BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Masa pubertas Masa pubertas adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja (Noerpramana, 2011). Pubertas merupakan tonggak penting perkembangan yang dapat dipertimbangkan sebagai urutan kompleks dari proses biologik yang diawali dengan maturasi progresif karakter seksual hingga pencapaian kapasitas reproduksi yang sempurna. Dapat dikatakan bahwa pubertas dimulai dengan awal berfungsinya ovarium dan berakhir pada saat ovarium telah berfungsi dengan mantap dan teratur (Sorensen et al., 2012). Tanda umum pubertas berupa pertumbuhan payudara, tampilnya rambut pubis, pertumbuhan yang cepat dan diakhiri dengan menarke (Noerpramana, 2011). Aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-gonad merupakan dasar utama inisiasi pubertas sehingga selama pubertas terjadi beberapa perubahan hormonal yaitu meningkatnya kadar FSH, LH, GH, estrogen dan androgen adrenal (DHEA dan DHEAS) (Noerpramana, 2011). Peningkatan FSH dan LH ini ada kaitannya dengan maturasi hipotalamus sehingga merangsang hipofisis anterior untuk meningkatkan sekresi FSH dan LH. Kadar basal FSH dan LH meningkat sepanjang pubertas. Peningkatan GH sendiri dimediasi oleh estrogen, yang kadarnya mulai meningkat saat munculnya pubertas,
sehingga berdampak pada kecepatan tumbuh pada masa
pubertas (Noerpramana,2011). Inisiasi aktivitas estrogen tampak pada pertumbuhan payudara (telarke) (Sorensen et al., 2012) sedangkan peningkatan sekresi androgen adrenal ditandai dengan tampilnya rambut pubis (Noerpramana, 2011).
Selain GH, hormon lain yang juga berperan dalam kecepatan tumbuh dalam masa pubertas adalah IGF1 dan steroid gonad, dalam hal ini estrogen. Kecepatan tumbuh wanita tertinggi terjadi pada awal pubertas sebelum menarke dan mempunyai potensi tumbuh terbatas setelah menarke (Noerpramana, 2011). GH menstimuli produksi IGF1 di dalam semua jaringan, konsentrasi di dalam sirkulasi merupakan tumpahan dari hepar. Selama pubertas, efek umpan balik negatif dari IGF1 pada sekresi GH menjadi berkurang, sebab konsentrasi IGF1 dan GH tinggi. GH dan IGF1 mempunyai peran yang jelas dalam perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada pubertas, sebab kedua hormon adalah zat anabolik yang potensial (Speroff dan Fritz dalam Noerpramana, 2011). Saat mulainya pubertas tergantung genetik, tetapi banyak faktor yang berpengaruh terhadap saat mulai dan kecepatan pertumbuhan, misalnya nutrisi, kesehatan secara umum, lokasi geografik, paparan sinar, dan keadaan psikologis. Pada masa akhir pubertas, sekresi GH mulai turun, kembali pada kadar prapubertas saat memasuki masa dewasa, meskipun pemaparan berlanjut dengan steroid gonad kadar tinggi (Noerpramana, 2011). Mekanisme yang mendasari pubertas yaitu pada perubahan beberapa hormonal yang terjadi selama pubertas belum banyak diketahui walaupun sudah dikenal bahwa program sistem saraf pusat yang bertanggung jawab sebagai pemula pubertas. Tampaknya aksis hipotalamus-hipofisis-gonad berkembang menjadi dua masa selama pubertas. Pertama sensitivitas terhadap pengaruh negatif atau hambatan dari adanya sirkulasi steroid seks berkadar rendah dalam masa kanak-kanak turun sampai awal pubertas. Kedua, akhir masa pubertas didapatkan maturasi dari umpan balik positif dan stimulasi sebagai respon terhadap estrogen, yang bertaggung jawab untuk lonjakan LH pada pertengahan sklus ovulasi (Rebar dalam Noerpramana, 2011).
2. Menarke Menarke adalah menstruasi yang pertama kali dialami oleh wanita (Dorland, 2010) yang menunjukkan bahwa organ reproduksi telah berfungsi secara mantap dan teratur (Sorensen et al., 2012). Menarke merupakan pertanda berakhirnya masa pubertas dan dimulainya masa remaja (Speroff dan Fritz dalam Noerpramana, 2011). Usia menarke rata-rata perempuan di Indonesia adalah 12,96 tahun (Batubara et al., 2010). Proses menarke normal terdiri dalam tiga fase : folikuler, ovulasi dan luteal (Braverman et al., 1997; Ducharne et al., 1993). Pada fase folikuler, terjadi peningkatan
GnRH
pulsatil
dari
hipotalamus
yang
merangsang
hipofisis
mengeluarkan FSH dan LH sehingga merangsang pertumbuhan folikel. Folikel kemudian akan mensekresi estrogen yang menginduksi proliferasi sel di endometrium. Kurang lebih tujuh hari sebelum ovulasi terdapat satu folikel dominan. Pada puncak sekresi estrogen, hipofisis mensekresi LH lebih banyaj dan ovulasi terjadi 12 jam setelah peningkatan LH. Pada fase luteal, yang mengikuti fase ovulasi, ditandai dengan korpus luteum yang dibentuk dari proses luteinisasi sel folikel. Pada korpus luteum, kolesterol dikonversi menjadi estrogen dan progesteron. Progesteron mempunyai efek yang berlawanan dengan estrogen yaitu menghambat proliferasi dan perubahan produksi kelenjar sehingga memungkinkan terjadinya implantasi ovum. Tanpa fertilisasi ovum dan produksi hCG, korpus luteum tidak dapat bertahan. Regresi korpus luteum menyebabkan penurunan kadar progesteron dan estrogen sehingga endometrium terlepas, proses tersebut dikenal dengan menstruasi (Batubara,
2010). Menstruasi terjadi 14 hari setelah ovulasi (Braverman et al., 1997; Ducharne et al., 1993). Menarke berkorelasi dengan usia pubertas dan pertumbuhan payudara. Perempuan dengan onset pertumbuhan payudara awal, maka jarak dengan terjadinya menarke lebih panjang (3 tahun atau lebih) daripada perempuan dengan onset pertumbuhan payudara yang lebih lewat (AAP & ACOG, 2006). Umur saat menarke terutama dipengaruhi oleh faktor genetik juga faktor lain seperti nutrisi, stress/kondisi psikologis, penyakit kronis dan kondisi demografis (Chapelon dalam Noerpramana, 2011). Secara khusus umur menarke didapatkan lebih awal pada anak obesitas (lebih dari 30% berat normal untuk umur) tetapi hal ini masih kontroversi, dan tertundanya menarke sering disebabkan oleh malnutrisi berat (Rebar dalam Noerpramana, 2011).
3. Aspek endokrin dalam siklus menstruasi Menstruasi merupakan hasil kerja sama yang sangat rapi dan baku dari sumbu hupotalamus-hipofisis-ovarium. Pada awal siklus sekresi gonadotropin (FSH, LH) meningkat perlahan, dengan sekresi FSH lebih dominan dibanding LH. Sekresi gonadotropin yang meningkat ini memicu beberapa perubahan di ovarium. Pada awal siklus didapatkan beberapa folikel kecil, folikel pada tahap antral yang sedang tumbuh. Pada folikel didapatkan dua macam sel yaitu sel teka dan sel granulosa yang melingkari oosit (Samsulhadi, 2011). Pada awal fase folikuler, reseptor LH hanya dijumpai pada sel teka, sedangkan reseptor FSH hanya ada di sel granulosa. LH memicu sel teka untuk menghasilkan hormon androgen, selanjutnya hormon androgen memasuki sel granulosa. FSH dengan bantuan enzim aromatase mengubah androgen menjadi estrogen di sel
granulosa (Speroff dan Fritz; Rosen et al. dalam Samsulhadi, 2011). Pada fase ini, peran FSH menonjol di antaranya: a. Memicu sekresi inhibin B, aktivin di sel granulosa. Inhibin B memacu LH meningkatkan sekresi androgen di sel teka, dan inhibin B memberikan umpan balik negatif terhadap sekresi FSH oleh hipofisis. Sementara itu, aktivin membantu FSH memicu sekresi estrogen di sel granulosa. b. Androgen diubah menjadi estrogen di sel granulosa dengan bantuan enzim aromatase. c. Memicu proliferase sel granulosa. Folikel membesar. d. Bersama estrogen memperbanyak reseptor FSH di sel granulosa. (Samsulhadi, 2011) Stimulus FSH tersebut menyebabkan pertumbuhan beberapa folikel antral menjadi lebih besar, dan sekresi estrogen terus meningkat. Pada hari 5-7 siklus kadar estrogen dan inhibin B sudah cukup tinggi, secara bersama keduanya, secara bersama keduanya menekan sekresi FSH, tetapi tidak sekresi LH. Sekresi FSH yang menurun tersebut mengakibatkan hanya satu folikel yang paling siap, dengan penampang paling besar dan mempunyai sel granulosa paling banyak, tetap terus tumbuh. Folikel lainnya, folikel yang lebih kecil dan kurang siap, mengalami atresia. Folikel dominan terus membesar menyebabkan kadar estrogen terus meningkat. Pada kadar estrogen 200 pg/ml yang terjadi sekitar hari ke-12, dan bertahan lebih dari 50 jam, akan memacu sekresi LH, sehingga terjadi lonjakan sekresi LH. Pada akhir masa folikuler siklus tersebut, sekresi LH lebih dominan dari FSH. Pada pertengahan siklus, reseptor LH mulai didapatkan juga di sel granulosa. Peran lonjakan LH pada pertengahan siklus tersebut sangat penting :
a. Menghambat sekresi Oocyte Maturation Inhbitor (OMI) yang dihasilkan oleh sel granulosa, sehingga miosis II oosit dimulai, dengan dilepaskannya badan kutub I. Pada awal siklus miosis I berhenti pada tahap profase diploten, karena ditahan oleh OMI, dan miosis II baru mulai lagi pada saat lonjakan LH (maturasi oosit). b. Memicu sel granulose untuk menghasilkan prostaglandin (PG). PG intrafolikuler akan menyebabkan kontraksi dinding folikel membantu dinding folikel untuk pecah agar oosit keluar sat ovulasi. c. Memicu luteinisasi tidak sempurna dari sel granulosa. Luteinisasi sel granulose tidak sempurna, karena masih ada hambatan dari oosit. Luteinisasi sel granulosa tidak sempurna akan menyebabkan sekresi progesteron sedikit meningkat. (Samsulhadi, 2011) Kadar progesteron yang sedikit meningkat mempunyai peran : a. Lebih memacu sekresi LH, dan sekresi FSH, sehingga kadar FSH meningkat kembali, dan terjadinlah lonjakan gonadotropin, LH dan FSH, dengan tetap sekresi LH lebih dominan. b. Mengaktifkan enzim proteolitik, plasminogen menjadi bentuk aktif, plasmin yang membantu menghancurkan dinding folikel, agar oosit dapat keluar dari folikel saat ovulasi. (Samsulhadi, 2011) Kadar FSH yang meningkat pada pertengahan silus berperan : a. Membantu mengaktifkan enzim proteolitik, membantu dinding folikel pecah. b. Bersama estrogen membentuk reseptor LH di sel granulosa, sehingga reseptor LH yang tadinya hanya berada pada di sel teka, pada pertengahan siklus juga didapatkan di sel granulosa. Pada saat reseptor LH mulai terbentuk di sel
granulosa, inhibin A mulai berperan menggantikan inhibin B yang lebih berperan selama fase folikuler. Inhibin A berperan selama fase luteal. (Samsulhadi, 2011) Sekitar 36-48 jam dari awal lonjakan LH, oosit keluar dari folikel yang dikenal sebagai ovulasi. Pascaovulasi oosit mempunyai usia yang tidak terlalu lama (Samsulhadi, 2011). Pascaovulasi, luteinisasi sel granulosa menjadi sempurna, sekresi progesteron meningkat tajam, memasuki fase luteal. Kadar progesteron meningkat tajam pascaovulasi menghambat sekresi gonadotropin sehingga kadar LH dan FSH turun, dengan tetap LH lebih dominan disbanding FSH. Sekresi LH diperlukan untuk mempertahankan vaskularisasi dan sintesa steroid seks (steroidogenesis) di korpus luteum selama fase luteal. Segera pascaovulasi sekresi estrogen menurun, tetapi meningkat kembali dengan mekanisme yang belum jelas. Pada fase luteal, kadar progesteron dan estrogen (progesteron lebih dominan) meningkat, mencapai puncaknya pada 7 hari pascaovulasi, pada pertengahan fase luteal. Kemudian kadar keduanya menurun perlahan karena korpus luteum mengalami atresia. Kurang lebih 14 hari pascaovulasi kadar progesteron dan estrogen cukup rendah, mengakibatkan sekresi gonadotropin meningkat kembali, dengan FSH lebih dominan dibandingkan LH, memasuki siklus baru berikutnya (Samsulhadi, 2011).
4. Tinggi badan saat dewasa Tinggi badan saat dewasa merupakan tinggi badan akhir seseorang sebagai indikator pertumbuhan linier di mana pertumbuhan panjang tulang telah berhenti. Tinggi badan berkaitan dengan panjang tulang panjang, yang menandakan pertumbuhan lempeng epifisis. Pertumbuhan tulang panjang terjadi melalui proses
osifikasi endokondral, yang mana tulang terbentuk dari differensiasi pola kartilago pada lempeng epifisis (Carter, 2008).
5. Panjang kaki saat dewasa Panjang kaki saat dewasa merupakan panjang kaki akhir di mana pertumbuhan tulang panjang telah berhenti. Panjang kaki lebih spesifik dalam mencerminkan pertumbuhan tulang panjang yang dipengaruhi produksi estrogen saat menarke (Georgiadis et al., 1997; Helm et al., 1995).
6. Pertumbuhan panjang tulang Pertumbuhan panjang tulang ini terkait pertumbuhan tulang rawan dan pertumbuhan tulang. a. Pertumbuhan tulang rawan Pertumbuhan tulang rawan diakibatkan oleh dua proses : pertumbuhan interstitial, yang terjadi akibat pembelahan mitosis dari kondrosit yang sudah ada; dan
pertumbuhan
aposisional,
yang
terjadi
akibat
diferensiasi
sel-sel
perikondrium. Pada kedua kasus, sintesis matriks tulang rawan meningkatkan pertumbuhan tulang rawan. Pertumbuhan interstitial kurang berperan penting dari kedua proses tersebut. Pertumbuhan ini hanya terjadi selama tahap-tahap awal pembentukan tulang rawan, saat massa tulang bertambah dan matriks tulang rawan berkembang dari dalam. Pertumbuhan interstitial juga terjadi di lempeng epifisis tulang panjang dan tulang rawan sendi. Pada lempeng epifisis, pertumbuhan interstitial penting
untuk memperpanjang tulang panjang dan menyediakan model tulang rawan bagi pembentukan endokondrium. Pada tulang rawan sendi, karena sel-sel dan matriks dekat permukaan sendi berangsur-angsur menjadi aus, tulang rawan harus diganti dari dalam karena tidak ada perikondrium untuk menambah sel melalui aposisi. Pada tulang rawan di bagian lain tubuh, pertumbuhan interstitial menjadi kurang penting karena matriks menjadi sangat padat akibat ikatan-silang molekul matriks. Tulang rawan kemudian tumbuh melalui aposisi. Kondroblas perikondrium berproliferasi dan menjadi kondrosit, ketika kondroblas ini dikelilingi matriks tulang rawan dan terkurung dalam tulang rawan yang telah terbentuk. (Junqueira dan Carneiro, 2007) b. Pertumbuhan tulang Tulang dapat dibentuk dengan dua cara : mineralisasi langsung dari matriks yang disekresi osteoblas (osifikasi intramembranosa) atau oleh deposisi matriks tulang pada matriks tulang rawan yang sudah ada (osifikasi endokondral) (Junqueira dan Carneiro, 2007; Mackie et al., 2011). Pada kedua proses, jaringan tulang mula-mula tampak sebagai tulang primer atau tulang anyaman. Tulang primer merupakan jaringan temporer dan segera diganti oleh tulang berlamela definitif, atau sekunder. Selama pertumbuhan tulang, daerah tulang primer, daerah resorpsi, dan daerah tulang sekunder terlihat berdampingan. Kombinasi sintesis tulang dan penghancurannya (remodeling), tidak hanya terjadi pada tulang yang tumbuh, namun juga berlangsung seumur hidup, meskipun kecepatan perubahannya pada orang dewasa sudah sangat menurun (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Osifikasi yang bertanggung jawab pada pembentukan dan pertumbuhan memanjang tulang panjang adalah osifikasi endokondral. Osifikasi endokondral terjadi di dalam sepotong tulang rawan hialin yang bentuknya mirip miniatur tulang yang akan dibentuk. Osifikasi endokondral tulang panjang meliputi urutan kejadian berikut. Mula-mula, jaringan tulang pertama tampak berupa tabung tulang berongga yang mengelilingi bagian tengah model tulang rawan. Struktur ini, yaitu leher tulang, dihasilkan melalui osifikasi intramembranosa di dalam perikondrium setempat. Pada tahap berikut, tulang rawan setempat mengalami proses degeneratif kematian sel, dengan pembesaran sel (hipertrofi) dan kalsifikasi matriks, yang menghasilkan struktur tiga dimensi yang terdiri atas sisa-sisa matriks tulang rawan yang mengapur. Proses ini dimulai di bagian pusat model tulang rawan (diafisis), tempat masuknya pembuluh darah melalui leher tulang yang sebelumnya telah dilubangi oleh osteoklas, yang membawa masuk sel-sel osteoprogenitor ke daerah tersebut. Berikutnya, osteoblas melekat pada matriks tulang yang telah mengapur dan menghasilkan lapisan-lapisan tulang primer yang mengelilingi sisa-sisa matriks tulang rawan. Pada tahap ini, tulang rawan berkapur tampak basofilik, dan tulang primer tampak eosinofilik. Dengan cara ini terbentuk pusat osifikasi primer di bagian tengah tulang panjang (Junqueira dan Carneiro, 2007). Pusat osifikasi primer meluas ke arah epifisis (Mackie et al., 2011). Pusat osifikasi sekunder terbentuk kemudian di bagian ujung yang membesar di model tulang rawan (epifisis) meninggalkan kartilago lempeng epifisis di antara pusat osifikasi primer dan pusat osifikasi sekunder (Mackie et al., 2011). Selama perluasan dan remodeling berlangsung, pusat osifikasi primer dan sekunder membentuk rongga yang secara berangsur diisi dan dipenuhi oleh sumsum tulang (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Di pusat osifikasi sekunder, tulang rawan tetap ada pada dua daerah : tulang rawan sendi, yang tetap ada seumur hidup dan tidak ikut dalam pertumbuhan memanjang tulang, dan tulang rawan epifisis, yang juga disebut lempeng epifisis, yang menghubungkan epifisis dengan diafisis. Tulang-tulang epifisis bertanggung jawab atas pertumbuhan memanjang tulang, dan tidak terdapat lagi pada orang dewasa, yang menjadi sebab terhentinya pertumbuhan tulang saat dewasa (Junqueira dan Carneiro, 2007). Maturitas tulang terjadi jika perluasan pusat osifikasi primer bertemu dengan pusat osifikasi sekunder sehingga lempeng epifisis menghilang atau menutup karena terjadi fusi lempeng epifisis (Mackie et al., 2011). Penutupan epifisis mengikuti urutan kronologis sesuai tulang yang bersangkutan dan akan tuntas saat berumur 20 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Begitu epifisis sudah menutup, pertumbuhan memanjang tulang tidak dimungkinkan lagi, meskipun pelebaran tulang masih mungkin terjadi (Junqueira dan Carneiro, 2007). Pertumbuhan memanjang tulang-tulang panjang terjadi melalui proliferasi kondrosit lempeng epifisis di dekat epifisis. Stimulator penting proliferasi kondrosit adalah GH yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Efek GH pada lempeng epifisis distimulasi oleh IGF1 (Nilsson et al., 2005; Pass et al., 2009). Pada waktu yang sama, kondrosit sisi diafisis dari lempeng mengalami hipertrofi; matriksnya mengalami pengapuran, dan sel-selnya mati. Osteoblas meletakkan selapis tulang primer pada matriks yang berkapur itu. Karena kecepatan kedua kejadian yang berlawanan ini (proliferasi dan destruksi) kurang lebih sama, tebal lempeng epifisis tidak banyak berubah. Bahkan lempeng epifisis didesak menjauhi bagian diafisis sehingga tulang tersebut bertambah panjang (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Hormon yang berpengaruh pada pertumbuhan tulang adalah GH, IGF1 dan steroid gonad (Noerpramana, 2011). 1) GH Lobus anterior hipofisis menyintesis GH, yang merangsang hati untuk menghasillkan somatomedin. Hormon ini selanjutnya menimbulkan efek pertumbuhan umum, khususnya pada tulang rawan epifisis. Tulang dewasa tidak dapat memanjang lagi bila dirangsang oleh kelebihan somatomedin karena tidak ada tulang rawan epifisis lagi, namun tulang ini dapat bertambah lebar melalui pertumbuhan periosteum (Junqueira dan Carneiro, 2007). 2) IGF1 menstimulasi efek GH pada proliferasi kondrosit lempeng epifisis (Nilsson et al., 2005; Pass et al., 2009). 3) Steroid gonad pada wanita yang berpengaruh pada pertumbuhan tulang adalah estrogen. Ritzen et al. (2000) menjelaskan dua aksi estrogen pada pertumbuhan tulang yaitu kadar estrogen rendah dapat merangsang pertumbuhan tulang melalui stimulasi GH dan kadar estrogen tinggi mempercepat fusi lempeng epifisis sehingga pertumbuhan panjang tulang terhenti.
Faktor yang mempengaruhi tinggi badan sesorang : 1) Genetik Faktor genetik berperan penting dalam pertumbuhan tulang yang juga berkontribusi pada tinggi badan akhir seseorang (Onland-Moret et al., 2005). Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang tuanya dalam hal bentuk tubuh, proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Diasumsikan bahwa kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Namun gen tidak
secara langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi ekspresi gen yang diwariskan ke dalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa sistem biologis yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk tumbuh. Misalnya, gen dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari kelenjar endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan terhadap status kematangannya (matur state). Sistem endokrin juga merespon pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berefek terhadap perkembangan, dan mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara gen dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia (Bogin, 1988). 2) Olahraga Olahraga dapat menstimulasi peningkatan sekresi GH sehingga berperan dalam pertumbuhan panjang tulang pada masa pertumbuhan (Guyton dan Hall, 2007). Frekuensi olahraga yang cukup baik, khususnya dalam menunjang masa pertumbuhan, adalah minimal 3 kali dalam seminggu. Beberapa jenis olahraga seperti berenang atau basket disebutkan dapat menstimulasi pertumbuhan panjang tulang dengan lebih baik karena berkonsep jumping yang dalam hal ini akan berefek menarik tulang belakang maupun tulang kaki sehingga merangsang pertumbuhan panjang tulang (Karim, 2002). 3) Nutrisi Tulang sensitif terhadap faktor nutrisi khususnya selama masa pertumbuhan. Defisiensi kalsium berakibat kalsifikasi yang tidak sempurna di matriks tulang organic, akibat kekurangan kalsium dalam diet atau akibat kekurangan vitamin D, prohormon steroid yang penting untuk absorpsi ion kalsium dan phosphate oleh usus halus (Junqueira dan Carneiro, 2007). Vitamin D
diketahui berperan dalam memperpanjang atau memperbesar lempeng epifisis akibat perluasan zona hipertrofi (Hasegawa et al., 2000). Defisiensi kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan pengapuran matriks tulang yang abnormal dan lempeng epifisis yang mengalami distorsi oleh beban normal tubuh dan aktivitas otot. Akibatnya proses osifikasi pada tingkat ini akan terhambat, dan tulang tidak saja tumbuh lebih lambat namun juga mengalami deformitas (Junqueira dan Carneiro, 2007). Kandungan nutrisi tersebut, vitamin D dan kalsium, dapat ditemukan dalam susu. Konsumsi susu 2 gelas tiap hari pada anak dalam masa pertumbuhan dapat mencukupi kebutuhan vitamin D dan kalsium (Wagner dan Greer, 2008).
7. Peran hormon estrogen pada tulang Estrogen menghambat aktivitas osteoklastik di dalam tulang sehingga merangsang pertumbuhan tulang. Pada saat pubertas, ketika wanita masuk ke masa reproduksi, laju pertumbuhan tinggi badannya menjadi cepat selama beberapa tahun (Guyton dan Hall, 2007). Akan tetapi, estrogen memiliki efek yang lain yaitu menyebabkan terjadinya percepatan fusi lempeng (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2001; Junqueira dan Carneiro, 2007). Ritzen et al. (2000) menyebutkan adanya dua aksi estrogen tersebut pada pertumbuhan tulang karena pengaruh tinggi rendahnya kadar estrogen. Kadar estrogen rendah dapat merangsang pertumbuhan tulang melalui stimulasi GH sedangkan kadar estrogen tinggi mempercepat fusi lempeng epifisis.
8. Hubungan antara usia menarke dengan tinggi badan dan panjang kaki saat dewasa
Penelitian yang dilakukan oleh Onland-Moret et al. (2005) di Eropa, Gharravi et al. (2008) di Iran dan Novotny et al. (1996) di Hawaii pada etnis Jepang menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia menarke dengan tinggi badan saat dewasa. Dijelaskan bahwa perempuan dengan usia menarke lebih lewat akan memiliki tubuh yang lebih tinggi. Hubungan ini mungkin dapat dijelaskan karena percepatan fusi lempeng epifisis akibat meningkatnya kadar estrogen pada akhir masa pubertas (Georgiadis et al., 1997; Helm et al., 1995). Usia menarke yang lebih lewat memberi kesempatan yang lebih lama pada tulang panjang untuk tumbuh sebelum epifisis bersatu menghasilkan tubuh yang lebih tinggi (Onland-Moret, 2005). Pada peneltian ini juga dilakukan pengukuran panjang kaki. Produksi estrogen saat menarke lebih mempengaruhi pertumbuhan tulang panjang sehingga efek estrogen lebih spesifik terlihat pada panjang kaki (Georgiadis et al., 1997; Helm et al., 1995). Hasilnya menunjukkan bahwa hubungan antara usia menarke dengan panjang kaki (saat dewasa) hampir sama dengan hubungan antara usia menarke dengan tinggi badan saat dewasa (Onland-Moret et al., 2005). Selain itu, remaja yang berhenti pubertasnya (yang ditandai dengan menarke) premature tidak akan mencapai tinggi potensi sepenuhnya sebagai orang dewasa (Carter, 2008).
B. Kerangka Pemikiran Usia menarke*
Onset paparan estrogen kadar tinggi
Estrogen kadar tinggi mempercepat fusi lempeng epifisis
Pertumbuhan panjang tulang panjang terhenti Genetik
Olahraga
Konsumsi susu
Genetik Tinggi badan
Panjang kaki
saat dewasa*
saat dewasa*
Olahraga
Konsumsi susu
Keterangan : * diteliti
C. Hipotesis Ada hubungan antara usia menarke dengan tinggi badan dan panjang kaki saat dewasa.