BAB II LANDASAN TEORI A. REMAJA Masa remaja diidentifikasi sebagai tahap transisi yang mengalami perubahan yang signifikan seperti pubertas, perubahan kognitif dalam mengenali emosi, dan gambaran diri (Petersen & Ebata, dalam Heath & Camarena, 2002). Perubahanperubahan tersebut cukup menantang dan sering kali menyebabkan stres, yang mungkin dapat menjadi penjelasan mengapa masa remaja awal sering diidentifikasi sebagai masa yang beresiko dalam perkembangan depresi (Clarizio, dalam Heath & Camarena, 2002). Perkembangan psikososial remaja merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal ini didasari oleh masalah yang banyak dialami remaja yang disebabkan oleh hubungan sosialnya di sekolah. Salah satunya adalah perilaku bullying yang pada penelitian sebelumnya telah ditemukan berdampak depresi yang cukup serius. Oleh karena itu pada penelitian ini, peneliti bermaksud untuk melihat dampak depresi pada remaja putra dan remaja putri yang terlibat dalam perilaku bullying.
1. Definisi Remaja WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
27
Universitas Sumatera Utara
b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Monks (1999) memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara 1221 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Peneliti menetapkan dalam penelitian ini subjek yang dipakai adalah remaja awal yang masih berusia 12 sampai 15 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Monks (1999).
2. Ciri-ciri Remaja Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh setiap individu, sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa ini memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode perkembangan yang lain. Ciri yang menonjol pada masa ini adalah individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat, baik fisik, emosional dan sosial. Hurlock (1999) pada masa remaja ini ada beberapa perubahan yang bersifat universal, yaitu meningkatnya emosi, perubahan fisik, perubahan terhadap minat dan peran, perubahan pola perilaku, nilai- nilai dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Berikut ini dijelaskan satu persatu dari ciri-ciri perubahan yang terjadi pada masa remaja.
28
Universitas Sumatera Utara
a. Perubahan fisik Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan aspek fisiologis, di masa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormone, seperti hormone gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat kemasakan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi produksi hormone kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosterone, oestrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999). Dampak dari produksi hormone tersebut Atwater, (1992) adalah: (1) ukuran otot bertambah dan semakin kuat. (2) testosteron menghasilkan sperma dan oestrogen memproduksi sel telur sebagai tanda kemasakan. (3) Munculnya tanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara, berubahnya suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya rambut-rambut halus disekitar kemaluan, ketiak dan muka. b. Perubahan Emosional. Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanakkanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock, 1999). Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan mampu memgekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi
29
Universitas Sumatera Utara
lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 1999). Nuryoto (1992) menyebutkan ciri-ciri kematangan emosi pada masa remaja yang ditandai dengan sikap sebagai berikut: (1) tidak bersikap kekanak-kanakan. (2) bersikap rasional. (3) bersikap objektif (4) dapat menerima kritikan orang lain sebagai pedoman untuk bertindak lebih lanjut. (5) bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan. (6) mampu menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapi. c. Perubahaan sosial Perubahan fisik dan emosi pada masa remaja juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan
remaja.
Monks,
dkk
(1999)
menyebutkan
dua
bentuk
perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengeksperesikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya
30
Universitas Sumatera Utara
B. BULLYING Bullying merupakan masalah seperti virus yang menyebar dengan cepat yang hingga kini diperkirakan telah mencapai 5 sampai 15 persen di dunia. Pada saat ini, frekuensi bullying lebih melesat dibandingkan pada tahun 1970an atau 1980an dan prevalensi perilaku bullying diteliti meningkat pada masa sekolah menengah. Menurut Greenbaum, Turner & Stephens (dalam Bosworth dkk, 1999), alasan mengapa seorang murid tidak kembali ke sekolahnya, kira-kira 10 % anak sekolah menengah atas berhenti dari sekolah karena takut akan ancaman serangan atau pelecehan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Batsche & Knoff dkk (dalam Bosworth dkk, 1999) bahwa sepertiga anak sekolah menengah pertama merasa tidak aman ketika berada di sekolah karena perilaku bullying dan enggan melaporkan perilaku tersebut karena merasa takut, kurang kemampuan untuk melaporkan kejadian, dan merasa guru atau pengurus tidak melakukan apapun untuk menghentikan perilaku bullying. Karena perilaku bullying menyebabkan rasa takut dan mengganggu proses belajar di sekolah sehingga peneliti, sekolah, orang tua, psikolog, terutama pendidik didorong untuk memperhatikan secara aktif dampak perilaku bullying pada keadaan psikologis, budaya sekolah dan kesuksesan murid dalam bidang akademik.
1. Definisi Bullying Olweus (1994) menjelaskan bullying yaitu tindakan negatif yang dilakukan seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu.
31
Universitas Sumatera Utara
Menurut American Psychiatric Association (APA) dalam Stein dkk 2006, bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif atau jahat yang dimaksud untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) hubungan yang melibatkan ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat. Bullying juga didefinisikan sebagai bentuk perilaku agresi yang dilakukan dengan sengaja, terus-menerus dan melibatkan target khusus yaitu anak lain yang lebih lemah dan mudah diserang (Papalia, 2002). Menurut Espelage (dalam Pelligrini & Bartini, 1999) bullying merupakan perilaku yang berada dalam suatu kontinum, mulai dari tingkatan yang ringan sampai pada tingkatan yang berat. Artinya, ada anak yang melakukan perilaku bullying dalam level yang rendah dan ada pula yang melakukannya pada level tinggi yang dapat mengganggu korban dan pihak yang terkait.
2. Kategori Bullying Menurut Haynie dkk (dalam Stein dkk, 2006) pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi 4 yaitu: a.
Bullies (pelaku bullying) yaitu murid yang secara fisik dan/atau emosional melukai murid lain secara berulang-ulang (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Remaja yang diidentifikasi sebagai pelaku bullying sering memperlihatkan fungsi psikososial yang lebih buruk daripada korban bullying dan murid yang tidak terlibat dalam perilaku bullying (Haynie dkk,
32
Universitas Sumatera Utara
dalam Totura, 2003). Pelaku bullying juga cenderung memperlihatkan simptom depresi yang lebih tinggi daripada murid yang tidak terlibat dalam perilaku bullying dan simptom depresi yang lebih rendah daripada victim (Haynie dkk, dalam Totura, 2003). Byrne, Craig, Olweus (dalam Haynie dkk, 2001) menjelaskan pelaku bullying cenderung agresif, bermusuhan, mendominasi teman sebaya, dan menunjukkan kecemasan dan kegelisahan yang sedikit. Olweus (dalam Moutappa, 2004) juga mengemukakan hal yang sama bahwa pelaku bullying cenderung mendominasi orang lain dan memiliki kemampuan sosial dan pemahaman akan emosi orang lain yang sama (Sutton, Smith, & Sweetenham, dalam Moutappa, 2004). b.
Victim (korban bullying) yaitu murid yang sering menjadi target dari perilaku agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Korban bullying menunjukkan fungsi sosial yang buruk. Menurut Craig, Olweus, Rigby & Slee, dalam Haynie dkk, 2001) korban bullying cenderung lebih menunjukkan depresi, cemas dan merasa tidak aman dibandingkan dengan murid lainnya, memperlihatkan harga diri yang rendah, dan biasanya bersikap hati-hati, sensitif, dan pendiam. Jika dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak menjadi korban, korban bullying cenderung menarik diri, depresi, cemas dan takut akan situasi baru (Byrne, dalam Haynie dkk, 2001) dan memperoleh skor yang tinggi untuk perilaku internal dan simptom psikosomatik (Kumpulainen dkk., dalam Haynie dkk, 2001) dan faktor
33
Universitas Sumatera Utara
introvert Eysenck (Slee & Rigby, dalam Haynie dkk, 2001). Murid yang menjadi korban bullying dilaporkan lebih menyendiri dan kurang bahagia di sekolah serta teman baik yang lebih sedikit daripada murid lain (Boulton & Underwood dkk, dalam Haynie dkk, 2001). Korban bullying juga dikarakteristikkan dengan perilaku hati-hati, sensitif, dan pendiam (Olweus, dalam Moutappa, 2004) dan harga diri yang rendah (Collins & Bell, dalam Moutappa, 2004). c.
Bully-victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga menjadi korban perilaku agresif (Andreou, dalam Moutappa dkk, 2004). Craig (dalam Haynie dkk, 2001) mengemukakan bully-victim menunjukkan level agresivitas verbal dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lain. Bully victim juga dilaporkan mengalami peningkatan simptom depresi, merasa sepi, dan cenderung merasa sedih dan moody daripada murid lain (Austin & Joseph, Nansel dkk, dalam Totura, 2003). Schwartz (dalam Moutappa, 2004) menjelaskan bully victim juga dikarakteristikkan dengan reaktivitas, regulasi emosi yang buruk, kesulitan dalam akademis dan penolakan dari teman sebaya serta kesulitan belajar (Kaukiainen dkk, dalam Moutappa, 2004).
d.
Neutral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau bullying
34
Universitas Sumatera Utara
3. Pengukuran Perilaku Bullying Pada beberapa penelitian mengenai perilaku bullying (Totura, 2003) dan (Kaltiala-Heino dkk, 1999) digunakan aitem-aitem The Revised Olweus Bully/Victim Questionnaire yang dikembangkan oleh Olweus untuk menggali perilaku bullying seseorang. Kuesioner ini terdiri dari 39 aitem yang mengukur keterlibatan seseorang dalam berbagai macam perilaku bullying (langsung dan tidak langsung), lokasi perilaku bullying, sikap seseorang terhadap perilaku bullying, reaksi dari teman sekelas dan pengawas sekolah terhadap perilaku bullying dan victimization. Aitem pada kuesioner ini meliputi pertanyaan mengenai indikasi keterlibatan dan pengalaman dari berbagai macam perilaku bullying (diantaranya mengejek, agresi fisik, menyebarkan isu, dikucilkan secara sosial, mencuri dan mengancam). Aitem pada kuesioner ini dinilai berdasarkan 5 pilihan jawaban yaitu: 1) tidak pernah menjadi korban perilaku bullying (untuk korban) atau tidak pernah melakukan perilaku bullying terhadap murid lain (untuk pelaku), 2) hanya terjadi satu sampai dua kali dalam beberapa bulan terakhir, 3) dua sampai tiga kali dalam sebulan, 4) kira-kira sekali seminggu dan 5) beberapa kali dalam seminggu. Penilaian untuk respon yang diberikan subjek untuk setiap pernyataan berturut-turut adalah 1, 2, 3, 4, dan 5.
C. DEPRESI Gejala depresi dapat terlihat pada anak di rentang usia manapun, mulai dari bayi hingga dewasa. Menurut Culbertson (dalam Santrock, 2004), depresi kebanyakan terjadi pada remaja daripada anak-anak dan lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki.
35
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sesuai dengan penelitian epidemologis (dalam Kerig & Wenar, 2006) yang menemukan bahwa prevalensi depresi meningkat seiring dengan perkembangan pubertas yang terjadi pada masa remaja. Oleh sebab itu, untuk lebih jelasnya berikut terdapat beberapa definisi depresi yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli. Secara umum, depresi adalah gangguan psikologis yang paling umum ditemui (Rosenhan & Seligman, dalam Aditomo & Retnowati, 2004). Depresi merupakan gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi emosi sedih dan muram serta terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, dan interpersonal (APA, dalam Aditomo & Retnowati, 2004). Pengertian lainnya mengenai depresi dikemukakan oleh Rubenstein, Shaver, dan Peplau (Brehm, 2002) yang mengatakan bahwa depresi merupakan perasaan emosional yang tertekan secara terus-menerus yang ditandai dengan perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain. Chaplin (2002) mendefinisikan depresi pada dua keadaan, yaitu pada orang normal dan pada kasus patologis. Pada orang normal, depresi merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, kepatahan semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak puas, menurunnya kegiatan, dan pesimisme dalam menghadapi masa yang akan datang. Pada kasus patologis, depresi merupakan ketidakmauan ekstrim untuk bereaksi terhadap perangsang, disertai menurunnya nilai diri, delusi ketidakpastian, tidak mampu dan putus asa. Dalam DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder fourth edition Text Revision), dinyatakan bahwa depresi bersifat klinis merupakan depresi mayor ditetapkan apabila paling tidak satu gejalanya ialah salah satu dari mood tertekan atau hilangnya minat atau kesenangan (tidak termasuk gejala-gejala yang jelas yang disebabkan kondisi medis umum, atau mood delusi atau halusinasi yang tidak
36
Universitas Sumatera Utara
kongruen) yang diikuti oleh paling tidak 4 gejala lainnya yang telah ditemukan dalam jangka waktu 2 minggu yang sama dan merupakan satu perubahan pola fungsi dari sebelumnya. Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa depresi adalah gangguan emosional yang ditandai dengan perasaan tertekan, perasaan bersalah, kesedihan, kehilangan minat, dan menarik diri dari orang lain yang dapat berpengaruh pada hubungan interpersonal. Depresi pada penelitian ini adalah depresi yang terjadi dalam populasi umum dengan gejala yang dilihat dalam rentang waktu satu minggu.
1. Pengukuran Depresi Pada beberapa penelitian yang berkaitan dengan masalah depresi digunakan alat ukur The Center for Epidemiiological Studies-Depression Scale (CES-D) yang dikembangkan oleh Radloff (1977) melalui National Institute of Mental Health. Skala ini terdiri dari 20 aitem yang disusun berdasarkan 4 faktor yaitu: a. Depressed affect / negative affect merupakan perasaan-perasaan, emosi, atau suasana hati yang dirasakan negatif seperti perasaan sedih (blues), tertekan (depressed), kesepian (lonely), dan menangis (cry sad) b. Somatic symptoms merupakan gejala-gejala atau keluhan-keluhan psikologis yang dirasakan berkaitan dengan keadaan tubuh seperti merasa terganggu, berkurang atau bertambahnya nafsu makan, membutuhkan usaha dalam melakukan sesuatu, kesulitan tidur, dan sulit memulai sesuatu
37
Universitas Sumatera Utara
c. Positive affect merupakan perasaan-perasaan, emosi atau suasana hati yang dirasakan positif dan memiliki harapan yang merupakan kebalikan dari perasaan negatif d. Interpersonal relations merupakan perasaan-perasaan negatif yang dirasakan berkaitan dengan perilaku orang lain seperti tidak bersahabat dan merasa tidak disukai Faktor-faktor diatas diperoleh melalui analisa faktor (Radloff, 1977). Aitemaitem CES-D dipilih dari sekelompok aitem dari skala depresi sebelumnya. Komponen utama gejala depresi ditemukan dari literatur klinis dan penelitian analisa faktor. Komponen-komponen ini termasuk depressed mood, perasaan bersalah dan tidak berharga (feelings of guilt and worthlessness), perasaan tidak tertolong dan tidak memiliki harapan (feelings of helplessness and hopelessness), retardasi psikomotor (psychomotor retardation), kehilangan nafsu makan (loss of appetite) dan gangguan tidur (sleep disturbance).
D. JENIS KELAMIN, BULLYING DAN DEPRESI Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan dengan depresi, faktor-faktor tersebut antara lain genetik, struktur dan fungsi otak, kelekatan (attachment), persepsi kognitif, perkembangan emosional, keluarga yang mengalami depresi, kehilangan orang tua, konteks sosial, kemiskinan, stres hidup, etnis, jenis kelamin, faktor stres hidup (seperti bullying) dan jenis kelamin semua faktor tersebut memiliki kontribusi terhadap depresi. Compas dkk (dalam
38
Universitas Sumatera Utara
Hjemdal, 2007) mengemukakan kejadian hidup yang buruk merupakan faktor resiko yang penting dalam meningkatnya resiko depresi mayor pada masa dewasa dan memainkan peran yang penting dalam episode depresi selanjutnya (Fergusson & Woodward dkk, dalam Hjemdal, 2007). Bullying merupakan salah satu kejadian hidup yang buruk yang berhubungan dengan peningkatan simptom-simptom depresi (Craig dkk, dalam Hjemdal, 2007). Dalam jurnal Davis (2005) juga disebutkan bahwa perilaku bullying merupakan faktor resiko dalam berkembangnya depresi pada pelaku dan korban bullying. Hal serupa juga dikemukakan oleh Boulton & Underwood dkk (dalam Horowitz dkk, 2004) ejekan dan perilaku bullying memberikan efek psikologis yang buruk seperti kecemasan, harga diri yang rendah, penarikan diri secara sosial, pembalasan dendam, depresi hingga bunuh diri. Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui bahwa kelompok subjek laki-laki yang tergolong bullies memiliki tingkat depresi yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok subjek laki-laki yang tergolong victim, bully victim dan kelompok subjek perempuan yang tergolong bullies, victim, dan bully victim (dalam Totura, 2003). Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, juga ditemukan simptom-simptom depresi yang dialami ketiga kategori bullying yaitu bullies, victim dan bully-victim dan pada penelitian yang dilakukan oleh Swearer (dalam Crawford, 2002) kelompok bully-victim mengalami tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi daripada kelompok bullies ataupun victim . Penelitian depresi berdasarkan jenis kelamin telah banyak dilakukan di berbagai negara. Salah satunya adalah Amerika Utara yang kemudian diketahui bahwa wanita
39
Universitas Sumatera Utara
lebih rentan 3 sampai 4 kali mengalami depresi daripada pria selama hidup mereka (American Psychiatric Association; Nolen-Hoeksema, dalam Matlin, 2004). Tetapi tidak ada hasil penelitian yang konsisten tentang perbedaan depresi berdasarkan jenis kelamin pada anak yang lebih muda. Namun, selama masa pubertas, perempuan mulai melaporkan simptom depresi yang lebih banyak daripada laki-laki. Perbedaan jenis kelamin ini berlanjut sepanjang rentang hidup (Lapointe & Marcotte dkk, dalam Matlin, 2004) Menurut Kessler dkk (dalam Galambos dkk, 2004) terdapat perbedaan level simptom depresi dan major depressive episodes pada masing-masing jenis kelamin dan perempuan cenderung menunjukkan depresi yang lebih besar daripada laki-laki pada masa dimulainya remaja. Pada masa kanak-kanak, anak laki-laki lebih banyak mengalami depresi daripada anak perempuan. Tetapi, perempuan lebih banyak mengalami depresi pada masa remaja dan dewasa. Oleh karena itu, pada penelitian ini, peneliti ingin melihat faktor keterlibatan perilaku bullying dan jenis kelamin yang memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kecenderungan depresi pada remaja awal. Diagram. 1 Jenis Kelamin, Bullying, dan Depresi
Bullying (bullies, victim, bully-victim) Depresi Jenis Kelamin (laki-laki, perempuan)
40
Universitas Sumatera Utara
Perilaku bullying sangat rentan terjadi pada remaja putra dan remaja putri. Menurut Haynie dkk (dalam Totura, 2003) bullying dan victimization lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Hal yang sama juga disebutkan bahwa perilaku bullying lebih menonjol terjadi pada kalangan laki-laki daripada perempuan (dalam Krahe, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Kaltiala-Heino dkk (1999) menunjukkan bahwa anak laki-laki cenderung terlibat dalam perilaku bullying sebagai bullies dan victim dibandingkan dengan anak perempuan. Hal senada juga diutarakan oleh Kumpulainen dkk (dalam Stein dkk, 2006) bahwa anak laki-laki memiliki kemungkinan 4 sampai 5 kali lebih besar menjadi bully atau bully victim dibandingkan dengan anak perempuan. Selain itu, penelitian sebelumnya mengungkapkan prevalensi perilaku bullying cukup tinggi pada masa remaja awal yang merupakan masa-masa tingkat sekolah menengah pertama yaitu kelas 7, 8 dan 9. Menurut Nansel dkk (dalam Crawford, 2002) perilaku bullying paling sering terjadi pada murid kelas 6 hingga kelas 8. Namun, pada penelitian lain dikemukakan perilaku bullying cenderung berkurang untuk murid sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas (Steinman & Carlyle, 2007).
G. HIPOTESA PENELITIAN Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori yang telah penulis paparkan di atas maka penulis menjadikan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan depresi ditinjau dari kategori bullying dan jenis kelamin 2. Terdapat perbedaan depresi ditinjau dari kategori bullying 3. Terdapat perbedaan depresi ditinjau dari jenis kelamin
41
Universitas Sumatera Utara