BAB II LANDASAN TEORI
A. STRATEGI COPING 1. Pengertian Coping Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Taylor (2009) coping didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. Menurut Baron & Byrne (1991) menyatakan bahwa coping adalah respon individu untuk mengatasi masalah, respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi. Menurut Stone & Neale (dalam Rice, 1992) coping meliputi segala usaha yang disadari untuk menghadapi tuntutan yang penuh dengan tekanan. Jadi dapat disimpulkan bahwa coping adalah segala usaha individu untuk mengatur
tuntutan
lingkungan
dan
konflik
yang
muncul,
mengurangi
ketidaksesuaian/kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan tersebut. 2. Pengertian Strategi Coping Menurut MacArthur & MacArthur (1999) mendefinisikan strategi coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan orang untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Gowan et al. (1999) mendefinisikan strategi coping
Universitas Sumatera Utara
sebagai upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang dihasilkan dari sumber stres. Dodds (1993) mengemukakan bahwa pada esensinya, strategi coping adalah strategi yang digunakan individu untuk melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimilikinya dengan tuntutan yang dibebankan
lingkungan
kepadanya.
Secara
spesifik,
sumber-sumber
yang
memfasilitasi coping itu mencakup sumber-sumber personal (yaitu karakteristik pribadi yang relatif stabil seperti self-esteem atau keterampilan sosial) dan sumbersumber lingkungan seperti dukungan sosial dan keluarga atau sumber finansial (Harrington & Mcdermott, 1993). Friedman (1998) mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk adaptasi dalam menghadapi tekanan atau ancaman.
3. Klasifikasi dan Bentuk Coping Flokman & Lazarus (dalam Sarafino, 2006) secara umum membedakan bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu : a. Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan. artinya coping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006). Strategi ini melibatkan usaha untuk melakukan sesuatu hal terhadap kondisi stres yang mengancam individu (Taylor,2009). b. Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan
Universitas Sumatera Utara
kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol, narkoba, mencari dukungan emosional dari teman – teman dan mengikuti berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan redefine terhadap situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika mereka percaya mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006). Pendapat di atas sejalan dengan Skinner (dalam Sarafino, 2006) yang mengemukakan pengklasifikasian bentuk coping sebagai berikut : a. Perilaku coping yang berorientasi pada masalah (Problem-focused coping) 1. Planfull problem solving individu
memikirkan
dan
mempertimbangkan
secara
matang
beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi, bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan. 2. Direct action meliputi tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun secara lengkap apa yang
diperlukan.
3. Assistance seeking
Universitas Sumatera Utara
individu mencari dukungan dan menggunakan bantuan dari orang lain berupa nasehat maupun tindakan didalam menghadapi masalahnya. 4. Information seeking individu mencari informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan individu tersebut.
b. Perilaku coping yang berorientasi pada emosi (Emotional Focused Coping) 1. Avoidance individu menghindari masalah yang ada dengan cara berkhayal atau membayangkan seandainya ia berada pada situasi yang menyenangkan.
2. Denial individu menolak masalah yang ada dengan menganggap seolah-olah masalah individu tidak ada, artinya individu tersebut mengabaikan masalah yang dihadapinya. 3. Self-criticism keadaan individu yang larut dalam permasalahan dan menyalahkan diri sendiri atas kejadian atau masalah yang dialaminya. 4. Possitive reappraisal individu melihat sisi positif dari masalah yang dialami dalam kehidupannya dengan mencari arti atau keuntungan dari pengalaman tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4. Faktor – faktor yang mempengaruhi strategi coping : Menurut Mutadin (2002) cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi : a. Kesehatan Fisik Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres
individu
dituntut
untuk
mengerahkan
tenaga
yang
cukup
besar.
b. Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping. c. Keterampilan memecahkan masalah Keterampilan
ini
meliputi
kemampuan
untuk
mencari
informasi,
menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. d. Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang
bertingkah
berlaku
dimasyarakat. e. Dukungan sosial
Universitas Sumatera Utara
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. f. Materi Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.
Salah satu faktor yang mempengaruhi strategi coping adalah dukungan sosial yang meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, rekan kerja dan lingkungan masyarakat sekitarnya (Mutadin, 2002). Individu yang saling mendukung satu sama lain akan terdapat rasa hubungan kemasyarakatan serta hubungan antara perseorangan. Dalam lingkungan kerja, individu yang mampu membina hubungan baik dengan atasan, sesama rekan kerja dan bawahan dapat saling memberi dukungan sehingga dapat tercipta rasa memiliki dan integrasi sosial dalam lingkungan kerja. Dengan adanya dukungan sosial dalam lingkungan kerja maka dapat membuat individu merasa bagian dari suatu tim dan tidak diisolasi dari kelompok. Hal ini merupakan salah satu dari kriteria yang membentuk kualitas kehidupan bekerja dalam organisasi (Walton dalam Kossen, 1987).
Universitas Sumatera Utara
B. KUALITAS KEHIDUPAN BEKERJA 1. Pengertian Kualitas Kehidupan Bekerja Menurut Walton (dalam Kossen, 1987) mengatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja adalah seberapa efektifnya organisasi memberikan respon pada kebutuhan – kebutuhan karyawan.
Menurut Robins (dalam Islam
& Siengthai,
2009)
mendefinisikan kualitas kehidupan bekerja sebagai suatu proses dimana organisasi memberikan respon kepada kebutuhan karyawan dengan mengembangkan mekanisme yang mengijinkan karyawan untuk berbagi dalam membuat keputusan yang membentuk kehidupan kerjanya. Elemen – elemen penting dari kualitas kehidupan bekerja adalah keamanan kerja, kepuasan kerja, sistem penghargaan yang baik, keuntungan karyawan, ketelibatan karyawan dan performansi organisasi (Havlovic, dalam Islam & Siengthai, 2009). Menurut Vein Heskett, Sasser & Schlesinger (dalam Rethinam & Ismail, 2008) mendefinisikan kualitas kehidupan bekerja sebagai perasaan karyawan terhadap pekerjaannya, kerabatnya dan organisasi yang mengarah pada pertumbuhan dan
Universitas Sumatera Utara
keuntungan organisasi. Perasaan yang baik terhadap pekerjaannya berarti karyawan merasa senang melakukan pekerjaan yang akan mengarah pada lingkungan pekerjaan yang produktif. Menurut Lau, Wong, Chan & Law (dalam Rethinam & Ismail, 2008) menyatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja sebagai lingkungan kerja yang mendukung dan mempromosikan kepuasaan dengan memberikan penghargaan, keamanan kerja dan kesempatan pengembangan karir kepada karyawan. Kualitas kehidupan bekerja didefenisikan sebagai kondisi yang menyenangkan dan keadaan yang menguntungkan bagi karyawan, kesejahteraan karyawan dan pengelolaan sikap terhadap pekerja operasional yang sama baiknya dengan karyawan secara umum (Islam & Siengthai, 2009). Kualitas kehidupan bekerja adalah dinamika multidimensional yang meliputi beberapa konsep seperti jaminan kerja, sistem penghargaan, pelatihan dan karier peluang kemajuan, dan keikutsertaan di dalam pengambilan-keputusan (Lau & Bruce dalam Considine & Callus, 2001). Kualitas kehidupan kerja berfokus pada pentingnya penghargaan kepada sumber daya manusia di lingkungan kerja (Luthan, 1995). Kualitas kehidupan kerja merupakan teknik manajemen yang mencakup gugus kendali mutu, job enrichment, suatu pendekatan untuk bernegosiasi dengan karyawan, hubungan industrial yang serasi, manajemen partisipatif dan bentuk pengembangan organisasional (French, 1990). Jewell & Siegall (1998) mengemukakan bahwa berbagai macam komponen dari kesejahteraan karyawan secara umum yang lebih penting adalah lingkungan kerja yang aman dan sehat, hubungan yang baik dengan supervisor, dukungan dan persahabatan rekan sekerja, kerja yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan individu, derajat kepuasan dengan situasi kerja, dan kesempatan untuk bertumbuh dan pengembangan pribadi. Istilah yang digunakan untuk menjelaskan hasil interaksi
Universitas Sumatera Utara
individu, pekerjaan, organisasi global dan multidimensi ini adalah kualitas kehidupan bekerja. Menurut Lau & May (1998) kualitas kehidupan bekerja didefinisikan sebagai strategi tempat kerja yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan organisasi serta keuntungan untuk pemberi kerja. Menurut Kondalkar (2009) kualitas kehidupan bekerja berhubungan dengan tingkat kepuasan yang tinggi dari individu yang menikmati bentuk pekerjaannya dalam organisasi.
2. Kriteria Kualitas Kehidupan Bekerja Walton (dalam Kossen, 1987) menyatakan delapan kategori dari kualitas kehidupan bekerja sebagai suatu kerangka untuk menganalisa hal - hal yang tampak dalam membuat kualitas kehidupan bekerja, delapan kategori dari kualitas kehidupan bekerja , yaitu: a. Kompensasi yang mencukupi dan adil Gaji yang diterima oleh individu dari kerjanya dapat memenuhi standar gaji yang diterima secara umum, cukup untuk membiayai suatu tingkat hidup yang layak dan mempunyai perbandingan yang sama dengan gaji yang diterima orang-orang lain dalam posisi yang sama.
b. Kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat Individu tidak ditempatkan dalam keadaan yang dapat membahayakan fisik dan kesehatan mereka, namun pada kondisi pekerjaan yang meminimalisasi luka-luka dan resiko kesehatan. Waktu kerja yang layak sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Begitu juga umur yang disesuaikan dengan tugas yang dipertanggungjawabkan kepada mereka.
Universitas Sumatera Utara
c. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia Pekerja diberi autonomi, kerja yang mereka lakukan memerlukan berbagai kemahiran, mereka juga diberi tujuan dan perspektif yang diperlukan tentang tugas yang akan mereka lakukan. Pekerja juga diberikan kebebasan bertindak dalam menjalankan tugas yang diberikan, dan pekerja juga terlibat dalam membuat perencanaan.
d. Peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan Suatu pekerjaan dapat memberi sumbangan dalam menetapkan dan mengembangkan kapasitas individu. Kemahiran dan kapasitas individu itu dapat dikembangkan dan dipergunakan dengan sepenuhnya, selanjutnya peningkatan peluang kenaikan pangkat dan promosi dapat diperhatikan serta mendapatkan jaminan terhadap pendapatan.
e. Rasa memiliki Individu merasa bagian dari suatu tim dan tidak diisolasi dari kelompok, individu saling mendukung satu sama lain dan terdapat rasa hubungan kemasyarakatan
serta
hubungan
antara
perseorangan.
Organisasi
mengutamakan konsep egalitarianism, adanya mobilitas untuk bergerak ke atas, sehingga lingkungan kerja secara relatif bebas dari prasangka buruk.
f. Hak-hak karyawan. Hak pribadi seorang individu harus dihormati, memberi dukungan kebebasan bersuara dan terwujudnya pelayanan yang adil serta keleluasaan pribadi.
Universitas Sumatera Utara
g. Pekerja dan ruang hidup secara keseluruhan Kerja juga memberikan dampak positif dan negatif terhadap ruang kehidupan seseorang. Selain berperan di lingkungan kerja, individu juga mempunyai peranan di luar tempat kerja seperti sebagai seorang suami atau bapak dan ibu atau isteri yang perlu mempunyai waktu untuk bersama keluarga.
h. Tanggung jawab sosial organisasi Organisasi
mempunyai
tanggung
jawab
sosial.
Organisasi
haruslah
mementingkan pengguna dan masyarakat secara keseluruhan semasa menjalankan aktivitasnya. Organisasi yang mengabaikan peranan dan tanggung jawab sosialnya akan menyebabkan pekerja tidak menghargai pekerjaan mereka.
C. HUBUNGAN ANTARA KUALITAS KEHIDUPAN BEKERJA DENGAN STRATEGI COPING DALAM ORGANISASI Pada umumnya pelaksanaan tugas dalam lingkungan kerja selalu mengandung permasalahan dan tantangan. Masalah dan tantangan ini sering kali menimbulkan stres yang bisa mengganggu individu didalam mencapai tujuan. Menurut Smet (1994) reaksi individu dalam menghadapi kondisi lingkungan yang penuh masalah berupaya untuk menyeimbangkan dirinya dengan lingkungannya. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu agar tercipta keseimbangan ini disebut coping. Upaya - upaya yang dapat dilakukan individu untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres khususnya didalam lingkungan kerja dapat diistilahkan sebagai strategi coping.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Flokman & Lazarus (dalam Sarafino, 2006) terdapat dua klasifikasi bentuk coping yaitu : problem focused coping (PFC) dan emotional focused coping (EPC). Problem focused coping (PFC) adalah bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan individu, sedangkan emotion focused coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan individu. Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006) strategi problem focused coping meliputi planfull problem solving, direct action, assistance seeking dan information seeking, sedangkan strategi emotional focused coping meliputi avoidance, denial, selfcriticism dan positive reappraisal. Taylor (2009) mengatakan bahwa selama melakukan proses strategi coping, individu melakukan penilaian terhadap usaha yang dilakukan, apakah usaha yang dilakukan mengurangi tekanan emosional yang dialami atau usaha tersebut mengatasi masalah yang dihadapi. Strategi coping yang dilakukan oleh individu didalam menghadapi masalah yang timbul di lingkungan kerja membuat individu merasa lebih nyaman, senang, puas dalam bekerja dan dapat mengembangkan rasa memiliki terhadap perusahaan (Kondalkar, 2009). Vein Heskett, Sasser & Schlesinger (1997) menyatakan bahwa perasaan yang baik terhadap pekerjaannya berarti individu merasa senang melakukan pekerjaan yang akan mengarah pada lingkungan pekerjaan yang produktif. Perasaan karyawan terhadap pekerjaan, kerabat, dan organisasi yang mengarah pada pertumbuhan dan keuntungan organisasi didefinisikan sebagai kualitas kehidupan bekerja. Islam & Siengthai (2009) menambahkan bahwa kondisi kerja yang menyenangkan, keadaan yang menguntungkan bagi karyawan dan kesejahteraan karyawan dapat meningkatkan kualitas kehidupan bekerja.
Universitas Sumatera Utara
Dalam setiap lingkungan kerja, masalah – masalah yang ada didalam pekerjaan akan berdampak pada karyawan seperti meningkatnya ketidakhadiran kerja, berkurangnya kepuasan dan semangat kerja, komunikasi yang tidak efektif dan munculnya konflik dengan rekan kerja serta berkurangnya kuantitas dan kualitas kehidupan bekerja (Michie, 2002).
Strategi coping secara efektif digunakan untuk mengatasi stres termasuk dukungan dari teman, membina hubungan baik dengan rekan kerja, perencanaan, manajemen resiko, manajemen waktu, dan komunikasi secara luas (Anne, Deborah & Philip, 2004). Dengan mengembangkan kemampuan berkomunikasi yang baik maka hubungan antara sesama karyawan maupun dengan atasan dalam lingkungan kerja akan lebih efektif, hal ini merupakan salah satu komponen dari kesejahteraan karyawan yang menjadi multidimensi dari kualitas kehidupan bekerja (Jewell & Siegall, 1998). Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa dalam emotional focused coping, individu yang menggunakan positive reappraisal melihat sisi positif dari masalah yang dialami dalam kehidupannya dengan mengambil manfaat atau keuntungan
dari
pengalaman
tersebut.
Individu
juga
cenderung
untuk
mengintrospeksi diri dan belajar dari kesalahan yang diperbuat (Carver, 2009). Dengan mengambil sisi positif dari masalah yang dihadapi karyawan dalam sebuah perusahaan maka karyawan dapat menjadikan kejadian tersebut sebagai sebuah pelajaran bagi kemajuan dan pengembangan kemampuan yang dimiliki serta peningkatan prestasi didalam bekerja. Peluang untuk pertumbuhan, dimana individu dapat mengembangkan kemampuan dan keahlian yang dimilki merupakan salah satu kriteria dari kualitas kehidupan bekerja (Walton dalam Kossen, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa dalam problem focused coping, individu yang menggunakan assistance seeking dan information seeking meminta bantuan dan dukungan dari orang lain. Dukungan dan masukan yang diberikan orang lain dapat membantu individu dalam menyelesaikan masalah. Dalam lingkungan kerja, individu yang menggunakan strategi ini dapat mengembangkan rasa saling memiliki dan merasa bagian dari sebuah tim (kelompok) sehingga tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah dapat dilakukan secara langsung serta menyusun secara lengkap apa yang diperlukan. Rasa saling memiliki yang tercipta diantara individu dalam organisasi merupakan salah satu kriteria dari kualitas kehidupan bekerja (Walton dalam Kossen, 1987). Skinner
(dalam
Sarafino, 2006) berpendapat bahwa
individu
yang
menggunakan planfull problem solving dan direct action memikirkan dan mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan dan meminta pendapat atau pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi. Dalam lingkungan kerja, individu yang menerapkan planfull problem solving dan direct action serta didukung oleh kebebasan bertindak dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh perusahaan, maka karyawan dapat menyelesaikan masalah yang ada dipekerjaannya melalui perencanaan yang baik oleh karyawan itu sendiri dan didukung oleh pendapat dari rekan kerja sehingga penyelesaian masalah dapat dilakukan secara langsung. Job autonomy atau kebebasan bertindak dalam menjalankan tugas yang diberikan, serta terlibat dalam membuat perencanaan dalam perusahaan merupakan salah satu kriteria dari kualitas kehidupan bekerja (Walton dalam Kossen, 1987). Kualitas kehidupan kerja yang dipenuhi oleh perusahaan terhadap karyawan dengan baik, maka masalah yang timbul di perusahaan akan cenderung berkurang dan
Universitas Sumatera Utara
strategi coping yang dibutuhkan karyawan juga lebih rendah. Sebaliknya kualitas kehidupan kerja yang tidak dipenuhi oleh perusahaan terhadap karyawan dengan baik, maka masalah yang timbul di perusahaan akan cenderung bertambah dan strategi coping yang dibutuhkan karyawan juga lebih tinggi. Organisasi dengan kualitas kehidupan kerja yang baik dapat memotivasi karyawan untuk memaksimalkan kontribusi mereka untuk memperoleh sasaran organisasi dan mengembangkan prestasi karyawan (Tim mitra lestari et.al, 2005).
D. HIPOTESIS Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Terdapat hubungan antara kualitas kehidupan bekerja dengan strategi problem focused coping dalam organisasi. 2. Terdapat hubungan antara kualitas kehidupan bekerja dengan strategi emotional focused coping dalam organisasi.
Universitas Sumatera Utara