BAB II LANDASAN TEORI 1.1 Agresif 2.1.1. Pengertian Agresif Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, tingkah laku agresif adalah tingkah laku yang tertuju pada keberhasilan menyakiti atau melukai makhluk hidup yang tidak ingin diperlakukan demikian (Krahe, 2005). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk tindakan agresi. Sebaliknya, niat untuk menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku agresi. Sebuah definisi klasik diusulkan oleh Buss (dalam Krahé, 2005). Mengkarakterisasikan agresi sebagai sebuah respons yang mengantarkan stimulus ’beracun’ kepada mahluk hidup lain. Dalam arti tertentu, ternyata definisi yang behavioristis ini dianggap terlalu luas, karena mencakup banyak bentuk perilaku yang seharusnya tidak dapat digolongkan sebagai agresi. Tetapi dalam arti lain, definisi ini terlalu sempit karena mengesampingkan semua proses nonperilaku, seperti pikiran dan perasaan.
Menurut Buss (dalam Krahé, 2005), agresi manusia tidak muncul sebagai adaptasi khusus untuk menangani masalah tertentu tetapi muncul sebuah adaptasi untuk menangani sejumlah masalah yang berkaitan untuk kelangsungan hidup manusia. Agar perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi, perilaku itu harus dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap targetnya dan sebaliknya, menimbulkan harapan bahwa tindakan itu akan menghasilkan sesuatu. Spesifikasi ini mengesampingkan perilaku yang mengakibatkan sakit atau cedera yang terjadi di luar kehendak, misalnya yang terjadi secara kebetulan atau akibat kecerobohan atau akibat ketidakcocokan. Sebaliknya, spesifikasi ini memasukkan perilaku-perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain tetapi, keperluan alasan tertentu, tidak menimbulkan akibat-akibat yang dikehendaki: tembakan yang meleset dari targetnya dianggap mewakili sebuah tindakan agresif, bahkan meskipun tak sehelai rambut pun terlepas dari kepala si target. Chaplin (dalam Suryabrata, 2004) menyebutkan bahwa aggression (agresi, penyerangan, serangan) merupakan satu serangan atau serbuan, tindakan permusuhan yang ditujukan pada seseorang atau benda. Menurut Suryabrata (2004) mengungkapkan agresi merupakan pernyataan kesadaran atau proyeksi dari naluri kematian atau yang sering disebut Thanatos. Menurut Suryabrata (2004) agresi merupakan perwujudan kemauan untuk berkuasa dan menguasai orang lain. Chaplin (dalam Suryabrata, 2004) juga
mengungkapkan definisi yang lain tentang agresi, yaitu suatu upaya dengan kekerasan atau pengejaran dengan berani suatu tujuan. Sedangkan Suryabrata (2004) mengungkapkan definisi lain yaitu kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan atau menuduh secara jahat, menghukum berat atau melakukan tindakan sadistis lainnya. Chaplin (dalam Suryabrata, 2004) juga menyebutkan definisi agresivitas (aggressiviness), yaitu: (1) kencenderungan habitual (yang dibiasakan) untuk memamerkan permusuhan; (2) pernyataan diri secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau pemaksaan diri, pengejaran dengan penuh semangat suatu cita-cita; (3) dominasi sosial, kekuasaan sosial yang diterapkan secara ekstrim. Baron
dan
Richardson
(dalam
Krahé,
2005)
mengusulkan
penggunaan istilah agresi untuk mendiskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai mahluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu. Motif utama perilaku agresif bisa jadi adalah keinginan manyakiti orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, seperti pada agresi permusuhan atau keinginan mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan agresif. Berkowits (dalam Sarwono, 2004) mendefinisikan agresi dalam hubunganya dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial berarti mengabaikan masalah bahwa evaluasi normatif mengenau perilaku yang sering kali berbeda, bergantung pada perspektif pihak yang terlibat. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap hukuman badan adalah cara pengasuhan anak yang efektif dan dapat diterima, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai bentuk agresi yang tidak dapat diterima. Ada dua istilah yang berhubungan erat dengan agresi, yaitu koersi atau paksaan dan kekerasan (violance). Koersi didefinisikan oleh Tedeschi dan Felson (dalam Koeswara, 1998) sebagai tindakan yang dilakukan dengan niat membuat orang lain menderita atau memaksa orang lain patuh. Tindakan koersif dapat berbentuk ancaman, hukuman atau paksaan badaniah. Berlawanan dengan koersi, yang lebih luas dibandingkan dengan agresi, istilah kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi yang menunjuk
pada
bentuk-bentuk
agresi
fisik
ekstrem.
Kekerasan
didefinissikan sebagai pemberian tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuan merusak, menghukum atau mengontrol (Geen dalam Krahé, 2005). Archer dan Browne (dalam Jonathan, 2005) merumuskan definisi kekerasan sebagai serangan fisik yang merusak yang bagaimanapun juga tidak dibenarkan secara sosial. Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah tingkah laku yang bertujuan
untuk menyakiti orang lain atau diri sendiri, baik secara fisik, verbal maupun secara psikis. 2.1.2. Perilaku dan Jenis Agresif Menurut Breakwell (dalam Priliantini, 2008), agresi secara tipikal didefinisikan oleh para psikolog sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan
untuk
menyakiti
atau
merugikan
seseorang
yang
bertentangan dengan kemauan orang itu. Menurut Deaux (dalam Priliantini, 2008), ada dua jenis perilaku agresi yaitu: 1. Agresi secara fisik meliputi tingkah laku seperti memukul teman, menarik baju teman dengan kasar, meninju teman, menyikut teman, melempar teman dengan benda, berkelahi, merusak barang miliki, mengganggu teman, mengancam teman dengan mengacungkan tinju, membuang barang milik teman, mencakar teman, memaksa teman untuk memenuhi keinginannya, melukai diri sendiri. 2. Agresi secara verbal meliputi tingkah laku seperti mengejek teman, menghina teman, mengeluarkan kata-kata kotor, bertengkar mulut, menakuti-nakuti teman, memanggil teman dengan nada kasar, mengancam dengan kata-kata mengkritik, menyalahkan dan menertawakan.
Millon dan Davis (dalam Priliantini, 2008) mengemukakan beberapa ranah penyimpangan sikap antisosial dan agresif: 1. Perilaku yang kelihatan: impulsif, menunjukkan adanya ketahanan yang rendah terhadap frustasi karena tidak terpenuhinya harapan-harapan. 2. Hubungan antarpribadi: perilaku menghindar (avoidance), ekspresi tingkah laku mengungkapkan kegelisahan, ketakutan yang menetap. Status gelisah: bertindak melebihi batas terhadap peristiwa yang tidak membahayakan dan dengan oenuh minat mereka menilainya untuk menandakan ejekan, kritikan dan penolakan.
Sedangkan Myers (2012) mengidentifikasi setidaknya delapan berbagai jenis agresi pada hewan, yang semuanya dapat ditemukan, atau dalam bentuk lain, oleh perilaku manusia, antara lain : 1. Berkenaan dengan agresi. Contohnya pemburu untuk melacak dan membunuh binatang, seperti memburu rusa, rusa besar, rusa Amerika utara, beruang, pheasants, itik dan geese. Lain-lain ikan untuk makanan atau olahraga. 2. Agresi Antar Jantan. Agresi yang secara tipikal dibangkitkan oleh kehadiran sesama jantan pada suatu species. Ancaman, menyerang, atau berkhidmat dengan perilaku laki-laki yang menanggapi laki-laki yang aneh. Di Amerika Serikat, 87% dari mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan dan aggravated penyerangan yang laki-laki. 3. Menimbulkan ketakutan-agresi. Agresif perilaku yang terjadi ketika binatang adalah terkungkung. Menyerang perilaku biasanya didahului oleh upaya untuk melarikan diri. Untuk upaya penyelamatan, kriminal dan dihukum tawanan perang dalam biasanya sangat dibentengi rasa takut dan akhirnya akan muncul perilaku agresi. 4. Agresi teritorial. Ancaman serangan atau perilaku bila penyusup yang ditemukan di rumah atau di wilayah pribadinya. Seorang pemilik yang menembak dan membunuh seorang penyusup kemungkinan tidak akan dikenakan biaya. Usaha sering lebih memilih untuk membuat kesepakatan di wilayah mereka sendiri-mereka di kantor-karena mereka merasa ada di sebuah keuntungan. Negosiasi antara pihak berseteru biasanya dilakukan di wilayah netral. Ketika Reagan Presiden AS dan Uni Soviet Premier Gorbachev telah memutuskan untuk diskusi selama Perang Dingin, mereka ke Bali Islandia, dianggap sebagai sebuah negara netral oleh kedua belah pihak. 5. Agresi Ibu. Ibu akan menjaga anak-anaknya dari serangan dari luar. Bila seseorang menggoda untuk menyakiti anak-anaknya dalam bentuk apapun, ibu akan melakukan apa yang ada di kuasa untuk melindungi mereka. 6. Pemarah agresi. Perilaku merusak diarahkan sebagai obyek dari hasil frustrasi, sakit, kerugian, atau lainnya yang termasuk bagian dari stressor. Untuk manusia, frustrasi hanya mengakibatkan agresi bila mereka yang besar dan tak terduga. Kami telah belajar untuk mengharapkan frustrations tertentu, seperti harus menunggu di baris atau duduk dalam kemacetan lalu lintas. Sakit dan kerugian sangat menarik motivasi negara. Berkowitz (dalam Krahe, 2005) telah menyatakan bahwa bila perasaan negatif yang evoked, mereka sering
mengakibatkan agresi mengamuk dan bahkan pada manusia. manusia harus perlu belajar lebih cepat beradaptasi reaksi. 7. Seks yang berhubungan dengan agresi. Perilaku agresif oleh perilaku yang sama yang mengeluarkan stimulus seksual. Seseorang yang secara seksual juga dapat membuat merasa cemburu dan agresif jika, misalnya, melihat bahwa orang yang cintai bersama dengan orang lain. Kecemburuan terkait dengan keinginan untuk melestarikan kami di masa mendatang Genera ¬ HTI (Buss, 1992). Verbal dapat menyertai agresi fisik seperti perasaan. 8. Agresi instrumental. Agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Myers (2012) membagi agresi dalam dua jenis yaitu hostile aggression dan instrumental aggression. Hostile aggression adalah agresi yang bertujuan untuk melampiaskan emosi, sedangkan instrumental aggression adalah agresi yang dilakukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain. Jenis agresi instrumental berbeda dengan hostile aggression bukan hanya dilihat dari tujuannya saja, tetapi juga karena agresi instrumental tidak disertai dengan emosi. Bahkan, antara pelaku dan korban kadang-kadang tidak saling kenal (tidak ada hubungan pribadi). Ada juga pembagian agresi menurut Sears, Freedman and Peplau (1999) yang menyebutkan bahwa agresi terbagi atas: a. Perilaku agresif adalah yang paling sedikit mempunyai unsure maksud melukai dan lebih pasti terdapat pada perbuatan yang bermaksud melukai dan berdampak sungguh-sungguh melukai. Sementara itu, perilaku melukai yang tidak disertai dengan maksud melukai tidak dapat digolongkan sebagai agresif. b. Perilaku agresif yang antisocial dan yang prososial. Perilaku agresif prososial misalnya membunuh polisi teroris, sementara perilaku agresif yang antisosial, misalnyanya teroris yang membunuh sanderanya.
c. Perilaku dan perasaan agresif. Sumbernya adalah pemberian atribusi oleh korban terhadap pelaku 2.1.3. Bentuk-bentuk Agresi Manusia akan cenderung melakukan perilaku agresi bila ada faktor-faktor eksternal ataupun internal yang membuat seseorang merasa terancam atau terusik
ketenangannya.
Setiap
kondisi
dan
situasi,
individu
akan
mengekspresikan perilaku agresifnya ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Buss dan Perry (1992) berpendapat bahwa ada empat bentuk pola agresi yang biasa dilakukan oleh individu, yaitu agresi fisik, verbal, kemarahan, dan kebencian. 1. Agresi Fisik. Agresi yang dilakukan untuk melukai diri sendiri maupun orang lain secara fisik, seperti memukul, menendang dan lain-lain. 2. Agresi verbal. Agresi yang dilakukan secara verbal kepada lawan, seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek, membentak, dan berdebat. 3. Kemarahan. Agresi yang semata-mata dilakukan sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai, menyakiti atau agresi yang tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban. Reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada system syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatik; dan secara implicit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatic atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan. 4. Permusuhan. Agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Permusuhan cenderung untuk menimbulkan kerugian, kejahatan, gangguan atau kerusakan pada orang lain; kecenderungan melontarkan rasa kemarahan pada orang lain.
2.1.4. Karakteristik Remaja Agresif Menurut Andrie (dalam Diani, 2009), orang-orang dengan sifat dasar agresif memiliki karakter sebagai berikut: 1. Moto dan Kepercayaan a. Setiap orang harus seperti saya b. Saya tidak pernah salah. c. Saya punya hak dan kamu tidak. 2. Pola Komunikasi a. Tertutup b. Pendengar yang buruk c. Sulit menerima pandangan orang lain d. Suka melakukan interupsi e. Suka mendominasi pembicaraan 3. Karakteristik a. Mencapai tujuan sering dengan pengorbanan orang lain. b. Menguasai, membodohi. c. Memaksa d. Merendahkan diri, sarkastis. 4. Sikap a. Merendahkan orang lain. b. Tidak pernah merasa bersalah. c. Bossy. d. Menerabas ruang orang lain. e. Bersikap tau semua hal. f. Memaksa orang lain. g. Tidak menghargai. 5. Isyarat bahasa tubuh (non-verbal cues) a. Menunjuk, menggoyang-goyangkan jari tangan. b. Mengernyitkan dahi. c. Mengedipkan mata secara kritis. d. Membelalak. e. Melotot. f. Postur kaku. g. Kritis, keras, suara berteriak. h. Bicara dengan cepat dan sepotong-potong. 6. Isyarat bahasa (verbal cues) a. “Kamu harus.” (“seharusnya”, lebih baik). b. “Jangan tanya kenapa! Lakukan saja!” c. Penyalahgunaan kata-kata.
7. Konfrontasi dan pemecahan masalah a. Harus menang, mengancam, menyerang. 8. Perasaan yang dimiliki a. Kemarahan. b. Permusuhan. c. Frustrasi. d. Ketidaksabaran. 2.1.5. Teori-Teori Perilaku Agresif Banyak teori yang menjelaskan mengenai agresi tersebut, salah satunya adalah teori Naluri yang tergolong dalam teori bawaan. Menurut teori ini, Freud (dalam Krahe, 2005) dalam teori psikoanalisisnya mengemukakan bahwa manusia memiliki dua jenis naluri dalam dirinya yaitu naluri eros (seksual) dan thanatos (agresi). Naluri seks berfungsi untuk melanjutkan keturunan, sedangkan naluri agresi berfungsi mempertahankan jenis. Selanjutnya ada pula teori frustrasi-agresi klasik yang tergolong dalam teori lingkungan. Menurut teori yang dikemukakan oleh Jonathan (2005) dan Sarwono (2004) ini, bahwa agresi dipicu oleh frustasi, yaitu hambatan terhadap pencapaian suatu tujuan. Karena perilaku agresif bersifat merugikan dan mudah menyebar di masyarakat, maka tidak mengherankan bila usaha mencari penjelasan tentang “mengapa” orang terlibat perilaku semacam itu selalu menjadi prioritas utama dalam penelitian agresi. Ada beberapa teori yang mengkaji tentang agresi, antara lain: a. Psikoanalisis Freudian (Agresi sebagai Insting Destruktif)
Dalam teori insting-ganda, Freud (dalam Krahé, 2005) mengusulkan bahwa perilaku individu didorong oleh dua kekuatan dasar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat manusiawi: insting kehidupan (eros) dan insting kematian (thanatos). Eros mendorong ke arah mencari kesenangan dan berusaha memenuhi keinginan, sedangkan thanatos diarahkan pada destruksi-diri. Karena sifat antagonisitiknya, kedua insting itu merupakan sumber konflik intrafisik berkelanjutan, yang hanya dapat diatasi dengan mengalihkan kekuatan itu dari orang yang bersangkutan kepada orang lain. Jadi, bertindak agresif terhadap orang lain dianggap merupakan mekanisme untuk melepaskan energi destruktif sebagai cara melindungi stabilitas intrafisik pelakunya. Dalam
konsep
katarsis,
Freud
mengakui
keberadaan
kemungkinan melepaskan energi destruktif melalui perilaku ekspresif yang nonagresif (seperti membuat lelucon), tetapi hanya dengan efek yang bersifat sementara. Menurut pandangan ini, agresi merupakan fitur tak terhindarkan dari perilaku manusia dan berada di luar kontrol individu. Menarik untuk dicatat bahwa Freud merevisi model awalnya, yang hanya memusatkan pada eros, dengan menambahkan kekuatan destruktif setelah ia menyaksikan kekerasan Perang Dunia I. Temuan empiris yang mendukung teori Freud jarang ditemukan. Yang ada pun kebanyakan hanya bersandar pada studi-studi kasus tanpa ada
operasionalisasi konstruk-konstruk teoritis secara ketat. Bagaimanapun juga,
ide-idenya
telah
memainkan
peran
signifikan
dalam
meningkatkan pemahaman mengenai agresi, yaitu memberi inspirasi pada hipotesis-hipotesis, frustasi-agresi yang sangat berpengaruh (influential frustration-aggression hypotheses). b. Hipotesis Frustrasi-Agresi (Agresi sebagai Dorongan yang Diarahkan pada Tujuan) Sambutan terhadap penjelasan mengenai agresi yang dihubungkan dengan insting telah menjadi sambutan kritis karena beberapa alasan, yaitu
antara
lain
karena
keterbatasa
temuan
empiris
untuk
mendukungnya. Selain itu, ide bahwa ada kekuatan dalam organisme yang
dalam
kaitannya
dengan
kejadian-kejadian
eksternal,
menimbulkan perilaku agresif telah dipertahankan oleh jalur penelitian yang berpengaruh, yang merumuskan dorongan agresif sebagai suatu yang memicu kemunculan perilaku agresif. Berbeda dengan insting, dorongan yang secara terus-menerus meningkatkan sumber energi tidak terus menerus ada. Dorongan itu diaktifkan hanya jika organisme yang bersangkutan merasa dirinya tidak mampu mendapatkan sarana untuk memuaskan kebutuhan vitalnya. Jadi dorongan merupakan kekuatan yang memberi energi, yang dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan deprivasi.
Dalam hipotesis frustasi-agresi yang awal (Dollard, dalam Krahé, 2005), agresi dijelaskan sebagai hasil suatu dorongan yang dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan deprivasi, sedangkan frustasi didefinisikan sebagai interferensi eksternal terhadap perilaku yang diarahkan pada tujuan. Jadi, pengalaman frustasi mengaktifkan keinginan bertindak agresif terhadap sumber frustasi yang – sebagai akibatnya – mencetuskan perilaku agresif. Tetapi, tidak semua frustasi menimbulkan respons agresif. Individu yang frustasi mungkin akan menarik diri dari situasi itu atau menjadi depresi. Selain itu, tidak semua tindakan agresif merupakan hasil frustasi yang dialami sebelumnya. Tindakan agresi instrumental yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu tidak harus diserta frustasi yang dialami sebelumnya. Jadi, pendapat awal mengenai hubungan deterministis antara frustasi dan agresi segera diubah menjadi sebuah versi probabilistis oleh Miller (dalam Krahé, 2005) yang juga merupakan salah seorang pencetus teori awalnya, yang menyatakan bahwa frustasi menyebabkan sejumlah respons yang berbeda. Salah satu di antaranya adalah bentuk agresi tertentu. Dalam pandangan yang direvisi ini, agresi bukan satu-satunya, tetapi merupakan salah satu alternatif respons terhadap frustasi. Sejauh tindakan agresif mengurangi kekuatan dorongan yang mendasarinya, tindakan itu akan bersifat menguatkan-diri: kemungkinan respons
agresif akan timbul mengikuti frustasi yang dialami sebelumnya akan meningkat. Kemungkinan frustasi akan memunculkan respons agresif bergantung pada pengaruh variabel-variabel moderator. Takut akan hukuman atas tindakan agresi atau ketiadaan penyebaba frustasi merupakan variabel moderator yang menghambat agresi. Moderatormoderator ini juga menjelaskan mengapa agresi sering kali “dialihkan” dari penyebab frustasi ke target yang lebih mudah diakses atau yang durang mengintimidasi. c. Neo-asosianisme Kognitif: peran Afek Negatif Berkowits (dalam Krahé 2005) menyatakan bahwa afeksi negatif dalam bentuk amarah merupakan mediator pentign antara frustasi dan agresi. Frustasi menyebabkan agresi hanya bila frustasi itu merangsang timbulnya keadaan afektif negatif. Sebagai contoh, frustasi yang dipersepsi sebagai kesengajaan atau tidak berdasar biasanya membangkitkan amarah yang lebih besar sehingga juga mneyebabkan timbulnya respons agresif yang lebih kuat dibanding frustasi yang dipersepsi sebagai ketidaksengajaan atau berdasar. Frustasi yang timbul karena interaksi kompetitif juga sangat mudah memicu respons agresif melalui perangsangan emosi negatif. Dalam model neo-asosiasonis kognitifnya, Berkowitz (dalam Krahé 2005) menyajikan sebuah elaborasi mengnai jalur yang dilalui,
mulai dari menemui sebuah kejadian aversif sampai mengalami kemarahan. Ketika individu menemui kejadian agresif, pada awalnya mengalami keadaan aversif, pada awalnya mengalami keadaan afektif negatif yang tidak terbedakan. Reaksi ini menimbulkan dua reaksi empulsif: melawan dan menghindar (Fight and flight). Melawan terkait dengan pikiran, ingatan dan respons perilaku yang berhubungan dengan agresi, sedangkan menghindar terkait dengan respons yang berhubungan dengan melarikan diri. Respons-respons ini menyalurkan afek negatif yang awalnya tak terbedakan itu menjadi keadaan emosi yang lebih spesifik, yaitu kemarahan (awal) atau ketakutan (awal). Untuk mengaksentuasikan perasaan-perasaan awal ini menjadi keadaan emosi yang lebih elaboratif, terjadi proses kognitif lebih lanjut yang berisi evaluasi terhadap stimulasi awal, hasil potensil, ingatan akan pengalaman serupa dan norma-norma sosial yang berhubungan dengan pengekspresian berbagai emosi. Keadaan emosi yang terakhir ini adalah kumpulan perasaan tertentu, reaksi motorik yang ekspresif, serta pikiran dan ingatan yang satu sama lain saling berhubungan (Berkowitz dalam Krahé 2005). d. Teori Pengalihan Rangsangan: Amarah dan Atribusi terhadap Rangsangan Kemungkinan individu untuk bereaksi dengan respon agresif bergantung pada interpretasi penerima stimulasi terhadap stimulasi
yang
diterimanya.
Frustasi
paling
mungkin
membangkitkan
kemarahan bila diintepretasi sebagai sebuah kesengajaan atau sebagai sebuah interfensi tak berdasar terhadap kegiatan yang berorientasi pada tujuan yang sedang dilakukan oleh pelakunya. Dalam model pengalihan rangsangan yang dibangun berdasarkan teori emosi duafaktor, Schacter dan Zillmann (dalam Krahé 2005) berpendapat bahwa intensitas pengalaman kemarahan merupakan fungsi dua komponen, yaitu (1) kekuatan rangsangan fisiologis yang dibangkitkan oleh kejadian aversif dan (2) cara rangsangan itu dijelaskan dan diberi label. Model pengalihan rangsangan ini khususnya berhubungan dengan kombinasi antara rangsangan fisiologis dan penilaian kognitif yang terlibat dalam pengalaman emosional mengenai kemarahan. Dengan mempengaruhi atribusi terhadap rangsangan fisiologis, kecenderungan respons agresif dapat diperkuat, atau diperlemah. Bila orang dibiarkan percaya bahwa rangsangan disebabkan oleh pil yang diminum daripada oleh provokasi orang lain yang dialami, akan melihat dirinya tidak terlalu marah dan bereaksi tidak terlalu agresif dibanding yang tidak diberi penjelasan netral mengenai rangsangannya (Younger dan Doob, dalam Krahé 2005). Jadi pendekatan ini juga mendukung pandangan agresi sebagai manifestasi perilaku manusiawi yang bersifat potensial, tetapi bukan tidak mungkin menghindari.
e. Pendekatan Sosial-Kognitif: Skrip Agresif dan Pemrosesan Informasi Sosial Cara orang memikirkan kejadian aversif dan reaksi emosional yang dialami sebagai sebuah akibat, merupakan aspek penting dalam menentukan manifestasi dan kekuatan respons agresifnya. Pendekatan sosial-kognitif memperluas lebih jauh perspektif ini dengan meneliti perbedaan dalam pemrosesan informasi sosial. Skemata kognitif yang mengacu pada situasi dan kejadian disebut scripts (skrip). Skrip terdiri atas struktur pengetahuan yang mendiskripsikan tentang ”urutan kejadian yang sesuai untuk konteks tertentu” (Schank dan Abelson, dalam Krahé, 2005). Struktur pengetahuan ini diperoleh melalui pengalaman dengan situasinya masing-masing, baik pengalaman tangan-pertama maupun pengalaman orang lain, misalnya melalui media. Dalam pendekatan sosialkognitifnya, Huesmann (dalam Krahé 2005) menyatakan bahwa perilaku sosial pada umumnya dan perilaku agresif pada khususnya, dikontrol oleh repertoar perilaku yang diperoleh melalui proses sosialisasi awal. Dari berbagai pengalaman perilaku ini, skrip berkembang sebagai representasi kognitif abstrak yang berisi fitur-fitur khas untuk situasi-situasi kritis, harapan mengenai perilaku para partisipan yang terlibat, maupun tentang akibat yang timbul dari berbagai pilihan perilaku
f. Belajar menjadi Agresif: Peran Penguatan dan Meniru Mekanisme khusus yang menyebabkan diperolehnya berbagai skrip dan perilaku agresif telah diteliti dengan mengacu pada dud prinsip umum belajar, yaitu instrumental conditioning (pengondisian instrumental) dan modelling (meniru). Berbeda dengan pandangan bahwa agresi adalah fitur bawaan dari karakter manusia, para ahli teori belajar menekankan bahwa sampai tingkat yang cukup jauh perilaku agresif dihasilkan oleh pola asuh (nurture), yaitu diperoleh melalui proses-proses belajar seperti kebanyakan untuk perilaku sosial lainnya. Baik pengondisian instrumental, yaitu belajar melalui hadiah dan hukuman, maupun meniru, yaitu belajar melalui observasi terhadap tokoh panutan, merupakan mekanisme yang kuat bagi perolehan dan performa perilaku agresif. Sejauh mana individu diberi hadiah untuk perilaku agresifnya, maka sejauh itu pulalah kemungkinan perilaku yang sama atau serupa akan diperlihatkan lagi di masa yang akan datang. Sebagai contoh, bila seseorang menyadari bisa memenangkan pertengkaran dengan teman sebayanya dengan cara mendorongnya sampai jatuh, maka hasil perilaku yang sukses itu akan menyebabkan respons agresif bila situasi serupa dihadapinya lagi. g. Model Interaksi Sosial: Agresi sebagai Pengaruh Sosial yang Koersif
Kebanyakan pendekatan yang dikaji ulang di bagian sebelumnya difokuskan pada agresi bermusuhan atau agresi impulsif. Sebaliknya, model interaksi-sosial berhubungan dengan funsi instrumental dari tindakan koersif. Model ini merumuskan bahwa strategi koersif dipergunakan oleh pelaku untuk menyakiti targetnya atau untuk membuat targetnya mematuhi tuntutan pelaku berdasarkan tiga tujuan utama, yaitu mengontrol perilaku orang lain, menegakkan keadilan, atau mempertahankan atau melindungi identitas positif (Tedeschi dan Felson, dalam Krahé, 2005). Tindakan koersif dikonsepkan sebagai hasil proses pengambilan keputusan di mana pelakunya pertama-tama memutuskan menggunakan strategi koersif untuk mempengaruhi orang lain, kemudian memilih bentuk koersi tertentu di antara berbagai pilihan yang ada. Tiga bentuk tindakan koersif merupakan inti teori ini yaitu: (a) ancaman, yaitu komunikasi yang dilakukan dengan maksud menyakiti target, dengan tekanan khusus pada ancaman berkontingensi. Artinya, pelaksanaan niat menyakiti bergantung pada kepatuhan target terhadap tuntutan sang pengancam; (b) hukuman, yaitu tindakan yang dilaksanakan dengan maksud menyakiti target; dan (c) paksaan badaniah yaitu penggunaan kontak fisik untuk memaksa atau melarang orang lain melakukan sesuatu. Pemilihan strategi koersif ditentukan oleh maksud mencapai suatu hasil segera atau proximate (terdekat),
yang kemudian dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan akhir yang bernilai. 1.2 Konformitas 1.2.1
Pengertian Konformitas Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. Cara yang termudah adalah melakukan tindakan sesuai dan diterima secara sosial. Melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial dalam psikologi sosial disebut konformitas (Sarwono, 2006). Konformitas dapat timbul ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena orang lain juga menampilkan perilaku tersebut, disebut dengan konformitas (Sears, dkk., 1999). Seseorang melakukan konformitas, disebabkan adanya ketakutan untuk tidak diterima oleh kelompok, menghindari celaan, dan ketakutan dianggap menyimpang. Ada dua akibat yang dapat ditimbulkan karena perilaku konformitas yaitu baik dan buruk. Menurut Sears, dkk. (1999) konformitas cenderung berkonotasi negatif. Konformitas bergantung pada adanya orang yang selalu memperingatkan timbulnya keyakinan dan kebiasaan yang bertentangan di antara orang-orang disekitar. Kepatuhan terhadap otoritas akan sangat berhasil apabila pihak otoritas tersebut hampir hadir secara fisik. Ganjaran atau hukuman akan berfungsi dengan sangat baik bila ada
orang yang senantiasa hadir untuk memberikan ganjaran. Dengan adanya ganjaran ataupun ancaman seseorang akan melakukan apa saja demi diakui oleh orang lain sebagai orang yang tidak menyimpang. Menurut Sears, dkk. (1999) dalam melakukan tindakan yang sama dengan orang lain, seseorang akan dinilai bahwa perilakunya sesuai atau tidak sesuai dengan lingkungan orang tersebut berada. Penilaian perilaku konformitas positif dapat dilihat dari perilaku yang ditampilkan oleh seseorang karena orang lain juga menampilkan perilaku tersebut dan dinilai positif dilingkungan orang tersebut berada. Sedangkan penilaian konformitas negatif dapat dilihat dari perilaku yang ditampilkan oleh seseorang karena orang lain juga menampilkan perilaku tersebut dan dinilai negatif dilingkungan orang tersebut berada. Menurut Wall, dkk. (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa konformitas dengan tekanan teman sebaya pada masa remaja dapat bersifat positif ataupun negatif. Bentuk perilaku konformitas negatif yaitu menggunakan bahasa jorok, mencuri, merusak, dan mengolok-olok orang lain. Sedangkan bentuk konformitas positif seperti berpakaian seperti teman-teman dan keinginan untuk meluangkan waktu bersama klik. Konformitas negatif dalam penelitian Leventhal, dkk. (dalam Santrock, 2002) yaitu remaja cenderung pergi bersama-sama dengan seorang teman sebaya untuk mencuri dop mobil, menggambar grafitti di dinding, atau mencuri kosmetik di toko.
1.2.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas Pada dasarnya, orang menyesuaikan diri mempunyai alasan yang kuat. Demikian juga dengan orang melakukan konformitas disebabkan oleh beberapa alasan dan faktor-faktor. Seseorang yang melakukan konfomitas juga akan berdampak negatif dan positif. Hal-hal yang mempengaruhi adanya konformitas yang berdampak baik (positif) atupun buruk (negatif) menurut Sears, dkk. (1999) adalah: 1. Kurangnya Informasi. Orang lain merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak diketahui seseorang, dengan melakukan apa yang orang lain lakukan, seseorang akan memperoleh manfaat dari pengetahuan orang lain. 2. Kepercayaan terhadap kelompok. Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. Semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Semakin tinggi keahlian anggota dalam kelompok tersebut dalam hubungannya dengan individu, semakin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap kelompok tersebut. 3. Kepercayaan diri yang lemah. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat konformitasnya. Sebaliknya, jika seseorang merasa yakin akan kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun tingkat konformitasnya 4. Rasa takut terhadap celaan sosial. Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderung mengusahakan persetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiap tindakannya.
1.2.3
Hal-Hal Penyebab Konformitas Tinggi Dan Rendah Konformitas yang dilakukan seseorang dapat meningkat atau justru menurun. Sears, dkk. (1999) menjelaskan ada beberapa hal yang dapat meningkatkan konformitas, seperti yang dijelaskan di bawah ini: 1. Kepercayaan terhadap kelompok. Bila individu memiliki kepercayaan terhadap kelompok maka konformitas akan menjadi tinggi. Kepercayaan ini timbul ketika individu menyakini bahwa informasi yang diberikan dari kelompok itu benar, maka orang tersebut akan merasa memperoleh informasi yang dibutuhkan. Dalam situasi ini, konformitas akan meningkat. 2. Keahlian kelompok. Tingkat keahlian individu dalam kelompok juga bisa menyebabkan konformitas menjadi tinggi. Semakin tinggi keahlian kelompok itu berhubungan dengan individu, semakin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap pendapat kelompok. Oleh karena itu, kepercayaan individu terhadap pendapat orang lain yang lebih ahli dapat menyebabkan konformitas yang tinggi. 3. Kepercayaan diri yang lemah dalam diri individu. Semakin sulit individu memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri, berarti semakin besar individu untuk mengikuti penilainan dari orang lain. Dengan demikian individu mengikuti penilaian orang lain dan dapat mengakibatkan konformitas meningkat. 4. Keterikatan individu terhadap kelompok. Konformitas dapat meningkat ketika individu melakukan cara untuk memperoleh persetujuan atau menghindari celaan kelompok. Untuk menghindari celaan, individu berusaha menyesuaikan diri agar dapat diterima kelompok. Dalam usaha tersebut individu akan dapat meningkatkan konformitas. Konformitas juga akan semakin meningkat ketika individu enggan disebut menyimpang menurut kelompok. Ketika individu memandang bahwa kegiatan yang dilakukan suatu kelompok dapat memperoleh keuntungan bagi orang tersebut, maka konformitas akan tinggi. 5. Kekompakan. Kekompakan yang tinggi antara anggota kelompok dapat meningkatkan konformitas. 6. Perhatian terhadap kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang terhadap kelompok juga dapat meningkatkan konformitas. 7. Ukuran Kelompok. Konformitas akan meningkat apabila ukuran dalam kelompok juga meningkat. Ukuran kelompok yang optimal adalah tiga atau empat orang atau lebih.
Konformitas juga dapat menurun atau menjadi rendah. Sears, dkk. (1999) menjelaskan terdapat hal-hal yang dapat menurunkan konformitas, seperti yang dijelaskan dibawah ini: 1. Meningkatnya rasa percaya diri individu terhadap pendapat sendiri. Sesuatu yang dapat meningkatkan kepercayaan individu terhadap penilainannya sendiri akan menurunkan konformitas. Individu yang percaya diri tentu akan memberikan pendapat berdasarkan keinginannya bukan mengikuti pendapat orang lain. Dengan demikian konformitas akan menurun. 2. Individu menguasi persoalan. Konformitas akan menjadi turun ketika individu dapat menguasai persoalan tanpa mengantungkan dirinya kepada orang lain. 3. Perbedaan pendapat. Bila seseorang dalam situasi kelompok berbeda pendapat dengan orang lain dalam kelompok maka konformitas akan menurun. 1.2.4
Aspek-Aspek Dalam Konformitas Salah satu sebab seseorang melakukan konformitas adalah kurangnya rasa kepercayaan diri terhadap pendapat sendiri dan rasa takut menjadi orang yang menyimpang, akibatnya seseorang rela melakukan apa saja demi diakui oleh kelompok. Kekuatan kedua motif tersebut mudah terlihat dengan ciri-ciri yang khas. Sears, dkk. (1999)
mengemukakan secara eksplisit bahwa
konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal yang dapat menyebabkan konformitas menjadi berdampak baik (positif) ataupun buruk (negatif) adalah sebagai berikut : a. Kekompakan Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota
kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok, serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut dan konformitas akan menjadi tinggi. Sears, dkk (1999) mengemukakan kekompakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: Sears,dkk (1999) 1) Penyesuaian Diri Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi orang lain untuk mengakui orang tersebut dalam kelompok, dan semakin menyakitkan bila orang lain mencela. Kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila seseorang mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu. 2) Perhatian terhadap Kelompok Peningkatan koformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut sebagai orang yang menyimpang. Penyimpangan menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering menyimpang pada saat-saat yang penting diperlukan, tidak menyenangkan, dan bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak menyetujui kelompok. b. Kesepakatan Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok. Kesepakatan dipengaruhi hal-hal dibawah ini: 1) Kepercayaan Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka hal ini dapat mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok sebagai sebuah kesepakatan. 2) Persamaan Pendapat Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun. Kehadiran orang yang tidak sependapat tersebut
menunjukkan terjadinya perbedaan yang dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi, dengan persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan semakin tinggi. 3) Penyimpangan terhadap pendapat kelompok Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain, maka akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan yang merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas. c. Ketaatan Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga. Ketaatan dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini: 1) Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah perilaku seseorang. 2) Harapan Orang Lain Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila permintaan diajukan secara langsung. Harapanharapan orang lain dapat menimbulkan ketaatan, bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam situasi yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul. 1.3 Hubungan antara konformitas negatif dengan perilaku agresif Konformitas yang negatif merupakan salah satu penyebab agresif. Hal ini berkaitan langsung dengan pengaruh sosial individu, terutama orang-orang terdekat di sekitarnya, terhadap diri individu. Menurut, Sarwono (2009)
pengaruh sosial dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap perilaku individu. Individu dapat mengikuti aturan-aturan yang ada di lingkungan sosial bukan hanya hal-hal positif saja, namun, individu juga terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk melakukan perilaku negatif, seperti tawuran. Sedangkan perilaku konformitas negatif
dapat membuat siswa
melakukan hal yang menyimpang, sulit menemukan identitas dirinya, dan menggantungkan dirinya pada orang lain. Hal tersebut akan menghambat siswa mencapai perkembangan optimal. Konformitas dapat mengakibatkan remaja terpengaruh untuk melakukan perilaku negatif seperti mencubit, memukul, mengejek, dan membentak. Semua itu dilakukan agar diterima dalam suatu kelompok. Selain itu konformitas juga berpengaruh pada identitas dirinya dan mengakibatkan seseorang sulit mendefinisikan dirinya karena semua hal yang dilakukan mengikuti hal-hal yang sedang trens. 1.4 Temuan Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Rizqie (2009) yaitu pada siswa laki-laki SMU Muhammadiyah II Yogyakarta judul hubungan antara konformitas negatif dan konsep diri dengan agresivitas pada remaja menunjukkan ada hubungan yang signifikan. Hasil uji korelasi antara konformitas dengan agresivitas sebesar r = 0,299 dan p = 0,001 (p<0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa ada hubungan yang positif yang signifikan antara konformitas dengan agresivitas. Rahayu (2010) dengan judul hubungan antara kematangan emosi dan konformitas negatif dengan perilaku agresif pada supporter sepak bola menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konformitas dengan perilaku agresif dengan korelasi rx2y= 0,729 dengan p= 0,01 sumbangan efektif konformitas terhadap perilaku agresif sebesar 3,7%. Hal ini menunjukkan ada hubungan yang positif antara konformitas dengan perilaku agresif. Wijayanti (2009) dengan judul hubungan antara konformitas negatif dengan kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar menunjukkan ada hubungan yang signifikan, hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi 0,483 dan menunjukkan hasil yang positif, semakin tinggi konformitas kelompok maka akan semakin tinggi pula kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap liar. Utomo (2013) dengan judul hubungan antara Frustasi dan Konformitas dengan Perilaku Agresi pada Suporter Bonek, Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dan positif antara Frustrasi dan Konformitas dengan Perilaku Agresi, Frustrasi memiliki hubungan yang
signifikan dan negatif dengan Perilaku Agresi selanjutnya Konformitas memiliki hubungan yang signifikan dan negatif dengan Perilaku Agresi. 1.5 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara konformitas negatif dengan perilaku agresif siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Bancak.