BAB II LANDASAN TEORI
A.
Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan intensi perilaku
dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan pengembangan teori tindakan beralasan yang dikemukakan oleh Azjen (dalam Deaux, K., Dane, F.C., & Wrightmans, L. W., 1993). Teori ini menjelaskan bahwa intensi merupakan kunci utama untuk memprediksi perilaku manusia dan sebagai sebuah konstruk psikologis yang menunjukan kekuatan motivasi seseorang dalam hal perencanaan yang sadar dalam usaha untuk menghasilkan perilaku yang dimaksud (Eagly & Chaiken, 1993). Fishbein dan Ajzen (1975) mengemukakan bahwa berdasarkan teori tersebut, intensi merefleksikan keinginan individu untuk mencoba menetapkan perilaku, yang terdiri dari tiga determinan, yaitu: a. Sikap Terhadap Perilaku Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Individu yang memiliki keyakinan yang positif terhadap suatu perilaku akan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan tersebut. Atau dengan kata lain, sikap yang mengarah pada perilaku ditentukan oleh konsekuensi yang ditimbulkan oleh perilaku, yang disebut dengan istilah keyakinan terhadap perilaku.
Universitas Sumatera Utara
b. Norma Subjektif Keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif ( yang diharapkan orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan normatif tersebut membentuk norma subjektif dalam individu. Keyakinan yang mendasari norma subjektif yang dimiliki individu disebut sebagai keyakinan normatif. Individu memiliki keyakinan bahwa individu atau kelompok tertentu akan menerima atau tidak menerima tindakan yang dilakukannya. Apabila individu meyakini apa yang menjadi norma kelompok, maka ia akan mematuhi dan membentuk perilaku yang sesuai dengan kelompoknya. Dapat disimpulkan, bahwa norma kelompok inilah yang membentuk norma subjektif dalam diri individu, yang akhirnya akan membentuk perilakunya. c. Kontrol Perilaku Yang Disadari Kontrol perilaku merupakan keyakinan tentang ada atau tidaknya faktorfaktor yang memfasilitasi dan menghalangi performansi perilaku individu. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang bersangkutan. Keyakinan ini didasari oleh pengalaman terdahulu tentang perilaku tersebut, yang dipengaruhi oleh informasi dari orang lain, misalnya dari pengalaman orang-orang yang dikenal/teman-teman. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang meningkatkan atau mengurangi kesulitan yang dirasakan jika melakukan tindakan atau perilaku tersebut. Kontrol perilaku ini sangat penting artinya ketika rasa percaya diri seseorang sedang berada dalam kondisi lemah.
Universitas Sumatera Utara
Menurut teori perilaku berencana, keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma subjektif, dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Ketiga dimensi ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak (Azwar, 2005). Berdasarkan penjelasan di atas maka pengertian intensi adalah kesungguhan niat seseorang untuk melakukan perbuatan atau memunculkan suatu perilaku tertentu.
2. Pengertian Kewirausahaan Kata entrepreneur berasal dari kata kerja Enterprende. Kata ”wirausaha” merupakan gabungan kata ”wira” (gagah berani, perkasa) dan kata ”usaha”. Jadi wirausaha berarti orang yang gagah berani/perkasa dalam usaha. Kamus umum bahasa Indonesia (Riyanti, 2003) mengartikan wirausaha sebagai: ”orang yang pandai atau berbakat mengenali produk, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya. Drucker
(1985)
mengartikan
kewirausahaan
sebagai
semangat,
kemampuan, sikap, perilaku individu dalam menangani usaha/kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Untuk memperoleh keuntungan diperlukan kreatifitas dan pennemuan hal-hal baru.
Universitas Sumatera Utara
Wirausaha adalah usaha untuk menciptakan nilai dengan peluang bisnis, berani mengambil resiko dan melakukan komunikasi serta ketrampilan melakukan mobilisasi agar rencana dapat terlaksana dengan baik. Pendapat lain diekmukakan oleh Pekerti (2000) bahwa wirausaha adalah individu yang mendirikan, mengelola, mengembangkan dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri dan individu yang dapat menciptakan kerja bagi orang lain dengan berswadaya. Hadipranata (2000) menyatakan seorang wirausaha adalah sosok pengambil resiko yang diperlukan untuk mengatur dan mengelola bisnis serta menerima keuntungan finansial maupun imbalan non materi. wirausaha adalah orang yang mengambil resiko dalam bisnis untuk memperoleh keuntungan. Ada enam hakekat penting kewirausahaan yaitu (Suryana, 2003), sebagai berikut: 1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan,siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis. 2. Kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different). 3. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan. 4. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha (start-up phase) dan perkembangan usaha (venture growth).
Universitas Sumatera Utara
5. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (creative), dan sesuatu yang berbeda (inovative) yang bermanfaat memberi nilai lebih. 6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan. Nilai tambah tersebut dapat diciptakan dengan cara mengembangkan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru, menemukan cara baru untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru yang lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada, dan menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen. Kewirausahaan secara ringkas berdasarkan keenam konsep diatas dapat didefinisikan sebagai sesuatu kemampuan kreatif dan inovatif (create new and different) yang dijadikan kiat, dasar, sumber daya, proses dan perjuangan untuk menciptakan nilai tambah barang dan jasa yang dilakukan dengan keberanian untuk menghadapi risiko. Sesuai dengan inti dari jiwa kewirausahaan yaitu kemampuan untuk menciptakan seuatu yang baru dan berbeda (create new and different) melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang dalam menghadapi tantangan hidup, maka seorang wirausaha harus mempunyai kemampuan kreatif di dalam mengembangkan ide dan pikiranya terutama di dalam menciptakan peluang usaha di dalam dirinya, seseorang dapat mandiri menjalankan usaha yang digelutinya tanpa harus bergantung pada orang lain, seorang wirausaha harus dituntut untuk selalu menciptakan hal yang baru dengan
Universitas Sumatera Utara
jalan mengkombinasikan sumber-sumber yang ada di sekitarnya, mengembangkan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru, menemukan cara baru untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru yang lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada, dan menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen. Berdasarkan penjelasan di atas maka pengertian Kewirausahaan adalah orang yang menciptakan kerja bagi orang lain dengan cara mendirikan, mengembangkan, dan
bersedia mengambil resiko pribadi dalam menemukan
peluang berusaha dan secara kreatif menggunakan potensi-potensi dirinya untuk mengenali produk, mengelola dan menentukan cara produksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya.
3. Aspek-aspek kewirausahaan Drucker (1985) menjelaskan beberapa aspek kewirausahaan, yaitu : 1. Mampu menginderakan peluang usaha, yakni mampu melihat dan memanfaatkan peluang untuk mengadakan langkah-langkah perubahan menuju masa depan yang lebih baik. 2. Memiliki rasa percaya diri dan mampu bersikap positif terhadap diri sendiri dan lingkungannya yakni berkeyakinan bahwa usaha yang dikelolanya akan berhasil. 3. Berperilaku memimpin yaitu mengarahkan, menggerakan orang lain, serta bertanggung jawab untuk meningkatkan usaha.
Universitas Sumatera Utara
4. Memiliki inisiatif untuk jadi kreatif dan inovatif yaitu memiliki prakarsa untuk menciptakan produk atau metode baru lainnya yang lebih baik mutu atau jumlahnya, agar mampu bersaing. 5. Mampu bekerja keras yaitu bekerja secara energik, tekun dan tabah untuk melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tanpa mengenal putus asa. 6. Berpandangan luas dengan visi ke depan yang baik yaitu berorientasi pada masa depan dan dapat memperkirakan hal-hal yang dapat terjadi sehingga langkah-langkah yang diambil sudah dapat diperhitungkan. 7. Berani mengambil resiko yang telah diperhitungkan yaitu suka pada tantangan dan berani mengambil resiko walau dalamsituasi dan kondisi yang tidak menentu. Resiko yang dipilih tentunya dengan perhitungan yang matang. 8. Tanggap pada saran dan kritik yaitu peduli dan peka terhadap kritik sebagai dorongan untuk berbuat lebih baik. Berdasarkan uraian di atas maka aspek-aspek kewirausahaan adalah mampu menginderakan peluang, memiliki rasa percaya diri, memiliki jiwa kepemimpinan, berinisiatif, mampu bekerja keras, berpandangan ke depan, berani mengambil resiko, serta tanggap atas kritik dan saran.
4. Pengertian Intensi Berwirausaha Berdasarkan pengertian intensi dan pengertian kewirausahaan sebelumnya diambil kesimpulan bahwa kewirausahaan adalah orang yang menciptakan kerja bagi orang lain dengan cara mendirikan, mengembangkan, dan
bersedia
mengambil resiko pribadi dalam menemukan peluang berusaha dan secara kreatif
Universitas Sumatera Utara
menggunakan potensi-potensi dirinya untuk mengenali produk, mengelola dan menentukan cara produksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya. Sedangkan pengertian intensi adalah kesungguhan niat seseorang untuk melakukan perbuatan atau memunculkan suatu perilaku tertentu. Berdasarkan pendapat mengenai intensi dan wirausaha yang telah dikemukakan, maka intensi berwirausaha adalah keinginan atau niat yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan wirausaha.
5. Sifat-sifat wirausaha Berikut adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha 1. Percaya Diri Orang yang tinggi percaya dirinya adalah orang yang sudah matang jasmani dan rohaninya. Karakteristik kematangan seseorang adalah ia tidak tergantung pada orang lain, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, obyektif, dan kritis, emosionalnya stabil, tidak gampang tersinggung dan naik pitam. 2. Berorientasi pada tugas dan hasil Berbagai motivasi akan muncul dalam bisnis jika individu berusaha menyingkirkan prestise, akan mampu bekerja keras, enerjik, tanpa malu dilihat teman, asal yang dikerjakan adalah halal. 3. Pengambilan Resiko Wirausaha penuh resiko dan tantangan, seperti persaingan, harga turun naik, barang tidak laku dan sebagainya. Namun semua tantangan ini harus dihadapi dengan penuh perhitungan.
Universitas Sumatera Utara
4. Kepemimpinan Pemimpin yang baik harus mau menerima kritik dari bawahan, ia harus bersifat responsif. 5. Keorisinilan Yang dimaksud orisinal di sini ialah tidak hanya mengekor pada orang lain, tetapi memiliki pendapat sendiri, ada ide yang orisinil, ada kemampuan untuk melaksanakan sesuatu. Orisinil tidak berarti baru sama sekali, tetapi produk tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi dari komponen – komponen yang sudah ada, sehingga melahirkan sesuatu yang baru. 6. Berorientasi ke masa depan Untuk menghadapi pandangan jauh ke depan, seorang wirausaha akan menyusun perencanaan dan strategi yang matang, agar jelas langkah – langkah yang akan dilaksanakan. 7. Kreativitas Conny Setiawan (dalam Nandy 2010), mengemukakan bahwa kreativitas diartikan sebaga kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru. Produk baru artinya tidak perlu seluruhnya baru, tapi dapat merupakan bagian – bagian produk saja. Contoh: Seorang wirausaha membuat berbagai kreasi dalam kegiatan usahanya, seperti susunan barang, pengaturan rak pajangan, menyebarkan brosur promosi dsb. Jadi kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi – kombinasi baru atau melihat hubungan – hubungan baru antara unsure, data, variable; yang sudah ada sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas maka sifat-sifat wirausaha adalah percaya diri, berorientasi pada tugas dan hasil, pengambilan resiko, kepemimpinan, keorisinilan, berorientasi ke masa depan, dan kreativitas.
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Intensi berwirausaha Ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha yaitu: a. Lingkungan keluarga Orang tua akan memberikan corak budaya, suasana rumah, pandangan hidup dan pola sosialisasi yang akan menentukan sikap, perilaku serta proses pendidikan terhadap anak-anaknya. Orang tua yang bekerja sebagai wirausaha akan mendukung dan mendorong kemandirian, berprestasi dan bertanggung jawab. Dukung orang tua ini, terutama ayah sangat penting dalam pengambilan keputusan pemilihan karir bagi anak. Penelitian Jacobowitz dan Vidler (dalam Hirrich dan Peters, 1998) menemukan bahwa 725 wirausahawan yang diteliti mempunyai ayah atau orang tua yang relatif dekat yang juga wirausahawan. b. Pendidikan Pentingnya pendidikan dikemukakan oleh Holt (dalam Rahmawati, 2000) yang mengatakan bahwa paket pendidikan kewirausahaan akan membentuk individu untuk mengejar karir kewirausahaan. Pendidikan formal memberikan pemahaman yang lebih baik tentang proses kewirausahaan, tantang yang dihadapinya para pendiri usaha baru dan masalah-masalah yang harus diatasi agar berhasil. c. Nilai Personal
Universitas Sumatera Utara
Beberapa penelitian menemukan bahwa wirausahawan memiliki sikap yang berbeda terhadap proses manajemen dan bisnis secara umum (Hirrich dan Peters, 1998). Nilai personal dibentuk oleh motivasi, dan optimisme individu. Penelitian Kristiansen & Indarti (2003) menemukan bahwa tingkat intensi wirausaha
individu
dipengaruhi
tinggi
rendahnya
kapasitas
motivasi,
pengendalian diri dan optimisme individu, dimana nilai optimisme, motivasi juga merupakan termasuk dalam kecerdasan menghadapi kesulitan, rintangan, kegagalan dalam berwirausaha, yang disebut dengan Adversity Quotient. Dengan demikian Adversity Quotient juga menentukan tingkat intensi wirausaha seseorang. d. Usia Penelitian Strong (dalam Hartini 2002) terhadap sejumlah pria berusia 1525 tahun tentang minat terhadap pekerjaan menunjukkan bahwa minat berubah secara sedang dan cepat pada usia 15-25 tahun dan sesudahnya sangat sedikit perubahannya. Minat terhadap pekerjaan mengalami perubahan sejalan dengan usia tetapi menjadi relatif stabil pada post adolence. e. Jenis kelamin Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap minat berwirausaha mengingat adanya perbedaan terhadap pandangan pekerjaan antra pria dan wanita. Manson dan Hogg (dalam Wijaya 2007) mengemukakan bahwa kebanyakan wanita cenderung sambil lalu dalam memilih pekerjaan dibanding dengan pria. Wanita menganggap pekerjaan bukanlah hal yang penting. Karena wanita masih dihadapkan pada tuntutan tradisional yang lebih besar menjadi istri dan ibu rumah tangga. Selain faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha di atas,
Universitas Sumatera Utara
seorang wirausahawan memiliki tiga dasar motif sosial : motif untuk berprestasi, motif untuk berafiliasi (menjalin persahabatan), dan motif untuk berkuasa. Dari perbandingan keduanya ternyata seorang wirausaha terlihat jelas memiliki motif berprestasi yang menonjol (sangat tinggi) dibandingkan dengan individu yang tidak tertarik berwirausaha. Berdasarkan uraian di atas maka faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha adalah faktor eksternal yaitu lingkungan keluarga, dan pendidikan. Sedangkan faktor internal yaitu nilai personal, usia dan jenis kelamin.
B. Adversity Quotient (AQ) 1. Pengertian Adversity Quotient Adversity Quotient, merupakan suatu penilaian yang mengukur bagaimana respon seseorang dalam menghadapai masalah untuk dapat diberdayakan menjadi peluang. Adversity Quotient dapat menjadi indikator seberapa kuatkah seseorang dapat terus bertahan dalam suatu pergumulan, sampai pada akhirnya orang tersebut dapat keluar sebagai pemenang, mundur di tengah jalan atau bahkan tidak mau menerima tantangan sedikit pun. Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan (Stoltz, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Stoltz (2000) menambahkan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki Adversity Quotient yang tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang rendah. Stoltz (2000) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan. Bila mengukur kecerdasan dalam menghadapi rintangan individu, yang dilihat tidak hanya sekedar pengkategorian dalam menghadapi rintangan tinggi dan kecerdasan dalam menghadapi rintangan rendah, karena kecerdasan dalam menghadapi
rintangan
merupakan
suatu
tantangan.
Kecerdasan
dalam
menghadapi rintangan bukan masalah hitam dan putih, tinggi atau rendah namun merupakan suatu masalah derajat. Individu yang memiliki kecerdasan dalam menghadapi rintangan tinggi akan memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menikmati manfaat-manfaat kecerdasan dalam menghadapi rintangan yang tinggi (Stoltz, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan (Adversity Quotient) adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa–peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.
2. Dimensi-dimensi Adversity Quotient Adversity Quotient terdiri atas empat dimensi yang tercakup dalam akronim CO2RE. Dimensi-dimensi CO2RE ini akan menentukan Adversity Quotient individu secara menyeluruh (Stoltz, 2000). Dimensi- dimensi CO2RE tersebut adalah: a. Control (C) Control yang disingkat dengan “C” berarti kendali, atau berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menghadirkan kesulitan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin untuk diukur. Kendali berkorelasi langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh, serta mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya. Tanpa adanya kendali terhadap kesulitan, harapan dan tindakan akan hancur. Sebaliknya dengan adanya kendali terhadap kesulitan, maka hidup akan dapat diubah dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai akan terwujud. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu apapun itu dapat dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
b. Origin dan Ownership (O 2 ) Origin Origin atau asal usul, mempertanyakan apa yang menjadi asal usul dari sebuah kesulitan. Orang yang memiliki Adversity Quotient rendah cenderung akan memiliki rasa bersalah yang berlebihan atau tidak semestinya atas peristiwaperistiwa buruk yang terjadi dalam kehidupannya. Dalam hal ini, sebagian orang menganggap dirinya adalah satu-satunya sumber atau asal usul (origin) terjadinya kesulitan tersebut. Menurut Reynolds (dalam Stoltz, 2000), bagian paling penting untuk menghadapi bayangan diri seseorang—klaim atas diri sebagai asal usul terjadinya sebuah kesulitan—adalah dengan memaafkan dan tidak menghakimi. Karena sesungguhnya, dengan sumber daya yang terbatas, seseorang akan senantiasa melakukan apa yang diyakininya terbaik untuk mencapai suatu kebahagiaan. Pada dasarnya rasa bersalah memiliki dua fungsi; pertama, rasa itu dapat membantu seseorang untuk belajar dan melakukan perbaikan agar nantinya keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kedua, rasa bersalah yang mengarah pada suatu penyesalan. Penyesalan merupakan suatu motivator yang sangat kuat, hanya bila ia ditempatkan pada porsi atau takaran yang sewajarnya, tidak berlebihan. Ownership Ownership atau pengakuan, yaitu sejauh mana seseorang mau mengakui akibat-akibat dari suatu kesulitan atau kegagalan yang terjadi. Dimensi ini berkaitan erat dengan dimensi origin, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat ownership seseorang, maka semakin besar derajat pengakuannya terhadap akibat-akibat dari suatu kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya.
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, orang yang memiliki tingkat ownership yang rendah cenderung akan melemparkan kesalahan pada orang lain yang ada di sekitarnya, dan merasa enggan untuk bertanggung jawab mengakui akibat-akibat yang timbul dari kesulitan dan kegagalannya sendiri. c. Reach (R) Reach atau jangkauan merupakan dimensi untuk mengetahui sejauh mana kesulitan akan menjangkau ranah-ranah yang lain dalam kehidupan individu. Individu yang memiliki respon reach yang rendah dalam menghadapi segala sesuatu hanya akan membuat kesulitan bagi dirinya, dan pada gilirannya nanti akan mempengaruhi wilayah-wilayah yang lain dalam kehidupannya, sehingga akan menghambat kinerjanya serta menimbulkan penilaian diri yang negatif. d. Endurance (E) Endurance atau daya tahan, merupakan dimensi pemuncak dalam komposisi Adversity Quotient. Dimensi ini mempertanyakan tentang berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin rendah skor E seseorang, semakin besar kemungkinan ia akan menganggap kesulitan akan berlangsung lama. Sebaliknya, semakin tinggi skor E seseorang, akan memperbesar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan yang dihadapinya akan berlangsung dalam waktu singkat atau sementara. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kecerdasan dalam menghadapi rintangan tidak cukup hanya mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkannya, tetapi yang perlu diperhatiakan adalah
Universitas Sumatera Utara
dimensi-dimensinya agar dapat memahami kecerdasan dalam menghadapi rintangan sepenuhnya. Individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka didorong oleh beberapa respon yang mengarahkan individu tersebut dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa respon yang mendorong individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka. Menurut Stoltz (2000) ada tiga respon terhadap kesulitan yaitu: 1. Quitters Merupakan kelompok orang yang kurang memiliki kemauan untuk menerima tantangan dalam hidupnya. Hal ini secara tidak langsung juga menutup segala peluang dan kesempatan yang datang menghampirinya, karena peluang dan kesempatan tersebut banyak yang dibungkus dengan masalah dan tantangan. Tipe quitter cenderung untuk menolak adanya tantangan serta masalah yang membungkus peluang tersebut. 2.
Campers Merupakan kelompok orang yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapai masalah dan tantangan yang ada, namun mereka melihat bahwa perjalanannya sudah cukup sampai disini. Berbeda dengan kelompok sebelumnya (quitter), kelompok ini sudah pernah menerima, berjuang menghadapi berbagai masalah yang ada dalam suatu pergumulan / bidang tertentu, namun karena adanya tantangan dan masalah yang terus menerjang, mereka memilih untuk berhenti di tengah jalan dan berkemah.
3. Climbers Merupakan kelompok orang yang memilih untuk terus bertahan untuk
Universitas Sumatera Utara
berjuang menghadapi berbagai macam hal yang akan terus menerjang, baik itu dapat berupa masalah, tantangan, hambatan, serta hal - hal lain yang terus dapat setiap harinya. Kelompok ini memilih untuk terus berjuang tanpa mempedulikan latar belakang serta kemampuan yang mereka miliki, mereka terus mendaki dan mendaki.
C. Adversity Quotient sebagai prediktor bagi intensi berwirausaha Adversity Quotient (AQ) berlaku untuk individu, tim dan perusahaan. Adversity Quotient menentukan kemampuan untuk bertahan dan mendaki kesulitan, serta meraih kesuksesan. Seorang wirausaha haruslah memiliki kemampuan yang tidak hanya menjawab tantangan yang muncul tetapi yang lebih utama adalah mampu menjawab tantangan yang mungkin timbul di masa mendatang. Untuk mampu menghadapi tantangan, menurut Stoltz (2000) sangat diperlukan Adversity Quotient. Adversity Quotient merupakan konsep yang dapat untuk melihat seberapa jauh seseorang itu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk menghadapi kesulitan itu, siapa yang mampu mengatasi kemampuan dan siapa yang akan hancur. Adversity Quotient juga meramalkan siapa yang akan melampaui harapan dan potensi serta siapa yang akan gagal, serta meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan. Kecerdasan
dalam
menghadapi
tantangan
juga
mempengaruhi
pengetahuan, kreativitas, produktivitas, kinerja, usia, motivasi, pengambilan resiko, perbaikan, energi, vitalitas, stamina, kesehatan, dan kesuksesan dalam pekerjaan yang dihadapi (Stoltz, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Besarnya hambatan dalam berwirausaha dengan resiko gagal akan berdampak pada intensi seseorang untuk berwirausaha. Tanpa adanya Adversity Quotient yang tinggi maka dikhawatirkan seseorang akan mengalami frustasi dan kegamangan dalam menjalani proses menjadi seorang wirausahawan nantinya (Stoltz, 2000). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Afrila (2010), yang menunjukan bahwa semakin tinggi Adversity Quotient yang dimiliki oleh mahasiswa maka semakin tinggi pula intensi berwirausaha mahasiswa tersebut begitu juga sebaliknya semakin rendah Adversity Quotient yang dimiliki oleh mahasiswa maka semakin rendah pula intensi berwirausaha pada mahasiswa. Stoltz (2000) mengemukakan bahwa AQ memiliki beberapa dimensi yaitu Control atau kendali, Origin dan Ownership (asal usul dan pengakuan), Reach (jangkauan) dan Endurance (daya tahan) membentuk dorongan bagi individu dalam menghadapi masalah yang dikenal dengan dimensi CO 2 RE. Control atau kendali merupakan tingkat rasa percaya diri dan optimisme individu mengenai situasi yang dihadapi, apabila situasi berada dalam kendali individu maka dalam diri individu akan membentuk intensi menyelesaikan masalah. Individu yang memiliki kendali yang tinggi akan berinisiatif menangkap peluang yang ada, yakni mampu melihat dan memanfaatkan peluang untuk melakukan wirausaha Stoltz (2000). Apabila individu yang memandang penyebab / asal usul kesalahan bukan berasal dari diri individu melainkan berasal dari luar atau masalah itu sendiri (Stoltz, 2000), maka akan timbul intensi untuk melakukan sesuatu yang mampu menyelesaikan masalah tersebut. Barker (dalam Stoltz, 2000) Individu yang
Universitas Sumatera Utara
menganggap wirausaha bagian dari masalah dalam diri individu akan memiliki inisiatif, kreativitas, kemandirian berwirausaha. Stoltz (2000) mengemukakan bahwa sejauh mana kesulitan yang dihadapi individu, semakin besar kesulitan-kesulitan yang dihadapi individu maka semakin rendah intensi individu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Individu yang merasa peluang yang ada dapat dijangkau (Reach) akan memiliki niat atau dorongan melakukan wirausaha. Sedangkan jangka waktu masalah yang dihadapi, apabila lama masalah yang dihadapi maka intensi yang ada dalam diri individu menjadi rendah (Endurance). Individu yang menganggap peluang wirausaha bukan suatu masalah yang menghabiskan waktu dan sabar melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan, akan berupaya melakukan wirausaha (Stoltz, 2000). Seorang individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan (Adversity Quotient) diduga akan lebih mudah menjalani profesi sebagai seorang wirausahawan karena memiliki kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang (Stoltz, 2000). Individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan akan memiliki kemampuan untuk menangkap peluang usaha (wirausaha) karena memiliki kemampuan menanggung resiko, orientasi pada peluang/ inisiatif, kreativitas, kemandirian dan pengerahan sumber daya, sehingga Adversity Quotient dalam diri individu memiliki pengaruh terhadap keinginan untuk berwirausaha. Pernyataan diatas didukung oleh pendapat Riyanti (2003), yaitu konsep Adversity Quotient terkait erat dengan keberhasilan wirausaha dalam melakukan proses kewirausahaan karena menjalankan usaha pribadi memerlukan keberanian
Universitas Sumatera Utara
untuk menghadapi kegagalan dan kemauan untuk mencoba terus menerus sampai berhasil. Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh bahwa Adversity Quotient dapat meningkatkan intensi kewirausahaan pada mahasiswa apabila adverity quotient nya tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Adverity Quotient salah satu prediktor positif terhadap intensi berwirausaha pada mahasiswa.
D. Hipotesa Penelitian Berdasarkan kajian pustaka, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut “Adversity Quotient merupakan prediktor positif bagi intensi berwirausaha pada mahasiswa”.
Universitas Sumatera Utara