BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerja Sama Syirkah 1. Pengertian Syirkah Syirkah secara bahasa berarti al-ikhtilath, yang artinya adalah campur atau pencampuran. Istilah pencampuran di sini mengandung pengertian pada seseorang yang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain, sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.1 Pengertian syirkah secara istilah, sebenarnya memiliki pengertian yang beragam tergantung bentuk syirkahnya, karena terdapat beberapa bentuk syirkah dan masing-masing bentuk mempunyai definisi yang berbeda, seperti syirkah mufawwadhah, „inan, abdan dan lain-lain. Namun demikian terdapat beberapa definisi syirkah secara umun yang dikemukakan ulama, sebagaimana dikutip oleh Qomarul Huda antara lain:2 a. Definisi syirkah menurut Sayyid Sabiq, ialah:
ِِالربِح ِ عِبِ ِارةِِعِنِِعِقِدِِبِيِِاِِلتِشاِرِِكِيِِفِِرِِأِسِِالِمِالِِِو م “ Akad antara dua orang dalam (penanaman) modal dan (pembagian) keuntungan.”
1
Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 125 Huda Qomarul, Fiqih Muamalah ( Yogyakarta: Teras Perum POLRI Gowok Blok D3 No. 200, 2011), hlm 99-101 2
43
44
b. Definisi syirkah menurut Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhamad al-Husaini, ialah:
ِالشيمِِوع ِالواحِدِِلشِخِصِيِِفِصِاعِدِاِعِلىِجِ ّهةِِ م ِ ِِعِبِ ِارةِِعِنِِثِمبمِ ِوتِِاِلِقِِفِِالشِيِئ “Ungkapan tentang penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih menurut cara yang diketahui.” c. Definisi syirkah menurut Wahbah az-Zuhaili, ialah:
ِاعمِفِِِِسِتِحِقِاقِِأِ ِوتِصِِرف ِ ِاِلِجِتِم “Kesepatan dalam pembagian hak dan usaha.” d. Definisi syirkah menurut Hasbi ash-Shiddiqie, ialah:
ِعِقِ مِدِبِيِِشِخِصِيِِفِأِِِكِثِرِِعِلىِِالتِعِ مِاونِِفِِعِمِلِ ِاكِتِسِابِِِواقِثِسِامِِأِِربِاحِو “Akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta‟awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya.” e. Definisi syirkah menurut Idris Ahmad sebagaimana yang dikutip oleh Hendi Suhendi, ialah:3 “Dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam usaha, dengan menyerahkan modal masing-masing, di mana keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masingmasing.”
3
Op. Cit., hlm 126-127
45
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik pemahaman, bahwa pengertian syirkah ialah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugianya ditanggung bersama. 2. Landasan Syirkah Landasan syirkah (perseroan) terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadis, dan ijma’, berikut ini:4 a. Al-Qur’an
ِاءمِفِِالثِلِث ِ ِفِ مِهمِِ مِشرك Artinya “Mereka bersekutu dalam sepertiga.” (QS. An-Nisa’: 12)
ِِاِوعِمِِلمواِالصِالِاِتِِوقِلِيِل ِ ض مِهمِِعِلِىِبِعِضَِِِلِِالِذِيِنِِاِمِنمِِو ِِوِنِِِكِثِيِِراِمِنِِاِ ِلملِطِاءِِلِيِبِغِيِِبِعِ م ِِماِ مِىم Artinya “ Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shad: 24)
4
Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), hlm 185-186
46
b. As-Sunah
ِث ِِأِنِاِثِالِ م:ِاِنِِاهللِِعِزِِِوجِلِِيِ مِق ِو مِل:ِِىِريِِرِةمِِرفِعِ ِومِاِلِِالنِبِِصلِىِاهللمِعليوِوسلمِِقِال ِعِنِِأِبِ م تِمِنِِبِيِنِهِمِا ِالشِِريِكِيِِماِلِِ ِيمنِِأِحِ مِد مِهاِصاِحِبِ ِومِفِاِذِاخِانِ ِومِخِِرجِ م }{رواهِابوداودِوالاكمِوصححوِِسناده “Dari Abu Hurairah yang dirafa‟kan kepada Nabi SAW, bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT. berfirman, “Aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang keduanya tidak menghianati temannya, Aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang menghianatinya.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyayihkan sanadnya) Maksudnya Allah SWT. akan menjaga dan menolong dua orang yang bersekutu dan menurunkan berkah pada pandangan mereka. Jika salah seorang yang bersekutu itu menghianati temannya, Allah SWT. akan menghilangkan pertolongan dan keberkahan tersebut. Legalitas perkongsian pun diperkuat, ketika Nabi diutus, masyarakat sedang melakukan perkongsian. Beliau besabda:5
يِ مِداهللِِعِلِىِالشِِريِكِيِِمِالِِيِتِخِ ِاونِا
5
Ibid.,
47
Artinya “Kekuasaan Allah senantiasa berada pada dua orang yang bersekutu selama keduanya tidak berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim) c. Al-Ijma’ Umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.6 Bahwa mayoritas ulama sepakat tentang keberadaan syirkah ini, meskipun dalam wilayah yang lebih rinci, mereka berbeda pendapat tentang keabsahan (boleh) hukum syirkah tertentu. Misalnya sebagian ulama hanya membolehkan jenis syirkah yang lain.7 3. Rukun dan Syarat Syirkah Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan pendapat terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada satu yaitu ijab (ungkapan penawaran melakukan perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan). Istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Contoh lafal ijab kabul, seseorang berkata kepada partnernya ”Aku bersyirkah untuk urusan ini” patnernya menjawab “telah aku terima”. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat. Adapun menurut Abdurahman al-Jazirid, dengan dikutip oleh Abdul 6 7
Ibid., hlm 186 Huda, Qomarul. Fiqih Muamalah ( Yogyakarta: Teras, 2011), hlm 102
48
Rahman Ghazali, rukun syirkah meliputi dua orang yang berserikat, shigat, objek akad syirkah baik itu berupa harta maupun kerja. Adapaun menurut jumhur ulama rukun syirkah sama dengan apa yang dikemukakan oleh al-Jaziri di atas.8 Jika dikaitkan dengan pengertian rukun yang seseungguhnya maka sebenarnya pendapat al-Jaziri atau jumhur ulama lebih tepat sebab di dalamnya terdapat unsur-unsur penting bagi terlaksananya syirkah yaitu dua orang yang berserikat dan objek syirkah. Adapun pendapat Hanafiyah yang membatasi rukun syirkah pada ijab dan kabul hanya saja itu masih bersifat umum karena ijab kabul saja itu masih bersifat umum karena ijab kabul berlaku untuk semua transaksi.9 Adapun syarat syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah. Jika syarat tidak berwujud maka transaksi syirkah batal. Menurut Hanafiyah syarat-syarat terbagi menjadi empat bagian:10 a. Syarat yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah baik harta, maupun lainnya. Dalam hal ini, terdapat dua syarat: pertama, berkaitan dengan benda yang diakadkan (ditransaksikan) harus berupa benda yang dapat diterima sebagai perwakilan. Kedua, berkaitan dengan keuntungan, pembagiannya harus jelas dan disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya setengah, dan sepertiga.
8
Ghazali Abdur Rahman, Ihsan Ghofur, dkk., Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 128 9 Ibid., hlm 129 10 Hendi Suhendi, Op. Cit., hlm 127-128
49
b. Syarat yang berkaitan dengan harta (mal). Dalam hal ini, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu pertama modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran yang sah (nuqud) seperti riyal, rupiah, dan dollar. Keduanya, adanya pokok harta (modal) ketika akad berlangsung baik jumlahnya sama atau berbeda. c. Syarat yang terkait dengan mufawadhah yaitu modal pokok yang harus sama, orang yang bersyirkah yaitu ahli kafalah, objek akad disyaratkan syirkah umum, yaitu semua macam jual beli atau perdagangan. Selain syarat-syarat di atas ada syarat lain yang perlu dipenuhi dalam syirkah. Menurut Idris Ahmad, syarat tersebut meliputi:11 a. Mengungkapkan kata yang menunjukkan izin anggota yang berserikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu. b. Anggota serikat saling mempercayai. Sebab, masing-masing mereka merupakan wakil yang lainnya. c. Mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berbentuk mata uang atau yang lainnya. Malikiyah menambahkan bahwa orang yang melakukan akad syirkah disyaratkan merdeka, baligh, dan pintar (rusyd).12 4.
Macam-Macam Syirkah Kerja sama (syirkah) antara pengusaha dan pemodal dalam Islam dapat dikelompokkan menjadi lima jenis yaitu sebagai berikut:13
11
Ibid., hlm 128-129 Ghazali Abdur Rahman, Ihsan Ghofur, dkk., Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 128-130 12
50
a. Syirkah „Inan yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dengan cara mengumpulkan harta dan mengelolanya bersama, kemudian labanya dibagi diantara mereka. Jika hanya salah satu yang mengelola harta bersama tersebut, laba yang diperolehnya tentu akan berlebih sesuai dengan kotribusinya yang lebih banyak b. Syirkah Mudhorobah yaitu menanamkan sejumlah modal kepada pihak yang mau mengusahakannya sehingga ia menjadi amanat bagi pihak tersebut. Jadi di sini satu pihak memberikan kontribusi kerja, sedangkan pihak lain memberikan kontribusi modal. Dalam syirkah ini kewenangan mengelola harta/ modal hanyalah hak pengelola (amil/ mudharib) c. Syirkah Wujuh yaitu didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang ditengah masyarakat. Kerja sama ini dilakukan antara dua pihak ( misalnya A dan B) sebagai pihak pertama yang sama-sama memberikan kontribusi kerja pada pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan kontribusi modal. d. Syirkah Abdan yaitu kerja sama diantara dua orang atau lebih yang masing-masing memberikan kontribusi kerja ( baik kerja pikiran maupun kerja fisik) tanpa kontribusi modal. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian. e. Syirkah Mufawadah yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah diatas keuntungan yang diperoleh dibagi menurut kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai 13
Yaumiddin Umi Karomah, Usaha Bagi Hasil Antara Teori dan Praktik (Bantul: Kreasi Wacana, 2010) hlm 10-11
51
dengan syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika syirkah innan) atau ditanggung pemodal saja (jika syirkah mudhorobah), atau ditanggung para mitra usaha berdasarkan persentase barang yang dimilikinya. 5. Pembagian Keuntungan dan Pertanggungjawaban atas Kerugian di dalam kerja sama a. Pertanggungjawaban kerugian Kerugian berarti hilangya sebagian dari modal dan oleh karena itu akan dibagi sesuai modal yang ditanamkan dalam usaha dan ditanggung oleh pemilik modal. Syeh Ali al Khaif menulis: “kerugian selalu akan dibagi sesuai ukuran terhadap modal yang sebenarnya. Semua Imam sepakat akan hal ini meskipun mereka berasal dari kelompok yang berbeda. Jika ada ketentuan yang dipertentangkan dalam prinsip ini maka akan dianggap batal, tidak diberlakukan dan tidak akan dilaksanakan.14 Ahli fiqh pengikut Maliki, Ahmad al Dardir menulis, “keuntungan dan kerugian (dalam Syirkah) akan dibagi antara kedua pihak sesuai proporsi pada modal mereka (yang diinvestasikan). Pada prinsipnya bahwa dalam syirkah pihak yang bekerja yang tidak menanamkan modalnya dalam usaha maka tidak bertanggungjawab atas adanya kerugian, hal yang sama juga dijelaskan dalam kitab al Qirad dari Muwatta Imam Maliki.15
14
Siddiqi, M. Nejatullah, Kemitraan Usaha Bagi Hasil dalam Hukum Islam,(Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm 15-17 15 Ibid., hlm 18
52
b. Pembagian keuntungan Seperti yang telah diketahui, keuntungan akan dibagi dikalangan rekanan dalam usaha berdasarkan bagian-bagian yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Bagian keuntungan setiap pihak harus ditetapkan sesuai bagian atau prosentasi. Tidak ada jumlah pasti yang diterima oleh hukum syirkah. Juga adanya kesepakatan yang menunjukkan bahwa tidak ada jumlah yang pasti yang dapat ditetapkan bagi pihak manapun dalam syirkah. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa dalam pembagian keuntungan, pihak-pihak dalam usaha tersebut bisa menetapkan berapapun bagian tersebut melalui perjanjian bersama, sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian syirkah pendapat ini hanya didukung oleh ahli-ahli fiqh menganut madzhab Hambali dan Hanafi. Menurut para fuqoha dari madzhab Maliki dan Syafi’i, pembagian keuntungan dalam syirkah harus mencerminkan jumlah modal yang ditanamkannya.16 Sebagaimana dalam perjanjian syirkah, ahli-ahli fiqh pengikut Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai jumlah bagian atas jumlah-jumlah modal yang diinvestasikan yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa suatu jumlah uang tertentu sebagai keuntungan tidak dapat dibagi kepada pihak manapun. Dan tidak boleh ditetapkan untuk menambah jumlah dirham lebih dari modal yang diinvestasikan kepada satu pihak tertentu. Jika ada salah satu dari kedua
16
Ibid., hlm 19
53
pihak menetapkan satu jumlah dirham tertentu dalam syirkah, maka itu tidak dapat disahkan.17 B. Al-Muzara’ah 1. Pengertian Al-Muzara‟ah Muzara‟ah secara bahasa merupakan suatu bentuk kata yang mengikuti wazan (pola) mufa‟alah )
(ِمفاعلوdari kata dasar
yang mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan).
18
masdar dari Fi‟il Madli زراعdan fi‟il Mudlori‟ ع
ﺰﻳِرا
Kata
al-zar‟u
ﺰﻣراﺔﻋ
adalah
yang secara bahasa
mempunyai pengertian tanam, menanam.19 Sedangkan kata
merupakan masdar dari fi‟il Madli ﺮﺑﺎﺧdan fi‟il Mudlari‟
ﺮﺑﺎﺨﻣة
ﺮﺑﺎﺨﻳ
yang
secara bahasa mempunyai pengertian tanah gembur, lunak.20 Secara etimologi, al-muzara‟ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam
17 18
Ibid., hlm 20 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuh, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t. th,
hlm. 613.
19
Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Jakarta : Mutiara, 1961, hlm. 299. 20 Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997, hlm. 319.
54
terminologi
fiqh
terdapat
beberapa
definisi
al-muzara‟ah
yang
dikemukakan dalam fiqh. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:21
ِِالزرع ِ ِالشِرِِكِ ِةمِف Perserikatan dalam pertanian. Menurut ulama Hanabilah al-muzara‟ah adalah:
عمِبِيِنِ مِهمِا ِالزر ِ اِو ِ ِدِفِ مِعِالِِرضِِِلِِمِنِِيِِزرِِ ِعمهِاِأِ ِويِعِمِ مِلِعِلِيِه Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua. Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “ paroan sawah, penduduk Irak menyebutnya ”al-mukhabarah”, tetapi dalam mukhabarah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah. Imam Syafi’i mendefinisikan al-mukhabarah dengan:
ِاِوالِبِذِ مِرِمِنِِالِعِامِل ِ ِجِمِنِه ِعِمِ مِلِالِِرضِِبِبِعِضِِمِاِيِِمر م Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah. Dalam mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara‟ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.22
21 22
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm 275-276 Ibid., hlm 276
55
Menurut Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, Muzara‟ah adalah pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: ½ , 1/3 atau kurang atau lebih menurut pesetujuan bersama.23 Dalam kitab al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa sunah Rasul menunjukan dua hal tentang makna Muzara‟ah yakni pertama; kebolehan
bermuamalah
atas
pohon
bertransaksi atas tanah dan apa yang
kurma
atau
diperbolehkan
dihasilkan. Artinya pohon kurma
telah ada baru kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk dirawat sampai berbuah. Namun sebelumnya kedua belah pihak (pemilik kebun dan pekerja) harus dulu bersepakat tentang pembagian hasil, bahwa sebagian buah untuk pemilik kebun sedang sebagian yang lain untuk pekerja. Kedua; ketidakbolehan Muzara‟ah dengan pembagian hasil ¼ dan 1/3 atau sebagian dengan sebagian.
Maksudnya adalah menyerahkan
tanah kosong dan tidak ada tanaman didalamnya kemudian tanah itu ditanami tanaman oleh (penggarap) dengan tanaman lain.24 Muzara‟ah adalah mengerjakan tanah orang dengan memperoleh sebagian dari hasilnya, sedang bibit (biji) yang dipergunakan kepunyaan pemilik tanah, tidak dibolehkan karena tidak sah menyewakan tanah dengan hasil yang diperoleh dari padanya, demikian yang mu’tamad
23
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1993), hlm 383 24 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Safi’i, al-Umm, Juz III, Mesir : Dar alFikr, t.th, hlm. 12.
56
dalam Mazhab Syafi’i sebelum Ulama’ Syafi’iyah membolehkan sama dengan Musaqoh (orang upahan).25 2. Dasar Hukum Akad Al-Muzara‟ah Bagi hasil dalam bidang pertanian adalah suatu jenis kerja sama anatara penggarapan atau pengelola dan pemilik tanah. Biasanya penggarap adalah orang yang memiliki profesionalitas dalam mengelola atau menggarap tanah dan tidak memiliki tanah. Adapun dasar-dasar hukum Muzara‟ah antara lain: a. Al-Qur’an
)٢. :ِواِخِِمرِونِِيِضِِربِمِونِِفِِالِِرضِِيِبِتِ ِغمِونِِمِنِِفِضِلِِاهللِِ(الزمل Artinya:“Dan yang lain lagi, mereka bepergian dimuka bumi mencari karunia dari Allah. (Al Muzammil : 20 )26
ِاِ مِىمِِيِقِسِ مِم ِونِِِرحِتِِِربِكِِنِ مِنِقِسِمِنِاِبِيِنِ مِهمِمِعِيِشِتِ مِهمِفِِاِلِيِوةِِالذِنِيِاِِوِرفِعِنِا ِِتِِربِكِِخِيِر ِاِوِرحِ م ِ ِاِسخِِري ِض مِهمِبِعِضِ م ِِبِعِضِ مِهمِ فِ ِوقِِبِعِضِِدِِرجِتِِلِيِتِخِذِِبِعِ م )۳٢:ِمِاِيِمِ ِعم ِونِِ(الزخرف Artinya:“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu atau kami telah menentukan antara mereka penghidupan dalam
25
Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, Cet. ke-1, hlm.125. 26 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 990.
57
kehidupan dunia, dan kami telah meninggalkan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Az zuhruf : 32)27 Kedua ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia supaya
berusaha mencari rahmat-Nya
untuk bertahan hidup dimuka bumi. b. Al-Hadist 1) Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:28
ِج ِاهللمِعِلِيِوِِ ِوسِلِمِِعِامِلِِأِىِلِِخِيِبِرِِبِشِطِرِِمِاِيِِمر م ِ ِِعِنِِاِبِنِِ ِعممِرِِأِنِِالنِبِِصِلى ِِِمِنِهِاِمِنِِثِِأِوِِِزرع Artinya:”Dari Ibnu Umar berkata “Rasullullah memberikan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan mengolahnya dan mengambil sebagian dari hasilnya”. 2) Hadist yang diriwayatakn oleh Imam Bukhori dari Abdillah29
ِِهللمِعِلِيِوِِ ِوسِلِمِِاِعِطِىِخِيِبِر ِ ِهللمِصلى ِ ِهللمِعِنِِومِقِالِِِر مِس ِول ِ ِعِنِِعِبِدِاهللِ ِرضى
27
Ibid., hlm 789 .Afzalur rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 269. 29 Muhammad bin Ismail al Bukhari, al Bukhari, Juz II, Bandung: al Ma’arif, t.th., hlm. 76. 28
58
اِو ِلممِِشِطِرِِمِاِخِِرجِِمِنِهِا ِ ِاِويِِزرِِ ِعمِوى ِ ِِاليِ مِه ِودِِعِلِىِأِنِِيِعِمِِلمِوى Artinya:“Dari Abdullah RA berkata: Rasullah telah memberikan tanah kepada orang Yahudi Khaibar untuk di kelola dan ia mendapatkan bagian (upah) dari apa yang dihasilakn dari padanya.” Hadist-hadist tersebut di atas menunjukan bahwasannya bagi hasil Muzara‟ah diperbolehkan, karena Nabi SAW sendiri pernah melakukannya. 3) Hadist yan di riwayatkan Oleh Rafi’ bin Khudaij, ia berkata:30
ِِىِاهللمِعِلِيِوِِ ِوسِلِمِِعِنِِأِمِر ِ ِاهللمِصِل ِ ِعِنِِِرافِعِِبِنِِخِدِيِحِِقِالِِنِهِانِِِر مِس ِو مِل ِِِكِانِِلِناِِنِافِ مِعِِدِاكِانِتِِالِخِدِنِاِاِِرضِِأِيِعِطِيِهِاِبِبِعِضِِ مِخِمرِوجِهِاِأِوِِبِِرِارىِ مِم Artinya:”Dari Rafi’ bin
Khudaij berkata: Rasulullah SAW
melarangku dari meninggalkan sesuatu yang membuahkan manfaat, lalu berkata: Apabila diantara salah satu dari kita ada yang mempunyai tanah, hendaknya ia memberikan (menyerahkan) tanahnya untuk dikelola dengan memberikan (upah) sebagian dari hasil tanah tersebut atau dengan memberikan (upah) dirham.’ Hadist di atas
merupakan larangan membiarkan sesuatu yang
memberi manfaat terbengkelai dan menyerukan untuk diusahakan kemanfaatannya.
30
Afzalur rahman, Op. Cit., hlm. 280.
59
3 Rukun dan Syarat Muzara‟ah Jumhur
ulama
yang
membolehkan
akad
muzara‟ah
mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun muzara‟ah menurut mereka sebagai berikut:31 a. Pemilik tanah b. Petani penggarap c. Objek al-muzara‟ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani d. Ijab dan kabul. Contoh ijab dan kabul: “Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Petani penggarap menjawab “Saya terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasilnya dibagi dua, harus ada ketentuan bagi hasil Dalam akad Muzara‟ah apabila salah satunya
tidak terpenuhi,
maka pelaksanaan akad Muzara’ah tersebut batal. Untuk lebih jelasnya perlu dipaparkan dari beberapa rukun Muzara‟ah sebagai berikut: a. Pemilik tanah dan petani penggarap Akid adalah seorang yamg mengadakan akad disini berperan sebagai penggarap atau pemilik tanah pihak-pihak yang mengadakan akid, maka para mujtahid sepakat bahwa akad Muzara‟ah sah apabila dilakukan oleh: 1) Seseorang yang telah mencapai umur
31
Ghazali Abdur Rahman, Ihsan Ghofur, dkk , Op.Cit.,hlm 115-116
60
Kedua
belah
pihak
yang
melakukan
akad
disyaratkan
berkemampuan yaitu keduanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang belum dapat membedakan, maka akad itu tidak sah.32
)ِ۶:ِوابِتِِلمواِالِيتِمِىِحَِتِِِِذِاِبِلِ ِغمواِالنِكِحِِ(النساء Artinya:“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.” (an Nisa: 6) 2) Seseorang yang berakal sempurna Seorang yang berakal sempurna
artinya orang tersebut telah
dapat dimintai pertanggungjawaban, yang memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk (berakal). Nampak padanya bahwa didrinya telah mampu mengatur harta bendanya sebagaiman firman Allah SWT:
)۵ِ:اهللمِلِ مِكمِِقِيِمِاِ(النسا ِ ِِِوَلِتِ ِؤتمِِواالسِفِهِاءِِأِمِِواِلِ مِك مِمِاِلَِتِِجِعِل Artinya: ”Dan janganlah kamu serahkan pada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan .” (an Nisa‟ : 5).33
32 33
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid III, Bairut Libanon: Dar al-Fikr, t.th,hlm. 115. Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 115.
61
3) Sesorang yang telah mampu berikhtiar Seseorang yang melakukan akad tidak boleh dalam keadaan terpaksa. Firman Allah SWT:
ِيِاأِيِهِاِالِذِيِنِِأِمِنمِِواِاَلِِتِأِ مِكِلمِواِاِمِِواِلِ مِكمِِبِيِنِ مِكمِِباِلِبِطِلَِِِلِِأِنِِتِ مِك ِونِِتِ ِارةِِعِن )ِ٢۹:ِِتِِراضِِمِنِ مِكمِِ(النسا Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (An Nisa‟: 29)34 b. Objek muzara‟ah Ma‟qud ilaih adalah benda yang berlaku pada hukum akad atau barang yang dijadikan obyek pada akad.
35
Ia dijadikan rukun karena
kedua belah pihak mengetahui wujud barangnya, sifat keduanya serta harganya dan manfaat apa yang di ambil. Akad Muzara‟ah itu tidak boleh dilakukan kecuali atas tanah yang sudah diketahui. Kalau tidak dapat diketahui kecuali dengan dilihat seperti tanah pekarangan, maka dalam hal ini tidak boleh hingga dilihat terlebih dahulu. Dan juga tidak boleh kecuali atas tanah-tanah yang bermanfaat atau subur. Kesuburan tanah-tanah tersebut dapat dilihat dari penggunaan tersebut pada masamasa sebelumnya atau dapat menggunakan alat pengukur kualitas 34
Ibid , hlm. 122. Muhammmad, Teungku Hasbi As Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984 ), hlm 23 35
62
kesuburan tanah tersebut. Hal
ini dilakukakan untuk menghindari
kerugian (baik tenaga maupun biaya) dari masing-masing pihak yang bersangkutan.36 Hal-hal yang harus diperhatikan perjanjian kerjasama yang berkaitan dengan tanah antara lain : Untuk apakah tanah tersebut digunakan? Apabila tanah digunakan untuk lahan pertanian, maka harus diterangkan, dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam di tanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh terhadap jangka perjanjian (sewa) tersebut. Dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap jumlah uang sewanya. Penggunaan yang tidak jelas dalam perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang akan berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa (penggarap) dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan.37 c. Ijab dan qabul (akid) Suatu akad akan terjadi apabila ada ijab dan qabul, baik dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk pernyataan yang menunjukkan adanya persetujuan kedua belah pihak dalam melakukan akad tersebut. Ijab dan qabul artinya ikatan antara pemilik tanah dan penggarapnya. Dalam hal ini baik akad munajjaz (akad yang di ucapkan sseorang dengan memberi tahu batasan) maupun ghoiru munajjaz (akad yang
148.
36
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm.
37
Ibid.,
63
diucapkan seseorang tanpa memberikan batasan) dengan suatu kaidah tanpa mensyaratkan dengan suatu syarat.38 Pada prinsipnya akad Muzara‟ah terjadi sesudah ada perjanjian antara pihak yang menyewakan dan penyewa, sebagaimana firman Allah:
)۱ِ:يِاِاِيِهِاِاِلذِيِنِِأِمِِنمواِأِ ِوِفمواِبِاالِ ِعم مِق ِودِِ(الاءدة Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.39 Dalam “ Pengantar Fiqh Mu’amalah” dijelaskan bahwa akad menurut bahasa adalah:
ش مِدِأِحِدِِمِاِبِاِلِخِرِِحَِتِِيِتِصِلِِقِيِصِحِا ِِومِىوِِجِ مِعِطِ مِرِفِِحِبِلِيِِ ِويِ م: ِ ط ِالربِ م ِ ِِِكِقِطِعِ ِومِِواحِدِة Artinya:”Rabath (mengingat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain hingga bersambung lalu keduanya menjadi sepotong benda “40. Adapun akad menurut terminologi hukum Islam adalah :
ِِتِأِثِِرِهمِفِِمِلِو ِىِوجِوِِمِشِِمرِوعِِيِثِبِ م ِ ِبِبِقِبمِ ِولِِعِل ِأِِرتِبِاطِِاَلِحِ م Artinya:”Perikatan antara Ijab dan qabul yang dibenarkan syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.41 38
Op.,Cit, hlm 75 Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 156. 40 Teungku Muhammad Hasbi As shiddeqy, Op, Cit., hlm. 21. 39
64
d. Harus ada ketentuan bagi hasil Dalam akad Muzara‟ah perlu diperhatikan ketentuan bagi hasil seperti setengah, sepertiga, seperempat, lebih banyak atau lebih sedikit dari itu.42 Hal itu harus diketahui dengan jelas, disamping juga untuk pembagiannya. Karena masalah yang sering muncul kepermukaan dewasa ini dalam dunia perserikatan adalah masalah yang menyangkut pembagian hasil serta waktu pembagiannya. Pembagian hasil harus sesuai dengan kesepakatan keduanya. Adapun syarat-syarat muzara‟ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:43 a. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah balig dan berakal b. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. c. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut: 1) Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga
tidak
memungkinkan
untuk
dijadikan
tanah
pertanian, maka akad muzara‟ah tidak sah. 2) Batas-batas tanah itu jelas
41
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu‟amalah Kontesktual,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 76. 42 Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Op. Cit., hlm. 384. 43 Ghazali Abdur Rahman, Ihsan Ghofur, dkk , Op.Cit.,hlm 116-117
65
3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara‟ah tidak sah. d. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut: 1) Pembagian panen bagi masing-masing pihak harus jelas 2) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan. 3) Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu. e. Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad muzara‟ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau upah-mengupah) dengan imbalan sebagi hasil panen. Oleh sebab itu jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat. Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan almuzara‟ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani,
66
sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani. 4 Berakhirnya Akad Muzara’ah Beberapa hal yang menyebabkan muzara‟ah habis:44 1) Meninggalnya salah satu pihak, namun dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika pemilik lahan meninggal dunia sementara tanamannya masih hijau, maka penggarap harus terus bekerja sampai tanaman itu matang. Ahli waris dari yang meninggal tidak berhak melarang orang itu untuk berbuat demikian. Jika penggarapnya yang meninggal dunia, maka ahli warisnya menggantikannya, dan bila ia mau boleh meneruskan kerja mengolah tanah sampai tanaman itu matang, dan pemilik lahan tidak melarangnya. 2) Jangka waktu yang disepakati berakhir. Jika dalam menyewa tanah berada dalam tahun (waktu dalam tahun tersebut) yang dimungkinkan adanya panen maka diperbolehkan. Hal ini untuk menghindari waktu habis dan panen belum tiba. 3) Jika banjir merusak dan melanda tanah sewa sehingga kondisi tanah dan tanaman rusak maka perjanjian berakhir. 4) Ketika waktu berakhir maka pemilik dilarang mencabut tanaman sampai pembayaran diberikan dan hasil panen dihitung. Maka solusi untuk menghindari kemungkinan berakhirnya akad muzara‟ah terutama yang disebabkan oleh kondisi alam, yaitu dilakukan 44
Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm 211
67
dengan cara memperhatikan keadaan tanah, apakah tanah tersebut gembur ataukah keras. Kira-kira jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam dalam kondisi tanah seperti tersebut. Kemudian harus memperhatikan cuaca atau musim. Di Indonesia terdapat dua musim yakni musim penghujan dan musim kemarau. Maka seorang petani/penyewa tanah harus memperhatikan kira-kira jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam pada musim-musim tersebut. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka kecil kemungkinannya petani akan mengalami kegagalan panen. Oleh karena itu seorang petani harus selalu memperhatikan kondisi alam untuk menyiasati agar tidak terjadi kegagalan panen.45 5 Skema Al-Muzara‟ah Kebanyakan yang terjadi
dalam masyarakat adalah muzara‟ah
dengan sistem sewa tetap. Di mana seorang pemilik tanah melakukan kerjasama pengolahan tanah dengan pihak
lain di mana pihak lain
(penyewa) harus membayar sejumlah uang tertentu, atau barang senilai tertentu, sebagai biaya sewa atas tanah yang diolahnya tersebut. Besarnya biaya sewa ini bersifat tetap, tidak tergantung kepada hasil produktifitas tanah yang diolahnya tersebut. Jadi, hasil panenan sepenuhnya menjadi hak dari penyewa tanah sebagaimana juga resiko kegagalan panen juga sepenuhnya menjadi tanggungan penyewa. Hak dari pemilik tanah hanyalah menerima biaya sewa. Atau sebaliknya, seorang pemilik tanah yang tidak mampu mengolah tanahnya sendiri mengadakan kerjasama 45
Ibid.,
68
dengan orang lain (pekerja) untuk mengolah dan merawat tanah miliknya. Di sini pemilik tanah yang menanggung segala resiko yang terjadi dan hasil panen juga menjadi haknya. Pekerja hanya akan memperoleh upah dari pemilik tanah karena pemilik tersebut telah memanfaatkan jasanya yakni tenaga. Bisa juga pemilik akan memberikan hasil panen tersebut dengan cuma-cuma kepada pekerja sebagai ungkapan terimakasih karena telah membantu mengolah tanah.46 Secara umum, sistem al-muzara‟ah dapat digambarkan dalam skema berikut ini:47 Gambar 1.4 Skema Al-Muzara‟ah Perjanjian Pertanian
Pemilik lahan
-Lahan -Benih -Pupuk
Penggarap
Lahan Pertanian
-Keahlian -Tenaga -Waktu
Hasil Pertanian
46
M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomikaa Mikro Islami, (Yogyakarta : Ekonosia, cet. Ke I, 2003), hlm. 199. 47 Antonio, Muhamad Syafi’e. Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm 100
69
C. Al- Mukhobaroh 1. Pengertian Al-Mukhobaroh
Kata
Mudlari‟
ﺮﺑﺎﺨﻣة
ﺮﺑﺎﺨﻳ
merupakan masdar dari fi‟il Madli ﺮﺑﺎﺧdan fi‟il
yang secara bahasa mempunyai pengertian tanah gembur,
lunak.48 Al- mukhobaroh adalah Mukhābarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama.
Mazhab
Syafi’iyah
membedakan antara muzāra‟ah dan
mukhābarah. Mukhābarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola.49 2. Dasar hukum Mukhobaroh50 a. Al-Hadist Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rosulullah SAW, pernah memberikan tanah kahibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buahbuahan dan tanaman.
48
Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997, hlm. 319. 49 Drs. H. Ahmad Wardi Muslieh, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 392 50 Op.,Cit. Hlm 99
70
b. Ijma Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “ Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara mukhobaroh dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Wasaqh, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali. D. Ijarah (Sewa-Menyewa) 1. Pengertian Ijarah Kata ijarah diderivasi dari bentuk fi’il “ ajara-ya‟juru-ajran” ajaran semakna dengan kata al‟iwadh yang mempunyai arti ganti dan upah, dan juga dapat berarti sewa atau upah.51 Dalam arti luas ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.52 Adapun pengertian ijarah yang dikemukakan oleh para ulama madhhab sebagai berikut:53 a. Pengertian ijarah menurut ulama Hanfiyah ialah:
ِِعقدِعِلىِالنافعِبعوض Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti” b. Pengertian ijarah menurut ulama Syafi’iyah ialah:
ِِمباحةِقابلةِللبذلِوالباحةِبعوضِمعلموم عقدِعلىِمن فعةِمق م صودةِمعلمِومة م 51
Huda Qamarul, Fiqih Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm 77 Karim Helmi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm 29 53 Syafi’i Rachmat, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), hlm212-211 52
71
Artinya: “Akad diatas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu” c. Pengertian ijarah menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah ialah:
ِِِمدةِمعلمومةِبعوض َتلي م ِمباحة م كِمنافعِشىء م Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti” 2. Dasar hukum Ijarah Dasar hukum atau landasan hukum ijarah adalah:54 a. Al-Qur’an
ِِىن فانِارضعنِل مكمِفأِتمومىنِام مجور م Artinya: “ Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya” (QS. Thalaq : 6) b. As-Sunah
ِ}امعطموااِجي رِاجرهمِق بلِانِيفِعرقمومِ{رواهِعبدالرزاقِعنِأبِىريرة
54
Op.,Cit. Huda Qamarul, hlm 78-79
72
Artinya: “ Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering” c. Ijma Bahwa para ulama telah sepakat terhadap keberadaan praktek ijarah ini, meskipun mereka mengalami perbedaan dalam tataran teknisnya. Ada beberapa istilah dan sebutan yang berkaitan dengan ijarah, yaitu mu’jir ialah pemilik benda yang menerima uang (sewa) atas suatu manfaat, musta’jir ialah orang yang memberikan uang atau pihak yang menyewa, ma’jur ialah pekerjaan yang diadakan manfaatnya dan ajr’ atau ujrah ialah uang (sewa) yang diterima sebagai imbalan atas manfaat yang diberikan. 3. Rukun ijarah Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada (4) empat yaitu:55 (a) Aqid ( orang yang akad) Adapun yang dimaksud mengenai rukun ijarah yang aqid adalah mu‟jir dan musta‟jir (pihak yang melakukan akad ijarah) keduanya harus berakal sehat dan dewasa. (b) Shighat akad (c) Ujroh (upah) (d) Manfaat
55
Op.,Cit. hlm 125
73
4. Syarat ijarah Menurut jumhur ulama ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan manfaat atau objek akad ijarah yaitu:56 a. Manfaat yang akan dijadikan objek ijarah harus diketahui dengan pasti, mulai dari bentuk, sifat, tempat hingga waktunya b. Manfaat itu harus dipenuhi dalam arti yang sebenarnya. Karena itu ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak boleh menyewakan benda milik bersama yang tidak dapat dibagi tanpa ada teman serikatnya, karena manfaatnya tidak dapat terpenuhi. c. Manfaat yang dimaksud bersifat mubah. Karena itu tidak boleh menyewakan barang yang manfatnya untuk kegiatan yang dilarang oleh syara‟, misalnya menyewakan tempat untuk perjudian atau pelacuran dan lain-lain. 5. Berakhirnya ijarah Penghabisan ijarah yaitu:57 a. Menurut
ulama
Hanafiyah,
ijarah
dipandang
habis
dengan
meninggalnya salah seorang yang berakad. Sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal tetapi diwariskan. b. Pembatalan akad
56 57
Huda Qamarul, Fiqih Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm 82 Op., Cit. Syafe’i Rachman, hlm 82
74
c. Terjadi kerusakan terhadap barang yang disewa. Akan tetapi, menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti. d. Habis waktu kecuali ada uzur 6. Skema ijarah Secara umum, sistem ijarah dapat digambarkan dalam skema berikut:58 Gambar 1.2 Skema Ijarah
Penjual Suplier
B.Milik
Objek Sewa
Nasabah Penyewa
3. Sewa Beli A.Milik 1. Pesan Objek Sewa
2. Beli Objek Sewa
Lembaga Peminjam
58
Antonio, Muhamad Syafi’e. Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm 119