BAB II LANDASAN TEORITIS
A. E-Readiness 1. Definisi E-Readiness E-learning readiness atau e-readiness merupakan konsep yang baru. Readiness berarti siap secara fisik dan mental untuk melakukan sesuatu. Ereadiness
turut
mempengaruhi
kesuksesan
program
pendidikan
yang
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses akademik (Kaur & Abas, 2004). Pengertian e-readiness berbeda dari satu peneliti dengan peneliti yang lain. E-readiness merupakan tingkat dimana masyarakat disiapkan untuk berpartisipasi dalam teknologi yang dapat membantu untuk membangun menuju masyarakat yang lebih baik (dalam Waryanto, 2010). Menurut Borotis & Poulymenakou (2004), e-readiness merupakan kesiapan mental atau fisik suatu organisasi untuk suatu pengalaman atau tindakan e-learning (dalam Priyanto, 2008). Hampir sama dengan pendapat oleh Dada (2006) yang menyatakan bahwa e-readiness merupakan tingkat dimana masyarakat siap untuk mendapatkan keuntungan yang bisa didapatkan melalui teknologi informasi dan komunikasi. Sedangkan, menurut Choucri dkk. (2003), e-readiness merupakan kemampuan untuk mengejar kesempatan menciptakan suatu nilai dengan difasilitasi oleh penggunaan internet. Rosenberg (2000) menyatakan bahwa e-readiness merupakan instrumen yang efektif untuk mengevaluasi efektivitas e-learning (dalam Priyanto, 2008). 11
12
Dalam hal ini, e-readiness dipandang sebagai alat yang menuntun perjalanan pengembangan e-learning dari tahap analisis sampai pada tahap evaluasi. Secara umum, e-readiness merupakan kesiapan dan kemauan seseorang untuk terlibat dalam sistem pendidikan e-learning. Komponen e-readiness ini akan dibahas lebih lanjut.
2. Komponen E-Readiness Terdapat beberapa hal yang harus dipenuh agar seseorang dapat dikatakan siap mengikuti e-learning. Miller (2005) menemukan bahwa pelajar perlu memiliki kemampuan teknologi dan kemampuan SDL agar dapat berfungsi secara maksimal dalam lingkungan pembelajaran e-learning. Survei Distance Education Online Symposium listserv (DEOS-L) menetapkan bahwa terdapat dua komponen utama dari kesiapan pelajar agar dapat sukses dalam e-learning, yaitu technical readiness dan self-directed learning readiness. Masing-masing komponen tersebut terdiri dari knowledge, attitudes, skills, dan habits. Keempat komponen ini dapat disingkat sebagai KASH (Guglielmino & Guglielmino, 2003). Knowledge, merupakan bagian pertama, menyediakan informasi dasar yang diperlukan. Individu mungkin memiliki pengetahuan untuk melakukan sesuatu tetapi dia memilih untuk tidak melakukannya. Attitudes merupakan bagian kedua: perasaan, kepercayaan dan kecenderungan berperilaku seseorang yang berasal dari bawaan maupun lingkungan yang memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku. Meskipun knowledge dan attitude individu memiliki dasar yang baik bagi self-directed learning, hal tersebut tidak dapat dilakukan tanpa adanya skill.
13
Saat knowledge, attitude, dan skill telah dimiliki, pembentukan habit yang positif dapat mendukung suksesnya e-learning seseorang (Guglielmino & Guglielmino, 2003).
a. Technical Readiness for e-Learning Komponen pertama dari e-readiness adalah kesiapan teknis. Kesiapan secara teknis berarti kesiapan individu untuk mengoperasikan teknologi, misalnya teknologi komputer dan teknologi internet. Optimisme dan keinginan untuk berinovasi turut mempengaruhi technical readiness seseorang (Elliott, dkk. 2008). Optimisme berarti percaya bahwa penggunaan teknologi sebagai media e-learning dapat memberikan keuntungan bagi individu, dan kemauan untuk berinovasi berarti keinginan individu untuk mencoba atau mengeksplorasi teknologi. Individu yang memiliki knowledge, attitudes, skills, dan habits dalam teknologi akan lebih memiliki keuntungan dalam halnya kesiapan untuk e-learning. i.
Technical Knowledge Pengetahuan teknis berarti pengetahuan yang dibutuhkan dalam elearning, misalnya pengetahuan dasar mengenai komponen dan operasi sistem yang digunakan dalam e-learning.
ii. Technical Attitudes Sikap dalam hal ini merupakan perasaan positif terhadap penggunaan teknologi sebagai sistem pembelajaran, kepercayaan diri dalam mengatasi teknologi, dan harapan yang positif untuk mengatasi tantangan baru.
14
iii. Technical Skills Jelas bahwa pelajar harus dapat mengaplikasikan kemampuan dasar yang diperlukan dalam penggunaan sistem e-learning. Misalnya, pelajar yang menggunakan sistem web-based memerlukan kemampuan untuk mengakses internet, menjalankan fungsi e-mail, dan kemampuan lain yang dibutuhkan. Salter (dalam Prayudi, 2009) menyatakan bahwa semakin baik technical skills yang dimiliki oleh pelajar, individu akan semakin siap untuk menggunakan e-learning. iv. Technical Habits Kebiasaan secara teknis dapat beragam tergantung pada penggunaan teknologi dalam e-learning. Mengembangkan kebiasaan untuk berpartisipasi, mempelajari tugas, dan menyelesaikan tugas merupakan hal yang penting.
b. Self-Directed Learning Readiness Komponen kedua dari e-readiness adalah Self-Directed Learning, yang selanjutnya akan disingkat dengan SDL. Guglielmino dan Guglielmino (2004) menyatakan bahwa persiapan yang paling baik bagi kesuksesan e-learning adalah dengan meningkatkan self-directed learning readiness. SDL berarti bahwa pengaturan dalam pembelajaran adalah tanggung jawab pelajar, bukan karena adanya paksaan dari luar (Long, 2003). Tanggung jawab terhadap pembelajaran sangat penting dalam e-learning dan dalam pembelajaran lainnya. Menurut Malcolm Knowles (dalam Guglielmino & Guglielmino, 2004), SDL merupakan
15
suatu proses dimana pelajar, dengan atau tanpa bantuan dari orang lain, mengidentifikasikan
kebutuhan
pembelajaran,
mendefinisikan
tujuan
pembelajaran, mengembangkan dan mengimplementasikan rencana pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran yang telah didapat. Sedangkan, menurut Gibbons (2002), SDL merupakan peningkatan pengetahuan, kemampuan, pencapaian, atau pengembangan diri yang dipilih dan dilakukan oleh seorang individu dengan cara apapun dan kapanpun dia inginkan. Karakteristik SDL yang berhubungan dengan suksesnya e-learning dalam literatur dikenal dengan independence, self-direction, atau autonomy in learning. SDL juga memiliki empat komponen, yaitu knowledge, attitudes, skilss, dan habits. i.
Self-Directed Learning Knowledge Persyaratan penting dalam kesiapan untuk SDL adalah pengetahuan diri (self-knowledge): pemahaman mengenai diri sendiri sebagai seorang pelajar. Hal tersebut termasuk pengetahuan mengenai inisiatif, ketekunan dan kesadaran mengenai diri sendiri untuk merasakan dan memproses informasi. Kesiapan untuk self-directed learning juga termasuk pengaturan pembelajaran sendiri.
ii. Self-Directed Learning Attitudes Sikap merupakan komponen utama dari kesiapan untuk SDL (Guglielmino & Guglielmino, 2003). Sikap yang dibentuk didasarkan pada keingingan yang kuat untuk belajar atau berubah. Individu yang memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan senang mempelajari hal baru berfokus pada pengembangan diri yang terus menerus, serta
16
memandang pembelajaran sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah cenderung menjadi pelajar e-learning yang sukses. Sikap percaya diri sebagai pelajar yang kompeten dan efektif berarti melihat diri sendiri sebagai pelajar yang mampu dan berinisiatif dalam pembelajaran. Menerima tanggung jawab untuk pembelajaran seseorang dan memandang masalah sebagai tantangan merupakan komponen sikap yang saling berkaitan. Pelajar yang self-directed percaya bahwa tanggung jawab utama dalam pembelajaran ada pada diri sendiri. Pelajar sendirilah yang harus mengenal kebutuhan untuk belajar dan mengambil tanggung jawab. Dalam setting e-learning yang telah didesain sedemikian rupa, kreativitas dan kemandirian juga sangat diperlukan dalam proses pembelajaran. Setting e-learning yang menantang membutuhkan kemampuan untuk berpikir secara kreatif dan mengembangkan pemikiran
seseorang
dan
proses
untuk
mengidentifikasi
dan
menyelesaikan masalah dibandingkan dengan hanya mengikuti petunjuk. Pelajar
self-directed
yang
efektif
menggunakan
semua
peralatan yang tersedia. Individu yang mau bertanya, mengklarifikasi, atau meminta nasehat para ahli akan selalu berusaha, dimana hal ini merupakan proses pembelajaran. Selain itu, hal penting dari SDL adalah menghargai pembelajaran, yaitu suatu pemikiran mengenai pentingnya pembelajaran yang dicapai oleh diri sendiri. Biasanya,
17
orang-orang kurang menghargai prestasi seseorang yang didapat di luar situasi kelas formal. Mereka cenderung berpikir bahwa apabila instruktur tidak mengatakan apa yang harus dipelajari, tidak memberikan informasi, dan tidak menguji kita, hal tersebut tidak termasuk ke dalam pembelajaran. iii. Self-Directed Learning Skills Logikanya, kemampuan akademis dasar merupakan bagian yang penting dalam e-readiness, terutama kemampuan membaca. Pelajar yang self-directed biasanya dapat mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan pembelajaran mereka. Kemampuan yang berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran ini adalah kemampuan untuk merencanakan tujuan
pembelajaran,
mengembangkan
rencana
pembelajaran,
mengidentifikasi sumber pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran. Kemampuan mengatur waktu dan mempersiapkan dokumen atau laporan dapat mendukung proses ini. iv. Self-Directed Learning Habits Salah satu kebiasaan penting dalam diri pelajar yang self-directed adalah persistence: ketekunan untuk mencapai tujuan meskipun ada masalah, kebosanan, atau faktor lain yang sedang melanda. Kebiasaan seperti perencanaan yang sistematis, pengaturan media dan materi pembelajaran, dan penyelesaian tugas sesuai dengan jadwal yang sudah direncanakan dapat meningkatkan keefektifan e-learning.
18
Dua kebiasaan penting lainnya meliputi reflection dan environmental scanning. Individu yang reflektif berpikir mengenai suatu tindakan atau kejadian, hasil yang mungkin terjadi dari tindakan atau kejadian tersebut, performansi diri, bagaimana tindakannya akan diinterpretasikan oleh orang lain, serta menganalisis pembelajaran diri, proses pembelajaran, dan hasil pembelajaran. Dengan kata lain, individu yang reflektif adalah individu yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang makro dan mikro dalam mencari insight atau pemahaman baru. Environmental scanning merupakan kesadaran akan perubahan dan dampak-dampak yang mungkin terjadi dalam suatu lingkungan, termasuk kebutuhan untuk pembelajaran baru. Berdasarkan
hasil
survei,
Guglielmino
dan
Guglielmino
(2003)
mendeskripsikan pelajar yang memiliki self-directed tinggi, antara lain: i.
merupakan orang yang memiliki inisiatif, kemandirian, dan ketekunan untuk belajar;
ii. merupakan orang yang bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan melihat masalah sebagai tantangan, bukan rintangan; iii. merupakan orang yang memiliki disiplin diri dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi; iv. merupakan orang yang percaya diri dan memiliki keinginan yang kuat untuk belajar atau berubah;
19
v. merupakan orang yang mampu menggunakan kemampuan belajar, mengorganisasikan waktu dan menetapkan langkah yang tepat untuk belajar, dan merencanakan untuk menyelesaikan tugas; vi. merupakan orang yang menikmati pembelajaran dan cenderung berorientasi pada tujuan. Pelajar, seperti mahasiswa, yang terlibat dalam lingkungan pembelajaran menggunakan e-learning diharapkan agar dapat e-readiness. Hal ini dikarenakan e-readiness merupakan kunci penting bagi kesuksesan e-learning.
B. E-Learning 1. Pengertian Learning Terdapat banyak definisi belajar (learning) yang dikemukakan oleh para peneliti. Dalam psikologi, istilah belajar merupakan suatu perubahan perilaku yang relatif permanen dan diperoleh melalui pengalaman, yaitu interaksi dengan lingkungan (Lahey, 2007). Dalam hal ini, perubahan perilaku yang disebabkan oleh efek biologis bukan merupakan hasil dari belajar. Tidak ada organisme yang akan bertahan hidup lama jika dia tidak belajar tentang objek lingkungan mana yang bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (Hergenhahn & Olson, 2008). American Heritage Dictionary (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) menyatakan bahwa manusia belajar untuk mendapatkan pengetahuan, pemahaman atau penguasaan melalui pengalaman atau studi. Sedangkan, menurut Piaget (dalam Zimmerman & Schunk, 2003), belajar merupakan perkembangan kognitif yang difasilitasi oleh pengalaman. Hampir
20
sama dengan pendapat Jung (dalam Widianto, 2010) yang menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses dimana tingkah laku dari suatu organisme dimodifikasi oleh pengalaman. Secara umum, belajar merupakan perubahan perilaku yang relatif permanen, yang terjadi sebagai akibat dari pengalaman. Dalam hal ini, apabila perubahan perilaku disebabkan oleh maturitas atau perubahan biologis, hal tersebut bukan termasuk proses belajar. Belajar tidak hanya dilakukan secara tatap muka, tetapi juga dapat dilakukan secara jarak jauh dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi adalah sesuatu yang universal, bahkan internet telah memasuki 99% kampus. Lebih dari sepertiga institusi perguruan tinggi menyediakan kuliah secara online yang ternyata banyak diminati oleh mahasiswa (Williams & Sawyer, 2007). Para mahasiswa menyatakan bahwa mereka lebih senang dengan fleksibilitas yang ditawarkan, yaitu karena mereka tidak perlu hadir di kelas untuk kuliah. Adapun pembelajaran yang seperti ini dikenal dengan sebutan e-learning.
2. Pengertian E-Learning Perkembangan teknologi yang semakin pesat tentu sangat memudahkan aktivitas manusia. Salah satu perkembangan teknologi yang cukup direspon positif adalah pembelajaran jarak jauh atau e-learning. The American Society for Training and Development (2001) menyatakan bahwa e-learning merupakan segala sesuatu yang dikirim atau difasilitasi dengan teknologi elektronik untuk
21
pembelajaran (dalam Fee, 2009). Melalui e-learning, penyedia pendidikan seakanakan membuka kelas di berbagai tempat. E-learning sendiri memiliki berbagai macam definisi. Menurut Williams & Sawyer (2007), e-learning merupakan sebuah nama untuk program pendidikan secara online. Hampir sama dengan pendapat Henderson (2003) yang menyatakan bahwa e-learning merupakan pembelajaran jarak jauh yang menggunakan teknologi komputer, biasanya internet. Menurut Naidu (2006), e-learning merupakan penggunaan jaringan teknologi informasi dan komunikasi yang disengaja dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Hampir sama dengan pendapat oleh Rosenberg (2006), e-learning merupakan penggunaan teknologi internet untuk menciptakan atau mengirimkan lingkungan pembelajaran yang meliputi sekumpulan sumber instruksi, informasi, dan solusi, yang bertujuan untuk meningkatkan performansi individu dan organisasi. Sedangkan, menurut Munir (2008), e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan media atau jasa bantuan perangkat elektronika. Apabila mengacu pada definisi ini, tidak semua e-learning dilakukan secara online dan jarak jauh. Dalam pelaksanaannya, e-learning menggunakan jasa audio, video, perangkat komputer, atau kombinasi dari ketiganya. Ketika berpikir mengenai e-learning, orang-orang cenderung memiliki gambaran mengenai seseorang yang sedang duduk sendirian, menatap layar komputer, dan mengerjakan tugas atau ujian sendirian. Menurut Fee (2009), adanya pemikiran ini akan membuat orang-orang cenderung menganggap bahwa e-learning merupakan self-study yang kurang memiliki interaksi. Pemikiran
22
seperti ini juga tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena proses belajar tetap berlangsung meskipun seseorang sedang duduk sendirian. Hanya saja, interaksi yang berlangsung tidak terlihat secara kasat mata. Secara
umum,
e-learning
adalah
proses
pembelajaran
dengan
menggunakan/memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet, agar pengajar dan pelajar dapat berkomunikasi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Santrock (2007) yang menyatakan bahwa internet merupakan inti dari komunikasi melalui komputer.
3. Kelebihan E-Learning Pembelajaran melalui e-learning tentu memiliki kelebihan. Munir (2008) menyatakan bahwa pembelajaran dengan e-learning memiliki banyak kelebihan, antara lain: a. Memberikan pengalaman yang menarik dan bermakna bagi pelajar karena
kemampuannya
dapat
berinteraksi
langsung,
sehingga
pemahaman terhadap materi pembelajaran akan lebih bermakna, mudah dipahami, mudah diingat dan mudah pula untuk diungkapkan kembali. b. Dapat memperbaiki tingkat pemahaman dan daya ingat seseorang terhadap pengetahuan yang disampaikan, karena konten yang bervariasi, interaksi yang menarik perhatian, umpan balik yang didapat secara cepat, dan adanya interaksi dengan pengajar.
23
c. Adanya kerja sama dalam komunitas online yang memudahkan berlangsungnya proses transfer informasi dan komunikasi, sehingga setiap elemen tidak akan kekurangan sumber atau bahan ajar. d. Administrasi dan pengurusan yang terpusat, sehingga memudahkan dilakukannya aksses dalam operasionalnya. e. Pusat perhatian dalam pembelajaran tertuju pada pelajar, dimana pelajar tidak bergantung sepenuhnya kepada pengajar. Pelajar belajar secara mandiri untuk menggali atau mengeksplorasi ilmu pengetahuan melalui internet.
4. Kekurangan E-Learning E-learning juga tidak terlepas dari adanya kekurangan. Berbagai kritik (Bullen, 2001, Beam, 1997; dalam Suyanto, 2005) mengenai e-learning antara lain adalah: a. Apabila interaksi antara pengajar dan pelajar atau bahkan antar pelajar kurang, hal ini dapat memperlambat terbentuknya nilai-nilai dalam proses belajar dan mengajar. b. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial. c. Pelajar yang tidak memiliki motivasi belajar tinggi akan cenderung ketinggalan atau gagal. d. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet. e. Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki keterampilan internet.
24
f. Kurangnya penguasaan bahasa komputer.
5. Faktor-faktor yang Menghambat Seseorang Melakukan E-Learning Terdapat beberapa faktor yang menghambat seseorang untuk melakukan elearning. Muilenburg dan Berge (2005) menemukan bahwa terdapat delapan faktor yang menghambat seorang pelajar mau melakukan pembelajaran secara online atau e-learning, antara lain: a. Masalah administratif atau pengajar, yaitu pelajar merasa bahwa masalah-masalah pembelajaran ada pada pengajar. Misalnya, pengajar kurang memahami pengelolaan e-learning, pengajar telat memberikan umpan balik, dan lain-lain. b. Interaksi sosial, yaitu pelajar merasa bahwa interaksi sosial terhadap teman-teman atau pengajar sangat kurang, dimana hal ini dapat membuat pelajar merasa terisolasi dalam pembelajaran dengan elearning. c. Kemampuan akademik, yaitu pelajar merasa kurang memiliki kemampuan dalam hal mengarang, membaca, ataupun berkomunikasi. d. Kemampuan teknis, yaitu pelajar merasa kurang memiliki kemampuan untuk mengelola media e-learning. e. Motivasi pelajar, yaitu pelajar merasa lingkungan pembelajaran dengan menggunakan e-learning tidak menyenangkan, dimana hal ini dapat membuat pelajar sering melakukan prokrastinasi.
25
f. Waktu dan dukungan, yaitu pelajar yang merasa kurang mendapat waktu dan dukungan dari orang tua dan teman-teman akan cenderung menolak e-learning. g. Biaya untuk mengakses internet yang mahal. h. Masalah teknis, seperti browser atau software, juga dapat menghambat pelajar untuk melakukan e-learning. E-learning merupakan proses pembelajaran melalui internet dengan berbasis web. Salah satu contoh pembelajaran berbasis web dapat dilakukan dengan menggunakan web log, atau lebih dikenal dengan sebutan blog.
6. Pengertian Web log Web log, atau lebih dikenal sebagai blog, dapat dikatakan sebagai cerminan jati diri seseorang di internet. Sebenarnya, istilah blog terdiri dari dua kata yaitu web dan log (Gardner & Birley, 2010). Blog berfungsi hampir sama dengan situs pribadi. Aktivitas memperbaharui blog disebut sebagai blogging (Nacht & Chaney, 2007). Orang yang menulis blog disebut sebagai blogger, bukan weblogger. Semua blog merupakan situs, tetapi tidak semua situs merupakan blog (Hill, 2006). Semua orang yang membuat blog adalah unik, dan semua blog adalah unik (Gunelius, 2010). Menurut Williams dan Sawyer (2007), blog merupakan halaman web dengan gaya penulisan seperti buku harian. Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Smith dan Bebak (2007), yaitu blog merupakan catatan harian atau jurnal online yang berisi pemikiran, pengalaman, dan minat seseorang.
26
Menurut Doctorow (2002), blog merupakan sebuah situs web yang terdiri dari sejumlah informasi singkat dan unik yang dinamakan post. Post ini tersusun secara terbalik, artinya post yang paling baru akan terletak di urutan pertama. Sedangkan menurut Gardner dan Birley (2010), blog merupakan perbaharuan suatu situs yang disusun secara berurutan, penulisan dan penyusunannya sama seperti catatan harian, serta cara penulisan informalnya mengkarakteristikkan komunikasi personal seseorang. Secara umum, blog merupakan sebuah situs yang terdiri dari sejumlah informasi yang berisi berbagai macam topik yang ditulis oleh seseorang untuk dibagikan kepada orang lain, dimana pembaca dapat memberikan komentar terhadap informasi tulisan tersebut. Melalui blog, seorang pengajar dapat memberikan informasi kepada para mahasiswa tanpa harus bertatapan langsung. Setiap mahasiswa tentunya juga dituntut untuk memiliki blog agar dapat mengakses situs untuk menerima informasi dan berinteraksi dengan pengajar.
C. Mahasiswa Secara harfiah, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut, maupun akademi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah, sebagian siswa ada yang menganggur, mencari pekerjaan, atau melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008).
27
Belajar di perguruan tinggi sangat berbeda dari belajar di sekolah (Furchan, 2009). Di sekolah, siswa lebih banyak berperan sebagai penerima ilmu pengetahuan, sementara guru dianggap sebagai pemberi ilmu pengetahuan. Di perguruan tinggi, mahasiswa lebih aktif dalam mencari ilmu pengetahuan, sementara pengajar berfungsi sebagai fasilitator yang membantu mahasiswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah disepakati. Menurut Kartono (dalam Ulfah, 2010), mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain: 1. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di Perguruan Tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelegensia. 2. Karena kesempatan yang ada, mahasiswa diharapkan nantinya dapat bertindak sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja. 3. Diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi. 4. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan profesional. Perguruan tinggi menyediakan berbagai jurusan bagi calon mahasiswa agar dapat memilih jurusan yang sesuai dengan yang dikehendaki. Salah satu jurusan yang tersedia adalah psikologi. Mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di bidang psikologi disebut dengan mahasiswa psikologi. Brewer dkk. (dalam Brewer & Halonen, 2004) menegaskan bahwa tujuan dasar dari pendidikan undergraduate dalam psikologi adalah mengajarkan mahasiswa untuk berpikir
28
seperti seorang ilmuwan mengenai perilaku dan pengalaman hidup, dimana terdapat enam tujuan kurikulum yang dapat mencapai tujuan ini: 1. Perhatian terhadap keberagaman manusia, 2. Pengetahuan yang luas dan dalam, 3. Kompetensi metodologis, 4. Pengalaman praktis dan aplikasi, 5. Kemampuan komunikasi, dan 6. Sensitivitas terhadap masalah etis. Teknologi informasi dan komunikasi tentu saja banyak berperan dalam kehidupan di Perguruan Tinggi. Teknologi telah menjadi bagian dari institusi pendidikan selama beberapa dekade. Hanya saja, komputer masih sering dipakai untuk kegiatan yang biasa, bukan untuk pembelajaran yang konstruktif dan aktif (Newby dkk., 2000; dalam Santrock, 2007). Padahal, di dunia yang kini berorientasi pada teknologi, kompetensi orang-orang tentu akan semakin ditantang dan diperluas dengan cepat (Bitter & Pierson, 2002; Collis & Sakamoto, 1996; Nickerson, 2000; dalam Santrock, 2007). Laptop, misalnya, sangat berguna karena mahasiswa dapat menggunakannya di perpustakaan untuk membantu menyusun skripsi, serta dapat digunakan di dalam kelas untuk mencatat pelajaran selama proses perkuliahan berlangsung. Hanya saja, penggunaan laptop di ruang kelas masih menjadi kontroversi (Williams & Sawyer, 2007). Hal ini dikarenakan kebanyakan mahasiswa mengirimkan pesan dan mengakses situs-situs yang tidak berhubungan dengan pelajaran, yang semuanya dilakukan di dalam kelas ketika
29
pelajaran sedang berlangsung. Hal tersebut akan lebih mungkin terjadi apabila kampus menyediakan koneksi internet Wi-Fi (Wireless Fidelity) secara gratis. Secara umum, mahasiswa psikologi adalah individu yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi, dimana individu dituntut untuk menguasai teori-teori psikologi. Batasan umur untuk mahasiswa tidaklah bersifat mutlak, karena realita di lapangan, banyak individu yang menyandang gelar mahasiswa kurang dari usia yang tertulis ataupun lebih dari batas atas.
D. Gambaran E-Readiness pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Perkembangan teknologi yang semakin canggih akan menuntut orangorang untuk lebih memperhatikan dan mempelajari teknologi. Seiring dengan berjalannya waktu, teknologi juga bisa dijadikan sebagai media pembelajaran. Sistem pendidikan yang difasilitasi dengan sentuhan teknologi informasi dan komunikasi dikenal dengan istilah e-learning. Media pembelajaran e-learning dapat dilakukan melalui internet yang berbasis web, misalnya menggunakan blog, e-mail, forum, dan lain-lain. Proses pembelajaran e-learning yang berbasis blog telah diberlakukan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU). Di Fakultas Psikologi USU, terdapat beberapa perkuliahan dengan menggunakan sistem pendidikan e-learning berbasis blog, dimana pengajar dan mahasiswa tidak harus bertatap di dalam kelas setiap minggunya. Perkuliahan yang menerapkan sistem pendidikan e-learning tersebut adalah Psikologi Pendidikan, Psikologi Belajar, Andragogi, dan
30
Paedagogi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi USU, beberapa mahasiswa merasa nyaman dengan sistem perkuliahan e-learning karena sistem ini tidak lagi harus dilakukan secara tatap muka di kelas. Tetapi, beberapa mahasiswa merasa tidak nyaman dengan sistem perkuliahan e-learning tersebut karena sulitnya menjangkau akses internet ataupun koneksi internet yang sering terputus. Penerapan sistem pembelajaran seperti ini menuntut seseorang untuk siap terlibat dalam e-learning. Apabila mahasiswa Fakultas Psikologi USU belum siap mengikuti sistem pendidikan e-learning, mereka tetap harus mengikuti mata kuliah wajib yang menerapkan sistem pendidikan e-learning tersebut. Kesiapan individu untuk terlibat dalam e-learning ini disebut dengan e-readiness. Apabila individu tidak memiliki e-readiness, penggunaan e-learning akan menyebabkan frustrasi dan pengalaman yang negatif, serta pembelajaran yang kurang optimal pada mahasiswa (Guglielmino & Guglielmino, 2003). Seorang individu dikatakan siap terlibat dalam e-learning apabila memiliki technical readiness dan readiness for self-directed learning (Guglielmino & Guglielmino, 2003). Dalam hal ini, selain siap mengoperasikan teknologi komputer atau internet yang berhubungan dengan e-learning, mahasiswa psikologi juga diharapkan mampu mengarahkan pembelajarannya sendiri. Mahasiswa yang memiliki knowledge, attitudes, skills, dan habits dalam teknologi dan pembelajaran akan memiliki keuntungan lebih dalam hal e-readiness. Mahasiswa psikologi dikatakan memiliki technical readiness apabila memiliki pengetahuan dasar mengenai pengoperasian media e-learning yang
31
digunakan; memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan e-learning sebagai pengantar pembelajaran; memiliki kemampuan dasar untuk menggunakan media e-learning; dan mau mengembangkan kebiasaan untuk berpartisipasi dalam elearning. Dalam hal ini, mahasiswa psikologi diharapkan mampu membuat akun e-mail dan blog, mampu mendesain akun blog, mampu memperbaharui akun blog, ataupun mampu mengunggah tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Selain itu, mahasiswa psikologi dikatakan memiliki readiness for selfdirected learning apabila memiliki pengetahuan mengenai diri sendiri dalam memproses informasi; bertanggung jawab atas pembelajaran diri sendiri, kreatif dan mandiri dalam belajar, memiliki kemauan untuk bertanya, dan menghargai pembelajaran seseorang; memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan pembelajaran diri sendiri; dan memiliki kebiasaan untuk tekun, reflektif, dan sadar akan perubahan lingkungan. Dalam hal ini, mahasiswa psikologi diharapkan mampu mengarahkan pembelajaran sendiri tanpa harus diingatkan ataupun diatur oleh orang lain. E-readiness pada mahasiswa psikologi sangat diperlukan agar pelaksanaan e-learning di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dapat berlangsung sukses. Oleh karena itu, mahasiswa Fakultas Psikologi USU diharapkan memiliki e-readiness yang tinggi, tidak hanya dari technical readiness tetapi juga readiness for self-directed learning.