BAB II LANDASAN TEORI
II. A. Pengertian Psychological Well-Being Pekerja Sosial Kesehatan mental (Ryff, 1989) seringkali dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi secara positif. Oleh sebab itu, orang-orang lebih mengenal kesehatan mental dengan istilah tidak adanya penyakit daripada berada dalam kondisi well-being. Well-being didefinisikan sebagai derajat seberapa jauh seseorang dapat berfungsi secara optimal (Ryan & Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), penelitian mengenai well-being yang telah dilakukan selama ini didasarkan pada dua perspektif yang berbeda. Perspektif yang pertama disebut pendekatan hedonik (hedonic approach), sedangkan pendekatan lainnnya disebut pendekatan eudaimonik. Eudaimonia (kebahagiaan) pertama kali dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dikenal dengan istilah psychological well-being. Aristoteles (Ryff,1989) menyatakan bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu melainkan melalui tindakan nyata dimana individu mengaktualisasikan potensi-potensinya. Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia sehinga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau gagal.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian mengenai psychological well-being penting untuk dilakukan karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya membuat seseorang dapat mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya (Ryff, 1995). Ryff (dalam Halim & Atmoko, 2005) mendefinisikan psychological well-being sebagai hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat (Ryff dan Singer dalam Halim & Atmoko, 2005). Pada intinya psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes, 1995). Ryff mengajukan beberapa literatur untuk mendefinisikan psikologis yang berfungsi positif yaitu Rogers menyebutnya dengan istilah fully functioning person, Maslow menyebutnya dengan konsep self-actualized person, dan Jung mengistilahkannya dengan individuasi, serta Allport menyatakannya dengan konsep maturity (Ryff, 1989).
Universitas Sumatera Utara
II. B. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari psychological well-being yaitu : 1. Penerimaan Diri (self-acceptance) Penerimaan diri merupakan suatu ciri utama dari kesehatan mental yang sama dengan karakteristik individu yang mengaktualisasi diri, berfungsi optimal dan memiliki ciri kematangan.
Penerimaan diri yang baik ditandai dengan
kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Individu yang menerima dirinya sendiri akan bersikap positif tehadap penilaian dirinya. (Ryff dalam Compton, 2005). Menurut Maslow (dalam Calhoun & Acocella, 1990) penerimaan
diri
merupakan
salah
satu
karakter
dari
individu
yang
mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri. 2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Dimensi penting lain dari psychological well-being adalah kemampuan individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan empati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik. Selain itu, menurut teori perkembangan masa dewasa, individu juga perlu untuk memiliki kedekatan (intimacy) dengan orang lain dan mampu memberikan
Universitas Sumatera Utara
bimbingan dan arahan kepada orang lain (generativity). Semua ciri yang ditekankan di atas merupakan karakteristik penting dari konsep psychological well-being. 3. Otonomi (autonomy) Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri. Menurut Maslow (dalam Calhoun & Acocell, 1990) dalam konsep aktualisasi diri, individu yang otonomi adalah individu yang memiliki rasa puas diri yang tinggi dan mampu untuk bertahan sendirian. Individu ini akan bertahan pada pendapatnya sendiri meskipun yang lain tidak setuju. Kekuatan yang ada di dalam diri mampu membuat individu tersebut bertahan menghadapi tekanan dan gangguan dari luar. Ryff (1989) menyatakan sependapat dengan pandangan Rogers yang menyatakan bahwa individu yang otonomi merupakan individu yang dapat menentukan kondisi diri sendiri dalam bertindak. Dalam kondisi ini, individu mempunyai kepercayaan terhadap pengalaman sendiri sebagai sumber dalam pengambilan keputusan. Konsekuensinya, individu itu akan mampu untuk bersikap mandiri dan tidak hanya mengandalkan norma-norma sosial yang berlaku atau pendapat orang lain, sehingga berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu. Jika dikaitkankan dengan konsep Frankl (dalam Koeswara, 1992), mengemukakan bahwa manusia harus memiliki kebebasan untuk menemukan arti dari keberadaan mereka. Kebebasan ini berarti bebas untuk memilih antara menerima atau menolak suatu hal.
Universitas Sumatera Utara
4. Penguasaan Lingkungan (enviromental mastery) Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan dan mengelola lingkungan
agar
sesuai
dengan
kondisi
psikologisnya
dalam
rangka
mengembangkan diri. Ini merupakan definisi karakteristik dari kesehatan mental. Individu yang matang (dalam konsep Allport), digambarkan segabai individu yang mampu mengelola dan mengontrol lingkungan sekitarnya. Individu juga mampu mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik ataupun mental, serta menggunakan setiap kesempatan yang ada di lingkungan sekitar. Partisipasi aktif dalam lingkungan dan penguasaan lingkungan merupakan karakteristik penting dari psychological well-being. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa definisi dari dimensi psychological well-being adalah sejauhmana pekerja sosial mampu mengelola berbagai aktivitas eksternalnya, mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, mampu memilih dan mempunyai kompetensi untuk mengelola lingkungan yang cocok dengan kebutuhan pribadi. 5. Tujuan Hidup (purpose in life) Adanya tujuan hidup yang jelas merupakan bagian penting dari karakteristik individu yang memiliki psychological well-being. Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi hidupnya. Individu yang memiliki psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan Frankl (dalam Koeswara, 1992) tentang kesehatan psikologis menekankan pada keinginan atau kehendak untuk bermakna (the will to meaning). Individu yang merasa kehilangan makna hidup (meaningless), tanpa tujuan dan arah akan membuat individu tersebut merasa bosan dalam menjalani kehidupannya. Perasaaan tidak bermakna merupakan perasaan dimana individu tidak berhasil menyadari arti hidup yang bermanfaat bagi dirinya. Apabila pekerja sosial mengalami kondisi ini, maka ia tidak akan dapat mengisi pekerjaannya dengan baik, merasa bosan, jemu, kosong dan hampa. 6. Pertumbuhan Pribadi (personal growth) Fungsi
psikologis
karakteristik-karektisitk
yang optimal pribadi
dari
tidak
hanya
mampu
pengalaman-pengalaman
mencapai terdahulu,
melainkan juga mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dapat berfungsi secara penuh (fully functioning). Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.
II.A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang. 1. Usia Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai
Universitas Sumatera Utara
kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor psychological well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan orang lain tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001). 2. Jenis kelamin Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotipe jender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia dkk., 2001). Tidaklah mengherankan bahwa sifatsifat stereotipe ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut
Universitas Sumatera Utara
dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. 3. Status sosial ekonomi Ryff dkk., (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. 4. Budaya Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
II. B. Pekerja Sosial II.B.1. Pengertian Pekerja Sosial Menurut
Adi
(2004),
konsep
pekerja
sosial
digunakan
untuk
menggambarkan seseorang yang bergelut di bidang pekerjaan sosial yang berasal (lulusan) dari pendidikan pekerjaan sosial ataupun ilmu kesejahteraan sosial dimana mereka memiliki karakteristik yaitu mereka tahu bahwa pekerjaan sosial yang dilakukannya adalah kegiatan pemberian bantuan (helping profession), lebih mengutamakan kegiatan yang non-profit dalam artian lebih mementingkan service (pelayanan) daripada mencari keuntungan (profit), dan mereka bertindak sebagai perantara agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat (Dunham dalam Adi, 1994). Mereka dapat bekerja di lembaga pemerintahan, swasta maupun praktik mandiri. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, pekerja sosial adalah orang yang menduduki jabatan fungsional sebagai pekerja sosial. Jabatan fungsional pekerja sosial diperuntukan khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS) Menurut Skidmore sebagaimana yang dikutip oleh Jusman Iskandar (dalam Hermawati, 2001), pekerja sosial adalah orang yang bekerja atau dikaryakan dalam suatu lembaga pelayanan sosial. Dalam lembaga sosial, pekerja sosial dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian tergantung dimana orang tersebut dikaryakan, misalnya pada LSM X, pekerja sosial dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu staf lapangan dan staf kantor. Staf lapangan adalah pekerja sosial yang langsung melakukan pendampingan dengan klien atau pengguna jasa,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan staf kantor adalah pekerja sosial yang yang menangani hal-hal yang berhubungan dengan lembaga misalnya administrasi (Komunikasi Personal, 2008). Hidayat (2004), menyatakan pekerja sosial dapat diartikan secara luas, yaitu pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan masyarakat atau LSM. Tugas yang diemban pekerja sosial diterjemahkan ke dalam beberapa fungsi yaitu: a) melaksanakan pencegahan terhadap timbul dan berkembangnya masalah sosial; b) melaksanakan rehabilitasi yang meliputi memperbaiki dan memulihkan peran-peran sosial yang terganggu dan c) melaksanakan pengembangan kemampuan individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya dan mendayagunakan potensi dan sumber-sumber. Memberikan dukungan terhadap profesi dan sektor-sektor lain guna peningkatan kualitas pelayanan sosial (Depsos RI dalam Hidayat, 2004 ). Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan pekerja sosial adalah semua pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial dimana mereka lebih mengutamakan pelayanan daripada mencari keuntungan atau tanpa mengharapkan imbalan tetapi didasarkan atas rasa kemanusiaan atau ajaran agama.
II.B.2. Nilai-Nilai Utama dalam Praktek Pekerjaan Sosial Menurut Morales dan Sheafor (1980), nilai merupakan alat yang esensial untuk memilah-milah pengetahuan dan mengidentifikasi apa yang sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus melakukannya. Rokeach (dalam Morales & Sheafor, 1980) menyatakan nilai adalah suatu bentuk kepercayaan, yang letaknya pada pusat sistem kepercayaan seseorang, mengenai bagaimana seseorang harus dan tidak harus berperilaku atau keadan eksistensi yang berharga atau yang tidak berharga. Nilai berada di dalam hati setiap orang yang digunakan sebagai pandangan bagaimana seharusnya mereka hidup dan untuk menuntun aksi-aksi mereka. Begitu juga dengan pekerja sosial yang menggunakan nilai-nilai profesi sebagai nilai penuntun (value-guided) dalam praktek pekerjaan sosial (Morales & Sheafor, 1980). Menurut Morales dan Sheafor (1980), ada tiga nilai yang dibutuhkan pekerja sosial sebagai panduan dalam praktik pekerjaan sosial yaitu nilai sebagai gambaran istimewa manusia, nilai sebagai akibat istimewa bagi manusia dan nilai sebagai perantara istimewa agar bisa berhadapan dengan orang, namun nilai yang ketigalah yang biasanya digunakan dalam pekerjaan sosial karena bentuknya lebih konkrit tidak seperti nilai yang pertama dan kedua yang bersifat abstrak. Nilainilai ini terdapat dalam kode etik NASW (National Association of Social Worker) yaitu: pekerjaan sosial berdasarkan asas kemanusiaan demokratis. Pekerja sosial profesional
didedikasikan
untuk
melayani
kesejahteraan
umat
manusia,
menertibkan penggunaan pengetahuan untuk kesejahteraan manusia (well-being) dan interaksi mereka, dan mengatur sumber-sumber untuk mempromosikan kesejahteraan manusia tanpa diskriminasi. Praktek pekerjaan sosial adalah kegiatan kepercayaan umum (public trust) yang membutuhkan integritas, rasa kasihan atau haru (compassion), kepercayaan pada martabat dan keberhargaan
Universitas Sumatera Utara
manusia, menghormati perbedaan individual, komitmen pada pelayanan dan berdedikasi pada kebenaran. Pekerjaan ini juga membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman profesional. Selain itu diperlukan juga adanya pengetahuan, ketrampilan dan pelayanan yang akan diberikan serta menunjukkan pelayanan yang penuh integritas dan kompetensi. Setiap anggota dari profesi ini memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan pelayanan pekerjaan sosial, secara konstan untuk menguji, menggunakan, dan meningkatkan pengetahuan tentang praktek dan kebijakan sosial yang mendasarinya serta mengembangkan filosofi dan ketrampilan profesi. Berdasarkan nilai-nilai praktek pekerjaan sosial (Morales & Sheafor, 1980) dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai utama pekerja sosial adalah: a. Pelayanan (service) Nurdin (1990) mendefinisikan pelayanan sebagai memberikan jasa kepada orang-orang dan membantu mewujudkan tujuan-tujuan mereka dan bukan untuk kepentingan atau keuntungan sendiri. Romanyshyn (dalam Nurdin, 1990) menyatakan bahwa usaha pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha memulihkan, memelihara, dan meningkatkan kemampuan berfungsi sosial individu dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin berfungsinya kolektivitas seperti kelompok-kelompok sosial, organisasi serta masyarakat. Tujuan utama pekerja sosial adalah untuk menolong orang-orang dalam memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan masalah sosial dimana pelayanan
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan bukan atas dasar ketertarikan sendiri (self-interest). Pekerja sosial menggunakan pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan untuk menolong orang lain dalam memenuhi dan mengatasi masalah-masalah sosial. Pekerja sosial disemangati untuk menggunakan ketrampilan profesional tanpa mengharapkan imbalan (pro bono service). Nilai pelayanan ini mencerminkan nilai kreatif yang terlihat dari kegiatan yang dilakukan
yaitu menolong memenuhi kebutuhan klien, memulihkan,
memelihara dan meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga dan masyarakat serta menuntut pekerja sosial untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi. b. Keadilan Sosial (Social Justice) Pekerja sosial mengejar perubahan sosial, terutama pada individu atau kelompok yang dihina dan terhimpit. Pekerja sosial mengusahakan perubahan sosial yang fokus utamanya pada masalah kemiskinan, pengangguran, diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan sosial. Kegiatan-kegiatan ini untuk meningkatkan sensitifitas dan pengetahuan tentang tekanan, budaya dan perbedaan etnik. Pekerja sosial berusaha untuk memastikan adanya akses pada informasi, pelayanan dan sumber-sumber yang dibutuhkan; memiliki kesempatan yang sama; dan partisipasi yang bermakna dalam membuat keputusan pada semua orang. Nilai keadilan sosial merupakan cerminan dari nilai kreatif dimana pekerja sosial berusaha mengusahakan terjadinya perubahan sosial dan memastikan adanya akses informasi dan pelayanan terhadap semua pengguna jasa atau klien
Universitas Sumatera Utara
c. Martabat dan Keberhargaan manusia (Dignity and Worth of the Person) Pekerja sosial menghormati kelekatan antara martabat dan keberhargaan manusia. Pekerja sosial memperlakukan setiap orang dengan penuh perhatian dan rasa hormat, menyadari perbedaan individu, budaya dan etnik. Pekerja sosial meningkatkan pertanggungjawaban penentuan diri (self-determining) klien secara sosial dan berusaha untuk meningkatkan kapasitas dan kesempatan bagi klien untuk berubah dan untuk menyalurkan kebutuhan mereka. Pekerja sosial menyadari tanggung jawab ganda mereka kepada klien dan masyarakat yang lebih luas. Mereka mengatasi konflik antara minat klien dan minat masyarakat dengan nilai, prinsip, etika profesi. Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu menyadari tanggung jawabnya sebagai pekerja sosial. Nilai ini juga mencermikan nilai bersikap yaitu memperlakukan semua orang terutama klien dengan penuh perhatian dan rasa hormat. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai kreatif yaitu meningkatkan kapasitas serta kesempatan bagi klien untuk berubah serta mengatasi konflik yang terjadi. d. Pentingnya Hubungan Antara Manusia (Importance of Human Relationships) Pekerja sosial mengetahui pentingnya hubungan anatara manusia. Pekerja sosial mengerti bahwa hubungan antara dan pada manusia merupakan sarana penting untuk melakukan perubahan. Pekerja sosial memperlakukan orangorang sebagai rekan (partner) pada proses pertolongan. Pekerja sosial berusaha untuk menguatkan hubungan diantara orang-orang dengan tujuan untuk
Universitas Sumatera Utara
mempromosikan, merestorasi, memelihara dan meningkatkan kesejahteraan individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi dan komunitas-komunitas Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu mengetahui serta mengerti bahwa hubungan manusia itu penting dan merupakan sarana penting untuk melakukan perubahan. Nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu memperlakukan orang-orang sebagai rekan dalam proses pertolongan. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai kreatif yaitu berusaha menguatkan hubungan diantara individu, keluarga, kelompok sosial, organisasi dan komunitas.
e. Integritas (Integrity) Pekerja sosial berperilaku dengan cara yang dapat dipercayai. Pekerja sosial secara terus menerus menyadari misi, nilai, prinsip, standar etika dan praktek profesi pada klien. Pekerja sosial berlaku jujur, bertanggung jawab dan meningkatkan etika praktek sesuai organisasi dimana ia berafiliasi. Nilai ini mencerminkan nilai penghayatan yaitu secara terus menyadari misi, nilai, prinsip, standar etika dan praktik profesi pada klien. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu berlaku jujur, bertanggung jawab serta meningkatkan etika sesuai organisasi tempat berafiliasi. f. Kompetensi (Competence) Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan seseorang ketika melakukan sesuatu. Hal inilah yang dituntut dari seorang pekerja sosial dimana mereka harus melakukan praktek pekerjaan sosial sesuai area
Universitas Sumatera Utara
kompetensinya dan secara terus menerus berjuang untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan profesionalnya serta pengaplikasian dalam praktek. Pekerja sosial harus menerima tanggung jawab atau pekerjaan hanya atas dasar kompetensi yang diperlukan atau dibutuhkan. Kompetensi merupakan cerminan dari nilai kreatif yaitu melakukan pekerjaan sosial sesuai area kompetensinya dan berjuang utnuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan pengaplikasian dalam praktek. Selain itu, nilai ini juga mencerminkan nilai bersikap yaitu menerima suatu tanggung jawab pekerjaan yang sesuai kompetensinya.
II. B. 3. Peran Pekerja Sosial Menurut Zastrow (dalam Isbandi, 1994), setidak-tidaknya ada tujuh peran pekerja sosial yaitu: a. Enabler Sebagai enabler seorang pekerja sosial membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka; mengidentifikasikan masalah mereka; dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Peran sebagai enabler ini adalah peran klasik dari seorang community worker ataupun community organizer. Fokusnya adalah help people (organize) to help themselves. Ada empat fungsi utama seorang community worker yaitu (a) membantu masyarakat menyadari dan melihat kondisi mereka; (b) membangkitkan dan
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan relasi interpersonal yang baik; (d) memfasilitasi perencanaan yang efektif. b. Broker Peranan seorang broker (pialang) berperan dalam menghubungkan individu ataupun kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan masyarakat (community services) yang tidak tahu di mana dan bagaimana mendapatkan bantuan tersebut. Broker dapat juga dikatakan menjalankan peran mediator yang menghubungkan pihak yang satu (klien) dengan pemilik sumber daya.
c. Expert Dalam kaitan peranan seorang community worker sebagai tenaga ahli di mana ia lebih banyak memberikan saran dan dukungan informasi dalam berbagai area. Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan bukanlah mutlak harus dijalankan masyarakat, tetapi usulan dan saran tersebut lebih merupakan sebagai masukan gagasan untuk bahan pertimbangan masyarakat ataupun organisasi dalam masyarakat tersebut. d. Social Planner Seorang perencana sosial mengumpulkan data mengenai masalahmasalah sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut; menganalisanya; dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut. Setelah itu, perencana sosial mengembangkan program, mencoba mencari
Universitas Sumatera Utara
alternatif sumber pendanaan dan pengembangan konsensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan. Peran expert dan social planner saling tumpang tindih. Seorang expert lebih memfokuskan pada pemberian usulan dan saran, sedangkan perencana sosial lebih memfokuskan tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pengimplementasian program. e. Advocate Peran sebagai advokat dalam pengorganisasian masyarakat dicangkok dari profesi hukum. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah (directive) di mana community worker menjalankan fungsi sebagai advokat (advocacy) yang mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan ataupun layanan tersebut tidak memperdulikan (bersifat negatif ataupun menolak tuntutan warga). Peran advokasi, misalnya saja dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah yang menyampaikan tuntutan pada pemerintah agar pemerintah menyediakan ganti rugi yang memadai bagi mereka yang tergusur, atau pemerintah meringankan biaya pendidikan dan lain sebgainya. f. Activist sebagai activist, seorang community worker melakukan perubahan institutional yang lebih mendasar dan seringkali tujuannya adalah pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok yang kurang mendapatkan keuntungan. Seorang activist biasanya memperhatikan isu-isu tertentu seperti ketidaksesuaian dengan hukum yang berlaku, ketidakadilan dan perampasan hak.
Universitas Sumatera Utara
Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada. Taktik yang biasa mereka lakukan adalah melalui konflik, konfrontasi dan negosiasi. Serupa dengan peran advokat, seorang activist juga menjalankan peran partisan. Hal ini dilakukan karena kelompok tersebut dianggap sebagai korban dari struktur yang berkuasa. g. Educator Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, pekerja sosial diharapkan mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja sosial harus mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi mengenai beberapa hal tertentu sesuai dengan bidang yang ditanganinya. BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang dimaksudkan untuk melihat bagaimana gambaran sumber makna hidup pada pekerja sosial berdasarkan nilai-nilai utama pekerjaan sosial. Menurut Azwar (2001) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Dalam penelitian
Universitas Sumatera Utara