BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Prudential Banking Principles 1. Pengertian Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) Istilah “Prudent” yang dikaitkan dengan fungsi pengawasan bank dan manajemen bank mulai dikenal pada belahan kedua tahun 1980-an. Dalam dunia perbankan istilah itu digunakan untuk “Asas kehatihatian”.Oleh karena itu, di Indonesia muncul istilah “pengawasan bank berdasarkan asas kehati-hatian”. Prudent yang berarti bijaksana atau asas kehati-hatian itu bukanlah istilah baru, namun mengandung konsepsi baru dalam menyikapi secara lebih tegas, rinci, dan efektif atas berbagai risiko yang melekat pada usaha bank. Jadi, prudentmerupakan konsep yang memiliki unsur sikap, prinsip, standar kebijakan, dan teknik dalam manajemen risiko bank yang sedemikian rupa, sehingga dapat menghindari akibat sekecil apa pun, yang dapat membahayakan atau merugikan stakeholder, terutama para depositor dan kreditur. Tujuan yang lebih luas adalah untuk menjaga keamanan, kesehatan, dan kestabilan sistem perbankan. 17
17
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2004),21-22
26
27
2. Dasar Hukum Penerapan Prudential Banking Principles a. Dasar Hukum Prudential Banking di Bidang Operasional Dasar hukum tentang prudential banking principles adalah Undang-undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.10 Tahun 1998, secara eksplisit disebutkan bahwa dalam pasal 2 “ Perbankan
Indonesia
dalam
melakukan
usahanya
berasaskan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip Kehati-hatian”dan dalam pasal 29 ayat 2 yang bunyinya “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kuaitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pasal 2tersirat bahwa bank syariah dalam menjalankan usahanya bersikap hati-hati dengan menggunakan landasan prinsip 5 + 1C yaitu : 1) Karakter (character), artinya bank mencermati dengan sungguhsungguh terkait dengan karakter nasabah 2) Jaminan (collateral), artinya bank dalam memberikan pembiayaan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki peminjam. 3) Kemampuan nasabah (capacity), artinya bank menganalisis kemampuan nasabah dalam menjalankan usahanya.
28
4) Kelayakan (condition), artinya bank memperhatikan kelayakan dan prospek usaha nasabah. 5) Kondisi keuangan dan modal nasabah (capital), artinya bank mencermati
kondisi
keuangan
nasabah
terkait
dengan
kemampuannya dalam melunasi pinjaman yang diterima. 6) Constraint artinya hambatan-hambatan yang mungkin menganggu proses usaha. b. Dasar Hukum Prudential Banking di Bidang Syariah 1) Berkaitan dengan kehati-hatian, pasal 35 UU Perbankan Syariah, menentukan bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Untuk itu perbankan syariah wajib menyampaikan kepada bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan pinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang di atur dengan Peraturan Bank Indonesia. Neraca dan laba rugi tahunan wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan public. Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada public dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia (Pasal 35 ayat 1-4 UU Perbankan Syariah).18
18
Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional (Jakarta: Rajawali Press), 2009.hlm.113
29
2) Sistem mudharabah dalam operasionalnya tidak lepas dari ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan landasan operasionalnya. Fatwa-fatwa DSN yang terkait dalam hal ini adalah Fatwa No.01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, fatwa No.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan, dan fatwa No.03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito. Dalam hal ini Bank Syariah Mandiri adalah bank syariah yang menjalankan konsep mudharabah berlandaskan fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah. 3. Prinsip dalam Pengawasan Bank Berdasarkan pengamatan atas perkembangan kehidupan perbankan yang semakin dinamis dan kompleks, terutama dalam pertengahan 1980. Pada periode tersebut terjadi perubahan di bidang politik, ekonomi, dan kebijaksanaan pemerintah dari berbagai negara. Orientasi usaha tidak lagi terfokus pada pasar domestik, tetapi juga memanfaatkan peluang baru yang lebih luas, dengan “Go International” untuk berkiprah di pasar global. Perubahan orientasi yang terjadidi Eropa Timur, Amerika Latin dan Afrika telah membuat pertumbuhan dan perkembangan perbankan menjadi kurang terkendali. Maka, gejolak atau krisis perbankan terjadi diberbagai negara, sehingga dampaknya tidak hanya melanda negara yang bersangkutan, tetapi juga menular ke negara lain, terutama yang memiliki hubungan timbal balik yang cukup besar.
30
Dengan metode dan pengawasan bank di berbagai negara yang sama. Namun, strategi dan kebijakannya yang berbeda. Arah sasarannya difokuskan
kepada
kepentingan
perbankan
dan
perekonomian
domestik.Prinsip utama yang digunakan dalam melakukan pengawasan bank pada awalnya adalah (1) asas perbankan yang sehat dan (2) asas perkereditan yang sehat. a. Asas perbankan yang sehat menekankan aspek likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas. Aspek risiko lainnya, seperti klasifikasi kredit, pencadangan risiko kerugian, konsentrasi kredit, dan kualitas manajemen sebagai pendukung dari penilaian atas tiga aspek utama tersebut tetap diperhatikan. b. Prinsip lain yang menjadi kriteria pengawasan bank adalah asas perkereditan yang sehat. Dalam menjalankan manajemen risiko pembiayaannya, Bank Syariah Mandiri melakukan sejumlah analisis, penentuan risiko dan pengawasan terhadap pembiayaan yang diberikan. Analisis pembiayaan dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan (yang dikenal dengan istilah 6C), yaitu : 19 1) Pendekatan karakter (character), artinya bank mencermati dengan sungguh-sungguh terkait dengan karakter nasabah 2) Pendekatan jaminan (collateral), artinya bank dalam memberikan pembiayaan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki peminjam.
19
Ibid., hlm. 23
31
3) Pendekatan kemampuan nasabah (capacity), artinya bank menganalisis
kemampuan
nasabah
dalam
menjalankan
usahanya. 4) Pendekatan
studi
kelayakan
(condition),
artinya
bank
memperhatikan kelayakan dan prospek usaha nasabah. 5) Pendekatan kondisi keuangan dan modal nasabah (capital), artinya bank mencermati kondisi keuangan nasabah terkait dengan kemampuannya dalam melunasi pinjaman yang diterima. 6) Constraint artinya hambatan-hambatan yang mungkin menganggu proses usaha. 4. Karakter Regulasi dan Supervisi Prudential Prudential Regulation dan Prudential Supervision merupakan pendekatan dan konsep tentang cara mengatasi kelemahan dengan memperhatikan unsur-unsurnya.Prudential Regulation dan Prudential Supervision memiliki karakter sebagai berikut : a. bertitik tolak dari sikap waspada dan hati-hati. Sebab, banyak dan beragam risiko yang melekat pada usaha bank. Berbagai risiko tersebut harus dikenali dengan cermat, seperti karakter dan akibatnya, sumber penyebab dan faktor kunci pencegahannya. b. menggunakan pendekatan yang proaktif dan antisipatif
32
c. menggunakan prinsip bahwa baik buruknya bank merupakan tanggung jawab
manajemen
bank.
Oleh karenanya,
diperlukan sebuah
manajemen yang memiliki integritas dan kompetensi tinggi. d. dari segi kinerja operasional, pengawasan bank memberikan bobot yang besar terhadap kecukupan modal bank dalam menanggung risiko kerugian yang mungkin timbul; e. dari segi informasi tentang kondisi, kinerja, dan disiplin pasar, bank wajib memberikan informasi yang lengkap, akurat, tepat waktu, dan layak dipercaya (reliable) kepada pengawasan bank dan publik umumnya. Tanpa mengabaikan ketentuan tentang rahasia bank, asas transparansi dan “public disclosure”merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh bank dan menjadi sorotan penilaian pengawasan bank. f. dari segi pembatasan risiko, pengawasan bank memberi perhatian besar
terhadap
konsentrasi
pemberian
kredit
kepada
debitur
perorangan, grup debitur, dan kredit kepada pihak terkait dengan menetapkan batas maksimal pemberian kredit (BMPK) atau Legal Lending Limit (3L) g. dari segi etika bisnis, pengawasan bank berusaha mencegah agar bank tidak digunakan secara sadar atau tidak sadar sebagai sarana bertransaksi dari hasil kegiatan kejahatan; h. dari segi tanggung jawab, dianut prinsip bahwa tidak seharusnya pengawasan bank memberikan jaminan bahwa bank tidak akan ada
33
yang gagal. Sukses atau gagalnya suatu bank merupakan tanggung jawab penuh dari manajemen bank. i.
pegawasan bank dilakukan sejak pengajuan izin didirikan bank tersebut agar dapat dipastikan bahwa hanya yang dikelola secara professional dan viable secara finansiallah yang masuk dalam sistem perbankan. Dengan konsep tersebut, otoritas pengawasan bank berupaya untuk
meningkatkan efektivitas pengendalian risiko atau kegiatan yang dilakukan bank dan menjaga keamanan serta kestabilan sistem perbankan.Untuk itu, otoritas pengawasan bank memerlukan landasan kuat yang berbentuk undang-undang, agar prudential regulation dapat diterapkan.Selanjutnya, otoritas pengawasan bankmenetapkan prudential regulation sebagai pelaksanaan UU tersebut.20 5. Relevansi Konsep Bagi Hasil dengan Prinsip Prudential Banking Principles Bank syariah bukanlah sekedar lembaga keuangan yang bersifat sosial.Namun bank syariah juga sebagai lembaga bisnis dalam rangka memperbaiki perekonomian umat. Sesuai dengan itu, maka dana yang dikumpulkan dari masyarakat harus disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Di samping itu, para penabung di bank syariah juga mengharapkan agar modal yang ia setorkan dapat
20
Ibid.,hlm.25-28
34
seefektif mungkin disalurkan dalam usaha investasi sehingga keuntungan yang optimal bisa dicapai dengan prinsip bagi hasil. Selanjutnya bank syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan, suatu ketika memiliki status mudharibterhadap nasabah penyimpan dana serta
memiliki
status
shahibul
maal
terhadap
nasabah
peserta
pembiayaan.21 Disinilah timbul masalah yang lebih pelik, karena sebagai lembaga intermediasi keuangan bank syariah sebagai shahibul maal pada prinsipnya tidak lebih dari wakil para nasabah penyimpan dana untuk menginvestasikan modal mereka. Bank syariah setidaknya harus menjamin keamanan modal yang disimpan para nasabahnya. Dengan adanya komitmen bank syariah untuk menjamin setiap dana simpanan masyarakat tersebut, bank syariah harus melakukan berbagai strategi untuk keamanan investasinya, karena pada dasarnya modal investasi tersebut adalah milik masyarakat dan para pemegang saham. Apalagi dalam praktik selanjutnya ketika bank syariah berperan sebagai shahibul maal dalam setiap pembiayaan yang diberikan, segala kerugian usaha yang tidak disebabkan oleh kelalaian nasabah pembiayaan adalah menjadi tanggungan bank.22 Dengan kata lain, tidak ada jaminan dari nasabah pembiayaan sebagai mudharib terhadap keberhasilan setiap usaha yang dilakukan sebagaimana yang diharapkan oleh pihak bank maupun nasabah pembiayaan. Terlebih lagi, nasabah pembiayaan bagi hasil 21
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah, dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press,2001),hlm.151. serta Suhrawardi K.Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta :Sinar Grafika,2000),hlm.52 22 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait (Jakarta: raja grafindo persada,2002),90
35
(mudharabah dan musyarakah) tidak berkewajiban mengembalikan sejumlah modal yang ia terima apabila terjadi kerugian usaha yang bukan disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai mudharib. Dengan tidak adanya jaminan dari nasabah pembiayaan terhadap pengembalian modal dengan sejumlah keuntungan yang diharapkan, maka bank syariah harus melakukan sejumlah pengawasan manajemen dalam rangka menghadapi berbagai risiko pembiayaan yang diberikan, upaya bank syariah untuk mengatasi segala kemungkinan risiko pembiayaan tersebut
mendorong
bank
syariah untuk
menerapkan
manajemen
pengawasan risiko terhadap setiap pembiayaan yang dilakukannya. Penerapan manajemen pengawasan risiko dalam pembiayaan perbankan syariah pada dasarnya merupakan bagian dari strategi bank syariah untuk menjamin keamanan dana simpanan masyarakat maupun para pemegang saham dalam sebuah investasi. Bank syariah menghimpun dana bagi hasil atas dasar prinsip mudharabah, yaitu akad kerjasama antara pemilik dana dengan pengusaha untuk melakukan suatu usaha bersama. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan (nisbah) yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana, sedangkan pengelola dana tidak memperoleh imbalan atas usaha yang dilakukan. 23 Dengan adanya kondisi ini maka bank syariah harus prudent (hatihati) terhadap pembiayaanmudharabah. Karena sistem mudharabah 23
Misbahul Munir, Implementasi Prudential Banking dalam Perbankan Syariah (Malang: UIN Malang Press),2009.Hlm.1-6
36
difahami dan di praktikkan oleh umat Islam pada zaman dahulu masih bersifat sangat sederhana , yang dilakukan oleh dua belah pihak. Dalam konteks bank syariah permasalahan selanjutnya berkembang seiring dengan adanya pihak bank sebagai lembaga intermediasi, sehingga setidaknya ada tiga pihak yang terkait langsung dalam operasi bank itu sendiri, yaitu nasabah penyimpan dana, bank dan nasabah pembiayaan. B. Pengaturan dan Pengawasan Perbankan 1. Pengertian Pengaturan Pengaturan atau kontrol adalah proses atau upaya untuk mencapai suatu tujuan. Pengaturan dalam penelitian ini yaitu mengenai pengaturan perbankan dan pengawasan Bank Indonesia sebagai bank sentral, adalah pengaturan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia, melalui pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi), kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian.24 2. Pengertian Pengawasan (Controlling) Secara empirik, ada banyak sebutan bagi fungsi pengawasan (Controlling), antara lainevaluating, appraising, atau correcting. Sebutan controlling lebih banyak digunakan, karena lebih mengandung konotasi
24
Blueprint-Peraturan Bank Indonesia, diakses tanggal 15 Maret 2014
37
yang mencakup penetapan standar, pengukuran kegiatan, dan pengambilan tindakan korektif. Secara terminologis, pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Pengawasan merupakan hal yang amat krusial dalam sistem perbankan syariah. Menurut Robert J.Mockler, pengawasan merupakan suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan perusahaan . Secara kelembagaan, fungsi pengawasan bank syariah sebagaimana di amanahkan dalam Undangundang bertujuan untuk mendukung upaya mewujudkan perbankan syariah yang sehat, beroperasi secara prudent, memenuhi berbagai ketentuan perbankan yang berlaku, melindungi kepentingan masyarakat pengguna jasa perbankan dan konsisten menjalankan prinsip syariah. 25 3. Dasar Hukum Pengawasan Bank (Prudential Banking) Undang-undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.10 Tahun 1998 terkait pengawasan bank. Peran pengawasan bank adalah memastikan 25
Ahmad Syukron, Laporan Penelitian Kompetitif Individual: Quality Control dalam Sistem Perbankan Syariah: Studi atas Kebijakan Bank Indonesia dalam Mengawasi Operasional Perbankan Syariah di Indonesia,2012 .hlm.130
38
apakah bank memiliki kebijakan, prosedur, dan pedoman penilaian kredit, serta menguji konsistensi pelaksanaannya.Dalam UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992, pertama ketentuan yang mengatur tentang prinsip kehati-hatian tersirat dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.
Pasal ini berlaku untuk perbankan syariah dan perbankan konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya. Kedua dalam UU No.10 Tahun 1998 terdapat ketentuan tentang kesehatan bank dalam 1 pasal dengan 4 ayat yang berurutan.Hal ini terlihat dalam pasal 29 ayat 1, 2, 3, dan 4. (1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh bank Indonesia. (2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kuaitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. (3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. (4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. 26
26
Permadi Gandapradja, Opcit.,hlm.171-172
39
4. Kepentingan Pemerintah Terhadap Pengawasan Bank Setiap Negara berkepentingan dan menaruh perhatian yang besar terhadap fungsi dan peran pengawasan bank yang harus dilakukan pemerintah.Sebab, bank sebagai lembaga kepercayaan memiliki karakter dibanding jenis usaha lainnya.Bank dalam kesatuannya dengan dengan sistem
perbankan
memiliki
peran
sentral
dan
strategis
dalam
menggeraktumbuhkan perekonomian suatu Negara. Tujuan inti dari pengawasan bank adalah melindungi kepentingan masyarakat penyimpan (deposan atau kreditur) yang mempercayakan dananya pada bank untuk memperoleh pembayaran kembali dan manfaatnya dari bank sesuai dengan sifat, jenis dan cara pembayaran yang telah dijanjikannya. Tujuan tersebut dapat dicapai, jika bank melakukan kegiatan usahanya berdasarkan asas usaha bank yang sehat dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa kondisi tersebut, bank tidak akan memperoleh kepercayaan dari masyarakat, sebab dasar eksistensi bank sudah tidak ada lagi. Bila jumlah bank yang seperti itu cukup banyak, sistem perbankan akan terganggu, sehingga dapat menghilangkan peran bank yang sentral dan strategis dalam perekonomian. Bila kondisi buruk tersebut terjadi, secara ekonomi makro negara kehilangan kesempatan untuk membangun perekonomiannya, bahkan negara dapat mengalami kerugian besar. Demkian pula secara ekonomi mikro, pemilik, pengurus, karyawan, dan pihak-pihak terkait yang memerlukan jasa bank ikut rugi.
40
5. Alasan dan Perlunya Pengawasan bank Fungsi pokok bank ada tiga, yaitu (1) menghimpun dana dari masyarakat, (2) menanamkan dana yang dikelolanya ke dalam berbagai aset produktif, misalnya dalam bentuk kredit, dan (3) memberikan jasa layanan perbankan lainya. Cakupan usaha bank yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank berbeda antara satu negara dengan negara lainya. Hal itu tergantung pada kebijakan negara tersebut, yang disesuaikan dengan kondisi ,poteni, dan daya kendali atas resiko yang mungkin timbul. Dengan fungsi seperti itu bank berperan sebagai lembaga intermediasi yang mempertemukan dua pihak yang berbeda kepentingannya, baik dalam penghimpunan dan penanaman dana, maupun dalam pelayanan transaksi keuangan dan lalu-lintas pembayaran. Berdasarkan fungsi bank tersebut, perlu di perhatikan dan di waspadai hal-hal berikut ini: a. Fungsi yang paling kritis adalah penanaman dalam bentuk pemberian keredit dan berbagai jenis aset produktif lainya. Penanaman dana dalam bentuk pembiyaan dapat berjangka pendek,menengah, ataupun panjang. Bank dituntut untuk menganalisis setiap proposal yang diajukan calon debitur` dengan cermat dan akurat. b. Dalam melakukan fungsinya bank dapat menerbitkan instrumen keuangan yang bersifat substitutife atas uang, seperti cheque atau instrument lain serupa.Hal itu berpengaruh terhadap jumlah uang yang beredar.
41
c. Bank yang diizinkan melakukan transaksi valuta asing ( di Indonesia di sebut sebagai bank devisa ) dapat melakukan transaksi dengan mitranya di luar negeri, walaupun lokasi kantornya di suatu kota dalam suatu negara. d. Manajemen likuditas merupakan suatu prasyarat penting dalam menjamin bank, agar dapat melaksanakan kewajibannya untuk melakukan pembayaran . e. Manajemen modal juga merupakan prasyarat penting yang bisa menjadi “benteng pertahanan” bank dalam menghadapi berbagai risiko yang mungkin timbul. Fungsi modal bank ada tiga , yaitu : (1) sebagai modal awal untuk biaya pendirian, (2) modal awal usaha dan (3) pemikul resiko kerugian.Fungsi pemikul resiko kerugian harus menjadi fokus manajemen modal dalam menetapkan kecukupan modal yang di perlukan dan di sediakan. Resiko kerugian tergantung pada kualitas aset yang dikelola bank. Oleh karena itu , besar kecilnya risiko di ukur dari kuantitas dan kualitas aset, sejalan dengan perjalanan usahanya. 6. Lembaga Pelaksana Pengawasan Bank Pelaksana pengawasan bank (otoritas pengawasan bank) biasanya dilakukan oleh bank sentral negara yang bersangkutan. Telah diketahui bahwa fungsi bank sentral adalah menjaga kestabilan moneter.Adapun tolak ukurnya adalah kestabilan nilai mata uang negara yang bersangkutan, kestabilan harga, nilai tukar, dan pengendalian inflasi.Selain
42
itu, bank sentral juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Karena fungsi otoritas pengawasan bank ditempatkan di bank sentral, fungsi pokok bank sentral adalah (1) menjaga kestabilan moneter, (2) kelancaran dan kestabilan sistem pembayaran, serta (3) kesehatan dan kestabilan sistem perbankan. Ketiga fungsi tersebut terkait satu sama lain, sehingga harus dikelola secara terpadu. Kewenangan otoritas pengawasan bank juga tidak selau sama antara suatu negara dengan negara lainnya. Masing-masing negara berhak mengambil keputusan dan kebijakan mengenai cakupan tugas pengawasan bank, wewenang, dan lembaga yang melakukannya, apakah bank sentral atau lembaga tersendiri.Banyak factor yang perlu dipertimbangkan, baik secara makro maupun mikro.27 C. Tinjauan Umum tentang Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah 1. Pengertian Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah Secara etimologi kata mudharabah berasal dari kata dharb.Dalam bahasa arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya,
memukul.Didalam
al-Qur’an kata mudharabah tidak
disebutkan secara jelas.Al-Qur’an hanya mengungkapakn musytaq dari kata dharaba sebanyak 58 kali.Diantara jumlah itu, terdapat kata yang dijadikan oleh sebagian besar ulama fiqih sebagai akar kata dari mudharabah, yaitu kata dharaba fi al-ardl yang artinya berjalan di muka
27
Permadi Gandapradja., Opcit..hlm.1-7
43
bumi. 28 Sebagai definisi yang dapat mewakili pengertian mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis, dan karakter tertentu dari seorang pemilik modal (shahib al-maal) kepada pengelola (mudharib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan ketentuan jika usaha tersebut mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut dibagi berdua berdasarkan kesepakatan sebelumnya sementara jika usaha tersebut tidak mendatangkan hasil atau bangkrut maka kerugian materi sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal dengan syarat dan rukun-rukun tertentu. Definisi di atas selain menjelaskan wujud mudharabah yang utuh, juga tersirat dimensi filosofis yang melandasinya, yaitu adanya penyatuan antara modal (capital) dan usaha (skill dan entrepreneurship) yang dapat membuat pemodal (shahib al-maal) dan pengusahanya (mudharib) berada dalam kemitraan usaha yang lebih fair dan terbuka serta kegiatan ekonomi ini lebih mengarah pada aspek solidaritas yang tinggi dari pemilik modal untuk dapat membantu para tenaga terampil kurang modal. Karena dalam kehidupan keadaan seperti ini memang tidak bisa terhindarkan. Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak dimana shahibul maal tidak menetapkan syarat-syarat tertentu kepada mudharib. Bentuk mudharabah ini disebut mudharabah mutlaqah, atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal sebagai Unrestricted Invesment Account (URIA). Namun demikian apabila dipandang perlu, shahibul maal boleh 28
Lihat misalnya: al-Baqarah: 273. Ali Imran: 156, al-Nisa: 101. al-Maidah: 106, alMuzamil:20.
44
menetapkan
batasan-batasan
atau
syarat-syarat
tertentu
guna
menyelamatkan modalnya dari risiko kerugian.Syarat-syarat atau batasan ini harus dipenuhi oleh mudharib. Apabila mudharib melanggar batasanbatasan ini, ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbul. Jenis mudharabah seperti ini disebut mudharabah muqayyadah (mudharabah terbatas, atau dalam bahasa Inggrisnya, Restricted Invesment Account).Jadi pada dasarnya, terdapat dua bentuk mudharabah, yakni mutlaqah dan muqayyadah. Namun demikian dalam praktik perbankan syariah modern, kini dikenal dua bentuk mudharabah muqayyadah, yakni yang on balancesheet dan yang off balance-sheet. Dalam mudharabah muqayyadah on balance sheet, aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misalnya pertanian, manufaktur, dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan disektor pertambangan, property, dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah investor dapat mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan akad penjualan cicilan saja, atau penyewaan cicilan saja, atau kerjasama usaha.Skema ini disebut on balance sheet karena dicatat dalam neraca bank. Dalam mudharabah muqayyadah off balance sheet, aliran dana berasal dari satu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan (yang dalam bank konvesional disebut debitur). Di sini, bank syariah bertindak
45
sebagai arranger. Pencatatan transaksinya di bank syariah dilakukan secara off balance sheet.Sedangkan bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha.Besar bagi hasil tergantung kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah pembiayaan. Bank hanya memperoleh arranger fee.Skema ini disebut off balance sheetkarena transaksi ini tidak dicatat dalam neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam rekening administratif. 29 2. Dasar Hukum Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah Pada dasarnya Mudharabah dapat dikategorikan ke dalam salah satu bentuk musyarakah, namun para cendekiawan fikih Islam meletakkan Mudharabah dalam posisi yang khusus dan memberikan landasan hukum tersendiri, a. Qur’an Ayat Alquran yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi alMudharabah, adalah: 30
)ىىىى: ( لم ّرز ّر....ِرى َو ْر َو ُر ْر َو ى ِر ْر ى َو ْر ِر ى ّرىِرا
َو َوا ُر ْر َو ى َو ْر ِر ُر ْر َو ى ِر ى ْراَو ْر
“…..Dan sebagian dari mereka orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah Swt...”(QS.Al-muzamil:20)
Mudharib sebagai entrepreneur adalah sebagian dari orang-orang yang melakukan (dharb) perjalanan untuk mencari karunia karunia
29
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan.,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004).,hlm.200-2001 30 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah (PT.Raja Grafindo Persada :Jakarta, 2008).hlm.48-49
46
Allah swt.Dari keuntungan investasinya. Ditempat lain dalam Qur’an ayat senada :
ى....ِرى َو ْر َو ُر ْر ى ِر ْر ى َو ْر ِر ّرىِر
ل وُرى َو ْرا َو ِر ُر ْر ى ِر ى ْراَو ْر َو ِر َو ى ُر ِر َو ِرى ل َّص ىىىى)ى:( لجمعة
“Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan cari karunia Allah swt.”(QS Al-jumuah:10)
ىىى)ى:( ل ق و......... ْرسى َوع َو ْر ُرك ْرمى ُرجنَو حٌى َو ْر ىتَو ْر َو ُر ْر ى َو ْر ًى ِّ ْر ى َّص ِّ ُرك ْرمق لَو َو “Tidak ada dosa (halangan) bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu” (QS.Al-Baqarah:198)
Hadis Hadis-hadis Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi alMudharabah, adalah : “Diriwayatkan oleh Abbas bahwasanya Sayidina Abbas jikalau memberikan dana ke mitra usahanya secara Mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jika menyalahi peraturan maka yang bersangkutan bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannyalah syarat-syarat tersebut ke Rasulullah saw. Dan diapun memperkenalkannya (Hadis dikutip oleh Imam Alfasi dalam Majma Azzawaid 4/161) “Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda: Tiga perkara didalamnya terdapat keberkatan (1) menjual dengan pembayaran secara kredit (2) Muqaradhah (nama lain dari Mudharabah) (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual. (HR.Ibnu Majah).31
31
Muhammad, Sistem Yogyakarta,2000).hlm.14-15
&
Prosedur
Operasional
Bank
Syariah
(UII
Press
47
3. Rukun Perjanjian Mudharabah Muqayyadah Rukun perjanjian mudharabah tersebut adalah :32 a. Ijab dan Qabul. Pernyataan kehendak yang berupa ijab dan qabul antara kedua pihak memiliki syarat-syarat yaitu; (a) ijab dan qabul itu harus
jelas
menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan
mudharabah. (b) Ijab dan qabul harus bertemu, artinya penawaran pihak pertama sampai dan diketahui oleh pihak kedua b. Adanya dua pihak (pihak penyedia dana dan pengusaha). Para pihak (shahibul maal dan mudharib) disyaratkan; (a) cakap bertindak hukum secara syar’i. Artinya shahibul maal memiliki kapasitas untuk menjadi pemodal dan mudharib memiliki kapasitas menjadi pengelola. (b) Memiliki wilayah al-takwil wa al-wikalah (memiliki kewenangan mewakilkan/memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa). c. Adanya modal. Adapun modal disyaratkan; Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah sehingga tidak menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidak-jelasan jumlah. d. Adanya usaha (al-„aml). Mengenai jenis usaha pengelolaan ini sebagian ulama, khususnya Syafi’I dan Maliki, mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha yang berjenis kegiatan industry (manufacture) dengan anggapan bahwa kegiatan industriitu termasuk
32
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah (Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern), (BPFE Yogyakarta, 2005). hlm.55-61
48
dalam kontrak persewaan (ijarah) yang mana semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal (investor). e. Adanya keuntungan. Mengenai keuntungan disyaratkan bahwa; (a) keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan prosentase dari jumlah modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntungannya saja setelah dipotong besarnya modal. (b) keuntungan untuk masing-masing pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal, karena jika ditentukan dengan nilai nominal berarti shahibul maal telah mematok untung tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas untung dan ruginya. Ini akan membawa pada perbuatan riba. (c) nisbah pembagian ditentukan dengan prosentase. (d) keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu pihak. 4. Kesepakatan dan Implikasi Kontrak Mudharabah Muqayyadah Sebagai sebuah usaha kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang. Hal yang harus disepakati tersebut antara lain :33 a. Manajemen. Ketika mudharib telah siap dan menyediakan tenaga untuk kerjasama mudharabah maka saat itulah ia mulai mengelola modal shaihibul maal.
33
Ibid.,hlm. 62-64
49
b. Tenggang waktu (Duration). Satu hal yang harus mendapat kesepakatan antara shahibul maal dan mudharib adalah lamanya waktu usaha. Ini penting karena tidak semua modal yang diberikan kepada mudharib itu dana mati yang tidak dibutuhkan oleh pemiliknya. c. Jaminan (dhiaman). Satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan kesepakatan bersama adalah aturan tentang jaminan atau tanggungan. Tanggungan menjadi penting ketika shahibul maal khawatir akan munculnya penyelewengan dari mudharib. 5. Prosedur dan Mekanisme Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah Sebagai sebuah lembaga formal, bank syariah mempunyai beberapa cara dan tahapan-tahapan yang harus ditempuh oleh peminjam. Ketentuan ini merupakan proses pengkajian atas data diri peminjam dan tujuan pinjaman. Pada dasarnya jenis pinjaman bank dibedakan menjadi dua : pinjaman produktif dan konsumtif. Pinjaman produktif yang digunakan untuk menambah modal atau membiayai sebuah proyek usaha. Sedangkan pinjaman konsumtif diberikan untuk memenuhi kebutuhan yang akan langsung habis setelah kebutuhan itu terpenuhi. Dalam kaitannya dengan pinjaman mudharabah ini, maka pinjaman yang diberikan lebih bersifat produktif karena dalam pinjaman ini nasabah (debitur) akan menggunakannya untuk kepentingan pengembangan usaha, seperti perdagangan, industry atau usaha-usaha yang bersifat kerajinan. Untuk itu prosedur dan mekanisme yang ditetapkan bank dalam pengucuran dana pembiayaan mudharabah ini mempunyai syarat-syarat
50
yang tidak saja bersifat administrative tetapi juga terdapat ketentuanketentuan umum yang menjadi pedoman diberlakukannya pembiayaan mudharabah. Syarat-syarat administratif tersebut di antaranya : a. Mengisi formulir pendaftaran b. Menyerahkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga) c. Melampirkan proposal yang memuat gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana dan jangka waktu penggunaan dana. d. Legalitas usaha, meliputi akta pendirian usaha, surat izin perusahaan dan tanda daftar perusahaan. e. Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan untung-rugi, data persediaan terakhir, data penjualan dan foto kopi rekening bank. 34 Sedangkan untuk pedoman umum yang berkaitan dengan mekanisme pembiayaan mudharabah terdapat ketentuan-ketentuan umum sebagai berikut : a. Semua orang baik nasabah atau bukan, berhak mendapat pinjaman dari bank syariah dengan memenuhi persyaratan di atas. b. Semua orang baik nasabah atau bukan, berhak menentukan besar kecilnya dana yang dibutuhkan. Ketentuan yang ada dalam bank menyebutkan bahwa Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) adalah 20% dari modal pokok yang dimiliki bank. Misalnya, jika bank
34
Muhammad Syafi’I Antonio,,Opcit.hlm. 171
51
memiliki modal dasar sebesar 400 juta maka BMPK yang diberikan kepada debitur sebesar 80 juta untuk setiap debitur. c. Modal sepenuhnya dari bank dan pengelolaan usaha sepenuhnya ditangani oleh pengelola tanpa campur tangan dari bank. Oleh karena itu sebagai seorang pengelola yang telah mengeluarkan tenaga, fikiran, dan waktunya bank menetapkan bagi hasil yang lebih besar dari dirinya. d. Untuk pembiayaan yang berskala besar ditetapkan adanya jaminan yang besarnya 125% dari besarnya jumlah dana yang akan dipinjam. e. Jangka waktu ditetapkan dalam tenggang waktu yang pendek. Ini ditetapkan khusus bagi nasabah yang belum terakreditasi kejujurannya. Ketetapan batas pendek masa peminjaman ini adalah dalam rangka mencoba prospektifitas usaha nasbah disamping untuk mengukur sifat kejujurannya. f. Nasabah diharuskan membayar angsuran setiap bulan sepanjang waktu yang disepakati. Besarnya cicilan tidak secara tetap ditentukan bank, tetapi cicilan tersebut harus selesai pada waktu yang telah disepakati. Bank syariah akan memberikan potongan pada pelunasan sebelum waktunya. g. Setiap penyerahan dana kepada nasabah, bank menindaklanjuti dengan pembinaan nasabah yang bersangkutan, sehingga pada waktunya nanti dapat melunasi hutangnya kepada bank.
52
h. Pinjaman yang diberikan bank bukan merupakan uang tunai, tetapi merupakan dana untuk pengadaan barang/jasa yang diikat dengan perjanjian kredit. Karena dalam sistem mudharabah biaya dibebankan dalam bentuk bagi hasil yang diperhitungkan melalui prinsip kemanfaatan barang/modal yang dibiayai bank. i.
Perjanjian bagi hasil mulai diberlakukan secara efektif setelah proyek investasinya selesai sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati.
j.
Peminjam hendaknya merencanakan terlebih dahulu secara matang tentang usaha, tempat, lokasi, pasar dan jumlah biaya yang dibutuhkan. Dari pihak bank perlu mengadakan observasi terhadap semua rencana usaha yang akan dilakukan nasabah.
k. Peminjam perlu mempelajari administrasi praktis tentang pengelolaan usaha yang sedang ditekuninya sehingga unsur keterbukaan dan kejujuran dapat terbaca oleh pihak bank. 35
35
Muhammad., Opcit.hlm. 103-105