BAB II LANDASAN TEORI
II.1 Keuangan Daerah II.1.1 Pengertian Keuangan Daerah Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah (pasal 1 butir 5 PP No.58 Tahun 2005). Dalam pengertian keuangan daerah yang dikutip oleh Basuki (2008) dari PP No. 58 Tahun 2005 tersebut, Keuangan daerah melingkupi : 1. Hak daerah untuk melakukan pemungutan terhadap pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman. 2. Kewajiban daerah untuk mengadakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan kepada pihak ketiga. 3. Penerimaan daerah. 4. Pengeluaran daerah. 5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah. 6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dan atau kepentingan umum. (h. 14) Pengertian dan ruang lingkup keuangan daerah mempunyai arti yang cukup penting mengingat istilah dan pengertian keuangan daerah ini terdapat di 7
berbagai peraturan perundang-undangan yang kadang-kadang menjadi bahan perdebatan apakah suatu keadaan atau permasalahan termasuk lingkup keuangan daerah atau tidak.
II.1.2 Organisasi Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Basuki (2008), “Organisasi keuangan daerah terdiri dari : 1. Pemegang kekuasaan pengelola keuangan yakni kepala daerah selaku kepala Pemerintah Daerah 2. Koordinator pengelolaan keuangan daerah, dijabat oleh Sekretaris Daerah. 3. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, dijabat oleh Kepala Badan Pengelolaan Keuangan (asset) daerah atau biro atau bagian keuangan PPKD ini juga melaksanakan fungsi sebagai bendahara umum. 4. Pejabat pengguna anggaran atau pengguna barang daerah, dijabat oleh kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada setiap SKPD terdapat : a. Kuasa penggunaan anggaran. b. Pejabat pelaksana teknis kegiatan SKPD. c. Pejabat penatausahaan keuangan SKPD. d. Bendahara pengeluaran. e. Bendahara penerimaan SKPD yang juga mengelola anggaran pendapatan daerah.” (h. 26)
8
II.1.3 Tugas dan Wewenang Menurut Basuki (2008), “Tugas dan wewenang pengelolaan keuangan daerah adalah :
1. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah memegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, dengan wewenang sebagai berikut : a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD. b. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah. c. Menetapkan kuasa pengguna anggaran atau barang. d. Menetapkan bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran. 2. Koordinator pengelolaan keuangan daerah Koordinator pengelolaan keuangan daerah mempunyai tugas koordinasi sebagai berikut: a. Koordinasi dibidang penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD dan pengelolaan barang daerah b. Penyusunan rancangan APBD dan perubahan APBD. c. Perubahan APBD. d. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. 3. Pejabat pengelola keuangan daerah
PPKD mempunyai tugas : a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah. 9
b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD. c. Menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggung jawaban pelaksanaan APBD. d. Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang daerah
Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut : a. Menyusun rencana kerja anggaran SKPD b. Menyusun dokumen pelaksanaan c. Mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya. d. Pengadaan barang milik daerah
Pengadaan barang pada umumnya dapat dipenuhi dengan cara : a. Menggunakan penyedia barang/jasa (diborongkan pada rekanan) b. Membuat sendiri (swakelola) c. Penerimaan (hibah atau bantuan) d. Tukan menukar e. Guna susun.” (h. 27) Berdasarkan Basuki (2008) dalam Perpres No.85 Tahun 2006, pengadaan barang atau jasa (tender) melalui beberapa metode yaitu : 1. Pelelangan umum, adalah suatu metode pemilihan penyedia barang atau jasa yang dilakukan secara terbuka dengan melakukan pengumuman atau informasi secara luas melalui surat kabar nasional atau surat kabar propinsi serta diupayakan pula melalui website pengadaan nasional. 10
2. Pelelangan terbatas, yaitu pelelangan yang dilakukan dimana hanya sedikit jumlah penyedia barang atau jasa yang mampu melakukannya yaitu untuk pekerjaan yang kompleks dan pelelangan ini diumumkan secara luas sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional atau melalui website pengadaan. Dalam pengumuman ini, dicantumkan informasi mengenai para penyedia barang atau jasa yang mampu sehingga memberikan kesempatan bagi vendor lain untuk mengikuti pelelangan. 3. Pemilihan langsung, yaitu metode pemilihan penyedia barang atau jasa yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak - banyaknya penawaran, sekurang-kuranganya 3 penawaran dari penyedia barang atau jasa yang telah lulus pra kualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet.Hal ini dilakukan jika metode pelelangan umum atau pelelangan terbatas tidak efisien dari segi biaya pelelangan, atau dapat dilakukan bila harga barang/jasa yang diadakan diatas Rp 50juta hingga Rp 100juta. 4. Penunjukan langsung, yaitu melakukan penunjukan langsung terhadap 1 penyedia barang atau jasa dengan cara melakukan negosiasi dan memperhatikan segi teknis ataupun biaya sehingga memperoleh harga yang murah atau sesuai dengan harga pasar sehingga tidak merugikan pihak pengada tender. Pelelangan dengan cara ini dapat dilakukan apabila ada dalam keadaan tertentu atau 11
keadaan darurat dimana dibutuhkan sesegera mungkin barang atau jasa tersebut. (h. 191)
II.1.4 Pendanaan keadaan darurat Mengacu kepada pandangan Basuki (2008), sesuatu keadaan dapat dinyatakan sebagai keadaan darurat jika memiliki beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Suatu kegiatan yang tidak biasa dan tidak dapat diprediksi akan terjadinya hal tersebut. 2. Keadaan tersebut tidak diharapakan terjadi lagi. 3. Berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah. 4. Mempunyai efek yang luar biasa terhadap kegiatan pemerintah. (h 119) Dalam keadaan darurat pemerintah daerah dapat menempuh cara-cara seperti melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, tetapi bukan bersumber dari Dana Penerimaan Perlakuan Khusus bagian kabupaten atau kota yang
tertuang
dalam
Surat
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
451/KMK.07/2001 dikarenakan dana tersebut untuk membiayai pembelanjaan pegawai dan non pegawai. Tetapi dana tersebut dapat diusulkan pada rancangan perubahan APBD dimana pengeluaran ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan daerah tentang APBD. Berdasarkan Basuki (2008), kriteria keperluan mendesak mencakup: a. Program dan kegiatan pelayanan dasar masyarakat yang anggarannya belum tersedia dalam tahun anggaran belanja berjalan; dan b. Keperluan yang dapat merugikan pemerintah daerah dan masyarakat apabila 12
ditunda. c. Dapat menggunakan belanja tidak terduga jika belum tersedianya dana untuk keadaan darurat. Apabila dalam hal belanja tak terduga tidak mencukupi dalam pendanaannya, maka dapat dilakukan dengan cara : 1. Menggunakan dana yang diperoleh dari penjadwalan ulang capaian target kinerja program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berjalan. 2. Memanfaatkan uang kas yang tersedia. Dalam hal keadaan darurat terjadi setelah ditetapkannya perubahan APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, dan pengeluaran tersebut disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Pelaksanaan pengeluaran untuk mendanai kegiatan dalam keadaan darurat termasuk belanja untuk keperluan mendesak terlebih dahulu ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. (h.191)
II.1.5 Anggaran kas Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan APBD dalam hal pelaksanaan belanja daerah, maka perlu diadakan sebuah sarana pengatur kas daerah agar tidak terjadi kesalahan atau penyalahgunaan dana dalam pembiayaan kebutuhan daerah. Oleh karena itu dibutuhkan anggaran kas yang merupakan sarana untuk menjamin ketersediaan dana yang cukup dalam kas daerah untuk membiayai pelaksanaan daerah. Anggaran kas diperlukan mengingat penerimaan kas yang bersumber dari pendapatan daerah tidak selalu dapat diharapkan terjadi awal tahun anggaran dan penerimaan kas pendapatan tidak sama besarnya setiap bulan atau setiap triwulan. 13
Menurut Basuki (2008), Anggaran kas merupakan sebuah data keuangan yang telah disusun secara teknis dalam periode tertentu untuk memperkirakan kemampuan pemenuhan target penerimaan atau pendapatan daerah dan pengeluaran atau belanja daerah agar terdapat ketersediaan dana untuk memenuhi kebutuhan daerah. Anggaran kas disusun oleh PPKD (Pejabat pengelola Keuangan Daerah) berdasarkan DPA-SKPD yang disahkan memuat perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan kas keluar yang digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.
II.2
Pengertian Kecurangan Berikut ini dikutip beberapa pengertian kecurangan dari berbagai literatur: Pengertian kecurangan menurut Comer (1998) adalah sebagai berikut: Fraud is any behavior by which one person gains or intends to gain a dishonest advantage over another. A crime is an intentional act that violates the criminal under which no legal excuse applies and where there is a state to codify such laws and endorce penalties in respons to their breach. The distinction is important. Not all frauds are crime and the majority of crimes are not frauds. Companies lose through frauds, but the police and other enforcement bodies can take action only against crimes. (h. 9)
Sedangkan Bologna, Lindquist dan Wells (1991) memberikan pengertian sebagai berikut : “Fraud is criminal deception intendd to financially benefit deceiver.” (h. 3) Kriminal bukan digunakan secara ketat dalam arti hukum. Kriminal berarti setiap tindakan kesalahan yang serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dengan demikian, meskipun seorang pelaku kecurangan dapat menghindari penuntutan kriminal secara berhasil, tindakan mereka tetap dipertimbangkan 14
criminal. Yang menjadi sasaran kecurangan pada umunya adalah dunia bisnis dimana dalam dunia usaha ini banyak terjadi kecurangan, penyelewengan dan pemborosan yang merugikan pihak negara/daerah. Mengacu pada pendapat Tuanakotta (2007), kecurangan dibagi dengan 3 cara, yaitu : 1. Corruption adalah dimana kecurangan yang terjadi dengan melakukan penggelapan sejumlah uang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan bekerjasama oleh pihak lain. 2. Asset Missapproriation, dimana terjadi penggelapan atau penjarahan aset perusahaan untuk memperkaya diri sendiri. 3. Fraudelent statements adalah pihak manajemen melakukan kecurangan atas laporan yang dibuatnya dengan memperbagus angka-angka akun tertentu agar terlihat menarik. (h. 96) Berdasarkan Amin (2008), kecurangan terjadi dalam 3 langkah yaitu pencurian yang dilakukan merupakan suatu tindakan (the act) kecurangan yang merugikan perusahaan,lalu menyembunyikan (the concealment) kecurangan tersebut dengan membuat transaksi fiktif agar tak terdeteksi dan yang terakhir, pelaku akan melakukan konversi (the conversion) untuk menghilangkan jejak dengan memakai sendiri atau menjual persediaan itu.
15
Gambar II.2 Bagan fraud Tree (Sumber : Theodorus T.M, Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, 2007)
16
Berdasarkan Simanjuntak (2008), kecurangan dapat terjadi karena adanya 4 faktor pendorong yang memotivasi atau memicu sehinga terjadinya kecurangan tersebut, yaitu: 1. Tekanan (Pressure), yang merupakan motivasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan fraud. Faktor ini disebabkan kondisi ekonomi seseorang yang mengalami tekanan terhadap kebutuhan hidupnya karena makin tingginya harga kebutuhan sehari-hari, sehingga membuatnya terdorong untuk melakukan fraud dalam mencukupi kehidupannya. 2. Peluang (Opportunity), yaitu suatu kesempatan yang dimiliki seseorang untuk melakukan atau menutupi tindakan fraud. Ini dikarenakan seseorang tersebut
memiliki
wewenang
dan
otorisasi
yang
tinggi
sehingga
menimbulkan hasrat untuk melakukan kecurangan. 3. Rasionalisasi (Rationalization), bagaimana seseorang tersebut memikirkan dan berusaha mencari cara untuk melakukan kecurangan agar tidak diketahui oleh orang atau pihak lain. 4. Keserakahan (Greed), dimana seseorang ingin memiliki dan memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. Karena keempat hal diatas, tindak pidana korupsi terjadi walaupun awalnya mereka tidak memiliki moral bobrok seperti itu. Terkadang, manusia yang awalnya memiliki moral yang sangat bagus dapat tergiur dan melakukan tindak pidana korupsi tersebut karena adanya peluang dan kesempatan untuk mereka. Dalam melakukan tindak korupsi ini, perpetrator tidak menjalaninya sendiri, tetapi mereka memiliki modus – modus tertentu unttuk mengajak pihak lain agar kejahatan yang dilakukannya dapat berjalan dengan baik. Oleh karena 17
itu, kita harus dapat mengerti akan modus yang dilakukan oleh para koruptor sehingga tidak ikut terbawa dalam kejahatan tersebut. Berikut adalah jenis modus kejahatan korupsi yang terjadi pada lembaga negara atau pemerintahan menurut intervansir KPK yang dikutip oleh anwariansyah dalam situs wikimu : 1. Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk kepala daerah mengintervensi proses penagadaan barang atau jasa dalam rangka memenangkan pengusaha tertentu dan meninggikan harga ataupun nilai kontrak. 2. Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervensi proses pengadaan barang atau jasa agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (di-mark up). 3. Panitia pengadaan yang dibentuk Pemda membuat sepesifikasi barang yang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak. 4. Kepala daerah ataupun pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif. 5. Kepala daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana untuk kepentingan pribadi si pejabat yang bersangkutan atau kelompok tertentu kemudian membuat pertanggungjawaban fiktif. 6. Kepala daerah menerbitkan Perda sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundangan yang lebih tinggi,
18
namun sudah tidak berlaku lagi. 7. Pengusaha, pejabat eksekutif dan DPRD membuat kesepakatan melakukan ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan menurunkan (mark down) harga aset Pemda, serta meninggikan harga aset milik pengusaha. 8. Kepala daerah meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek. 9. Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan. 10. Kepala daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat atau bendahara yang ditunjuk). Maksudnya, untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur. 11. Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro / tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank. 12. Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. 13. Kepala daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses perijinan yang dikeluarkannya. 14. Kepala daerah, keluarga ataupun kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke pemda dengan harga yang sudah di-mark up. 15. Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya 19
menggunakan anggaran daerah. 16. Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban pada anggaran dengan alasan pengurusasn DAK (Dana Alokasi Khusus) atau DAU (Dana Alokasi Umum). 17. Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD. 18. Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah.
II.2.1 Korupsi Meningkatnya tindak pidana korupsi baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang begitu rapi telah menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia, hal ini terlihat dari peringkat Indonesia dalam ICW yang berada dalam peringkat ke 130 pada tahun 2008 dengan point 2,6. Walaupun peringkat ini lebih baik dari tahun 2004 yang dimana Indonesia menduduki posisi 20 besar negara terkorup dengan point 2,0. Dalam ilmu akuntansi, korupsi merupakan bagian dari kecurangan (Fraud) namun secara sehari - hari istilah korupsi lebih terkenal dibandingkan kecurangan. Untuk
mengatasi korupsi ini, pemerintah telah
membuat undang – undang khusus mengenai tindak pidana korupsi yaitu tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang didalamnya terdapat pasal – pasal yang berisi tentang peraturan pemerintah dalam memberikan penjelasan akan tindakan korupsi oleh para koruptor.
20
Peraturan tentang korupsi ini tercantum pada KUHP Undang – Undang no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan menjelaskan pengertian korupsi adalah : •
Pasal 2 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.. (Pasal 2)
•
Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan Negara atau … (Pasal 3) Korupsi biasanya dilakukan oleh eksekutif, manajer, pemimpin atau
karyawan dari suatu organisasi yang melakukan kolusi dengan pihak luar. Mengacu pada pengidentifikasian korupsi menurut Suradi (2006), korupsi dibagi menjadi 4 jenis, yaitu : 1. Penyuapan (Bribery) Penyuapan mencakup penawaran, pemberian, penerimaan, atau permintaan sesuatu yang berharga kepada seseorang yang dibutuhkan dengan tujuan untuk mempengaruhi (to influence) orang tersebut dalam memberikan keputusan yang akan diambil oleh pemegang otoritas,baik di sector pemerintah maupun di sector swasta dan menguntungkan pihak pemberi suap.
21
2. Uang pemberian secara illegal (illegal gratuities) Uang
pemberian
secara
illegal
mencakup
pemberian,
penerimaan,
penawaran, atau permintan suatu yang berharga karena pemegang otoritas telah melakukan tindakan sesuai yang dikehendaki oleh pihak lain. Hal ini mirip dengan penyuapan, tetapi pemberian uang dilakukan setelah tindakan dilakukan. 3. Konflik kepentingan (conflict of interest) Setiap pembeli kerja menghendaki agar karyawannya melaksanakan pekerjaan dengan cara yang telah ditentukan untuk kepentingan pemberi kerja. Konflik kepentingan terjadi ketika seorang karyawan melaksanakan suatu pekerjaan atas nama pihak ketiga, padahal yang bersangkutan sedang bekerja diperusahaan atau memiliki kepentingan pribadi yang dikerjakan. Ketika karyawan memiliki konflik kepentingan dan tidak diketahui oleh pemberi kerja dan menimbulkan kecurangan berupa kerugian keuangan. 4. Pemerasan ekonomi (economic extortion) yaitu menggunakan ancaman atau kekuatan (mencakup sangsi ekonomi) yang dilakukan baik oleh individu maupun organisasi untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang bernilai dapat berupa uang, asset yang bersifat ekonomi, informasi, atau kerjasama untuk mendapatkan suatu keputusan yang menguntungkan baginya.
22
Jenis kecurangan
Korban kecurangan oleh Majikan
Pelaku kecurangan
Kecurangan karyawan (employee embezzlement)
Karyawan
Penjelasan
Karyawan mencuri harta milik majikannya baik secar langsung ataupun tidak. Kecurangan oleh Pemegang saham Manajemen puncak Manajemen manajemen Kreditor (top management) menyajikan (Management Pihak lain laporan yang salah. fraud) pengguna lap. Keuangan Penipuan investasi Para investor Individu Individu menipu (investment scams) investo dengan membawa lari uang investasi. Kecurangan oleh Organisasi yang Organisasi atau Penjual menaikkan vendor membeli barang individu yang harga. (vendor fraud) atau jasa menjual barang Tidak mengirimkan barang. Kecurangan oleh Organisasi yang Konsumen Konsumen tidak konsumen menjual barang membayar uang atau jasa tagihannya.
Table II.2.1 Jenis, korban, dan pelaku kecurangan (Sumber : Suradi SE, Korupsi Sektor Pemerintahan & swasta, 2006)
II.3
Auditing
II.3.1 Pengertian Auditing Untuk memahami apa yang dimaksud dengan audit investigatif, perlu terlebih dahulu memahami pengertian mengenai auditing. Beberapa pengertian mengenai pemeriksaan (auditing) yang dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut :
23
Robertson dan Louwers (1999) menyatakan, “Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions abuot ecenomic actions and event to ascertain the degree of correspondence between the assertions and established criteria and communcatinng the result to interested ushers”. (h. 4) Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania, dan Budi (2002) mendefinisikan auditing sebagai “Suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.” Menurut Susilo, W (2002), audit adalah kegiatan mengumpulkan informasi faktual dan signifikan melalui interaksi (pemeriksaan, pengukuran dan penilaian
serta
penarikan
kesimpulan)
secara
sistematis,
objektif
dan
terdokumentasi yang berorientasi azas nilai manfaat. Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan (auditing) merupakan suatu proses sistematik untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bahan bukti yang berhubungan dengan suatu entitas ekonomi tertentu yang bertujuan untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi yang dikumpulkan dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
24
GENERAL AUDIT
INVESTIGATIF AUDIT
Audit dilakukan secara berulang kali secara Pemeriksaan tidak berulang dan teratur. dilakukan setelah ada cukup indikasi. Lingkup audit adalah terhadap laporan Fraud lebih diarahkan kepada tuduhan, sangkaan dan dugaan yang spesifik. keuangan perusahaan. Tujuan audit untuk memperoleh opini dari Tujuan audit untuk memastikan bahwa fraud benar-benar terjadi dan siapa yang auditor atas kewajaran laporan keuangan. bertanggungjawab. Sifat pekerjaan audit tidak bermusuhan.
Audit terutama dilakukan pemeriksaan data keuangan.
Sifat pekerjaanya bermusuhan karena harus memutuskan siapa yang bersalah.
dengan Fraud dilakukan dengan memeriksa dokumen, telaah data ekstern dan wawancara.
Auditor melakukan tugasnya profesional skeptism.
dengan Pemeriksa fraud berusaha mengumpulkan bukti untuk mendukung atau membantah dugaan, tuduhan atau sangkaan terhadap fraud. Tabel II.3.1 Perbedaan General Audit dengan Audit Investigatif (Sumber : Aren & Lobbecks (Edisi Indoneia), 2006)
II.3.2 Audit investigative Audit investigatif adalah suatu bidang audit yang berhubungan dengan kecurangan-kecurangan (fraud) yang terjadi pada dunia bisnis perusahaan atau pun pemerintahan. Hal ini dilakukan untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan yang sedang terjadi ataupun yang akan terjadi pada lembaga pemerintahan negara sehingga bisa menekan resiko penggelapan atas asset negara ataupun perusahaan. Audit investigatif merupakan gabungan antara disiplin ilmu hukum dan audit yang baru berkembang diawal abad 20 karena merebaknya kejahatan kerah putih (white collar crime) di lingkungan pemerintahan. Kegunaan masing – 25
masing disiplin ilmu adalah, dalam mengadakan suatu audit, tentu dibutuhkan disiplin ilmu akuntansi untuk melakukan suatu perhitungan terhadap harta yang dimiliki suatu perusahaan dan untuk mengetahui mengenai sebuah laporan keuangan apakah telah terjadi suatu kecurangan atau tidak. Sedangkan dalam disiplin ilmu hukum dibutuhkan untuk melanjutkan penemuan kecurangan ke pengadilan untuk diproses secara hukum agar pelaku kejahatan dihukum dengan setimpal dan mengembalikan harta korupsi yang telah diambil atau dimiliki tersebut ke pihak yang dirugikan. Karakteristik yang dimiliki oleh auditor investigasi pun tidak jauh berbeda dengan auditor pada umunya yaitu harus kreatif, rasa ingin tahu yang tinggi, pantang menyerah, memiliki akal sehat dan percaya diri. Tetapi memiliki standar yang agak berbeda dengan audit pada umunya dimana audit investigasi menjunjung tinggi hak-hak asasi. Dalam uatu investigasi dapat di mulai apabila ada dasar yang layak, yang dalam investigasi dikenal sebagai predication. Menurut Tuanakotta (2007) pengertian predication adalah “Keseluruhan dari peristiwa,keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang membawa seseorang yang cukup terlatih dan berpengalaman dengan kehati – hatian yang memadai, kepada kesimpulan bahwa fraud telah, sedang atau akan berlangsung.” (h. 210) Dengan landasan atau dasar ini, seorang investigator mereka-reka mengenai apa, bagaimana, siapa dan pertanyaan lain yang di duganya relevan dengan pengungkapan kasusnya. Investigasi secara sederhana dapat di definisikan sebagai upaya pembuktian. Umumnya pembuktian ini berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum (acara) yang berlaku. 26
II.3.3 Investigasi Pengadaan Pengadaan merupakan salah satu sumber dimana sering terjadi kasus korupsi dalam sektor keuangan baik dari swasta maupun pemerintahan, dikarenakan lebih mudahnya untuk dilakukan marked up. Dengan wewenang atau otorisasi dari pimpinan pengadaan tender barang, para pengada tender dapat memainkan harga sesuka hati sehingga dapat menimbulkan kerugian dimana membuat anggaran yang telah dianggarkan menjadi membengkak karena pengada tender lebih memilih harga yang mahal agar mendapatkan keuntungan pribadi. Dalam mengadakan tender, terdapa beberapa tahapan dan para investigator (auditor) harus dapat memahami gejala – gejala kecurangan yang mungkin akan terjadi pada setiap tahapan – tahapan tersebut. Mengacu pada pendapat Tuanakotta (2007), Tahapan dalam pengadaan tender terbagi menjadi 3 tahapan, yaitu : 1. Tahapan pra tender (presolicitation phase) Dalam tahapan ini, perusahaan yang mengadakan tender akan memilih perusahaan yang layak untuk dijadikan klien dengan memperhatikan kriteria seperti pemahaman mengenai perusahaan yang akan dijadikan klien, harga yang ditawarkan dan mengenai spek yang dibutuhkan. Biasanya, tanda – tanda (redflags) yang terjadi pada tahapan ini adalah pemberian informasi oleh orang dalam ke salah satu klien yang mengikuti tender sehingga menguntungkan pihak klien tersebut dalam pembuatan spek barang yang dibutuhkan karena sudah diberitahukan terlebih dahulu. 2. Tahap Penawaran (solicitation and negotiation phase) Pada tahapan ini, antara pengada tender dan pengikut tender mengadakan 27
penawaran harga yang cocok untuk dipilih dan dijadikan klien. Semua klien pada tahapan ini berlomba – lomba memberikan spek dan harga terbaiknya agar dapat dipilih dan dijadikan klien. Tetapi sebenarnya, dibalik itu semua sudah ada permainan antara pengada tender dengan mereka para kontraktor yang akan dipilih nantinya sebagai klien. Pengadaan tender ini hanyalah formalitas semata untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, padahal dibalik itu semua telah terjadi persengkokolan. Hal ini dapat diketahui dari para peserta tender yang msh dapat memberikan dokumen lewat dari batas waktu yang telah ditentukan. Bahkan para pengikut tender yang lain hanyalah perusahaan fiktif atau tidak pernah ada. Selain itu, telah terjadi suap antara pengada tender
dengan pemasok yang akan dipilih sehingga harga yang ada
sangatlah tinggi karena telah di mark up sebelumnya. Tentu hal ini telah menyalahi aturan dan harus membuat auditor jeli akan proses yang terjadi dalam pengadaan negosisasi ini. 3. Tahap pelaksanaan dan penyelesaian administratif (performance and administration phase) Ini adalah tahap akhir dari pengadaan tender dan pada tahap ini kecurangan – kecuranga akan banyak terjadi karena pada tahap ini peusahaan yang dipilih sudah di approve pemenang
tender
sehingga
pemasok
dan telah pasti menjadi bebas
untuk
melakukan
keinginannya. Kecurangan yang terjadi pada tahap ini adalah perubahan order pembelian yang telah dilakukan dimana pihak pemasok melakukan pengiriman barang yang mutunya tidak sesuai dengan spek atau dibawah 28
Gambar II.3.3 Bagan skema fraud (kickback) (Sumber : Theodorus T.M, Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, 2006)
standar mutu. Oleh karena itu, auditor harus melakukan pengecekan terhadap surat irder dan barang yang telah dikirim untuk memastikan kalau barang yang dipesan benar – benar telah sesuai denga spek dan harganya pun tidaklah tinggi atau telah di mark up. (h. 294) 29
II.3.4 Aksioma dalam investigasi Menurut Tuanakotta (2007) menyatakan bahwa “aksioma adalah asumsi dasar yang begitu gamblangnya sehingga tidak memerlukan pembuktian mengenai kebenarannya.” (h. 208) Selain itu, Tuanakotta (2007) juga menyatakan bahwa, “Terdapat 3 aksioma dalam investigatif yaitu : 1. Fraud selalu tersembunyi Sifat perbuatan fraud adalah tersembunyi atau mengandung tipuan (yang terlihat di permukaan bukanlah yang sebenarnya terjadi atau berlangsung). 2. Pembuktian fraud secara timbal balik. Pembuktian ada atau telah terjadinya fraud meliputi upaya untuk membuktikan fraud itu tidak terjadi. Dan sebaliknya, untuk membuktikan fraud tidak terjadi, kita harus berupaya membuktikan fraud itu terjadi. Harus ada upaya pembuktian timbal balik atau reverse proof. Kedua sisi fraud (terjadi dan tidak terjadi) harus di periksa. Dalam hukum Amerika Serikat, “proof of fraud must preclude any explanation other than guilt” artinya pembuktian fraud harus mengabaikan setiap penjelasan, kecuali pengakuan kesalahan. 3. Hanya pengadilan yang menetapkan bahwa fraud memang terjadi Pemeriksa fraud berupaya membuktikan fraud terjadi. Hany pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan hal itu. Di Amerika Serikat wewenang itu ada pada pengadilan (majelis hakim).” (h. 208) Di atas dikatakan pemeriksa fraud harus menolak memberikan pernyataan bahwa hasil pemeriksaannya membuktikan tidak ada fraud. Di sini harus 30
pemeriksa fraud harus menolak memberikan pernyataan bahwa pemeriksaanya membuktikan adanya fraud. Dalam upaya menyelidiki adanya fraud, pemeriksa membuat dugaan mengenai apakah seseorang bersalah dugaan atau bagian dari “teori”, sampai pengadilan memberikan keputusannya.
II.3.5 Metodelogi Audit Kecurangan Setiap pemeriksaan kecurangan di mulai dengan dalil bahwa semua kasus akan berakhir dalam litigasi, yaitu persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga.. Untuk mencari jawaban suatu kecurangan tanpa bukti yang lengkap, auditor perlu membuat asumsi tertentu. Dalam kasus kecurangan yang rumit, penggunaan teori kecurangan sangat diperlukan. Teori kecurangan mulai dengan asumsi, berdasarkan asumsi, berdasarkan fakta yang di ketahui, tentang apa yang mungkin terjadi. Kemudian asumsi tersebut diuji untuk menentukan apakah asumsi tersebut dapat di buktikan. Menurut Tuanakotta (2007) “Teori kecurangan mencakup: 1. Menganalisis data yang tersedia. 2. Menciptakan suatu hipotesis. 3. Menguji hipiotesis. 5. Memperbaiki dan mengubah hipotesis.” (h. 210)
31
II.4 Pemeriksaan dalam hukum acara pidana Menurut Tuanakotta (2007), “Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No.8 tahun 1981) mengatur tahap-tahap hukum acara pidana sebagai berikut : 1. Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu perbuatan yang dduga merupakan tindak pidana guna menentukan dapat/tidaknya penyidikan dilakukan. 2. Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi untuk menemukan tersangkanya. 3. Prapenuntutan Prapenuntutan adalah tindakan jaksa (penuntut umum) untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. 4. Penuntutan Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum yang melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang, sesuai dengan cara yang diatur dalam hukum acara pidana, dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 32
5. Pemeriksaan di pengadilan Dalam tahap ini, tidak berkenaan lagi dengan pembuktian. Semua bukti-bukti yang telah diperoleh di tingkat penyidikan diperiksa kembali di sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti. Dan alat bukti yang sah terdiri dari : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Keterangan terdakwa e. Petunjuk 6. Putusan pengadilan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah. Kesalah terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim, namun keyakinan itu harus didasarkan atas sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang harus ada persesuaian satu dengan yang lain. 7. Upaya hukum Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi, atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali, atau hak jaksa agung untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dalan hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” (h. 220)
33
II.5 Kewajiban Pelaporan Keuangan dan Pelaksanaan Audit Berdasarkan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Pencatatan dan pelaporan transaksi keuangan merupakan salah satu bentuk akuntabilitas penyelenggara pemerintahan kepada rakyat melalui perwakilannya di lembaga legislatif. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 telah secara tegas dinyatakan bahwa pengelola keuangan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah diwajibkan untuk menyelenggarakan sistem akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya. Sistem akuntansi tersebut digunakan sebagai sarana penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah berdasarkan standar akuntansi pemerintahan yang berlaku. Laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah sekurang-kurangnya meliputi Laporan Realisasi APBN/APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara/daerah dan badan lainnya. Selanjutnya, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran, Presiden selaku kepala pemerintahan di pusat dan
Gubernur/Bupati/Walikota
selaku
kepala
pemerintahan
di
daerah
menyampaikan laporan keuangan pemerintah pusat/daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan
Pemeriksa
Keuangan
selaku
auditor
eksternal
pemerintah
melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah tersebut berdasarkan standar pemeriksaan yang berlaku. Jangka waktu pelaksanaan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah oleh BPK ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 harus diselesaikan paling lama dalam 34
jangka waktu 3 (tiga) bulan. Alasannya, Presiden dan Gubernur/Bupati/Walikota sudah harus menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Padahal, penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat/daerah, meskipun telah menggunakan sistem akuntansi keuangan yang terkomputerisasi, pada umumnya masih memerlukan waktu yang cukup lama sehingga baru diselesaikan dan disampaikan kepada BPK sekitar 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk dapat memenuhi jadwal yang sangat ketat sesuai amanat undang-undang tersebut, yaitu melaksanakan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah praktis dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan tentu saja diperlukan pemanfaatan sumber daya dan dana yang tersedia pada lembaga auditor eksternal secara arif, efektif, dan efisien. Yang menarik untuk didiskusikan di sini adalah apakah BPK selaku auditor eksternal pemerintah sanggup untuk melaksanakan pekerjaan yang maha berat itu dalam waktu yang relatif sangat terbatas? Bagaimana kualitas hasil auditnya nanti dengan kendala seperti itu? Bagaimana pengaruhnya kepada pihak DPR dan masyarakat luas nantinya dalam pengambilan keputusannya jika sampai terjadi pelaksanaan audit yang tidak sesuai dengan standar audit sehingga laporan hasil audit malah menyesatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan terhadap pertanggungjawaban pemerintah tersebut. Meskipun sudah ada kewajiban APIP untuk melaksanakan reviu atas laporan keuangan sebelum disampaikan kepada BPK untuk diaudit, tetapi sampai saat ini, pelaksanaan reviu tersebut ternyata masih belum sepenuhnya dapat 35
meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah. Hal ini terbukti dari masih banyaknya laporan keuangan pemerintah baik di tingkat kementerian maupun di tingkat daerah yang masih mendapatkan opini disclaimer dari BPK. Hal ini merupakan masalah serius yang harus segera dicari alternatif jalan keluarnya sehingga tidak sampai menimbulkan kerugian pada pihak-pihak tertentu yang terkait dengan permasalahan ini. Terdapat dua hal pokok yang diuraikan pada bagian ini untuk meminimalisasi permasalahan yang kemungkinan terjadi dalam audit atas laporan keuangan pemerintah oleh BPK, yaitu pemberdayaan peran dan fungsi audit internal dan sinerji pengawasan di antara sesama Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Dalam penjelasan UU Nomor 15 Tahun 2004 antara lain dinyatakan bahwa untuk mewujudkan perencanaan yang komprehensif, BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan aparat pengawasan intern pemerintah. Dengan demikian, luas pemeriksaan yang akan dilakukan dapat disesuaikan dan difokuskan pada bidangbidang yang secara potensial berdampak pada kewajaran laporan keuangan serta tingkat
efisiensi
konsekuensinya,
dan APIP
efektivitas diwajibkan
pengelolaan untuk
keuangan
menyampaikan
negara.
Sebagai
laporan
hasil
pemeriksaannya kepada BPK. Untuk dapat menghasilkan laporan hasil audit yang dibutuhkan oleh BPK, tentunya diperlukan kejelasan wewenang, peran dan ruang lingkup pekerjaan yang dilaksanakan oleh APIP. Apabila hal ini diabaikan maka besar kemungkinan akan terdapat hasil pekerjaan APIP yang tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan audit oleh BPK. fungsi audit internal yang efektif mencakup reviu yang dilaksanakan secara 36
sistematis, penilaian dan pelaporan atas kehandalan dan efektivitas penerapan sistem manajemen, keuangan, pengendalian operasional dan penganggaran, yang setidak-tidaknya meliputi berbagai aktivitas reviu sebagai berikut: Tingkat relevansi atas kebijakan yang ditetapkan, perencanaan dan prosedur, tingkat kesesuaian antara praktik dengan kebijakan, rencana, dan prosedur yang telah ditetapkan, termasuk implikasinya terhadap aspek keuangan negara. Kehandalan dan keakuratan atas peraturan yang dibuat sebagai penjabaran dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ketepatan mengenai penyusunan struktur organisasi, pengembangan sumber daya manusia (personil), dan supervisi. Reviu terhadap pelaksanaan program dan kegiatan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan dan manfaat atas program dan kegiatan apakah telah selaras dengan tujuan diadakannya program dan kegiatan tersebut. Evaluasi terhadap pertanggungjawaban dan pengamanan atas penggunaan aset dan sumber daya lainnya dari penyalahgunaan wewenang, pemborosan, kelalaian, salah urus, dan lain-lainnya. Reviu terhadap ketepatan, keakuratan, dan kejujuran atas proses pengolahan dan pelaporan informasi keuangan dan manajemen. Penilaian terhadap tingkat keekonomisan dan efisiensi penggunaan sumber daya. Penilaian
terhadap
integritas
sistem
yang
terkomputerisasi
berikut
pengembangan sistemnya, dan Evaluasi terhadap tindak lanjut yang telah dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada periode sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa ruang lingkup pekerjaan audit 37
internal sangat luas dan komprehensif agar dapat menjamin pencapaian tujuan organisasi.
II.6 BAWASDA (Badan Pengawas Daerah) BAWASDA memiliki peranan penting sebagai eksternal auditor terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Peranan yang dilakukan oleh BAWASDA adalah : 1. Membantu gubernur dalam menyiapkan implementasi kebijakan pengawasan nasional di provinsi melalui RAKORWASDA (Rapat Kordinasi Pengawas Daerah). 2. Melakukan pengawasan terhadap pemrintah kabupaten/kotasecara berkala sesuai KPPT. 3. Melakukan pengawasan terhadap tugas – tugas dekonsentrasi sepanjang telah dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah kepada gubernur. 4. Melakukan penanganan atau pemeriksaan kasus yang dilimpahkan oleh pemerintah di lingkungan pemerintah kabupaten atau kota. 5. Melakukan pemeriksaan akhir masa jabatan terhadap bupati atau walikota yang telah berakhir masa jabatannya. 6. Membantu melakukan pengawasan atau pemeriksaan dalam melaksanakan tugas pembantuan dari pemerintah. 7. Melakukan pengawasan terpadu bersama APIP lainnya sesuai MoU terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi. Pandangan BAWASDA atas peran eksternal auditor dalam mendorong akuntanbilitas penyelenggaraan pemerintah daerah yaitu : 38
1. Eksternal auditor berperan secara independen dan satu – satu lembaga Negara (BPK) sesuai undang – undang nomor 15 tahun 2004 yang berhak memeriksa dan menilai dengan cara memberikan opini terhadap laporan keuangan pemerintah daerah sebelum disampaikan kepada DPRD. 2. Eksternal auditor (BPK) membantu pemerintah daerah dalam mengungkapkan kelemahan – kelemahan manajemen pengelolaan keuangan daerah
terhadap
pemeriksaan belanja daerah tiap tahun termasuk mengungkap kerugian keuangan daerah serta melanjutkan dengan audit investigative bila ditemukan unsure tindak pidana korupsi. 3. Membantu DPRD untuk mengawasi tindak lanjut hasil pemeriksaan melalui penyampaian setiap laporan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD sesuai MoU yang telah disepakati.
39