BAB II LANDASAN TEORITIS
A. GRIEF 1. Definisi Grief Menurut Rando (1984), grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss). Sanders (1998) menambahkan bahwa grief adalah penderitaan yang emosional yang kuat dan mendalam, yang dialami seseorang akibat peristiwa kehilangan seperti kematian orang yang dicintai. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa grief adalah proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik seseorang sebagai akibat dari persepsi terhadap kehilangan. Dalam penelitian ini, kehilangan dimaksudkan pada kematian anak.
2. Karakteristik Grief Menurut Rando (1984), ada beberapa karakteristik grief, yaitu: a. Diwujudkan dalam bagian-bagian psikologis, sosial, dan fisik. b. Merupakan suatu perkembangan yang terus-menerus termasuk perubahanperubahan yang terjadi selama proses tersebut berlangsung. c. Terjadi secara alami, merupakan reaksi yang tidak diharapkan. d. Merupakan reaksi terhadap pengalaman dari banyaknya jenis kehilangan (loss), tidak hanya kematian. e.
Bersifat unik, didasarkan pada persepsi individual terhadap kehilangan (loss) oleh seseorang yang mengalami grief. Hal ini berarti, tidak diperlukan
Universitas Sumatera Utara
adanya pengakuan atau validasi dari orang lain terhadap kehilangan (loss) agar seseorang mengalami grief.
B. FASE GRIEF Menurut Sanders (1992), ada 5 (lima) fase berbeda yang ada pada saat berduka. Fase ini tidak harus berawal dari satu titik, dan tidak harus melewati setiap proses secara berurutan. Individu bisa saja mengalami fase pertama, kemudian langsung mengalami fase keempat tanpa harus menjalani fase kedua dan ketiga. Individu juga bisa mengalami satu fase lebih dari satu kali. Tidak harus semua simptom dari fase tertentu dialami oleh individu, tetapi bisa saja hanya sebagian dari simptom tersebut. Dikatakan juga bahwa simptom dan intensitas grief berbeda pada tiap orang.
1.
Fase Pertama: Shock Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat pertama kali menyadari terjadinya kehilangan. Shock secara umum digunakan untuk menggambarkan sejumlah trauma yang derita. Secara natural, trauma ini bergantung pada banyak hal: bagaimana, kapan, dan dimana kematian itu terjadi. Jika kematian digambarkan terjadi dengan sangat cepat dan tiba-tiba, shock yang dialami oleh anggota keluarga mungkin akan lebih kuat. Kondisi dimana kematian terjadi akan mempengaruhi tingkat keparahan dan panjangnya waktu yang dibutuhkan pada fase shock.
Universitas Sumatera Utara
Fase shock memiliki beberapa karakteristik umum, yang dapat diidentifikasi sebagai: a. State of Alarm Ketika berada dalam keadaan shock, tubuh berada dalam keadaan tanda-tanda fisiologis yang kuat. Respon fisik ini adalah reaksi natural ketika perasaan aman sedang terancam. Ketika mengalami kehilangan (loss), reaksi yang dirasakan seperti perasaan takut dan kadang-kadang menjadi panik. Akibatnya, tubuh membentuk sebuah posisi pertahanan untuk melindungi diri. b. Ketidakpercayaan Ketidakpercayaan dan penolakan terjadi ketika dalam keadaan berduka karena kedua hal ini bertindak sebagai pertahanan. Kedua hal ini membantu untuk menjalani proses kehilangan (loss) yang sesungguhnya. Pada saat pertama kali mengalami grief, sangat tidak mungkin untuk berpikir tentang hal lain kecuali tentang kehilangan (loss). c. Confusion Mulai merasa kebingungan, tidak bisa mengingat apapun, sulit berkonsentrasi, menghilangkan benda-benda seperti kunci, kacamata, atau buku agenda, dan merasa sulit untuk mengambil keputusan. Reaksi ini sangat normal. Dunia seakan-akan telah hancur saat orang yang dicintai diambil. d. Restlessness Di awal masa duka, individu akan merasa resah dan gelisah. Meningkatnya tegangan pada otot-otot menyebabkan perpindahan tanpa
Universitas Sumatera Utara
sadar dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Individu sering terlihat berjalan mondar-mandir dari suatu ruangan ke ruangan yang lain tanpa suatu tujuan yang jelas. e. Feelings of Unreality Merasa bahwa keadaan yang dialami saat itu bukanlah suatu hal yang nyata. Ini merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi situasi emosi yang sangat menyakitkan. f. Helplessness Individu merasa membutuhkan pertolongan, karena peristiwa kehilangan merupakan suatu kejadian dalam hidup
yang dapat
menyebabkan individu sulit mengontrol diri, dan tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan untuk mengembalikan orang yang dicintai. Individu merasa seperti anak-anak kembali, serta membutuhkan bantuan orang lain untuk mengontrol diri sehingga dapat menjalani hidup secara wajar.
2.
Fase Kedua: Awareness of Loss Fase kedua ini ditandai dengan emosi yang tidak menentu setiap harinya. Saat bangun pagi individu merasa cemas dan merasa takut saat akan beranjak dari tempat tidur. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Ada beberapa karakteristik dari fase ini: a. Separation Anxiety
Universitas Sumatera Utara
Inidividu merasa takut akan bahaya, merasa tidak aman dan terjadi pergolakan batin dalam diri individu. Ada kecemasan yang berlebihan karena merasa kehilangan orang yang selama ini begitu dekat dan menjadi tempat individu bergantung baik secara fisik maupun psikologis. b. Conflict Rasa kehilangan dapat menimbulkan banyak konflik. Dari penelitian ditemukan bahwa banyak orang yang mengalami grief takut untuk tinggal sendiri tetapi juga ragu untuk tinggal dengan orang lain, disini terjadi konflik dalam diri orang tersebut. Konflik lain yang sering terjadi adalah antara adanya perasaan tidak rela akan kehilangan orang yang dicintai. c. Acting Out Emotional Expectations Orang yang mengalami grief, sering melakukan tindakan emosional secara tidak sadar, seperti marah tanpa alasan yang jelas. d. Prolonged Stress Individu memilih cara untuk mengeluarkan emosinya, baik dengan menangis, berteriak, ataupun memilih untuk menahan kesedihannya.
3.
Fase Ketiga: Conservation and the Need to Withdrawal Fase ini adalah fase dimana individu lebih suka menyendiri dan menarik diri dari pergaulan. Di fase ini, individu merasa sangat kelelahan, dan memerlukan istirahat dan pemulihan kembali. Berikut adalah karakteristik dari fase ini: a. Withdrawal and the Need to Rest
Universitas Sumatera Utara
Selama periode ini individu lebih suka menyendiri, menjauh dari teman-teman untuk dapat berpikir dan istirahat. b. Despair rather than depression Individu kehilangan harapan dan merasa putus asa karena menginginkan orang yang dicintainya dapat kembali seperti semula atau sebelumnya. c. Diminished Social Support Orang yang mengalami grief membutuhkan dukungan sosial sebanyak mungkin dan dalam jangka waktu yang lama untuk membantunya menjalani grief. d. Helplessness/Loss of Control Individu merasa membutuhkan pertolongan karena merasa tidak berdaya dan kehilangan kendali.
4.
Fase Keempat: Healing Pada fase ini, seseorang mulai mencoba keluar dari grief yang ia alami. Beberapa karakteristiknya adalah: a. Reaching a Turning Point Orang yang mengalami grief mulai memasuki proses pemulihan, tetapi sulit untuk menentukan kapan dan dimana seseorang mulai mengalami hal itu karena tidak ada peningkatan aktivitas secara tiba-tiba. Individu perlahan-lahan menyadari bahwa kekuatannya telah pulih dan ia melakukan lebih banyak kegiatan dan tidak mudah lelah seperti yang dialaminya pada waktu-waktu sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
b. Assuming Control Individu mulai dapat mengendalikan dirinya kembali setelah melewati peristiwa yang menakutkan, khususnya yang telah membuat perubahan secara drastis terhadap diri individu. Pada fase ini individu sangat takut untuk mengambil keputusan, terutama yang dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk sehingga ia lebih banyak diam dan tidak bertindak apapun. c. Relinquishing Roles Pembagian peran dalam keluarga, dimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda sehingga tercipta stabilitas dan keseimbangan dalam keluarga. Ketika keluarga ”kehilangan” salah satu anggotanya, terjadi perubahan keseimbangan sistem keluarga sehingga harus dilakukan penyesuaian kembali. Peranan itu harus digantikan anggota keluarga lain, misalnya: peran ayah diambil oleh anak laki-laki. Menyerahkan peran dan mendapat peran yang baru adalah hal yang paling berat yang dialami individu. d. Forming a New Identity Kematangan yang diperoleh ketika individu mampu untuk menerima tanggung jawab baru dan menjalani hidup yang berbeda yang lebih didasarkan pada keputusannya sendiri daripada pada keputusan yang diambil oleh orang lain. e. Centering Ourselves Individu tidak dapat memulai memperbaiki diri tanpa memusatkan perhatian pada dirinya terlebih dahulu. Tanpa proses pemusatan itu,
Universitas Sumatera Utara
individu tidak mengetahui bagaimana perasaannya sebenarnya, apa yang ia butuhkan untuk dirinya atau apa yang ingin dilakukan. Memusatkan perhatian pada diri bukan berarti lebih mengutamakan ego atau self centered, melainkan individu mencari pusat stabilitas dirinya. Individu harus yakin bahwa ia dapat membut keputusan terhadap dirinya sendiri berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilainya sendiri, bukan karena orang lain.
5.
Fase Kelima: Renewal Pada fase ini, seseorang mulai beradaptasi, menerima, dan belajar untuk menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang ia kasihi yang sudah meninggal dunia. Karakteristik fase ini adalah sebagai berikut: a. Renewing self awareness Setelah peristiwa grief, terjadi suatu proses transisi yang membawa individu dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Individu membutuhkan waktu untuk memproses hal-hal yang telah dialaminya, sebelum ia mampu menerima suatu hal yang baru. b. Accepting responsibility for ourselves Individu bertanggungjawab atas hidup dan nasibnya sendiri. c. Learning to live without Kehilangan anggota keluarga berarti adalah belajar untuk hidup tanpa mereka. Jika individu benar-benar ingin memulai suatu hidup yang baru, ia perlu mencari aktivitas lain untuk mengisi kekosongan di hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
C. FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI REAKSI GRIEF Ada beberapa faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi reaksi grief menurut Rando (1984), yaitu: 1.
Hubungan interpersonal antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang mengalami grief Kelekatan akan selalu mempengaruhi grief seseorang. Semakin lekat hubungan antara orang yang mengalami grief dengan orang yang sudah meninggal, maka grief akan lebih sulit diatasi.
2.
Peran dari orang yang telah meninggal di dalam keluarga Setiap anggota keluarga memainkan berbagai macam peran dalam sebuah unit keluarga. Kehilangan dihasilkan karena adanya peran yang tidak lagi dilakukan oleh anggota keluarga yang sudah meninggal. Adanya peran yang hilang di dalam keluarga, dan proses adaptasi terhadap peran dan tanggung jawab baru yang harus dijalani oleh orang-orang yang mengalami grief, adalah hal-hal yang mempengaruhi pengalaman grief seseorang.
3.
Pengalaman masa lalu seseorang terhadap kehilangan dan kematian Pengalaman masa lalu tidak hanya akan memberikan harapan, tetapi juga akan mempengaruhi strategi coping dan/atau mekanisme pertahanan yang digunakan oleh orang yang mengalami grief. Jika situasi yang sama terjadi sudah pernah terjadi sebelumnya, hal ini akan lebih mudah diatasi dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi pertama kali yang terasa asing.
4.
Latar belakang sosial, budaya, etnik, dan keagamaan/filosofis seseorang
Universitas Sumatera Utara
Respon seseorang terhadap kehilangan dan kematian secara umum menggambarkan norma, adat-istiadat, dan persetujuan dari lingkungan sosialbudaya. Keagamaan/filosofis seseorang secara signifikan mempengaruhi kepercayaan, makna, dan nilai yang dipegang oleh seseorang untuk hidup, mati, dan kehidupan setelah kematian.
Universitas Sumatera Utara