Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Memasuki masa transisi, seorang remaja mengalami banyak perubahan, termasuk perubahan secara psikologis. Salah satu perubahan yang muncul adalah remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan bersama dengan teman-temannya. Santrock (2003) mengungkapkan bahwa anak semakin banyak menghabiskan waktu bersama teman sebayanya pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, serta masa remaja. Para remaja lebih mengikuti standar-standar dari teman sebaya mereka. Teman sebaya adalah salah satu faktor yang membantu proses perkembangan sosial yang normal pada anak. Remaja yang memiliki kesulitan menjalin hubungan dengan teman sebaya cenderung memiliki risiko mengalami masalah. Adanya penolakan atau tidak diperhatikan oleh teman sebaya akan memunculkan rasa kesepian. Hal penting lain yang ada pada masa remaja adalah pembentukan identitas diri. Anak mulai tertarik untuk mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya, dan kemana ia menuju dalam kehidupannya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama masa remaja dapat mempengaruhi kondisi psikologis remaja. Salah satu hal yang sering terjadi adalah perundungan (bullying). Penolakan atau pengucilan merupakan salah satu bentuk perundungan yang sering dialami oleh remaja. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada tahun 2013 hingga bulan Oktober tercatat 2.792 kasus kekerasan yang dilaporkan, yaitu terdiri dari 1.424 kasus, 229 kasus tawuran antar pelajar, dan lain-lain. Pada bulan Januari-Juni 2013 tercatat 1.032 kasus kekerasan pada anak yang terdiri dari: kekerasan fisik 294 kasus (28%), kekerasan psikis 203 (20%), kekerasn seksual 535 kasus (52%). Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yakni tahun 2012, yaitu tercacat dari 2.637 kasus menjadi 2.792 kasus kekerasan pada anak pada tahun 2013. Data selanjutnya diperoleh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yaitu sepanjang tahun 2014 tercacat adanya 19 kasus kekerasan di sekolah. Jumlah ini berdasarkan pengaduan langsung, baik melalui media atau surat elektronik (KPAI, 2014). Selain data tersebut, jumlah kasus
perundungan berpotensi memiliki jumlah yang lebih besar dan tidak tercakup dalam data yang dilaporkan ke KPAI. Perundungan digambarkan sebagai perlakukan negatif seseorang kepada orang lain yang dilakukan berulang-ulang. Olweus (1997) menggambarkan bahwa anak yang mengalami perundungan adalah ketika anak secara terus menerus mendapatkan perlakuan negatif dari anak yang lainnya. Perilaku negatif ini dapat berupa kontak fisik, kata-kata, atau pengucilan. Dalam perundungan terdapat ketidakseimbangan kekuatan, yaitu pelaku lebih kuat dibandingkan korban sehingga korban perundungan cenderung tidak mampu mempertahankan diri. Rigby (2007) menyebutkan bahwa usia 10 sampai 14 tahun adalah kelompok usia yang paling sering mengalami perundungan. Perundungan cenderung meningkat saat anak memasuki sekolah menengah pertama, sehingga perlu adanya persiapan kepada anak pada masa transisi sekolah dasar ke sekolah menengah. Remaja yang rentan menjadi korban perundungan memiliki beberapa karakteristik. Penelitian yang dilakukan Horowitz, dkk. (2004) menemukan hal-hal yang dapat menjadi sumber aksi perundungan adalah jika seorang remaja “nampak berbeda” dibandingkan dengan orang lain. Perbedaan ini berasal dari penampilan fisik, kepribadian, perilaku sehari, keluarga dan lingkungan sekitar, dan hubungan sosial di sekolah. Olweus (1997) menggambarkan bahwa korban perundungan cenderung pencemas dan mudah tersinggung. Selain itu, korban juga cenderung memiliki harga diri yang rendah. Mereka menilai negatif dirinya sendiri dan situasi yang dialaminya. Korban perundungan juga sering menyalahkan diri sendiri, merasa bodoh, dipermalukan, dan tidak menarik. Kurangnya komunikasi dengan keluarga, isolasi sosial, dan hubungan pertemanan dengan teman sekolah adalah beberapa hal yang menyebabkan anak rentan menjadi korban perundungan (Spriggs, Iannotti, Nansel, & Haynie, 2007). Dampak perundungan cenderung stabil dan akan terus berlangsung hingga masa akhir sekolah dan masa dewasa (Olweus, 1997; Young & Sweeting, 2004). Dampak perundungan yang dialami para remaja sangat beragam. Korban
perundungan sering mengalami kesepian, menghindari sekolah, kurang memiliki dukungan teman sebaya, kurang merasa aman di sekolah, menurunnya prestasi akademik, memiliki harga diri rendah, dan depresi (Kochenferder & Ladd, 1996; Lester, Cross, & Shaw, 2013; Ponzo, 2012; Seals & Young, 2003; Uba, Yaacob, Juhari, & Talib, 2010). Para korban perundungan selain berisiko mengalami harga diri yang rendah, juga cenderung memiliki dukungan sosial yang rendah, rendah ketrampilan sosial, dan mudah putus asa (Esbensen & Carson, 2009; Fox & Boulton, 2005; Siyahhan, Aricak, & Cayirdar-Acar, 2012; Westermann, 2007). Korban akan menganggap dirinya tidak mampu dan tidak berharga jika mendapat perlakukan negatif dari lingkungan sekitar. Rigby (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa korban perundungan akan memandang dirinya sebagai sosok yang tidak popular dibandingkan teman-temannya dan memiliki harga diri rendah. Remaja yang pernah mengalami perundungan di masa kecilnya berisiko mengalami gangguan kesehatan, terutama gangguan psikologis, memiliki ide untuk bunuh diri, berisiko mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) bahkan berisiko mengalami gejala psikotik di masa yang akan datang (Idsoe, Dyregrov, & Idsoe, 2012; Klomek, dkk, 2012; Lemstra, dkk., 2007; Van Dam, dkk. 2012) Sesuai dengan hasil-hasil penelitian yang sebelumnya, menunjukkan bahwa salah satu karakteristik remaja yang rentan mengalami perundungan adalah memiliki harga diri rendah. Selain itu, rendahnya harga diri juga merupakan dampak dari perundungan. Perlakukan serta respons negatif yang diterima seseorang akan mempengaruhi cara orang tersebut melihat dirinya sendiri. Scarpa dan Luscher (2003) menjelaskan bahwa harga diri yang rendah berhubungan erat dengan munculnya depresi. Olweus (1997) mengungkapkan jika para korban perundungan kadang bersikap berlebihan dan melihat bahwa bunuh diri adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Menurut Coopersmith (1967), harga diri merupakan reaksi penghargaan individu terhadap dirinya sendiri. Harga diri menunjukkan besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan dirinya, makna dirinya, dan kesuksesan yang dapat
diraihnya. Evaluasi tersebut sebagian besar berasal dari interaksi individu dalam lingkungannya dan perlakuan individu lain terhadap individu tersebut. Harga diri dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu harga diri rendah, sedang, dan tinggi. Newman dan Newman (2009) mengungkapkan bahwa harga diri memiliki tiga komponen, yaitu pertama adalah rasa cinta, dukungan, dan penerimaan dari orang lain. Kedua adalah adanya prestasi dan kompetensi. Ketiga adalah adanya perasaan berharga seseorang atas kemampuannya yang dibandingkan dengan orang lain dan terhadap diri ideal sendiri. Pemaparan sebelumnya menggambarkan bahwa perundungan yang dialami seseorang dapat menurunkan harga diri pada remaja. Padahal, di sisi lain, harga diri berkembang pesat saat memasuki masa remaja dan penting untuk proses perkembangan selanjutnya (Barlow & Durland, 2005; Erol & Orth, 2011). Harga diri rendah saat remaja sangat berisiko atas munculnya depresi, rendahnya kesehatan fisik dan mental, rendahnya kondisi ekonomi, terlibat kriminalitas, serta risiko bunuh diri saat memasuki masa dewasa (Orth, dkk, 2009; Trzesniewski, dkk, 2006). Salah satu cara untuk meningkatkan harga diri adalah ketika individu mencoba untuk menghadapi masalah daripada menghindarinya (Santrock, 2006). Usaha untuk meningkatkan harga diri menjadi salah satu fokus dalam beberapa program anti perundungan. Rigby (2007) menjelaskan bahwa dengan mengubah cara pandang korban perundungan menjadi lebih positif, secara tidak langsung akan meningkatkan harga diri mereka. Ketika remaja memiliki harga diri tinggi, diharapkan dapat melindungi diri sekaligus mengurangi perundungan. Frisen, Hasselblad, dan Holmqvist (2012) yang melakukan penelitian kepada korban perundungan menemukan bahwa salah satu cara menghentikan perundungan adalah mengubah cara atau strategi koping para korban perundungan. Olweus (1997) mengungkapkan jika fokus beberapa usaha penanganan teraputik untuk prevensi terhadap perundungan adalah dengan meningkatkan harga diri, rasa empati, dan ketrampilan sosial. Penelitian meta analisis yang dilakukan Merrell, Gueldner, Ross, dan Isava (2008) menemukan jika beberapa program intervensi anti perundungan di
sekolah yang telah dilakukan selama 25 tahun memberikan beberapa hasil yang positif, terutama dalam usahanya meningkatkan harga diri para siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa memiliki harga diri serta kepercayaan diri yang tinggi dapat menjadi salah satu aspek perlindungan dan pertahanan diri terhadap perundungan (Eskisu, 2014; Sapouna & Wolke, 2013). Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa remaja yang rentan atau berisiko menjadi korban perundungan adalah remaja yang memiliki harga diri yang rendah. Selain itu, ketika remaja mengalami perundungan, maka harga diri mereka cenderung menjadi rendah. Pengalaman tidak menyenangkan saat mengalami perundungan, akan menimbulkan perasaan tidak berharga dan rendah diri pada korban perundungan. Dengan demikian, ketika remaja memiliki harga diri tinggi dan kuat, maka akan mengurangi risiko-risiko negatif yang dapat terjadi. Penelitian ini menerapkan suatu program penanganan perundungan pada remaja melalui sebuah pelatihan yaitu, “Tameng Bullying”. “Tameng Bullying” merupakan akronim dari kata “TAhan MENGhadapi Bullying”. Penanganan kasus perundungan diperlukan adanya pendekatan dalam berbagai tingkatan, mulai dari individu, keluarga, sekolah, hingga komunitas. Dalam penelitian ini, diberikan penanganan pada tingkat individu yaitu remaja. Ketika remaja memiliki harga diri tinggi dan kuat, diharapkan remaja dapat terhindar menjadi korban perundungan dengan menghindari risiko-risiko negatif dari perundungan. Harga diri yang tinggi pada dasarnya dimulai dari pemahaman positif atas diri sendiri serta memahami cara efektif untuk melindungi harga diri saat mengalami hal-hal tidak menyenangkan. Pendekatan dalam pelatihan adalah experiential learning, yaitu suatu proses pembelajaran yang menuntut peserta untuk aktif melakukan aktivitas, mengolah, dan memaknai pengalaman belajar dengan bantuan peserta lain dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Metode yang digunakan adalah presentasi atau lekturet, gugus tugas, diskusi kasus, dan latihan bermain peran (role play). Metode tersebut dipilih karena memungkinkan keterlibatan peserta yang tinggi (Supratiknya, 2008).
Selain itu, pelatihan ini juga disertai film sebagai salah satu media pendukungnya. Media
dengan menggunakan video atau film tentang kasus
perundungan membantu proses meningkatkan kewaspadaan, memahami ulang masalah yang seseorang alami dengan berbagai perspektif, dan menurunkan perilaku perundungan (McLaughlin, Laux, Pescara-Kovach, 2006, Pieter, Fröhlich, Emrich, & Stark, 2010; Rigby, 2007). Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Zuniga (2013) yang menemukan bahwa film dapat meningkatkan harga diri pada remaja. Keuntungan menggunakan film adalah ketika seseorang dapat menerapkan cara mengatasi masalah kepada dirinya sendiri, terlebih lagi jika terdapat kesamaan pengalaman dengan karakter pada film. Cortes (2014) menyebutkan bahwa dialog dalam film yang digunakan sebagai metafora dapat meningkatkan kemampuan remaja dalam berpikir secara kritis sehingga dapat meningkatkan kesadaran atas pikiran dan perasaan yang berhubungan dengan lingkungan sosial serta membantu untuk menghindari stereotipe negatif. Pelatihan “Tameng Bullying” bertujuan untuk meningkatkan harga diri remaja sebagai usaha prevensi terhadap
perundungan. Remaja yang telah mengikuti
pelatihan “Tameng Bullying” ini diharapkan memiliki harga diri yang kuat dan tinggi sehingga dapat terhindar dari korban perundungan. Demi mencapai tujuan tersebut, pelatihan ini akan: 1) Memberikan pemahaman baru yang lebih positif atas diri sendiri kepada para peserta; 2) Memberikan pemahaman baru yang lebih komprehensif
mengenai
perundungan;
3)
Memberikan kesempatan
peserta
menemukan strategi yang efektif ketika menghadapi aksi perundungan; 4) Peserta mengimplementasikan hasil pelatihan. Pelatihan “Tameng Bullying” atau Tahan Menghadapi Bullying dirancang sebagai suatu program prevensi terhadap perundungan yang berfokus pada peningkatan harga diri remaja. Pada dasarnya, pelatihan ini disusun dengan berfokus pada dua hal, yaitu pertahanan diri dari dalam (internal) dan luar (eksternal) terhadap perundungan. Dinamika pertahanan diri dilihat dari dinamika harga diri, proses penguatan harga diri, dan bagaimana strategi melindungi harga diri. Selain itu, dalam
pelatihan
juga
diberikan psikoedukasi tentang
perkembangan remaja
dan
perundungan. Pada dasarnya, terdapat beberapa program penanganan anti perundungan dengan model bervariasi, antara lain Social Skill Training (SST) (Fox & Boulton, 2003) dan Bullies to Buddies (Kalman, 2013). Beberapa program tersebut fokus pada peningkatan kemampuan sosial dan cara pandang memahami perundungan, termasuk usaha meningkatkan harga diri. Hasil yang diberikan cukup efektif dalam usaha mengurangi perundungan. Penelitian ini berusaha menyusun sebuah program penanganan ditujukan pada prevensi induvidu yang rentan menjadi korban perundungan, terutama fokus pada penguatan harga diri. Harapannya hasil penelitian ini dapat menemukan teknik atau strategi yang efektif sebagai usaha mengurangi perundungan. Penelitian ini bertujuan mengukur validitas modul “Tameng Bullying” untuk meningkatkan harga diri pada remaja sebagai usaha prevensi perundungan. Validasi modul menjadi proses penting menentukan layak atau tidaknya sebuah modul sebagai media intervensi yang efektif. Penelitian ini bermanfaat dalam menciptakan suatu teknik dan metode dalam usaha penanganan perundungan. Penelitian ini secara praktis diharapkan menghasilkan modul yang efektif meningkatkan harga diri sehingga membantu remaja agar terhindar dari dampak-dampak negatif perundungan. Hipotesis dari penelitian ini adalah modul “Tameng Bullying” dapat meningkatkan harga diri remaja sebagai usaha prevensi terhadap perundungan.
Remaja rentan mengalami perundungan.
Risiko perundungan: Kesepian, somatisasi, depresi, harga diri rendah, bunuh diri.
Pelatihan “Tameng Bullying” Meningkatkan harga diri Remaja mampu melalui masa remaja dengan optimal, positif, dan terhindar dari risiko perundungan. Gambar 1. Kerangka Penelitian
METODE Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel tergantung dalam peneltian ini adalah harga diri. Harga diri adalah reaksi penghargaan individu terhadap dirinya sendiri dan menunjukkan besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, makna dirinya, dan kesuksesan yang dapat diraihnya. Pengukuran tingkat harga diri dalam penelitian ini menggunakan skala harga diri hasil adaptasi dari format asli Self Esteem Inventory (Coopersmith, 1967). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pelatihan “Tameng Bullying”. Pelatihan “Tameng Bullying” (Tahan Menghadapi Bullying) dirancang sebagai suatu program prevensi terhadap perundungan yang berfokus pada peningkatan harga diri remaja. Pada dasarnya, pelatihan ini disusun dengan berfokus pada dua hal, yaitu pertahanan diri dari dalam (internal) dan luar (eksternal) terhadap perundungan. Dalam pelatihan ini terdapat 3 materi utama, yaitu materi (1)“Siapa Takut Bulying?”, (2) “Aku dan Diriku”, dan (3) Aku dan Dunia Sekitarku”. Pelatihan ini menggunakan pendekatan belajar eksperiensial, yang tahapannya dimulai dari peserta mengalami,
membagi pengalaman, memproses, menyimpulkan, dan mengaplikasikannya. Pelatihan ini berfokus pada pengalaman-pengalaman peserta dalam memahami, menilai, dan memandang diri mereka sendiri. Total waktu pelatihan ini adalah 10 jam yang terbagi dalam dua hari pelatihan dan terdiri dari tiga materi utama.
Subjek Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah remaja, dengan rentang usia 14 hingga 16 tahun dan memiliki skor harga diri dengan kategori sedang. Pemilihan subjek yang memiliki skor kategori sedang untuk menghindari ancaman validitas internal berupa regresi. Ketika subjek penelitian memiliki skor yang ekstrim, baik ekstrim tinggi atau rendah, maka akan ada kecenderungan mendapatkan skor yang ekstrim pula di pengukuran selanjutnya. Jika terjadi regresi, maka dapat menyebabkan kekeliruan pada efek perlakuan (Shadish, Cook, & Campbel, 2002). Penempatan subjek penelitian ke dalam kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan secara non random. Subjek penelitian merupakan siswa kelas X dan berasal dari SMA X dan Y. Masing-masing kelompok, antara kelompok eksperimen dan kontrol terdiri dari 15 subjek yang memiliki skor harga diri tergolong sedang. Kelompok eksperimen terdiri dari siswa SMA X dan kelompok kontrol terdiri dari siswa SMA Y. Pemilihan subjek penelitian melalui proses screening pada 2 kelas X di SMA X dan Y dengan menggunakan skala harga diri. Dari 49 siswa kelas X SMA X, terpilih 15 anak yang memenuhi kriteria. Dari 58 siswa kelas X SMA Y, terpilih 15 anak. Dalam prosesnya, terdapat 5 siswa di kelompok kontrol tidak hadir saat tahap post test sehingga mengurangi jumlah subjek di kelompok kontrol. Total subjek yang mengikuti keseluruhan kegiatan penelitian sebanyak 15 subjek untuk kelompok eksperimen dan 10 subjek untuk kelompok kontrol.
Instrumen Penelitian Penelitian ini memilik beberapa instrumen pengukuran, yaitu 1. Skala Harga Diri Skala harga diri yang digunakan dalam penelitian ini hasil adaptasi dari format asli Self Esteem Inventory (Coopersmith, 1967). Skala ini memiliki empat aspek, yaitu general self, social self peer, home parents, school academic, dan lie scale. Skala ini merupakan Penskalaan Respon yakni Skala Likert yang terdiri atas aitem favorable dan unfavorable dengan pilihan jawaban SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), N (Netral), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Pengujian terhadap validitas skala menggunakan validitas isi (content validity). Haynes, Richards, dan Kubany (dalam Azwar, 2012b) mengungkapkan bahwa validitas isi mengungkapkan sejauh mana aitem dalam alat ukur benarbenar relevan dan menggambarkan konstrak yang hendak diukur sehingga sesuai dengan tujuan pengukuran. Penilaian dilakukan oleh 10 orang mahasiswa Magister Profesi Psikologi yang telah lulus ujian HIMPSI. Koefisien validitas dari kesepakatan para ahli tersebut kemudian dihitung menggunakan formula Aiken’s V (Azwar, 2012b). Hasil validasi isi menunjukkan nilai Aiken bergerak antara 0,53 sampai 1. Batasan koefisien validitas isi adalah 0,50 yang dapat dianggap memuaskan dan memadai (Azwar, 2012). Selain penilaian, penilai juga memberikan saran berupa redaksional kalimat. Setelah dilakukan perbaikan, kemudian dilakukan uji coba skala terhadap siswa SMA dengan karakteristik sesuai subjek penelitian. Jumlah aitem saat uji coba adalah 43 aitem dengan sebaran aitem dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Blue Print Skala Harga Diri
Aspek General Self Social Self Peer Home Parents
Aitem
Jumlah
1, 38, 39, 42, 2, 16*, 17*, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 43* 3, 4, 18, 20, 5*, 19, 32*, 33 6, 8, 34*, 40, 7*, 8, 21, 41
14 8 7
School Academis 10, 22, 35, 9, 11*, 12* Lie Scale 13, 14, 15, 23, 24, 25, 36, 37.
6 8
Keterangan: *: aitem yang dihapus
Kriteria pemilihan aitem menggunakan batasan besaran indeks daya beda aitem ≥ 0,30 sehingga aitem yang memiliki koefisien di bawah 0,30 diartikan memiliki daya diskriminasi yang rendah (Azwar, 2012). Hasil uji coba skala terhadap 59 siswa menunjukkan terdapat sembilan aitem yang gugur. Aitem yang digunakan berjumlah 34 aitem dengan daya beda aitem berkisar 0,305 sampai 0,623. Koefisien reliabilitas dari skala ini dinyatakan dengan nilai Alpha Cronbach sebesar 0,863.
2. Cek manipulasi Tes pengetahuan ini diberikan sebagai cek manipulasi. Cek manipulasi dilakukan dengan tujuan untuk meyakinkan bahwa perlakuan yang diberikan dapat berjalan dengan lancar, kelompok yang diberikan perlakuan (kelompok eksperimen) telah memahami isi pelatihan dengan baik, dan dengan kata lain untuk menguji keberhasilan manipulasi yang diberikan (Myers & Hansen, 2002). Tes pengetahuan disusun berdasarkan aspek pengetahuan. Menurut Bloom (1974), pengetahuan didefinisikan sebagai perilaku dan situasi-situasi yeng menekankan pada ingatan, baik kemampuan mengenal, mengingat ide-ide, materi-materi, dan fenomena-fenomena. Tes pengetahuan ini meliputi materi-materi yang dipaparkan selama pelatihan, yaitu tentang aksi perundungan, harga diri dan cara meningkatkan harga diri. Selain tes pengetahuan, peneliti juga menggunakan skala sikap menghadapi perundungan sebagai cek manipulasi. Skala sikap ini disusun peneliti menggunakan dimensi komponen perundungan (Olweus, 1997), yang terdiri dari korban, pelaku, dan bystander. Skala terdiri dari 27 item dan tiap item disusun berbentuk kasus dan sikap menghadapi kasus tersebut. Pengujian validitas skala menggunakan validitas isi (content validity). Penilaian dilakukan oleh satu orang
expert, yaitu Dr. Budi Andayani, M. A.
Setelah dilakukan perbaikan, skala
kemudian diuji coba pada 56 siswa kelas X yang memiliki karakteristik sama dengan karaketristik subjek penelitian (remaja). Tabel 2. Blue Print Skala Sikap Menghadapi Perundungan
Aspek Korban perundungan Pelaku perundungan Bystander
Item 11, 13*, 1*, 21*, 14*, 10, 2, 22*, 9*, 15*, 8*, 26*, 27. 12, 17*, 16*, 5, 3, 20, 4, 18 19, 23*, 6, 7, 24, 14.
Total 13 8 6
*Item yang gugur
Hasil uji coba skala terhadap 56 siswa SMA menunjukkan terdapat 12 aitem yang gugur. Aitem yang digunakan berjumlah 15 aitem dengan daya beda aitem berkisar 0,321 sampai 0,678. Koefisien reliabilitas dari skala ini dinyatakan dengan nilai Alpha Cronbach sebesar 0,841. 3. Lembar Informed consent Subjek penelitian diberikan lembar kesediaan untuk menjadi partisipan dalam penelitian. Dalam lembar kesediaan tersebut, dijelaskan bagaimana proses penelitian, perkiraan waktu yang dibutuhkan, jaminan kerahasiaan selama proses penelitian, dan risiko serta keuntungan yang diperoleh subjek. 4. Lembar Penilaian Inter Rater.
5. Lembar Observasi. Lembar observasi digunakan oleh observer untuk mengamati penyampaian materi oleh fasilitator dan mengamati respon subjek selama proses intervensi. 6. Peralatan penunjang lainnya yang dibutuhkan selama proses penelitian adalah laptop dan LCD.
Disain Penelitian Penelitian dilakukan secara quasi-experiment dengan disain untreated control group design with pre test and double posttest. Menurut Shadish, Cook, dan Campbell (2002), disain ini paling sering digunakan dalam penelitian sosial. Dalam disain ini terdapat dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan eksperimen. Kelompok yang mendapat perlakuan atau manipulasi adalah kelompok eksperimen. Sedangkan, kelompok yang tidak mendapat perlakuan atau manipulasi adalah kelompok kontrol. Pengaruh suatu perlakuan atau manipulasi terhadap variabel tergantung diuji dengan membandingkan keadaan variabel tergantung pada kelompok eksperimen setelah dikenai manipulasi dengan kelompok kontrol yang tidak dikenai manipulasi. Berikut ini adalah disain untreated control group design with pre test and double posttest: NR Eksperimen
: O1
NR Kontrol
: O1
X
O2
O3
O2
O3
Gambar 2. Rancangan Eksperimen
Keterangan: NR : Non Random Assignment
O2 : Posttest
O1
: Pre test
O3 : Follow up
X
: Perlakuan
Disain di atas menunjukkan bahwa antara kelompok eksperimen dan kontrol masing-masing diberikan pretest yang sama. Setelah itu, diberikan perlakuan pada kelompok eksperimen sedangkan kelompok kontrol tidak. Setelah perlakuan, dilakukan posttest dan follow up, baik pada kelompok eksperimen atau kontrol. Posttest diberikan satu minggu setelah pelatihan dan follow up diberikan satu minggu setelah posttest. Namun begitu, waktu pretest, posttest, dan follow up antara kelompok eksperimen dan kontrol tidak dapat dilakukan bersamaan karena menyesuaikan ketersediaan waktu subjek penelitian.
Intervensi Intervensi penelitian ini adalah pelatihan “Tameng Bullying”. Modul pelatihan disusun mengacu pada teori harga diri yang diungkapkan oleh Coopersmith (1967). Pada dasarnya, fokus pelatihan adalah pemahaman diri sendiri, termasuk penerimaan atas kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta menemukan strategi yang efektif untuk melindungi dan meningkatkan harga diri. Selain itu, peneliti juga memberikan psikoedukasi tentang masa perkembangan remaja dan perundungan. Metode yang digunakan adalah presentasi atau lekturet, diskusi kasus, bermain peran (role play), dan pemutaran video anti perundungan. Pengujian terhadap validitas isi modul melalui professional judgement oleh satu dosen Fakultas Psikologi UGM, yaitu Dr. Budi Andayani, M.A dan satu orang guru Bimbingan Konseling. Masing-masing penilai memberikan masukan dan nilai atas modul yang telah disusun. Penilaian dilakukan atas kesesuaian materi dengan tujuan, indikator pencapaian, metode, dan durasi pelaksanaan. Rerata nilai yang diberikan dari dua orang penilai adalah 8.75. Tabel 3. Hasil Proffessional Judgement
No.
Sesi ke-
Nilai yang Diberikan Penilai I Penilai II 10 7
1.
Sesi I: “Siapa Takut Bullying?”
2.
Sesi II: “Aku dan Diriku”
10
6,7
3.
Sesi III: “Aku dan Dunia Sekitarku”
10
6,9
Beberapa hal perubahan yang dilakukan pada modul setelah proses proffessional judgement, meliputi: a. Perubahan alur pemberian materi. Awalnya, materi difokuskan pada peningkatan harga diri dengan pengenalan karateristik diri di masa remaja kemudian pemberian materi tentang perundungan. Namun, alur ini diubah dengan diawali pemberian materi perkembangan remaja dan perundungan lalu materi pengenalan karakteristik diri. Hal ini bertujuan agar ada kesinambungan saat diberikan materi tentang peningkatan harga diri yang dikaitkan dengan cara menghadapi perundungan.
b. Pengaturan waktu di tiap sesi. c. Pendalaman psikoedukasi pada materi “Aku dan Diriku” d. Pemberian skala sikap menghadapi perundungan sebagai indikator perubahan sikap terhadap perundungan. e. Waktu pelatihan yang dirancang selama 3 kali pertemuan, namun dipadatkan menjadi 2 kali. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan kondisi subjek penelitian yang mempersiapkan ujian kenaikan kelas. Pelatihan “Tameng Bullying” dilakukan dua kali pertemuan dengan tiga materi utama. Materi pertama berjudul “Siapa Takut Bullying?” dan terdiri dari empat sesi. Materi ini bertujuan mengajak peserta lebih memahami aksi perundungan. Pemberian materi ini terlebih dahulu diawali dengan psikoedukasi tentang masa remaja. Materi kedua berjudul “Aku dan Diriku” dan terdiri dari dua sesi. Materi ini berfokus pada peningkatan pemahaman karakteristik diri sebagai proses awal peningkatan harga diri. Terakhir, materi “Aku dan Dunia Sekitarku” yang terdiri dari dua sesi. Materi ini bertujuan meningkatkan hubungan interpersonal sekaligus menemukan teknik koping yang efektif. Trainer dalam pelatihan ini terdiri dari satu orang trainer yang merupakan lulusan Magister Psikologi Profesi dan memiliki pengalaman melakukan pelatihan untuk remaja. Observer pelatihan berjumlah empat orang mahasiswa Magister Psikologi Profesi yang telah lulus mata kuliah observasi dan wawancara. Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Pelatihan “Tameng Bullying”
Materi
Pembukaan Perkenalan Overview pelatihan Kontrak kerja Materi I “Siapa Takut Bullying?”, Sub Materi 1-a. “Pengalaman Masa Remaja”. Sub-Materi 1-b: “Aksi Bullying”. Sub Materi 1-c: “Peran dalam Bullying”. Sub Materi 1-d. “Dampak Bullying”. Materi 2 “Aku dan Diriku”, Sub Materi 2-a “Makna
Pertemuan
Waktu
1
300 menit
Harga Diri” Materi 2 “Aku dan Diriku”, Sub Materi 2-b. “Memahami diri sendiri”. Materi 3 “Aku dan Dunia Sekitarku”, Sub Materi 3-a. “Tentang Aku di Mata Orang Lain”. Sub Materi 3-b.“Teknik Koping”. Penutup dan evaluasi
2 300 menit
Tabel 5. Blue Print Modul
Nama Sesi “Siapa takut bullying?”
“Aku dan Diriku”
Tujuan 1. Peserta mengetahui dinamika pada masa remaja, baik secara fisik, emosi, dan kognitif. 2. Peserta memahami aksi bullying merupakan fenomena yang dapat terjadi di masa remaja. 3. Peserta mengetahui definisi bullying. 4. Peserta memahami perbedaan bullying dan kekerasan. 5. Peserta memahami penyebab bullying. 6. Peserta mengetahui dampak-dampak bullying, terutama terhadap harga diri. 1. Peserta memahami makna harga diri. 2. Memberikan gambaran proses perkembangan harga diri yang menjadi bagian dari perkembangan masa remaja. 3. Menjelaskan
Materi 1. Karakteristik perkembangan masa remaja. 2. Definisi bullying. 3. Jenis bullying. 4. Peran dalam bullying. 5. Dampak bullying.
1. Karakteristik perkembanga n masa remaja. 2. Definisi harga diri. 3. Proses pembentukan harga diri. 4. Aspek-aspek
1. 2. 3. 4. 5.
1. 2. 3. 4.
Metode Ceramah Diskusi Games Video Role Play
Waktu 240 menit
Indikator Pencapaian 1. Peserta dapat memahami perubahan yang terjadi pada dirinya selama melalui masa remaja 2. Peserta mengetahui perbedaan antara bullying dan kekerasan. 3. Peserta memahami penyebab bullying. 4. Peserta memahami dampak bullying, termasuk kepada harga diri.
Ceramah Diskusi Games Video
240 menit
1. Peserta memahami perubahan yang terjadi pada diri. 2. Peserta memberikan feedback ke sesama peserta yang lain. 3. Peserta menyebutkan karakteristik diri sendiri, baik dari segi kelemahan dan
“Aku dan Dunia Sekitarku”
pentingnya memiliki harga diri yang kuat.
harga diri. 5. Ciri-ciri harga diri.
1. Peserta memahami bagaimana dirinya dipandang orang lain. 2. Peserta mengetahui definisi koping. 3. Peserta mengetahui cara mereka menyelesaikan masalah. 4. Peserta mengetahui strategi koping untuk efektif menghadapi bullying.
1. Psikoedukasi dengan “Johari Window” 2. Definisi teknik koping. 3. Bentuk-bentuk teknik koping.
1. Ceramah 2. Diskusi 3. Games
240 menit
kelebihan. 4. Peserta memahami bahwa pentingnya memiliki harga diri yang kuat. 1. Peserta memberikan feedback terhadap sesama peserta yang lain. 2. Peserta mengetahui bagaimana karakteristik dirinya di mata orang lain. 3. Peserta menemukan teknik koping yang efektif, termasuk untuk menghadapi bullying.
Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tahapan persiapan penelitian. a. Penyusunan dan validasi skala harga diri. Pengujian terhadap validitas isi skala dilakukan melalui proses expert judgement oleh 10 orang mahasiswa Magister Psikologi Profesi dari tangga 4 sampai 9 Maret 2015. b. Uji coba skala dilakukan terhadap 59 remaja di satu SMA wilayah Yogyakarta mulai dari tanggal 18 hingga 20 April 2015. c. Pengajuan ijin penellitian di SMA X dan Y Yogyakarta melalui Dinas Perizinan Kota Yogyakarta pada tanggal 12 hingga 19 Maret 2015. d. Penyusunan dan penilaian modul pelatihan “Tameng Bullying”. Pengujian terhadap validitas isi modul ini dilakukan dengan proses professional judgement oleh satu orang Dosen Psikologi, yaitu Dr. Budi Andayani, M. A. dan satu guru Bimbingan Konseling, M. Abdul Malik, S. Pd., M. Si. Proses validasi isi modul ini dari tanggal 14 April 2015 sampai 18 Mei 2015.
e. Pelaksanaan screening pada siswa kelas X di SMA X dan Y menggunakan skala harga diri. Hasil screening ini digunakan untuk penentuan subjek penelitian sekaligus sebagai data pretest. Screening di SMA X dilakukan pada tanggal 30 April 2015. Sedangkan di SMA Y dilakukan pada tanggal 5 dan 15 Mei 2015.
2. Tahap pelaksanaan penelitian. a. Penentuan subjek penelitian, yaitu 15 subjek siswa SMA Negeri X (kelompok eksperimen) dan 15 subjek siswa SMA Y (kelompok kontrol) yang memiliki skor harga diri kategori sedang. b. Penyampaian informed consent pada tanggal 20 Mei 2015. Peneliti menjelaskan tentang bentuk-bentuk keterlibatan subjek beserta konsekuensi berpartisipasi dalam penelitian. Siswa diminta menandatangani informed consent sebagai bentuk kesediaan berpartisipasi dalam penelitian. c. Pelaksaanan
pelatihan
“Tameng
Bullying”
pada
kelompok
eksperimen.berlangsung pada tanggal 25 dan 26 Mei 2015 di Fakultas Psikologi UGM. Selain itu, diberikan cek manipulasi berupa tes pengetahuan dan skala sikap menghadapi bullying dengan format pilihan ganda. d. Melakukan posttest pada kelompok kontrol (26 Mei 2015) dan kelompok eksperimen (30 Mei 2015). e. Pelaksanaan follow up pada kelompok kontrol (29 Mei 2015) dan kelompok eksperimen (5 dan 6 Juni 2015). f. Analisis data penelitian kelompok eksperimen dan kontrol.
Analisis Data Analisis data dilakukan untuk menguji perbedaan skor harga diri dari prê test, post test, dan follow up antara kelompok eksperimen dan kontrol. Analisis data menggunakan mixed anova melalui program SPSS versi 15.0. Teknik ini memadukan (mixed) dua sub analisis, yaitu within subject test dan between subject test.
(Welkowitz, Cohen, & Lea, 2012). Within subject test adalah pengujian perbedaan perubahan skor dalam satu kelompok, antara pre test, posttest, dan follow up. Sedangkan, between subject test adalah pengujian perbedaan perubahan skor antara kelompok eksperimen dan kontrol.
HASIL Uji Normalitas dan Statistik Deskriptif Hasil uji normalitas skor harga diri selama pre test, posttest, dan follow up dinyatakan pada tabel di bawah ini. Tabel 6. Hasil Uji Normalitas
Nilai Z (K-S) Sig. (2 tailed) Pre test 1,130 0,156 Post test 0,624 0,831 Follow-up 0,787 0,565 Data pada tabel 4. menyajikan hasil uji normalitas saat pengukuran pre test, posttest, dan follow-up memperoleh probabilitas signifikansi di atas 0,05. Hal ini menggambarkan bahwa ketiga data harga diri dalam penelitian terdistribusi secara normal. Setelah melakukan uji normalitas, berdasarkan skor harga diri diperoleh data statistik deskriptif yang dijabarkan pada tabel di bawah ini. Tabel 7. Data Statistik Deskriptif
Pre test Posttest Followup Data
Kelompok Eksperimen (N=15) Kelompok Kontrol (N=10) Mean SD Mean SD 82,47 6,84 80,80 4,39 87,20 8,17 78,70 2,62 87,67 8,33 79,00 6,02 pada tabel 5 menunjukkan rerata pre test tidak jauh berbeda jauh antara
kelompok eksperimen (M = 82,47; SD = 6,84) dengan kelompok kontrol (M = 80,80; SD = 4,39). Ketika posttest diberikan, rerata kelompok eksperimen lebih tinggi (M = 87,20; SD = 8,17) dibandingkan kelompok kontrol (M = 78,70; SD = 2,62). Hal yang sama juga nampak saat pengukuran follow up, rerata kelompok eksperimen (M = 87,67; SD = 8,33) lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (M = 79,00; SD = 6,02).
90 85 82,47 80,8
80
87,2
87,67
78,7
79
KE KK
75 70 Pre test
Post test
Follow up
Gambar 3. Grafik Rerata Skor Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Grafik di atas menunjukkan bahwa rerata pre test antara kelompok eksperimen dan kontrol tidak berbeda jauh. Setelah mengikuti pelatihan, kelompok eksperimen terjadi peningkatan rerata, baik pada tahap posttest dan followup. Sedangkan, pada kelompok kontrol, terjadi penurunan rerata skor pre test ke posttest. Meski rerata skor followup kelompok kontrol meningkat, namun kecil dan tidak signifikan.
Uji Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah modul “Tameng Bullying” dapat meningkatkan harga diri remaja sebagai usaha prevensi terhadap perundungan. Sebelum melakukan uji hipotesis, dilakukan analisis untuk mengetahui homogenitas kovarian skor harga diri antara kelompok eksperimen dan kontrol. Hasil uji homogenitas Box’s M menunjukkan angka 0,001 (p < 0,05) yang menunjukkan kovarian skor harga diri kedua kelompok tidak homogen atau heterogen. Hal ini menjelaskan jika variasi skor kemandirian pada masing-masing kelompok sangat bervariasi (heterogen). Meski demikian, hasil ini dapat diabaikan karena metode Anova termasuk kuat terhadap gangguan heterogenitas data jika perbedaan ukuran subjek kedua kelompok tidak terlalu besar, yaitu selisih 7 hingga 15 subjek (Ramsey, 2007). Dalam penelitian ini, selisih jumlah subjek antara kelompok eksperimen dan kontrol sebanyak 5 subjek. Dengan kata lain, kondisi heterogenitas penelitian ini dapat diabaikan. Uji hipotesis dilakukan dengan mixed anova dengan melihat tabel Test of Within Subject Effects. Ringkasan hasil uji hipotesis pada tabel di bawah ini.
Tabel 8. Ringkasan Uji Hipotesis Within-Subject pada Harga Diri
Source
time time*kelompok error (time)
Sphericity Assumed Sphericity Assumed Sphericity Assumed
Type III Sum of Square 38,164 191,444 651,889
df
Mean Square
F
Sig.
2 2 46
19,199 96,308 14,258
1,347 6,755
0,270 0,003
Partial Eta Squared 0,055 0,227
Tabel 6. di atas menunjukkan pada baris time*kelompok sub baris Sphericity Assumed dengan nilai F(2, 46) = 6,755; p < 0,05; ηp² = 0,23, yang berarti terdapat interaksi yang signifikan antara time (pretest- posttest- followup) dengan kelompok (eksperimen-kontrol). Hal ini menggambarkan bahwa pemberian pelatihan “Tameng Bullying” pada kelompok eksperimen dapat meningkatkan skor harga diri. Pemilihan data berdasarkan baris Sphericity Assumed karena pada tabel Mauchly’s Test of Sphericity (lihat lampiran hal.80) menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p > 0,935). Uji Lanjutan Uji lanjutan dilakukan setelah uji hipotesis menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Uji lanjutan bertujuan mengetahui pasangan kelompok mana yang mengalami perbedaan dengan melihat selisih rerata skor dari tiap pengukuran. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 9. Uji Lanjutan Selisih Rerata Skor dan Sumbangan Efektif
Group Eksperimen
Time (I) Pre test Posttest Follow up
Kontrol
Pre test Posttest Follow up
Time (J) Post test Follow up Pre test Follow up Pre test Post test Post test Follow up Pre test Follow up Pre test Post test
Mean Difference -4,733 -5,200 4,733 -0,467 5,200 0,467 2,100 1,800 -2,100 -0,300 -1,800 0,300
Sig 0,003 0,001 0,003 0,724 0,001 0,734 0,242 0,284 0,242 0,858 0,284 0,858
Partial Eta Squared 0,431
0,071
Data yang disajikan pada tabel 7. menunjukkan bahwa skor mean difference (MD) kelompok eksperimen pada tahap pre test ke posttest (MD = -4,733; p = 0,003). Hasil ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan. Namun, peningkatan skor posttest ke followup tidak signifikan (MD4 = -0,467; p = 0,724). Ini mengindikasikan peningkatan yang terjadi sangat sedikit dan belum kuat. Hasil analisis yang berbeda nampak pada kelompok kontrol yang menunjukkan perubahan skor harga diri namun tidak stabil, terdapat skor yang meningkat namun ada juga yang turun. Selain itu, perubahan skor ini kesemuanya tidak signifikan (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan skor yang berarti. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelatihan “Tameng Bullying” dapat meningkatkan harga diri remaja sebagai usaha prevensi perundungan. Sumbangan efektif pelatihan terhadap kelompok eksperimen dilihat pada nilai partial eta squared, yaitu sebesar 0,431. Artinya, pelatihan “Tameng Bullying” yang diberikan pada kelompok eksperimen memberikan kontribusi sebesar 43,1% terhadap perubahan harga diri remaja.
Hasil Cek Manipulasi 100 50
54,9
55,9
0
3,13 Pre Test
5,47 Post test
56,7 4,8 Follow Up
Sikap Menghadapi Bullying Tes Pengetahuan
Gambar 4. Grafik Rerata Skor Cek Manipulasi
Grafik pada gambar 4. menunjukkan perubahan rerata skor cek manipulasi. Cek manipulasi dalam pelatihan ini terdiri dari pengetahuan tentang harga diri dan aksi perudungan, serta skala sikap menghadapi perundungan. Skor pre test dan post test masing-masing cek manipulasi dianalisis dengan Paired Sample T-test. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa untuk tes pengetahuan, skor rerata post test (M = 5,47; SD = 1;685) lebih besar daripada skor pre test sebesar (M = 3,13; SD = 1,46), t(14) = -4,81; p < 0,05; d = -1,42. Hasil ini menunjukkan jika ada peningkatan yang
signifikan untuk skor tes pengetahuan peserta setelah mengikuti pelatihan. Namun, skor rerata follow up (M = 4,8; SD = 1,656) lebih kecil dibandingkan skor rerata posttest (M = 5,47; SD = 1,685), t(14) = 2,2;
p < 0,05, d = 0,42. Hasil ini
menggambarkan jika pemahaman peserta tentang pengetahuan atau materi yang diberikan belum optimal. Analisis skor skala sikap menghadapi perundungan, terjadi peningkatan rerata skor, baik dari pre test ke post test, dan posttest ke follow up. Rerata skor pre test (M = 54,93; SD = 6,25) meningkat pada tahap posttest (M = 55,87; SD = 5,47), t(14) = ,496; p > 0,05, d = -0,17. Skor rerata posttest (M = 55,87; SD = 5,47) juga meningkat pada tahap follow up (M = 56,67; SD = 4,51), t(14) = -0,525; p > 0,05, d = -0,17. Meski meningkat, namun tidak signifikan (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan jika umumnya terjadi peningkatan perubahan sikap peserta menjadi lebih aktif menghadapi perundungan, meski peningkatannya tidak terlalu besar. Hasil Penilaian Observasi Penilaian proses pelatihan dilakukan oleh observer. Observer memberikan skor 1-5 untuk setiap aspek di tiap hari pelaksanaan pelatihan. Aspek yang dinilai adalah fasilitas pelatihan, kualitas fasilitator, proses pelatihan, dan kondisi para peserta. Untuk hari pertama, rerata nilai yang diberikan para observer sebesar 4,3 dan hari kedua sebesar 4,6. Rerata dari pelaksanaan dua hari pelatihan sebesar 4,45. Hasil ini menunjukkan jika pelaksanaan pelatihan dinilai baik oleh observer. Selain observer, penilaian proses pelatihan juga dilakukan oleh peserta. Peserta melakukan evaluasi atas seluruh proses pelatihan dan materi yang telah diberikan. Untuk materi yang telah diberikan selama pelatihan, rerata skor yang diberikan oleh para peserta sebesar 4,5. Hasil ini menggambarkan jika materi di tiap-tiap sesi pelatihan dinilai baik oleh para peserta. Untuk penilaian pelaksanaan pelatihan secara umum mendapatkan rerata skor sebesar 4,4. Hasil ini menunjukkan bahwa proses pelaksanaan pelatihan selama dua hari dinilai baik oleh para peserta.
Hasil Analisis Deskriptif Analisis deskriptif ini dilakukan pada kelompok eksperimen berdasarkan beberapa data, yaitu (1) Skor Skala Harga Diri, (2) Diskusi dan sharing di tiap sesi, (3) Hasil observasi selama pelatihan, dan (4) Sharing pada tahap follow up. Tujuan dari analisis deskriptif ini untuk mengetahui bagaimana pengalaman tiap peserta setelah mengikuti pelatihan. Analisis ini dilakukan pada setiap peserta pelatihan, baik yang mengalami peningkatan, penurunan, atau tidak ada perubahan skor harga diri. 1.
AI, perempuan. AI mengungkapkan setelah mengikuti pelatihan merasa lebih tenang ketika menghadapi komentar negatif dari teman-teman. Sebelumnya, AI cenderung memikirkan perkataan orang lain sehingga kadang tersinggung ketika mendapatkan komentar tidak menyenangkan. Namun, setelah mengikuti pelatihan dan mengetahui berbagai macam teknik menghadapi masalah, AI mencoba melakukaan teknik emotional focused coping, yaitu menghadapi dengan humor dan menganggap komentar sebagai candaan. Perubahan lain yang dirasakan adalah cara pandang AI melihat dirinya. Menurut AI, proses ini terjadi setelah sesi “Aku di Mata Sekitarku”. Bagi AI, sesi ini membuatnya lebih mengetahui bagaimana dirinya dilihat oleh orang lain. Ada satu pendapatnya yang membuatnya kaget, yaitu ketika peserta lain menyebutnya sebagai pribadi yang “atos” atau ketus. Karakter ketus diakui AI sebagai bagian dari karakter pribadinya. AI mengatakan jika sehari-harinya teman-teman menganggapnya sebagai pribadi yang ketus. Sebelum mengikuti pelatihan, jika ada teman yang mengatakan dirinya “atos”, akan muncul perasaan marah dan memilih untuk diam. Namun, sekarang AI mencoba mengklarifikasi sikapnya. AI akan mengatakan kepada temannya jika ia tidak bermaksud menyakiti. Meski begitu, AI mengungkapkan jika sekarang ia berusaha mengubah sikap ketus tersebut. AI menyadari bahwa hal itu kurang baik dan membuat orang lain salah paham.
100
Skala HD 50
Pengetahuan
0
Sikap Pre test
Post test
Follow up
Gambar 5. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta AI
Grafik pada gambar. 5 menunjukkan adanya perubahan skor skala harga diri dan cek manipulasi. Skor harga diri sebelum pelatihan adalah 85 dan setelah mengikuti pelatihan menurun menjadi 78 (post test). Meski begitu, terjadi meningkat pada follow up menjadi 83. Untuk tes pengetahuan, skor pada pre test adalah 5 poin dan meningkat 1 poin menjadi 6 pada post test. Namun, terjadi penurunan 2 poin pada tahap follow up menjadi 4. Untuk skor skala sikap pada pre test sebesar 55 dan menurun 2 poin menjadi 53 pada post test. Kemudian, terjadi peningkatan 2 poin kembali menjadi 55 saat follow up. Hasil ini menggambarkan bahwa skor harga diri AI menurun setelah pelatihan (post test), namun meningkat pada follow up. Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena jarak follow up yang dekat dengan waktu pelatihan sehingga proses pembelajaran belum optimal. Kondisi yang sama nampak pada skor sikap menghadapi bullying yang justru menurun pada post test. Meski meningkat kembali pada follow up, namun skor yang diperoleh sama dengan pre test. Kondisi ini menunjukkan belum adanya perubahan sikap AI dalam menghadapi perundungan. Untuk tes pengetahuan, AI nampak belum memahami secara optimal materi yang diberikan, baik tentang perundungan dan harga diri. Ini nampak pada penurunan skor tes pengetahuan setelah mengikuti pelatihan. Berdasarkan hasil observasi selama pelatihan, AI nampak lebih antusias pada hari kedua pelatihan dibandingkan hari pertama. Pada hari pertama, AI cenderung pasif dan kurang antusias ketika ada teman bercerita. Namun, pada hari kedua, AI nampak lebih aktif dan berpartisipasi dalam kelompok. AI juga nampak lebih ekspresif dan memperhatikan saat teman bercerita.
2.
TI, perempuan. TI mengungkapkan setelah mengikuti pelatihan, cara pandangnya dalam melihat sesuatu hal menjadi lebih terbuka. Sebelumnya, menurut AI melihat dirinya sebagai pribadi yang kaku. Alasannya karena khawatir mendapat respon tidak menyenangkan dari orang-orang di sekitarnya. Setelah mengikuti pelatihan, TI mulai mencoba hal-hal baru. Salah satunya dengan mencoba lebih bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. TI bercerita jika saat ini mencoba menjalin pertemanan di dunia maya dengan teman game online. Awalnya ada perasaan khawatir, namun karena ingin mencoba hal baru, TI tetap melakukannya. TI berusaha mengabaikan komentar dari orang lain dan melakukan apa yang ia inginkan. TI banyak bertukar pikiran dengan temannya tersebut. TI merupakan korban perundungan ternyata bertemu dengan teman yang memiliki pengalaman
sama.
Temannya
banyak
bercerita
tentang
pengalaman
menghadapi pelaku perundungan dan memberi saran kepada TI untuk melawan dan belajar menghadapi. Bagi TI, dengan lebih terbuka dan berani mencoba hal baru, peserta menjadi merasa tidak sendirian. Sesi bermain peran adalah sesi yang paling disukai oleh TI. TI tidak menyangka mendapatkan respon menyenangkan dari peserta yang lain. Meski mendapat komentar kurang menyenangkan, TI justru merasa bahwa itu bentuk perhatian teman yang membuatnya merasa tidak sendirian. Selain itu, TI mengungkapkan setelah mengikuti pelatihan ia menjadi lebih percaya diri.
100 50 0
85 55 1 Pre test
95 60
90 57
4 Post test
3 Follow up
Skala HD Pengetahuan Sikap
Gambar 6. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta TI
Grafik di atas menunjukkan perubahan skor skala harga diri dan cek manipulasi TI. Skor harga diri meningkat dari pre test (85) ke post test (95). Namun, pada tahap follow up, menurun 5 poin menjadi 90. Untuk skor tes pengetahuan meningkat 3 poin (post test). Namun, menurun 1 poin pada follow up. Sedangkan, skala sikap menghadapi perundungan meningkat 5 poin pada pre test dan post test, tetapi menurun 3 poin pada follow up. Perubahan skor menggambarkan jika setelah mengikuti pelatihan harga diri TI cenderung meningkat dari tahap pre test ke post test. Meski terjadi penurunan pada follow up, namun skor yang diperoleh lebih besar dibandingkan pre test. Hasil ini menggambarkan jika pelatihan memberikan perubahan bagi TI dengan membentuk konsep diri lebih positif. Untuk skor cek manipulasi cenderung
meningkat,
baik tes pengetahuan atau skala
menghadapi
perundungan. Meskipun menurun pada follow up, namun skor lebih besar dibandingkan pada pre test. Hasil ini juga menunjukkan jika pemahaman TI tentang perundungan dan harga diri, serta sikap menghindari perundungan cenderung meningkat. Berdasarkan hasil observasi selama pelatihan, TI nampak kurang ekspresif dan lebih banyak diam. Pada awal sesi, TI lebih banyak diam. Namun, perlahan TI lebih aktif dan terlibat dalam kelompok. TI merupakan salah satu TI yang cukup terbuka bercerita bahwa ia adalah korban perundungan ketika SD. Banyak perlakuan tidak menyenangkan yang didapatkan, antara lain dilempar bola dan dilepaskan roknya. Meski sekarang tidak mengalami perundungan, namun pengalaman ini membuatnya lebih banyak diam ketika di
sekolah karena masih ada perasaan khawatir mendapatkan respon tidak menyenangkan dari orang lain.
3.
BY, laki-laki. BY mengungkapkan jika tidak terlalu banyak perubahan yang dirasakan setelah pelatihan. Meski demikian, setelah pelatihan BY lebih memahami bagaimana orang lain melihat dirinya. Banyak perasaan dan pikiran muncul saat orang lain memberikan komentar. Ada perasaan kaget, lucu, dan senang saat mendapat komentar peserta lain, terutama pada sesi “Aku di Mata Sekitarku”. Hal ini menjadi koreksi agar menjadi lebih baik. Saat diminta menuliskan kelemahan dan kelebihan diri kemudian membacakannya, ada perasaan lega dalam diri BY. Awalnya ada perasaan khawatir kelemahannya diketahui orang lain dan mendapatkan respon tidak menyenangkan. Namun, ketika berhasil disampaikan dan ternyata ketakutan tidak terjadi, muncul perasaan lega karena bisa berbagi. BY mengungkapkan jika setelah pelatihan, ia mencoba lebih percaya diri di setiap aktivitas dan memperbaiki sikap-sikap yang tidak disukai teman-teman. Hal lain yang peserta dapatkan setelah mengikuti pelatihan adalah menjadi lebih banyak tentang aksi perundungan. BY mencoba lebih aktif dan mencegah jika ada teman lain yang mengalami perundungan, serta berrusaha agar diri sendiri tidak menjadi pelaku perundungan. 150 100 50 0
85 56
3 Pre test
96 58
93 56
6 Post test
3 Follow up
Skala HD Pengetahuan Sikap
Gambar 7. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta BY
Grafik di atas menunjukkan perubahan skor skala harga diri dan cek manipulasi. Skor harga diri meningkat 11 poin dari pre test (85) ke post test (96). Namun, terjadi penurunan 3 poin menjadi 93 pada follow up. Untuk cek
manipulasi, pada tes pengetahuan terjadi peningkatan 3 poin setelah mengikuti pelatihan (post test), yaitu 6. Namun, terjadi penurunan 3 poin follow up menjadi 3. Sedangkan, untuk skala sikap terjadi peningkatan 2 poin antara pre test dan post test, tetapi menurun 2 poin pada follow up. Hasil skor di atas menunjukkan jika setelah mengikuti pelatihan terdapat peningkatan skor, baik untuk skala harga diri dan cek manipulasi. Meski ada kecenderungan penurunan skor dari tahap post test ke follow up, namun skor pada follow up lebih besar dibandingkan pada pre test. Peningkatan skor ini menggambarkan jika pelatihan memberikan perubahan yang positif pada BY. Pelatihan membantu BY membentuk konsep dirinya menjadi lebih positif sehingga meningkatkan harga diri. Selain itu, proses penyampaian materi yang efektif di pelatihan kemungkinan juga membantu BY dalam meningkatkan pemahaman tentang perundungan dan harga diri. Hasil observasi selama pelatihan, BY nampak cukup aktif, baik pada hari pertama dan kedua. Di sesi-sesi awal, BY cenderung pasif, namun perlahan mulai aktif dan terlibat dalam kelompok. BY juga memperhatikan peserta lain jika ada yang berpendapat.
4.
AG, laki-laki. AG mengungkapkan jika belum banyak perubahan yang terjadi setelah pelatihan. Meski begitu, AG menjadi lebih banyak memahami karakteristik diri sendiri melalui pendapat dari orang lain. Selain itu, AG menjadi lebih positif dalam melihat dirinya sendiri. Saat menerima pendapat dari teman yang lain, AG bercerita jika ada perasaan marah dan terkejut. AG mengakui ada beberapa kelemahan dirinya yang terungkap saat sesi “Aku di Mata Sekitarku”. Saat peserta lain mengungkapkan hal itu, muncul perasaan menolak karena AG tidak suka jika orang lain mengetahui kelemahannya. Namun, ketika pendapat itu dibawakan dengan bercanda dan humor, kelemahan itu tidak dilihat sebagai kelemahan yang harus ditutupi. Menurut
AG, hal ini tergantung bagaimana cara dirinya melihat pendapat orang lain. AG menjadi lebih menerima komentar atas dirinya dan menjadikan sebagai pembelajaran untuk menjadi lebih baik. AG juga mengungkapkan jika menjadi lebih paham tentang perundungan, mengetahui teknik menghadapinya, serta berusaha menghindari perundungan. 150 100 50 0
87 49 1 Pre test
98 58 6 Post test
106
Skala HD
57
Pengetahuan
5 Follow up
Sikap
Gambar 8. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta AG
Grafik di atas menunjukkan perubahan skor skala harga diri dan cek manipulasi. Skor harga diri meningkat dari pre test ke post test, yaitu dari 87 ke 98. Pada follow up, meningkat menjadi 106. Untuk cek manipulasi, pada tes pengetahuan meningkat skor dari 1 menjadi 6. Namun, terjadi penurunan pada follow up menjadi 5. Skor skala sikap meningkat dari 49 pada pre test menjadi 58 pada post test. Namun, saat follow up, skor turun menjadi 57. Perubahan skor, baik pada harga diri atau cek manipulasi menunjukkan peningkatan
setelah
mengikuti
pelatihan.
Pada
harga
diri,
adanya
kecenderungan peningkatan, baik dari pre test ke post test, maupun post test ke follow up. Untuk cek manipulasi, baik skala menghadapi bullying atau tes pengetahuan, terjadi peningkatan skor setelah mengikuti pelatihan. Meski menurun pada follow up, namun skor lebih besar dibandingkan skor pre test. Hasil ini menggambarkan jika pelatihan memberikan perubahan positif pada AG. Materi yang diberikan dapat dipahami oleh AG. Proses penyampaian yang efektif juga membantu dalam proses belajar AG. Hasil observasi selama pelatihan adalah AG nampak cukup aktif terlibat dalam kelompok, baik pada pelatihan di hari pertama dan kedua. Meski di awal pelatihan nampak pasif, namun di sesi-sesi selanjutnya AG nampak cukup
bersemangat. AG tidak sungkan untuk berpendapat atau mengajukan pertanyaan saat diberikan kesempatan. AG juga memberikan saran dan pendapatnya dalam tugas kelompok. Bahasa tubuh AG nampak santai dan nyaman, serta suara cukup jelas dan lantang.
5.
FH, perempuan. FH menyebutkan jika perubahan yang dirasakan setelah pelatihan adalah menjadi lebih “ngosos” atau “blak-blakan”. Sebenarnya, karakter pribadi ini membuatnya bingung apakah harus dianggap sebagai kelebihan atau kelebihan. Hal ini menjadi kelemahan karena banyak teman yang tidak nyaman. Namun, karakter ini juga kelebihan karena setiap kali bersikap “ngosos”, FH merasa dapat bersikap apa adanya. Setelah mengikuti pelatihan, FH merasa bahwa karakter “ngosos” ini justru sering muncul. Menurut FH, ini adalah caranya menghadapi situasi tidak menyenangkan sehingga lebih santai dan tenang. Sebelumnya, saat menghadapi situasi tidak menyenangkan, FH cenderung berpikiran negatif. Namun, setelah mengikuti pelatihan dan mengetahui bahwa banyak teknik koping, FH merasakan jika sikap mengabaikan dan humor dapat meredakan pikiran negatif yang biasanya muncul. Saat pelatihan, FH menemukan karakter-karakter baru di dalam dirinya berdasarkan pendapat yang diutarakan oleh FH lainnya. Bagi peserta, ini dapat menjadi kelebihan dan kekurangan. Namun, hal ini menjadi pembelajaran bagi FH agar menjadi lebih baik.
100 50 0
86 67
88
87 62
44 1 Pre test
2 Post test
Skala HD Pengetahuan
3 Follow up
Sikap
Gambar 9. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta FH
Grafik di atas menunjukkan adanya perubahan skor skala harga diri dan cek manipulasi. Skor harga diri mengalami peningkatan dari 86 poin pada pre menjadi 88 poin pada post test. Namun, pada follow up, terjadi sedikit penurunan 1 poin. Untuk cek manipulasi, pada tes pengetahuan terjadi peningkatan 1 poin di tiap tahapnya. Sedangkan, untuk skala sikap menghadapi perudungan terjadi penurunan yang cukup banyak, yaitu dari 67 menjadi 44. Namun, saat follow up, terjadi peningkatan menjadi 62 poin. Skor pada skala harga diri dan cek manipulasi yang diperoleh FH menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan. Skor harga diri menunjukkan adanya peningkatan, namun tidak besar yaitu hanya 1 poin. Skor pengetahuan perundungan juga mengalami peningkatan meski tidak besar. Di sisi lain, penurunan cukup besar nampak pada skor sikap menghadapi perundungan. Setelah mengikuti pelatihan, skor justru menurun cukup banyak. Meski begitu, saat follow up skor meningkat kembali, meski tidak lebih besar dibandingkan saat pre test. Hal ini menunjukkan peningkatan pada FH belum maksimal. Dekatnya jarak perhitungan follow up dengan pelatihan diduga menjadi belum optimalnya proses pembelajaran dalam diri FH. Hasil observasi selama pelatihan menunjukkan jika FH cenderung pasif dan nampak sering menunduk. Meski begitu, jika ada cerita lucu yang disampaikan oleh trainer, FH nampak tersenyum atau tertawa. Saat diminta pendapat atau bercerita, FH mau menyampaikannya. Sesekali FH nampak meletakkan kepalanya di atas meja sambil menulis di kertas. Saat sesi menuliskan kelemahan dan kelebihan, FH nampak beberapa kali melihat
kertasnya. FH nampak lebih aktif ketika sesi yang lebih menuntut gerak tubuh, seperti “Aku di Mata Sekitarku” dan bermain drama.
6.
BL, perempuan. Perubahan yang dirasakan BL setelah mengikuti pelatihan adalah lebih tenang saat menghadapi komentar dari teman-teman. Saat mengikuti pelatihan, BL menjadi lebih banyak tahu jika banyak cara untuk menghadapi perundungan, salah satunya dengan meningkatkan kepercayaan diri. Sehingga, sekarang jika diejek oleh teman, BL memilih untuk berpikir positif, tidak menghiraukan, dan bersikap tenang. Saat mengikuti pelatihan, salah satu sesi yang disukai BL adalah “Sungai Kehidupan”, dimana peserta menuliskan perjalanan hidup dan harapan di masa depan. Muncul semangat dan motivasi dalam diri BL untuk menuliskan citacita dan berharap menjadi kenyataan. Meski begitu, BL merasa semangatnya mencapai cita-cita tidak stabil. Hal ini dikarenakan sikap ibu yang sering membanding-bandingkan BL dengan kakaknya. BL dianggap tidak lebih baik dari kedua kakaknya. Ibu sering berkomentar jika kakaknya lebih pintar dan berhasil. Setiap kali hal ini terjadi, BL hanya bisa diam. Namun, BL masih berusaha mencapai dan mewujudkan cita-citanya. Selain cita-cita dan harapan, setelah mengikuti pelatihan peserta lebih memahami dampak atau akibat jika seseorang mengalami aksi perundungan. Hal ini membuat BL berpikir ulang untuk melakukan aksi perundungan dan lebih memilih untuk bercerita ke orang dewasa jika melihat aksi perundungan.
100 50
67 39
77 46
77 47
Skala HD Pengetahuan
4 4 4 Sikap Pre test Post test Follow up Gambar 10. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta BL 0
Grafik di atas menunjukkan perubahan skor skala harga diri dan cek manipulasi. Skor harga diri meningkat dari 67 pada pre test menjadi 77 pada post test dan stabil hingga follow up. Untuk tes pengetahuan perundungan, tidak terjadi perubahan skor dari pre test, post test, dan follow up, dimana skor yang diperoleh sebanyak 4 poin. Untuk skor sikap menghadapi perundungan, nampak meningkat skor pre test ke post test, yaitu dari 39 menjadi 46. Pada follow up hanya meningkat 1 poin menjadi 47. Berdasarkan perolehan skor, BL menunjukkan peningkatan setelah mengikuti pelatihan. Harga diri BL meningkat dibandingkan sebelum pelatihan. BL juga nampak semakin yakin untuk menghindari perundungan dilihat peningkatan skor sikap menghadapi perundungan. Proses penyampaian yang efektif kemungkinan membantu proses pembelajaran dalam diri BL. Meski demikian, BL nampak belum memahami secara optimal konsep teoritis dari perundungan dan harga diri. Hal ini dilihat dari stabilnya skor tes pengetahuan BL. Hasil observasi selama pelatihan menunjukkan jika BL cukup aktif dan terlibat dalam kegiatan kelompok. BL nampak cepat merespon pertanyaan, memberikan pendapat, atau cerita tanpa diminta terlebih dahulu. Saat sesi psikoedukasi tentang masa remaja, BL nampak lebih banyak diam, namun bersedia untuk menceritakan tentang adanya konflik dirinya dengan orangtua. Saat tugas kelompok, BL nampak memimpin dan mengatur kelompoknya. Namun, BL nampak jarang berinteraksi dengan teman sebangkunya.
7.
GT, perempuan. Cukup banyak perubahan yang GT rasakan setelah mengikuti pelatihan. GT menjadi lebih percaya diri setelah mengetahui bagaimana karakteristik dirinya, terlebih lagi saat diberikan pendapat dari peserta yang lain. GT juga menjadi lebih peka dengan lingkungan sekitarnya. Jika melihat teman yang diejek, GT tidak sungkan membantu dan menghibur. Saat pelatihan dan diberikan materi tentang teknik koping, GT menjadi lebih yakin atas teknik koping yang ia gunakan selama ini. Awalnya, GT kadang merasa ragu atas caranya ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Selama ini, GT lebih memilih diam dan menghindar. Saat diam, banyak pikiran negatif dan cenderung menyalahkan diri sendiri dalam diri GT. Namun, setelah mengikuti pelatihan, GT mencoba lebih percaya diri, berpikiran positif, dan tidak menghiraukan komentar teman-temannya. Selama pelatihan, GT menjadi lebih tahu tentang cara menghadapi perundungan meski penerapannya masih sedikit. GT berusaha tidak membedabedakan teman karena memahami tidak menyenangkan jika diperlakukan demikian. Saat bertemu dengan teman yang korban bully, GT berusaha tidak ikut serta men-bully, namun mendekati dan menghibur. 100 50 0
83 57
5 Pre test
79 59
83 56
Skala HD
8
7
Sikap
Post test
Pengetahuan
Follow up
Gambar 11. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta GT
Grafik pada gambar.11 menunjukkan perubahan skor skala harga diri dan cek manipulasi. Skor harga diri menurun dari pre test ke post test, yaitu dari 83 menjadi 79., namun skor meningkat menjadi 83 saat
follow up. Pada tes
pengetahuan terjadi peningkatan skor dari 5 ke 8. Namun, saat follow up terjadi penurunan 1 poin menjadi 7. Skor skala sikap menghadapi perundungan,
meningkat dari pretest ke post test, yaitu dari 57 menjadi 59. Namun terjadi penurunan 3 poin menjadi 56 pada follow up. GT cenderung tidak banyak mengalami perubahan skor, baik dari skala harga diri atau cek manipulasi. Harga diri GT penurunan saat post test, namun besaran skor follow up sama dengan pre test atau sebelum pelatihan. Untuk skala sikap menghadapi perundungan, terjadi sedikit peningkatan meski pada skor follow up menurun 1 poin dibandingkan pre test. Sedangkan untuk skor tes pengetahuan perundungan, cenderung meningkat meski tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan belum cukup memberikan perubahan yang positif dalam diri GT, terutama dalam meningkatkan harga diri dan sikap menghadapi perundungan. Selama pelatihan, GT cukup aktif dengan bertanya, berpendapat, atau bercerita tanpa harus diminta terlebih dahulu. Suara GT terdengar jelas dan lantang saat berbicara di kelompok. GT banyak berinteraksi dengan teman sebangkunya. Saat menonton salah satu video, peserta nampak menangis. GT adalah salah satu peseta yang juga mengungkapkan pengalamannya menjadi korban perundungan di sekolah. GT merasa bahwa ia dijauhi oleh temannya. Kondisi ini bahkan masih terjadi saat pelatihan dilakukan. Awalnya, GT menceritakan pengalamannya dengan menggunakan kasus lain dan nama yang berbeda. Meski sampai akhir cerita GT tidak menyebutkan dengan jelas bahwa kondisi tersebut adalah pengalaman dirinya, namun GT nampak menangis dan suaranya bergetar saat bercerita.
8.
EC, perempuan. Perubahan yang dirasakan EC setelah mengikuti pelatihan adalah menjadi semakin peka dan memahami kondisi sekitarnya. EC berusaha lebih mengontrol sikapnya kepada orang lain. EC bercerita jika selama ini ia cenderung menjadi pelaku perundungan. EC tidak ragu untuk mengejek
temannya. Namun, setelah mengikuti pelatihan, EC menjadi mengetahui bagaimana dampak ketika seseorang mengalami aksi perundungan. EC juga lebih menyadari jika sulit membedakan antara itu hal yang tidak serius atau bercanda dengan perundungan. Meski awalnya hanya bermaksud bercanda, namun bagi orang lain dapat dianggap sebagai ejekan dan sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal ini kemudian membuat EC lebih menahan diri dan tidak sembarangan memberikan komentar. Selama pelatihan, sesi yang paling berkesan bagi EC adalah saat salah satu peserta bercerita tentang pengalaman dan perasaannya ketika di-bully oleh teman sekelasnya. Bagi EC, hal ini membuatnya mengetahui apa yang sebelumnya ia tidak ketahui. EC menjadi lebih memahami perasaan temanteman yang diperlakukan tidak menyenangkan. Hal ini juga yang membuat EC semakin berusaha untuk mengontrol perilakunya.
100 50 0
78 54 3 Pre test
86
84
51
49
7 Post test
5 Follow up
Skala HD Pengetahuan Sikap
Gambar 12. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta EC
Grafik di atas menunjukkan adanya perubahan skor skala harga diri dan cek manipulasi. Skor harga diri mengalami peningkatan dari pre test ke post test, yaitu dari 78 menjadi 86, namun turun 2 poin menjadi 84 pada follow up. Pada tes pengetahuan terjadi peningkatan 4 poin dari pre test ke post test, yaitu dari 3 menjadi 7. Namun, saat follow up menurun menjadi 5 poin. Sedangkan, pada skala sikap menghadapi perundungan, skor cenderung menurun mulai pre test hingga follow up. Skor pre test adalah 54 kemudian turun menjadi 51 pada post test. Kemudian, skor turun kembali sebanyak 2 poin menjadi 49 pada follow up.
Perubahan skor-skor tersebut menggambarkan bahwa terjadi perubahan sikap atau pemahaman dalam diri EC setelah mengikuti pelatihan. EC juga menunjukkan adanya peningkatan harga diri. Meski mengalami penurunan skor pada follow up, namun skor follow up lebih besar dibandingkan pre test. EC juga mengalami peningkatan dalam pengetahuan tentang perundungan. Di sisi lain, justru terjadi penurunan skor sikap menghadapi perundungan. Hasil observasi selama menunjukkan jika EC cenderung pasif dan tidak memperhatikan di sesi awal pelatihan. EC juga nampak kurang ekspresif dan lebih banyak menunduk selama pelatihan. Suara EC juga terdengar agak pelan dan lirin. Meski begitu, kemudian perlahan EC nampak lebih aktif dengan memperhatikan peserta lain ketika berbicara dan kadang menyela untuk bertanya.
9.
WY, perempuan. WY menyebutkan jika dirinya menjadi lebih sabar ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan setelah mengikuti pelatihan. WY berusaha lebih berpikir positif atas dirinya sendiri meski tidak mudah melakukannya. Selain berusaha lebih positif, WY juga berusaha untuk lebih santai dan tidak menghiraukan komentar tidak menyenangkan tersebut. Sebelumnya, WY lebih memilih diam kemudian muncul pikiran menyalahkan dirinya sendiri dan berpikiran negatif atas dirinya. Meski begitu, bagi WY perubahan tersebut belum terasa berdampak karena belum stabil. Kadang ia tidak menghiraukan, namun kadang memikirkan komentar teman-temannya. Manfaat lain yang dirasakan adalah ia menjadi lebih peka dengan lingkungan sekitar dan berusaha mengkontrol diri untuk tidak melakukan hal-hal tidak menyenangkan bagi orang lain. Pelatihan membantu peserta menjadi lebih memahami karakteristik diri sendiri, baik kelemahan dan kelebihannya. Saat mendapatkan komentar dari teman yang lain, peserta merasa terkejut. Di satu sisi, ia merasa bahwa itu
bukan dirinya, namun di sisi yang lain tidak menyangka bahwa ada karakter tersebut di dalam dirinya. Namun demikian, bagi peserta ini menjadi proses introspeksi diri menjadi lebih baik. 150 100 50 0
88 58
4 Pre test
93 61
99
Skala HD
57
Pengetahuan
7
7
Sikap
Post test
Follow up
Gambar 13. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta WY
Grafik di atas menunjukkan perubahan skor skala harga diri dan cek manipulasi. Skor harga diri mengalami peningkatan dari pre test ke post test, yaitu dari 88 menjadi 93. Skor juga meningkat menjadi 99 saat follow up. Untuk tes pengetahuan terjadi peningkatan skor dari 4 menjadi 7 dan tetap stabil di skor 7 saat follow up. Pada skala sikap, nampak peningkatan skor dari 58 ke 91. Namun, skor menurun saat follow up menjadi 57. Berdasarkan perubahan skor, baik pada skala harga diri dan cek manipulasi, WY nampak menunjukkan peningkatan. Harga diri WY nampak meningkat setelah mengikuti pelatihan. Untuk sikap menghadapi perundungan, WY juga menunjukkan peningkatan dan stabil hingga follow up. Untuk tes pengetahuan, nampak adanya peningkatan skor setelah mengikuti pelatihan (post test). Namun, pada follow up skor menjadi turun, bahkan lebih rendah dibandingkan sebelum pelatihan. Hasil observasi selama pelatihan nampak WY cenderung pasif dan mengantuk di pelatihan hari pertama. WY juga nampak banyak diam dan tidak berinteraksi dengan teman sebangkunya. Meski begitu, WY nampak tersenyum dan tertawa ketika trainer mengatakan hal yang lucu. Berbeda dengan hari pertama, pada pelatihan hari kedua WY nampak lebih aktif. Ketika ada peserta lain bercerita atau mengungkapkan pendapat, WY nampak memperhatikan.
Saat diminta maju dan bercerita di depan peserta yang lain, ekpresi WY nampak tegang, gugup, dan suara terdengar lirih.
10. RH, laki-laki. RH mengungkapkan jika perubahan yang dirasakan adalah menjadi lebih peka dengan lingkungan sekitar. RH mencoba lebih berani bertindak, misalnya mencegah teman yang mengejek teman lain atau menghibur teman yang menjadi korban perudungan. Selain itu, hal bermanfaat yang dirasakan karena diajarkan bagaimana teknik koping menghadapi perundungan, terutama ketika aksi perundungan itu terjadi pada diri sendiri. Dengan pelatihan ini pula, RH lebih banyak mengetahui karakteristik dirinya sendiri. RH tidak menyangka bahwa ia bisa menuliskan kelemahan dan kelebihannya. Terlebih lagi ketika mengetahui bagaimana orang lain melihatnya. Hal ini menjadi proses koreksi terhadap dirinya sendiri sekaligus mencoba lebih positif ke dalam dirinya dan percaya diri. 100 50 0
90
93
56
59
5 Pre test
84 58
Skala HD
Pengetahuan 4 Post test
4 Follow up
Sikap
Gambar 14. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta RH
Grafik di atas menunjukkan perubahan skor, baik pada skala harga diri atau cek manipulasi. Skor harga diri mengalami peningkatan dari pre test ke post test, yaitu dari 90 menjadi 93. Namun, saat follow up menurun menjadi 84. Untuk cek manipulasi, pada tes pengetahuan terjadi penurunan skor dari pre test ke post test dan tetap stabil di skor 4 pada follow up. Skor skala sikap menghadapi perundungan meningkat dari pre test ke post test, namun menurun 1 poin pada follow up menjadi 58.
Berdasarkan perubahan skor, RH hanya mengalami peningkatan pada sikap menghadapi perundungan. Sedangkan, pada harga diri dan tes pengetahuan, RH mengalami penurunan. Awalnya, setelah mengikuti pelatihan, harga diri RH meningkat (post test). Namun, saat follow up terjadi penurunan dengan selisih 6 poin dibandingkan sebelum pre test. Untuk tes pengetahuan, RH cenderung mendapatkan skor yang menurun dibandingkan sebelum pelatihan. Hasil observasi selama pelatihan, RH nampak cukup aktif, baik di pelatihan hari pertama atau kedua. Suara RH cenderung pelan ketika ditanya. RH nampak memperhatikan trainer saat sesi psikoedukasi. RH berusaha tampil beda dengan menaruh stiker nama di jidat. Saat diberikan tugas kelompok, RH bersedia terlibat dan berpartisipasi dengan memberikan pendapatnya. RH juga bersedia untuk bercerita tentang pengalamannya bersaudara saat diminta oleh trainer. Hal lain yang nampak pada RH adalah saat diberikan kertas dan diminta untuk menuliskan kelebihan diri, RH berkata jika kosong dan tidak tahu harus menulis apa.
11. BQ, perempuan. BQ menceritakan jika belum banyak perubahan yang terjadi dalam dirinya setelah mengikuti pelatihan. BQ tetap merasa nyaman dengan kondisi apa adanya dirinya sekarang. Saat diminta menuliskan kelemahan dan kelebihan, BQ menuliskan kelemahan dirinya yang ingin ia terima, bukan dibuang atau diubah. Karakter diri tersebut adalah sering memendam masalah. Meski dituliskan sebagai kelemahan, namun BQ merasa nyaman dengan karakter ini, sudah lama menjadi bagian dari diri dan tidak ingin diubah. BQ juga mengungkapkan jika ia sebenarnya agak sungkan untuk mengungkapkan kelebihan dirinya karena takut dianggap sombong. Hal lain yang BQ temukan adalah bagaimana teman-teman melihat dirinya. Ada perasaan lucu dan kaget ketika mendapatkan komentar dari peserta
lain. Bagi BQ, hal ini menjadi bahan untuk menilai diri sendiri. Jika dianggap sebagai kelemahan, BQ akan berusaha memperbaikinya. Selain itu, sesi “Sungai Kehidupan” dirasakan BQ sebagai sesi yang paling disukai. BQ dapat melihat bagaimana kehidupannya di masa lalu, sekarang, apa yang tidak disukai, hal apa yang menyenangkan, dan tidak menyenangkan. BQ tidak menyangka dapat menulis semua pengalamannya tersebut. 100 50 0
73 53 4 Pre test
74 57
77 65
4 Post test
4 Follow up
Skala HD Pengetahuan
Sikap
Gambar 15. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta BQ
Grafik di atas menunjukkan perubahan skor pada skala harga diri dan cek manipulasi. Skor harga diri menunjukkan peningkatan, baik pada pre test, post test, hingga follow up. Skor pre test sebesar 73 poin kemudian meningkat 1 poin pada post test dan meningkat 3 poin pada follow up. Peserta tidak mengalami perubahan skor pada tes pengetahuan, baik dari pre test, post test, hingga follow up, dimana peserta mendapat skor 4. Sedangkan, skor sikap menghadapi perundungan, pada pre test meningkat dari 55 menjadi 57 pada post test, kemudian meningkat lagi pada follow up menjadi 65. Secara umum, terdapat peningkatan skor pada BQ setelah mengikuti pelatihan. Peningkatan ini terlihat pada harga diri dan sikap menghadapi perundungan. Proses selama pelatihan memberikan perubahan dalam diri BQ, salah satunya adalah menciptakan konsep diri yang lebih positif atas dirinya sendiri sehingga membantu dalam peningkatan harga diri. Materi tentang dampak perundungan yang diberikan selama pelatihan juga meningkatkan pemahaman dalam diri BQ untuk menghindari perundungan. Meski demikian, pengetahuan teoritis tentang perundungan dan harga diri nampak tidak menunjukkan perubahan, baik setelah atau sebelum pelatihan.
Hasil observasi selama pelatihan adalah BQ lebih banyak melakukan aktifitas lain, seperti menulis di kertas. Sehingga nampak tidak memperhatikan peserta lain yang sedang berpendapat. BQ cenderung pasif dalam kelompok, namun cukup ekspresif (tesenyum dan tertawa). Saat tugas kelompok, BQ juga lebih banyak nampak mengikuti arahan teman daripada mengungkapkan pendapatnya. Meski begitu, saat diminta berpendapat, BQ bersedia melakukan dan suara terdengar jelas.
12. FL, laki-laki. Perubahan yang dirasakan FL setelah mengikuti pelatihan adalah menjadi lebih peduli, berani, dan simpati terhadap teman-temannya. FL lebih memahami bagaimana dampak suatu perlakuan ke orang lain. Hal ini membuat FL berusaha lebih menjaga perasaan orang lain dan tidak sembarangan memberikan komentar karena takut menyakiti. FL juga menjadi lebih banyak mengerti tentang dirinya dan bagaimana orang lain memandangnya. Saat mengetahui pendapat peserta lainnya, FL merasa lucu dan aneh karena mendapat komentar yang tidak menyenangkan. Namun, FL mencoba berpikir positif. Bagi FL, hal ini justru dipandang sebagai bentuk perhatian. Saat seseorang terbuka kepada orang lain, baik tentang hal buruk atau baik, itu tanda bahwa mereka saling memiliki hubungan dekat. Sebelumnya, jika mendapat komentar tidak menyenangkan, FL akan tersinggung dan tidak nyaman. Sekarang, FL berusaha menghadapi dengan humor dan tidak dianggap serius. Menurut FL, hal ini tergantung bagaimana dirinya memandang respon orang lain. Kondisi ini mendorong FL untuk lebih percaya diri dan membaur dengan lingkungan sekitarnya. FL juga berusaha lebih positif dan bersyukur karena banyak orang lain yang kekurangan.
100 50 0
82 54 2 Pre test
80 56
82 61
7
7
Post test
Skala HD Pengetahuan Sikap
Follow up
Gambar 16. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta FL
Grafik di atas menunjukkan perubahan skor, baik untuk skala harga diri atau cek manipulasi. Skor skala harga diri menurun dibandingkan sebelum diberikan pelatihan, yaitu dari 82 menjadi 80. Namun, saat follow up, skor kembali ke seperti skor awal (pre test), yaitu 82. Untuk cek manipulasi menunjukkan peningkatan 5 skor dari pre test ke posttest, yaitu dari 2 menjadi 7. Skor ini tetap stabil hingga follow up. Sedangkan untuk skor skala sikap, menunjukkan peningkatan di tiap tahapan. Skor pre test ke posttest meningkat 2 poin, yaitu dari 54 menjadi 56 dan meningkat kembali menjadi 61 pada follow up. Perubahan skor pada FL menggambarkan jika FL tidak mengalami peningkatan harga diri setelah mengikuti pelatihan. Jika dilihat dari skor, kondisi harga diri FL tetap sama dengan sebelum pelatihan, bahkan terjadi penurunan pada posttest. Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena dekatnya jarak pengukuran skor harga diri dengan berakhirnya pelatihan sehingga proses belajar belum terjadi secara maksimal. Meski demikian, untuk cek manipulasi, baik tes pengetahuan tentang perundungan dan skala menghadapi perundungan, FL menunjukkan peningkatan skor. Hasil observasi selama pelatihan adalah FL nampak cukup aktif, dimana ia mau memberikan pendapat, bertanya, atau bercerita tanpa harus diminta oleh trainer sebelumnya. Saat berbicara, suara FL jelas dan lantang. Sesekali FL nampak bercerita dengan teman sebangkunya. Saat diberikan tugas kelompok, FL cukup berpartisipasi dengan memberikan ide. FL juga nampak memperhatikan trainer saat diberikan materi.
13. AF, perempuan. AF mengungkapkan jika perubahan yang dirasakan setelah mengikuti pelatihan adalah menjadi lebih santai ketika menghadapi masalah. Saat menghadapi masalah, AF mencoba berpikiran positif atas dirinya sendiri dan tidak menghiraukan. Saat diejek atau disindir teman, AF lebih memilih untuk tersenyum dan tidak memperdulikan hal tersebut. Kondisi ini membantu AF untuk mencoba lebih berani, percaya diri, dan tidak takut diejek orang lain. AF juga menemukan hal-hal baru tentang dirinya dan mengetahuinya dari teman yang lain. AF sebenarnya cukup terkejut mendapatkan komentar tersebut. Namun, AF tidak mau menyalahkan orang lain karena bagaimanapun hal tersebut adalah pendapat mereka. Jika merasa bahwa komentar itu tidak benar, AF memilih untuk menganggap itu bercanda. Namun, bagi AF pendapat orang lain juga menjadi kesempatan baginya untuk memperbaiki dan introspeksi diri. 100 50 0
87
91
90
55
58
58
2 Pre test
Skala HD Pengetahuan
6 Post test
4 Follow up
Sikap
Gambar 17. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta AF
Grafik di atas menunjukkan adanya perubahan skor pada skala harga diri dan cek manipulasi. Skor skala harga diri menunjukkan adanya peningkatan di tiap tahapnya. Skor pre test meningkat dari 87 menjadi 91 di posttest. Namun, turun 1 poin pada follow up menjadi 90. Untuk skor tes pengetahuan meningkat dari pre test ke posttest, yaitu dari 2 menjadi 6. Namun, kemudian turun 2 poin ketika follow up menjadi 4. Sedangkan, untuk skala sikap nampak ada peningkatan dari pre test ke post test, yaitu dari 55 menjadi 58. Skor tetap stabil di skor 58 hingga follow up.
Berdasarkan perubahan skor, baik pada skala harga diri dan cek manipulasi, AF menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan sebelum mengikuti pelatihah. Harga diri AF cenderung meningkat setelah mengikuti pelatihan. Meski turun 1 poin pada follow up, namun skor follow up lebih besar dibandingkan sebelum pelatihan (pre test). Kondisi yang sama juga nampak pada tes pengetahuan. Skor tes pengetahuan meningkat pada post test dan turun pada follow up, namun skor follow up lebih besar dibandingkan pre test. Hal ini menggambarkan adanya perubahan pemahaman AF tentang perundungan dan harga diri setelah mengikuti pelatihan. AF juga nampak menunjukkan perubahan
sikap
menghadapi
perundungan.
Peningkatan
skor
juga
menggambarkan adanya perubahan sikap AF yang lebih memilih menghindari terlibat dalam perundungan. Hasil observasi selama pelatihan menunjukkan jika AF cukup aktif dan ekspresif. AF bersedia bercerita atau mengungkapkan pendapatnya tentang materi yang diberikan. Sesekali, AF nampak membalas humor dari trainer. Saat diberikan tugas dalam kelompok, AF cukup berpartisipasi dengan memberikan pendapat. AF juga nampak sering tertawa dengan cukup keras, terutama saat trainer menceritakan humor.
14. DE, perempuan. DE mengungkapkan perubahan yang dirasakan adalah dirinya menjadi lebih netral ketika menghadapi suatu kondisi. DE berusaha melihat suatu kondisi dari sudut pandang yang lebih positif, misalnya ketika ada teman yang sedang dijauhi. DE berusaha tidak ikut menilai negatif dan mencoba memahami kondisi tersebut. DE mengakui jika sebelumnya ia tidak sungkan untuk ikut campur dengan ikut mengejek. DE juga menganggap bercandaan adalah hal yang sepele. Namun, setelah mengikuti pelatihan, DE mencoba lebih berempati dan merasakan perasaan orang lain. Terlebih lagi ketika dalam pelatihan
diberikan pemahaman tentang dampak perundungan. Meski belum stabil, namun perubahan yang dirasakan masih proses penyesuaian. DE juga menemukan hal baru tentang dirinya ketika dipelatihan. DE mendapatkan pembuktian atas karakter dirinya berdasarkan pendapat dari peserta lain. DE merasa bahwa pendapat dari peserta lain tentang dirinya adalah benar dan sesuai dengan gambaran DE tentang dirinya sendiri. Bagi DE, hal ini menjadi penguat pemahaman atas dirinya. 100 50 0
72 52 4 Pre test
83
82
54
54
7
8
Post test
Skala HD Pengetahuan Sikap
Follow up
Gambar 18. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta DE
Grafik di atas menunjukkan peningkatan skor pada skala harga diri dan cek manipulasi. Skor skala harga diri mengalami peningkatan dari pre test ke posttest, yaitu 72 menjadi 83. Namun, menurun 1 poin pada follow up menjadi 82. Untuk skor tes pengetahuan cenderung meningkat di tiap tahapnya, yaitu dari 4 menjadi 7 pada post test dan meningkat kembali 1 poin pada follow up. Sedangkan, skor skala sikap meningkat 2 poin dari pre test ke post test dan tetap stabil di skor 54 hingga follow up. Berdasarkan perubahan skor, baik pada skala harga diri atau cek manipulasi, DE menunjukkan adanya peningkatan setelah mengikuti pelatihan. Harga diri DE meningkat setelah mengikuti pelatihan. Hal ini menunjukkan jika pelatihan memberikan dampak positif pada pembentukan konsep diri. Peningkatan juga nampak pada skor cek manipulasi, yaitu tes pengetahuan dan sikap menghadapi perundungan. Hal ini menggambarkan jika pelatihan membantu DE untuk lebih memahami tentang perundungan dan menghindari untuk terlibat dalam perundungan.
Hasil observasi selama pelatihan menunjukkan jika DE cukup aktif bertanya, berpendapat, atau bercerita tanpa diminta terlebih dahulu. Suara DE juga terdengar jelas dan keras. DE cukup ekspresif selama pelatihan, dimana nampak sering tertawa bahkan terlihat sampai menangis. DE juga cukup terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok.
15. NV, perempuan. Perubahan yang dirasakan NV setelah mengikuti pelatihan adalah mengetahui hal-hal yang tidak diketahui sebelumnya. NV akhirnya mengetahui bahwa banyak cara untuk menghadapi perundungan. NV juga lebih memahami tentang bagaimana dampak perundungan. NV mulai memahami bahwa cara menghadapi perundungan adalah dimulai dari diri sendiri dengan mencoba berpikir positif, lebih percaya diri, dan tidak menghiraukan ejekan. Selain lebih banyak mengetahui tentang aksi perundungan dan cara menghadapinya, NV juga lebih banyak tahu tentang karakteristik dirinya. Hal yang menyenangkan bagi peserta adalah ketika menyadari bahwa ternyata ia bisa memahami karakteristik diri. Ketika diminta menuliskan kelemahan dan kelebihan, NV tidak menyangka jika ia bisa menuliskannya. Ditambah lagi ketika mendapatkan komentar dari NV lain. Baginya, ini dapat menjadi koreksi diri menjadi lebih baik lagi. 150 100 50 0
86 64 3 Pre test
97 64
98
Skala HD
58
Pengetahuan
4 Post test
4 Follow up
Sikap
Gambar 19. Grafik Perubahan Skor Harga Diri dan Cek Manipulasi Peserta NV
Grafik di atas menunjukkan perubahan skor, baik pada skala harga diri dan cek manipulasi. Skor skala harga diri meningkat dari pre test ke posttest, yaitu dari 86 ke 97 dan meningkat lagi pada follow up menjadi 98. Untuk skala
sikap, skor pre test dan posttest stabil di angka 64, namun turun 6 poin saat follow up menjadi 58. Sedangkan skor tes pengetahuan meningkat 1 poin dari pre test ke posttest. Namun, skor tetap stabil di angka 4 pada follow up. Berdasarkan perubahan skor di atas, NV menunjukkan peningkatan harga diri setelah mengikuti pelatihan. Materi yang diberikan disertai teknik penyampaian yang efektif membantu proses pembelajaran dalam diri NV, terutama dalam peningkatan konsep diri yang positif sehingga dapat meningkatkan harga diri. Namun, penuruan justru nampak pada sikap menghadapi perundungan. Kondisi ini mungkin disebabkan karena dekatnya jarak penghitungan follow up dengan pelatihan sehingga waktu untuk menerapkan sikap yang baru dipelajari hanya sedikit. Untuk tes pengetahuan, skor yang diperolej NV hanya meningkat 1 poin dibandingkan sebelum pelatihan. Pemahaman secara konsep dan teoritis nampak belum optimal dalam diri NV. Hasil observasi selama pelatihan menunjukkan jika NV cukup aktif dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok. Saat trainer memberikan penjelasan, NV nampak memperhatikan. NV juga bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan trainer tanpa harus ditunjuk terlebih dulu. Suara NV cukup jelas dan lantang. NV nampak cukup ekspresif selama pelatihan dengan sesekali nampak tersenyum dan tertawa. Interaksi NV dengan peserta yang sebangku juga nampak sering dilakukan.
DISKUSI Penelitian menunjukkan adanya perbedaan skor harga diri antara kelompok eksperimen dan kontrol, F(2, 46) = 6,755; p < 0,05; ηp² = 0,23. Peningkatan skor harga diri ditunjukkan pada kelompok eksperimen setelah diberikan pelatihan “Tameng Bullying”. Peningkatan ini dilihat dari rerata skor post test kelompok eksperimen (M = 87,20, SD = 8,17) yang lebih tinggi dari kelompok kontrol (M =
78,70, SD = 2,62). Skor harga diri pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan dari pretest ke posttest (MD = -4,733; p = 0,003). Hasil ini menunjukkan bahwa pelatihan “Tameng Bulliying” dapat meningkatkan harga diri kelompok eksperimen secara signifikan. Pada kelompok kontrol menunjukkan adanya perubahan, baik peningkatan atau penurunan skor harga diri, namun tidak signifikan. Hal ini menggambarkan jika skor harga diri dalam kelompok kontrol cenderung tetap. Hasil ini sekaligus mendukung hipotesis bahwa modul yang disusun untuk pelaksanaan pelatihan “Tameng Bullying” valid dan memang dapat meningkatkan harga diri pada remaja sebagai usaha prevensi terhadap perundungan. Kontribusi yang diberikan pelatihan “Tameng Bullying” terhadap perubahan harga diri sebesar 43,1 %. Kelompok eksperimen menunjukkan adanya selisih rerata skor posttest ke follow up (MD = -0,467; p = 0,724) , namun tidak signifikan (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan jika efek pemberian pelatihan “Tameng Bullying” cenderung masih dialami oleh kelompok eksperimen hingga saat pengukuran follow up, yaitu sepuluh hari dari waktu pelatihan. Cek manipulasi juga menunjukkan perubahan skor, baik tes pengetahuan ataupun skala sikap menghadapi perundungan. Untuk skala sikap menghadapi perundungan, terjadi peningkatan rerata skor, baik dari pretest (M = 54,93; SD = 1,61) ke posttest (M = 55,87, SD = 1,41), t(14) = -0,933; p > 0,05; d = -0,64. Peningkatan juga nampak pada tahap posttest (M = 55,87; SD = 1,41) ke follow up (M = 56,67; SD = 1,17), t(14) = -0,800; p > 0,05; d = 0,13. Meski meningkat, namun peningkatan ini tidak signifikan (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan jika pada umumnya terjadi peningkatan perubahan sikap peserta menjadi lebih aktif menghadapi perundungan, meski peningkatannya tidak terlalu besar dan belum optimal. Sedangkan, untuk tes pengetahuan, skor rerata post test (M = 5,47; SD = 1,685) lebih besar daripada skor pre test (M = 1,31; SD = 1,46), t(14) = -4,81; p < 0,05; d = 2,7. Hasil ini menunjukkan jika ada peningkatan yang signifikan untuk skor tes pengetahuan peserta setelah mengikuti pelatihan. Namun, pada skor rerata follow up
(M = 4,8; SD = 1,656) lebih kecil dibandingkan skor post test (M = 5,47; SD = 1,685), t(14) = 2,2; p < 0,05; d = -0,42. Hasil ini menggambarkan terjadi penurunan skor yang signifikan. Hasil ini menunjukkan jika pemahaman peserta tentang pengetahuan atau materi yang diberikan belum optimal. Kemungkinan penyebabnya adalah penyampaian materi belum efektif dan dekatnya jarak follow up dengan pelatihan. Pelatihan “Tameng Bullying” ini memfasilitasi peserta untuk lebih memahami karakteristik diri sendiri, baik bersumber dari pemahaman dari dalam diri maupun pendapat dari orang lain. Grieshaber (1994) mengungkapkan jika terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu pelatihan, yaitu modul, trainer, partisipan, dan fasilitas. Faktor-faktor penting ini juga yang nampaknya mempengaruhi keberhasilan pelatihan “Tameng Bullying” untuk meningkatkan harga diri pada remaja. Penelitian ini menunjukkan jika modul “Tameng Bullying” dapat meningkatkan harga diri. Harga diri yang tinggi dan kuat penting sebagai sarana pertahanan diri terhadap perundungan. Memiliki harga diri serta kepercayaan diri yang tinggi dapat menjadi salah satu aspek perlindungan dan pertahanan diri terhadap perundungan (Eskisu, 2014; Sapouna & Wolke, 2013). Harga diri adalah sumber internal dalam diri seseorang yang dapat menjadi kunci keberhasilan korban perundungan dalam menghadapi masalahnya (Smith, Shu, & Matsen, 2001). Temuan dari penelitian ini pada dasarnya dapat mendukung dalam proses prevensi terhadap perundungan. Prevensi perundungan akan lebih optimal jika juga difokuskan pada penguatan karakter pribadi diri remaja. Modul ini disusun dengan sebelumnya melakukan expert judgement oleh dua orang ahli yang kompeten di bidangnya, yaitu satu orang dosen psikologi yang cukup senior berkecimpung dalam kasus-kasus perundungan dan remaja, serta satu orang guru Bimbingan Konseling yang sudah lama memahami dinamika remaja serta mendampingi kasus-kasus perundungan di sekolah. Salah satu masukan dari para ahli
ini adalah pendalaman sesi dengan memperpanjang waktu sesi pemahaman karakteristik diri, yaitu pada sesi “Aku dan Diriku” dan “Aku dan Dunia Sekitarku”. Sesi ini dianggap cukup penting dalam usaha peningkatan harga diri. Semakin lama waktu yang diberikan, semakin dalam pula seseorang memahami diri sendiri. Terlebih lagi ketika diberikan kesempatan untuk mendengarkan pendapat orang lain atas orang tersebut. Perubahan modul ini juga sesuai dengan proses pembentukan harga diri tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, namun juga bagaimana kesan orang tersebut terhadap perlakuan orang lain kepadanya (Coopersmith, 1967). Dalam proses ini, peserta menerima pendapat dari peserta yang lain. Banyak dinamika yang muncul dalam diri ketika mendapat komentar, salah satunya muncul pemikiran untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (social comparison). Tahap ini merupakan salah satu tahap dalam pembentukan harga diri (Larsen & Buss, 2002). Saat berinteraksi dengan orang lain, seseorang mulai melihat, mengamati, dan mulai membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Saat muncul perasaan berharga ketika seseorang merasa memilki kemampuan yang lebih baik, hal ini dapat meningkatkan harga diri seseorang. Hasil penelitian ini tidak terlepas dari pendekatan eksperiensial sebagai dasar model pembelajaran. Tiap-tiap sesi dalam pelatihan disusun dengan menekankan proses belajar eksperensial. Melalui pendekatan ini, peserta diajak untuk merasakan pengalaman secara langsung (concrete experience), melakukan observasi dan refleksi, membentuk konsep abstrak dalam kognitif mereka, dan secara aktif melakukan eksperimen (Kolb, Boyatziz, & Mainemelis, 1999). Peserta menerima dan merasakan langsung bagaimana orang lain melihat dirinya di sesi “Aku di Mata Sekitarku”. Pengalaman mendapatkan komentar dari orang
lain.
Tidak
hanya
menuliskan,
namun
peserta
diminta
untuk
mengungkapkannya di depan kelompok. Aktivitas sharing ini menjadi salah satu aktivitas penting dalam pendekatan belajar eksperensial (Supratiknya, 2008). Dengan sharing, tiap peserta dapat berbagi hasil refleksi, saling mendengarkan, dan membantu. Tahap ini salah satu bentuk dari concrete experience. Peserta lalu
melakukan observasi dan refleksi dari pendapat serta komentar yang diperoleh dari peserta lain (reflektif observation). Proses dalam reflektif observation membawa peserta untuk menyusun konsep abtrak dalam kognitif peserta tentang bagaimana dirinya sebenarnya. Psikoedukasi tentang teknik koping yang efektif untuk menghadapi masalah juga membantu peserta untuk menyusun konsep teknik koping yang sesuai bagi dirinya. Tahap ini termasuk dalam abstract conceptualization. Informasi dan kemampuan ini kemudian akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari remaja dan serta ketika menghadapi situasi yang menyenangkan atau aksi perundungan. Tahap ini disebut dengan active experimentation. Aktivitas inti lainnya dalam pendekatan belajar eksperensial adalah refleksi. Proses refleksi adalah memunculkan kembali pengalaman yang telah terjadi untuk menemukan makna dan nilai yang lebih dalam (Supratiknya, 2008). Pada sesi “Aku dan Diriku”, peserta diajak melakukan refleksi dengan merasakan lebih mendalam tentang proses perjalanan hidupnya dalam materi “Sungai Kehidupan” yang dilengkapi dengan menuliskan karakteristik diri. Saat lebih memahami karateristik diri, peserta secara tidak langsung sedang membangun konsep dirinya, baik kelemahan dan kelebihan. Peserta kemudian diajak merasakan lebih dalam tentang karakteristik tersebut, apakah akan dibuang, diubah, atau disimpan. Aktivitas ini membantu salah satu proses pembentukan harga diri, yaitu pembentukan konsep dirinya yang positif. Individu memahami dan menerima kondisi diri mereka apa adanya. Semakin memiliki konsep dirinya positif, seseorang akan memiliki harga diri yang tinggi pula. Salah satu ciri individu yang memiliki harga diri tinggi adalah merasa nyaman dengan kehidupannya, percaya diri, dan memiliki perhitungan yang realistis atas kelebihan dan kekurangannya (Duffy & Atwater, 2002). Pelatihan ini tidak hanya menemukan kelebihan dan kekurangan diri, namun peserta juga diajak merasakan ketika berbeda pendapat dengan orang lain. Proses dalam pelatihan yang banyak menggunakan aktivitas kelompok dan memberikan
kesempatan berpendapat dalam sharing membawa peserta menemukan dan merasakan lebih untuk mencoba menerima perbedaan dengan orang lain. Duffy dan Atwater (2002) menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki harga diri tinggi cenderung memiliki penerimaan diri yang baik. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik mampu menerima orang lain, termasuk dengan orang berbeda pendapat dan menikmati hubungan dengan orang lain. Pemutaran video memberikan dampak pada proses penelitian ini. Metode intervensi dengan menggunakan video atau film pada kasus perundungan membantu proses meningkatkan kewaspadaan, memahami ulang masalah yang seseorang alami dengan berbagai perspektif, dan menurunkan perilaku perundungan (McLaughlin, Laux, Pescara-Kovach, 2006, Pieter, Fröhlich, Emrich, & Stark, 2010; Rigby, 2007). Video tidak hanya membantu dalam meningkatkan pemahaman peserta tentang aksi perundungan dan cara menghadapinya, tetapi melalui video, para peserta juga diajak untuk merasakan lebih mendalam tentang bagaimana ia menilai dirinya sendiri. Pemilihan video yang cukup inspiratif, yaitu tentang seorang gadis yang tidak memiliki kaki namun menjadi atlet renang membantu peserta untuk lebih menerima kondisi dirinya apa adanya. Dalam siklus proses belajar ekperiensial, pada tahap reflective observation, tayangan dalam video membantu peserta untuk menghadirkan kembali perasaan dan pikiran yang muncul atas kondisi dirinya sekarang ini (concrete experience). Kemudian, peserta mulai merefleksikan dan menemukan pengalaman yang diperolehnya saat menonton video (tahap abstract conseptualism). Pada tahap active experimentation, kemampuan dan pemahaman yang baru dipelajati akan lebih mudah untuk diterapkan sehingga berdampak pada penerimaan diri apa adanya, menghasilkan konsep diri yang lebih positif, dan meningkatkan harga diri. Kelemahan dalam penelitian ini terletak pada ketersediaan waktu yang terbatas. Pelatihan dirancang untuk tiga hari, namun pelaksanaannya harus diubah menjadi dua hari. Hal ini dikarenakan kondisi para peserta yang harus mengikuti persiapan ujian kenaikan kelas. Perubahan ini tentu saja dapat berdampak pada validitas konstruk penelitian. Meski pada akhirnya penelitian ini menunjukkan hasil yang
signifikan, namun harapannya pelaksanaan penelitian dapat dilakukan tetap sesuai dengan rancangan sehingga dapat meningkatkan validitas penelitian. Selain itu, hal ini juga menyebabkan jarak waktu antara pelatihan dengan sesi follow up berdekatan. Pada penelitian ini, rentang waktu yang singkat pada sesi follow up membuat efek dari pelatihan yang diukur belum optimal dirasakan oleh peserta penelitian, terutama pada perubahan sikap menghadapi perundungan. Meski menunjukkan perubahan yang signifikan setelah pelatihan, namun hasil akan lebih optimal jika waktu pelatihan lebih lama. Kelemahan lain dalam penelitian ini adalah penggunaan instrument alat ukur yang sama selama tiga kali pengukuran. Hal ini mengakibatkan subjek penelitian rentan mengalami testing effect.