BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Kerangka Teori dan Literatur II.1.1. Pajak Secara Umum II.1.1.1 Definisi Pajak Demi terus berlangsungnya pembangunan Nasional, aspek pajak sebagai sumber utama penerimaan dana harus diperhatikan. Berikut ini adalah definisi pajak dari para Ahli : 1. Definisi pajak yang dikemukakan Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH yang dikutip oleh Siti Resmi (2008): “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. (h.1) 2. Definisi pajak yang dikemukakan Prof. Dr Adriani seperti yang dikutip oleh Edy Suprianto (2011): “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi- kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah
untuk
membiayai
pengeluaran
–
pengeluaran
umum
berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”. (h.2) Dari buku Edy Suprianto (2011) bahwa unsur-unsur pajak, adalah:
9
1. Iuran/pungutan Pajak merupakan suatu kewajiban pembayaran dari warga negara kepada negaranya sendiri. Hal ini dianggap sebagai suatu rasa tanggungjawab sebagai rakyat. Awalnya memang pajak ini pada zaman kerajaan disebut sebagai upeti yang harus dibayar oleh rakyat kepada rajanya. 2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang Undang-undang memberikan wewenang kepada fiskus atau petugas pajak untuk memaksa wajib pajak untuk mematuhi dan melaksanakan kewajiban pajaknya. Sebab undang-undang menurut sanksi-sanksi pidana fiskal (pajak) sanksi administratif yang khusus diatur oleh undang-undang termasuk wewenang dari perpajakan untuk mengadakan penyitaan terhadap harta bergerak/tetap wajib pajak. 3. Pajak dapat dipaksakan Dalam hukum pajak di indonesia dikenal lembaga sandera atau girling yaitu wajib pajak yang pada dasarnya mampu membayar pajak namun selalu menghindari pembayaran pajak dengan berbagai dalih, maka fiskus dapat penyandera wp dengan memasukannya ke dalam penjara. 4. Tidak menerima kotra prestasi Ciri khas pajak dibanding dengan pungutan lainnya adalah wajib pajak (tax payer) tidak menerima jasa timbal yang dapat ditunjuk secara langsung dari pemerintah namun perlu dipahami bahwa sebenarnya subjek pajak menerima jasa timbal tetapi diterima secara kolektif bersama dengan masyarakat lainnya. 5. Untk membiayai pengeluaran umum pemerintah 10
Pajak yang dipungut tidak pernah ditujukan untuk kepentingan khusus, artinya semua pengeluaran negara ditujukan untuk kepentingan masyarakat banyak atau umum.(h.3) Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2009) ada dua yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. Contoh: a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.
II.1.1.2. Syarat Pemungutan Pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut, seperti yang ada dalam buku Mardiasmo (2009):
11
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan
pemungutan
harus
adil.
Adil
dalam
perundang-undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat Yudiris) di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. 3. Tidak menggangu perekonomian (syarat Ekonomis) pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat Finansiil) sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpanjangannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru. Contoh: •
bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif. 12
•
Tarif PPN yang beragam disederhakan hanya satu tarif, yaitu 10%.
•
Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi). (h.2)
II.1.1.3 Asas – asas Pemungutan Pajak dan Pengelompokannya Asas- asas pemungutan pajak yang telah dikenal menurut para ahli didasarkan pada: (http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak) 1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut. •
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
•
Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
•
Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
13
•
Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
2. Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut. •
Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
•
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
•
Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
•
Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
•
Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecilkecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
3. Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pahak adalah sebagai berikut. •
Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya memadadi sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara
•
Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
14
•
Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
•
Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
•
Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Sedangkan pengelompokan pajak menurut Mardiasmo (2009) terdiri dari: 1. Menurut golongan a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contohnya: Pajak Penghasilan b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut sifat Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip: a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjek
yang
selanjutnya
dicari
syarat
objektifnya,
dalam
arti
memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Penghasilan
15
b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut pemungutnya dan pengelolaannya a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai. b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: •
Pajak propinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
•
Pajak kabupaten/kota, contoh: pajak hotel, pajak restaurant, dan pajak hiburan. (h.2)
Namun PBB akan menjadi Pajak Daerah sesuai UU Pajak dan Retribusi Daerah No 29 tahun 2009 II.1.1.4. Tata cara pemungutan pajak Tatacara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2009) dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Stelsel Pajak Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 stelsel: 16
a. Stelsel nyata (riil stelsel) pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini
adalah
pajak
yang
dikenakan
lebih
realistis.
Sedangkan
kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui) b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapay ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan, kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya. c. Stelsel campuran merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka
17
wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali. 2. Asas- asas Azas-azas pengenaan pajak adalah : a. Azas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggak di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Azas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri b. Azas sumber negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak c. Azas kebangsaan pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara 3. sistem pemungutan pajak a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus 18
2) Wajib pajak bersifat pasif 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus b. Self assessment system Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri 2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, meyetor dan melapor sendiri pajak yang terutang 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi c. Witholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, selain fiskus dan wajib pajak. (h.6)
II.1.1.5. Tarif Pajak ada empat macam tarif pajak menurut Mardiasmo (2009): 1. Tarif sebanding/proporsional 19
Tarif berupa presentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang erhutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenakan pajak 2. Tarif tetap Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapaun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terhutang tetap 3. Tarif progresif Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar 4. Tarif degresif Presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar (h.9)
II.1.1.6. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2009: 8) ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak: 1. Ajaran formil Utang pajak timbul dikarenakan keluarnya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment system 2. Ajaran materiil Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system. 20
Hapusya utang pajak menurut Mardiasmo (2009) dapat disebabkan oleh: 1. Pembayaran 2. Kompensasi 3. Daluwarsa 4. Pembebasan dan penghapusan
II.1.1.7. Hambatan pemungutan pajak Hambatan terhadap pemungutan pajak oleh Mardiasmo (2009) dapat dikelompokan menjadi: 1. Perlawanan pasif Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain: a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat c. Sistem kontrol yang tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik 2. Perlawanan aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: a. Tax avoidance, usaha untuk meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang
21
b. Tax evasion, usaha untuk meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (penggelapan pajak) (h.8)
II.1.1.8 Pajak Negara dan Pajak Daerah Pajak di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok ditinjau dari lembaga pemungut pajak yaitu pajak Negara dan pajak Daerah. Berikut ini adalah pajak negara dan daerah yang masih berlaku hingga saat ini: 1. Pajak Negara Sering disebut juga Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari: (http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak) a.
Pajak Penghasilan Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008
b.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009
c.
Pajak Bumi dan Bangunan Diatur dalam UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 12 Tahun 1994
d.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Diatur dalam UU No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2000
e.
Bea Materai UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai 22
2. Dalam Pasal 1 angka 6 UU No.34 tahun 2000 Mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan pengertian pajak daerah adalah “Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah “ Pajak daerah dibagi menjadi dua bagian menurut Mardiasmo (2009), yaitu: a.
Pajak Propinsi, terdiri dari: i. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air ii. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air iii. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor iv. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
b.
Pajak kabupaten/kota, terdiri dari: i. Pajak hotel ii. Pajak restaurant iii. Pajak hiburan iv. Pajak reklame v. Pajak penerangan jalan vi. Pajak pengambilan bahan galian golongan C vii. Pajak parkir viii. Pajak lain-lain (h.8) 23
II.1.2 Pajak Bumi dan Bangunan II.1.2.1 Sejarah PBB PBB merupakan jenis pajak objektif yang berlaku sejak Januari 2986 berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Jenis pajak ini bukanlah tergolong jenis pajak baru karena pada dasarnya terdapat jenis pajak yang memiliki kesesuaian dengan PBB yang telah lama dikenal dan jauh sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Secara umum latar belakang sejarah ke-PBB-an terbagi menjadi tiga bagian yaitu sebelum penjajahan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Pada masa sebelum penjajahan, pajak atas tanah telah lama dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu berkuasa di nusantara dengan nama drwyahaji. Salah satu kerajaan besar di masa lalu, Mataram, dalam sejarah disebutkan telah menerapkan tanah pertanian ssebagai objek pajak. Saat itu pajaknya dipungut berdasarkan luas tanah. Selain di Jawa, di kerajaan Aceh dikenal pula pungutan atas tanah ladang yang dikenal dengan istilah wase tanah disamping pungutan-pungutan lainnya. Pada masa penjajahan, dikenal adanya jenis pajak bumi yang disebut Land Rent. Jenis pajak ini diperkenalkan oleh Sir Stanford Rafles, Seorang Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1816. Land Rent dikenakan terhadap semua jenis tanah produktif dan wajib pajaknya adalah desa (kepada desa), bukan perseorangan, karena kepada desa dianggap sebagai penyewa yang harus membayar sewa tanah. Besarnya tarif Land Rent bervariasi antara 20% hingga 50% dari hasil produksi pertania tergantung pada jenis produksinya. Pada masa penjajahan Belanda (1986) pemungutan Land Rent tetap dipertahankan dengan mengganti namanya 24
menjadi Landrente dan besarnya tarif juga diubah menjadi 20% dari produksi pertanian. Selanjutnya pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia (1942-1945), nama Land Rent diubah menjadi Land Tax. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, nama Land Tax atau pajak tanah disebut Pajak Bumi. dan pada tahun 1951 sampai dengan 1959 nama Jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) yang mempunyai tugas mendaftar dan mengeluarkan surat pendaftaran sementara bagi tanahtanah milik terdaftar. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, terhadap tanah yang tunduk kepada hukum adat dipungut pajak yang dikenal sebagai Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda). Selain Ipeda, pada masa itu dipungut pula enam pajak kekayaan dan pungutan lain atas tanah dan bangunan yang menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya dan menyebabkan adanya beban pajak berganda bagi masyarakat. Dengan adanya reformasi perpajakan pertama yang dimulai pada tahun 1983, antara lain dengan penyederhanaan jumlah dan jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui pengundangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, maka tujuh jenis pajak kebendaan dan kekayaan atas tanah dan bangunan disederhakan menjadi PBB. Dalam halaman Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan bangunan, pertimbangan-pertimbangan Pemerintah dalam membentuk undang-undang pajak nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah: a. Bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran 25
dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan meningkatkan peran-serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya; b. Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak; c. Bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga dapat mewujudkan peran serta dan kegotongroyongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional; d. Bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan pajak kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum; e. Bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan
II.1.2.2 Definisi Definisi bumi dan bangunan Menurut Heru Suprianto (2010) yang diambil dari UU tahun 1960 mengenai Peraturan dasar Pokok-pokok Agrarra adalah:
26
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. (h.3) Termasuk dalam pengertian bangunan menurut Mardiasmo (2009) adalah: 1. Jalan lingkungan dalan satu kesatuan komplek bangunan 2. Jalan tol 3. Kolam renang 4. Pagar mewah 5. Tempat olahraga 6. Galangan kapal, dermaga 7. Taman mewah 8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak 9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat (h.311) Menurut Erly Suandy, (2002) yang dimaksud pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak. (h.64) Menurut Suharno, (2003) yang dimaksud Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan bagi hasil pajak. (h.32) 27
Sedangkan pengertian PBB yang diambil dari www.pajak.go.id adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Dari pengertian tentang Pajak Bumi dan Bangunan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan negara yang berasal dari rakyat atas kebendaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah masing-masing untuk meningkatkan pendapatan daerah tersebut.
II.1.2.3 NJOP Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menurut Mardiasmo (2009) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, nilai jual objek pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pengganti. Yang dimaksud dengan: •
Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya; 28
•
Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut;
•
Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Besarnya NJOP berdasarkan klasifikasi: 1. Objek pajak sektor pedesaan dan perkotaan 2. Objek pajak sektor perkebunan 3. Objek pajak sektor kehutanan atas hak penguasaan hutan, hak pengusahaan hasil hutan, izin pemanfaatan kayu serta izin sah lainnya selain penguasaan hutan tanaman industri 4. Objek pajak sektor kehutanan atas hak pengusahaan hutan tamanan industri 5. Objek pajak sektor pertambangan minyak dan gas bumi 6. Objek pajak sektor pertambangan energi panas bumi 7. Objek pajak sektor pertambangan non migas selain energi panas bumi dan galian c 8. Objek sektor pertambangan non migas galian c 9. Objek pajak sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan kontrak karya atau kontrak kerjasama 10. Objek pajak usaha bidang perikanan laut 11. Objek pajak usaha bidang perikanan darat 12. Objek pajak bersifat khusus (h. 312) 29
II.1.2.4 Objek PBB Berikut ini adalah Objek pajak bumi dan bangunan menurut Mardiasmo (2009): 1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan bangunan 2. yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan daktor-faktor sebagai berikut: a. Letak b. Peruntukan c. Pemanfaatan d. Kondisi lingkungan dan lain-lain dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa c. Letak d. Kondisi lingkungan dan lain-lain 3. Pengecualian objek pajak adalah: a. Digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dan tidak mencari keuntungan, antara lain: 1) di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara 2) di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit 30
3) di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren 4) di bidang sosial, contoh: panti asuhan 5) di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dukuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internsional yang ditentukan oleh menteri keuangan 4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerinthan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Yang
dimaksud
dengan
objek
pajak
adalah
objek
pajak
yang
dimiliki.dikuasai/digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang anatara lain dipergunakan untuk penyediaan fasillitas yang juga dinikmati oleh pemerintah pusat dari pemerintah daerah. Oleh sebab ituwajar pemerintah pusat juga ikut membiayai fasilitas tersebut melalui pembayaran pajak bumi dan bangunan. Mengenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan atau
31
bukan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan. 5. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp.12.000.000,(dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak memiliki beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. (h. 313)
II.1.2.5 Subjek PBB Menurut Widodo, dkk (2010) yang dimaksud dengan subjek PBB adalah: Yang menjadi subjek PBB adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata : a. Mempunyai suatu hak atas bumi, dan/ atau; b. Memperoleh manfaat atas bumi, dan atau; c. Memiliki bangunan, dan atau; d. Menguasai bangunan, dan atau; e. Memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek pajak yang disebutkan
di atas adalah yang dikenakan kewajiban
membayar pajak. Apabila suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak yang disebutkan diatas sebagai wajib pajak (subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak). Subjek pajak yang ditetapkan sebagai wajib pajak dapat menolak untuk dijadikan wajib pajak dengan cara memberi keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal 32
Pajak bahwa wajib pajak tersebut bukan wajib pajak terhadap objek yang dimaksud. Direktur Jenderal Pajak dapat menyetujui maupun menolak keterangan tertulis yang diajukan oleh wajib pajak. Jika Direktur Jenderal Pajak menyetujui keterangan tertulis wajib pajak yang menolak penetapan sebagai wajib pajak, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keterangan tertulis. Apabila keterangan tertulis yang diajukan oleh wajib pajak tidak disetujui (ditolak) maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya surat keterangan dari wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap di setujui. (h.6)
II.1.2.6 Nilai Jual Kena Pajak Menurut Widodo (2010) Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang besarnya presentase NJKP adalah sebagai berikut : 1. Objek Pajak Perkebunan adalah sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 2. Objek Pajak Kehutanan adalah sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 3. Objek Pajak Pertambangan adalah sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 4. Objek Pajak Lainnya: a. Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak jika Nilai Jual Objek Pajaknya Rp. 1.000.000.000,- (1 milyar) atau lebih.
33
b. Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak jika Nilai Jual Objek Pajaknya kurang dari dari Rp. 1.000.000.000,- (1 milyar) (h.10)
II.1.2.7 Tarif PBB Menurut Undang-undang PBB tahun 1985 Bab IV pasal 5, Tarif pajak yang dikenakan atas Obyek Pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).
II.1.2.8 SPOP, SPPT dan SKP Berikut ini adalah mengenai SPOP, SPPT dan SKP menurut Mardiasmo (2009): 1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan memakai SPOP. Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan dikembalikan kepada direktur Jenderal Pajak. Wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya keoada Direktorat Jenderal Pajak. 2. SPOP harus diisi dengan jelas , benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada dirjen pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak. Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah:
34
Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak sendiri. Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah dan atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) 3. Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya. SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib pajak SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal pajak. 4. Direktur jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal sebagai berikut: a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimanaditentukan dana Surat Teguran. b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak. Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan.
35
Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak ternyata Jumlah Pajak terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP secara jabatan. 5. Jumlah pajak terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak. Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP, dikenakan sanksi sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% dari pokok pajak. SKP ini berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak memuat penetapan objek pajak dan besarnya pajak yang terutang beserta denda administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak. 6. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalan no 4 huruf b, adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dalam pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang. Sanksi administrasi dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi SPOP tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. (h.319)
II.1.2.9 Dasar Pengenaan Pajak Berikut ini adalah dasar pengenaan pajak menurut Mardiasmo (2009): 1. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak (NJOP) 36
2. Besarnya nilai jual objek pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh kepala kantor wilayah direktorat jenderal pajak atas nama menteri keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (pemerintah daerah) setempat 3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari nilai jual objek pajak 4. Besarnya
presentase
ditetapkan
dengan
peraturan
pemerintah
dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama menteri keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/ Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak. Yaitu suatu presentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. (h.317)
II.1.2.10 Tahun pajak, saat dan tempat yang menentukan pajak terhutang Berikut ini adalah tahun, saat dan tempat yang menentukan pajak terutang menurut Widodo, dkk, (2010): 1. Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim. Jangka waktu satu tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember 37
2. saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan objek pajak tanggal 1 Januari. Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak terutang. 3. Tempat pajak yang terhutang: a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta b. Untuk daerah lainnya, di wilayah kabupaten daerah tingkat II atau kotamadya daerah tingkat II (h.12)
II.1.3 Metode Perencanaan Pemerintah Pemerintah memiliki beberapa metode dalam menentukan besarnya rencana yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Adapun jenis-jenis rencana yang dipakai oleh pemerintah yang diambil dari http://h0404055.wordpress.com/ 2010/04/02/ kelebihan-dan-kekurangan-model-perencanaan-top-down-planning-bottom-up-planningdan-perancangan-gabungan/ adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan dengan sistem top down planning artinya adalah perencanaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan sebagai pemberi gagasan awal serta pemerintah berperan lebih dominan dalam mengatur jalannya program yang berwal dari perencaan hingga proses evaluasi, dimana peran masyarakat tidak begitu berpengaruh. 2. Perencanaan dengan sistem bottom up planning artinya adalah perencanaan yang dilakukan diaman masyarakat lebih berperan dalam hal pemberian gagasan awal
38
sampai dengan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan sedangkan pemerintah pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam suatu jalannya program. 3. Perencaan dengan sistem gabungan dari kedua sistem diatas adalah perencaan yang disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat dan program yang diinginkan oleh masyarakat yang merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan juga masyarakat sehingga peran antar satu dan keduanya saling berkaitan.
Adapun kelemahan dari tipe top down planning adalah :
1. Masyarakat tidak bisa berperan lebih aktif dikarenakan peran pemerintah yang lebih dominan bila dibanding peran dari masyarakat itu sendiri. 2. Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan. 3. Peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir. 4. Tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud dikarenakan pemerintah pusat tidak begitu memahami hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat. 5. Masyarakat akan merasa terabaikan karena suara mereka tidak begitu diperhitungkan dalam proses berjalannya suatu proses. 6. Masyarakat menjadi kurang kreatif dengan ide-ide mereka.
Kelebihan dari sistem ini adalah
39
1. Masyarakat tidak perlu bekerja serta memberi masukan program tersebut sudah dapat berjalan sendiri karena adanya peran pemerintah yang optimal. 2. Hasil yang dikeluarkan bisa optimal dikarenakan biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemerintah. 3. Mengoptimalkan kinerja para pekerja dipemerintahan dalam menyelenggarakan suatu program.
Kelebihan dari sistem bottom up planning adalah
1. Peran masyarakat dapat optimal dalam memberikan masukan atau ide-ide kepada pemerintah dalam menjalakan suatu program. 2. Tujuan yang diinginkan oleh masyarakat akan dapat berjalan sesuai dengan keinginan masyrakat karena ide-idenya berasal dari masyarakat itu sendiri sehingga masayarakat bisa melihat apa yang diperlukan dan apa yang diinginkan. 3. Pemerintah tidak perlu bekerja secara optimal dikarenakan ada peran masyarakat lebih banyak. 4. Masyarakat akan lebih kreatif dalam mengeluarkan ide-ide yang yang akan digunakan dalam suatu jalannya proses suatu program.
Kelemahan dari sistem bottom up planning adalah
1. Pemerintah akan tidak begitu berharga karena perannya tidak begitu besar. 2. Hasil dari suatu program tersebut belum tentu biak karena adanya perbadaan tingkat pendidikan dan bisa dikatakn cukup rendah bila dibanding para pegawai pemerintahan. 40
3. Hubungan masyarakat dengan pemerintah tidak akan berlan lebih baik karena adanya silih faham atau munculnya ide-ide yang berbeda dan akan menyebabkan kerancuan bahkan salah faham antara masyarakat dengan pemerintah dikarenakan kurang jelasnya masing-masing tugas dari pemerintah dan juga masyarakat.
Bila dilihat dari kekurangan serta kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing sistem tersebut maka sitem yang dianggap paling baik adalah suatu sistem gabungan dari kedua janis sistem tersebut karena banyak sekali kelebihan yang terdapat didalamya antara lain adalah selain masyarakat mampu berkreasi dalam mengembangkan ide-ide mereka sehingga mampu berjalan beriringan bersama dengan pemerintah sesuai dengan tujuan utama yang diinginkan dalam mencapai kesuksesan dalam menjalankan suatu program tersebut
II.2. Metodologi Penelitian Metodelogi penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan proposal skripsi ini menggunakan dua cara, yaitu : 1. Studi Literatur Penulis melakukan pengumpulan informasi yang berkaitan dengan judul proposal skripsi dengan cara mempelajari dan membaca buku – buku serta literatur guna mendapat referensi dan teori – teori yang relevan yang akan dijadikan dasar kriteria dalam membahas masalah yang ditemukan pada saat penelitian lapangan. 2. Penelitian Lapangan 41
Penulis melakukan peninjauan di lokasi penelitian. Dalam hal ini penulis melihat kondisi dan keadaan geografis pada kecamatan Pondok Aren untuk mendapatkan gambaran mengenai PBB yang seharusnya didapat. 3. Wawancara Penulis melakukan wawancara kepada pihak yang terkait, untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan rencana dan realisasi penerimaan PBB pada kecamatan Pondok Aren.
42