BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Akuntansi Syariah 2.1.1 Pengertian dan Prinsip Akuntansi Syariah Akuntansi yang mempunyai pengertian sebagai kegiatan mencatat, menggolongkan, mengikhtisarkan sehingga dihasilkan informasi keuangan dalam bentuk laporan keuangan yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Sedang Syariah berarti aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam melakukan seluruh kegiatan baik ibadah mahdhoh seperti shalat, zakat, puasa, dan haji maupun muamalah. Dan Akuntansi Syariah yang berarti proses akuntansi atas transaksi-transaksi yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. Akuntansi Syariah dapat diartikan sebagai proses akuntansi atas transaksi-transaksi yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah SWT, sehingga ketika mempelajari akuntansi Syariah dibutuhkan pemahaman yang baik, mengenai akuntansi sekaligus juga tentang Syariah Islam. 1 Paradigma Syariah dalam akuntansi akan mempertimbangkan berbagai paradigma dengan menunjukkan adanya perbedaan ideologi akuntansi. Berdasarkan pijakan agama tersebut, maka ada tiga dimensi yang saling berhubungan, yaitu : (1) mencari keridloan Allah sebagai 1
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia. (Jakarta:Salemba Empat, 2009), hlm. 8.
26
27
tujuan utama dalam menentukan keadilan sosio-ekonomi; (2) merealisasikan keuntungan bagi masyarakat, yaitu dengan memenuhi kewajiban kepada masyarakat; dan (3) mengejar kepentingan pribadi, yaitu: memenuhi kebutuhan sendiri. Pemenuhan ketiga bagian bentuk aktivitas ini adalah termasuk dalam ibadah. Dengan kata lain, akuntansi dapat dianggap sebagai suatu aktivitas ibadah bagi seorang Muslim. Ketiga dimensi itu saling berhubungan untuk memenuhi kewajiban kepada Tuhan, masyarakat dan hak individu, dengan berdasarkan prinsip syariah yang dapat diamati.2 2.1.2 Standar Akuntansi Perbankan Syariah Langkah pengembangan standar akuntansi keuangan bank Islam dimulai pada tahun 1987. Sedikitnya lima volume telah terkumpul dan tersimpan di perpustakaan Islamic Research and Training Institute, Islamic
Development
Bank
(IDB).
Studi
itu telah
mendorong
pembentukan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (Organisasi Akuntansi Keuangan untuk Bank dan Lembaga Keuangan Islam) yang didaftarkan sebagai organisasi nirlaba di Bahrain pada tahun 1411 H (1991). Sejak didirikan, organisasi ini terus mengembangkan standar keuangan melalui pertemuan periodik Komite Pelaksana untuk Perencanaan dan Tindak Lanjut.
2
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2002), hlm. 274-275.
28
Di Indonesia sendiri akhirnya pada 1 Mei 2002 telah disahkan PSAK 59 Akuntansi Perbankan Syariah dan Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan bank Syariah yang resmi berlaku sejak 1 Januari 2003. 3 Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan Syariah Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) tidak lepas dari kerjasama tiga lembaga di tingkat nasional yang memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Bank Indonesia (BI), dan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan representasi dari Majelis Ulama Indonesia. 4 Sayangnya PSAK 59 ini hanya dikhususkan pada entitas bank Syariah saja, Bank Umum Syariah (BUS), Unit usaha Syariah (UUS), dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), tidak untuk bank maupun lembaga keuangan Syariah di Indonesia. Kemudian pada bulan Juli 2003 Bank Indonesia dan Ikatan Akuntansi Indonesia menerbitkan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang berperan sebagai pedoman yang mengatur secara teknis dan rinci penjabaran
PSAK No. 59 tentang
perbankan Syariah. Untuk bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah guna menyusun laporan keuangan dengan lebih mudah dan lebih baik sesuai dengan ketentuan PSAK 59 dan ketentuan lain yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pada tanggal 19 September 2006 Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAK) menyetujui untuk menyebarluaskan Exposure Draft 3
Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah, (Yogyakarta : P3EI Press, 2008), hlm.
4
Ibid, hlm. 28.
25.
29
PSAK Syariah yang terdiri dari : Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS), PSAK 101 sampai PSAK 106. Selanjutnya pada tanggal 26 Februari 2008 IAI juga telah mengeluarkan 3 Exposure Draft PSAK Syariah tambahan yaitu : ED PSAK 107, ED PSAK 108, dan ED PSAK 109.5
2.2 Tujuan Laporan Keuangan Perbankan Syariah6 2.2.1 Tujuan Akuntansi Keuangan adalah sebagai berikut : a. Untuk menentukan hak dan kewajiban dari pihak yang terlibat dengan lembaga keuangan Syariah tersebut, termasuk hak dan kewajiban dari transaksi yang belum selesai, terkait dengan penerapan, kewajaran dan ketaatan atas prinsip dan etika Syariah Islam. b. Untuk menjaga aset dan hak-hak lembaga keuangan Syariah. c. Untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan produktivitas dari lembaga keuangan Syariah. d. Untuk menyiapkan informasi laporan keuangan yang berguna kepada pengguna laporan keuangan sehingga mereka dapat membantu keputusan yang tepat dalam berhubungan dengan lembaga keuangan. 2.2.2 Tujuan laporan keuangan kepada pengguna informasi luar sebagai berikut: 5 6
Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 27. Sri Nurhayati dan Wasilah, op.cid, hlm. 99-100.
30
a. Memberikan informasi tentang kepatuhan lembaga keuangan Syariah terhadap Syariah Islam, termasuk informasi tentang pemisahan antara pendapatan dan pengeluaran yang boleh dan tidak menurut syariat Islam. b. Memberikan informasi tentang sumber daya ekonomi dan kewajiban lembaga keuangan Syariah. c. Memberikan informasi kepada pihak yang terkait dengan penerimaan dan penyaluran zakat pada lembaga keuangan Syariah. d. Memberikan informasi untuk mengestimasi arus kas yang dapat direalisasikan, waktu realisasi dan risiko yang mungkin timbul dari transaksi dengan lembaga keuangan Syariah. e. Memberikan informasi agar pengguna laporan keuangan dapat menilai dan mengevaluasi lembaga keuangan Syariah apakah telah menjaga dana serta melakukan investasi dengan tepat termasuk memperoleh imbal hasil yang memuaskan. f. Memberikan informasi tentang pelaksanaan tanggung jawab sosial dari lembaga keuangan Syariah.
2.3 Prinsip Sistem Keuangan Syariah7 Berikut ini adalah prinsip sistem keuangan Islam sebagaimana diatur melalui Al-Qur’an dan As-sunah :
7
Sri Nurhayati dan Wasilah, op. cid., hlm. 84-85.
31
a. Pelarangan Riba. Riba (dalam bahasa Arab) didefinisikan sebagai “kelebihan” atas sesuatu akibat penjualan ataupun pinjaman. Riba/ Ribit (bahasa Yahudi) telah dilarang tanpa adanya perbedaan pendapat diantara para ahli fikih. Riba merupakan pelanggaran atas sistem keadilan sosial, persamaan dan hak atas barang. Oleh karena sistem riba ini hanya menguntungkan para pemberi pinjaman/ pemilik harta, sedangkan pengusaha tidak diperlakukan sama. Padahal “untung” itu baru diketahui setelah berlalunya waktu bukan hasil penetapan di muka. b. Pembagian Risiko. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pelarangan riba yang menetapkan hasil bagi pemberi modal di muka. Sedangkan melalui pembagian risiko maka pembagian hasil akan dilakukan di belakang yang besarnya tergantung dari hasil yang diperoleh. Hal ini juga membuat kedua belah pihak akan saling membantu untuk bersama-sama memperoleh laba, selain lebih mencerminkan keadilan. c. Tidak Menganggap Uang sebagai Modal Potensial. Dalam masyarakat industri dan perdagangan yang sedang berkembang sekarang ini (konvensional), fungsi uang tidak hanya sebagai modal potensial. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedang dalam fungsinya sebagai modal nyata (capital), uang dapat menghasilkan sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang maupun jasa. Oleh sebab itu, sistem keuangan
32
Islam memandang uang boleh dianggap sebagai modal kalau digunakan bersamaan dengan sumber daya yang lain untuk memperoleh laba. d. Larangan Melakukan Kegiatan Spekulatif. Hal ini sama dengan pelarangan untuk transaksi yang memiliki tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi, judi dan transaksi yang memiliki risiko yang sangat besar. e. Kesuaian Kontrak. Oleh karena Islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak harus dilakukan. Hal ini akan mengurangi risiko atas informasi yang asimetri dan timbulnya moral hazard. f. Aktivitas Usaha Harus Sesuai Syariah. Seluruh kegiatan usaha tersebut haruslah merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut Syariah. Dengan demikian, usaha seperti minuman keras, judi, peternakan babi yang haram juga tidak boleh dilakukan. Jadi, prinsip keuangan Syariah mengacu kepada prinsip rela sama rela (antaraddim minkum), tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la tazhilmuna wa la tuzhlamun), hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi al dhaman), dan untung muncul bersama risiko (al ghunmu bi al ghurmi).
2.4 Standar Akuntansi Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah 2.4.1 Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS). Kerangka dasar (conceptual framework) seperti sebuah konstitusi di suatu negara. Kerangka dasar merupakan sebuah sistem yang
33
terpadu yang mengaitkan antara tujuan-tujuan dan landasan yang ditetapkan dalam penyusunan kerangka dasar. Tujuan dan landasan tersebut
diharapkan mampu mengarahkan penyusunan standar
akuntansi dan pelaporan keuangan yang konsisten serta memiliki arah, fungsi, dan batasan yang jelas. Oleh karena itu, kerangka dasar merupakan sesuatu yang mutlak untuk disusun dan ditetapkan sebagai panduan bagi Komite Akuntansi Syariah dan Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dalam merumuskan Standar Akuntansi Keuangan. KDPPLKS merupakan penyempurnaan dari Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (KDPPLK) Bank Syariah (2002).8
8
Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 87-88.
34
Kerangka Dasar Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan Syariah 9 KDPPLKS yang mendasari Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan Syariah
Kerangka Dasar
Kebutuhan Pengembangan
Level Pertama: Tujuan Dasar
Tujuan dan Peranan Pemakai dan Kebutuhan Informasi Paradigma Transaksi Syariah Asas Transaksi Syariah Karakteristik Transaksi Syariah Tujuan Laporan Keuangan
Level Kedua: Konsep Dasar
Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan Unsur-unsur Laporan Keuangan
Level Tiga: Pengakuan dan Pengukuran Asumsi Dasar Kendala Informasi
Gambar 2.1 KDPPLKS 2.4.2 PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan Syariah PSAK 101 mengatur tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah. PSAK 101 merupakan penyempurnaan dari PSAK 59 : Akuntansi Perbankan Syariah (2002) yang mengatur mengenai penyajian dan pengungkapan laporan keuangan bank Syariah. 10 PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah ini memiliki motivasi untuk mengatur tujuan umum laporan keuangan untuk entitas Syariah. PSAK 101 bertujuan untuk mengatur penyajian dan pengungkapan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) untuk entitas Syariah yang selanjutnya disebut 9
Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 90. Ibid., hlm. 129.
10
35
“laporan keuangan”, agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan entitas Syariah periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas Syariah lain. 11 PSAK Syariah 2007 berlaku bagi entitas Syariah maupun entitas konvensional yang menjalankan transaksi Syariah. Dalam hal penyajian laporan keuangan Syariah, maka entitas konvensional yang menjalankan transaksi Syariah tidak diharuskan untuk menyusun laporan keuangan Syariah. PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah ini hanya ditujukan bagi entitas Syariah yang menjalankan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.12 2.4.3 PSAK 102: Akuntansi Murabahah. Murabahah
adalah
transaksi
penjualan
barang
dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. 13 Fatwa DSN yang mengatur transaksi murabahah adalah No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Standar akuntansi keuangan yang pertama kali mengatur tentang akuntansi murabahah adalah PSAK 59 paragraf 52 sampai dengan 68 tentang pengakuan dan pengukuran murabahah.14 Perlakuan akuntansi murabahah untuk akuntansi penjual dan pembeli. Yang meliputi pengakuan dan pengukuran pada saat perolehan aset, pengukuran aset murabahah jika murabahah pesanan mengikat dan tanpa pesanan atau tidak mengikat,
11
Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 121-122. Ibid, hlm. 131. 13 Sri Nurhayati dan Wasilah, op. cid.hlm. 160. 14 Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 165. 12
36
bila terdapat diskon saat pembelian barang, kewajiban pengembalian diskon, pengakuan keuntungan, apabila terdapat potongan saat pelunasan piutang, jika terdapat denda, dan pengukuran atas penerimaan uang muka. 2.4.3 PSAK 103 : Akuntansi Salam. Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli (al muslam) pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.15 Fatwa DSN yang mengatur transaksi salam adalah fatwa No.05/DSN-MUI/IV/2000. Standar akuntansi keuangan yang pertama kali mengatur tentang akuntansi salam adalah PSAK 59 paragraf 69 sampai dengan 80 tentang pengakuan dan pengukuran salam dan salam paralel.16 Perlakuan akuntansi salam untuk pembeli dan penjual dari pengakuan dan pengukuran piutang maupun kewajiban salam, penerimaan pesanan, apabila terjadi selisih harga, terjadi denda, sampai pelunasan salam. 2.4.4 PSAK 104 : Akuntansi Istishna. Akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
15 16
antara
pemesan
(pembeli/mustashni’)
Sri Nurhayati dan Wasilah, op. cid ,hlm. 188. Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 205.
dan
penjual
37
(pembuat/shani’).17 Fatwa DSN yang mengatur transaksi istishna adalah fatwa No.06/DSN-MUI/IV/2000. Standar akuntansi keuangan yang pertama kali mengatur tentang akuntansi istishna adalah PSAK 59 paragraf 81 sampai dengan 104 tentang pengakuan dan pengukuran istishna dan istishna paralel. 18 Perlakuan akuntansi PSAK 104 untuk penjual/ produsen dan pembeli meliputi : biaya-biaya perolehan istishna, potongan pembayaran, bila terjadi kesalahan dalam pesanan, pengakuan pendapatan, bila terjadi penagihan, penerimaan tagihan. 2.4.5 PSAK 105 : Akuntansi Mudharabah. Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh misconduct, negligence atau violation oleh pengelola dana. 19 Fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 mengatur tentang mudharabah qiradh. Standar akuntansi keuangan yang pertama kali mengatur tentang akuntansi mudharabah adalah PSAK 59 paragraf 6 sampai dengan 34. 20 Perlakuan akuntansi PSAK 105 untuk pemilik dana dan pengelola dana, meliputi : pengukuran investasi mudharabah dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan, sedang investasi dalam bentuk aset nonkas diukur sebesar nilai wajar
17
Sri Nurhayati dan Wasilah, op. cid., hlm. 202. Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 234. 19 Sri Nurhayati dan Wasilah, op. cid., hlm. 112. 20 Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 288. 18
38
aset nonkas pada saat penyerahan, penurunan nilai investasi, kerugian, hasil usaha, dan berakhirnya akad mudharabah. 2.4.6 PSAK 106 : Akuntansi Musyarakah. PSAK 106
mendefinisikan
Musyarakah
sebagai
akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan
bahwa
keuntungan
dibagi
berdasarkan
kesepakatan
sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. 21 Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 mengatur tentang pembiayaan musyarakah. Standar akuntansi keuangan yang pertama kali mengatur tentang akuntansi musyarakah adalah PSAK 59 paragraf 35 sampai dengan 51 tentang pengakuan dan pengukuran musyarakah. 22 Perlakuan akuntansi untuk transaksi musyarakah akan dilihat dari dua sisi pelaku yaitu mitra aktif dan mitra pasif. Yang pencatatannya meliputi : pengakuan investasi musyarakah, biaya pra akad, pengukuran investasi musyarakah, bila diperoleh keuntungan, pelunasan modal, pengembalian modal, serta pencatatan di akhir akad. 2.4.7 ED PSAK 107 tentang Akuntansi Ijarah. Ijarah didefinisikan sebagai akad perpindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan perpindahan
21 22
Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 134. Ibid, hlm., 330.
39
kepemilikan atas barang itu sendiri. 23 Fatwa DSN No.09/DSNMUI/IV/2000 mengatur tentang ijarah dan Fatwa DSN No.27/DSNMUI/III/2002 mengatur tentang ijarah muntahiya bittamlik. Standar akuntansi keuangan yang pertama kali mengatur tentang akuntansi ijarah adalah PSAK 59 paragraf 105 sampai dengan 129 tentang pengakuan dan pengukuran ijarah. 24 Perlakuan akuntansi untuk pemberi sewa dan penyewa, yang meliputi : biaya perolehan, penyusutan, pendapatan sewa, biaya pemeliharaan objek, perpindahan kepemilikan. 2.4.8 ED PSAK 108 tentang Akuntansi Penyelesaian Piutang Murabahah. Apabila pelunasan piutang tertunda dikarenakan pembeli mengalami kesulitan keuangan, maka penjual hendaknya memberi keringanan. Keringanan dapat berupa menghapus sisa tagihan, membantu menjualkan objek murabahah pada pihak lain atau melakukan restrukturisasi piutang.25 Perlakuan akuntansi penyelesaian piutang murabahah untuk kreditor (penjual) dan debitur (pembeli) meliputi : pemberian potongan, penjadwalan kembali murabahah, dan konversi akad murabahah. 26 2.4.9 ED PSAK 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infaq/ Sedekah. Perlakuan akuntansi (ED PSAK 109), ruang lingkup PSAK ini hanya untuk amil zakat yang menerima dan menyalurkan zakat/ infaq/
23
Sri Nurhayati dan Wasilah, op. cid, hlm. 216. Rifqi Muhammad, op. cid., hlm., 358-360. 25 Ibid, hlm. 162. 26 Ibid, hlm. 174-177. 24
40
sedekah, atau organisasi pengelola zakat yang pembentukannya dimaksudkan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah. Perlakuan akuntansinya adalah akuntansi untuk zakat dan akuntansi untuk infaq/ sedekah. Pencatatannya meliputi : jurnal penerimaan zakat/ infaq/ sedekah baik dalam bentuk kas maupun nonkas, zakat/ infaq/ sedekah yang diterima sebagai dana amil maupun nonamil, penilaian aset lancar maupun tidak lancar, penurunan nilai aset zakat/ infaq/ sedekah, serta penyaluran zakat/ infaq/ sedekah. 27
2.5 Musyarakah 2.5.1 Pengertian Musyarakah28 Istilah lain dari musyarakah adalah shirkah atau
syirkah.
Musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan wasiat atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap 27 28
Sri Nurhayati dan Wasilah, op. cid, hlm. 299-301. Rifqi Muhammad, op.cid., hlm. 321-322.
41
orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan berbagi keuntungan dan kerugian. Mekanisme transaksi musyarakah yang dilakukan di sektor perbankan Syariah adalah sebagai berikut : a. Bentuk umum dari usaha bagi hasil musyarakah (shirkah atau syirkah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya
keinginan
para
pihak
yang
bekerjasama
untuk
meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. b. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersamasama memadukan seluruh bentuk sumber baik yang berwujud maupun tidak berwujud. c. Secara spesifikasi bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat
berupa dana,
kewiraswastaan
barang perdagangan (trading asset),
(entrepreneurship),
kepandaian
(skill),
kepemilikan (property), peralatan (equipment) atau intangible asset, seperti hak paten atau goodwill, kepercayaan reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. d. Dengan merangkum seluruh kombinasi dan bentuk kontribusi masing-masing
pihak
dengan atau
menjadikan produk ini sangat fleksibel.
tanpa
batasan waktu
42
2.5.2 Landasan Fiqh Transaksi Musyarakah29 a. Landasan Al Quran dan Al Hadits 1. Al Quran “…….Maka mereka berserikat pada sepertiga” (An-Nisa:12) “Dan, seseungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh” (Shaad:24) 2. Al Hadits Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman, “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.” (HR Abu Dawud). 2.5.3 Fatwa DSN tentang Transaksi Musyarakah30 Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah. Beberapa ketentuan yang diatur dalam fatwa ini, antara lain sebagai berikut : 1. Ijab dan Qabul Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut : a. Penawaran
dan
penerimaan
harus
secara
eksplisit
menunjukkan tujuan kontrak (akad). b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
29 30
Rifqi Muhammad, op.cid., hlm. 322-323. Ibid, hlm. 323-324.
43
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. 2. Pihak-pihak
yang
berkontrak
harus
cakap
hukum,
dan
memperhatikan hal-hal berikut : a. Kompeten dalam memberikan dan diberikan kekuasaan perwakilan. b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil. c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal. d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan
memperhatikan
kepentingan
mitranya,
tanpa
melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja. e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingan sendiri. 3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan, dan kerugian) a. Modal (i) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, property, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih
44
dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra. (ii) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan
atau
menghadiahkan
modal
musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan. (iii) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan. b. Kerja (i) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. (ii) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masingmasing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak. c. Keuntungan (i) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian musyarakah.
45
(ii) Setiap
keuntungan
mitra
harus
dibagikan
secara
proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra. (iii) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. (iv) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. d. Kerugian Kerugian harus dibagi diantara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal. 4. Biaya operasional dan dipersengketaan a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama. b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak mencapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.6 Ijarah Muntahiya Bittamlik 2.6.1 Pengertian Ijarah Muntahiya Bittamlik Al-Bai’ wal Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad, yakni akad al-Bai’ dan akad Ijarah
46
Muntahiya Bittamlik (IMBT). Al-Bai’ merupakan akad jual-beli, sedangkan IMBT merupakan kombinasi antara sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa. 31 Perpindahan hak milik obyek sewa kepada penyewa dalam ijarah muntahiya bittamlik dapat dilakukan dengan : hibah, penjualan sebelum akad berakhir sebesar harga yang sebanding dengan sisa cicilan sewa, penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran tertentu yang disepakati pada awal akad, penjualan secara bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dalam akad. 32 Pilihan untuk menjual barang di akhir masa sewa biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu di akhir periode. Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, 31
Adiwarman A. Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 149. 32 Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 361.
47
bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.33 Jenis barang dan jasa yang dapat disewakan : a. Barang modal : asset tetap, misalnya bangunan, gedung, kantor, ruko, dan lain-lain. b. Barang produksi : mesin, alat-alat berat, dan lain-lain. c. Barang kendaraan transportasi : darat, laut, dan udara. d. Jasa untuk membayar ongkos : uang sekolah/ kuliah, tenaga kerja, hotel, angkut dan transportasi. 2.6.2 Landasan Fiqh Transaksi IMBT34 a. Landasan Fiqh 1. Al-Qur’an “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Al-Baqarah : 233)
2. Al-Hadits Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Berbekam kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah).
33 34
Adiwarman A. Karim, op. cid., hlm. 149. Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 358.
48
2.6.3 Fatwa DSN No : 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah AlMuntahiyah Bi Al-Tamlik35 Beberapa ketentuan yang diatur dalam fatwa ini, antara lain sebagai berikut : 1. Rukun dan Syarat IMBT adalah sebagai berikut : a. Pernyataan ijab dan qobul b. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak); terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, lembaga keuangan Syariah), dan penyewa (lesse, pihak yang mengambil manfaat
dari
penggunaan aset nasabah). c. Obyek kontrak; pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset. d. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri. e. Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalen, dengan cara penawaran dari pemilik aset (LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah). f. Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani.
35
Rifqi Muhammad, op. cid., hlm. 359-360.
49
g. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad. 2. Ketentuan tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik a. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan,
baik dengan jual
beli
atau
pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai. b. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah adalah wa’ad, yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. 3. Kewajiban LKS dan nasabah dalam pembiayaan ijarah a. Kewajiban LKS sebagai pemberi sewa (i) Menyediakan aset yang disewakan. (ii) Menanggung biaya pemeliharaan aset. (iii) Menjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan. b. Kewajiban nasabah sebagai penyewa (i) Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai kontrak. (ii) Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (tidak materiil).
50
(iii)Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
51