BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Pajak Pajak merupakan salah satu pungutan negara terhadap rakyatnya. Pada hakekatnya, pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakannya yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
II.1.1. Definisi Pajak Waluyo & Ilyas, W. B. (2002:1) memberikan definisi sebagai berikut: “Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi, barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Mardiasmo (2002:1) memberikan definisi sebagai berikut : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik secara langsung (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Dari definisi yang diungkapkan, maka dapat disimpulkan bahwa pajak adalah : a. Iuran dari rakyat kepada negara yang dipungut berdasarkan Undang- Undang; b. Bersifat dapat dipaksakan; 8
c. Terdapat sanksi apabila Wajib Pajak melakukan pelanggaran. d. Dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku; e. Tidak ada jasa timbal balik atau kontraprestasi yang langsung dirasakan; f. Digunakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
II.1.2. Pengelompokkan Pajak Mengacu pada pendapat Resmi, S. (2003) pengelompokkan pajak dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Berdasarkan lembaga pemungut: a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang diatur oleh pemerintah pusat untuk membiayai pengeluaran umum (negara). Contohnya: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Bea Lelang, Bea Masuk (impor), dan Cukai. b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah daerah guna membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah. Contohnya : Pajak Reklame, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Tontonan, BBN Kendaraan Bermotor. c) Pajak Campuran (Pusat dan Daerah), yaitu pajak yang pengelolaannya diatur oleh pemerintah pusat namun digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah. Contohnya : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 9
2. Berdasarkan golongan : a) Pajak langsung, yaitu pajak yang pembayaran atau pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain dan dipungut berulang-ulang. Contohnya: Pajak Penghasilan, Pajak Perseroan dan Pajak Kekayaan. b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pembayaran atau pembebanannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan tidak dipungut berulang-ulang. Contohnya : Bea Materai, PPN, dan PPnBM. 3. Berdasarkan sifat : a) Pajak subyektif, yaitu pajak yang pengenaannya berdasarkan pada subyeknya atau wajib pajaknya (orang pribadi/badan). b) Pajak obyektif yaitu pajak yang pengenaannya berdasarkan pada obyek yang dikenai pajak, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
II.1.3. Sistem Pemungutan Pajak Dasar hukum pemungutan pajak adalah Undang-Undang Dasar pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”.
Mengacu pada pendapat Waluyo & Ilyas, W. B. (2002) terdapat 3 sistem pemungutan pajak adalah sebagai berikut : 1. Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah atau pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang Wajib Pajak.
10
2. Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak, dimana pemerintah atau fiskus pajak memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang yang harus dibayar. 3. Withholding system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga, bukan kepada pemerintah atau fiskus pajak maupun Wajib Pajak untuk memotong atau memungut besarnya pajak terutang oleh wajib pajak.
II.2. Pajak Penghasilan Pada awalnya, pajak penghasilan diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 yang kemudian mengalami empat kali perubahan seiring dengan perkembangan dunia bisnis dan usaha di Indonesia, yaitu pertama dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 lalu kedua dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, lalu ketiga dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan, menurut Pandiangan, L. adalah sebagai berikut : a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. 11
II.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan Suandy, E. (2002:75) memberikan definisi sebagai berikut : “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subyektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak”. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian Pajak Penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
II.2.2. Subjek Pajak Penghasilan Subyek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang dikenakan pajak apabila mempunyai potensi menerima atau memperoleh penghasilan yang telah memenuhi kewajiban pajak secara obyektif maupun subyektif, disebut juga Wajib Pajak. Subyek pajak terdiri dari subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri.
Subjek Pajak dalam negeri menurut Undang-Undang No.17 Tahun 2000 pasal 2 ayat (2) adalah sebagai berikut : 1). Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; 12
2). Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; 3). Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Subjek Pajak luar negeri menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 pasal 2 ayat (2) adalah sebagai berikut : 1). Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; 2). Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
II.2.3. Objek Pajak Penghasilan Objek pajak dapat diartikan sebagai dasar pengenaan pajak untuk menghitung pajak terutang. Obyek pajak sesuai pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 : 1). Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, 13
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini; 2). Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; 3). Laba usaha; 4). Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: a). Keuntungan kaena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; b). Keuntungan karena diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; c). Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha; d). Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; 5). Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; 6). Bunga
termasuk
premium,
diskonto,
dan
imbalan
karena
jaminan
pengembalian utang; 7). Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 14
8). Royalti; 9). Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 10). Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; 11). Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; 12). Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; 13). Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 14). Premi asuransi; 15). Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; 16). Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Jenis penghasilan tertentu yang dikenakan pajak dengan tarif khusus adalah : 1). Penghasilan berupa bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia dan jasa giro; 2). Penghasilan dari transaksi saham baik saham pendiri maupun bukan saham pendiri; 3). Penghasilan dari transaksi penjualan obligasi; 4). Penghasilan dari penyerahan hadiah undian; 5). Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan; 6). Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan wajib pajak yang bergerak di bidang persewaan atas tanah dan/atau bangunan; 7). Penghasilan dari penyerahan jasa konstruksi; 15
8). Penghasilan dari penyerahan jasa konstruksi bagi wajib pajak yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi.
Bukan obyek pajak menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 pasal 4 ayat (3) adalah sebagai berikut : 1). a). Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; b). Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; 2). Warisan; 3). Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 4). Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah; 5). Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; 6). Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau 16
Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a). Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b.) Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut; 7). Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pembeli kerja maupun pegawai; 8). Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 9). Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi; 10). Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau memberikan ijin usaha; 11). Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut;
17
a). Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan b). Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
II.2.4. Tarif Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 pasal 17 ayat (1), besarnya tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut : a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,00 5% (lima persen) (dua puluh lima juta rupiah) Diatas Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) 10 % (sepuluh persen) s.d Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) Di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
15% (lima belas persen)
Di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) s.d Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
25% (dua puluh lima persen)
Di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
35% (tiga puluh lima persen)
18
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00 10% (sepuluh persen) (lima puluh juta rupiah) Diatas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 15 % (lima belas persen) s.d Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
30% (tiga puluh persen)
II.2.5. Pengertian Penghasilan Resmi, S. (2003:78) Menyatakan pengertian penghasilan “Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”.
II.2.6. Beban Pengertian Beban menurut Standar Akuntansi Keuangan adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadi kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal. Sedangkan pengertian beban dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, 19
bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dalam perhitungan laba kena pajak diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 pasal 6 ayat (1), yaitu: 1). Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan; 2). Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dan pasal 11A; 3). Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; 4). Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; 5). Kerugian dari selisih kurs mata uang asing; 6). Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; 7). Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan; 8). Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: a). Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
20
b). Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; c). Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan d). Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Beberapa pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto yang diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 pasal 9 ayat (1), yaitu: 1). Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 2). Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; 3). Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 4). Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan; 21
5). Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 6). Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; 7). Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atau penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemilik agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; 8). Pajak Penghasilan; 9). Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; 10). Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; 11). Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
22
II.2.7. Perbedaan Laporan Keuangan Fiskal dan Komersial Terdapat perbedaan antara prinsip, metode, prosedur, serta perlakuan dan pengakuan penghasilan dan beban antara Laporan keuangan fiskal dengan komersial. Beberapa penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan fiskal, menurut Gunadi (2004) adalah sebagai berikut : a. Perbedaan antara apa yang dianggap penghasilan menurut ketentuan perpajakan dan praktek akuntansi, misalnya kenikmatan dan natura (benefit in kinds), intercompany dividend, pembebasan utang, dan penghasilan (BUT) karena atribusi force of attraction. b. Ketidaksamaan pendekatan perhitungan penghasilan, misalnya link and match, antara beban dan penghasilan, metode depresiasi, penerapan norma perhitungan, dan pemajakan dengan metode basis bruto atau neto. c. Pemberian relif atau keringanan yang lain misalnya rugi-laba pelaporan aktiva, penghasilan hibah, penghasilan tidak kena pajak, perangsang penanaman dan penyusutan dipercepat. d. Perbedaan perlakuan kerugian misalnya kerugian mancanegara, atau harta yang tidak dipakai dalam usaha.
Terdapat 2 jenis perbedaan yang perlu diketahui apabila akan melakukan rekonsiliasi laporan keuangan komersial, yaitu: a. Perbedaan tetap (permanent differences) Menurut Zain, M . (2008:224), “Perbedaan permanen muncul disebabkan oleh kebijakan ekonomi atau disebabkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang menghendaki penghapusan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang memberatkan salah satu sub sektor perekonomian”. b. Perbedaan sementara (temporary differences) Sementara itu menurut PSAK 46, adalah sebagai berikut : Perbedaan temporer (temporary differences) adalah perbedaan antara jumlah tercatat aktiva atau kewajiban dengan DPP-nya. Perbedaan temporer dapat berupa : • perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah kena pajak (taxable amounts) dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai 23
•
tercatat aktiva dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled); atau perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah yang boleh dikurangkan (deductible amounts) dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled).
Mengacu pada PSAK 46 beberapa perbedaan sementara timbul apabila penghasilan atau beban yang diakui dalam perhitungan laba akuntansi berbeda dengan periode saat penghasilan atau beban tersebut diakui dalam perhitungan laba fiskal. Perbedaan waktu pengakuan akan mengakibatkan adanya pergeseran pengakuan penghasilan dan beban antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya. Apabila penyusutan menurut pajak lebih cepat dibandingkan dengan penyusutan menurut akuntansi, maka akan timbul kewajiban pajak tangguhan. Sebaliknya, apabila lebih lambat, maka akan timbul aktiva pajak tangguhan. Deductible-taxable concept adalah pengurangan pajak yang dilakukan untuk melakukan Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi Wajib Pajak. Dalam hal ini, pemgurangan pajak disebut juga dengan biaya. Misalnya perusahaan melakukan transaksi (aliran kas) dengan membeli bahan, dianggap sebagai biaya yang mengurangi jumlah penghasilan kena pajak (deductible), namun dari sisi penjual yang menerima uang akan dianggap sebagai pendapatan yang akan menambah jumlah penghasilan kena pajak (taxable).
24