6
BAB II LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Bakteri selulolitik Bakteri selulolitik adalah bakteri yang mampu mendegradasi dan memanfaatkan selulosa sebagai sumber karbon dan energinya. Energi yang dihasilkan, digunakan untuk sintesis makromolekul seperti asam nukleat, lipid dan polisakarida untuk pertumbuhan dan perkembangan sel (Lynd et al., 2012). Bakteri selulolitik merupakan salah satu mikroba pendegradasi selulosa. Bakteri selulolitik memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dibanding kelompok mikroba lainnya sehingga waktu yang dibutuhkan untuk produksi enzim lebih cepat (Watanabe et al., 2001). Bakteri selulolitik memiliki ketahanan yang tinggi terhadap kelembaban yang dibutuhkan untuk dekomposisi selulosa (Astuti et al., 2013). Bakteri selulolitik secara alami sangat umum dijumpai pada tanah pertanian, hutan, pada pupuk atau pada jaringan tanaman yang membusuk, dan pada rumen hewan ruminansia (Bail et al., 2012), Bakteri selulolitik diantaranya berasal dari Genus Achromobacter, Angiococcus, Bacillus, Cellulomonas, Pseudomonas,
Cytophaga, Poliangium,
Clostridium, Sorangium,
Cellivibrio,
Flavobacterium,
Sporocytophaga,
Vibrio,
Cellfalcicula, Citrobacter, Serratia, Klebsiella, Enterobacter, dan Aeromonas (Kuhad et al., 2011).
6
7
Penelitian untuk mendapatkan bakteri selulolitik telah banyak dilakukan. Penelitian pada kotoran gajah, menemukan bakteri yang dapat memproduksi selulase, dan diidentifikasi sebagai Bacillus sp, menggunakan cara sekuensing 16S rDNA dengan pendekatan molekuler berbasis filogenetik (Sahdu et al., 2013). Penelitian pada usus babi Tibet, serta pemeriksaan tanaman yang dikonsumsi, menemukan bakteri selulolitik ditandai dengan adanya zona bening pada media CMC, dan diidentifikasi berdasarkan morfologi, fisiologi, dan biokimia, karakteristik serta analisis gen penyandi 16S rRNA ditemukan Bacillus subtilis BY-2 (Yang et al., 2014). Penelitian pada kotoran badak, ditemukan 35 isolat menunjukan aktivitas enzim selulase dengan adanya zona bening pada media CMC, dan diidentifikasi sebagai Bacillus amyloliqefaciens SS35 berdasarkan nukleotida homologi dan analisis filogenetik menggunakan 16S rDNA dan girase A urutan gen (Singh et al., 2013). Penelitian yang berkaitan dengan menganalisis mikroba yang diisolasi dari kotoran sapi, ditemukan 9 strain yang mempunyai aktivitas selulase ditandai dengan adanya zona bening pada media CMC, dan diidentifikasi sebagai Bacillus subtilis berdasarkan analisis BLAST menggunakan urutan 16S rDNA dan memiliki homolog tertinggi (100%) (Kumar et al., 2012).
2. Selulosa Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Sabaya et al., 2004). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang
8
selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al., 2002). Selulosa merupakan salah satu senyawa organik yang paling melimpah di alam tetapi proses dekomposisinya lama. Selulosa adalah senyawa seperti serabut, tidak larut dalam air dan merupakan struktur dasar sel tumbuhan yang ditemukan di dalam dinding sel tumbuhan, terutama pada tangkai, batang dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan.
Struktur selulosa berupa
polisakarida linier dari unit monomer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosida (Gambar 1) (Langan et al., 2014). Sebagai senyawa organik paling banyak di alam, selulosa tersusun atas 8000-12000 unit D-glukosa (Astuti et al., 2013).
Gambar 1 Struktur selulosa pada tanaman hijau (Langan et al., 2014) Selulosa menempati 30-45% dari limbah pertanian. Sebagian besar dari limbah pertanian yang berupa selulosa tersebut merupakan lignoselulosa. Lignoselulosa terdiri atas tiga polimer yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa cenderung membentuk mikrofibril melalui ikatan inter dan intra
9
molekuler. Mikrofibril selulosa terdiri dari 2 tipe, yaitu kristalin dan amorf. Kristalin dan amorf membentuk suatu struktur dengan kekuatan tegangan tinggi. Selulosa dapat dihidrolisis dengan kelompok enzim selulase yang terdiri dari suatu komplek campuran dari enzim dengan spesifisitas berbeda dalam menghidrolisis ikatan glikosidiknya. Dengan bantuan selulase, selulosa dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon mikroba (Saropah et al., 2012). Produksi komersial selulase pada umumnya menggunakan fungi atau bakteri yang telah diisolasi. Meskipun banyak mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa, hanya beberapa mikroorganisme yang memproduksi selulase dalam jumlah yang signifikan yang mampu menghidrolisis kristal selulosa secara in vitro.
3. Enzim selulase Enzim selulase merupakan sistem enzim yang terdiri atas endo-β-1,4glukanase, ekso-β-1,4-glukanase, dan β-D-glukosidase. Enzim selulase mendegradasi selulosa dengan memecah ikatannya, prosesnya melibatkan 3 jenis enzim yang bekerja secara sinergis. Endo-β-1,4-glukanase memotong ikatan rantai dalam selulosa menghasilkan molekul selulosa yang lebih pendek, ekso-β-1,4-glukanase memotong ujung rantai selulosa menghasilkan molekul selobiosa, sedangkan β-D-glukosidase memotong molekul selobiosa menjadi 2 molekul glukosa (Wardhani et al., 2012). (Gambar 2). Enzim selulase merupakan enzim yang memegang peranan penting dalam proses biokonversi limbah-limbah organik berselulosa menjadi glukosa. Enzim selulase dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti tanaman, insekta dan mikroorganisme (Saropah et al., 2012).
10
Selulosa (Rantai panjang oligosakarida dari ß-1,4 berkait unit glukosa) Endo-β Endo-β 1,4 1,4 glukanase glukanase
Rantai oligosakarida menengah dan pendek ujung bebas Ekso-β 1,4 glukanase
Selobiosa β glukosidase
Glukosa
Gambar 2. Degradase selulosa oleh selulase (Aziza et al., 2013) Enzim ini memiliki kekhasan dalam mengenali dan mengikat substrat, karena enzim memiliki sisi aktif yang digunakan untuk mengikat substrat, sisi aktif yang dimiliki enzim sangat spesifik. Enzim selulase memiliki gugus aktif–COOH yang merupakan gugus aktif dari asam amino jenis asam aspartat (Sa’adah et al., 2012).
11
4. Peran bakteri selulolitik Selama bertahun-tahun, selulase telah menjadi target untuk penelitian akademik dan industri dan saat ini sedang diterapkan di banyak industri (Singh et al., 2007). Enzim selulase memiliki potensi dan aplikasi yang luas dalam bidang industri antara lain, industri makanan, pakan ternak, tekstil, bahan bakar, industri kimia, industri pulp dan kertas, pengolahan limbah, industri farmasi, dan produksi protoplas. Saat ini penggunaan enzim selulase tidak hanya terbatas pada bidang industri, enzim selulase juga banyak dimanfaatkan dalam produksi bioetanol guna mengatasi kekurangan bahan bakar minyak bumi (Retnoningtyas et al., 2013). Pemanfaatan bakteri sebagai penghasil enzim dipilih karena biaya produksi murah, dapat diproduksi dalam waktu singkat, mempunyai kecepatan tumbuh tinggi serta mudah dikontrol (Forgaty et al., 2007). Bioetanol merupakan sumber energi alternatif yang mempunyai prospek yang baik sebagai pengganti bahan bakar cair dengan bahan baku yang dapat diperbaharui, ramah lingkungan serta sangat menguntungkan secara ekonomi terhadap komunitas pedesaan. Kecenderungan pemakaian bahan bakar terus meningkat, sedangkan sumber bahan bakar minyak bumi yang digunakan semakin menipis (Masithoh, 2015). Kebutuhan bahan bakar atau energi sekarang ini masih banyak disuplai dari bahan bakar yang berasal dari fosil. Oleh karena itu, perlu adanya bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti minyak bumi. Peningkatan kebutuhan bahan bakar merupakan salah satu sumber bahan baku yang dapat digunakan untuk memproduksi bahan bakar, sehingga saat ini sedang diusahakan secara intensif pemanfaatan bahan-
12
bahan yang mengandung serat kasar dengan karbohidrat yang tinggi (Fatma et al., 2010).
5. Karateristik Sapi Bali Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, ternak-ternak sapi dapat dibedakan dengan ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi Bali mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Sub class
: Theria
Infra class
: Eutheria
Ordo
: Artiodactyla
Sub ordo
: Ruminantia
Infra ordo
: Pecora
Famili
: Bovidae
Genus
: Bos (cattle)
Group
: Taurinae
Spesies
: Bos sondaicus (Banteng/Sapi Bali) (Romans et al., 1994)
Sapi Bali adalah keturunan sapi liar yang disebut Banteng (Bos sondaicus atau Bos bibos), yang telah mengalami proses domestikasi. Lokasi penyebarannya saat ini telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia, konsentrasi Sapi Bali terbesar adalah Sulawesi, NTB, dan NTT (Guntoro, 2002).
13
Menurut Sugeng. (2002), ciri-ciri yang dimiliki Sapi Bali adalah sebagai berikut : 1. Bentuk tubuh menyerupai banteng dengan ukuran yang lebih kecil, dadanya dalam dan badannya padat. 2. Warna bulu pada pedet sawo matang atau merah bata, setelah dewasa warna bulu betinanya tetap merah bata, sedangkan pada jantan kehitamhitaman, bagian keempat kakinya dan pantatnya terdapat warna putih. 3. Kepala agak pendek, dahi di atas, tanduk pada jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sedangkan betina agak ke dalam 4. Tinggi badan sapi dewasa 130 cm dengan berat badan rata-rata sapi jantan 250 kg, sedangkan betina 300-400 kg Sapi Bali termasuk sapi unggulan reproduksi tinggi, memiliki bobot karkas yang tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis. Sebagai sapi bali yang memiliki potensi reproduksi lebih baik dibanding sapi lainnya maka upaya pengembangan terus ditingkatkan guna dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Jenis Sapi Bali yang berada di Timor Tengah Selatan memiliki kulit yang lebih tebal. Ukuran tubuh Sapi Bali ternyata sangat dipengaruhi oleh tempat hidupnya
yang
berkaitan
dengan
manajemen
pemeliharaan
di
daerah
pengembangan (Lukman., 2004). Selama ini pemeliharaan sapi yang dilakukan di Timor Tengah Selatan adalah dengan cara dilepas di padang rumput dan membiarkan sapi mencari makan sendiri. Masyarakat di Timor Tengah Selatan selalu menggunakan pakan alternatif yang dapat menggantikan rumput sebagai pakan ternak, berupa turi, daun
14
beringin, daun kapuk, batang pisang dan daun leguninosa sebagai pakan alternatif untuk pengemukan ternak sapi. Pakan tambahan ini bisa digunakan untuk pakan ternak karena kandungan zat makanan yang terkandung di dalam pakan pakan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan gizi pada ternak sapi sehingga dapat menopang kehidupan ternak sapi. Kandungan selulosa pada bahan pakan akan berpengaruh terhadap kerja mikroorganisme dan enzim mikroba dalam mencerna zat-zat makanan di dalam rumen. Kotoran sapi adalah limbah pencernaan sapi. Kotoran sapi memiliki warna yang bervariasi dari kehijauan hingga kehitaman, tergantung pakan yang dimakan sapi. Setelah terpapar udara, warna dari kotoran sapi cenderung menjadi gelap. Kotoran sapi memiliki komponen utama lignoselulosa terutama dari tiga polimer yaitu hemiselulosa sebesar 18,6%, selulosa 25,2%, lignin 20,2%, dan juga mengandung nitrogen 1,67%, fosfat 1,11% dan kalium sebesar 0,56%, (Windyasmara et al., 2012).
6. Gen Penyandi 16S rRNA bakteri selulolitik RNA ribosomal paling banyak digunakan sebagai penanda molekuler. Pada prokaryota terdapat tiga jenis RNA ribosomal, yaitu 5S, 16S, dan 23S rRNA. Di antara ketiga gen penyandi ribosomal, gen penyandi 16S rRNA yang paling sering digunakan. Molekuler 5S rRNA memiliki urutan basa terlalu pendek yaitu 120 bp, sehingga tidak ideal dari segi analisis statistik, sementara molekuler 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang yaitu 2900 bp sehingga menyulitkan analisis. Analisis gen penyandi 16S rRNA telah menjadi prosedur baku untuk menentukan hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem (Pangastuti, 2006).
15
Teknik yang akurat untuk identifikasi molekular bakteri adalah identifikasi terhadap gen penyandi 16S rRNA yang dikenal dengan sebutan ribotyping atau riboprinting. Proses identifikasi didasarkan pada tingkat kesamaan dalam sekuens gen penyandi 16S rRNA sebagai sidik jari genetik bakteri atau disebut sekuen sidik jari. Alasan pemilihan gen penyandi 16S rRNA sebagai dasar identifikasi dan taksonomi bakteri adalah karena beberapa hal berikut: 1. Dimiliki semua bakteri. 2. Relatif konstan dan tidak berubah dalam jangka waktu yang lama. 3. Laju mutasi kecil. 4. Ukuran cukup besar untuk tujuan analisis (berbeda dengan 5S rRNA memiliki urutan basa terlalu pendek, tidak ideal, dan 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang sehingga menyulitkan analisis) (Ramadhan et al., 2012). Pada saat ini analisis urutan gen penyandi 16S rRNA telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi spesies bakteri dan mempelajari taksonomi (Chakravorty et al., 2007). Gen penyandi 16S rRNA memiliki ukuran cukup besar untuk memberikan perbedaan dan pengukuran yang valid secara statistik, yaitu sekitar 1550 bp dengan polimorfisme interspesifik yang cukup (Clarridge, 2004). Urutan gen penyandi 16S rRNA telah ditentukan untuk sejumlah besar strain mikroba. Pada umumnya perbandingan urutan gen penyandi 16S rRNA dapat membedakan organisme-organisme pada tingkat genus di antara semua filum utama bakteri, selain untuk mengklasifikasi strain pada tingkat spesies dan subspesies. Penentuan keseluruhan daerah 1,5 kb kadang-kadang diperlukan untuk
16
membedakan antara taksa atau strain-strain tertentu atau ketika menggambarkan spesies baru. Parameter standar yang diakui untuk menggambarkan spesies pada prokaryota adalah adanya hibridisasi DNA-DNA sebesar 70% dan perbedaan suhu leleh (Tm) sebesar 5°C. Dua isolat dapat dianggap sebagai satu spesies jika terdapat hibridisasi DNA-DNA lebih dari 70% serta perbedaan Tm-nya kurang dari 5°C. Walaupun cukup andal untuk penentuan spesies, teknik hibridisasi DNA memiliki keterbatasan. Teknik ini lambat, rumit, serta sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik maupun kimia. Karena itu (Stackebrandt, 2002) mendorong pengembangan metode lain untuk mengungkapkan hubungan kekerabatan interspesies maupun intraspesies prokaryota. Gen penyandi 16S rRNA dapat digunakan sebagai penanda molekuler
karena molekul ini bersifat ubikuitus
dengan fungsi yang identik pada seluruh organisme. Molekul ini juga dapat berubah sesuai jarak evolusinya, sehingga dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik. Molekul gen penyandi 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa yang relatif konservatif dan beberapa daerah urutan basanya variatif. Perbandingan urutan basa yang konservatif berguna untuk mengkonstruksi pohon filogenetik universal karena mengalami perubahan relatif lambat dan mencerminkan kronologi evolusi bumi. Sebaliknya, urutan basa yang bersifat variatif dapat digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies. Jika urutan basa gen penyandi 16S rRNA menunjukkan derajat kesamaan yang rendah antara dua taksa, deskripsi suatu takson baru dapat dilakukan tanpa hibridisasi DNA-DNA (Stackebrandt et al., 1995). Biasanya jika derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rRNA kurang dari 97% dapat dianggap sebagai spesies baru. Analisis gen penyandi 16S
17
rRNA praktis untuk definisi spesies, karena molekul ini bersifat ubikuitus, sehingga dapat dirancang suatu primer yang universal untuk seluruh kelompok. Penentuan spesies baru dapat dilakukan tanpa mengisolasi mikroorganisme yang bersangkutan. Taksa baru yang ditetapkan hanya berdasarkan data molekular (Murray et al.,1995). Lingkungan memiliki peran cukup signifikan dalam evolusi spesies. Perlu atau tidaknya suatu definisi spesies yang juga dapat menggambarkan keanekaragaman fungsional yang
sistematik,
misalnya
untuk
membuat
pengelompokan atau mengungkap keanekaragaman di alam. Keanekaragaman spesies tidak dapat hanya dilihat sebagai kumpulan spesies-spesies, tetapi juga merupakan kumpulan peran ekologi dan interaksi antar spesies yang menyusunnya (Pangastuti, 2006 ).
18
B. Kerangka berpikir Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang dapat menghidrolisis kompleks selulosa menjadi oligosakarida yang lebih kecil dan akhirnya menjadi glukosa. Isolat bakteri seluolitik mempunyai aktivitas spesifik sebagai penghasil enzim selulase, sehingga mempunyai penggunaan fungsi komersil tertentu seperti: pengolahan limbah sampah, digunakan dalam bidang industri testil, kadangkadang selulase juga dimanfaatkan dalam industri farmasi sebagai zat untuk membantu sistem pencernaan misalnya bahan serat untuk tujuan diet, serta dimanfaatkan dalam proses fermentasi dari biomassa menjadi biofuel, seperti etanol. Banyak penelitian bakteri selulolitik dilakukan pada tanah pertanian, pada pupuk atau pada jaringan tanaman, dan rumen hewan ruminansia. Maka penting dilakukan penelitian pada kotoran hewan ruminansia salah satunya adalah kotoran Sapi Bali di Timor Tengah Selatan. Penelitian tentang isolasi bakteri selulolitik pada kotoran Sapi Bali di Timor Tengah Selatan masih sedikit. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengisolasi, mengetahui jumlah populasi, jenis spesies dan hubungan kekerabatan antar spesies untuk memahami keragaman spesies dan peranan bakteri selulolitik. Untuk lebih jelas dapat dilihat bagan kerangka berpikir pada Gambar 3.
19
Bakteri Selulolitik
Dapat Mendegradasi Selulosa
Industri makanan, bahan bakar, Farmasi, bioetanol
Enzim Selulase
Informasi dan penelitian yang masih sedikit pada kotoran sapi
Kotoran Sapi Bali (Bos sandaicus) di Timor Tengah Selatan
Isolasi bakteri selulolitik
Populasi bakteri selulolitik
Koleksi kultur murni Uji aktivitas selulase
Analisis Molekuler gen penyandi 16S rRNA Keberadaan, jenis / spesies, keragaman, populasi dan hubungan kekerabatan bakteri selulolitik pada kotoran Sapi Bali (Bos sondaicus) di Timor Tengah Selatan Gambar. 3 Bagan Kerangka Berpikir
20
C. Hipotesis 1. Populasi bakteri selulolitik dalam 1 gr sampel kotoran Sapi Bali di Timor Tengah Selatan lebih besar dari pada penelitian bakteri selulolitik sebelumnya. 2. Bakteri selulolitik yang ditemukan pada kotoran Sapi Bali di Timor Tengah Selatan
adalah
Pseudomonas,
Cellulomonas,
Bacillus,
Micrococcus,
Cellovibrio, dan Sporosphytophaga. 3. Ditemukan isolat bakteri selulolitik baru yang mempunyai aktivitas tinggi dari kotoran Sapi Bali Timor Tengah Selatan berdasarkan hasil analisis mengunakan BLAST pada NCBI dengan presentasi < 97 %. 4. Bakteri selulolitik yang ditemukan pada kotoran Sapi Bali di Timor Tengah Selatan memiliki hubungan kekerabatan antar spesies yang dekat.