
“dimana”. Sebagai penjelas, ada tidaknya kalimat kedua sebenarmya tidak mengurangi arti kalimat. Anak kalimat adalah cermin kepentingan komunikator sebab bisa memberi keterangan yang baik atau buruk terhadap suatu pernyataan. 8. Koherensi pembeda, berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan berseberangan. Jika koherensi kondisional melihat bagaimana dua peristiwa dihubungkan, koherensi pembeda melihat bagaimana dua kalimat dibedakan. 9. Pengingkaran, bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang akan diekspresikan secara implisit. Pengingkaran menunjukkan seolah wartawan menyetujui sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuannya tersebut. 10. Bentuk kalimat, merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, prisnsip kausalitas. Tidak hanya persoalan teknis di ketatabahasaan tapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat itu. Dalam kalimat aktif seseorang menjadi subyek pernyataannya, sedang dalam kalimat pasif seseorang menjadi obyek pernyataannya. 11. Kata ganti, elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukan dimana posisi seseorang dalam wacana. Kata ganti dipakai komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana. Prinsipnya, kata ganti dipakai untuk merangkul dukungan dan menghilangkan oposisi yang ada. Misalnya kata ganti “kami” atau “kita” bisa menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik serta mengurangi kritik dan oposisi kepada diri sendiri. 12. Leksikon, menandakan bagaimana pemilihan kata dilakukan atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata yang dipakai menunjukan sikap dan ideologi tertentu. Pemilihan kata secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.
13. Pra-anggapan, merupakan pernyataan yang dipakai untuk mendukung makna suatu teks. praanggapan merupakan upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Praanggapan umumnya didasarkan pada ide common sense. 14. Nominalisasi, berkaitan atau berhubungan dengan pertanyaan apakah wartawan memandang obyek sebagai suatu kelompok. 15. Grafis, elemen untuk memeriksa apa yang ditekankan dan dianggap penting dalam teks. Grafis biasaya muncul lewat bentuk tulisan yang berbeda dengan tulisan lain, huruf tebal, tanda petik, tabel, angka, grafik serta gambar. Grafis menunjukkan bagian mana yang harus mendapat perhatian dan dianggap penting. 16. Metafora, penyampaian pesan melalui kiasan atau ungkapan atau peribahasa. Metafora sebagai hiasan dari suatu berita yang sapat menjadi penunjuk utama untuk mengerti makan suatu teks. Serta alasan pembenaran atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Setelah itu mengenai dimensi kedua adalah kognisi sosial, yang menganalisis bagaimana kognisi sang komunikator dalam memahami seseorang atau sebuah peristiwa tertentu yang akan ditulis kedalam sebuah teks. Dalam pandangan Van Dijk, kognisi sosial terutama dihubungkan dengan proses produksi berita. Proses produksi teks tidak hanya bermakna bagaimana suatu teks dibentuk, proses ini juga memasukan informasi yang digunakan untuk menulis dari suatu bentuk wacana tertentu (Eriyanto, 2001:266). Kemudian dimensi ketiga dari analisis van Dijk adalah analisis sosial, yang menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat. Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal tertentu diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:271). Untuk menjawab rumusan masalah yang ada dari penelitian ini, tentang wacana dari berita Metro Realitas bertema Dilema Petani Di Tanah Sengketa,
digunakan analisis struktur teks van Dijk (dimensi pertama) yang terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang saling mendukung, seperti diuraikan diatas. Lalu kemudian digunakan kognisi sosial (dimensi kedua) dan analisis sosial (dimensi ketiga) sehingga wacana dapat muncul. Ketiga dimensi yang digambarkan van Dijk ini digunakan sebagai alat penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang diuraikan berdasar latar belakang penelitian seperti yang tertulis di bab pendahuluan. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi diatas dalam satu kesatuan analisis.
2.6Kerangka Pikir Penelitian METRO TV
Berita Metro Realitas Edisi 07/07/2014, Bertemakan “Dilema Petani Di Tanah Sengketa”
Teori AWK Van Djik Dimensi Teks Dimensi Kognisi Sosial Deimensi Analisis Sosial
Wacana Kritis Teori Akar Kekerasan Erich Fromm Agresi Lunak Agresi Jahat Teori tipologi kekerasan Johan Galtung Kekerasan Langsung Kekerasan Struktural Kekerasan Kulrutal
Pada Tanggal 07/07/2014 media Metro Tv menyiarkan berita mengenai “Dilema Petani Di tanah Sengketa” yang disiarkan melalui program acara Metro Realitas. Melalui bingkai analisis wacana kritis Van Djik peneliti akan mencoba melihat wacana kritis di balik berita tersebut, yang akan dikaitkan dengan teori agresi Erich Fromm yang kemudian akan dikaitkan kembali menggunakan tipologi kekerasan Johan Galtung guna melihat keterkaitan wacana berita tersebut dengan kekerasan negara.