BAB II LANDASAN TEORI
2.1.
Ekuitas Merek
2.1.1. Pengertian Ekuitas Merek Ekuitas Merek menurut Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2006, hal.4) adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun pada pelanggan. Agar aset dan liabilitas mendasari ekuitas merek, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama dan simbol merek, beberapa atau semua aset dan liabilitas yang menjadi dasar ekuitas merek akan berubah pula. Menurut David A. Aaker (2011) yang dikutip oleh Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2006, hal. 4), ekuitas merek memiliki beberapa elemen, yaitu : a. Kesadaran Merek (Brand Awareness), menunjukkan kesanggupan seseorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. b. Asosiasi Merek (Brand Association), mencerminkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga pesaing, selebritis dan lain-lain.
7
c. Persepsi Kualitas (Perceived Quality), mencerminkan persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan, sehingga menciptakan kepuasan pelanggan. d. Loyalitas Merek (Brand Loyalty), mencerminkan tingkat keterikatan konsumen dengan suatu merek produk. e. Aset-aset Merek Lainnya (Other Proprietary Brand Assets). Elemen ekuitas merek yang kelima ini secara langsung dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut. logo, cap, atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang penjual tertentu, dengan demikian membedakannya dari barang-barang dan jasa yang dihasilkan para kompetitor.(David A.Aaker, 2011 hal.9) Merek menurut bahasa kamus dalam Encyclopedia Americana, 1989, hal. 438. menyebutkan: Brand is a word, term, symbol or design or a combination of two or more of these, used to identify a product or service of a seller, thus differentiating the product or service from others. A Brand name has value to both the owner of the name and the consumer. For the owner it helps to stimulate buying, maintain prices, differentiate products or services, aid promotional efforts, and maintain a corporate image. For the consumer, it helps to assure him of Quality, and offer him the security, and sometime the prestige, associated with the Brand of the product or service and its owne. Pengertian mengenai merek juga dikemukakan oleh American Marketing Association (AMA), lembaga tersebut mendefinisikan merek sebagai berikut (Handayani, dkk, 2009 : 21):
8
Brand is a name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them, intended to identify the goods or service of one seller or group of seller and to differentiate them from those of competitors.
Menurut AMA merek didefinisikan sebagai sebuah nama, istilah, desain, symbol atau apapun yang mendefinisikan suatu produk atau jasa dari suatu perusahaan sebagai sesuatu yang berbeda dari perusahaan lainnya. Brand image adalah apa yang pelanggan percaya akan sebuah merek, pemikiran akan merek tersebut, perasaan tentang merek tersebut dan ekspektasi terhadap merek tersebut. Merek sangat berperan penting bagi produsen dan konsumen, hal ini dikemukakan oleh Kotler & Keller (2008) yang mendefinisikan ekuitas merek sebagai “Brand equity is the added value endowed to products and services”. Merek memberikan nilai tambah terhadap produk dan jasa, sehingga menurut Keller (2006:1-22) terdapat beberapa manfaat merek bagi produsen, yaitu : 1) Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi perusahaan; 2) Bentuk proteksi hukum terhadap fitur dan aspek produk yang unik; 3) Signal tingkat kualitas tinggi bagi pelanggan yang puas sehingga pelanggan bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi lain waktu; 4) Sarana untuk menciptakan asosiasi dan makna unik produk dari pesaing; 5) Sarana keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas pelanggan dan citra unik yang terbentuk dibenak konsumen; 6) Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa mendatang. Selain itu terdapat tujuh manfaat merek bagi konsumen, yaitu : 1) Identifikasi sumber produk; 2) Penempatan tanggung jawab pada pemanufatur tertentu; 3) Pengurang resiko; 4)
9
Penekan biaya pencarian; 5) Janji atau ikatan khusus dengan produsen; 6) Alat simbolis yang proyeksikan citra diri; 7) Signal kualitas. Merek yang dimiliki oleh perusahaan akan menjadi kuat bila memiliki brand equity yang juga kuat. brand equity yang kuat akan memberikan value, baik kepada pelanggan maupun kepada perusahaan. Untuk pelanggan akan memberikan efek meningkatkan interprestasi atau proses informasi pelanggan, meningkatkan
keyakinan
pelanggan
dalam
keputusan
pembelian,
dan
meningkatkan kepuasan mereka dalam menggunakan produk atau jasa. Suatu merek pada gilirannya memberi tanda pada konsumen mengenai sumber produk tersebut, kualitas produk, kelebihan-kelebihan produk, dan melindungi konsumen maupun produsen dari para pesaing yang berusaha memberikan produk-produk yang tampak identik. Definisi tersebut di atas juga menunjukkan bahwa begitu pentingnya arti dan keberadaan sebuah merek. Merek memegang peranan sangat penting, salah satunya adalah menjembatani harapan konsumen pada saat kita menjanjikan sesuatu kepada konsumen. Merek memberi banyak manfaat bagi konsumen diantaranya membantu konsumen dalam mengidentifikasi manfaat yang ditawarkan dan kualitas produk. Konsumen lebih mempercayai produk dengan merek tertentu daripada produk tanpa merek meskipun manfaat yang ditawarkan serupa. Merek menawarkan 2 jenis manfaat yaitu manfaat fungsional dan manfaat emosional (Aaker dan Joachimstahler dalam Lina, 2008:139).
10
Manfaat lain yang ditawarkan merek kepada konsumen adalah manfaat simbolis.
Manfaat simbolis mengacu pada dampak psikologi yang akan
diperoleh konsumen ketika ia menggunakan merek tersebut artinya merek tersebut akan mengkomunikasikan siapa dan apa konsumen pada konsumen lain (Lina, 2008:139). Dengan demikian dapat diketahui adanya ikatan emosional yang tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing bisa saja menawarkan produk yang mirip, tapi mereka tidak mungkin menawarkan janji emosional yang sama. Merek menjadi sangat penting saat ini, karena beberapa faktor seperti: 1. Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji emosi menjadi konsisten dan stabil. 2. Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima diseluruh dunia dan budaya. Contoh yang paling fenomenal adalah Coca Cola yang berhasil menjadi “Global Brand”, diterima dimana saja dan kapan saja di seluruh dunia. 3. Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen. Semakin kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan makin banyak Asosiasi Merek yang terbentuk dalam merek tersebut.
Jika Asosiasi Merek yang terbentuk memiliki kualitas dan
kuantitas yang kuat, potensi ini akan meningkatkan Citra Merek.
11
4. Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen. Merek yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen. 5. Merek memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen. Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan ataupun atribut lain yang melekat pada merek tersebut. 6. Merek berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan. Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa Coca Cola Company yang memiliki Stock Market Value (SMV) yang besar ternyata 97 % dari SMV tersebut merupakan nilai merek.
Ekuitas merek menurut Aaker, David A. (2011: 22) adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbol yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan. Ekuitas Merek merupakan aset yang dapat memberikan nilai tersendiri dimata pelanggannya. Aset yang dikandungnya dapat membantu pelanggan dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut. Ekuitas Merek dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilkan keputusan pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan asosiasi dengan berbagai karakteristik merek.
12
Menurut Durianto, Sugiarto,dan Sitinjak, (2006: 7) disamping memberi nilai bagi konsumen, Ekuitas Merek juga memberikan nilai bagi perusahaan dalam bentuk : 1. Ekuitas Merek yang kuat dapat mempertinggi keberhasilan program dalam memikat konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama. Promosi yang dilakukan akan lebih efektif jika merek dikenal. Ekuitas Merek yang kuat dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap kualitas merek. 2. Empat dimensi Ekuitas Merek: Kesadaran merek, Kualitas yang dipersepsikan atas merek, Asosiasi-asosiasi merek, dan loyalitas merek dapat mempengaruhi alasan pembelian konsumen. Bahkan jika Kesadaran merek, Kualitas yang dipersepsikan atas merek, dan Asosiasi-asosiasi merek tidak begitu penting diperhatikan dalam proses pemilihan merek, ketiganya tetap dapat mengurangi keinginan atau rangsangan konsumen untuk mencoba merek-merek lain. 3. Loyalitas merek yang telah diperkuat merupakan hal penting dalam merespon inovasi yang dilakukan para pesaing. Loyalitas merek adalah salah satu elemen Ekuitas Merek yang dipengaruhi oleh elemen ekuitas merek lainnya. 4. Asosiasi Merek juga sangat penting sebagai dasar penciptaan Kesan Merek yang kuat dan strategi perluasan produk. 5. Salah satu cara memperkuat Ekuitas Merek adalah dengan melakukan promosi besar-besaran yang membutuhkan biaya besar. Ekuitas Merek yang kuat memungkinkan perusahaan memperoleh imbuhan nilai yang
13
lebih tinggi dengan menerapkan harga premium, dan mengurangi ketergantungan pada promosi sehingga dapat diperoleh laba yang lebih tinggi. 6. Ekuitas Merek yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk pertumbuhan dan perluasan merek kepada produk lainnya atau menciptakan bidang bisnis baru yang terkait yang biayanya akan jauh lebihmahal untuk dimasuki tanpa merek yang memiliki Ekuitas Merek tersebut. 7. Ekuitas Merek yang kuat dapat meningkatkan nilai penjualan karena mampu menciptakan loyalitas saluran distribusi. Produk dengan Ekuitas Merek yang kuat akan dicari oleh pedagang karena mereka yakin bahwa produk dengan merek tersebut akan memberikan keuntungan bagi mereka. Dengan Ekuitas Merek yang kuat, saluran distribusi dapat berkembang sehingga semakin banyak tempat penjualan yang pada akhirnya akan memperbesar nilai/volume penjualan produk tersebut, dan mempertinggi perolehan pangsa pasar. 8. Aset-aset Ekuitas Merek lainnya dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing. Biasanya, bila empat faktor penentu utama dari Ekuitas Merek yaitu Kesadaran Merek, Asosiasi Merek, Kualitas Merek, dan Loyalitas Merek sudah sangat kuat, secara otomatis aset Ekuitas Merek lainnya juga akan kuat. Dengan demikian, perusahaan yang ingin tetap bertahan dan melangkah lebih maju untuk memenangkan persaingan,
14
sangat perlu mengetahui kondisi Ekuitas Merek produknya melalui penelitian faktor-faktor penentu elemen Ekuitas Merek (Kesadaran Merek, Asosiasi Merek, Kualitas Merek, dan Loyalitas Merek). Ekuitas merek mengandung lima pertimbangan penting, yaitu (Anselmon et.al, 2005) : a. Berhubungan dengan persepsi konsumen bukan indicator-indikator obyektif b. Merupakan impresi global dari nilai yang dihubungkan dengan nama merek c. Ditumbuhkan dari nama merek dan bukan hanya atribut-atribut fisik saja d. Harus dibandingkan dengan merek pesaing e. Mempengaruhi keuangan ekuitas merek secara positif Merek sebagai asset maka sifatnya adalah intangible asset, maka pemasar dapat menggunakan salah satu dari 3 perspektif berikut ini (Kapferer, 2005) : a. Customer Based Dari sudut pandang konsumen, brand equity merupakan bagian dari daya tarik kepada suatu produk dari sebuah perusahaan yang ditumbuhkan bukan dari atribut produk itu sendiri melainkan dari advertising, pengalaman konsumsi dan aktivitas lain. b. Company Based Berdasarkan sudut pandang perusahaan, merek yang kuat menjelaskan beberapa tujuan, termasuk didalamnya membuat iklan dan promosi
15
efektif,
membantu
melindungi
distribusi
produk,
memfasilitasi
pertumbuhan dan perluasan kategori produk. c. Financial Based Merek adalah asset yang dapat diperjualbelikan seperti pabrik atau peralatan.
Keuntungan secara financial diperoleh dari harga merek
tersebut. Harga merek merefleksikan harapan akan nilai yang semakin tinggi di masa depan terutama nilai pada aliran kas perusahaan.
2.1.2. Peranan Ekuitas Merek Berdasarkan pendapat Durianto, et al (2006, p6), brand equity dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan asosiasi dengan berbagai karakteristik merek. Dalam kenyataannya, perceived quality dan brand association dapat mempertinggi tingkat kepuasan konsumen. Di samping memberi nilai bagi konsumen, brand equity juga memberikan nilai kepada perusahaan dalam bentuk: 1) Brand equity yang kuat dapat mempertinggi keberhasilan program dalam memikat konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama; 2) Empat dimensi utama brand equity dapat mempengaruhi alasan pembelian konsumen, setidaknya dapat mengurangi keinginan atau rangsangan konsumen untuk mencoba merek-merek lain; 3) Brand loyalty yang telah diperkuat merupakan hal terpenting dalam merespon inovasi yang dilakukan para pesaing; 4) Brand association juga sangat penting sebagai dasar dari strategi positioning maupun strategi perluasan produk; 5)
16
Brand equity yang kuat memungkinkan perusahaan memperoleh margin yang lebih tinggi dengan menerapkan premium price (harga premium), dan mengurangi ketergantungan dari promosi sehingga dapat diperoleh laba yang lebih tinggi; 6) Brand equity yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk pertumbuhan dan perluasan merek kepada produk lainnya atau menciptakan bidang bisnis baru yang terkait yang biayanya akan jauh lebih mahal untuk dimasuki tanpa merek yang memiliki brand equity tersebut; 7) Brand equity yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena mampu menciptakan loyalitas saluran distribusi; 8) Aset-aset brand equity lainnya dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak memiliki pesaing.
2.1.3. Elemen-elemen Ekuitas Merek a. Brand Awareness Dimensi pertama dalam ekuitas merek (brand equity) adalah brand awareness, dimana pengertian mengenai brand awareness dikemukakan oleh Rangkuti (2006, 243) mendefinisikan “Kesadaran merek merupakan kemampuan seseorang pelanggan untuk mengingat suatu merek tertentu atau iklan tertentu secara spontan atau dirangsang dengan kata-kata kunci”.
Kesadaran merek
(brand awareness) menunjukkan seberapa besar pengetahuan konsumen mengenai suatu produk dengan mengenali logo, iklan atau slogan yang terdapat pada produk tersebut.
17
Pengertian yang dikemukakan oleh Peter dan Olson menyatakan bahwa brand awareness adalah sebuah tujuan umum komunikasi untuk semua strategi promosi. Dengan menciptakan brand awareness, pemasar berharap bahwa kapanpun kebutuhan kategori muncul, brand tersebut akan dimunculkan kembali dari ingatan yang selanjutnya dijadikan pertimbangan berbagai alternatif dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa brand awareness adalah sebuah tujuan umum komunikasi untuk meningkatkan kemampuan seorang pelanggan untuk mengingat
atau
mengenali kembali suatu merek produk baik secara spontan maupun dengan menggunakan kata-kata kunci.
Dengan kata lain brand awareness adalah
kemampuan pelanggan untuk mengenali suatu merek produk maupun jasa dengan ataupun tanpa rangsangan atau stimulus. Adapun dalam tingkatan brand awareness adalah sebagai berikut: a. Top of Mind (puncak pikiran) adalah merek yang pertama kali diingat oleh responden atau pertama kali disebut ketika responden ditanya tentang suatu produk tertentu. Top of Mind menggunakan single respond question yang artinya responden hanya boleh memberikan satu jawaban untuk pertanyaan mengenai hal ini. b. Brand Recall (pengingat kembali merek) adalah pengingatan kembali merek yang dicerminkan dengan merek lain yang diingat oleh responden setelah responden menyebutkan merek yang pertama. Brand Recall menggunakan
18
multi respond questions yang artinya responden memberikan jawaban tanpa dibantu. c. Brand Recognition (pengenalan merek) yaitu tingkat kesadaran responden terhadap suatu merek diukur dengan menyebutkan dari ciri-ciri produk tersebut. Pertanyaan diajukan untuk mengetahui berapa banyak responden yang perlu diingatkan tentang keberadaan merek tersebut. d. Unaware Brand (tidak menyadari merek) merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida brand awareness dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek.
puncak pikiran (Top of Mind) Pengingat kembali merek (Brand Recall) pengenalan merek (Brand Recognition) tidak menyadari merek (Brand Unaware) Gambar 2.1
Piramida Brand Awareness Sumber : Durianto, et al (2006 : 55)
Tingkatan Unaware Brand harus dihindari oleh perusahaan, sebagai contoh, Asepso menjadi merek sabun mandi yang tidak begitu dikenal pasar, karena positioning sabun tersebut sebagai sabun antiseptik. Pada tahap Brand Recognition, pelanggan mampu mengidentifikasi merek yang disebutkan.
19
Tahapan selanjutnya, Brand Recall, pada tahapan ini pelanggan mampu mengingat merek tanpa diberikan stimulus. Tahapan tertinggi yaitu Top of Mind, pelanggan mengingat merek sebagai yang pertama kali muncul dipikiran saat berbicara mengenai kategori produk dari merek tersebut.
b. Brand Association Brand association adalah segala kesan yang muncul yang terkait dengan ingatan konsumen terhadap suatu brand (Susanto dan Wijanarko 2006). Contohnya McD yang dapat dikaitkan dengan ingatan akan karakter sosok Ronald McDonald. Kesan yang terkait dengan suatu brand semakin meningkat dengan bertambahnya pengalaman konsumen dalam menggunakan suatu brand atau sering munculnya brand tersebut dalam strategi komunikasi. Pendapat mengenai brand association juga dikemukakan oleh Aaker (2011) menyatakan bahwa brand association merupakan elemen dari ekuitas merek yang mencerminkan adanya diferensiasi terhadap fisik produk, pelayanan, maupun saluran distribusi. Asosiasi brand memberikan nilai bagi perusahaan maupun konsumen, antara lain membantu proses penyusunan informasi, membedakan brand yang satu dengan brand yang lain, membantu proses keputusan dalam pembelian suatu produk, merangsang perasaan positif terhadap produk yang bersangkutan dan sebagai landasan perluasan brand. Brand association mempunyai 3 elemen, yakni perceived value (nilai yang dirasakan), brand personality (kepribadian merek), dan organization association (asosiasi organisasi). Ketiga elemen tersebut mencerminkan bahwa
20
brand association bertujuan menampilkan nilai dari suatu produk yang bersangkutan, mulai dari nilai kualitas fisik produk, nilai emosional yang terdapat pada elemen kepribadian brand dan citra organisasi atau perusahaan yang memproduksi produk tersebut. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan secara menyeluruh, bahwa brand association adalah reaksi atau tanggapan yang diberikan konsumen terhadap tampilan nilai suatu produk yang mencerminkan adanya diferensiasi terhadap fisik produk, pelayanan, maupun saluran distribusi produk. Perusahaan yang memiliki brand association yang baik berarti mampu menciptakan keselarasan antara produk yang dijualnya dengan citra yang terdapat pada merek tersebut. Asosiasi merek dapat dicontohkan seperti merek dengan negara atau daerah geografis. Hal ini dapat dilihat pada setiap iklan Coca Cola atau Pepsi yang selalu mengaitkan satu sama lain.contoh asosiasi merek dengan negara atau daerah geografis: Ford, GM, dan Dodge diasosiasikan dengan negara Amerika, dan setiap mobil produksi Amerika slelau diasosiasikan sebagai kendaraan yang memiliki performa tinggi. Toyota, Honda, Mazda diasosiasikan dengan negara Jepang, dan setiap mobil produksi Jepang selalu diasosiasikan dengan mobil yang memiliki teknologi canggih. Mercedez Benz, BMW, VW diasosiasikan dengan negara Jerman, dan setiap mobil produksi Jerman selalu diasosiasikan memiliki kenyamanan berkendara. Rolls Royce, Aston Martin, Jaguar diasosiasikan dengan negara inggris, dan setiap mobil produksi Inggris selalu diasosiasikan sebagai kendaraan yang memiliki kemewahan (Handayani, dkk, 2009 : 126).
21
Adapun asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek umumnya dihubungkan dengan berbagai hal sebagai berikut : 1) Product attributes (atribut produk) Mengasosiasikan atribut atau karakteristik suatu produk merupakan strategi positioning yang paling sering digunakan. Mengembangkan asosiasi semacam ini efektif karena jika atribut tersebut bermakna, asosiasi dapat secara langsung diterjemahkan dalam alasan pembelian suatu merek. 2) Intangible attributes (atribut tak berwujud) Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum, seperti halnya persepsi kualitas, kemajuan teknologi, atau kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang objektif. 3) Customer’s benefit (manfaat bagi pelanggan) Karena sebagian besar atribut produk memberikan manfaat bagi pelanggan, maka biasanya terdapat hubungan antarkeduanya. 4) Relative price (harga relatif) Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini akan diawali dengan penentuan posisi mereka tersebut dalam satu atau dua dari tingkat harga. 5) Application (penggunaan) Pendekatan ini adlaah dengan mengaosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu. 6) User/customer (pengguna/pelanggan)
22
Pendekatan ini adlaah dengan mengasosiasikan sebuah merek dengan tipe pengguna atau pelanggan dari produk tersebut. 7) Celebrity/person (orang terkenal/khalayak) Mengaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat mentransferkan asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal ke merek tersebut. 8) Life style/personality (gaya hidup/kepribadian) Asosiasi sebuah merek dengan suatu gaya hidup dapat diilhami oleh asosiasi para pelanggan merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristik gaya hidup yang hampir sama. 9) Product class (kelas produk) Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya. 10) Competitors (para pesaing) Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan mengungguli pesaing. 11) Country/geographic area (Negara/wilayah geografis) Sebuah Negara dapat menajdi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan.
c. Perceived Quality Perceived quality didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan (Susanto 2006). Dapat disimpulkan bahwa
23
perceived quality akan membentuk persepsi kualitas suatu produk menurut konsumen. Persepsi kualitas terhadap suatu produk tidak selalu positif, karena seringkali hubungan yang ada antara sacrifice (pengorbanan) and service quality (kualitas jasa) tidak memenuhi harapan konsumen sehingga menghasilkan nilai yang negative (Brady, 2010:241). Perceived quality akan semakin kuat apabila konsumen mengalami hal positif (puas) yang dapat menyebabkan suatu produk disukai dan bertahan lama di pasaran. Sebaliknya, perceived quality juga bisa menurun apabila ada hal negatif (kecewa) yang dapat menyebabkan produk tidak akan disukai dan tidak bertahan lama. Definisi mengenai nilai konsumen yang dikemukakan oleh Kotler (2007 : 68) menggambarkan bahwa nilai konsumen sebagai kunci sukses bagi pemasaran dan diartikan sebagai selisih antara total nilai konsumen dan total biaya konsumen. Total nilai konsumen adalah sekelompok manfaat yang diharapkan dari produk atau jasa. Jumlah biaya konsumen adalah sekelompok dana yang digunakan dalam menilai, menggunakan, mendapatkan dan membuang produk dan jasa. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan secara menyeluruh, bahwa perceived quality adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas suatu produk.
Apabila pelanggan merasa puas
dengan kualitas suatu produk, maka produk tersebut akan bertahan lama dipasaran, sedangkan sebaliknya bila pelanggan tidak merasa puas terhadap
24
kualitas suatu produk maka dapat diprediksi bahwa produk tersebut tidak akan bertahan lama di pasaran. Adapun dimensi perceived quality adalah sebagai berikut : 1) Kinerja: melibatkan berbagai karakteristik operasional utama. Karena faktor kepentingan pelanggan berbeda satu sama lain, sering kali pelanggan mempunyai sikap yang berbeda dalam menilai atribut-atribut kinerja ini. 2) Pelayanan: mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut. 3) Ketahanan: mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut. 4) Keandalan: konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya. 5) Karakteristik produk: bagian-bagian tambahan dari produk (feature). Penambahan ini biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama. Bagian-bagian ini member penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan pelanggan yang dinamis sesuai perkembangan. 6) Kesesuaian dengan spesifikasi: merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji. 7) Hasil: mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi sebelumnya.
25
d. Brand Loyalty Brand loyalty secara kualitatif berbeda dari elemen-elemen utama ekuitas merek yang lain, terkait dengan pengalaman menggunakan. Brand loyalty tidak bisa terjadi tanpa melakukan pembelian terlebih dahulu dan tanpa memiliki pengalaman menggunakan. Brand loyalty dapat dilihat dari seberapa sering seseorang membeli suatu brand dibandingkan brand lain. Produk yang dapat memuaskan konsumen, akan menyebabkan konsumen memiliki ingatan kepada produk tersebut dan menjadi konsumen yang setia dengan melakukan konsumsi yang berulang kali. Tetapi jika pembelian produk tersebut tidak memuaskan dan mengecewakan, maka kemungkinan besar konsumen tidak akan memilih produk tersebut lagi dan dapat beralih ke produk yang lain. Dengan demikian, brand loyalty merupakan salah satu indikator dari ekuitas merek yang jelas terkait dengan peluang penjualan, yang berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa mendatang. Pengelolaan dan pemanfaatan yang benar dari suatu strategi pemasaran akan membuat brand loyalty menjadi aset stategis bagi perusahaan. Beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan menurut (Durianto 2006, 127), yaitu : (1) Reduced marketing costs, yaitu dapat mengurangi biaya pemasaran bila brand loyalty meningkat. Hal ini disebabkan karena biaya pemasaran akan lebih murah terutama dalam mempertahankan pelanggan dibandingkan dalam upaya mendapatkan pelanggan baru; (2) Trade leverage atau meningkatkan perdagangan dimana brand loyalty yang kuat akan menghasilkan peningkatan
26
perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. Semakin biasa konsumen membeli suatu produk, maka semakin tinggi frekuensi pembelian konsumen tersebut yang dapat meningkatkan penjualan; (3) Attracting new customers atau menarik pelanggan baru. Banyaknya pelanggan yang merasa puas dan suka pada brand tertentu, umumnya akan merekomendasikan brand yang pernah/sedang dikonsumsi kepada orang lain, yang dapat menimbulkan perasaan yakin atau percaya pada calon pelanggan lain untuk mengkonsumsi brand tersebut; (4) Provide time to respond to competitive threats yaitu brand loyalty akan memberikan waktu pada perusahaan untuk merespon gerakan pesaing. Jika salah satu pesaing mengembangkan produk baru dan unggul, maka pelanggan yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan untuk memperbaharui produk yang dihasilkan dengan cara menyesuaikan atau mengadakan inovasi untuk dapat mengungguli produk baru pesaing. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan secara menyeluruh, bahwa brand loyalty adalah ukuran keterikatan pelanggan terhadap suatu merek tentang kemungkinan seorang pelanggan beralih ke produk lain ataukah tetap terus menggunakan produk yang sudah digunakan, dapat diliihat dari seberapa sering seorang membeli suatu merek dibandingkan merek lain. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan pembeliannya ke merek lain, apa pun yang terjadi dengan merek tersebut. Bila loyalitas pelanggan terhadap suatu merek meningkat, kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan serangan merek
27
produk pesaing dapat dikurangi. Dengan demikian, brand loyalty merupakan salah satu indikator inti dari brand equity yang jelas terkait dengan peluang penjualan, yang berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa mendatang. Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut walaupun dihadapkan pada banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan karateristik produk yang lebih unggul di pandang dari berbagai sudut atributnya. Bila banyak pelanggan dari suatu merek masuk dalam kategori ini berarti merek tersebut memiliki brand equity yang kuat. Sebaliknya, pelanggan yang tidak loyal kepada suatu merek, pada saat mereka melakukan pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak didasarkan karena ketertarikan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada karakteristik produk, harga dan kenyamanan pemakaiannya ataupun berbagai atribut lain yang ditawarkan oleh merek produk alternatif. Bila sebagian besar pelanggan dari suatu merek termasuk dalam kategor ini, berarti kemungkinan ekuitas merek tersebut adalah lemah. Dalam kaitannya dengan brand loyalty suatu produk, didapati adanya beberapa tingkatan brand loyalty. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan brand loyalty tersebut adalah sebagai beriku: 1) Switcher (berpindah-pindah) Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan yang berada pada tingkat paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pelanggan
28
untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek-merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apa pun mereka anggap memadai serta memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling Nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah. 2) Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan) Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli merek produk yang lain atau berpindah merek terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya maupun berbagai pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini. 3) Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan) Pada tingkatan ini, pemebli merek masuk dalam kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin sja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, atau risiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek. Untuk dapat menarik minat para pembeli yanag dalam tingkat loyalitas ini maka para pesaing perlu
29
mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyal) 4) Likes the brand (menyukai merek) Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh perceived quality yang tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit di identifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik. 5) Committed buyer (pembelian yang komit) Pada tahapan ini pemebli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu emrek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, slah
satu
aktualisasi
loyalitas
pembeli
ditunjukkan
oleh
tindakan
merekomendasikan dan mempromosikan merek tersbeut kepada pihak lain. Tiap tingkatan brand loyalty mewakili tantangan pemasaran yang berbeda dan juga mewakili tipe aset yang berbeda dalam pengelolaan dan eksploitasinya. Tampilan piramida brand loyalty yang umum adalah sebagai berikut:
30
comitted buyer liking the brand satisfied buyer habitual buyer switcher Gambar 2.2 Piramida Tingkatan Brand Loyalty Sumber : Durianto, et al (2006)
Dari piramida loyalitas tersebut terlihat bahwa bagi merek yang belum memiliki brand equity yang kuat, porsi terbesar dari konsumennya berada pada tingkatan switcher. Selanjutnya, porsi terbesar kedua ditempati oleh konsumen yang berada pada taraf habitual buyer, dst., hingga porsi terkecil ditempati oleh committed buyer. Meskipun demikian bagi merek yang memiliki brand equity yang kuat, tingkatan dalam brand loyalty-nya diharapkan membentuk segitiga terbalik. Maksudnya makin ke atas makin melebar sehingga diperoleh jumlah committed buyer yang lebih besar daripada switcher seperti tampak pada gambar berikut:
31
comitted buyer liking the brand satisfied buyer habitual buyer switcher Gambar 2.3 Piramida Tingkatan Brand Loyalty Sumber : Durianto, et al (2006)
Pengukuran Brand loyalty 1) Behavior measures (pengukuran perilaku) Suatu cara langsung untuk menetapkan loyalitas, terutama untuk habitual behavior (perilaku kebiasaan). Adalah dengan memperhitungkan pola pembelian yang actual. 2) Pengukuran switching cost Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindikasikan loyalitas pelanggan terhadap suatu merek. Pada umumnya jika biaya untuk bernati merek sangat mahal. Pelanggan akan enggan untuk berganti merek sehingga laju penyusutan dari kelompok pelanggan dari waktu ke waktu akan rendah. 3) Measuring satisfaction (pengukuran kepuasan)
32
Pengukuran terhadap kepuasan maupun ketidakpuasan pelanggan suatu merek merupakan indikator penting dari brand loyalty. Bila ketidakpuasan pelanggan terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya tidak cukup alasan bagi pelanggan untuk beralih mengkonsumsi merek lain kecuali bila ada faktor-faktor penarik yang sangat kuat. Dengan demikian, sangat perlu bagi
perusahaan
untuk
mengeksplor
informasi
daripelanggan
yang
memindahkan pembeliannya ke merek lain dalam kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan ataupun alasan yang terkait dengan ketergesaan memindahkan pilihannya. 4) Measuring liking the brand (pengukuran kesukaan terhadap merek) Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan-perasaan hormat atau bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam perasaan pelanggan. Akan sangat sulit bagi mereka lain untuk dapat menarik pelanggan yang sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini. Pelanggan dapat saja sekadar suka pada suatu merek dengan alasan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui persepsi dan kepercayaan mereka yang terkait dengan atribut merek. Ukuran dari rasa suka tersebut dapat dicerminkan dengan kemauan untuk membayar dengan harga yang lebih mahal untuk memperoleh merek tersebut. 5) Pengukuran komitmen Merek dengan brand equity yang tinggi akan memiliki sejumlah besar pelanggan yang setia dengan segala bentuk komitmennya. Salah satu indikator kunci adalah jumlah interaksi dan komunikasi yang berkaitan
33
dengan produk tersebut. Kesukaan pelanggan terhadap suatu merek akan mendorong mereka untuk membicarakan merek tersebut kepada pihak lain, baik dalam taraf sekadar menceritakan mengenai alasan pembelian merek terhadap merek tersebut atau bahkan tiba pada taraf merekomendasikannya kepada orang lain untuk mengkonsumsi merek tersebut. Indikator lain adalah sejauh mana tingkat kepentingan merek tersebut bagi seseorang berkenaan dengan aktivitas dan kepribadian merek, misalnya manfaat atau kelebihan yang dimiliki dalam kaitannya dengan penggunaannya.
2.2.
Keputusan Pembelian
2.2.1. Pengertian Keputusan Pembelian Definisi keputusan pembelian menurut Kotler yang diterjemahkan oleh Hendra Teguh dan Ronny A Rusly (2009 : 128) : “Keputusan pembelian konsumen tentang pembelian sebagai proses seseorang individu memilih, mengorganisasi, dan menafsirkan masukan – masukan informasi untuk menciptakan sebuah gambaran yang bermakna tentang dunia”.
2.2.2. Pihak – Pihak Yang Terlibat Dalam Keputusan Pembelian Seorang pemasar harus menguasai pengaruh – pengaruh yang terjadi pada seorang pembeli serta membangun pengertian sebenarnya. Untuk itu seorang pemasar harus mengidentifikasi siapa saja yang membuat keputusan pembelian. Menurut Kotler yang diterjemahkan oleh Hendra Teguh dan Ronny A Rusly
34
(2002 : 176) pihak – pihak yang terlibat dalam keputusan pembelian konsumen dapat dibagi menjadi : a. Pengambil inisiatif (inisiator), yaitu orang yang pertama menyarankan atau memikirkan gagasan membeli produk atau jasa tertentu. b. Pemberi pengaruh (influence), adalah orang yang pandangan atau nasehatnya diperhitungkan dalam membuat keputusan. c. Pembuat keputusan (devider), adalah seorang yang pada akhirnya menentukan sebagian besar atau keseluruhan keputusan pembelian: apakah jadi membeli, apa yang dibeli, bagaimana cara membeli, atau dimana akan membeli. d. Pembeli (buyer), adalah seseorang yang melakukan pembelian yang sebenarnya. e. Pemakai (user), adalah seseorang atau beberapa orang yang menikmati atau memakai produk atau jasa.
2.2.3. Jenis – Jenis Pengambilan Keputusan a. Perilaku pembelian kompleks Konsumen melalui proses keputusan yang kompleks apabila mereka memilih tingkat keterlibatan yang tinggi dalam pemilihan dan melihat perbedaan yang nyata diantara merek – merek yang ada. Hal ini terjadi apabila konsumen terlibat dalam pembelian barang mahal, jarang dilakukan high risk dan sangat berarti bagi si konsumen. b. Perilaku pembelian berdasarkan kebiasaan
35
Konsumen terlibat dalam pembelian tetapi tidak melihat perbedaan yang nyata dari merek – merek yang ada. Setelah pembelian konsumen akan merasakan
pasca
pembelian,
disini
konsumen
mulai
berusaha
untuk
membenarkan keputusannya. Tugas pemasar disini adalah memberikan kepercayaan dan evaluasi yang bertujuan untuk membuat konsumen puas atas pilihannya. c. Perilaku pembelian yang mencari variasi Keterlibatan rendah, perbedaan nyata antar merek, dimana biasanya konsumen banyak melakukan pertukaran merek tanpa banyak penelitian, evaluasi hanya dilakukan selama pemakaian. d. Perilaku membeli berdasarkan kebiasaan Keterlibatan konsumen rendah dan tidak ada perbedaan nyata antar merek.
2.2.4. Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Menurut Kotler yang diterjemahkan oleh Hendra Teguh dan Ronny A Rusly (2007 : 204) proses pengambilan keputusan pengambilan terdiri dari : 1. Pengenalan Masalah 2. Pencarian Informasi 3. Penilaian Alternatif 4. Keputusan Pembelian 5. Perilaku Pasca Pembelian Menurut
Simamora
(2008:13)
hubungan
perusahaan
dengan
pelanggannya adalah soal pengambilan keputusan pelanggan. Oleh karena itu,
36
agar proses mempertahankan pelanggan berhasil, perusahaan perlu mengetahui proses pengambilan keputusan pelanggan. Proses pengambilan keputusan terdiri dari tahap-tahap pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian dan perilaku pembelian.
Model ini menekankan bahwa proses
pembelian bermula sejak pembelian belum dilakukan dan berakibat jauh setelah pembelian. Setiap konsumen pasti melalui kelima tahap ini setiap kali membuat keputusan pembelian. Dalam pembelian yang lebih rutin, mereka membalik tahaptahap tersebut.
Gambar 2.4 Model Generik Proses Keputusan Pembelian Sumber : Bilson Simamora, 2008 hal. 15
Tahap-tahap pembelian (Simamora, 2008) : 1. Pengenalan masalah. Proses dimulai saat pemebli menyadari adanya masalah atau kebutuhan. 2. Pencarian informasi. Seorang konsumen yangterdorong kebutuhannya mungkin, atau mungkin juga tidak, mencari informasi lebih lanjut. 3. Evaluasi alternatif. Untuk membuat keputusan terakhir, konsumen memperoleh informasi tentang pilihan merek. Bagaimmana proses evaluasi terjadi dalam diri pembeli hingga sampai pada keputusan? Sebenarnya sulit
37
mengetahuinya, sebab para konsumen tidak ada yang melakukan proses tunggal. 4. Tahap pembelian. Pada tahap pembelian pun sebenarnya masih terdapat kemungkinan perubahan. 5. Perilaku sesudah pembelian. Konsumen memiliki semacam keraguan (postpurchase dissonance) atas produk yang dibelinya. Keraguan adalah proses psikologis. Menurut Kotler ada tiga bagian utama dalam tindakan nyata terhadap produk sesudah pembelian :1) mempertahankan (keep it); 2) mengalihkan produk kepada orang lain secara sementara; 3) mengalihkan produk secara permanen.
Gambar 2.5 Model Generik Proses Keputusan Pembelian Sumber : Bilson Simamora, 2008 hal. 16
38
Gambar 2.6 Model Perlakuan Produk Setelah Pembelian, Sumber : Bilson Simamora, 2008 hal. 20
2.3.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai brand equity telah banyak dilakukan di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis juga mengangkat tema mengenai factorfaktor brand equity. Untuk itu penulis mengumpulkan beberapa penelitian yang berhubungan dengan brand equity. Penelitian yang dilakukan oleh Rizal Rachmansyah pada tahun 2010 dengan judul “Analisis Pengaruh Brand Equity terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Produk Pasta Gigi Pepsodent” menunjukkan hasil yang signifikan. Variabel keputusan pembelian dipengaruhi oleh kesadaran merek, persepsi kualitas, asosiasi merek dengan nilai adjusted R Square sebesar 0.522 yang menunjukkan bahwa ketiga variabel independen mampu menjelaskan variasi keputusan pembelian sebesar 52.2%. penelitian selanjutnya dibuat oleh Praba Sulistyawati pada tahun 2010 menunjukkan bahwa keputusan pembelian
39
dipengaruhi oleh citra merek dan kualitas produk. Kedua variabel independen tersebut mampu menjelaskan variasi keputusan pembelian sebesar 57,7%. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ema Fitria pada tahun 2011 yang meneliti mengenai elemen brand equity terhadap keputusan pembelian. Penelitian ini menggunakan 100 orang responden dimana hasilnya adalah signifikan. Keempat variabel independen yaitu kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas dan loyalitas merek terbukti secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian. Pada uji secara individual persepsi kualitas memiliki pengaruh yang positif tetapi tidak signifikan terhadap keputusan pembelian. Penelitian mengenai pengaruh brand equity terhadap keputusan pembelian juga dilakukan oleh Supriyanto dan Slamet Jarot Saputro pada tahun 2009 dengan judul “Pengaruh Persepsi Brand Equity Notebook Acer terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Pengguna Fasilitas Hot Spot Café Aquanos Kota Malang”. Pada penelitian ini responden yang dipakai sebanyak 100 orang dan hasilnya adalah terdapat pengaruh yang positif dan signifikan pada brand equity notebook Acer yang terdiri dari kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas dan loyalitas baik secara simultan maupun secara individual/parsial. Hasil ini dibuktikan dengan nilai Adjusted R Square sebesar 0.918 yang berarti brand equity mampu memberikan pengaruh variasi keputusan pembelian sebesar 91.8%. Maraknya operator seluler menarik perhatian Nur Ida Iriani (2011) untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Dimensi Brand Equity (Ekuitas
40
Merek) terhadap Keputusan Pembelian Kartu Telepon Seluler Telkomsel di Kota Malang”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara serempak (simultan)
dimensi brand equity yang terdiri dari kesadaran merek, kesan kualitas, asosiasi merek dan loyalitas merek berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian kartu telepon seluler Telkomsel di Kota Malang. Sedangkan secara individual kesadaran merek tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian. Penelitian lain mengenai brand equity dilakukan oleh Mahrinasari MS dengan judul “Analisis Faktor Penentu Ekuitas Merek (studi pada produk tabungan Tiga Bank Umum terbesar di Provinsi Lampung). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel loyalitas merek, kesadaran merek, asosiasi merek, kepentingan pada merek dan kepuasan atas merek merupakan factor-faktor yang menjadi peubah merek. Penelitian mengenai brand equity tidak hanya dilakukan di Indonesia tetapi juga dilakukan di belahan dunia lain. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Ching Fu Chen dan Yu Ying Chang dengan mengambil judul “Airline Brand Equity, Brand Preference and Purchase Intentions. The Moderating effect of Switching Costs.” Pada penelitian tersebut brand equity memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap purchase intention dengan nilai sebesar 0.68 yaitu direct effect sebesar 0.28 dan indirect effect sebesar 0.40 dengan variabel brand preference sebagai mediator. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Jahee Jung dan Eun Young Sung pada tahun 2006 dengan mengambil tema Consumer Based Brand Equity. Pada
41
penelitian tersebut kedua peneliti melakukan perbandingan terhadap 3 brand pakaian ternama milik USA yaitu Polo, Gap dan Levi’s yang dijual di Korea Selatan. Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa Korea Selatan yang bermukim di USA, mahasiswa Korea Selatan yang bermukin di Korea Selatan dan mahaiswa Amerika di Amerika. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga apparel yang dibandingkan menggunakan sarana iklan untuk meningkatkan brand equity nya.
42