1
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Pangan Fungsional
Konsep dan istilah makanan/minuman fungsional, pertama kali dikembangkan oleh orang-orang Jepang pada pertengahan tahun 1980-an. Pada prinsipnya makanan fungsional adalah makanan yang dirancang secara khusus dan memanfaatkan senyawa bioaktif tertentu yang mempunyai peran dalam mencegah penyakit tertentu. Terdapat tiga syarat utama yang harus dipenuhi, sehingga suatu pangan dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional, yaitu sebagai berikut: 1.
Merupakan makanan atau minuman (bukan kapsul atau tablet) yang mengandung senyawa bioaktif tertentu;
2.
Merupakan bagian dari diet harian; dan
3.
Mempunyai fungsi tertentu setelah dikonsumsi, seperti misalnya meningkatkan mekanisme pertahanan biologis, mencegah penyakit tertentu, mencegah penuaan dini dan lain-lain.
(Hartoyo, 2003). Pangan fungsional adalah produk pangan yang di dalamnya mengandung satu atau lebih bahan, berupa vitamin, mineral, bahan yang berasal dari tumbuhan, asam amino, konsentrat, metabolit, ekstrak atau kombinasi dari beberapa bahan, atau bahan yang dapat meningkatkan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akhir-akhir ini banyak masyarakat tertarik akan produk pangan fungsional, karena: 1.
Biaya kesehatan makin mahal
2.
Banyak temuan ilmuwan bidang pangan dan kesehatan yang menarik
3.
Adanya perundang-undangan yang melindungi dan mengatur tentang penggunaan makanan sehat.
2
Lebih dari itu, gizi produk pangan juga harus diperhatikan, karena akan berdampak pada status gizi konsumen. Status gizi merupakan faktor penting yang sangat berkaitan dengan sistem imun, oleh karena itu salah satu target dari pangan fungsional adalah respon imun. Zat gizi yang diperlukan untuk sistem imun agar berfungsi secara efisien meliputi asam amino esensial, asam lemak esensial (asam linoleat), vitamin A, asam folat, vitamin B6, B12, C, E, mineral, Zn, Cu, Fe dan serat (Winarsi, 2010). Pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang
bermanfaat
bagi
kesehatan.
Pangan
fungsional
dikonsumsi
sebagaimana layaknya makanan dan minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Pangan fungsional juga tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: 1.
Harus produk pangan bukan bentuk kapsul, tablet, atau puyer) yang berasal dari bahan alami
2.
Dapat serta layak dikonsumsi sebagai diet atau menu sehari-hari
3.
Mempunyai fungsi tertentu saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi dan mental, serta memperlambat penuaan
4.
Kandungan fisik dan kimianya jelas serta mutu dan jumlahnya, aman untuk dikonsumsi, dan Kandungannya tidak boleh menurunkan nilai gizinya.
(Hariyani, 2013). 2. Serat Pangan
3
Serat pangan adalah bagian yang dapat dimakan (edible portion) dari tanaman pangan atau analog karbohidrat yang tahan terhadap pencernaan dan penyerapan dalam usus halus serta dapat difermentasi secara parsial atau sempurna oleh usus besar manusia. Komponen serat pangan meliputi polisakarida, oligosakarida, lignin dan senyawa lain dari tanaman pangan (The American Association of Cereal Chemist). The Food and Nutrition Board membedakan serat pangan (Dietary Fiber) dan serat yang ditambahkan (Added Fiber). Definisi serat pangan di Indonesia mencakup baik serat pangan alami yang terdapat dalam bahan pangan maupun serta yang ditambahkan. Kandungan serat pangan dihitung sebagai serat pangan total. Serat pangan total adalah serat pangan tidak larut (insoluble) dan serat pangan larut (soluble). Anjuran konsumsi serat pangan bagi orang dewasa berkisar antara 20 sampai 35 g per orang per hari, dan ada juga yang menganjurkan sekitar 10 sampai 13 g serat pangan per 1000 Kcal (Winarno dan Kartawidjaja, 2007). Serat pangan (dietary fiber) berbeda dengan serat kasar (crude fiber). Serat pangan adalah karbohidrat kompleks yang banyak terdapat pada dinding sel tanaman, yang terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa, yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan dan tidak dapat diserap oleh sistem pencernaan manusia. Sedangkan serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia seperti H 2S04 dan NaOH. Meskipun tidak dapat dicerna dan diserap, serat pangan memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan pencegahan berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes, kolesterol tinggi, stroke, penyakit jantung koroner, kegemukan serta gangguan pencernaan seperti susah buang air besar, wasir, kanker kolon. Menurut Karakteristik fisik dan pengaruhnya terhadap tubuh, serat pangan dibagi atas dua golongan yaitu serat pangan larut air (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut air (insoluble dietary fiber). Serat yang tidak larut dalam air ada tiga macam yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat tersebut banyak terdapat pada sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan.
4
Sedangkan serat yang larut dalam air adalah pektin, getah dan gum, karagenan, alginat dan agar-agar. Serat ini juga terdapat pada buah-buahan, sayuran, sereal, akasia dan rumput laut (Winarti, 2010). Definisi terbaru mengatakan bahwa serat pangan adalah bagian tumbuhan yang dapat dimakan atau analog dengan karbohidrat, yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan mengalami fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar. Berdasarkan sifat kelarutannya serat pangan dibedakan menjadi serat larut (soluble fiber) dan serat tidak larut (insoluble fiber). Kedua jenis serat ini memiliki sifat yang berbeda serta memberikan efek fisiologis yang berbeda pula. Sifat fungsional serat pangan muncul karena efek fisiologis yang ditimbulkan. Efek fisiologis berkaitan dengan sifat fisik dan kimia serat pangan dan fraksi-fraksinya. Efek fisiologis serat pangan yang berkaitan dengan sifat fisik dan kimia meliputi: viskositas, fermentabilitas, kapasitas pengikatan air, absorpsi molekul organik dan sifat penukar ion. Pangan sumber serat pangan anatara lain bekatul, sayur, buah, serealia, dan rumput laut (Marsono, 2008). Penggolongan dalam pelabelan serat pangan adalah sebagai berikut, dikatakan tinggi serat (high fiber) apabila memiliki kadar lebih dari 5%, sedangkan jika memiliki kadar 3-5% maka dikatakan sebagai sumber serat (source of fiber), dan dikatakan penambahan serat jika memiliki kadar kurang dari 3% (added fiber) (Vaughan dan Judd, 2003). Beberapa manfaat serat pangan (dietary fiber) untuk kesehatan yaitu: 1) Mengontrol berat badan atau kegemukan (obesitas) dengan mekanisme sebagai berikut, serat larut air (soluble fiber) mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan. Sehingga makanan kaya akan serat, dicerna lebih lama dalam lambung, kemudian serat akan menarik air dan memberi rasa kenyang lebih lama sehingga mencegah untuk mengkonsumsi makanan lebih banyak. 2) Penanggulangan penyakit diabetes dengan mekanismenya adalah serat pangan mampu menyerap air dan mengikat glukosa, sehingga mengurangi
5
ketersediaan glukosa. Diet cukup serat juga menyebabkan terjadinya kompleks karbohidrat dan serat, sehingga daya cerna karbohidrat berkurang. Keadaan tersebut mampu meredam kenaikan glukosa darah dan menjadikannya tetap terkontrol. 3) Mencegah gangguan gastrointestinal, konsumsi serat pangan yang cukup, akan memberi bentuk, meningkatkan air dalam feses menhasilkan feses yang lembut dan tidak keras sehingga hanya dengan kontraksi otot yang rendah feses dapat dikeluarkan dengan lancar. 4) Mencegah kanker kolon apabila mengonsumsi serat pangan yang cukup, akan meningkatkan air dalam feses menhasilkan feses yang lembut dan tidak keras sehingga hanya dengan kontraksi otot yang rendah feses dapat dikeluarkan dengan lancar. 5) Mengurangi tingkat kolesterol dengan mekanisme, serat larut air menjerat lemak di dalam usus halus, dengan begitu serat dapat menurunkan tingkat kolesterol dalam darah sampai 5% atau lebih (Santoso, 2011). 3. Antioksidan
Antioksidan adalah substansi tertentu yang dapat menunda, memperlambat, atau mencegah kerusakan pada bahan makanan akibat oksidasi. Substansi ini dapat terbentuk secara alami (sistembiologis) atau ditambahkan pada produk dan selama proses pengolahan (sistem pangan) (Pokornyet al., 2001). Antioksidan mampu menghambat terbentuknya radikal bebas pada tahap inisiasi dan menghambat kelanjuan reaksi autooksidasi pada tahap propagasi. Hal ini disebabkan karena antioksidan memiliki energi aktivasi yang rendah untuk melepaskan satu atom hidrogen kepada radikal lemak, sehingga tahap oksidasi lebih lanjut dapat dicegah. Secara umum mekanisme kerja antioksidan dapat ditulsikan sebagai berikut: R* + AH → RH + A* ROO* + AH → ROOH + A* R* + A* → RA
(1) (2) (3)
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibedakan kedalam 2 golongan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetis. Antioksidan secara alami
6
terdapat pada lemak nabati. Contoh antioksidan alami antara lain tokoferol. Antioksidan sintetis ditambahkan kedalam bahan pangan untuk mencegah ketengikan (Khamidinal et al., 2007). Radikal bebas merupakan suatu molekul atau atom yang mempunyai satu atau lebih electron tidak berpasangan. Radikal ini dapat berasal dari atom hidrogen , molekul oksigen atau ion logam transisi. Senyawa radikal bebas sangat reaktif dan selalu berusaha mencari pasangan elektron agar kondisinya stabil (Widyastuti, 2010 dalam Kurniati, 2013). Prinsip spektrofotometri dapat digunakan untuk pengukuran aktivitas antioksidan. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua (deep violet) terdeteksi pada panjang gelombang sekitar 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPP Hidrazin, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat) (Molyneux, 2004). 4. Snack Bar
Foodbars merupakan pangan berkalori tinggi yang dibuat dari campuran bahan pangan (blended food), diperkaya dengan nutrisi, kemudian dibentuk menjadi bentuk padat dan kompak (a food bar form). Saat ini foodbars yang berada dipasaran terbuat dari tepung terigu (gandum) dan tepung kedelai yang merupakan komoditas import Indonesia. Salah satu penelitian yang membahas tentang pembuatan foodbars sebagai pangan darurat yaitu foodbars yang dibuat dengan menggunakan tepung tapioka dan tepung kacang hijau dengan tujuan untuk memanfaatkan potensi lokal yang ketersediaannya melimpah, sehingga mudah didapatkan. Penambahan tepung kacang-kacangan perlu dilakukan guna menyuplai kebutuhan protein foodbars (Ladamay dan Yuwono, 2014). Snack bar adalah peganan padat yang berbentuk batang dan merupakan campuran dari berbagai bahan kering seperti sereal, kacangkacangan, buah-buahan kering yang digabungkan menjadi satu dengan bantuan binder. Binder dalam bars dapat berupa sirup, nougat, karamel,
7
coklat, dan lain-lain. Snack bar disukai oleh masyarakat negara lain karena bentuknya yang praktis sehingga dapat dimakan tanpa kesulitan (Chandra, 2010). Snack adalah makanan yang dikonsumsi di antara waktu makan utama. Jenis snack tersebut diantaranya adalah snack bar, snack bar merupakan makanan nutrisi dengan beberapa bahan, termasuk didalamnya yaitu sereal, buah, kacang-kacangan dan gula Selain itu, snack bar lain yang tersedia termasuk fruit bar, crunchy bar, salty bar, low calorie bar,diet bar (Lobato et al., 2011). 5. Beras Merah
Beras merah memiliki sekam yang tidak bisa dimakan sehingga harus dibuang dari butir padinya setelah dipanen. Beras merah masih memiliki lapisan terluar (aleuron). Beras merah terdiri atas varietas berbulir panjang dan pendek. Varietas bulir panjang terlihat panjang dan tipis dengan ujung meruncing. Beras berbulir pendek disebut beras bulat. Beras ini terlihat padat dan bulat. Beras merah merupakan sumber berbagai jenis vitamin B yang baik, khususnya vitamin B1 (thiamin), yang dibutuhkan untuk menyampaikan pesan antara otak dan saraf tulang belakang. Thiamin juga penting untuk enzim-enzim yang mengubah makanan menjadi tenaga yang dibutuhkan oleh tubuh. Beras merah juga merupakan sumber folat, vitamin E, dan serat yang baik (Marshall, 2006). Menurut Frei (2004) dalam Suardi (2005) beras merah selain sangat mendukung penyerapan partikel ke dalam tubuh dan konversi beta-karoten ke dalam vitamin A, juga merupakan senyawa antioksidan dan antiinflamatori yang dalam tubuh dampaknya mengarah kepada antikanker. Pada Tepung beras merah pecah kulit diinformasikan mengandung karbohidrat, lemak, serat, asam folat, magnesium, niasin, fosfor, protein, vitamin A, B, C, Zn, dan B kompleks yang berkhasiat untuk mencegah berbagai macam penyakit, seperti kanker usus, batu ginjal, beri-beri insomnia, sembelit, dan wasir, serta mampu menurunkan kadar gula dan kolesterol. Beras terutama beras merah, di samping merupakan sumber
8
utama karbohidrat, juga mengandung, beta-karoten, antioksidan dan zat besi. Beras dengan warna pericarp yang lebih gelap memiliki kandungan total fenol yang lebih tinggi, kandungan total fenol ini berhubungan positif dengan kandungan antioksidan didalamnya. Beberapa senyawa antioksidan lain yang diidentidikasi terdapat pada beras adalah tokoferol, tokotrienol dan oryzanol (Kristin, 2014). Menurut Toruan (2012) warna beras yang berbeda-beda diatur secara genetik, akibat dari perbedaan gen yang mengatur warna aleuron, warna endospermia, dan komposisi pati pada endospermia. Warna merah pada beras merah disebabkan oleh aleuronnya mengandung gen yang memproduksi antosianin yang merupakan sumber warna merah atau ungu. Kandungan beras merah dalam 100 gram bahan dan komposisi tepung beras merah dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Kandungan Gizi Beras Merah dan Tepung Beras Merah Komponen Kandungan Gizi Beras Tepung Beras Merah (per 100 g bahan) Merah (g) (%) [a] [d] Protein 8,2 9,4 Lemak 2,24[d] Abu 1,28[d] Serat kasar 0,3[b] 1,03[d] [a] Karbohidrat 75,7 Energi (kkal) 353[a] Tiamin (mg) 0,3[a] [c] Serat Pangan 2,0 Sumber: [a]Toruan (2012) [b] Rusilanti dan Kusharto (2007) [c] FAO (2004) [d]
Astuti (1992) 6. Kacang Hijau
Tanaman kacang hijau termasuk suku (famili) leguminosae yang banyak varietasnya. Kedudukan tanaman kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi
: Angiospermae (berbiji tertutup)
9
Kelas
: Dicotyldonae (biji berkeping dua)
Ordo
: Leguminales
Famili
: Leguminosae (Papilionaceae)
Genus
: Phaseolus
Spesies
: Phaseoulus aureus sinonim Phaseolus radiatus L.
Susunan tubuh tanaman (morfologi) kacang hijau terdiri atas akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Perakaran tanaman kacang hijau bercabang banyak membentuk bintil-bintil (nodula) akar. Makin banyak nodula akar, makin tinggi kandungan nitrogen (N) sehingga menyuburkan tanah. Batang tanaman kacang hijau berukuran kecil, berbulu, berwarna hijau kecokelat-cokelatan, atau kemerah-merahan; tumbuh tegak mencapai ketinggian 30 cm - 110 cm dan bercabang menyebar ke semua arah. Daun tumbuh majemuk, tiga helai anak daun per tangkai. Helai daun berbentuk oval dengan ujung lancip dan berwarna hijau. Bunga berkelamin sempurna (hermaphrodite), berbentuk kupu-kupu berwarna kuning. Buah berpolong, panjangnya antara 6 cm - 15 cm. Tiap polong berisi 6 – 16 butir biji. Biji kacang hijau berbentuk bulat kecil dengan bobot (berat) tiap butir 0,5 mg – 0,8 mg atau berat per 1000 butir antara 36 g – 78 g, berwarna hijau sampai hijau mengilap (Rukmana, 1997). Kacang hijau adalah sejenis tanaman budidaya dan palawija yang dikenal luas di daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polongpolongan (Fabaceae) ini memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber pangan yang berprotein nabati tinggi. Kacang hijau memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yaitu sebesar 22% dan merupakan sumber mineral yang penting, antara lain kalsium dan fosfor. Dilihat dari segi komposisinya, kacang hijau memiliki kandungan gizi yang lumayan tinggi dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan lainnya. Kacang hijau di Indonesia menempati urutan ketiga terpenting sebagai tanaman pangan legum, setelah kedelai dan kacang tanah. Dengan potensinya ini kacang hijau dapat mengisi kekurangan protein pada
10
umumnya, perbaikan gizi dan sekaligus menaikkan pendapatan petani (Sidabutar et al., 2013). Kacang hijau (Phaseoulus radiatus L.) mempunyai nama yang bermacam-macam di Indonesia seperti kacang hejo, kacang herang (Sunda), kacang ijo (Jawa), kacang wilis (Bali), kacang padi (Padang), retek hijau (Aceh), retak redip (Lampung), buwe (Flores). Termasuk famili Leguminoceae. Buah muda dari kacang ini dapat di kukus untuk di makan sebagai lalap. Biji kacang hijau mengandung 21,11% protein, 45,51% karbohidrat, fosfor 0,78%, lemak 1,48%, Fe dan P serta vitamin B yang cukup tinggi. Biji kacang hijau dapat dibuat tahu, tepung hunkwe/ tepung kacang hijau, atau tauge (Gardjito et al., 2009). Jenis kacang hijau berwarna hijau atau green gram, dalam bahas abotaninya disebut Phaseoulus radiatus L. Biji kacang hijau terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kulit biji (10%), kotiledon (88%) dan sisanya adalah lembaga (2%). Kotiledon banyak mengandung
pati dan serat,
sedangkan lembaga merupakan sumber protein dan lemak. Komposisi kimia kacang hijau sangat beragam, tergantung varietas, faktor genetik, iklim, maupun lingkungan. Karbohidrat merupakan komponen terbesar (lebih dari 55%) biji kacang hijau, yang terdiri dari pati, gula dan serat. Kacang hijau juga merupakan sumber serat pangan (dietary fiber). Kadar serat dalam kacang hijau mempunyai peranan yang sangat penting untuk mencegah terjadinya sembelit (susah buang air besar) serta berbagai penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan. Salah satu pemanfaatan kacang hijau adalah tepung kacang hijau. Pembuatan tepung kacang hijau dilakukan dengan merendam dalam air selama tujuh jam. Selanjutnya ditiriskan, dikeringkan dan disosoh. Penyosohan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin penyosoh beras. Kacang hijau tanpa kulit (dhal) selanjutnya digiling dan diayak untuk memperoleh tepung kacang hijau (Astawan, 2009). Kandungan gizi kacang hijau dan tepung kacang hijau dalam 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 2.2.
11
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Kacang Hijau dan Tepung Kacang Hijau Komponen (per 100 g bahan) Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (g) Fosfor (g) Zat besi (mg) Serat Pangan (g) Serat Kasar (g) Energi (kkal) Abu Air (g)
Kacang Hijau
Tepung Kacang Hijau
345 22[a] 1,2[a] 62,9[a] 125[a] 320[a] 6,7[a] 10[a]
20,15[a] 0,80[a] 69,71[a] 6,90[b] 1,04[a] 367[a] 2,07[a] 6,23[a]
Sumber: Astawan (2009) Sidabutar et al (2013)
7. Bahan Penunjang a. Margarin
Margarin dan produk sejenis adalah produk lemak yang dapat dioles atau cairan emulsi air dalam minyak yang komponen utamanya minyak dan lemak makan bukan dari susu. Margarin adalah produk emulsi lemak berbentuk padat atau semi padat, yang dibuat dari minyak atau lemak nabati dan air, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain seperti garam. Karakteristik dasar: Kandungan lemak makan tidak kurang dari 80%; Kadar air tidak lebih dari 18% (BPOM RI, 2006). b. Gula halus
Tepung gula atau gula halus (icing sugar) adalah produk yang diperoleh dari gula pasir yang dihaluskan dengan atau tanpa penambahan anti kempal. Gula tidak kurang dari 97% dihitung sebagai sakarosa (BPOM RI, 2006). c. Susu full cream
Susu bubuk full cream dapat digunakan dalam pembuatan kue kering. Fungsi susu bubuk dalam pembuatan kue antara lain untuk
12
menambah nilai gizi, menambah aroma dan rasa, membantu membentuk tekstur, serta memberi warna karena pengaruh laktosa dalam susu. Susu bubuk full cream mengandung lemak protein 1,1% atau mengandung 28 gram lemak dan 25 gram protein dalam setiap 100 gram (Paran dan Novianti, 2008).
13
B. Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian C. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah formulasi camilan berbentuk snack bar berbasis tepung beras merah dan tepung kacang hijau dapat dijadikan sebagai alternatif camilan sehat yang diterima secara sensoris.